BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kajian Pustaka Tema penelitian ini adalah pemindahan asylum seeker oleh negara tujuan
ke negara lain (third country) sebagai negara penerima, negara penampungan sementara, dan negara tempat pemrosesan klaim pengungsi. Pemindahan Unauthorized Maritime Arrivals (UMAs) oleh Pemerintah Australia tidak hanya terjadi di Papua Nugini. Indonesia merupakan salah satu contoh third country yang bekerja sama dengan Australia dalam bidang asylum seeker. Penelitian lain yang memiliki kesamaan tema dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Amy Nethery dari Deakin University, Melbourne; Brynna Rafferty-Brown dari La Trobe University, Melbourne; dan Savitri Taylor dari La Trobe University, Melbourne yang berjudul “Exporting Detention: Australiafunded Immigration Detention in Indonesia”. Penelitian karya Amy Nethery et al. berupa tulisan dalam jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 2012. Dalam tulisan karya Amy Nethery et al. dijelaskan bahwa perkembangan hukum asylum seeker di Indonesia terasa begitu signifikan sejak tahun 1992 sampai dengan 2011. Pada awalnya, permasalahan UMAs bagi Pemerintah Indonesia belum menjadi sebuah prioritas kebijakan. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak memiliki dana dan infrastruktur untuk menangani dan menampung UMAs. Meskipun Undang-Undang 1992 tentang Imigrasi telah
10
diberlakukan, Indonesia tidak serta merta menahan UMAs yang tertangkap sebelum
akhirnya
Australia
mulai
aktif
mendorong
Indonesia
untuk
melakukannya. Bantuan finansial dan tekanan diplomatik Australia kepada Indonesia membuat Indonesia mulai mengambil tindakan dan menaruh perhatian terhadap fenomena UMAs. Hasil penelitian Amy Nethery et al. menggunakan dua indikator penguji yaitu indikator yang menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia) dan indikator tentang perlindungan dan keamanan menurut UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees). Dalam indikator HAM, Nethery et al. menjelaskan bahwa rudenim (rumah detensi imigrasi) di Indonesia telah over capacity dan tidak layak dijadikan tempat tinggal. Selain itu, rudenim di Jakarta juga digambarkan seperti penjara lengkap dengan sel dan kuncinya. Hal ini membuat UMAs tidak merasakan kebebasan dalam bergerak. Kemudian, komunikasi pun terbatas karena beberapa rudenim di Tanjung Pinang melarang para pencari suaka ini menggunakan telepon genggam mereka pribadi. Kebutuhan akan makanan dan fasilitas kesehatan pun tidak memadai selayaknya manusia di kehidupan normal. Indikator perlindungan dan keamanan menurut UNHCR juga gagal dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia. Pertama, para pencari suaka tentu tidak bisa dipulangkan secara sukarela ke tempat asal yang penuh dengan konflik. Kedua, integrasi dengan penduduk lokal yang cukup sulit karena terdapat perbedaan ras, budaya, dan kebiasaan. Ketiga, pada kenyataannya butuh waktu bertahun-tahun hingga puluhan tahun untuk mendapatkan status pengungsi dan dipindahkan ke negara lain sebagai tempat resettlement (Taylor
11
and Rafferty-Brown dalam Nethery et al., 2012). Berdasarkan dua indikator yang digunakan, Amy Nethery et al. menunjukan bahwa pelaksanaan kerjasama antara Australia dan Indonesia ini belum mampu untuk memenuhi Hak Asasi Manusia serta memberikan perlindungan kepada UMAs. Hasil penelitian Amy Nethery et al. juga mengasumsikan bahwa kerjasama antara Australia dan Indonesia cenderung menitikberatkan tanggung jawab kepada Pemerintah Indonesia sendiri. Disebutkan dalam tulisan tersebut, Australia menganggap perannya dalam hal monitoring dan pelaksanaan kerjasama sangat terbatas karena tidak ingin mengintervensi Pemerintah Indonesia secara mendalam. Menurut pihak Australia, untuk menjaga kerjasama dengan Indonesia agar terus berjalan, tidak ada alasan bagi Australia untuk mengeluh kepada Pemerintah Indonesia jika ada Hak Asasi tahanan yang dilanggar. Hal ini menunjukan bahwa perlindungan Hak Asasi Manusia para pencari suaka yang tertahan di Indonesia tidak terjamin. Kajian pustaka kedua sebagai acuan dalam membuat penelitian ini adalah karya ilmiah yang ditulis oleh Rutvica Andrijasevic berjudul How to Balance Rights and Responsibilities on Asylum at the EU’s Southern Border of Italy and Libya. Rutvica Andrijasevic adalah seorang ESRC post-doctoral di Centre on Migration, Policy, and Society University of Oxford. Tulisan ini termuat dalam jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh COMPAS Oxford tahun 2006. Pada tulisan ini, Andrijasevic memaparkan tentang kerjasama bilateral antara Pemerintah Italia dengan Pemerintah Libya dalam penanganan kasus imigrasi ilegal asal Afrika menuju Italia dengan tujuan mencari suaka. Dalam
12
upaya kontrol aliran imigrasi ilegal dari Afrika menuju Italia, Pemerintah Italia menjalankan sebuah kerjasama dengan Pemerintah Libya dimulai sejak tahun 2000. Kerjasama tersebut berupa perjanjian untuk memberantas terorisme, organized crime, dan imigrasi ilegal. Kemudian pada tahun 2003, hubungan kerjasama Italia-Libya semakin luas mencakup readmission agreement, training untuk polisi dan border guards Libya serta pemberian bantuan dana untuk pembangunan tempat detensi para imigran ilegal tujuan Italia yang melewati Libya. Readmission agreement adalah istilah yang digunakan oleh European Union (EU) dalam menjelaskan kebijakan negara untuk memindahkan para asylum seeker dari negara tujuan ke negara lain sebagai third country. Tulisan karya Andrijasevic ini memperdebatkan bahwa implementasi dari kerjasama ini tidak benar-benar merelokasi para pencari suaka ke tempat penanganan yang tepat, namun justru seperti menghalangi prosedur mereka untuk mendapatkan kesempatan klaim status sebagai pengungsi. Menurut analisis Andrijasevic, tujuan dari kerjasama ini dari sudut pandang Italia adalah untuk mencegah kematian para UMAs di laut yang hendak melanjutkan perjalanan menuju Italia dari Afrika. Namun, tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan efek deterrence kepada UMAs yang hendak bermigrasi ke Eropa. Hasil jurnal ini adalah pemaparan tentang tanggung jawab politik dari semua aktor yang terlibat dalam pelaksanaan readmission agreement tersebut. Aktor yang dimaksud adalah Pemerintah Italia dan Pemerintah Libya serta organisasi internasional seperti EU dan UNHCR.
13
Penelitian ini menggunakan karya ilmiah yang ditulis oleh Amy Nethery et al. dan Andrijasevic sebagai kajian pustaka karena kedua penelitian tersebut memiliki kesamaan tema dengan penelitian ini. Garis besar dalam penelitian keduanya adalah tentang kerjasama pemindahan UMAs ke negara lain sebagai third country. Kedua kajian pustaka di atas juga memiliki kontribusi dalam proses pembuatan penelitian ini. Kajian pustaka pertama karya Amy Nethery et al. menghasilkan sebuah pernyataan bahwa proses transfer of asylum seeker antara Australia dan Indonesia cenderung bersifat menitikberatkan tanggung jawab kepada Indonesia dan pada praktiknya tidak mampu melindungi HAM para pencari suaka. Oleh sebab itu, hasil karya ilmiah tersebut menjadi referensi dan sumber pertanyaan selanjutnya yang akan dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil tulisan Nethery et al., penelitian ini merumuskan sebuah pertanyaan mengapa Pemerintah Papua Nugini bersedia menerima bentuk kerjasama PNG Solution sementara contoh yang terjadi di Indonesia tidak menunjukan hasil yang cukup baik bagi pihak third country. Kajian pustaka kedua karya Andrijasevic fokus terhadap tanggung jawab masing-masing pihak dalam permasalahan transfer of asylum seeker. Pihak yang dimaksud adalah pemerintah masing-masing negara, organisasi internasional, dan kelompok masyarakat. Oleh sebab itu, kajian pustaka kedua membantu penelitian ini dalam membahas tanggung jawab seluruh pihak yang terlibat dalam PNG Solution. Penelitian ini membahas tanggung jawab Pemerintah Australia sebagai negara pengirim dan sejauh mana tanggung jawab Pemerintah Papua Nugini sebagai third country. Hal ini sejalan dengan isu yang dibahas pada kajian pustaka
14
pertama yakni titik berat tanggung jawab negara. Persoalan tanggung jawab ini tentu berkaitan dengan alasan dan motif Papua Nugini bersedia menerima kerjasama dengan pihak Australia. Tulisan karya Amy Nethery et al. tidak membahas faktor-faktor yang memengaruhi Indonesia bersedia melakukan kerjasama internasional dengan Australia dalam hal penahanan dan pemrosesan UMAs. Oleh sebab itu, penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai motivasi dan faktor pendukung third country, yang dalam kasus ini adalah Papua Nugini, bersedia untuk menjadi tempat resettlement para UMAs. Hal ini menarik untuk diangkat menjadi sebuah penelitian karena menurut Foster (2008) dalam tulisannya yang berjudul Responsibility
Sharing
or
Shifting?
“Safe”
Third
Countries
and International Law dikatakan bahwa pelaksanaan transfer of asylum seeker cenderung bersifat burden shifting bukan burden sharing. Sama halnya seperti penelitian Amy Nethery et al., penelitian karya Andrijasevic belum menjelaskan mengenai motivasi third country menerima bentuk kerjasama internasional transfer of asylum seeker dari negara tujuan sebenarnya. Selain itu, kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian ini hanya membahas mengenai pemindahan UMAs ke negara yang wilayahnya dilewati oleh jalur UMAs tersebut. Namun, penelitian ini menggunakan contoh kasus pemindahan UMAs oleh Australia ke Papua Nugini karena kerjasama ini cukup unik. Australia akan memindahkan UMAs yang berasal dari mana pun ke Papua Nugini, baik itu yang ditemukan di Pulau Christmas atau wilayah lepas pantai Australia lainnya maupun yang sudah tiba di mainland Australia. Hal ini juga
15
berarti Papua Nugini bersedia menerima UMAs yang tidak melewati batas wilayahnya seperti UMAs asal Afghanistan, Irak, dan Sri Lanka. Maka dari itu, penelitian ini dapat mengisi gap yang ada di dalam dua penelitian sebelumnya dengan menambahkan informasi yang belum dibahas pada kedua penelitian tersebut. Informasi tambahan yang dimaksud yakni motivasi negara penerima UMAs yang wilayahnya tidak dilewati namun mendapatkan tanggung jawab untuk menangani UMAs tersebut.
2.2
Kerangka Konseptual Penelitian ini menggunakan model pengambilan keputusan aktor rasional
dan kepentingan nasional sebagai konsep utama dalam menganalisis alasan Papua Nugini bersedia bekerjasama dengan Australia dalam penanganan UMAs tujuan Australia. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Rational Chioce.
2.2.1
Model Aktor Rasional Dalam membuat kebijakan luar negeri terdapat beberapa proses penting
yang dapat memengaruhi hasil dari kebijakan itu sendiri. Maka dari itu, pembahasan mengenai pengambilan keputusan luar negeri menjadi penting sebagai bagian dari foreign policy analysis. Pengambilan keputusan kebijakan luar negeri oleh suatu negara dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Graham T. Allison dalam bukunya yang berjudul Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis (1999)
16
menjelaskan kasus krisis misil Kuba melalui tiga model pengambilan keputusan yakni Model Aktor Rasional, Model Organisasional, dan Model Politik Pemerintah. Penelitian ini menggunakan sudut pandang Model Aktor Rasional dari Graham T. Allison untuk menganalisis keputusan Papua Nugini dalam kerjasama PNG Solution. Penggunakan Model Aktor Rasional dalam penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa keputusan kebijakan luar negeri Papua Nugini untuk menjalin kembali kerjasama bilateral dengan Australia di bidang asylum seeker merupakan keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Papua Nugini sendiri. Model Aktor Rasional adalah model pengambilan keputusan yang secara umum melihat negara sebagai aktor tunggal dalam proses pengambilan keputusan. Tindakannya ini dapat dianalogikan seperti perilaku manusia yang rasional. Rasionalitas yang dimaksud merujuk pada keputusan atau pilihan yang konsisten dan value-maximizing (mencari keuntungan sebesar-besarnya) dalam kondisi keterbatasan tertentu (Allison & Zelikow, 1999). Keterbatasan aktor rasional dalam pengambilan keputusan dipengaruhi oleh lingkungan dimana kebijakan tersebut diambil. Mintz dan DeRouen (2010) mengemukakan sembilan kondisi yang dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan antara lain keterbatasan waktu, keterbatasan informasi, ambiguitas, familiaritas, akuntabilitas, resiko, tekanan, setting dinamis dan statis, dan setting interaktif. Setelah melihat kendala atau faktor yang dapat memengaruhi kondisi dalam pengambilan keputusan, adapun tahap-tahap dari tindakan rasional antara lain tujuan negara, alternatif pilihan, konsekuensi keuntungan atau kerugian, dan
17
pilihan rasional. Tahap-tahap ini dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan teori karena konsep dasar inilah yang pada akhirnya membentuk pemikiran Teori Rational Choice.
2.2.2
Kepentingan Nasional Kebijakan luar negeri merupakan sebuah refleksi dari tujuan dan
kepentingan suatu negara di arena internasional sehingga dalam membahas dan menganalisis kebijakan luar negeri suatu negara, sangatlah penting untuk membahas mengenai konsep kepentingan nasional itu sendiri. Kepentingan nasional merupakan tujuan akhir dari sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan merupakan target utama yang harus dicapai oleh negara tersebut. Dengan kata lain, kepentingan nasional juga dapat diartikan sebagai kebutuhan negara yang bersifat penting yang kemudian mengarahkan para pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan luar negerinya (Perwita & Yani, 2006). Kepentingan nasional merupakan hal esensial dalam model aktor rasional karena para pengambil keputusan akan melalui beberapa proses untuk menghasilkan keputusan yang dianggapnya paling rasional sehingga tercapainya kepentingan nasional negara tersebut. Begitu pula dengan apa yang dilakukan Pemerintah Papua Nugini dalam menerima kerjasama bilateral dengan Australia. Konsep kepentingan nasional dalam penelitian ini berfungsi untuk membantu menganalisis keputusan Papua Nugini dan menjadi salah satu sumber jawaban dari rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yakni mengapa Papua
18
Nugini bersedia menerima kerjasama dengan Australia melalui kebijakan PNG Solution. Menurut Dewi Fortuna Anwar dalam tulisan Adriani (2010), kepentingan nasional dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, kepentingan nasional dilihat dari pendekatan objektif dimana kepentingan nasional dipandang sebagai sesuatu yang dapat dijabarkan secara jelas sehingga bila dilihat dari penerapannya akan cenderung konstan dari waktu ke waktu. Sebaliknya, kepentingan nasional yang dilihat
melalui
pendekatan
subjektif
memandang
adanya
faktor
yang
memengaruhi faktor pengambil keputusan sehingga dapat menyebabkan perubahan kepentingan nasional suatu negara.
2.2.3 Teori Rational Choice Penelitian
ini
menggunakan
Teori
Rational
Choice
dalam
mengidentifikasikan alasan Papua Nugini menerima kerjasama internasional PNG Solution yang ditawarkan oleh Australia. Menurut Friedman (1953), Rational Choice adalah sikap individu yang mempertimbangkan biaya dan keuntungan dalam membuat keputusan agar mendapatkan hasil maksimal. “...an individual acts as if balancing costs against benefits to arrive at action that maximizes personal advantage.” (Friedman, 1953). Menurut Ferejohn (dalam Pollack, 2006) Teori Rational Choice dapat menggunakan individu, organisasi, atau negara sebagai unit dasar analisisnya. Penelitian ini menggunakan negara sebagai unit analisis. Pada level yang lebih luas, Rational Choice diartikan sebagai pendekatan metodologis yang menjelaskan tentang hasil dari keputusan individu maupun kolektif di bawah
19
kendala atau tekanan untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Snidal dalam Pollack, 2006). Teori Rational Choice memiliki tiga unsur penting yaitu; individualisme metodologis, pencapaian tujuan atau maksimalisasi fungsi, dan kendala pada pilihan individu (Pollack, 2006). Unsur pertama dalam Teori Rational Choice adalah individualisme metodologis. Unsur ini menekankan pada inidividu sebagai unit dasar analisis sosial. Teori Rational Choice menjelaskan bahwa pilihan individu berasal dari kesatuan perilaku individu dan kolektif. Apapun yang terjadi dalam dunia sosial, termasuk dalam hubungan internasional, dapat diterangkan oleh pilihan individual. Apa yang dilakukan negara atau organisasi dapat diterangkan dengan pilihan-pilihan yang juga dibuat oleh individu (Jackson & Sorensen, 2010). Pada contoh kasus PNG Solution, unsur individualisme metodologis ditunjukan dengan peran Pemerintah Papua Nugini sebagai pembuat keputusan yang begitu besar dalam menentukan sikap Papua Nugini terhadap kerjasama Australia. Walaupun dalam proses implementasi kebijakan ini banyak menuai protes dari masyarakat asli Papua Nugini dan aktivis HAM skala internasional, namun Pemerintah Papua Nugini tetap memutuskan untuk bekerja sama dengan Pemerintah Australia dalam kebijakan PNG Solution (Australian Broadcasting Corporation, 2013). Unsur kedua adalah pencapaian tujuan atau maksimalisasi fungsi. Individu diasumsikan tetap bertindak secara maksimal demi mencapai tujuannya walaupun dihadapkan pada kendala atau tekanan. Dengan kata lain, sebelum membuat
20
keputusan, individu telah mengkalkulasikan tujuan yang diinginkan dengan kendala yang ada kemudian mencari tindakan alternatif yang maksimal untuk tetap mencapai tujuan itu. Hal ini diistilahkan dengan logic of consequentiality1 atau ‘logika konsekuensi’ yang memberikan pendekatan khusus pada perilaku manusia. Logika konsekuensi dalam unsur ini berlawanan dengan istilah logic of appropriateness atau ‘logika kesesuaian’ dan logic of arguing atau ‘logika debat’ (Risse dalam Pollack, 2006). Dalam PNG Solution, unsur pencapaian tujuan atau maksimalisasi fungsi ditunjukan dengan statement Pemerintah Papua Nugini yang ingin menjalin kembali hubungan bilateral dengan Pemerintah Australia. Berdasarkan tulisan Walter Hamilton (2013) yang dikutip dari situs Eureka Street Australia, ia memaparkan pernyataan dari PM Papua Nugini Peter O’Neill yang mengatakan; “The benefits of the new deal for PNG are very, very clear. For the first time we are realigning our aid program ... with the Australians, where we, the Papua New Guinean government, will now set all the priorities under which Australian aid program will be now directed towards.” Hamilton (2013) menambahkan, “by ‘realigning’ he means taking back control, which has been a major ambition since his government seized office in 2011.” Keputusan untuk realignment ini tentunya melalui dua tahap sesuai dengan penjelasan unsur kedua di atas yaitu menentukan tujuan utama yang ingin dicapai 1
Logic of consequentiality adalah sikap yang diambil berdasarkan pertimbangan konsekuensi positif dan negatif yang sekiranya akan diperoleh. Hal ini berbanding terbalik dengan logic of appropriateness yang lebih mementingkan norma-norma kesesuaian yang berlaku di masyarakat dan logic of arguing dimana keputusan yang diambil berasal argumen seseorang atau pihak yang lebih kuat, bukan dari pertimbangan dan kalkulasi pilihan alternatif yang ada.
21
oleh Papua Nugini dan mengidentifikasikan beberapa pilihan alternatif yang dihadapi oleh Pemerintah Papua Nugini. Kedua tahap ini nantinya akan berhubungan dengan unsur ketiga yakni kendala-kendala yang ada. Unsur ketiga adalah pilihan individu dibawah kendala. Hal ini berarti individu tidak langsung memutuskan sesuatu tetapi menimbang dan memilih di antara tindakan alternatif yang ada dalam keterbatasan lingkungan fisik dan sosial mereka (Pollack, 2006). Begitu juga dengan contoh kasus PNG Solution. Salah satu kendala yang dihadapi Pemerintah Papua Nugini sehubungan dengan PNG Solution adalah tekanan dari masyarakat Papua Nugini yang kontra terhadap isi dari kebijakan tersebut. Walaupun Pemerintah Papua Nugini dihadapkan pada kendala yang berasal dari dalam negeri, namun negara sebagai aktor tunggal pengambil keputusan – menurut konsep Model Aktor Rasional – yang direpresentasikan oleh pemerintah harus tetap memutuskan pilihan yang memiliki hasil paling maksimal melalui pertimbangan keuntungan dan kendala yang dihadapi.
22