BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Premedikasi Dengan kemajuan teknik anestesi saat ini, tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk mempermudah induksi ataupun mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan namun yang terpenting adalah mengurangi resiko morbiditas perioperatif sehingga akan mempercepat proses pemulihan setelah anestesi dan pembedahan. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Premedikasi dapat menggunakan satu obat atau kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi itu sendiri (Mangku G dkk., 2010). Tujuan pemberian premedikasi antara lain : 1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa takut, cemas, bebas nyeri, dan mencegah mual-muntah. Kunjungan preanestesi dan pemberian simpati serta sedikit pengertian dalam masalah yang dihadapi pasien seringkali membantu pasien dalam mengatasi rasa sakit dan khawatir dalam menghadapi operasi. 2. Memperlancar induksi anestesi; Pemberian obat sedasi dapat menurunkan aktifitas mental sehingga imajinasi menjadi tumpul dan reaksi terhadap
8
9
rangsangan berkurang. Obat sedasi dan ansiolisis dapat membebaskan rasa takut dan kecemasan pasien. 3. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan bronkus ; Sekresi dapat terjadi selama tindakan pembedahan dan anestesi, dapat dirangsang oleh suctioning
atau
pemasangan
pipa
endotrakthea.
Obat
golongan
antikholinergik seperti atropin dan scopolamin dapat mengurangi sekresi saluran nafas. 4. Mengurangi kebutuhan/dosis obat anestesi; tujuan premedikasi untuk mengurangi metabolisme basal sehingga induksi dan pemeliharaan anestesi menjadi lebih mudah dan diperlukan obat-obatan lebih sedikit sehingga pasien akan sadar lebih cepat. 5. Mengurangi mual dan muntah paska operasi, tindakan pembedahan dan pemberian obat opioid dapat merangsang terjadinya mual dan muntah, sehingga diperlukan pemberian obat yang dapat menekan respon mual, muntah seperti golongan antihistamine, kortikosteroid, agonis dopamine atau alpha-2 agonis. 6. Menimbulkan amnesia; obat golongan benzodiazepin banyak digunakan karena efeknya di sistem saraf pusat pada sistem limbik dan ARAS sehingga mempunyai efek sedasi, anti cemas dan menimbulkan amnesia anterograde. 7. Mengurangi isi cairan lambung dan meningkatkan PH asam lambung; puasa dan kecemasan dapat meningkatkan sekresi asam lambung, hal ini akan
10
sangat berbahaya apabila terjadi aspirasi dari asam lambung yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonitis aspirasi atau sindrom mendelson, oleh karena itu pemberian obat yang dapat mengurangi isi cairan lambung serta menurunkan PH lambung dapat dipertimbangan pada pasien. 8.Mengurangi refleks yang tidak diinginkan; trauma pembedahan dapat menyebabkan bagian tubuh bergerak, bila anestesi tidak adekuat sehingga pemberian obat analgesia dapat ditambahkan sebelum pembedahan Obat-obat yang biasa digunakan sebagai obat premedikasi antara lain: Obat golongan sedasi, anti kholinergik, analgetik narkotik (Mangku G dkk., 2010). 2.2 Clonidine Clonidine adalah derivate imidazolin, merupakan suatu alpha-2 adrenergik agonis. Clonidine dibuat pada awal tahun 1970 digunakan sebagai nasal decongestant dan obat antihipertensi. Clonidine adalah parsial selektif alpha-2 adrenergik agonis (dengan perbandingan selektifitas alpha-2 terhadap alpha 1 adalah 200 : 1), selektifitasnya dipengaruhi oleh dosis dan kecepatan pemberian. Clonidine bekerja sebagai obat anti hipertensi dengan menurunkan respon simpatis dari sistem saraf pusat (SSP). Efek lain dari obat golongan alpha-2 adrenergik agonis clonidine antara lain : efek sedasi, analgesia, anti cemas, menurunkan kebutuhan obat anestesi, mempertahankan kestabilan hemodinamik perioperatif dan kestabilan simpatoadrenal (Kimibayasi dan Maze, 2000). Modulasi reseptor alpha-2 di medulla spinalis akan menghasilkan efek analgesia. Pemberian dosis besar dengan pemberian cepat akan menyebabkan rangsangan pada reseptor α1 dan α2. Clonidine mengatur antinosiseptif perifer, supraspinal,
11
dan terutama mekanisme medula spinalis yang mencakup aktivasi reseptor α2 postsinaptik dari jaras desending noradrenergik, neuron kholinergik serta pelepasan nitrit oksida. Struktur kimia
Gambar 2.1 Struktur kimia clonidine hydrochloride (Bionice, 2010) Nama kimia 2-(2,6-dichlorophenylamino)-2-imidazoline hydrochloride
2.2.1 Farmakokinetik Clonidine Clonidine akan diabsorpsi secara cepat setelah pemberian per oral dan mencapai
kadar puncak plasma
dalam
waktu 60 sampai
90 menit,
bioavailabitasnya mencapai 70-80%. Waktu paruh eliminasinya antara 9 sampai 12 jam, dimana 50% nya akan dimetabolisme di hepar, dan akan diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urine. Efek hipotensi setelah pemberian dosis tunggal dapat mencapai 8 jam, dan pemberian melalui jalur transdermal membutuhkan waktu 48 jam untuk mencapai kadar konsentrasi plasma (Stoelting, 2006). Pemberian
clonidine
intravena
direkomendasikan
diencerkan
dan
diberikan dalam 10–15 menit melalui intravena. Peningkatan kadar di plasma tercapai dalam waktu 11±9 menit, eleminasi secara lambat terjadi dalam 9±2 jam sampai 24 jam. Clearence total dari clonidine adalah 219±92 mL/menit (Bioniche Pharma, 2013).
12
1. Distribusi Clonidine merupakan obat dengan kelarutan lemak yang tinggi dan didistribusikan ke ekstravaskuler termasuk saraf pusat. Clonidine didistribusikan 2,1±0,4 L/kg. Clonidine secara in vitro berikatan dengan albumin bervariasi antara 20 dan 40 %. Pemberian secara epidural dapat mencapai sistemik melalui vena epidural (Bioniche Pharma, 2013). 2. Metabolisme Clonidine dimetabolisme dengan metabolit utama phydroxyclonidin dengan komposisi kurang dari 10 % dari jumlah obat yang tidak diubah yang terdapat di urine (Bioniche Pharma, 2013). Eksperimental pemberian clonidine pada model binatang tidak menunjukkan neurotoxisitas dan tidak terjadi perubahan histopatologi (Longnecker,2008). 3. Ekskresi Setelah pemberian intravena clonidine 72 % diekskresikan melalui urine dalam 96 jam dengan 40-50 % merupakan clonidine yang belum dimetabolisme. Renal clearence dari clonidine 133 ± 66 mL/menit (Bioniche Pharma, 2013). 2.2.2 Mekanisme kerja clonidine Reseptor adrenergik α2 merupakan reseptor tempat clonidine bekerja. Terdapat 3 subtipe reseptor α2 adrenergik pada manusia; α2A, α2B dan α2C, masing masing tersebar dimana-mana dengan fungsi yang berbeda-beda (Kimibayasi dan Maze, 2000). Reseptor α2A tersebar utamanya pada perifer, memediasi sedasi, analgesia dan simpatolisis. Sedangkan reseptor α2B memediasi vasokonstriksi dan anti menggigil dan α2C pada otak dan sumsum tulang belakang (Stoelting, 2006).
13
Reseptor α2 postsinaps pada pembuluh darah perifer menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan di presinaps menghambat pelepasan norepinefrin yang merupakan agen yang menyebabkan vasokonstriksi. Rangsangan reseptor α2 pada sistem saraf pusat akan menyebabkan simpatolitik, sedasi, dan antinosisepsi (Miller, 2009). Locus ceruleus pontine merupakan tempat yang paling banyak terdapat reseptor alpha-2, merupakan sumber penting persarafan simpatis pada forebrain, dan pusat kewaspadaan yang vital. Efek sedasi diakibatkan karena penghambatan pada nucleus ceruleus (Nelson dkk., 2003). Clonidine merupakan jenis alfa 2 agonis tetapi masih memiliki efek perangsangan pada reseptor alfa 1 adrenergik dengan perbandingan 200:1. Clonidine dapat dipergunakan meningkatkan durasi blok saraf pada penggunaan lokal anestesi. Clonidine mampu memberikan efek analgesia baik secara perifer, spinal, dan supraspinal (batang otak). Clonidine bersifat lipofilik. Pemberian clonidine intravena mampu menembus saraf otak sehingga bisa memberikan efek analgesia melalui lokal neuroaksial dan supraspinal. Mekanisme analgesia clonidine pada tingkat spinal antara lain melalui hambatan eksitasi saraf aferen primer pada terminal sentral, hambatan pelepasan substansi P dan hiperpolarisasi dan penurunan aktivitas spontan saraf kornu dorsalis (Stoelting, 2006; Chetty, 2011). Analgesia tingkat supraspinal melalui hambatan pada saraf afferen substantia gelatinosa dan beberapa nukleus di batang otak. Analgesia tingkat perifer dengan cara melemahkan perangsangan saraf nyeri A delta dan serabut C serta memblok konduksi melalui peningkatan konduktan kalium (Longnecker, 2008; Eisenach dkk., 1996).
14
Clonidine memiliki efek pada hemodinamik. Clonidine pada tingkat supraspinal mempengaruhi nukleus di batang otak mengaktifkan adrenoreseptor postsinaps alfa 2 dan mengaktivasi ikatan imidazole nonadrenergic pada nukleus retikular lateral mengakibatkan pengurangan tonus simpatis. Clonidine pada tingkat perifer bekerja pada adrenoreseptor alfa 2 presinaps mengurangi pelepasan norepinefrin pada terminal saraf simpatis sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan mengurangi efek kronotropik pada jantung. Efek supraspinal dan perifer ini melawan efek vasokonstriksi perifer akibat perangsangan langsung pada reseptor alfa 2 dan 1 dari clonidine (Eisenach dkk., 1996). Kualitas sedasi yang dihasilkan oleh alpha-2 adrenoseptor agonis berbeda dengan sedasi yang ditimbulkan oleh obat golongan penghambat GABA (seperti midazolam dan propofol) (Shelly, 2001). Obat alpha-2 adrenoseptor agonis, akan menurunkan aktivitas saraf simpatis dan derajat kesadaran, sehingga pasien lebih mudah dibangunkan dan lebih kooperatif. Sementara obat yang bekerja pada penghambat reseptor GABA akan membuat kesadaran berkabut dan paradoxical agitation (Stoelting, 2006). Sebagai anti menggigil clonidine bekerja pada tiga level target yaitu di hipothalamus dengan menurunkan ambang termoregulator untuk vasokonstriksi dan menggigil, menurunkan perangsangan langsung di locus ceruleus yang merupakan pusat menggigil di pons dan menghambat impuls dingin di tingkat modulasi di kornu dorsalis medulla spinalis.
15
2.2.3 Interaksi Clonidine Dengan Obat Anestesi Mekanisme clonidine untuk menurunkan dosis propofol masih belum diketahui dengan pasti, diperkirakan clonidine mempunyai kemampuan untuk memodifikasi kanal kalium (potassium channels) di sistem saraf pusat sehingga menyebabkan membran sel mengalami hiperpolarisasi sehingga menurunkan aktivitas neuron (Stoelting, 2006). Clonidine mempunyai dose spharing effect on propofol dimediasi oleh efek analgesia dan sedasi, namun dose spharing effect ini tidak tergantung dengan efek hemodinamiknya. (Rosant S dkk., 2006). Clonidine akan menurunkan volume distribusi dari propofol. Clondine juga akan menurunkan hepatic clearance karena menurunnya aliran darah ke hepar (hepatic blood flow) akibat menurunnya cardiac out put. (Morris J dkk., 2005). Pada penelitian Marchal J dkk., 2001; Jabalameli M, 2005; memberikan premedikasi clonidine 5 mcg/KgBB per oral 90 menit sebelum operasi pada pasien yang dilakukan operasi Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) didapatkan penggunaan halotan lebih kecil (1,32±0,24 berbanding 1,35±0,21), kebutuhan analgesia fentanyl lebih kecil (112±18 berbanding 142±21) dan jumlah perdarahan yang lebih sedikit (1,71±0,4 berbanding 2,26±0,6). Masrat J dkk., (2013) pada penelitiannya memberikan premedikasi clonidine 5 mcg/KgBB per oral 90 menit sebelum operasi, pada operasi Fungsional Endoscpoy Sinus Surgery (FESS), akan menurunkan jumlah perdarahan sampai 30%-33% (140,7±65,4 dibandingkan 199,2±104,4) namun didapatkan penurunan MAP (mmHg) yang bermakna (89,4±3,6 menjadi 76,7±3,9). Penelitian Goyagi T dkk., (1999) premedikasi clonidine 5 mcg/KgBB per oral 90 menit sebelum induksi akan
16
menurunkan dosis induksi propofol (mg/KgBB) (1,4±0,3 dibandingkan 1,9±0,4) namun akan memperpanjang waktu pulih sadar pasien. Gayogi, (2000), mengatakan premedikasi clonidine 4,5 mcg/KgBB per oral akan mempercepat waktu induksi dan menurunkan MAC (minimum alveolar concentration) sevoflurane 33%-45%, demikian juga halnya dengan dosis induksi propofol. Pada penelitian Fehr S dkk., (2001) mendapatkan kesimpulan bahwa premedikasi clonidine 4 mcg/KgBB intravena akan menurunkan kebutuhan propofol sampai 20% selama tindakan operasi. Pada penelitian Altan dan Turgut, (2005), didapatkan bahwa pemberian premedikasi clonidine 3 mcg/KgBB intravena dilanjutkan dengan pemeliharaan 2 mcg/KgBB/jam akan menyebabkan efek hipotensi dan bradikardia yang significan, hal yang sama juga didapatkan pada penelitian Kulka dan Tryba, 1993. Morris J dkk., 2005, mendapatkan premedikasi clonidine 3 mcg/KgBB per oral 60 menit sebelum operasi akan menurunkan kebutuhan dosis propofol (predicted plasma consentration 3,59 (3,29-3,89) berbanding 3,32 (3,93-3,51), namun didapatkan kejadian hipotensi sampai 22% dan bradikardia 21%. Pada penelitian Agrawal M, (2014). yang mendapatkan kesimpulan bahwa premedikasi clonidine 1,5 mcg/KgBB intravena akan memberikan efek sedasi yang adekuat, menurunkan dosis induksi propofol sampai 26,7% (dose spharing effecton propofol), menjaga kestabilan hemodinamik saat induksi dan laringoskopi intubasi, menurunkan kejadian PONV serta menggigil paska operasi.
17
2.2.4 Farmakodinamik Clonidine Clonidine adalah suatu alpha-2 adrenergik agonis, yang mempunyai kapasitas untuk menurunkan tekanan darah, akibat dari aktivasi reseptor alpha-2 adrenergik pada pusat kontrol kardiovaskuler pada system saraf pusat (brainstem bawah) mungkin pada nucleus traktus solitarius. Lokasi reseptor alpha-2 adrenernik terletak pada presipnatik dan menghambat pengeluaran norepinefrin. Jadi penurunan keluarnya norepinefrin merangsang reseptor adrenergik dan respon terhadap jaringan. 2.2.4.1 Sistem Kardiovaskuler Clonidine menurunkan frekuensi jantung, resistensi pembuluh darah sistemik, aktivitas renin plasma, kadar epinefrin dan norepinefrin secara tidak langsung menurunkan kontraktilitas jantung, kardiak out put, dan tekanan darah sistemik (Miller, 2009; Longnecker, 2008). Efek penurunan tekanan sistolik lebih besar dibandingkan tekanan diastolik. Refleks homeostasis kardiovaskuler masih tetap dipertahankan, sehingga tidak akan terjadi orthostatic hipotensi maupun hipotensi saat beraktivitas (Stoelting, 2006). Aliran darah ke ginjal akan tetap dipertahankan selama terapi clonidine. Pemberian clonidine intravena secara cepat dan dosis besar dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan laju denyut jantung akibat perangsangan reseptor α1. Efek bradikardi pada pemberian clonidine dapat diterapi dengan pemberian atropin (Bioniche Pharma, 2013). 2.2.4.2 Sistem Respirasi Clonidine mempunyai efek depresi yang minimal pada sistem respirasi, tidak mempunyai efek potensiasi terhadap depresi respirasi oleh opioid (Bailey
18
dkk., 1991). Namun pada pemberian secara intravena bersama dengan fentanyl akan menyebabkan akumulasi dari fentanyl, sehingga akan meningkatkan resiko depresi ventilasi (Bernard dkk., 1994). Clonidin tidak bermakna meningkatkan efek depresi ventilasi oleh morphin (Bailey dkk, 1991). 2.2.5 Preparat Clonidine Clonidine tersedia dalam bentuk ampul, tablet dan patch. Sediaan ampul (catapres) mengandung 150 mcg clonidine hydrochloride dalam larutan 1 mL. Sediaan ini juga mengandung NaCl, hydrochloric acid dan air untuk injeksi (Boehringer Ingelheim, 2013). Dan sediaan clonidine hydrochloride (catapres, clonidine) tersedia dalam kemasan tablet 150 mcg (0,15 mg) dan 300 mcg (0,3 mg). 2.3 Propofol Propofol pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di pasaran sejak tahun 1977 sebagai obat induksi anestesi (Kay dan Rolly 1977), semakin populer dan semakin luas penggunaannya di seluruh dunia mulai tahun 1986. Sebagai turunan dari phenol dengan komponen hipnotik kuat yang dihasilkan dari pengembangan 2,6-diisopropofol. Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya disediakan dengan Ctemophor EL (polyethoxylated Castrol oil), namun karena banyaknya reaksi anafilaktoid yang ditimbulkan, sediaannya diubah menjadi bentuk emulsi (Hasani A. dkk., 2012). Ahli anestesi lebih suka menggunakan propofol karena sifat mula kerja obat yang cepat hampir sama dengan obat golongan barbiturat tetapi masa pemulihan yang lebih cepat dan pasien bisa lebih cepat dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang rawat. Secara subjektif pasien
19
merasa lebih baik dan lebih segar paska anestesi dengan propofol dibandingkan obat anestesi induksi lainnya. Kejadian mual muntah paska operasi sangat jarang karena propofol memiliki efek anti muntah. Efek yang menguntungkan lainnya adalah efek antipruritus, antikonvulsan dan mengurangi konstriksi bronkus. Propofol dalam dosis 1,5 – 2,5 mg/KgBB diberikan intravena akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah pembiusan dengan propofol dan efek residual yang minimal merupakan keuntungan propofol. Karena keunggulan sifat inilah Propofol dipergunakan sebagai obat induksi dan pemeliharaan anestesi, sehingga penggunaannya begitu luas di seluruh dunia. 2.3.1 Struktur Bangun dan Karakteristik Propofol Propofol (2,6-diisopropylfenol) terdiri dari sebuah cincin fenol dengan dua kelompok isopropil yang berikatan (Gambar 2.2). Propofol tidak larut dalam air, tetapi tersedia sediaan larutan 1 % (10 mg/mL) untuk pemberian intravena, sebagai emulsi minyak dalam air yang mengandung minyak kedelai, gliserol, dan lesitin telur. Riwayat alergi telur bukan merupakan kontraindikasi pemakaian propofol karena sebagian besar alergi telur melibatkan reaksi terhadap putih telur (albumin telur), sedangkan lesitin telur diekstraksi dari kuning telur. Formulasi ini dapat menyebabkan nyeri selama suntikan (jarang terjadi terjadi pada pasien yang lebih tua) yang dapat dikurangi dengan suntikan awal lidokain atau pencampuran lidokain dengan propofol sebelum suntikan (2 mL lidokain 1% dalam 18 mL propofol) (Morgan dkk., 2006).
20
Formulasi propofol ini dapat mendukung pertumbuhan bakteri, sehingga teknik sterilitas yang baik harus dilakukan selama persiapan dan penyimpanan. Pemberian propofol harus sudah dilakukan dalam 6 jam setelah membuka ampul. Formulasi propofol yang ada saat ini berisi 0,005% disodium edetate atau 0,025% sodium metabisulfite untuk membantu memperlambat tingkat pertumbuhan dari bakteri, meskipun demikian, produk tahan bakteri ini masih belum berdasarkan standar United States Pharmacopeia (USP) (Morgan dkk., 20a06).
Gambar 2.2 Struktur kimia propofol (Dikutip dari Morgan dkk., 2006)
Biokimia Propofol (C12H18O), merupakan golongan fenol yang memiliki sifat stabil secara kimia dan memiliki efek biotoksisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan fenol yang lain. Namun, seperti sebagian besar golongan fenol, propofol dapat mengiritasi kulit dan membrane mukosa. Propofol tidak larut dalam air, yang merupakan alasan sediaan komersial yang tersedia berupa emulsi lipid isotonik bukan buffer dengan rentang pH 6,0-9,0 (Tan, 1998).
21
Sediaan Propofol pada konsentrasi 10-20 mg/ml secara tradisional telah diformulasikan dalam emulsi lemak yang mengandung 10% LCT minyak kedelai, tetapi sejak 1995, propofol juga tersedia secara komersial dalam formula MCT/LCT yang 26-40% lebih rendah kandungannya dibandingkan formula LCT, menyebabkan penurunan 0,2-0,14% dari total konsentrasi (Babl 1995, Yamakage 2005). Memodifikasi komposisi lemak emulsi tidak memiliki efek pada pharmakokinetik dan efikasi propofol (doenicke 1997). Meskipun konsentrasi tigliserida plasma menurun selama sedasi tidak berbeda antara emulsi propofol LCT dan MCT/LCT, terdapat kecenderungan elimiasi tigliserida yang lebih cepat pada pemberian formula MCT/LCT dibandingakan LCT (Theilen 2002). Cara Menyiapkan Propofol harus disiapkan secara asepsis untuk penggunaan segera, untuk mencegah proliferasi mikrobakteri yang cepat setelah kontaminasi bakteri (McHugh 1995). Aktivitas antimikroba dari anestesi lokal yang ditambahkan pada emulsi propofol sebelum pemberian untuk menurunkan nyeri pada tempat injeksi hanya akan membatasi namun tidak mencegah pertumbuhan mikroba pada membrane sel (Ohsuka 1991, Ozer 2002). 2.3.2 Farmakokinetik Propofol Absorpsi Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk penggunaan intravena saja dan memberikan efek sedasi sedang sampai berat. Konsentrasi propofol dalam darah meningkat dengan cepat setelah pemberian
22
bolus intravena sedangkan peningkatan konsentrasi cerebral lebih lambat. Waktu untuk mencapai efek penurunan kesadaran/tidak sadar ditentukan oleh dosis total yang diberikan. Distribusi Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak menyebabkan onset kerja cepat. Waktu yang diperlukan dari saat pertama kali diberikan bolus sampai pasien terbangun (waktu paruh) sangat singkat yaitu 2-8 menit. Waktu paruh eliminasi sekitar 30-60 menit (Katzung, 2004). Hal ini menyebabkan propofol menjadi pilihan untuk anestesi rawat jalan (one day care). Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model 3 kompartemen, dimana pada pemberian bolus propofol, kadar propofol dalam darah akan menurun dengan cepat akibat adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh distribusi awal dari propofol adalah 2-8 menit. Pada model tiga kompartemen waktu paruh distribusi awal adalah 1-8 menit, yang lambat 30-70 menit dan waktu paruh eliminasi 4-23,5 jam. Waktu paruh yang panjang diakibatkan oleh karena adanya kompartemen dengan perfusi terbatas. Context sensitive half time untuk infus propofol sampai 8 jam adalah 40 menit. Propofol mengalami distribusi yang cepat dan luas juga dimetabolisme dengan cepat. Dengan berkembangnya TCI maka konsep context sensitivity half time diperkenalkan kembali. Context sensitivity half time adalah waktu yang diperlukan sampai konsentrasi obat menjadi setengah dari saat infus dihentikan. Tidak seperti konsep farmakokinetik klasik yaitu bersihan obat tidak tergantung dari cara pemberian obat, konsep context sensitivity half time memperkenalkan pengaruh
23
lamanya infus diberikan. Semakin banyak obat yang terakumulasi akan menyebabkan semakin lama obat dieleminasi. Semakin lama durasi infus maka semakin lama pula context sensitivity half timenya. Context sensitivity half time sangat berguna dalam pemilihan obat serta memperkirakan pemulihan dari anestesi. Karena context sensitivity half time propofol tidak lebih dari 40 menit, terutama saat dipergunakan sebagai sedasi dan anesthesia dimana penurunan konsentrasi di plasma untuk pemulihan umumnya kurang dari 50% maka propofol cocok digunakan untuk infus jangka panjang tanpa mengganggu proses pemulihan (TCI manual, 2009).
Gambar 2.3 Hubungan waktu dan konsentrasi propofol dalam darah. Simulasi hubungan antara waktu dan level propofol dalam darah setelah induksi dosis 2mg/KgBB. Level propofol dalam darah yang diperlukan untuk anestesia pembedahan adalah 2-5mcg/mL, dengan bangun dari anestesi biasanya pada level kurang dari 1.5mcg/mL Waktu yang diperlukan untuk bangun dari anestesi atau sedasi dari propofol hanya 50%, sehingga waktu pulih sadar dari propofol tetap cepat meskipun pada infus kontinyu yang lama.
24
Konsentrasi plasma untuk propofol yang dapat menyebabkan supresi dari elektroencephalogram (EEG) yang berkaitan dengan hilangnya kesadaran adalah sekitar 0,3 menit dengan efek puncak dicapai 90-100 detik.Farmakokinetik propofol menurun oleh karena beberapa faktor antara lain jenis kelamin, berat badan, penyakit sebelumnya, umur dan medikasi lain yang diberikan. Biotransformasi Tingginya tingkat bersihan (clearence) propofol di hepar (hampir 10 kali lipat dibanding tiopental) menyebabkan cepatnya waktu pemulihan setelah pemberian infus kontinyu. Ekskresi Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan melalui ginjal, tetapi penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan propofol.
2.3.3 Farmakodinamik Propofol Propofol merupakan obat anestesi intravena yang paling sering digunakan saat ini, baik untuk induksi dan pemeliharaan anestesi maupun untuk sedasi di dalam dan di luar ruang operasi. Propofol digunakan secara luas dalam bidang kedokteran karena efeknya yang menguntungkan bagi pasien-pasien yang menjalani pemulihan anestesia dan insiden mual dan muntahnya yang kecil (Smith dkk., 1994). Propofol memberikan mula kerja dan akhir kerja yang cepat serta memiliki efek antiemetik (Reves dkk., 2005). Daya larut lipidnya yang tinggi menyebabkan mula kerja yang hampir secepat thiopental (one arm to brain circulation time). Membangunkan pasien setelah dosis bolus tunggal propofol
25
juga cepat karena waktu paruh distribusi awal yang sangat singkat (2-8 menit). Hal ini membuatnya sebagai suatu obat yang baik untuk pasien anestesi rawat jalan (Morgan dkk., 2006). Dosis induksi yang lebih kecil direkomendasikan pada pasien-pasien lanjut usia oleh karena volume distribusi (V d) mereka yang lebih kecil. Wanita bisa memerlukan dosis propofol yang lebih besar daripada laki-laki dan pemulihan kesadarannya lebih cepat (Morgan dkk., 2006). Pada tahun 1981, Major dkk. meneliti 3 dosis induksi anestesia propofol (1,5 , 2,0 dan 2,5 mg/KgBB) pada wanita sehat yang menjalani tindakan ginekologi singkat. Mereka menemukan bahwa 3 pasien dengan dosis 1,5 mg/KgBB dan satu pasien dengan dosis 2 mg/KgBB tidak mengalami kehilangan kesadaran, namun semua pasien mengalami kehilangan kesadaran dengan dosis 2,5 mg/KgBB. Durasi ratarata untuk mulainya kehilangan kesadaran adalah 47,4 detik pada kelompok 1,5 mg/KgBB, 39,9 detik pada kelompok 2 mg/KgBB dan 38,2 detik pada kelompok 2,5 mg/KgBB. Insiden apneu yang tampak nyata secara klinis adalah 4, 7 dan 12 pasien pada masing-masing kelompok 1,5, 2, 2,5 mg/KgBB. Perubahan kardiovaskular yang tergantung dosis meliputi penurunan tekanan arterial dan peningkatan denyut jantung.
2.3.3.1 Sistem Kardiovaskular Efek mayor propofol terhadap sistem kardiovaskular adalah penurunan tekanan darah arteri akibat penurunan drastis tahanan pembuluh darah sistemik (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatik), kontraktilitas jantung, dan preload. Propofol dapat diberikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner dengan
26
monitoring dan supervisi ketat. Dosis induksi normal akan menurunkan tekanan darah sistolik (Coates 1985) dengan efek bervariasi pada laju denyut jantung dan juga dapat menurunkan curah jantung (Coates 1987). Propofol juga pernah dilaporkan mempengaruhi reflek baroreseptor yang dapat menyebabkan penurunan laju denyut jantung selain menurunkan tekanan darah sistolik (Cullen 1987) dan memiliki efek minimal pada fungsi hepar (Robinson 1985, Stark 1985). Faktor-faktor yang memperburuk hipotensi antara lain dosis pemberian yang besar, suntikan cepat, dan umur tua. Propofol dengan jelas mengganggu respon normal baroreflek arterial terhadap hipotensi, khususnya pada keadaan normokarbia atau hipokarbia (Morgan dkk., 2006). Induksi anestesia dengan propofol telah menunjukkan efek terhadap hemodinamik yang poten, yang didominasi oleh hipotensi (Singh, 2005). Induksi anestesia dengan propofol sering disertai dengan penurunan tekanan darah arterial dan denyut jantung yang signifikan (Monk dkk., 1987; Claeys dkk., 1988; Hug dkk., 1993). Diperkirakan terdapat beberapa mekanisme yang mendasarinya, yakni depresi miokard dan penurunan after load atau preload (Lepage dkk., 1991; Muzi dkk., 1992). Rapid Sequent Induction (RSI) dengan propofol menyebabkan penurunan tekanan darah yang signifikan dan beberapa penulis menyarankan pemberian loading cairan Ringer Laktat praoperatif untuk melawan hipotensi yang disebabkan oleh propofol tanpa menyebabkan peningkatan tekanan darah sama sekali (El-Beheiry dkk., 1995). Waktu paling kritis terjadinya bradikardia dan hipotensi saat anestesia adalah segera setelah induksi dan sebelum intubasi trakeal, saat tercapainya efek
27
puncak obat-obat induksi anestesia dengan stimulasi yang minimal (Masjedi dkk, 2014). Penurunan drastis preload, yang dapat menyebabkan bradikardia yang diperantarai oleh refleks vagal, jarang terjadi. Perubahan pada denyut jantung dan curah jantung biasanya bersifat sementara dan tidak signifikan pada pasien yang sehat, tetapi dapat berubah menjadi sangat berat sampai terjadi asistole, terutama pada pasien-pasien dengan usia ekstrim, dalam terapi kronotropik negatif, atau sedang dalam tindakan operasi yang berhubungan dengan reflek okulokardiak (Morgan dkk., 2006). Pasien dengan gangguan fungsi ventrikel dapat mengalami penurunan curah jantung yang drastis sebagai akibat penurunan tekanan pengisian ventrikel dan kontraktilitas. Meskipun konsumsi oksigen miokard dan aliran darah koroner menurun, produksi laktat sinus koroner akan meningkat pada beberapa pasien. Hal ini mengindikasikan adanya suatu missmatch antara permintaan dan penyediaan oksigen miokard (Morgan dkk., 2006). Menurut Aun dan Major (1984), pada kondisi tanpa disertai penyakit kardiovaskular, dosis induksi 2-2,5 mg/KgBB menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 25 sampai 40%. Begitu juga tampak pada tekanan arterial rerata dan tekanan darah diastolik. Reich dkk. (2005) mendapatkan 9% pasien mengalami hipotensi berat 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi umum. Penurunan tekanan arterial berkaitan dengan penurunan curah jantung/indeks jantung (15%), indeks volume sekuncup (20%), dan tahanan pembuluh darah sistemik (15-25%) (Prys-Roberts dkk., 1983; Coates dkk., 1987). Indeks kerja sekuncup ventrikel kiri juga mengalami penurunan (30%) (Claeys dkk., 1988). Penurunan tekanan darah sistemik setelah dosis induksi propofol tampaknya
28
disebabkan oleh vasodilatasi dan depresi miokard. Kedua efek tersebut tergantung pada dosis dan konsentrasi plasma (Pagel dan Warltier, 1993). Efek vasodilatasi propofol disebabkan oleh penurunan aktivitas simpatis (Ebert dkk., 1992) dan efek langsung mobilisasi kalsium intraselular otot polos (Xuan dkk., 1996). Techanivate A (2012) pada penelitianya mendapatkan kejadian hipotensi lebih sedikit pada pasien yang diberikan dexmedetomidine 1 mcg/KgBB dengan fentanyl 0,5 mcg/KgBB dan 1 mg/KgBB propofol dibandingkan pada pasien yang diberikan fentanyl 0,5 mcg/KgBB dan propofol 2 mg/KgBB. Penelitian Agrawal
M (2014)
mendapatkan
tidak ada perubahan
hemodinamik yang bermakna pada pemberian premedikasi clonidine 1,5 mcg/KgBB intravena pada saat induksi propofol intravena. 2.3.3.2 Sistem Respirasi Seperti barbiturat, propofol merupakan suatu depressant pernapasan yang dalam, yang biasanya menyebabkan apneu setelah dosis induksi. Sebagian besar studi menunjukkan propofol menyebabkan depresi respirasi yang menurunkan laju respirasi begitu juga volume tidal (Goodman 1987). Bahkan ketika digunakan untuk pemberian sedasi dengan dosis subanestesi, propofol menghambat hypoxic ventilatory drive dan menekan respon normal terhadap hiperkarbia. Depresi reflek jalan nafas atas yang diinduksi oleh propofol lebih baik daripada thiopental dan terbukti sangat menolong selama intubasi atau insersi LMA tanpa pemakaian pelumpuh otot. Meskipun propofol dapat menyebabkan pelepasan histamin, induksi dengan propofol dapat menyebabkan timbulnya wheezing pada penderita asma maupun bukan asma, dengan angka kejadian yang
29
lebih rendah dibandingkan dengan barbiturat atau etomidat, dan hal ini tidak dikontraindikasikan pada pasien-pasien yang menderita asma (Morgan dkk., 2006). 2.3.3.3 Sistem Saraf Pusat Seperti barbiturate, propofol terikat dengan reseptor GABA tapi juga memiliki mekanisme kerja melibatkan berbagai reseptor protein. Efek cerebralnya adalah hipnotik dan mungkin juga analgetik (Canavero 2004, Zacny 1996). Pada pasien dengan patologi intrakranial, propofol seperti kebanyakan agen induksi anestesi, menurunkan CBF, Meningkatkan CVR dan menurunkan CMRO 2 (Vandesteene 1988, Stephan 1987). Propofol mengurangi aliran darah serebral dan tekanan intrakranial. Pada pasien-pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat, propofol dapat menyebabkan penurunan kritis tekanan perfusi serebral (<50 mmHg), kecuali jika dilakukan tindakan untuk menopang tekanan arterial rerata. Yang unik dari propofol adalah efek anti gatalnya. Efek antiemetiknya (memerlukan konsentrasi propofol 200 ng/mL dalam darah) membuat propofol sebagai obat yang lebih disukai untuk pasien anestesi rawat jalan. Induksi kadangkadang disertai oleh gejala eksitasi seperti kejang otot, gerakan spontan, opistotonus, atau cegukan, mungkin akibat terjadinya antagonis glisin subkortikal. Meski reaksi-reaksi ini kadang-kadang bisa menyerupai kejang tonik–klonik, propofol tampaknya secara predominan memiliki efek anti kejang (dengan kata lain, menekan lonjakan), yang berhasil digunakan untuk mengakhiri status epileptikus, dan dapat dengan aman diberikan pada pasien epilepsi. Propofol
30
menurunkan tekanan intraokular. Toleransi tidak terjadi setelah pemberian propofol jangka panjang (Morgan dkk., 2006). 2.4 Target Controlled Infusion (TCI) TCI adalah infus yang dikontrol dengan tujuan untuk mencapai konsentrasi tertentu obat pada kompartemen tubuh. Dengan menggunakan teknik ini ahli anestesi dapat mengatur dan mengganti konsentrasi yang diinginkan sesuai dengan observasi klinis pada pasien. Pada dasarnya TCI adalah menetapkan konsentrasi tertentu obat yang harus dicapai dan dipertahankan baik di plasma (Cp) maupun effect site (Ce). Konsentrasi target diset sejak awal oleh ahli anestesi untuk mendapat luaran klinis yang diperlukan. Perubahan konsentrasi target yang diset oleh ahli anestesi akan terlihat pada effect site kompartemen setelah waktu tertentu karena terdapat jarak waktu perpindahan obat dari darah ke tempat yang dituju atau obat berefek (Ce), (Naidoo D, 2011). Untuk system TCI dengan propofol pada orang dewasa model farmakokinetik yang banyak digunakan adalah MARSH dan SCHNIDER, sedangkan pada pasien anak-anak model Paedfusor dan Kataria. Selain propofol obat lain yang dapat dioperasikan menggunakan sistim TCI adalah sufentanil (model Bovil dan Gepts), alfentanil (model Maitre), remifentanil (model Minto). 2.4.1 Model Marsh Ini adalah model yang pertama kali dikembangkan, merupakan pengembangan dari model farmakokinetik propofol oleh Gepts dengan memperkirakan volume kompartemen sentral sebagai sebuah fungsi linear secara langsung terhadap berat badan. Usia tidak dimasukkan dalam kalkulasi, namun
31
pompa tidak dapat digunakan untuk umur dibawah 16 tahun. Hal ini menjadi sumber bias dan ketidakakuratan sistim Marsh. 2.4.2 Model Schnider Model Schnider disebut sebagai generasi baru dari TCI. Metode ini menggunakan model 3 kompartemen dengan memasukkan umur, tinggi badan, dan berat badan ke dalam perhitungan. Lean body mass pasien dihitung dan digunakan untuk mengkalkulasi dosis dan laju infus, jika yang dipakai berat badan aktual maka akan ada kemungkinan kelebihan konsentrasi obat pada pasien obesitas. Pada pasien obesitas dipergunakan berat badan ideal. Perbedaan utama antara kedua model ini adalah jumlah volume kompartemen sentral. Pada model schnider menggunakan volume kompartemen sentral tetap dan sama pada setiap pasien dan lebih kecil (4,27 L pada pasien BB 70 kg) dibanding model Marsh (15,9 L). Akibat perbedaan ini akan didapatkan model schnider Keo yang lebih besar (equilibrasi sentral dan effect site kompartemen lebih cepat) dan K10 lebih besar (bersihan metabolik lebih cepat) sehingga model schnider waktu pulihnya lebih cepat dibanding Marsh. Untuk tujuan induksi model schnider akan lebih lambat dibandingkan model Marsh. Pada model marsh hanya menggunakan berat badan sebagai kovariat sedangkan model schnider memakai berat badan, lean body mass, umur dan jenis kelamin.
32
Gambar 2.4 Mesin TCI Perfusor® Space dari B.Braun (dikutip dari B.Braun TCI perfusor ® Space)
Keuntungan penggunaan TCI secara umum adalah: dapat memfasilitasi titrasi dosis untuk mencapai efek yang diinginkan, memudahkan perhitungan dosis obat dan pemberiannya, diperolehnya informasi tambahan mengenai obat yang diberikan seperti jumlah obat yang diberikan, durasi pemberian, konsentrasi dan lain-lain, pemberian dosis obat dengan memperhitungkan usia dan karakteristik pasien lainnya, konsentrasi obat yang dicapai lebih stabil, dapat terhindar dari kelebihan dosis dan masa pulih yang lebih cepat (Sugiarto, 2012). 2.4.3 Target Konsentrasi Plasma Propofol TCI Pasien usia muda target konsentrasi pasma propofol untuk induksi adalah 6-8 mcg/mL, hati-hati pada saat induksi orang tua atau pasien sakit berat, dosis perlu disesuiakan dengan menurunkan konsentrasi induksi. Pada prakteknya konsentrasi plasma yang diperlukan untuk induksi adalah 5-6 mcg/mL dan bisa ditingkatkan sampai 8 mcg/mL pada pasien dewasa muda yang sehat. Pada pasien yang telah mendapatkan premedikasi terlebih dahulu konsentrasi plasma bisa dikurangi 4-5 mcg/mL (Naidoo D, 2011).
33
2.5 Mengukur Kedalaman Anestesi (Index of Conciousness) Induksi anestesi adalah perubahan keadaan pasien dari sadar menjadi tidak sadar setelah pemberian obat-obat anestesi. Keadaan induksi dapat dinilai dengan melihat tanda klinis berupa hilangnya refleks bulu mata. Menentukan derajat kedalaman anestesi adalah sangat penting pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan, syarat untuk bisa dilakukannya pembedahan adalah pasien sudah masuk kedalam stadium III (fase pembedahan) plana III menurut Guedel, yang bisa dilihat dengan tanda-tanda klinis yaitu mulai hilangnya gerak nafas thorakal. Hal ini masih sangat sulit dilihat karena sudah makin berkembangnya macam-macam obat anestesi dan volatile anestes. Berbeda halnya ketika duhulu eter masih menjadi pilihan untuk dilakukannya induksi anestesi. Saat ini banyak cara dan banyak alat yang diciptakan untuk mengetahui kedalaman anestesi. Kedalaman anestesi merupakan masalah klinis praktis yang sangat fundamental dalam dunia anestesi. Selama dilakukannya anestesi akan terjadi penekanan sistim saraf pusat, sistim kardiovaskuler dan sistim lainnya, jika kedalaman anestesi berlebihan akan terjadi fase toksik yang menyebabkan kerusakan bahkan kematian. Jika kedalaman anestesi kurang maka akan menyebabkan keadaan sedasi ringan juga akan menyebabkan morbiditas pada pasien. Dengan mengetahui kedalaman anestesia maka hal-hal tersebut diatas bisa dihindari sehingga morbiditas dan mortalitas bisa dikurangi (Prabhar Kumar dan Thomas Koshy, 2007). Dalam penelitian ini alat yang dipergunakan dalam mengukur kedalaman anestesi adalah Index of consciousness tipe IOC View dari Morpheus Medical merupakan gabungan antara dinamyc spectral ratio dengan EEG
34
suppression rate (ESR) dan facial EMG. Merupakan alat pengukur kedalaman anestesi sangat praktis dengan ukuran segenggaman tangan dewasa. Cara kerjanya adalah merupakan penyederhanaan dari EEG dan ditampilkan dalam bentuk rentang angka antara 0-99. Angka 0 berarti tidak ada aktivitas EEG dan 99 menunjukkan aktivitas penuh EEG yang diinterpretasikan suatu keadaan bangun (sadar penuh). Angka 40-60 menunjukkan kedalaman anestesi adekuat untuk dilakukan pembedahan. Dari alat ini juga bisa mengetahui persentase dari supresi EEG dan aktifitas EMG (75-85 Hz). Dari penelitian validasi antara IOC view dengan Bispectral index yang dilakukan oleh Litvan dkk., 2006, tidak menunjukan perbedaan (prediction probability) antara IOC dengan BIS. Jadi pada penelitian ini merekomendasikan IOC sebagai salah satu alat monitoring tingkat kedalaman anestesi menggunakan propofol sebagai induksi.
Gambar 2.5 Sensor (elektrode) IOC ditempatkan (dikutip dari IOC view monitoring consciousness, Morpheus medical)
35
Gambar 2.6 IOC-View dari Morpheus Medical (dikutip dari IOC view monitoring consciousness, Morpheus medical) Dari alat ini juga sering dihubungkan dengan skor tingkat sedasi yang diobservasi secara klinis (Yusuke Kasuya dkk., 2009). Tabel 1. Tingkat kedalaman anestesi BIS dan IOC- View
(Dikutip dari intra operatif awarness tools, 2007) Kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi nilai BIS maupun IOC adalah keadaan hipoglikemia, hipovolemia, henti jantung, iskemia otak, hipotermia selama pengunaan mesin pintas kardio-pulmoner, penempatan elektrode dan
36
adanya artifact pada tempelan elektrode. Keuntungan penggunaan alat pengukur kedalaman anestesi (Daya B, 2008) adalah dapat mengurangi kejadian terbangun saat operasi dilakukan terutama pada pasien beresiko tinggi, mengurangi kejadian kelebihan dosis obat atau kekurangan dosis obat (light anesthesia) yang menyebabkan terbangunnya pasien selama operasi, mengurangi kejadian mual muntah, memperpendek waktu pemulihan, mengurangi biaya penggunaan obat anestesi dan menurunkan morbiditas- mortalitas pasien.