BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tuna Ikan tuna (Thunnus sp) tergolong ikan berkualitas baik dan merupakan penghasil devisa dari sumber hayati perikanan Indonesia. Menurut James (1989) ikan tuna mempunyai ciri-ciri: tubuh kaku, sirip belakang kecil dan tubuh panjang. Ikan tuna termasuk keluarga Scombridae, bentuk tubuhnya memanjang seperti cerutu atau torpedo, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, serta mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hypural. Menurut Syafei et al (1989) dalam Maulida (2005), klasifikasi dan identifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Scombroideae Famili : Scombroidae Genus : Thunnus Spesies : Thunnus albacares Genus ikan ini terdiri atas beberapa spesies, antara lain Thunnus albacares yang paling banyak terdapat di perairan Indonesia. Jenis ini dikenal dengan sebutan tuna atau yellow fin tuna. Ikan ini memiliki cirri-ciri yaitu badan memanjang, bulat
seperti cerutu dan termasuk jenis ikan buas dan bersifat predator. Panjang tubuh dapat mencapai 195 cm, namun umumnya 50-150 cm (Maulida, 2005). Hidup bergerombol kecil (schooling) pada waktu mencari makan. Ikan yellow fin tuna (Thunnus albacares) yang terlihat pada Gambar 1, tergolong ikan perenang cepat, memiliki dua sirip punggung. Sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, pada bagian punggung berwarna biru kehitaman dan berwarna keputihputihan pada bagian perut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001).
Gambar 1. Ikan Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) Ikan tuna (Thunus sp) dapat diolah menjadi beberap produk yang bernilai eknomis tinggi, seperti tuna loin, tuna kaleng, tuna saku, dan lain-lain. Dari pengolahan tersebut dihasilkan limbah berupa kepala, ekor, sirip, tulang, isi perut dan daging merah. 2.2 Limbah Hasil Perikanan Limbah merupakan suatu hasil sampingan yang kurang berharga bahkan merupakan suatu masalah di dalam suatu industri. Menurut Moeljanto (1992) dalam Maulida (2005) limbah perikanan adalah ikan yang terbuang, tercecer dan sisa olahan yang pada suatu saat di tempat tertentu belum dapat dimanfaatkan secara ekonomis.
Jenis limbah dan hasil samping dapat dikelompokkan secara umum menjadi 4 kelompok (Moeljanto, 1992) yaitu : 1. Hasil samping pada penangkapan suatu spesies atau sumber daya misalnya ikan rucah pada penangkapan udang dan ikan cucut pada penangkapan tuna; 2. Sisa pengolahan seperti bagian kepala, tulang, sisik, sirip, isi perut dan daging merah; 3. Surplus dari tangkapan (glut); 4. Sisa distribusi. Limbah
pengolahan
tuna
dihasilkan
pada
pengolahan
pengalengan,
pembekuan atau pengolahan tradisional. Umumnya industri pengolahan tuna menghasilkan limbah industri yang cukup besar pada beberapa pusat pengolahan, karena tuna termasuk komoditas penting setelah udang (Ilyas dan Suparno, 2001). Limbah tersebut berupa limbah padat, minyak, air sisa pemasakan dan lain-lain. 2.3 Tulang Ikan tuna Tulang ikan merupakan salah satu limbah hasil pengolahan perikanan yang dapat dimanfaatkan sebagai tepung untuk bahan pangan. Pemanfaatan tepung tulang ikan dapat dilakukan dalam bentuk pengayaan (enrichment) sebagai salah satu upaya fortifikasi zat gizi dalam makanan. Di Jepang pemanfaatan tulang ikan dilakukan untuk memproduksi kalsium dalam bentuk tepung tulang yang dapat dikonsumsi manusia (Nabil, 2005). Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14% dari total susunan tulang. Bentuk kompleks kalsium fosfat ini terdapat pada tulang dan dapat diserap oleh tubuh dengan baik sekitar 60-70 % (Subangsihe, 1996).
Komponen kalsium pada tulang ikan tuna sangat tinggi, disamping lemak dan protein. Salah satu upaya untuk menghilangkan lemak atau meminimumkan lemak pada tulang ikan agar produk tidak mudah tengik dan tidak berbau adalah dengan menggunakan asam (Nurhayati, 1994). Potensi tulang ikan sampai saat ini memang belum dapat dioptimalkan di Indonesia. Produk olahan tulang ikan tuna hanya digunakan sebatas pada pemenuhan pakan ternak saja belum merambah di bidang pangan. Padahal sebagai negara yang memiliki sumber daya perikanan yang melimpah, Indonesia banyak sekali menghasilkan berbagai macam produk olahan tulang ikan yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber kalsium utama yang lebih terjangkau ketimbang sumber kalsium lain. Presentase hasil sampingan tulang ikan tuna (yellow fin) hasil pemisahan dari daging pada mesin pemisah daging-tulang ikan tuna mencapai 13%. Tulang ikan tuna yang merupakan bahan dasar tepung tulang ikan tuna bisa diperoleh dari pabrikpabrik pengolahan ikan tuna atau dari rumah-rumah makan (Purbayanto, 2008). Tulang ikan tuna bisa diperoleh dengan harga yang murah dan jumlah yang berlimpah sebab tulang ikan tuna merupakan hasil sampingan dari proses pengolahan ikan oleh mesin pemisah tulang ikan (Mulia, 2005). Tahlib (2009), menyatakan bahwa dalam 100 gram tepung tulang ikan tuna (yellow fin) terdapat kalsium 13.19%, protein 26%, lemak 5%, fosfor 10.25%, zat besi 0.03%, natrium 0.36% dan mineral lainnya. Dengan adanya kalsium dan fosfor dalam jumlah mencukupi, maka penyakit degeneratif karena kekurangan kalsium dan fosfor yakni osteoporosis dapat dicegah (Syahroni, 2008).
Berdasarkan uraian di atas maka dibutuhkan sebuah inovasi baru bahan makan yang menggunakan bahan baku dasar lokal sekaligus memiliki kandungan gizi tinggi, khususnya kalsium guna mencegah osteoporosis. Penambahan tepung tulang ikan tuna sebagai bahan baku utama dalam produk makanan akan memberikan banyak dampak positif. 2.4 Kalsium Kalsium adalah mineral yang sangat penting bagi tubuh manusia. Salah satu fungsinya adalah membentuk tulang dan menjaganya agar tetap kuat, tetapi fungsi kalsium bukan hanya untuk tulang, 99% kalsium berada di tulang atau gigi sedangkan 1% sisanya bersikulasi dalam darah dan ini sangat penting dalam kehidupan dan kesehatan (Trilaksani, 2006). Studi ilmiah menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu, hilangnya kalsium dari tulang dapat menyebabkan osteoporosis (penyakit tulang), kadang-kadang disebut tulang rapuh, yang dapat menyebabkan tulang tipis dan risiko yang lebih besar patah tulang (Weaver, 2006). Kekurangan kalsium jangka panjang dan pembekuan darah pada wanita menopause, dapat mendorong kearah osteoporosis, di mana tulang memburuk dan dan akhirnya tulang menjadi keropos (Richard, 2002). Semua orang membutuhkan kalsium untuk membangun dan menjaga tulang yang kuat, dan untuk fungsi tubuh yang normal. Tetapi beberapa orang berada pada risiko lebih besar untuk mendapatkan osteoporosis ketika semakin tua. Risiko lebih tinggi terjadi pada wanita dibandingkan pria, terutama wanita yang memiliki tulang yang lebih kecil. Untuk mengurangi risiko osteoporosis, setiap orang harus mengkonsumsi kalsium yang cukup selama masa kanak-kanak dan dewasa muda,
ketika massa tulang terbentuk. Sebagai orang dewasa, kalsium yang di makan membantu untuk menjaga massa tulang ketika tumbuh (Straub, 2007). 2.5 Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Tuna Tepung tulang ikan mempunyai nilai gizi yang tinggi, terutama kandungan kalsium dan fosfor (Nabil, 2005). Tepung tulang ikan tuna juga kaya akan vitamin dan protein serta mempunyai kandungan serat yang rendah (Trilaksani, 2006). Tepung tulang ikan tuna ini dikhususkan untuk konsumsi manusia, sehingga sangat memperhatikan sanitasi dan higiene pada proses pembuatannya, terutama alat pengolahan dan manusia sebagai pengolah. Bahan baku pembuatan tepung tulang ikan untuk konsumsi manusia berupa ikan tulang ikan tuna yang berasal dari pengolahan ikan tuna baik secara industri maupun rumah tangga. Ikan yang digunakan yaitu ikan yang masih segar dan belum mengalami pembusukan (Nabil, 2005). Tepung tulang ikan tuna dapat ditambahkan ke dalam suatu produk makanan, sehingga dapat meningkatkan kandungan gizi makanan tersebut (Maulida, 2005). Tepung tulang ikan belum banyak dimanfaatkan, mengingat pengolahan tepung tulang ikan belum banyak dilakukan oleh pabrik-pabrik pengolahan ikan (Agustin, 2003). Selama ini banyak pengolahan ikan atau limbah ikan hanya pada pemenuhan pakan ternak saja, belum merambah ke bidang pangan. Selain baik untuk kesehatan manusia, tepung tulang ikan tuna diharapkan juga menjadi suatu nilai tambah dalam mendukung program diversifikasi pangan (Mulia, 2004). Proses pengolahan tepung tulang ikan tuna diawali dengan tulang ikan dicuci untuk dibersihkan dari kotoran dan darah, tahap selanjutnya perebusan selama 12
jam (4 jam pertahap). Selesai direbus tulang ikan dicuci dengan air. Tulang ikan direndam dengan larutan jeruk nipis (1:9) selama 6 jam, kemudian tulang ikan dicuci dengan air. Tahap selanjutnya tulang ikan tersebut dikeringkan dalam autoclave selama 1 jam pada suhu 121°C. Fungsi dari proses ini adalah untuk mensterilkan tulang dari mikroba dan menghilangkan lemak yang terdapat pada tulang. Selain itu protein akan terdenaturasi dan menggumpal. Pemanasan ini juga bertujuan untuk mengempukkan tulang ikan sehingga mempermudah proses selanjutnya. Pengeringan dengan oven suhu ± 60°C selama 5 jam. Tahap selanjutnya adalah penggilingan dengan hammer mill. Langkah terakhir adalah pengayakan dengan ayakan berukuran 100 mesh (Maulida, 2005). Perusahaan di Amerika, International Seafood of Alaska (ISA) memproduksi tepung tulang ikan dengan harapan mengandung mineral seperti kalsium dan fosfor yang tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan alam untuk mengatasi penyakit osteoporosis pada wanita. Kandungan gizi tepung tulang ikan produksi ISA tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan zat gizi tepung tulang ikan produksi ISA Zat Gizi Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Kadar kalsium Karbohidrat Sumber : Rans (2002) dalam Nabil (2005)
Jumlah 3.6% 33.1% 5.6% 34.2% 11.9% 23.5.%
2.6 Kue Bagea Kue bagea adalah jenis kue tradisional khas Gorontalo, yang dimasak melalui proses pemanggangan. Kue bagea mempunyai ciri-ciri khusus yaitu bentuknya agak tebal, padat, renyah, dan rasanya agak manis. Industri kue bagea khas Gorontalo ini perkembangannya tidak terlalu pesat karena kurang mendapat dukungan dan perhatian dari pemerintah daerah sehingga produk ini belum dikenal luas oleh masyarakat dari daerah lain. Untuk memperoleh nilai gizi kue bagea yang cukup tinggi, dan memperkaya kandungan mineral berupa kalsium maka dilakukan penambahan tepung tulang ikan tuna
kedalam
produk
kue
bagea
tersebut.
Sehingga
diharapkan
dengan
mengkonsumsi kue bagea yang ditambahkan tepung tulang ikan tuna menjadi sumber alternatif
pemenuhan
kalsium
sehingga
dampak
defesiensi
kalsium
yang
menimbulkan osteoporosis yang selama ini terjadi dapat teratasi. Kue bagea dapat dikategorikan sebagai jenis biskuit, dan berdasarkan SNI 01-2973-1992 Syarat dan mutu biskuit dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Syarat Mutu Biskuit (SNI 01-2973-1992) Kriteria Air Protein Lemak Karbohidrat Abu Bau dan rasa Warna Logam berbahaya Sumber : BSN
Persyaratan Maksimum 5% Maksimum 6% Maksimum 9,5% Maksimum 70% Maksimum 2 % Normal, tidak tengik Normal Negatif
2.7 Penilaian Sensori (Organoleptik) Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses pengindraan. Pengindraan dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat rangsangan (stimulus). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya rangsangan dapat berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau tidak menyukai akan benda penyebab rangsangan. Pengukuran terhadap nilai/tingkat kesan, kesadaran dan sikap disebut pengukuran subyektif atau penilaian subyektif. Disebut penilaian subyektif karena hasil penilaian atau pengukuran sangat ditentukan oleh pelaku atau yang melakukan pengukuran (Rahayu, 2010). Menurut Soekarto (2008), Penilaian indrawi/0rganoleptik ada enam tahap yaitu pertama menerima bahan, mengenali bahan, mengadakan klarifikasi sifat-sifat bahan, mengingat kembali bahan yang telah diamati, dan menguraikan kembali sifat indrawi produk tersebut. Indra yang digunakan dalam menilai sifat indrawi suatu produk adalah : 1. Penglihatan yang berhubungan dengan warna kilap, viskositas, ukuran dan bentuk, berat jenis, panjang lebar dan diameter serta bentuk bahan. 2. Indra peraba yang berkaitan dengan struktur, tekstur dan konsistensi. Struktur merupakan sifat dari komponen penyusun, tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut atau perabaan dengan jari, dan konsistensi merupakan tebal, tipis dan halus. 3. Indra pembau, pembauan juga dapat digunakan sebagai suatu indikator terjadinya kerusakan pada produk, misalnya ada bau busuk yang menandakan produk tersebut telah mengalami kerusakan.
4. Indra pengecap, dalam hal kepekaan rasa, maka rasa manis dapat dengan mudah dirasakan pada ujung lidah, rasa asin pada ujung dan pinggir lidah, rasa asam pada pinggir lidah dan rasa pahit pada bagian belakang lidah. Rangsangan penyebab timbulnya kesan dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan, yang disebut ambang rangsangan (threshold). Dikenal beberapa ambang rangsangan, yaitu ambang mutlak (absolute threshold) yaitu benda perangsang terkecil yang dapat menghasilkan kesan atau tanggapan, Misalnya konsentrasi yang terkecil dari larutan garam yang dapat dibedakan rasanya dari cairan pelarutnya yaitu air murni, ambang pengenalan (recognition threshold), meliputi pengenalan atau identifikasi jenis kesan, ambang pembedaan (difference threshold) yaitu perbedaan terkecil dari rangsangan yang masih dapat dikenali. Besarnya ambang pembedaan tergantung dari jenis rangsangan, jenis penginderaan dan besarnya rangsangan itu sendiri (Kartika, 1988). 2.8 Metode Bayes Metode bayes merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan keputusan yang optimal (Marimin dan Maghfiroh 2010). Metode ini memberikan cara yang mendasar dalam memasukkan informasih eksternal ke dalam proses analisa data. Metode bayes untuk suatu analisis data digunakan untuk mempermudah pengambilan keputusan dari beberapa kriteria yang ada (Kismiantini, 2010).