BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 2.1.1
Tinjauan Teoritis Teori Stakeholder Teori ini menyatakan bahwa perusahaan harus mampu memperhatikan
seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) secara seimbang dan tidak hanya memperhatikan kepentingan para pemegang saham (shareholders). Kemampuan perusahaan untuk melaksanakan hal ini sangat menentukan kesuksesan dan keberlangsungan hidup (sustainability) perusahaan dalam jangka panjang. Menurut Meutia (2008) dalam Adisusilo (2011) teori stakeholders menjelaskan pengungkapan sosial perusahaan sebagai cara untuk berkomunikasi dengan stakeholders, dan memiliki 2 cabang yaitu: 1. Ethical dan normative menyatakan bahwa semua stakeholders memiliki hak yang sama untuk diperlakukan secara adil, dan isu kekuasaan stakeholders tidak relevan dalam hal ini. Pandangan ini merefleksikan kerangka pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Gray et al (1987) yang menyatakan bahwa organisasi bertanggung jawab kepada semua stakeholders untuk mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan. 2. Cabang positive menjelaskan bahwa pengungkapan sosial perusahaan merupakan cara untuk mengelola hubungan organisasi dengan
kelompok stakeholders yang berbeda. Semakin penting stakeholders bagi organisasi semakin besar usaha yang dilakukan untuk mengelola hubungan tersebut.
2.1.1
Teori Signaling Teori ini muncul karena adanya kesenjangan informasi yang diperoleh
investor dengan informasi yang dimiliki oleh manajemen perusahaan (asymmetric information). Asymmetric information adalah situasi dimana manajer memiliki informasi yang berbeda (lebih baik) tentang prospek perusahaan dibandingkan dengan yang dimiliki oleh investor (Brigham, 2011). Berdasarkan teori signalling, pelaporan laporan keuangan oleh perusahaan merupakan suatu sinyal yang dapat mempengaruhi nilai saham. Dengan demikian pihak manajemen cenderung selalu berusaha untuk menyampaikan informasi yang baik kepada pasar dan cenderung menyembunyikan kondisi perusahaan yang sebenarnya guna menaikkan nilai perusahaan agar para shareholders dalam hal ini investor menanamkan modal dalam perusahaan untuk membiayai proyek yang sedang dan akan dikerjakan serta indikasi adanya investor yang menerima informasi lebih yang tidak didapatkan oleh investor lainnya. Asymmetric information ini pada kenyataannya justru mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan shareholders sehingga untuk mengatasinya perusahaan yang memiliki nilai yang tinggi perlu melakukan signalling melalui kebijakan akuntansi perusahaan.
Menurut Jogiyanto (2000), ada beberapa penjelasan yang mendasari penyebaran informasi asimetris (asymmetric information) menjadi informasi simetris (symmetric information), yaitu (1) informasi privat disebarkan ke publik secara resmi melalui pengumuman oleh perusahaan emiten, (2) investor yang memiliki informasi privat akan menggunakannya dan setelah itu mereka akan bersedia untuk menjualnya, (3) investor yang mendapat informasi secara privat akan melakukan tindakan yang spekulatip (speculative behavior), (4) apa yang disebut dengan teori ekspektasi rasional (rational expectation theory) yang menjelaskan bahwa investor yang tidak mendapatkan informasi tersebut akan melakukan transaksi dengan mengikuti transaksi yang dilakukan oleh investor yang mempunyai informasi dengan cara mengamati perubahan dari harga yang terjadi.
2.1.2
Teori Legitimasi Berdasarkan teori legitimasi, perusahaan dalam melaksanakan aktivitas
operasionalnya tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial yang berada disekitarnya. Perusahaan dan lingkungan sosial saling berhubungan erat karena keduanya terikat pada kontrak sosial (social contract). Perusahaan diberikan izin untuk
melaksanakan
aktivitasnya
melalui
izin
dari
pemerintah
selaku
perpanjangan tangan masyarakat dan perusahaan dianggap perlu melaksanakan tanggung jawab sosialnya kepada stakeholders khususnya masyarakat dan komunitas lingkungan sekitar.
2.1.3
Teori Sustainabilitas Korporasi Menurut teori ini, agar bisa hidup dan tumbuh secara berkelanjutan,
korporasi harus mengintegrasikan tujuan bisnis dengan tujuan sosial dan ekologi secara utuh (Lako, 2011). Dalam perspektif teori ini, masyarakat dan lingkungan adalah pilar dasar dan utama yang menentukan keberhasilan bisnis suatu perusahaan sehingga harus selalu diproteksi dan diberdayakan (Lako, 2011). Pembangunan, pengembangan serta perluasan bisnis yang akan dilakukan perusahaan harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga tidak meninggalkan dampak negatif di masa yang akan datang.
2.2
Corporate Sosial Responsibility (CSR) Orientasi utama dalam pelaksanaan suatu usaha bisnis adalah untuk
memperoleh laba yang maksimal dari kegiatan operasional yang dilaksanakan. Hal ini menyebabkan perusahaan lalai dalam memperhatikan komunitas dan lingkungan
sekitar
tempatnya
beroperasi.
Pencemaran
lingkungan,
ketidaksejahteraan masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan, bencana alam yang terjadi akibat aktivitas perusahaan dan dampak negatif lainnya dari aktivitas perusahaan yang dirasakan oleh masyarakat terjadi akibat ketidakpedulian perusahaan terhadap hal-hal lain diluar kegiatan bisnisnya. Perkembangan laju teknologi dan informasi yang sangat pesat dewasa ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan informasi masyarakat akan informasi aktivitas perusahaan. Masyarakat pun semakin memahami hal-hal apa saja yang
menjadi tanggung jawab sosial perusahaan dan hal-hal apa saja yang menjadi hak mereka. Istilah CSR pertama kali digunakan dalam tulisan Howard Rothmann Browen yang berjudul Social Responsibility of The Businessman pada tahun 1953. Selanjutnya, muncul beberapa istilah yang bermakna hampir sama dengan Corporate Social Responsibility (CSR), seperti: Corporate Giving, Corporate Philanthropy, Corporate Community Relation dan Community Development. Secara global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer setelah diterbitkannya buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business karya John Elkington pada tahun 1998. Konsep ini merupakan pengembangan dari konsep single bottom line yang hanya berorientasi pada profit. Konsep triple bottom line menambahkan unsur people dan planet sebagai faktor yang mempengaruhi profit yang menjadi tujuan utama perusahaan. Definisi
Corporate
Social
Responsibility
(CSR)
menurut
ISO
(International Organization for Standaridization) 26000 adalah the responsibility of an organization for the impacts of its decision and activities on society and the environment, through transparency and ethical behavior that : 1. Contribute to sustainable development, including health and welfare of society, 2. Takes into account the expectation of stakeholders 3. Is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behavior, 4. Is integrated throughout the organization and practices in its relationship. CSR diartikan sebgai pertanggungjawaban sebuah organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitas yang dilaksanakan di masyarakat dan lingkungan,
melalui transparansi dan perilaku etis yang berbentuk antara lain: (1) kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, termasuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, (2) memenuhi harapan stakeholders, (3) sesuai dengan hukum yang berlaku dan sejalan dengan norma-norma perilaku yang berlaku secara internasional,
dan
(4)
terintegrasi
dengan
keseluruhan
organisasi
dan
pelaksanaannya dengan pihak-pihak terkait. Definisi CSR menurut World Bank dalam Public Policy for Corporate Social Responsibility tahun 2003 adalah “the commitment of business to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”. Berdasarkan definisi World Bank diatas, CSR diartikan sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pekerja, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat secara luas untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara-cara yang baik untuk bisnis dan juga baik untuk pembangunan. Menurut World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam id.wikipedia.org, “CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat atau pun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya”.
Maignan dan Ferrel (2004) dalam Susanto (2009) mendefinisikan CSR sebagai “A business acts in socially responsible manner when its decision and actions account for and balance diverse stakeholder interest”. Tindakan bisnis dikatakan bertanggung jawab secara sosial ketika keputusan dan tindakan yang diambil
memperhitungkan
dan
menyeimbangkan
seluruh
kepentingan
stakeholders yang beragam. The Jakarta Consulting Group dalam Susanto (2009) membagi CSR ke dalam dua bagian, yaitu Internal Responsibilities dan External Responsibilities. Internal Responsibilities berarti tanggung jawab diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan, sedangkan External Responsibilities dikaitkan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia
lapangan
kerja,
meningkatkan
kesejahteraan
dan
kompetensi
masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 dalam pasal 1 butir 3 mendefinisikan tanggung jawab sosial sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Berdasarkan berbagai definisi diatas, CSR dilakukan perusahaan untuk memenuhi tanggung jawabnya
kepada pihak pemegang saham, pemerintah,
lingkungan sosial, komunitas dan masyarakat. Pemenuhan tanggung jawab sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai bentuk sesuai dengan kepentingan para
shareholders. Dengan dilaksanakannya CSR, perusahaan tidak hanya berupaya untuk memenuhi kebutuhan shareholders, namun juga memenuhi kebutuhan keberlangsungan usahanya ke depan. Pelaksanaan kegiatan CSR menurut Kotler (2005) dapat dibagi kedalam enam kategori, yaitu (1) cause promotions, (2) cause related marketing, (3) corporate social marketing, (4) corporate philanthropy, (5) community volunteering, dan (6) socially responsible Business Practice. Pelaksaanaan CSR di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 74, yang berbunyi: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai
biaya
Perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan aturan pemerintah. Pelaksanaan CSR tentunya tidak hanya menjadi beban bagi perusahaan namun membawa manfaat bagi perusahaan yang melaksanakannya. Menurut Putri
(2007) dalam Untung (2009), manfaat CSR bagi perusahaan antara lain: (1) mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan, (2) mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial, (3) mereduksi risiko bisnis perusahaan, (4) melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha, (5) membuka peluang pasar yang lebih luas, (6) mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah, (7) memperbaiki hubungan dengan stakeholders, (8) memperbaiki hubungan dengan regulator, (9) meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan, dan (10) peluang mendapatkan penghargaan. Menurut artikel Corporate Social Responsibility: Meeting Changing Expectation (1999) Sustainability
yang diterbitkan oleh World Business Council For
Development
dalam
Widjaja
dan
Pratama
(2008),
tidak
melaksanakan CSR dapat berakibat pada terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dalam kegiatan usaha, diantaranya adalah: (1) boikot konsumen, (2) serangan terhadap aset tetap seperti tanah perkebunan dan bangunan, (3) kegagalan untuk menarik karyawan yang berkualitas dan kehilangan dukungan dari karyawan, (4) pengeluaran ekstra untuk memperbaiki kesalahan dimasa lalu, (5) pengalihan perhatian manajemen dari aktivitas inti perusahaan, (6) pembatasan operasi perusahaan, seperti adanya peraturan baru, (7) halangan untuk menaikkan keuangan dan asuransi, serta (8) kesulitan dengan siklus hidup perusahaan (konsumen akhir dan pemasok). The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah menerbitkan The OECD Guidelines for Multinational Enterprise yang berisi prinsip-prinsip dan standar-standar perilaku bisnis yang bertanggung jawab.
Panduan (guidelines) ini terdiri dari 10 bagian, yaitu (1) Concepts and Principles, (2) General Policies, (3) Disclosure, (4) Employment and Industrial Relations, (5) Environment, (6) Combating Bribery, (7) Consumer Interests, (8) Science and Technology, (9) Competition, dan (10) Taxation. Panduan ini ditujukan kepada perusahaan multinasional agar kegiatan bisnis yang dijalankan sejalan dengan kebijakan pemerintah dan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak terkait. Informasi mengenai pelaksanaan CSR masing-masing perusahaan bisa dilihat dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan. Laporan tahunan ini menyajikan informasi mengenai aktivitas-aktivitas yang telah dilaksanakan perusahaan, perkembangan, kinerja dan pencapaian yang berhasil diraih perusahaan selama satu tahun. Selain itu, laporan tahunan juga memuat laporan keuangan perusahaan yang memberi informasi mengenai laba yang diperoleh perusahaan selama satu periode. Penerbitan laporan tahunan ini diharapkan dapat membantu stakeholders dalam mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan informasi laba akuntansi dan rasio-rasio namun juga informasi-informasi lainnya yang terkandung dalam laporan tahunan. Informasi yang disajikan dalam laporan tahunan dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu, penyajian wajib (mandatory disclosure) dan penyajian sukarela (voluntary disclosure). Penyajian informasi CSR sampai saat ini masih bersifat voluntary (sukarela). PSAK No. 1 (Revisi 2009) paragraf sembilan menyatakan bahwa:
Entitas dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai pengguna laporan yang memegang peranan penting. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) No: Kep-431/BL/2012 mengatur mengenai pokok-pokok pembahasan CSR di dalam laporan tahunan perusahaan. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan penyajian informasi CSR tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bahasan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan meliputi kebijakan, jenis program, dan biaya yang dikeluarkan, antara lain terkait aspek: a. lingkungan hidup, seperti penggunaan material dan energi yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang, sistem pengolahan limbah perusahaan, sertifikasi di bidang lingkungan yang dimiliki, dan lain-lain; b. praktik ketenagakerjaan, kesehatan, dan keselamatan kerja, seperti kesetaraan gender dan kesempatan kerja, sarana dan keselamatan kerja, tingkat perpindahan (turnover) karyawan, tingkat kecelakaan kerja, pelatihan, dan lain-lain; c. pengembangan sosial dan kemasyarakatan, seperti penggunaan tenaga kerja lokal, pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, perbaikan sarana dan prasarana sosial, bentuk donasi lainnya, dan lain-lain; dan
d. tanggung jawab produk, seperti kesehatan dan keselamatan konsumen, informasi produk, sarana, jumlah dan penanggulangan atas pengaduan konsumen, dan lain-lain. 2. Emiten atau perusahaan publik dapat mengungkapkan informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1) pada laporan tahunan atau laporan tersendiri yang disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan kepada Bapepam dan LK, seperti laporan keberlanjutan (sustainability report) atau laporan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility report). Menurut, Gray et al (1987) penyajian informasi non-keuangan seperti informasi CSR dapat dibagi ke dalam lima kategori, yaitu: (1) narrative disclosure, (2) statistical summaries, (3) social indicators, (4) compliance with standards, dan (5) others (including advertising). Penyajian informasi CSR merupakan suatu hal yang bersifat endogeneous (Core, 2001; Healy dan Palepu, 2001 dalam Sayekti, 2007). Sayekti (2007) mengungkapkan bahwa banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai faktorfaktor determinan yang mempengaruhi perusahaan dalam melakukan penyajian informasi CSR. Ukuran perusahaan, profitabilitas, dan profil industri berkorelasi positif dengan pengungkapan informasi CSR (Haniffa et al, 2005; Cowen et al, 1997; Trotman et al, 1981; Kelly, 1981; Sembiring, 2003; Sembiring, 2005; Sayekti, 2006; McGure et al, 1988; Roberts, 1992; Utomo, 2000 dan Anggraini, 2006 dalam Sayekti (2007). Leverage juga berkorelasi dengan tingkat penyajian informasi CSR baik secara positif atau negatif dan tidak berkorelasi. Roberts
(1992) dalam Sayekti (2007) menemukan korelasi yang positif, Sembiring (2003) dan Sayekti (2006) dalam Sayekti (2007) menemukan korelasi yang negatif. Haniffa et al (2005) dan Sembiring (2005) dalam Sayekti (2007) tidak menemukan korelasi antara tingkat leverage dengan tingkat penyajian informasi CSR.
2.3
Earning Response Coefficient (ERC) Earning Response Coefficient (ERC) digunakan untuk mengukur besaran
reaksi pasar terhadap informasi yang disajikan dalam laporan tahunan perusahaan terutama informasi mengenai laba. Scott (2003) mendefinisikan earning response coefficient (ERC) sebagai ukuran besaran abnormal return suatu sekuritas sebagai respon atas komponen laba kejutan (unexpected earnings) yang dilaporkan oleh perusahaan yang mengeluarkan sekuritas tersebut. Respon pasar terhadap laba dapat berbeda-beda karena adanya hal-hal berikut, yaitu persistensi laba, beta, struktur permodalan perusahaan, kualitas laba, peluang pertumbuhan perusahaan dan informativeness of price (Scott, 2009). Nilai ERC diprediksi akan semakin tinggi jika laba perusahaan lebih persisten di masa depan, kualitas laba semakin baik dan memiliki peluang untuk semakin bertumbuh. Sedangkan jika beta semakin tinggi, ERC akan semakin rendah (Scott, 2003). ERC juga dipengaruhi oleh struktur permodalan perusahaan. Peningkatan laba (sebelum bunga) bagi perusahaan high levered berarti bahwa kondisi perusahaan semakin baik bagi pemberi pinjaman dibandingkan bagi
pemegang saham. Oleh karena itu, perusahaan yang high levered memiliki ERC yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang low levered. Infomativeness harga pasar saham perusahaan tersebut diproksi dengan ukuran perusahaan. Semakin besar perusahaan maka akan semakin banyak informasi perusahaan yang tersedia untuk publik sehingga nilai informativeness harga saham semakin tinggi. Nilai kandungan informasi perusahaan dan ERC berbanding terbalik sehingga jika nilai informativeness suatu perusahaan semakin tinggi, maka ERC akan semakin rendah.
2.4
Hubungan Penyajian Informasi CSR terhadap ERC Hubungan tingkat penyajian informasi CSR dengan koefisien respon laba
secara umum masih sangat beragam. Lang dan Lundholm (1993) dalam Sayekti (2007) menyatakan adanya korelasi negatif antara ERC dengan tingkat penyajian informasi CSR. Penelitian Lang dan Lundholm (1993) mengenai pengungkapan sukarela menunjukkan bahwa tingkat penyajian yang lebih tinggi berasosiasi dengan kinerja pasar yang lebih baik (yang diukur dengan return saham). Dalam penelitiannya, Lang et al (1993) menggunakan korelasi laba dan return saham perusahaan sebagai proksi asimetri informasi. Hal ini konsisten dengan motif adverse selection (Lang et al, 1993 dalam Sayekti (2007). Penelitian lain yang menguji mengenai pengaruh pengungkapan dalam laporan tahunan terhadap ERC dilakukan oleh Widiastuti (2002). Penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang konsisten dengan prediksi tentang pengaruh luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan terhadap ERC (Widiastuti, 2002
dalam Fitriana, 2011). Penelitian ini diprediksi akan menemukan pengaruh negatif pengungkapan sukarela terhadap ERC, namun hasil pengujian empiris yang dilakukan justru menemukan adanya pengaruh signifikan diantara keduanya. 2.5
Tinjauan Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian mengenai pengaruh penyajian informasi CSR dalam
laporan tahunan perusahaan yang telah dilakukan sebelumnya dilakukan oleh : 1
Resturiyani
(2012)
meneliti
tentang
pengaruh
pengungkapan
Corporate Social Responsibility terhadap kinerja keuangan pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2011. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengungkapan informasi CSR berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan indikator Return On Investment (ROI). 2
Fariba (2013) meneliti tentang dampak akuntabilitas sosial pada Incoming dan Earning Response Constant. Penelitian ini memperoleh hasil adanya hubungan antara akuntabilitas sosial perusahaan dengan Incoming Response Coefficient (IRC) dengan Voluntary Disclosure (VD) sebagai variabel moderat dan ada hubungan yang sangat signifikan antara CSR dengan Earning Response Coefficient (ERC). Penelitian ini dilakukan pada 41 perusahaan yang terdaftar pada bursa Iran.
3
Utami (2013) meneliti tentang pengaruh pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap kinerja keuangan pada perusahaan
pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2008-2010.
Melalui
penelitian
ini
dapat
disimpulkan
bahwa
pengungkapan tanggung jawab sosial berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan indikator Return On Equity satu tahun kedepan (ROEt+1) dan tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham. 4
Adisusilo (2011) menguji pengaruh dari pengungkapan informasi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam laporan tahunan perusahaan terhadap respon pasar terhadap laba akuntansi (Earning Response Coefficient, ERC) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2009. Pengujian dilakukan dengan menggunakan regresi berganda. Hasil pengujian ditemukan adanya pengaruh yang signifikan dengan negatif antara CSR terhadap ERC secara parsial. Hasil lainnya menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara Leverage, PBV (Price to Book Value) dan ROE (Return On Equity) terhadap ERC serta ada pengaruh yang signifikan dan positif antara Ukuran Perusahaan (Size) terhadap ERC.
5
Utaminingtyas dan Ahalik (2010) meneliti hubungan antara Corporate Social Responsibility dan Earning Response Coefficient pada 41 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
CSR
dengan
ERC
dan
pengungkapan
CSR
dengan
pengungkapan sukarela sebagai variabel moderat berpengaruh terhadap ERC. Pengungkapan sukarela sebagai variabel moderat antara indeks CSR dengan ERC tidak berpengaruh setelah melibatkan Ukuran Perusahaan dan Struktur Modal sebagai variabel kontrol. 6
Sayekti dan Wondabio (2007) meneliti pengaruh pengungkapan informasi CSR terhadap ERC pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Penelitian ini menemukan bahwa tingkat pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh negatif terhadap ERC. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No
1.
Nama/Tahun
Resturiyani 2012
Judul Penelitian Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Kinerja Keuangan (Studi Pada Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Pada Tahun 2011)
Variabel Penelitian Variabel bebas: Corporate Social Responsibility Variabel terikat: ROI Variabel bebas: CSR
3.
Fariba 2013
Effect of The Social Accountability on Incoming and Earnings Response Constant
Variabel moderat: -Voluntary Disclosure (VD) Variabel
Hasil Penelitian Pengungkapan informasi CSR berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan ROI Ada hubungan antara akuntabilitas sosial perusahaan dengan IRC dimana VD berperan sebagai variabel moderat.
kontrol: -Firm Size (FS) -Capital Structure (CS)
Ada hubungan yang sangat signifikan antara CSR dengan ERC.
Variabel terikat: -IRC -ERC
2.
3.
Utami 2013
Adisusilo 2011
Pengaruh Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Kinerja Keuangan (Studi Empiris Pada Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
Pengaruh Pengungkapan Informasi Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Laporan Tahunan Perusahaan Terhadap Earning Response Coefficients (ERC) (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2009)
Variabel bebas: Tanggung jawab sosial perusahaan Variabel kontrol: -Size -Leverage Variabel terikat: -ROEt+1 -Return saham Variabel bebas: CSR disclosure Variabel kontrol: -Leverage -Growth -Profitabilitas -Size Variabel terikat: Earning Response Coefficient (ERC)
Pengungkapan tanggung jawab sosial berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan dengan indikator ROEt+1 dan tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham Pengungkapan CSR berpengaruh signifikan negatif terhadap ERC Leverage, PBV (Price to Book Value) dan ROE tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC Size berpengaruh signifikan terhadap ERC
Variabel bebas: -CSR
4.
5.
Utaminingtyas dan Ahalik 2010
The Relationship between Corporate Social Responsibility and Earning Response Coefficient: Evidence from Indonesian Stock Exchange
Sayekti dan Wondabio 2007
Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta)
Variabel moderat: -Voluntary Disclosure (VD)
CSR dengan VD berpengaruh signifikan terhadap ERC
Variabel kontrol: -Firm Size CSR dengan (FS) VD dan FS, CS -Capital sebagai variabel Structure (CS) kontrol tidak berpengaruh Variabel terhadap ERC terikat: -ERC Variabel bebas: -Unexpected Earnings (UE) - CSR disclosure Indeks (CSRI) Pengungkapan informasi CSR Variabel berpengaruh kontrol: negatif terhadap -BETA -Price to Book ERC Value (PBV) Variabel terikat: Cummulative Abnormal Return (CAR)
CSR berpengaruh signifikan terhadap ERC
6.2
Kerangka Konseptual dan Pengembangan Hipotesis Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah
diungkapkan, maka kerangka konseptual dan hipotesis yang dirancang penulis adalah sebagai berikut:
6.2.1
Kerangka Konseptual Berdasarkan teori stakeholders, perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan stakeholders dan shareholders secara seimbang. Menurut teori tersebut, perusahaan harus mampu memenuhi kepentingan stakeholders untuk meraih dukungan yang berkelanjutan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam perspektif teori legitimasi, secara tidak langsung, perusahaan memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan sekitar dan terikat dalam sebuah kontrak sosial (social contract). Sejalan dengan teori legitimasi, teori sustainabilitas korporasi (corporate sustainability) mengatakan bahwa masyarakat dan lingkungan memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan bisnis kedepannya. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk mampu mengintegrasikan tujuan bisnis dengan tujuan sosial secara utuh untuk dapat bertahan hidup dan terus bertumbuh. Disisi lain, perusahaan juga harus dapat memenuhi kebutuhan shareholders, informasi yang disajikan perusahaan dalam laporan tahunan akan mempengaruhi keputusan shareholders. Sekarang ini, tidak hanya laba akuntansi yang memiliki dampak pada pengambilan keputusan
shareholders, informasi-informasi lain yang disajikan perusahaan secara sukarela, termasuk informasi mengenai pelaksanaan CSR juga memberi pengaruh pada respon pasar terhadap saham perusahaan karena pelaksanaan
CSR
merupakan
usaha
perusahaan
untuk
menjaga
keberlangsungan praktik bisnisnya. Sehingga berdasarkan teori signalling, informasi-informasi yang disajikan oleh pihak manajemen untuk para shareholders akan berpengaruh langsung terhadap harga saham. Peneliti ingin mengetahui pengaruh setiap unsur CSR yang terbagi kedalam empat tema yaitu, Tema Lingkungan Hidup dan Energi, Tema Ketenagakerjaan, Tema Produk serta Tema Keterlibatan Masyarakat dan Tema yang disajikan dalam laporan tahunan baik secara parsial maupun secara simultan, maka kerangka konseptual yang menjadi dasar penelitian ini digambarkan sebagai berikut: X1 : Lingkungan Hidup dan Energi (TL) X2: Ketenagakerjaan (TK)
H1
X3 : Produk (TP) X4: Keterlibatan Masyarakat dan Umum (TMU)
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Y: Earning Response Coefficient (ERC)
Berdasarkan kerangka diatas, Earning Response Coefficient (ERC) diproksi oleh CAR (Cummulative Abnormal Return) sebagai proksi dari return yang dihitung dari harga saham yang merupakan respon pasar terhadap informasi yang disajikan perusahaan. ERC yang diproksi dengan CAR dipengaruhi oleh variabel independen yaitu penyajian Corporate Social Responsibility (CSR). Menurut, Scott (2009), ada beberapa faktor yang mempengaruhi ERC, yaitu: beta, struktur modal, kualitas laba, Growth Opportunities, The Similiarity of Investor Expectations dan The Informativeness of Price. Firm Size dan Capital Structure ditambahkan sebagai variabel kontrol untuk mencegah hasil perhitungan bias.
6.2.2
Hipotesis Hasil penelitian empiris mengenai pengaruh penyajian informasi
CSR terhadap ERC sebelumnya mengindikasikan bahwa respon pasar terhadap tersedianya informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan masih belum memperlihatkan hasil yang konsisten. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2013) menemukan bahwa pengungkapan informasi CSR tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC. Sedangkan penelitian Sayekti (2007) dan Adisusilo (2011) menunjukkan bahwa adanya pengaruh signifikan negatif antara pengungkapan CSR terhadap ERC. Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis dari penelitian ini adalah :
H1
:Penyajian informasi Corporate Social Responsibility (CSR) tema lingkungan dan energi, tema ketenagakerjaan, tema produk serta tema keterlibatan masyarakat dan umum pada laporan tahunan perusahaan berpengaruh baik secara parsial dan secara simultan terhadap Earning Response Coefficient (ERC)