34
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA 2.1 BANK 2.1.1
Pengertian dan Dasar Hukum Bank
Sejarah dari terminologi “bank”, ditemukan bahwa kata “bank” berasal dari bahasa Italy “banca”, yang berarti bence, yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab pada zaman pertengahan, pihak banker Italy yang memberikan pinjamanpinjaman melakukan usaha tersebut dengan duduk di bangku-bangku di halaman pasar. Seiring perkembangan zaman, istilah bank dimaksudkan sebagai suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka ragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang, mengadakan pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk benda-benda berharga, dan membiayai usaha-usaha perusahaan.41 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi mengenai Bank, yaitu“usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Dalam kamus lainnya menyebutkan bahwa “bank” diartikan sebagai : 1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang, untuk memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fund-fund tertentu dengan 41
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern : Buku Kesatu,(Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 13
34
35
cek, notes, dan lain-lain, dan juga bank memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan memungut bunga. 2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut. 3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat beroperasinya perusahaan perbankan.42 Black’s Law Dictionary memberikan pengertian mengenai bank sebagai berikut :“Bank is an institution, of great value in commercial world, empowered to receive deposits of money, to make loans aud to issue its promissory notes (designed to circulate as money, and commonly called “bank notes” or “bank bills”) or to perform anyone or more of these functions.”43 Dasar hukum mengenai pemberlakuan sistem hukum perbankan di Indonesia yaitu bersumber pada tempat ditemukannya hukum dan perundang-undangan perbankan, yakni hukum positif. Sumber hukum tersebut berupa ketentuan perbankan yang sedang berlaku pada saat ini. Ketentuan yang secara khusus mengatur atau yang berkaitan dengan perbankan tersebut dapat ditemukan dalam : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku II tentang Kebendaan dan Buku III tentang Perikatan. 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
42
ibid, h. 13-14 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, 8th edition, Thomson West, St. Paul, Minesota, page 350 43
36
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. 6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.44 Dasar hukum pengaturan bank di Indonesia secara lebih spesifik pada mulanya diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, namun seiring dengan perkembangan zaman maka undang-undang ini kemudian mengalami perubahan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan). Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Perbankan menyatakan bahwa : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Beberapa pakar hukum memberikan pendapatnya mengenai definisi dari bank. Hermansyah pada dasarnya menyatakan bahwa bank adalah “badan usaha yang
menjalankan
kegiatan
menghimpun
dana
dari
masyarakat
dan
menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”45R. Tjipto Adinugroho memberikan pendapat bahwa : “bank adalah lembaga atau badan yang mempunyai pekerjaan memberikan kredit, menerima kredit berupa simpanan (deposito) disamping mengenai kiriman uang dan sebagainya.”46 O.P Simorangkir
44
Lukman Santoso AZ., 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka Yustisia, Jakarta, h. 25-26 45 Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, edisi revisi, Kencana, Jakarta, h. 8 46 R. Tjipto Adinugroho, 2000, Perbankan dan Masalah Permodalan Dana Potensial, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 15
37
dalam buku Hukum Perbankan karangan Sentosa Sembiring memberikan pengertian, bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa. Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.47 Berdasarkan beberapa pengertian mengenai bank yang telah diuraikan diatas maka dapat diketahui bahwa usaha bank lebih terarah tidak semata - mata memutar uang untuk mencari keuntungan perusahaan, tetapi undang - undang menghendaki agar taraf hidup rakyat dapat ditingkatkan. Hal ini merupakan salah satu tanggung jawab bank dalam rangka mewujudkan cita – cita negara Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, bank tidak boleh terlepas dari kegiatan pembangunan. Setiap kegiatan bank harus berhasil guna, bagi kepentingan masyarakat. 2.1.2
Jenis-Jenis Bank
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang tentang perbankan di Indonesia hanya ada dua jenis bank, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat, dengan variasi adanya bank umum dan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah.48Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5 UU No. 7 Tahun 1992 adapun jenis-jenis Bank menurut fungsinya terdiri dari : 1. Bank Umum
47
Sembiring, Sentosa, 2008, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, h. 1
48
Gunarto Suhardi, 2003, Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, Kanisius, Yogjakarta, h. 26
38
Adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Jenis Bank Berdasarkan kepemilikannya: a. Bank Umum Milik Negara, yaitu Bank yang hanya dapat didirikan berdasarkan undang-undang b. Bank Umum Swasta, yaitu Bank yang didirikan dan menjalankan usaha oleh golongan pengusaha tertentu setelah mendapatkan izin dari menteri keuangan. c. Bank Campuran, yaitu Bank yang didirikan bersama-sama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh WNI atau badan Hukum Indonesia dengan satu atau lebih yang berkedudukan di Luar Negeri d. Bank Pembangunan Daerah, yaitu Bank milik Pemerintah Daerah e. Bank Syariah, yaitu bank yang menerapkan prinsip perbankan berdasarkan Syariah Islam.49 Jenis Bank Menurut Kegiatannya: a. Corporate Bank, adalah bank yang pelayanannya berskala besar 49
http://bankernote.com/jenis-jenis-bank-dan-fungsi-perbankan/, Jenis-Jenis Bank Dan Fungsi Perbankan, diunduh pada 28 Desember 2014
39
b. Retail Bank, adalah bank yang pelayanannya berskala kecil c. Retail Corporate Bank, adalah bank yang pelayanan berskala besar dan kecil Jenis Bank Menurut Status dan Kedudukannya: a.
Bank Devisa, adalah bank yang dalam kegiatan usahanya dapat melakukan transaksi dalam valuta asing, baik dalam hal penghimpunan dan penyaluran dana, serta dalam pemberian jasa-jasa keuangan. Dengan demikian, bank devisa dapat melayani secara langsung transaksi-transaksi dalam skala Internasional
b.
Bank Non Devisa, adalah bank umum yang masih berstatus non devisa hanya dapat melayani transaksi-transaksi di dalam negeri (domestik). Bank umum non devisa dapat meningkatkan statusnya mejadi bank devisa setelah memenuhi ketentuan-ketentuan antara lain: volume usaha minimal mencapai jumlah tertentu, tingkat kesehatan, dan kemampuannya dalam memobilisasi dana, serta memiliki tenaga kerja yang berpengalaman dalam valuta asing.50 Dengan adanya pembagian jenis bank tersebut terjadilah spesialisasi yang
memungkinkan bank untuk lebih mengenal bidang usahanya, yaitu menunjang misi pemerintah dalam mendorong perekonomian. Hal ini dapat dikhususkan untuk membantu orang-orang yang perekonomiannya lemah dan membantu berbagai kesulitan masyarakat yang terdaftar sebagai nasabah bank itu sendiri. Begitu pentingnya dunia perbankan, sehingga ada anggapan bahwa bank
50
ibid
40
merupakan “nyawa” untuk menggerakkan roda perekonomian suatu Negara. Anggapan ini tentunya tidak salah, karena fungsi bank adalah sebagai lembaga keuangan sangatlah vital, misalnya dalam hal penciptaan uang, mengedarkan uang, menyediakan uang untuk menunjang kegiatan usaha, tempat mengamankan uang, tempat melakukan investasi dan jasa keuangan lainya.51 2.1.3 Fungsi dan Prinsip Kegiatan Usaha Bank Pasar keuangan memiliki fungsi penting dalam mentransfer sumber daya perekonomian rumah tangga yang ingin menyimpan sebagian pendapatannya ke rumah tangga dan perusahaan yang ingin meminjam untuk membeli barangbarang investasi yang akan digunakan dalam proses produksi. Proses mentransfer dana dari penabung ke peminjam disebut perantara keuangan (financial intermediation). Banyak lembaga dalam perekonomian bertindak sebagai perantara keuangan, tetapi hanya bank yang memilki otoritas hukum untuk menciptakan aset yang merupakan bagian dari penawaran uang, seperti rekening cek. Karena itu, bank satu-satunya lembaga keuangan yang secara langsung mempengaruhi penawaran uang. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 UU No. 7 Tahun 1992 menyatakan bahwa : “fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.” Sedangkan tujuan dari perbankan Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 7 Tahun 1992
yaitu
:
“Perbankan
Indonesia
bertujuan
menunjang
pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan
51
Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, h. 1-2 (selanjutnya disebut Kasmir I)
41
ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.” Fungsi dan peran bank umum dalam perekonomian sangat penting dan strategis. Bank umum sangat penting dalam hal menopang kekuatan dan kelancaran sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter. Fungsi-fungsi bank umum seperti yang diuraikan di bawah ini menunjukkan pentingnya keberadaan bank umum dalam perekonomian modern: (1) penciptaan uang, (2) mendukung kelancaran mekanisme pembayaran, (3) penghimpunan dana simpanan, (4) mendukung kelancaran transaksi internasional, (5) penyimpanan barang-barang dan surat-surat berharga, (6) pemberian jasa-jasa lainnya. Perbankan nasional mempunyai fungsi dan tujuan dalam kehidupan ekonomi nasional bangsa Indonesia, yaitu: 1. Bank sebagai financial intermediary dengan kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau pemindahan dana masyarakat dari unit surplus kepada unit defisit atau pemindahan uang dari penabung kepada peminjam.52 Fungsi bank sebagai financial intermediary adalah sebagai perantara penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalulintas pembayaran. Dua fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bank juga bertindak sebagai perantara atau penghubung antara nasabah yang satu dan yang lainnya jika keduanya melakukan transaksi. Wujud
52
Gazali, Djoni S., dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 141
42
utama fungsi bank sebagai financial intermediary pada bank-bank swasta tercermin melalui produk jasa yang dihasilkannya antara lain : a. Menerima titipan pengiriman uang, baik dalam maupun luar negeri; b. Melaksanakan jasa pengamanan barang berharga melalui safe deposit box; c. Menghimpun dana melalui giro, tabungan dan deposito; d. Menyalurkan dana melalui pemberian kredit. e. Penjamin emisi bagi perusahaan-perusahaan yang akan menjual sahamnya; f. Mengadakan transaksi pembayaran dengan luar negeri dalam bidang trade financing letter of credit. g. Menjembatani kesenjangan waktu, terutama dalam transaksi valuta asing dan lalu lintas devisa.53 2. Bank memiliki fungsi sebagai penghimpunan dan penyaluran dana dari masyarakat tersebut bertujuan menunjang sebagian tugas penyelenggaraan negara, yakni: 1. Menunjang pembangunan nasional, termasuk pembangunan daerah; bukan melaksanakan misi pembangunan suatu golongan apabila perseorangan; jadi perbankan Indonesia diarahkan untuk menjadi agen pembangunan (agent of development). 2. Dalam rangka mewujudkan trilogi pembangunan nasional, yakni:
53
Ruddy Tri Santoso, 1996, Mengenal Dunia Perbankan, Andy Offset, Yogjakarta, h. 56
43
1) Meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat banyak, bukan kesejahteraan segolongan orang atau perseorangan saja; melainkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. 2) Meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
nasional,
bukan
pertumbuhan ekonomi segolongan orang atau perorangan, melainkan pertumbuhan ekonomi seluruh rakyat Indonesia, termasuk pertumbuhan ekonomi yang diserasikan. 3) Meningkatkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, yakni meningkakan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat banyak, artinya tujuan yang hendak dicapai oleh perbankan nasional adalah meningkatkan pemerataan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan segolongan atau perseorangan saja. 3. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana tersebut diatas maka perbankan Indonesia harus mampu melindungi secara baik apa yang dititipkan oleh masyarakat dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dengan cara : a. Efisien, sehat, wajar dalam persaingan yang sehat yang semakin mengglobal atau mendunia. b.
Menyalurkan dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif bukan konsumtif.
4. Bank juga memiliki fungsi untuk peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada bank, selain melalui penerapan
44
prinsip kehati-hatian. Juga pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank, serta sekaligus berfungsi untuk mencegah terjadinya praktik-praktik yang merugikan kepentingan masyarakat luas.54 Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa fungsi perbankan nasional tidak hanya sebagai wadah penghimpun dan penyalur dana masyarakat atau antara penabung dan peminjam (investor), tetapi fungsinya akan diarahkan kepada peningkatan taraf hidup masyarakat agar menjadi lebih baik dan sejahtera daripada sebelumnya. Kegiatan usaha bank telah diatur dalam ketentuan Pasal 6 hingga Pasal 15 UU Perbankan, pada intinya yaitu : 1. Mengatur kegiatan-kegiatan usaha yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh bank. 2. Kegiatan usaha bank tersebut dibedakan antara Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. 3. Bank umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dan memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkan. Usaha yang dijalankan oleh bank umum lebih luas daripada usaha yang dijalankan Bank Perkreditan Rakyat. Bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah wajib menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya.
54
Gazali, Djoni S., dan Rachmadi Usman, 2010, opcit, , h. 142
45
Kegiatan usaha Bank secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dan kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat. Kegiatan penghimpunan dana dilakukan dalam bentuk tabungan, simpanan dan kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan kegiatan penyaluran dana dilakukan melalui pemberian kredit kepada masyarakat. Sebelum suatu fasilitas kredit diberikan, bank harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya, seperti melalui prosedur penilaian yang benar. 2.1.4
Pengertian dan Dasar Hukum Bank Perkreditan Rakyat
Bank Perkreditan Rakyat (selanjutnya disebut BPR) merupakan perusahaan perbankan yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan bank umum. Eksistensi BPR dimaksudkan secara khusus untuk menjangkau masyarakat dari golongan ekonomi lemah dan pengusaha kecil baik di pedesaan maupun di perkotaan. Dalam hal lainnya, BPR cenderung menerapkan mekanisme pelayanan jasa yang lebih sederhana, tingkat suku bunga yang lebih tinggi, dan bersikap proaktif dalam mencari nasabah dibandingkan dengan bank umum. Menurut Pasal 1 angka 4 UU Perbankan memberi pengertian bahwa: “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
46
Dasar hukum kegiatan operasional usaha BPR di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan, antara lain: a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; c. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 1 Juni 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/1/PBI/2008 tanggal 29 Januari 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. d. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/8/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat. e. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/19/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tanggal 28 Desember 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/19/PBI/2006
tentang
Kualitas
Aktiva
Produktif
dan
Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat.
47
f. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/20/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat. g. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/26/PBI/2006 tanggal 8 Nopember 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat; h. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/14/PBI/2007 tanggal 30 November 2007 tentang Sistem Informasi Debitur. i. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/10/PBI/2008 tanggal 28 Pebruari 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. j. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/13/PBI/2009 tanggal 17 April 2009 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit. k. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/20/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah l. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 8/31/DPBPR tanggal 12 Desember 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat. Kegiatan BPR hanya meliputi kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana saja, bahkan dalam penghimpunan dana, BPR dilarang untuk menerima simpanan giro, begitu pula dalam hal jangkauan wilayah operasi, BPR hanya dibatasi dalam wilayah-wilayah tertentu saja. Selanjutnya pendirian BPR dengan modal awal
48
relatif kecil jika dibandingkan dengan modal awal bank umum. Larangan lainnya bagi BPR adalah tidak diperkenankan ikut kliring serta transaksi valuta asing. 2.1.5
Bentuk Hukum dan Klasifikasi Bank Perkreditan Rakyat
Bentuk hukum dari BPR sebagaimana tercantum dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1992 menyatakan bahwa : (2) bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari : a. Perusahaan Daerah b. Koperasi c. Perseroan Terbatas d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia dan seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya, hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23 UU No. 7 Tahun 1992. Usaha dari Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 7 Tahun 1992 yaitu: a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. Memberikan kredit; c. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah; d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
49
Terdapat beberapa usaha yang dilarang oleh undang-undang untuk dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 14 UU No. 7 Tahun 1992 yaitu: a. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing c. Melakukan penyertaan modal d. Melakukan usaha perasuransian e. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 3 PBI Nomor 8/26/PBI/2006 tanggal 8 Nopember 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat menentukan bahwa : 1. BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Bank Indonesia. 2. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh: a. Warga Negara Indonesia; b. Badan Hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya Warga Negara Indonesia; c. Pemerintah Daerah; atau d. Dua Pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c. Pasal 4 PBI Nomor 8/26/PBI/2006 tanggal 8 Nopember 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat menentukan mengenai modal dasar dari BPR yaitu: 1. Modal setor mendirikan Bank Perkreditan Rakyat paling sedikit sebesar: a. Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah), bagi BPR yang didirikan di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta;
50
b. Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), bagi BPR yang didirikan di Ibukota Propinsi di pulau Jawa dan Bali dan diwilayah Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; c. Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), bagi BPR yang didirikan di Ibukota Propinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan diwilayah pulau Jawa dan Bali diluar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a dan huruf b; d. Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bagi BPR yang didirikan di wilayah lain diluar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf b, dan huruf c. 2. Modal setor bagi BPR yang berbentuk hukum koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam UndangUndang tentang Perkoperasian; Paling sedikit 50 % (lima puluh persen) Klasifikasi dari bentuk lain BPR sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) huruf d UU No. 7 Tahun 1992 dimaksudkan untuk memberikan wadah bagi penyelenggaraan lembaga keuangan yang lebih kecil dari BPR. Bentuk lain tersebut kemudian berkembang menjadi Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP). Berdasarkan pasal 58 UU No. 7 Tahun 1992, keberadaan LDKP yang terdiri dari: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Bank Desa Lumbung Desa Bank Pasar Bank Pegawai Lumbung Pitih Nagari (LPN) Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Badan Kredit Desa (BKD) Badan Kredit Kecamatan (BKK) Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) Bank Karya Produksi Desa (BKPD)
Dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
51
2.2 KREDIT 2.2.1
Pengertian dan Dasar Hukum Kredit
Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan. Istilah kredit berasal dari bahasa latin “credere” yang berarti kepercayaan. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur atau pihak yang memberikan kredit (bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah penerima kredit) mempunyai kepercayaan bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan kredit yang bersangkutan.55 Di Indonesia dasar hukum mengenai pengertian kredit diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 pada ketentuan Pasal 1 angka 11 yang menyatakan bahwa : “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”Mc Leod mendefinisikan pengertian kredit sebagai suatu reputasi yang dimiliki seseorang yang memungkinkan ia bisa memperoleh uang, barang-barang atau tenaga kerja dengan jalan menukarkannya dengan suatu perjanjian untuk membayarnya di suatu waktu yang akan datang.56 Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa kredit adalah penyediaan uang berdasarkan ketentuan atau perjanjian tertentu yang telah disepakati oleh pihak
55
Rachmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 236 56 Rachmat Firdaus dan Arianti Maya, 2009, Manajemen Perkreditan Bank Umum: Teori, Masalah, Kebijakan dan Aplikasi Lengkap Dengan Analisis Kredit, Alfabeta, Bandung, h. 2
52
bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk membayar utangnya pada jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Konsep dari suatu kredit adalah memberikan pinjaman uang untuk digunakan oleh seseorang yang kemudian dikembalikan setelah waktu tertentu berikut bunganya. Pemberian pinjaman tersebut umumnya digunakan untuk modal usaha, berbeda dengan kartu kredit yang memiliki konsep sama namun berbeda tujuan pemberiannya. Pemberian kredit ini dapat dilakukan dengan atau tanpa jaminan, yang mana berupa hipotik, gadai, hak tanggungan, dan fidusia. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko. Resiko ini menyangkut dalam pengembalian kredit tersebut, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat , yaitu : a.
Bank tidak diperbolehkan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis.
b.
Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat
c.
Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham
d.
Bank tidak diperkenankan memberikan kredit melampaui batas maksimum kredit ( legal lending limit ).57
Menurut pendapat Firdaus dan Ariyanti, unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu kredit yaitu:
57
Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 393
53
1. Adanya badan atau orang yang memiliki uang, barang atau jasa yang bersedia untuk meminjamkan kepada pihak lain, orang atau barang demikian lazim disebut kreditur, 2.Adanya pihak yang membutuhkan atau meminjam uang, barang atau jasa, pihak ini lazim disebut debitur, 3.Adanya kepercayaan dari kreditur terhadap debitur, 4.Adanya janji dan kesanggupan membayar dari debitur kepada kreditur, 5.Adanya perbedaan waktu yaitu perbedaan antara saat penyerahan uang, barang atau jasa oleh kreditur dengan pada saat pembayaran kembali dari debitur, 6.Adanya resiko yaitu sebagai akibat dari adanya perbedaan waktu seperti diatas, dimana masa yang akan datang merupakan suatu yang belum pasti, maka kredit itu pada dasarnya mengandung resiko, termasuk penurunan nilai uang karena inflasi dan sebagainya, 7.Adanya bunga yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur (walaupun ada kredit yang tidak berbunga).58 2.2.2
Jenis-Jenis Kredit
Terdapat beberapa jenis kredit yang biasa diberikan bank umum dan bank perkreditan rakyat untuk masyarakat. Jenis kredit yang diberikan oleh bank ini belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang Perbankan. Pengaturan mengenai jenis-jenis kredit dapat ditemukan pada Surat Edaran Bank Indonesia
58
Rachmat Firdaus dan Ariyanti Maya, Op.cit, h. 3
54
Nomor 30/4/KEP/DIR tentang pemberian kredit usaha kecil tanggal 4 April 1997, adapun jenis-jenis kredit dimaksud yaitu: 1. Kredit Investasi Biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau membangun proyek (pabrik) baru. Contoh kredit investasi misalnya untuk membangun pabrik atau membeli mesin-mesin. 2. Kredit Modal Kerja Digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya. Contoh kredit modal kerja dibelikan untuk membeli bahan baku, membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lain yang berkaitan dengan proses produksi perusahaan. Perkembangan kredit saat ini memang sudah jauh dari bentuk awalnya, terutama karena berbagai kebutuhan manusia yang semakin beragam. Salah satu bukti perkembangan kredit tersebut dapat dilihat melalui jenis-jenis kredit yang dikenal saat ini. Begitu banyaknya jenis kredit memperlihatkan begitu eratnya eksistensi kredit dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Sebenarnya perkembangan jenis kredit tersebut tidak dapat dipisahkan dari kebijakan perkreditan yang ditetapkan sesuai dengan tujuan pembangunan.59Kredit dapat dibedakan menurut kriteria lembaga pemberi dan penerima kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis kredit terdiri dari:
59
Muhamad Djumhana, Op.cit, h. 233
55
a. Kredit Perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa. b. Kredit Likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai perkreditannya. c. Kredit Langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pengadaan barang.60 Dilihat dari segi tujuan kredit dapat dibedakan menjadi: a. Kredit Produktif Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa. Sebagai contohnya kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan menghasilkan produk pertanian atau kredit pertambangan menghasilkan bahan tambang atau kredit industri lainnya. b. Kredit Konsumtif Kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, karena memang
60
Muhamad Djumhana, Op.cit, h. 221-224
56
untuk digunakan atau dipakai seseorang atau badan usaha. Sebagai contoh: kredit perumahan, kredit mobil pribadi, kredit perabotan rumah tangga, dan kredit konsumtif lainnya. c. Kredit Perdagangan Kredit yang digunakan untuk perdagangan, biasanya untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. Kredit ini sering diberikan kepada suplier atau agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar. Contohnya: kredit ekspor dan impor.61 Dari segi jangka waktunya, kredit dapat dibagi menjadi: a. Kredit jangka pendek Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun atau paling lama 1 (satu) tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja. b. Kredit jangka menengah Jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun, biasanya untuk investasi. c. Kredit jangka panjang Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang. Kredit jangka panjang waktu pengembaliannya di atas 3 tahun atau 5 tahun.
61
Kasmir, 2008, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Kasmir II) h. 104
57
2.2.3
Fungsi dan Asas-Asas Pemberian Kredit
Prinsip-prinsip pemberian kredit perbankan menurut Pasal 8 ayat (1) UndangUndang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan: Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Prinsip-prinsip pemberian kredit lebih lanjut dinyatakan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, menentukan bahwa: Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan,modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur. Pemberian kredit dalam praktek perbankan haruslah didasarkan pada keyakinan. Dalam melakukan kriteria penilaian kredit bank melakukan analisis 5C dan 7P. Unsur 5 C’s sebagai dasar dalam pemberian kredit meliputi: 1. Penilaian watak/kepribadian (character) Suatu keyakinan bahwa, sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar belakang si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun bersifat pribadi seperti gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga,
58
hobby dan sosial standingnya, yang merupakan ukuran “kemampuan” membayar62. 2. Penilaian kemampuan (capacity) Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya. 3. Penilaian terhadap modal (capital) Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debitur yang bersangkutan. Dalam praktek selama ini bank jarang sekali memberikan kredit untuk membiayai seluruh dana yang diperlukan nasabah. Nasabah wajib menyediakan modal sendiri, sedangkan kekurangannya itu dapat dibiayai dengan kredit bank. Bank fungsinya hanya menyediakan tambahan modal, dan biasanya lebih sedikit dari pokoknya.63 4. Penilaian terhadap agunan (collateral) Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya sehingga jika terjadi 62
Ibid, h. 109 Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta, h. 33-34 63
59
suatu masalah maka jaminan yang dititipkan dapat dipergunakan secepat mungkin. 5. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy) Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta prospek usaha dari sektor yang ia jalankan. Penilaian prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.64 Bank dalam memberikan kredit, selain menerapkan prinsip 5 C’s, juga hendaknya menerapkan prinsip lainnya yang dinamakan dengan prinsip 7P yang terdiri atas: 1. Personality Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun dimasa lalunya. Personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah. 2. Party Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi atau golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya. Sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas yang berbeda dari bank.
64
Kasmir II, Op.cit, h. 109-110
60
3. Purpose Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit, termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah.Tujuan pengambilan kredit dapat bermacam-macam. Sebagai contoh untuk modal kerja atau investasi, konsumtif atau produktif dan lain sebagainya. 4. Prospect Yaitu untuk menilai usaha nasabah dimasa yang akan datang menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek bukan hanya bank yang rugi, tetapi juga nasabah. 5. Payment Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitur, akan semakin baik. Dengan demikian, jika salah satu usahanya merugi akan dapat ditutupi oleh sector lainnya. 6. Profitability Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau semakin meningkat, apalagi dengan diperolehnya.
ditambah kredit yang akan
61
7. Protection Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.65 Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa dalam pemberian kredit menerapkan beberapa prinsip-prinsip yang terdiri dari prinsip 5C yang terdiri dari: character, capacity, capital, collateral, condition of economy, dan prinsip 7P yang terdiri dari: personality, party, purpose, payment, profitability, protection, prospect. Prinsip-prinsip ini berguna bagi pihak bank dalam memperhitungkan kemampuan pembayaran kredit oleh debitur. 2.2.4
Resiko Dalam Pemberian Kredit
Resiko sering ditemui dalam aktifitas kehidupan manusia, dimana setiap melakukan perbuatan atau usahanya manusia itu seringkali menemui hal-hal tertentu yang tidak diharapkan yang menimbulkan kerugian dan di luar kemampuan manusia itu untuk mengatasinya. Terlepas apakah kerugian tersebut terjadi disebabkan oleh keadaan atau peristiwa yang merupakan kesalahannya sendiri atau tidak, tetapi yang jelas hal itu memaksanya untuk memikul akibat atau kerugian tersebut. Dalam hukum perdata, pengertian yuridis mengenai resiko selalu dihubungkan dengan orang atau pihak lain serta mempunyai tempat khusus di dalam hukum perjanjian, karena timbulnya resiko di dalam suatu perjanjian selalu mengakibatkan atau menimbulkan persoalan tentang siapakah yang wajib memikul kerugian yang timbul di dalam suatu perjanjian itu.
65
Ibid, h. 110-111
62
Persoalan mengenai resiko menjadi semakin pelik karena ketentuan dalam Buku III KUHPerdata yang ditujukan untuk mengaturnya tidak memenuhi kebutuhan dalam arti menimbulkan keganjilan dan ketidakadilan apabila diterapkan. Juga oleh karena Buku III KUHperdata menganut sistem terbuka, sehingga dibuka kemungkinan untuk membuat perjanjian selain dari yang dikenal dalam KUHPerdata, seperti perjanjian kredit bank yang banyak ditemukan di masyarakat, tentunya akan menimbulkan permasalahan bagaimana membebankan tanggungjawab atau resiko yang timbul dalam perjanjian tersebut. Resiko terhadap bank dalam hal pemberian kredit itu sendiri dapat berupa: a. Credit Risk yang sangat mendasar dari semua product market risk suatu bank karena risiko ini merupakan erosi nilai (erosion of value) yang disebabkan oleh terjadinya wanprestasi atau nonpayment dari debitur. Jadi debitur tidak mau atau tidak mampu memenuhi kewajiban membayar bunga dan utang pokok atau angsuran utang pokok kreditnya atau “tidak prospek mampu untuk membayar" (tidak memperlihatkan tanda-tanda mampu membayar karena gagal usaha). b. Strategic (Bussines) Risk yaitu risiko yang meliputi seluruh bidang usaha, berupa kemungkinan kalah bersaing atau sudah ketinggalan dalam bersaing. Dapat pula terjadi bahwa sebuah bank tidak siap atau tidak sanggup bersaing atas line of business yang baru, seperti halnya credit card dimana bank tersebut terhambat memasuki bidang ini. c. Regulatory Risk yaitu risiko yang berkaitan dengan berbagai peraturan atau perundang-undangan yang menjadi rambu-rambu kegiatan perbankan.
63
d. Operating Risk, yaitu risiko yang banyak kaitannya dengan sistem dan prosedur, yang kurang layak atau tepat dan mungkin menyebabkan kerugian atau menurunkan nilai services yang diberikan kepada nasabah. e. Commodity Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan harga-harga commodity. Harga komoditas mempunyai pengaruh besar terhadap kegiatan perbankan dan kegiatan lembaga keuangan lainnya, yang sulit dideteksi dan diketahui terlebih dahulu (unpredictable). f. Human Resources Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan faktor kelemahan atau kesalahan yang ditimbulkan tindakan manusia. Risiko ini sukar diukur karena risiko atas nilai-nilai kemanusiaan tidak bersifat nyata. Risiko ini dapat diatasi dengan recruitment terpilih, pelatihan professional, penanaman motivasi dan pembinaan daya tahan. g. Legal Risk, yaitu risiko yang timbul dari legal system yang dapat menghapuskan atau mengurangi nilai para pemegang saham bank karena adanya tuntutan hukum kepada bank oleh debitur.66 Kedudukan bank apabila dilihat sebelum kredit diberikan kepada nasabah memang memiliki kedudukan yang lebih kuat daripada debitur, namun kedudukan bank setelah kredit tersebut dicairkan kepada debitur tergantung dari integritas nasabah debitur. Selain resiko yang dapat terjadi pada bank dalam pemberian kredit, pihak nasabah sebagai debitur juga memiliki resiko dalam perjanjian kredit. Dalam masyarakat terkesan bahwa hubungan antara bank dan nasabah debitur bahwa 66
Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, h. 183-185
64
bank selalu berada di posisi yang lebih kuat. Pada saat kredit akan diberikan pada umumnya bank memang berada pada posisi yang lebih kuat daripada debitur. Hal ini karena pada saat pembuatan perjanjian itu, nasabah debitur sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. Umumnya calon nasabah debitur tidak akan banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan oleh bank. Hal ini menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi sangat kuat.67 2.2.5
Kredit Bermasalah atau Kredit Macet
Kasus kredit macet dalam dunia perbankan bukanlah hal yang baru karena kredit macet sudah menjadi resiko perbankan sejak lama. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 merupakan salah satu andil terjadinya kredit macet dalam dunia perbankan yang harus dibayar mahal dengan obligasi rekapitalisasi dan menjadi beban ekonomi hingga saat ini.68 Bank harus memiliki keyakinan bahwa kredit yang diberikannya kepada pihak nasabah dapat dilunasi kembali pada waktunya dan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah atau macet.69 Kredit macet terdiri dari dua kata yakni kredit dan macet. Yang dimaksud dengan kredit adalah pinjaman uang secara mengangsur. Sedangkan macet berarti tersendat, terhenti atau tidak lancar. Pengertian kedua kata tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kredit macet adalah sejumlah pinjaman
67
ibid, h. 187-188 Eko B. Supriyanto, 2007, Sepuluh Tahun Krisis Moneter : Kesiapan Menghadapi Krisis Kedua, Info Bank Publishing, Jakarta, h. 10 69 Ibid, h. 25 68
65
oleh nasabah kepada bank dimana pelunasannya dilakukan secara tersendat-sendat dan bahkan sampai keadaan terhenti (macet).70 Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia No. 2/15/PBI/2000 tentang Restrukturisasi Kredit dapat diketahui bahwa Suatu kredit disebut bermasalah dengan klasifikasi antara lain tergolong sebagai kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet. Istilah kredit bermasalah telah digunakan dalam dunia perbankan Indonesia yang berasal dari terjemahan Problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim digunakan di dunia Internasional. Suatu kredit disebut macet sejak tidak ditepatinya atau tidak dipenuhinya ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kredit yaitu apabila debitur selama tiga kali berturut-turut tidak membayar angsuran dan bunganya. Untuk menentukan apakah suatu kredit disebut bermasalah atau macet harus didasarkan pada kolektabilitas kreditnya. Kolektabilitas adalah keadaan pembayaran pokok atau angsuran dan bunga kredit oleh debitur serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana tersebut.71 Suatu kredit disebut sebagai kredit macet yaitu dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar dan diragukan
70
Brahmantyo Djohanputro, 2007, Laporan Penelitian: Non Performing Loan (NPL), Bank Indonesia, Jakarta, h.6 71 Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia pustaka Utama, Jakarta, h. 355
66
2. Memenuhi kriteria diragukan, tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan kredit. 3. Kredit tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang Negara atau diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.72 Kredit macet mempunyai dampak negatif bagi kedua belah pihak. Bagi nasabah, dalam hal ini nasabah yang masih beritikad baik, artinya kredit macet terjadi bukan disengaja, kredit macet berarti ia harus menanggung beban kewajiban yang cukup berat terhadap bank. Karena bunga tetap dihitung terus selama
kredit
belum
dilunasi.
Mengingat
setiap
pinjaman
dari
bank
(konvensional) mengandung bunga, maka jumlah kewajiban nasabah semakin lama akan semakin bertambah besar. Sedangkan bagi bank, dampaknya lebih serius karena selain dana yang disalurkan untuk kredit berasal dari masyarakat, kredit macet juga mengakibatkan bank kekurangan dana sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Bank yang terganggu kesehatannya, akan sulit melayani permintaan nasabah, seperti permohonan kredit, penarikan tabungan, dan deposito. Keadaan yang demikian akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank hingga menjadi berkurang. Bahkan bukannya tidak mungkin izin usaha bank dicabut pemerintah dan dilikuidasi.
72
Ibid, h. 285
67
2.3 JAMINAN FIDUSIA 2.3.1
Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan Fidusia
Jaminan menurut sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu jaminan yang bersifat umum dan jaminan yang bersifat khusus. Jaminan yang bersifat umum diberikan untuk kepentingan semua kreditor dan menyangkut semua harta debitor, seperti yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Sedangkan jaminan yang bersifat khusus, merupakan jaminan dalam bentuk penunjukan atau penyerahan barang tertentu secara khusus sebagai jaminan atas pelunasan kewajiban atau utang debitor kepada kreditor tertentu dan hanya berlaku untuk kreditor tertentu juga, baik secara kebendaan maupun perorangan.73 Fidusia merupakan lembaga jaminan yang sudah lama dikenal dalam masyarakat Romawi yang berakar dari hukum kebiasaan, kemudian lahir dalam yurisprudensi dan sekarang ini diformalkan dalam Undang-Undang. Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law. Fidusia berasal dari kata fiduciair atau fides yang berarti kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditor. Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia (kreditor) terhadap kreditor lainnya.74
73
A.A. Andi Prajitno, 2009, Hukum Fidusia Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, Bayu Media Publishing, Malang, h. 46 74
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 150-
151
68
Fidusia dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa Fiduciare Eigendoms Overdracht (FEO), sedangkan dalam bahasa Inggrisnya secara lengkap sering disebut istilah Fiduciary Transfer of Ownership.75 Black’s Law Dictionary memberi pengertian mengenai Fiduciary Contract, yaitu:“an agreement by which a person delivers a thing to another on the condition that he will restore to him.”76Lebih lanjut mengenai Fiduciary Relation, Black’s Law Dictionary memberi definisi sebagai berikut:“A relation substisting between two persons in regard to a business, contract, or a piece of property, or in regard to the general business or estate or of one of them, of such a character that each must repose trust and confidence in the other and must exercise a corresponding degree of fairness and good faith.”77Dari pengertian yang diungkapkan diatas dapat diketahui bahwa suatu hubungan yang hidup diantara dua orang berkaitan dengan bisnis, kontrak, atau potongan properti atau mengenai rumusan umum atau estate atau salah satu dari mereka, suatu karakteristik yang masing-masing harus meletakkan kepercayaan dan keyakinan satu dengan lainnya dan harus melatih tingkat keadilan dan iktikad yang baik dalam hubungan yang baik. Dasar Hukum Jaminan Fidusia sebelum ditetapkannya UUJF yaitu diatur dalam yurisprudensi arrest HGH tanggal 18 Agustus 1932 tentang perkara B.P.M 75
Munir Fuady, 2000, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 3 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, Minn., page 625 76
77
Ibid, page 626
69
melawan Clygnett.78Dengan masuknya penggunaan jaminan fidusia yang semakin banyak dan berkembang di Indonesia maka ditetapkanlah Undang-Undang Jaminan Fidusia. Pada Pasal 1 angka 1 UUJF yang menyatakan bahwa : “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Dari pengertian mengenai fidusia diatas, terdapat 3 (tiga) unsur dalam fidusia yaitu : 1.
Pengalihan hak kepemilikan suatu benda
2.
Dilakukan atas dasar kepercayaan
3.
Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Jaminan fidusia merupakan perjanjian yang khusus diadakan antara debitor dengan kreditor untuk memperjanjikan hal-hal sebagai berikut: 1. Jaminan yang bersifat kebendaan, yaitu adanya benda tertentu yang dijadikan agunan. 2. Jaminan yang bersifat perorangan atau persoonlijk yaitu adanya orang tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi debitor jika debitor cidera janji.79 Jaminan Fidusia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UUJF adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan 78
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 111 79 A.A. Andi Prajitno, Loc.cit
70
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. 2.3.2
Obyek dan Subyek Jaminan Fidusia
(a) Obyek Jaminan Fidusia Sebelum diberlakukannya UUJF sebagai ketentuan yang mengatur mengenai jaminan fidusia secara lebih spesifik maka yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu itu adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor. Setelah berlakunya UUJF, maka obyek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas. Berdasarkan undang-undang ini, obyek jaminan fidusia dibagi 2 (dua) macam, yaitu : benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud; dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Ketentuan mengenai objek jaminan fidusia diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 UUJF, sehingga dapat diketahui bendabenda yang menjadi objek jaminan fidusia yaitu: 1. Benda yang dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum 2. Dapat berupa benda berwujud 3. Benda berwujud termasuk piutang 4. Benda bergerak 5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan Hak Tanggungan atau hipotek 6. Baik benda yang ada ataupun akan diperoleh kemudian
71
7. Dapat atas satu satuan jenis benda 8. Termasuk hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia 9. Benda persediaan.80 Lebih lanjut secara spesifik benda-benda yang dapat dijaminkan secara fidusia yaitu sebagai berikut: 1) Benda bergerak berwujud, contohnya: a. Kendaraan bermotor seperti mobil, bus, truck, sepeda motor dan lain-lainnya. b. Mesin-mesin pabrik yang tidak melekat pada tanah/ bangunan pabrik c. Alat-afat inventaris kantor Perhiasan d. Persediaan barang atau inventory, stock barang, stock barang dagangan dengan daftar mutasi barang. e. Kapal laut berukuran dibawah 20 f. Perkakas rumah tangga seperti mebel, radio, televisi, almari es, mesin jahit. g. Alat-alat pertanian seperti traktor pembajak sawah, mesin penyedot air dan lain-lain. 2) Barang bergerak tidak berwujud, contohnya: a. Wesel b. Sertifikat deposito c. Saham
80
Munir Fuady, Op.cit, h. 23
72
d. Obligasi e. Konosemen f. Piutang yang diperoleh pada saat jaminan diberikan atau yang diperoleh kemudian. g. Deposito berjangka. 3) Hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan baik benda bergerak berwujud atau benda bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. 4) Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia diasuransikan. 5) Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara (UU No. 16 tahun 1985) dan bangunan rumah yang dibangun diatas tanah oranglain sesuai pasal 15 UU No. 5 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. 6) Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun piutang yang diperoleh dikemudian hari. (b) Subyek Jaminan Fidusia Subyek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia dan badan hukum. Pada masa sekarang manusia adalah subyek hukum disamping badan hukum.81Subyek Jaminan Fidusia adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian/akta Jaminan Fidusia yaitu Pemberi Fidusia dan Penerima 81
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta,
h. 242
73
Fidusia. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Pemberi fidusia bisa debitur sendiri atau pihak lain bukan debitur. Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Penerima fidusia adalah kreditur (pemberi pinjaman), bisa bank sebagai pemberi kredit atau orang perorangan atau badan hukum yang memberi pinjaman. Penerima fidusia memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan utang yang diambil dari nilai obyek fidusia dengan cara menjual oleh kreditur sendiri atau melalui pelelangan umum.82 2.3.3
Asas-Asas Pokok Jaminan Fidusia
Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah insure pengaman kredit bank, yang dilahirkan dengan diawali oleh perjanjian kredit bank. Hal ini melihat bahwa perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter assessor, yang dianut oleh UUJF, di dalam pemberian perjanjian jaminan selalu diikuti dengan adanya perjanjian yang mendahului yaitu perjanjian utang – piutang yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian jaminan ini tidak dapat berdiri sendiri, perjanjian ini harus mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok berakhir maka perjanjian jaminan juga akan berakhir. Sebagai salah satu perjanjian assessoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.
82
Purwahid Patrik dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Universitas Diponegoro, Semarang, h. 39
74
Mengenai asas-asas dalam hukum jaminan, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa asas penting diantaranya yaitu: 1. Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar; 2. Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu; 3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. 4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai; 5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dan yang
75
bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.83 Asas-asas
hukum
jaminan juga dikemukakan oleh Mariam
Darus
Badrulzaman yang menyatakan bahwa Asas-asas itu meliputi asas filosofis, asas konstitusional, asas politis, dan asas operasional (konkret) yang bersifat umum. Asas operasional dibagi menjadi asas sistem tertutup, asas absolut, asas mengikuti benda, asas publisitas, asas spesialitet, asas totalitas, asas asessi perlekatan, asas konsistensi, asas pemisahan horizontal, dan asas perlindungan hukum. H. Salim H.S., dalam bukunya Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia mencoba memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai asas-asas sebagaimana dipaparkan oleh Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut: 1) Asas filosofis, yaitu asas di mana semua peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia harus didasarkan pada falsafah yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu Pancasila; 2) Asas konstitusional, yaitu asas di mana semua peraturan perundangundangan dibuat dan disahkan oleh pembentuk undang-undang harus didasarkan pada hukum dasar (konstitusi). Hukum dasar yang berlaku di Indonesia, yaitu UUD 1945. Apabila undang-undang yang dibuat dan disahkan tersebut bertentangan dengan konstitusi, undang-undang tersebut harus dicabut; 3) Asas politis, yaitu asas di mana segala kebijakan dan teknik di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan didasarkan pada Tap MPR; 83
H. Salim, H.S., 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 9
76
4) Asas operasional (konkret) yang bersifat umum merupakan asas yang dapat digunakan dalam pelaksanaan pembebanan jaminan.84 Asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut : 1) Pertama, asas bahwa kreditor penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditor yang diutamakan dari kreditor lainnya. Terdapat pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia. 2) Kedua, asas bahwa dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan dan bukan hak perorangan. 3) Ketiga, asas bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut dengan asas asessoritas. Asas ini mengandung arti bahwa keberadaan Jaminan Fidusia dibentuk oleh perjanjian lain yaitu perjanjian utama atau perjanjian pokok. 4) Keempat, asas bahwa Jaminan Fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru yang akan ada (kontinjen). Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa objek Jaminan Fidusia dapat dibebankan kepada utang yang telah ada dan yang akan ada. Jaminan atas utang yang akan ada mengandung arti bahwa pada saat dibuatnya akta Jaminan Fidusia, utang tersebut belum ada tetapi sudah diperjanjikan sebelumnya dalam jaminan tertentu.85
84
Ibid, h. 10-11 Tan Kamello, 2004, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT. Alumni, Medan, h. 165 85
77
Jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam UUJF mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: 1. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir. Seperti sifat-sifat jaminan pada umumnya, Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya Jaminan Fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya. Perjanjian pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajiban para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sifat accessoir dari Jaminan Fidusia ini berdasarkan pada pasal 4 UUJF yang menegaskan: “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi.” Pasal 25 UUJF juga menegaskan bahwa “Jaminan Fidusia hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.” 2. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite. Jaminan Fidusia memiliki sifat Droit De Suite ini mengikuti sifat droit de suite seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan Fidusia yang memiliki sifat droit de suite artinya penerima Jaminan Fidusia/Kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam tangan
78
siapapun benda itu berada. Namun sifat ini dikecualikan untuk obyek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory). Obyek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan dalam dunia perdagangan dapat dijual setiap saat karena benda persediaan tersebut merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk diperdagangkan. 3. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent. Kreditur sebagai penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan, (preferent) terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya maka kreditur penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut. 4. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada. Fungsi Jaminan Fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang yang besarnya sudah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai pasal 7 UU Fidusia yaitu: a. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitur sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau bukti lainnya yang dikeluarkan Bank. Rekening koran yang
79
diterbitkan Bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil yang ada yang dijamin pelunasannya dengan Jaminan fidusia. b. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan Bank Garansi. Utang ini merupakan utang yang akan ada karena terjadinya dimasa akan datang tetapi jumlahnva utang sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar Bank Garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima Bank Garansi (pihak yang dijamin). c. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi. Pada saat eksekusi terhadap Jaminan fidusia, kreditur akan menentukan jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian kredit atau rekening koran yang meliputi penarikan hutang pokok, bunga, denda keterlambatan dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan kreditur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi.86 5. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang. Pasal 8 UUJF menegaskan bahwa: Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini maka benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa kreditur. Dari penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud lebih dari satu penerima fidusia atau lebih dari satu kreditur hanya berlaku dalam rangka pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang kreditur secara bersama-sama dengan Kreditur lain (secara konsorsium atau sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit. Jaminan Fidusia yang diberikan debitur digunakan untuk menjamin kepada semua kreditur itu secara bersama. Antara kreditur satu dengan kreditur 86
Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 209
80
lainnya mempunyai kedudukan yang sama atas jaminan Fidusia, tidak ada kreditur yang memiliki peringkat yang lebih tinggi dibanding debitur lain. 6. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial. Kreditur sebagai penerima Fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan: Pasal 15 ayat 3 yang menegaskan bahwa “Apabila debitur cidera janji, kreditur sebagai Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia atas kekuasaan sendiri. Hak untuk menjual obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 7. Jaminan Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas. Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek Jaminan Fidusia. Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia harus diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam Akta Jaminan Fidusia. Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang merupakan akta pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk benda-benda yang dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah
81
Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. 8. Jaminan Fidusia berisi hak untuk melunasi utang. Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang menjamin pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan juga memiliki sifat ini. Sifat ini sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan tersebut bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki kreditur. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang kreditur. 9. Jaminan Fidusia meliputi hasil benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dan klaim asuransi. Sifat ini sangat menguntungkan kepentingan Kreditur karena obyek jaminan fidusia menjadi lebih luas bukan hanya benda-benda saja tetapi meliputi hasil dari pemanfaatan atau pengelolaan dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia termasuk klaim asuransi jika benda yang menjadi obyek jaminan fidusia di asuransikan (vide pasal 10 UU Fidusia). 10. Obyek Jaminan Fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud dan tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan serta benda-benda yang diperoleh di kemudian hari.87
87
ibid, h. 211
82
2.3.4
Pembebanan dan Pendaftaran Jaminan Fidusia
Pengaturan mengenai pembebanan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 4 hingga Pasal 10 UUJF. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 UUJF dapat diketahui bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Prestasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Pembebanan
dan pendaftaran jaminan fidusia secara garis besar dibagi
menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu: (a) Pertama, dibuatnya perjanjian pokok dalam bentuk perjanjian kredit atau perjanjian hutang piutang. Perjanjian kredit ini dapat juga dibuat dengan akta dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak yaitu kreditur dengan debitur, ataupun dengan akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan notaris. Tahapan ini merupakan perwujudan dari sifat jaminan fidusia yang bersifat accesoir, yang berarti pembebanan jaminan fidusia merupakan ikutan dari perjanjian pokoknya. Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia, dikatakan bahwa jaminan fidusia merupakan
perjanjian
ikutan
dari
suatu
perjanjian
pokok
yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi.88 (b) Kedua, tahapan pembebanan objek jaminan fidusia. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 5 UUJF ditentukan bahwa : “Pembebanan benda
88
ibid, h. 214
83
dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia “. Akta notaris tersebut merupakan Akta Jaminan Fidusia yang didalamnya mencantumkan hari, tanggal dan waktu pembuatan akta tersebut. Akta jaminan fidusia ini sekurangkurangnya harus memuat tentang : 1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia yang meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal atau tempat kedudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan. 2. Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia mengenai jenis perjanjian dan hutang yang dijamin dengan fidusia. 3. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut dan dijelaskan mengenai bukti kepemilikannya. 4. Nilai penjaminan yaitu kreditur sebagai penerima fidusia harus menentukan berapa nilai penjaminan yang harus ditetapkan dalam Akta Jaminan Fidusia. Nilai penjaminan adalah penetapan jumlah hutang dengan jaminan fidusia, yang tercantum dalam Akta Jaminan Fidusia yang ditetapkan oleh kreditur dengan memperhitungkan jumlah hutang pokok, bunga, denda dan biaya-biaya lainnya.
84
5. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus ditentukan berapa nilainya atau harganya.89 (c) Ketiga, tahapan pendaftaran jaminan fidusia. Akta jaminan fidusia kemudian didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UUJF yang menentukan bahwa “benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.” Tujuan dari pendaftaran fidusia ini adalah melahirkan jaminan fidusia bagi penerima fidusia, memberikan kepastian kepada kreditor lain mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadapp kreditor dan untuk memenuhi asas publisitas karena kantor pendaftaran terbuka untuk umum.90 Permohonan pendaftaran dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, yang meliputi : a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia; b. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia; c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jamianan fidusia; e. Nilai penjaminan, dan 89
Ibid, 215 Purwahid Patrik dan Kashadi, Loc.cit
90
85
f. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.91 Setelah pendaftaran dilakukan maka Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan
permohonan
pendaftaran
untuk
melakukan
pengecekan data setelah dilakukan pendaftaran, kemudian kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada penerima fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran fidusia. Sebagai bukti bahwa kreditor yang bersangkutan merupakan penerima jaminan fidusia yaitu dengan diterbitkannya Sertipikat Jaminan Fidusia oleh Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertipikat ini adalah salinan Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang sama dengan data dan keterangan yang ada pada saat peryataan pendaftaran. Adapun dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat Jaminan Fidusia ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu pula,apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. “kekuatan eksekutorial” yang dimaksud adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Inilah
91
Purwahid Patrik dan Kashadi, Op.cit, h. 42
86
yang menjadi salah satu ciri jaminan fidusia yaitu memberi kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya apabila pihak Pemberi Fidusia cidera janji. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 UUJF bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberian fidusia kepada lebih dari satu Penerima Fidusia dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium. Yang dimaksud dengan ”kuasa” dalam ketentuan ini adalah orang yang mendapat kuasa khusus dari Penerima Fidusia untuk mewakili kepentingannya dalam penerimaan Jaminan fidusia dari Pemberi Fidusia. Sedangkan yang dimaksud dengan ”wakil” adalah orang yang secara hukum dianggap mewakili Penerima fidusia dalam penerimaan Jaminan fidusia, misalnya wali amanat dalam mewakili kepentingan pemegang obligasi. Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 UUJF. Ini berarti benda tersebut demi hukum akan dibebani dengan Jaminan fidusia pada saat benda dimaksud menjadi milik Pemberi Fidusia. Pembebanan tersebut tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Hal ini karena atas benda tersebut sudah dilakukan pengalihan hak kepemilikan ”sekarang untuk nantinya” . Ketentuan ini secara tegas memperbolehkan Jaminan Fidusia mencakup Benda yang dapat dibebani Jaminan Fidusia bagi pelunasan utang. Apabila dikemudian hari terjadi perubahan mengenai hal-hal yang sebelumnya tercantum dalam Sertipikat Jaminan Fidusia, maka Penerima Fidusia
87
diwajibkan untuk mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan pencatatan perubahan tersebut dalam buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan perubahan dan menerbitkan Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertipikat Jaminan Fidusia. Perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia ini, harus diberitahukan kepada para pihak. Perubahan ini sendiri tidak perlu dilakukan dengan akta notaris dalam rangka efisiensi untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha.