BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan dan Pengawetan Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat sebagai salah satu sumber protein hewani disamping sumber protein nabati. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati menyebabkan pembusukan (Anonimb, 2000). 2.1.1 Fungsi Ikan Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung berbagai macam zat nutrisi. Sebagai salah satu sumber protein hewani, ikan mengandung asam lemak tak jenuh , yodium, selenium, flourida, zat besi, magnesium, zink, taurin. Secara keseluruhan protein, vitamin, mineral dan asam lemak omega-3 yang dikandung dalam ikan mempunyai peran dalam kesehatan tubuh manusia baik di bagian otak, mata, jantung, paru-paru, otot, pencernaan, kulit maupun persendian (Anonimc, 2009). 2.1.2 Fungsi Cumi - cumi Cumi-cumi merupakan salah satu jenis hewan laut yang banyak diminati masyarakat, terutama penggemar seafood dan chinese food. Di pasaran, cumicumi umumnya dijual dalam dua bentuk utama, segar dan kering asin. Ditinjau dari nilai gizi, cumi-cumi memiliki kandungan gizi yang luar biasa karena kandungan proteinnya cukup tinggi, yaitu 17,9 g/100 g cumi segar. Daging cumicumi memiliki kelebihan dibanding dengan hasil laut lain, yaitu tidak ada tulang belakang, mudah dicerna, memiliki rasa dan aroma yang khas, serta mengandung
Universitas Sumatera Utara
semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh. Asam amino esensial yang dominan adalah leusin, lisin, dan fenilalanin. Sementara kadar asam amino nonesensial yang dominan adalah asam glutamat dan asam aspartat. Cumi-cumi juga mengandung beberapa jenis mineral mikro dan makro dalam jumlah yang sangat tinggi. Mineral penting pada cumi-cumi adalah natrium, kalium, fosfor, kalsium, magnesium, dan selenium. Fosfor dan kalsium berguna untuk
pertumbuhan kerangka
tulang,
sehingga penting
untuk
pertumbuhan anak-anak dan mencegah osteoporosis di masa tua. Selain kaya akan protein, cumi-cumi juga merupakan sumber vitamin yang baik, seperti vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B12, niasin, asam folat, serta vitamin larut lemak (A, D, E, K) (Anonim d, 2009). 2.1.3 Fungsi Udang Udang termasuk dalam sumber protein hewani yang berfungsi, antara lain: a. Menjaga
kesehatan
kardiovaskular
(jantung)
karena
mencegah
penggumpalan kepingan darah atau ateroskeloris b. Memenuhi kebutuhan protein dengan asam amino berprofil lengkap yang mudah diserap tubuh c. Memaksimalkan berbagai fungsi organ-organ vital tubuh karena berbagai kandungan vitaminnya d. Sebagai antioksidan yang mampu menjaga kesehatan fungsi kekebalan tubuh, anti radikal bebas penyebab 50 macam penyakit degeneratif dan membantu produksi antibodi dengan kandungan selenium yang sangat tinggi e. Sangat vital untuk kecerdasan dan pertumbuhan anak dengan tingginya vitamin D, B12 dan Omega 3
Universitas Sumatera Utara
f. Mencegah penyakit darah rendah (anemia) dan berperan dalam pembentukan sel darah merah karena kandungan besi dan zinc-nya yang tinggi g. Menjaga kesehatan mata dengan kandungan vitamin A h. Menjaga kesehatan kulit dan mencegah penyakit pellagra (bersisik) dengan kandungan vitamin E (alpha tocopherol) dan niasin yang tinggi i.
Menjaga kesehatan tulang, gigi dan sendi dengan kandungan vitamin D, kalsium dan potassium yang tinggi (Anonime, 2009).
2.1.4 Pengawetan Ikan Penanganan ikan segar merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai industri perikanan karena dapat mempengaruhi mutu. Baik buruknya penanganan ikan segar akan mempengaruhi mutu ikan sebagai bahan makanan atau sebagai bahan mentah untuk proses pengolahan lebih lanjut. Dengan kandungan air cukup tinggi tubuh ikan merupakan media yang cocok untuk kehidupan bakteri pembusuk atau mikroorganisme yang lain, sehingga ikan sangat cepat mengalami proses pembusukan. Kondisi ini sangat merugikan karena dengan kondisi demikian banyak ikan tidak dapat dimanfaatkan dan terpaksa harus dibuang, terutama pada saat produksi melimpah. Oleh karena itu, untuk mencegah proses pembusukan perlu dikembangkan berbagai cara pengawetan dan pengolahan yang cepat dan cermat agar sebagian ikan yang diproduksi dapat dimanfaatkan. Pengawetan merupakan usaha manusia untuk mempertinggi daya tahan dan daya simpan ikan dengan tujuan agar kualitas ikan dapat dipertahankan tetap dalam kondisi baik.
Universitas Sumatera Utara
Cara-cara pengawetan dan pengolahan pada pascapanen perikanan dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut : 1. Tubuh ikan mengandung protein dan air cukup tinggi, sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan mikroorganisme yang lain. 2. Produksi ikan bersifat musiman, terutama ikan laut. Dengan kondisi demikian pada suatu saat produksi ikan sangat melimpah sedangkan pada saat lain sangat rendah. Oleh karena itu diperlukan cara-cara pengawetan dan pengolahan yang mampu memproses ikan dengan cepat dan cermat terutama pada saat produksi sedang melimpah. 3. Kebutuhan manusia akan ikan tidak pernah mengenal musim. Setiap saat manusia dapat membutuhkan ikan. Dengan dikembangkannya cara-cara pengawetan dan pengolahan yang cepat dan cermat, daya tahan dan daya simpan ikan dapat lebih lama sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia setiap saat. Proses pengolahan dan pengawetan ikan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : a. Menggunakan suhu tinggi. b. Menggunakan suhu rendah c. Mengurangi kadar air d. Menggunakan zat antiseptik (Afrianto, 1989). 2.2 Formalin Larutan formalin mengandung formaldehid dan metanol sebagai stabilisator, dengan kadar formaldehid tidak kurang dari 34% dan tidak lebih dari 38 %
Universitas Sumatera Utara
(Moffat, 1986). Formalin merupakan cairan jernih tidak berwarna atau hampir berwarna, bau menusuk, uap merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan. Formalin larut dalam air atau etanol 95% (Ditjen POM, 1979). 2.2.1 Rumus Bangun
2.2.2 Sifat Fisika dan Kimia Formaldehid ( HCOH) merupakan suatu bahan kimia dengan berat molekul 30,03 yang pada suhu kamar dan tekanan atmosfer berbentuk gas tidak berwarna, berbau pedas (menusuk) dan sangat reaktif (mudah terbakar). Bahan ini larut dalam air dan sangat mudah larut dalam etanol dan eter (Moffat, 1986). Penyimpanan dilakukan pada wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya dan sebaiknya pada suhu diatas 20˚C (Ditjen POM, 1979). 2.2.2 Penggunaan Formalin Formalin sudah sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila digunakan secara benar, formalin akan banyak kita rasakan manfaatnya, misalnya sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai jenis keperluan industri, yakni pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembasmi lalat maupun berbagai serangga lainnya. Dalam dunia fotografi biasanya digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas. Formalin juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan pupuk urea, bahan pembuat produk parfum, pengawet bahan kosmetika, pengeras kuku. Formalin boleh juga dipakai sebagai bahan pencegah korosi untuk sumur minyak. Di bidang industri kayu, formalin
Universitas Sumatera Utara
digunakan sebagai bahan perekat untuk produk kayu lapis (polywood). Dalam kosentrasi yang sangat kecil ( < 1 persen ) digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumen seperti pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampoo mobil, lilin dan karpet (Yuliarti, 2007). 2.2.3 Bahaya Penggunaan Formalin Pada Makanan Formalin bukan merupakan zat pengawet untuk makanan tetapi disalahgunakan untuk pengawetan industri makanan. Biasanya hal ini sering ditemukan dalam industri rumahan karena mereka tidak terdaftar dan tidak terpantau oleh Depkes dan Badan POM setempat. Produsen sering kali tidak tahu kalau penggunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan tidaklah tepat karena bisa menimbulkan berbagai gangguan kesehatan bagi konsumen yang memakannya. Beberapa penelitian terhadap tikus dan anjing menunjukkan bahwa pemberian formalin dalam dosis tertentu pada jangka panjang bisa mengakibatkan kanker saluran cerna. Penelitian lainnya menyebutkan peningkatan risiko kanker faring (tenggorokan), sinus dan cavum nasal (hidung) pada pekerja tekstil akibat paparan formalin melalui hirupan (Yuliarti, 2007). 2.3 Asam Cuka Asam Asetat mengandung tidak kurang dari 36,0% dan tidak lebih dari 37,0% b/b C2H4O2. Pemerian berupa cairan jernih; tidak berwarna dan berbau khas, menusuk; rasa asam yang tajam. Kelarutan dapat bercampur dengan air, dengan etanol dan dengan gliserol (Ditjen POM, 1995). Dalam industri makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai
Universitas Sumatera Utara
pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati (Anonimf,2009). 2.4 Pemeriksaan Kualitatif Formalin Formalin dengan adanya asam kromatropat dalam asam sulfat pekat disertai pemanasan beberapa menit akan terjadi pewarnaan violet. Reaksi ini mengikuti prinsip kondensasi senyawa fenol dengan formaldehid membentuk senyawa berwarna (3,4,5,6-dibenzoxanthylium) (Schunack, 1990). 2.5 Pemeriksaan Kuantitatif Formalin dengan Metode Spektrofotometri Sinar Tampak Metode ini dapat dilakukan dengan penambahan pereaksi Nash (ammonium asetat dan asetil aseton) disertai pemanasan selama 30 menit akan membentuk kompleks berwarna kuning yang mantap, sehingga dapat diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum 415 nm (Herlich, 1990). Penetapan kadar secara kuantitatif dilakukan dengan mengukur serapan larutan zat dalam suatu pelarut pada panjang gelombang tertentu. Pengukuran serapan biasanya dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum. Oleh karena serapan dapat berbeda jika digunakan alat yang berbeda, maka sebaiknya pengukuran dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum yang diperoleh dengan alat yang digunakan. Syaratnya panjang gelombang yang diperoleh dengan alat tidak berbeda lebih dari ± 0,5 nm pada daerah pengukuran 240-280 nm, tidak lebih dari ± 1 nm pada daerah pengukuran 280-320 nm serta tidak lebih dari ± 3 nm pada daerah pengukuran diatas 320 nm dari panjang gelombang yang ditentukan. Jika perbedaannya melebihi batas tersebut maka alat
Universitas Sumatera Utara
harus dikalibrasi. Pada pengukuran serapan suatu larutan hampir semua digunakan blanko untuk spektrofotometer agar panjang gelombang pengukuran mempunyai serapan nol. Kegunaan blanko adalah mengoreksi serapan yang disebabkan oleh pelarut, pereaksi, sel ataupun pengaturan alat. Blanko dapat berupa pelarut yang sama seperti yang digunakan untuk melarutkan zat atau blanko pereaksi menyiapkan larutan zat (Ditjen POM, 1995). 2.6 Spektrofotometri Spektrofotometri adalah pengukuran absorbsi energi cahaya oleh suatu atom atau molekul pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002). Rentang spektrum sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang 200-400 nm, sementara sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400-750 nm (Rohman, 2007). Menurut Day (2002) dan Rohman (2007), hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan dan berbanding terbalik dengan transmitan. Menurut Day (2002), hukum tersebut dituliskan dengan : A = abc = log 1/T
Keterangan : A = absorbans a = koefisien ekstingsi b = tebal sel (cm) c = konsentrasi analit
Universitas Sumatera Utara
Pada spektrofotometri sinar tampak, pengamatan mata terhadap warna timbul dari penyerapan selektif panjang gelombang tertentu dari sinar masuk oleh objek yang berwarna (Vogel, 1994). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak terutama untuk senyawa yang tidak berwarna yang akan dianalisis yaitu : 1. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis Cara yang digunakan adalah dengan merubahnya menjadi senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu sehingga dapat menyerap sinar UV-Vis. 2. Waktu kerja (operating time) Tujuannya ialah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu kerja ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan. 3. Pemilihan panjang gelombang Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. 4. Pembuatan kurva baku Dilakukan dengan membuat seri larutan baku dalam berbagai konsentrasi kemudian absorbansi tiap konsentrasi diukur lalu dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. 5. Pembacaan absorbansi sampel Asorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,6.
Universitas Sumatera Utara
2.7 Validasi Validasi adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu pada prosedur penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (WHO, 1992). Validasi dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang dilakukan akurat, spesifik dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis (Rohman, 2007). 2.7.1 Perolehan Kembali Persen perolehan kembali digunakan untuk menyatakan kecermatan. Kecermatan merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit sebenarnya. Kecermatan dapat ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) dan metode penambahan baku (standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni pembanding kimia ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan. Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa lalu dianalisis lagi dengan metode tersebut (WHO, 1992). % Perolehan kembali = Keterangan : CF
CF − C A x 100% C *A
= konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan larutan baku
CA =
konsentrasi sampel awal
C∗A = konsentrasi larutan baku yang ditambahkan
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Batas Deteksi Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko (WHO, 1992). Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Batas Deteksi =
3SB Slope
2.7.3 Batas Kuantitasi Batas kuantitasi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang masih dapat diukur dalam kondisi percobaan yang sama dan masih memenuhi kriteria cermat dan seksama (WHO, 1992). Batas Kuantitasi =
10 SB Slope
Universitas Sumatera Utara