BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki empat, tanduk berongga, dan
memamah biak. sapi juga termasuk dalam kelompok Taurine, termasuk didalamnya Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi potong asli Indonesia adalah sapi potong yang sejak dahulu kala sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah berkembang biak dan dibudidayakan lama di Indonesia, sehingga telah mempunyai ciri khas tertentu. Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan sumber daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, dan sapi Madura (Anonim, 2010). Sapi Bali yang merupakan sapi asli Indonesia telah berkembang sangat luas di seluruh wilayah Indonesia (Aciar, 2003). Diwyanto dan Praharani (2010) menyatakan bahwa sapi Bali adalah sapi yang paling tepat untuk dikembangkan di Indonesia, karena beberapa keunggulannya, seperti : (a) efisiensi reproduksinya sangat bagus, (b) daya adaptasi dengan lingkungan yang keras sudah sangat teruji, (c) mudah dipelihara untuk berbagai keperluan dalam suatu sistem usahatani, serta (d) mempunyai kualitas karkas dan daging yang sangat bagus. Namun sapi Bali juga mempunyai berbagai kelemahan, antara lain pertumbuhannya yang relatif lambat, produksi susu rendah sehingga angka kematian pedet cukup tinggi. Sapi Bali merupakan domestikasi dari banteng(Bibos sondaicus). Pada saat pedet, tubuhnya berwarna merah bata. Sementara ketika dewasa, sapi betina tetap
6
berwarna merah bata, sedangkan sapi jantan berubah menjadi kehitam-hitaman. Terdapat warna putih pada keempat kakinya, mulai dari lutut sampai ke bawah, belakang pelvis dengan batas yang tampak jelas dan berbentuk setengah bulan, sedangkan ujung ekor hitam. Tanduk berukuran pendek kecil dengan leher yang ramping. Sapi Bali sangat adaptif terhadap lingkungan. Kemampuannya mencerna pakan berkualitas rendah cukup tinggi, kualitas karkas bagus, harga jual tinggi dan dapat digunakan sebagai tenaga kerja (Susilorini, 2010). Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untu mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak. Kemitraan adalah kerja sama antar pelaku agribisnis mulai dari proses praproduksi, produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas saling membutuhkan dan menguntungkan bagi pihak yang bermitra. Pemeliharaan sapi potong dengan pola seperti ini diharapkan pula dapat meningkatkan produksi daging sapi nasional yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha pengembangan sapi
7
potong lokal sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya perlu terus dilakukan (Suryana, 2009).
B.
Pengembangan Sapi Potong Peningkatan ekonomi masyarakat dan pertambahan penduduk disertai
dengan peningkatan kesadaran tentang nilai-nilai gizi, menyebabkan peningkatan permintaan akan produk asal ternak meningkat dengan sangat pesat. Namun, peningkatan konsumsi protein hewani yang membaik ini belum dapat diantisipasi dengan suplai protein asal ternak yang memadai. Pada kenyataannya sumber daging di Indonesia berasal dari daging ayam (62%), daging sapi dan kerbau (25%) dan sisanya berasal dari aneka ternak lainnya (Bamualim,2008). Suplai protein asal ternak terutama daging sapi yang dihasilkan secara domestik belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, sehingga kebijakan impor daging dan sapi hidup masih diberlakukan. Kebutuhan konsumsi daging masyarakat Indonesia baru mencapai 6,5kg/kapita/tahun, yang berasal dari daging sapi hanya sebesar 1,7kg/kapita/tahun (Direktorat Jendral Peternakan, 2009). Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Mersyah (2005), ada beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu : 1) Budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi, 2) Memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes,
8
3) Produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perbuahan pendapatan yang tinggi, dan 4) Dapat membuka lapangan pekerjaan. Pembangunan peternakan ditujukan untuk meningkatkan produksi hasil ternak yang sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, mencipatakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak. Menurut Wiyatna (2002) beberapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan ternak sapi potong adalah: 1), penyempitan lahan penggembalaan, 2), kualitas sumberdaya rendah, 3), produktivitas rendah, 4), akses ke pemodal sulit, 5), penggunaan teknologi rendah. Selanjutnya dalam Direktorat Jendral Peternakan (2010) dituliskan bahwa berbagai permasalahan pengembangan usaha sapi potong di dalam negeri diantaranya adalah pemotongan sapi betina produktif. Terjadinya pemotongan sapi betina produktif selama ini penyebab utamanya adalah motif ekonomi bagi pemiliknya yang rata-rata income pendapatannya masih rendah dengan tingkat kepemilikan sapi potong hanya rata-rata 2-3 ekor. Para peternak cenderung akan menjual ternak mereka ketika menghadapi permasalahan finansial dengan pertimbangan bahwa sapi potong merupakan asset yang paling mudah dijual tanpa mempertimbangkan produktifitas ternak tersebut. Strategi
pembangunan
peternakan
adalah
pengembangan
wilayah
berdasarkan komoditas ternak unggulan, pengembangan kelembagaan petani peternak, peningkatan usaha dan industri peternakan, optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam lokal, pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan (Pambudy dan Sudradjat, 2000).
9
C.
Evaluasi Program Pengembangan Sapi Potong
1. Pengertian Evaluasi Pada dasarnya evaluasi merupakan suatu pemeriksaan terhadap pelaksanaan suatu program yang telah dilakukan dan akan digunakan untuk meramalkan, memperhitungkan dan mengendalikan pelaksanaan program kedepannya agar jauh lebih baik. Dengan demikian evaluasi lebih bersifat melihat kedepan daripada melihat kesalahan-kesalahan di masa lalu, dan diarahkan pada upaya peningkatan kesempatan demi keberhasilan program (Hutabarat,2008). Evaluasi merupaka suatu usaha untuk mengukur demi memberi nilai secara objektif pencapaian hasilhasil yang telah direncanakan sebelumnya dimana hasil evaluasi tersebut dimaksudkan menjadi umpan balik untuk perencanaan yang akan dilakukan di depan (Yusuf, 2000). Evaluasi merupakan suatu proses yang dapat menunjukan relevansi, efisiensi, efektivitas dan dampak kegiatan-kegiatan proyek/program sesuai dengan tujuan yang akan dicapai secara sistematik dan obyektif. Evaluasi dapat dilakukan ketika proyek sedang berjalan, evaluasi akhir dan evaluasi secara menyeluruh ketika proyek telah selesai dilaksanakan (Departemen Pertanian RI, 1989). Fungsi utama evaluasi, pertama memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan publik. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target, nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nugroho mengatakan bahwa evaluasi akan
10
memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan publik.
2. Pengertian Program Program adalah cara yang diusahakan untuk mencapai tujuan. Dengan program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan (Jones, 1994). Program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan pelaksanaan karena dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek antara lain adanya tujuan yang ingin dicapai, adanya kebijakan-kebijakan yang harus diambil dalam pencapaian tujuan itu, adanya aturan-aturan yang dipegang dan prosedur yang harus dilalui, adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan dan adanya strategi dalam pelaksanaan (Jones, 1994). Unsur lain yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan program adalah adanya kelompok orang yang menguji sasaran program sehingga kelompok orang tersebut merasa ikut dilibatkan dan membawa hasil dari program yang dijalankan dan adanya perubahan serta peningkatan dalam kehidupannya. Tanpa memberikan manfaat pada kelompok orang, boleh dikatakan program tersebut telah gagal dilaksanakan. Berhasil tidaknya suatu program dilaksanakan tergantung dari unsur pelaksanaannya. Pelaksana adalah hal penting dalam mempertanggungjawabkan pengolahan maupun pengawasan dalam pelaksanaan, baik itu organisasi ataupun perorangan (Jones, 1994). Evaluasi program adalah suatu unit atau kesatuan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merealisasi atau mengimplementasi dari suatu
11
kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang guna pengambilan keputusan. Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan program yang telah dilaksanakan. Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk melakukan pengambilan keputusan berikutnya. Manfaat dari evaluasi program dapat berupa penghentian
program,
merevisi
program,
melanjutkan
program,
dan
menyebarluaskan program (Jones,1994). Dalam evaluasi program, pelaksana ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu hal sebagai hasil pelaksaan program setelah data terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu. Dalam pelaksanaan program, pelaksana ingin mengetahui tingkat ketercapaian program, dan apabila belum tercapai, pelaksana ingin mengetahui letak kekurangannya. Hasil digunakan untuk menentukan tindak lanjut atau keputusan yang akan diambil (Jones, 1994).
D. Program Bantuan Sosial Ternak Program pembangunan peternakan dan keswan yang dituangkan dalam berbagai kegiatan merupakan fasilitasi pemerintah dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat sekaligus dalam rangka pengembangan wiayah. Salah satu kegiatan yang telah dilakukan oleh Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka mendorong pemberdayaan masyarakat yaitu melalui bantuan sosial dalam rangka pengembangan usaha kelompok melalui pemberdayaan sosial. Kegiatan ini merupakan bentuk fasilitasi pemerintah dalam rangka mendorong pengembangan agribisnis peternakan dan
12
memantapkan ketahanan pangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan (Kementan RI, 2011). Dana
bantuan sosial
ini dialokasikan dalam rangka
pemantapan
kelembagaan kelompok menjadi lembaga usaha mandiri yang dapat meningkatkan kewirausahaan dan pengembangan usaha ekonomi poduktif. Pola pemberdayaan seperti ini diharapkan dapat merangsang tumbuhnya kelompok usaha dan mempercepat terbentuknya jaringan kelembagaan peternakan yang akan menjadi embrio tumbuhnya lembaga usaha yang kokoh di kawasan pembangunan wilayah (Kementan RI, 2011). Bantuan sosial adalah semua pengeluaran negara dalam bentuk transfer uang/barang
yang
diberikan
kepada
masyarakat
melalui
kementrian
Negara/lembaga dan/atau pemerintah daerah guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya berbagai resiko sosial (Kementan RI, 2011). Bantuan sosial merupakan program yang didanai oleh pemerintah dalam APBD yang disalurkan kepada peternak dalam kelompok-kelompok peternak yang bertujuan untuk menjalankan suatu usaha peternakan (Kementan RI, 2011).
E. Pendapatan Usaha Peternakan Pendapatan merupakan selisih penerimaan dan pengeluaran selama pemeliharaan ternak sapi potong dalam kurun waktu tertentu misalnya 1 tahun (Fahrul, 2011). Analisis usaha ternak merupakan kegiatan yang sangat penting bagi suatu usaha ternak komersial. Melalui hasil analisis ini dapat dicari langkah pemecahan berbagai kendala yang di hadapi. Analisis usaha peternakan bertujuan mencari titik tolak untuk memperbaiki hasil dari usaha ternak tersebut. Hasil
13
analisis ini dapat digunakan untuk merencanakan perluasan usaha baik menambah cabang usaha atau memperbesar skala usaha. Hernanto (1996) menyatakan bahwa analisis usaha dimaksudkan untuk mengetahui kinerja usaha secara menyeluruh. Analisis pendapatan berfungsi untuk mengukur berhasil tidaknya suatu kegiatan usaha, menemukan komponen utama pendapatan dan apakah komponen itu masih dapat di tingkatkan atau tidak. Kegiatan usaha dikatakan berhasil apabila pendapatannya memenuhi syara cukup untuk memenuhi semua sarana produksi.
F. Analisis Kelayakan Usaha Studi kelayakan yang juga sering disebut feasibility study merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan usaha / proyek yang direncanakan. Pengertian layak dalam penilaian studi kelayakan adalah kemungkinan dari gagasan usaha/proyek yang akan dilaksanakan memberikan manfaat, baik dalam arti finansial maupun dalam arti sosial benefit (Ibrahim, 2009). Studi kelayakan harus meliputi beberapa aspek yaitu aspek hukum, aspek sosial ekonomi, aspek lingkungan, aspek pasar dan pemasaran, dan aspek finansial. Dalam aspek hukum yang akan dibahas adalah masalah kelengkapan dan keabsahan dokumen perusahaan, mulai dari bentuk badan usaha sampai ijin-ijin yang dimiliki. Analisis aspek sosial, ekonomi dan lingkungan berfungsi untuk mengetahui dampak pada pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh bau tidak sedap yang muncul dari suatu usaha. Analisis aspek pasar untuk mengetahui berapa besar potensi pasar (market potential) untuk masa yang akan datang. Dalam analisis finansial yang diperhatikan adalah hasil produktivitas atau
14
keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber tersebut dan siapa yang menerima hasil proyek tersebut. (Kadariah, 1999). Dalam analisis finansial, kriteria yang sering digunakan adalah NPV (Net Present Value) adalah metode penilaian yang dapat menciptakan cash in flow dibandingkan dengan opportunity costnya. IRR (Internal Rate of Return) adalah suatu metode untuk mengukur tingkat investasi. Tingkat investasi adalah suatu tingkat bunga dimana seluruh net cash flow setelah dikalikan discount factor. Jika hasil IRR ternyata lebih besar dari bunga bank maka dapat dikatakan bahwa investasi yang dilakukan lebih menguntungkan. BCR (Benefit Cost Ratio) dapat dikatakan sebagai ratio perbandingan antara penerimaan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan dalam usaha. Jika ratio menunjukan hasil nol maka dapat dikatakan bahwa usaha tidak memberikan keuntungan finansial. Demikian juga jika ratio menunjukan angka kurang dari satu maka usaha yang dilakukan tidak memberikan keuntungan dari kegiatan yang dilaksanakan (Rahim, 2008).
15
G. Kerangka Pikir Program Percepatan Swasembada Daging sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014
Pengembangan Sapi Potong
Program Bantuan Sosial
Pembibitan
EVALUASI o Analisis Deskriptif o Analisis Finansial
1. Peningkatan Pendapatan 2. Peningkatan Populasi Ternak 3. Layak / Tidak Layak Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
16