BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Lokasi Lokasi merupakan suatu area yang secara umum dapat dikenali atau dibatasi, dimana terjadi suatu kegiatan tertentu (Gunawan 1981 dalam Iskandar, 2009). Penentuan suatu lokasi suatu sekolah perlu diperhatikan pemetaan sekolah. Pemetaan sekolah tidak hanya sekedar menunjukkan peta atau gambar lokasi lahan serta bangunan sekolah. Pemetaan sekolah tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan lokasi sekolah secara tepat berdasarkan kepadatan penduduk dan keadaan jumlah usia anak sekolah serta sarana dan prasarana sekolah secara lengkap. Berkaitan dengan pemilihan lokasi ini maka letak suatu sekolah diharapkan dalam suatu lokasi yang baik dan optimal. Teori Lokasi sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang kegiatan ekonomi, atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (Tarigan, 2006) sangat berperan dalam menganalisis sebaran sekolah menengah ini. Teori laian yang dapat menganalisis sebaran lokasi sekolah adalah Teori Palander. Teori ini menjelaskan tentang pendistribusian lokasi fasilitas yang memberikan pelayanan jasa (Agustin, 2006). Teori Palander menyatakan bahwa barang dan jasa dapat diproduksi berdasarkan pertimbangan batas penduduk minimal dan jangkauan pasar. Batas minimal
Universitas Sumatera Utara
penduduk adalah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk kelancaran dan kesinambungan penawaran barang. Kalau jumlahnya di bawah jumlah tertentu maka pelayanan akan mahal dan kurang efisien, jika meningkat di atas jumlah standar maka pelayanan akan menjadi kurang baik dan kurang efektif. Sedangkan jangkauan pasar (range) adalah jarak yang diperlukan seseorang untuk mendapatkan jasa yang bersangkutan. Lebih jauh lagi dari jarak standar yang ditentukan maka orang akan mencari wilayah lain yang lokasinya lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan akan jasa yang sama. Ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi dalam pendistribusian pusat pelayanan dipengaruhi (Sujarto, 1989 dalam Agustin, 2006) : 1. Faktor Manusia : Manusia yang dimaksud dalam hal ini adalah yang akan mempergunakan pusat-pusat pelayanan yang menyangkut pertimbangan jumlahnya, kepadatan penduduk, perkembangan penduduk, status sosial ekonomi masyarakat, nilainilai, potensi masyarakat, pola kebudayaan, dan antropologi. 2. Faktor Lingkungan : Lingkungan yang dimaksud adalah tempat dimana manusia melaksanakan kegiatan kehidupannya. Hal ini menyangkut pertambangan skala lingkungan dalam arti fungsi dan peranan sosial ekonominya, jaringan pergerakan, letak geografis lingkungan dan sifat keterpusatan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang turut mempengaruhi apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas merupakan tingkat kemudahan di dalam mencapai dan menuju arah suatu lokasi di tinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006). Menurut Tarigan tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut. Berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi aksesibilitas tersebut, maka dalam suatu analisis tentang kota atau rencana kota dikenal suatu standar lokasi (Jayadinata, 1999), yaitu : Tabel 2.1 Standar Jarak Dalam Kota No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Prasarana
Jarak Dari Tempat Tinggal (Berjalan Kaki) 20 menit s.d 30 menit 30 menit s.d 45 menit ¾ km atau 10 menit ¾ km atau 10 menit 1 ½ km atau 20 menit 20 atau 30 menit 1 ½ km atau 20 menit
Pusat Tempat Kerja Pusat Kota (Pasar dan sebagainya) Pasar Lokal Sekolah Dasar (SD) dan Taman Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA) Tempat Olahraga (Rekreasi)
Sumber : Chapin dalam Jayadinata (1999)
2.2 Teori Fasilitas Sosial Menurut
Permendagri
No.1/1987
tentang
Penyerahan
Prasarana
Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Daerah. Fasilitas Sosial yang dimaksud adalah fasilitas yang dibutuhkan oleh penduduk dalam lingkungan permukiman, yang meliputi : fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, rekreasi, kebudayaan, olahraga, lapangan terbuka serta pemakaman. Fasilitas sosial adalah sebagai kegiatan atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental, dan spiritual (Sujarto, 1989 dalam Muharani, 2003). Kebutuhan tersebut diantaranya : fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, fasilitas kesehatan, fasilitas kemasyarakatan, fasilitas rekreasi, fasilitas olahraga, dan tempat perkuburan. 2.3 Fasilitas Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menumbuhkan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU Sisdiknas Tahun 2003). Berdasarkan defenisi fasilitas sosial yang telah diuraikan di atas, maka fasilitas pendidikan dapat didefenisikan sebagai aktifitas atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental, dan spiritual melalui perwujudan suasana belajar dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
Universitas Sumatera Utara
spiritual keagamaan, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Terdapat 4 (empat) jenis fasilitas pendidikan menurut Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.378/KPTS/1987, yaitu : 1. Taman Kanak-Kanak : merupakan fasilitas pendidikan yang paling dasar yang diperuntukkan bagi anak-anak usia (5-6) tahun. 2. Sekolah Dasar : merupakan fasilitas pendidikan yang disediakan untuk anakanak usia antara (6-12) tahun. 3. Sekolah Menengah Pertama : merupakan fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan Sekolah Dasar. 4. Sekolah Menengah Umum : merupakan fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan SMP. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 14 disebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Selanjutnya pada pasal 18 dijelaskan yang dimaksud dengan pendidikan menengah yaitu : 1. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. 2. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. 3. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Universitas Sumatera Utara
4. Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Standar yang digunakan untuk fasilitas satuan pendidikan menengah berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2007. 2.4 Standar Sarana-Prasarana Pendidikan Beberapa standar yang dapat dijadikan acuan dalam perencanaan sarana dan prasarana pendidikan, yaitu : 2.4.1
Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI Standar sarana dan prasarana ini merupakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 Tahun 2007. Standar mencakup sarana dan prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Ketentuan yang diatur dalam standar ini meliputi satuan : satuan pendidikan, luasan lahan, bangunan gedung, prasarana dan sarana yang harus dimiliki fasilitas pendidikan beserta ketentuannya. Dalam penelitian ini hanya akan meninjau mengenai satuan pendidikannya saja yang didalamnya diatur mengenai banyaknya rombongan belajar, batas maksimum jumlah penduduk yang dilayani, dan area pelayanan satu fasilitas pendidikan. Standar satuan pendidikan SMA dan MA, yaitu : a. Satu SMA/MA memiliki minimum 3 rombel dan maksimum 27 rombel . b. Satu SMA/MA dengan 3 rombel melayani maksimum 6000 jiwa penduduk. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat dilakukan penambahan rombel atau pembangunan SMA/MA baru.
Universitas Sumatera Utara
Standar dalam hal pendistribusian fasilitas pendidikan yang dikeluarkan Departemen PU maka untuk pertimbangan dalam perencanaan fasilitas pendidikan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : a. Jumlah penduduk pendukung yang akan dilayani. b. Struktur penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin. c. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk. d. Keadaan sosial ekonomi penduduk.
2.4.2
Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana Struktur pemerintahan yang dipergunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota menurut Cipta Karya untuk perumahan sederhana didasarkan pada jumlah penduduk : kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (2.500 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), dan kecamatan (120.000 jiwa).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana Luas Tiap Unit (m2)
Taman Kanak-Kanak
Jumlah Penduduk Pendukung (Jiwa) 1000
Sekolah Dasar
1600
1800
SMTP
6000
2400
SMTA
6000
2400
Jenis Sarana Kota
800
Sumber : Keputusan Menteri PU No.20/KPTS/1986 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun dalam Iskandar 2009.
2.4.3
Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota Depdagri ini di dasarkan pada jumlah penduduk : kelurahan
(30.000
jiwa),
kecamatan
(200.000
jiwa).
Pola
sebaran
penduduknya : rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (3000 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (200.000 jiwa), dan kota (1.000.000 jiwa). Tabel 2.3 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri Luas Tiap Unit (m2)
Taman Kanak-Kanak
Jumlah Penduduk Pendukung (Jiwa) 750
Sekolah Dasar
3000
4000
SMTP
30000
9600
SMTA
30000
9600
Jenis Sarana Kota
500
Sumber : Direktorat Tata Guna Tanah Ditjen Agraria Depdagri Atlas DKI Jakarta Raya, Tanah dan Kegiatan Pembangunan PUBL No.214 Tahun 1982 dalam LPPWK 1993 dalam Iskandar, 2009
Universitas Sumatera Utara
2.4.4
Standar Dinas Tata Kota (DTK) DKI Jakarta Struktur pemerintahan yang digunakan pada standar dinas tata kota DKI Jakarta didasarkan pada jumlah penduduk : kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (200.000 jiwa), dan wilayah (1.500.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah : rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (2500 jiwa), sub distrik (5.000 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), distrik (50.000 jiwa), kecamatan (200.000 jiwa), sub wilayah (480.000 jiwa), dan wilayah (1.000.000 jiwa). Tabel 2.4 Standar Dinas Tata Kota DKI Jakarta
Jenis Sarana Kota
Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar SMTP (10 lokal) SMTA (10 lokal)
Jumlah Penduduk Pendukung (jiwa)
< 200 jiwa/ha
750
500
(200 s.d 400) jiwa/ha 425
1500
3000
2550
2100
12500
4000
3400
2800
28000
4000
3400
2800
Luas Tiap Unit > 400 jiwa/ha 350
Sumber : Buku Data dan Analisis RBWK Kecamatan-Kecamatan DKI 1985-2005 dalam Buku Penelitian/Penyempurnaan Standar Sarana Kota dalam Iskandar, 2009
2.4.5
Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota menurut Cipta Karya Departemen PU didasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
jumlah penduduk : kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa), wilayah (480.000 jiwa), kota (1.000.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah RT (250 jiwa), RW (2500 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa), wilayah (480.000 jiwa), dan kota (1.000.000 jiwa). Tabel 2.5 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU Jenis Sarana Kota
Jumlah Penduduk Pendukung (Jiwa)
Sekolah Dasar
1600
SMTP
4800
SMTA
4800
Jarak Mudah dicapai dengan radius pencapaian maksimum 1000 meter, dihitung dari unit terjauh Radius maksimum 1000 meter Radius maksimum 3 km dari unit yang dilayaninya
Luas Lahan
2000 m2
9000 m2 12.500 m2 (1 lt) 8000 m2 (2 lt) 5000 m2 (3 lt)
Sumber : Penyempurnaan terhadap Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU, Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di Daerah Perkotaan 2003, dalam Agustin 2006.
2.4.6
Standar dan Ketentuan Mengenai Daerah Layanan Fasilitas Pendidikan Menengah Standar sarana dan prasarana Departemen Pendidikan Nasional terbaru memberikan batasan jarak sebagai kriteria layanan untuk daerah terpencil saja, sedangkan kriteria batasan jarak dan waktu tempuh untuk kondisi umum tidak diuraikan dalam standar ini. Sehingga standar sarana dan prasarana
Universitas Sumatera Utara
fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan yang telah dikeluarkan sebelumnya masih layak digunakan. Dalam standar fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa kriteria lokasi fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah Atas, yaitu : 1. Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan. 2. Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari 45 menit berjalan kaki. 3. Jauh dari pusat keramaian (pertokoan, perkantoran, perindustrian). Selain pedoman di atas terdapat juga pedoman perencanaan gedung sekolah dari Departemen Pekerjaan Umum, dengan mempertimbangkan aspek-aspek : 1. Fasilitas sekolah menengah umum direncanakan dengan kecenderungan perkembangan kota, rencana induk kota, dan harus disetujui oleh pemerintah daerah setempat. 2. Kepadatan dan potensi penduduk (% penduduk usia sekolah) harus mendukung kegiatan pendidikan sehingga selain akan dapat menentukan lokasi sekolah juga harus dapat menentukan jenis dan tipe sekolah. 3. Radius pencapaian ditentukan oleh jarak capai/tempuh, faktor usia, kemampuan fisik siswa, dan sarana transportasi. Radius pencapaian dari sekolah menengah umum ditentukan maksimum 5 km atau 1 jam perjalanan (jalan kaki). Lokasi harus dihindarkan dari lalu lintas berkepadatan tinggi untuk menghindari kecelakaan dan kemacetan. 4. Kondisi lingkungan sangat menentukan lokasi fisik sekolah. Lingkungan dibedakan dalam lingkungan alami, yaitu : geografi, topografi,
Universitas Sumatera Utara
klimatologi, flora dan fauna, dan lingkungan buatan seperti bangunan dan lingkungan masyarakat (sosial budaya dan sosial ekonomi). Syarat lokasi bangunan sekolah terhadap lingkungan adalah tercapainya : kenyamanan, ketenangan, kesehatan, dan keamanan. Standar lokasi sekolah yang dinyatakan De Chiara dan Koppelman (1975) dengan kriteria umumnya meliputi radius daerah jangkauan, karakteristik desain, dan lokasi yang dianjurkan pada setiap tingkatan pendidikan Rinciannya ada pada tabel 2.4 di atas. Menurut De Chiara dan Koppelman (1975) suatu sekolah menengah yang terdiri dari kombinasi antara sekolah dan taman komunitas sebaiknya diletakkan di tengah-tengah lingkungan perumahan untuk memudahkan akses. De Chiara (1975) menyatakan standar aksesibilitas untuk sekolah menengah, yaitu : dapat ditempuh berjalan kaki dengan jarak maksimum antara (1,6 s.d 2,4) km sedangkan bila menggunakan kendaraan bermotor maksimum 4 km.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Kriteria Umum Penempatan Fasilitas Pendidikan Menurut De Chiara dan Koppelman Jenis Fasilitas
Elementary School (SD)
Junior High School (SMP)
Senior High School (SMA)
Daerah Jangkauan (meter)
400 s.d 800
800 s.d 1200
1200 s.d 1600
Karakteristik Desain
Lokasi
Harus dapat diakses dengan berjalan kaki dari perumahan tanpa menyebrangi jalan. Jika ada jalan yang harus diseberangi, jalan tersebut harus jalan lokal.
Dekat dengan kawasan pemukiman dan fasilitas umum lainnya.
Harus jauh dari jalan arteri primer, dan harus tersedia di jalan setapak dari area lain. Harus dekat dengan kawasan taman dan jauh dari kebisingan
Dekat dengan konsentrasi perumahan atau dekat dengan pusat permukiman Terletak di pusat untuk memudahkan akses dan dekat dengan fasilitas umum lainnya.
Sumber : Chiara dalam Iskandar, 2009.
Sedangkan menurut konsep Neighborhood Unit aspek jarak dan waktu untuk fasilitas masyarakat dibagi kedalam lima kategori, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.7 Jarak dan Waktu Tempuh dari Tempat Tinggal ke Lokasi Sarana No
Kategori
Jarak (meter)
1
Sangat Dekat
0-300
Waktu Tempuh (menit) 0-5
2
Dekat
300-600
5-10
3
Sedang
600-1200
10-20
4
Cukup Jauh
1200-1300
20-40
5
Jauh
> 3000
> 40
Sumber : Udjianto, 1994 dalam Agustin , 2006
Menurut John Black (1979) bahwa hendaknya dalam pengaturan dan perencanaan lokasi fasilitas pendidikan, perencana kota perlu memperhatikan sistem transportasi yang melayani, faktor jarak dari lokasi permukiman serta kesesuaian lahan dengan tata guna lahan lainnya.
2.5 Faktor Pemilihan Lokasi Sekolah Dalam menganalisis Sebaran Sekolah Menengah yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan beberapa faktor yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, berdasarkan literatur dan disesuaikan dengan standar-standar yang ada. Faktor tersebut diantaranya, yaitu : 2.5.1
Faktor Jangkauan Pelayanan Faktor jangkauan pelayanan ini dianalisis berdasarkan wilayah terdekat yang mampu diakses sesuai peta jaringan jalan berdasarkan batasan
Universitas Sumatera Utara
jarak yang diberikan antara tempat tinggal-sekolah. Jarak tempuh maksimal tempat tinggal-sekolah berdasarkan standar yang berlaku di Indonesia dengan tidak membedakan transportasi yang dipilih dan kondisi jalan yang ditempuh. Kemampuan mengakses lokasi suatu sekolah akan mempengaruhi kestrategisan suatu lokasi sekolah, karena menyangkut kemudahan untuk menuju lokasi tersebut dari berbagai lokasi yang berada disekitarnya atau wilayah lainnya. Indikator yang menentukan jangkauan pelayanan ini, yaitu : kedekatan lokasi dengan jaringan transportasi dan pusat kota. Dalam analisis ini akan digunakan standar jangkauan pelayanan fasilitas pendidikan Cipta Karya Departemen PU, kriteria jarak jangkauan fasilitas menurut konsep Neighborhood Unit, Standar Jarak Dalam Kota dan kriteria penempatan lokasi fasilitas pendidikan menurut Joseph De Chiara dan Koppelman. Daerah jangkauan yang dimaksud adalah kedudukan dan jarak jangkauan fasilitas pendidikan menengah terhadap pengguna fasilitas pendidikan saat ini yang nyata dilapangan. Data yang digunakan adalah data primer mengenai lokasi tempat tinggal siswa pengguna fasilitas pendidikan terhadap lokasi sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi. Dalam bagian ini akan dibahas juga mengenai faktor lain yaitu waktu tempuh dan kondisi transportasi dalam menjangkau fasilitas pendidikan. Data yang digunakan adalah data hasil survei primer berupa data waktu tempuh siswa dari rumah ke sekolah, data kondisi dan tingkat kemudahan moda transportasi dalam mencapai lokasi sekolah. Data primer yang diperoleh dievaluasi dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan standar sarana prasarana Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga dengan standar waktu tempuh (pencapaian) menurut konsep Neighborhood Unit. Analisis jangkauan pelayanan ini membutuhkan data spasial (jaringan jalan dan sebaran sekolah). 2.5.2
Faktor Pola Distribusi Faktor pola distribusi ini dianalisis berdasarkan penyebaran sekolah dengan melihat kesesuaian terhadap persediaan-permintaan sekolah. Jumlah daya tampung sekolah merupakan persediaan. Sedangkan permintaan ditinjau dari jumlah penduduk usia sekolah untuk pendidikan menengah (16-18) tahun hasil sensus penduduk per kecamatan/kelurahan. Analisis terhadap pola distribusi ini dilakukan adalah untuk mengetahui apakah daya tampung atau kapasitas pendidikan menengah yang ada telah memenuhi kebutuhan penduduk penggunanya atau belum baik secara keseluruhan satu kota maupun untuk tiap kecamatan. Usia sekolah untuk tingkat pendidikan menengah adalah (16-18) tahun. Yang menjadi tolak ukurnya adalah kapasitas pendidikan menengah tiap kecamatan sama dengan atau melebihi jumlah penduduk usia (16-18) tahun di Kota Tebing Tinggi. Faktor pemenuhan kebutuhan penduduk akan fasilitas pendidikan ini dianalisis berdasarkan penyebaran sekolah dengan melihat kesesuaian terhadap persediaanpermintaan sekolah. Standar menggunakan
yang standar
digunakan sarana
untuk
prasarana
menganalisis sekolah
pola
menengah
distribusi menurut
Universitas Sumatera Utara
Departemen Pendidikan Nasional. Analisis pola distribusi ini membutuhkan analisis jaringan (network analysis) yang melibatkan data tabular/non spasial (data kependudukan dan kapasitas sekolah) dan data spasial (sebaran sekolah).
2.5.3
Faktor Kondisi Lahan Sekolah Dalam mendirikan suatu lokasi sekolah maka harus diperhatikan rencana peruntukan lahan yang disesuaikan dengan rencana tata kota atau kabupaten yang dibuat berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Keterangan yang diinginkan dalam RDTR dan RTRW tersebut meliputi : ketentuan penataan bangunan, peta lokasi tanah, data tanah, dan peruntukan lahan (Prihantini, 2008). Pendirian suatu lokasi harus mendapatkan surat keterangan dari instansi terkait setempat yang menjelaskan bahwa lokasi tanah tersebut tersebut sesuai dengan detail tata ruang dan dapat dibangun gedung sekolah. Kesesuaian lokasi sekolah ditinjau menggunakan standar yang berlaku atau dapat diterapkan di Indonesia mengenai tata guna lahan dan aktivitas lingkungan yang berbahaya, berdampak negatif, atau tidak mendukung proses pendidikan di sekolah. Sedangkan analisis kesesuaian aktivitas lingkungan memerlukan analisis ruang (spatial analysis) yang menggabungkan peta tata guna lahan, peta jaringan jalan, dan peta sebaran sekolah.
Universitas Sumatera Utara
2.6 SIG Dalam Menganalisis Sebaran Lokasi Sekolah Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan tools yang penting dalam melakukan pengolahan data spasial terutama dalam skala besar karena dapat dilakukan secara efesien dalam hal waktu, biaya, dan ketepatan pengambilan keputusan. Apabila pengolahan data spasial dilakukan secara konvensional akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang lebih besar. Sebagian besar data yang dianalisis berupa data spasial dalam bentuk peta tematik. Analisis data selanjutnya dengan menggunakan tools SIG dilakukan dalam bentuk metode tumpang susun (overlay). Analisis overlay ini dilakukan dalam penentuan suatu lokasi sekolah yang layak sesuai standar yang ada. Hasil SIG dapat berupa peta cetak warna, peta digital, dan data tabuler yang dapat menggambar jenis, penampakan, dan informasi yang beragam. Peta akan menampilkan data dan informasi berbasis keruangan tentang lokasi dan atribut yang dimiliki melalui gambar. Selain peta sebagai out put dari SIG, maka output dapat berupa sistem informasi. 2.6.1
Jenis Peta Peta merupakan hal yang penting dalam analisis SIG ini karena merupakan sumber data. Selama ini peta hanya dikenal dalam bentuk atlas merupakan peta analog. Peta analog adalah peta dalam bentuk cetakan seperti peta rupa bumi yang diterbitkan Bakosurtanal. Umumnya peta analog dibuat dengan teknik kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi spasial.
Universitas Sumatera Utara
Peta
juga
menggambarkan
tentang
kondisi
dan
keberadaan
penampakan yang ada di muka bumi. ”Menurut Supriadi, dkk.(2007) peta dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu : peta topografi dan peta tematik. Peta topografi merupakan peta yang menunjukkan penampakan alamiah dan buatan manusia di bumi. Topografi menggambarkan bentuk permukaan bumi yang diwujudkan oleh kontur, lahan, jalan kereta api, dan berbagai feature lainnya. Peta topografi menunjukkan penampakan fisik permukaan bumi seperti : jalan, sungai, dan bangunan. Sedangkan peta kontur menampakkan garis yang menghubungkan titik tertentu yang memiliki kesamaan nilai, misalnya ketinggian tempat dari permukaan laut. Peta tematik merupakan sumber penting dari informasi SIG. Peta tematik merupakan sarana untuk menyampaikan konsep geografis melalui tema tertentu, seperti kepadatan populasi, iklim, jenis tanah, geologi, kesesuaian lahan, pergerakan barang, dan penggunaan lahan.
2.6.2
Resolusi Peta Resolusi peta berhubungan dengan besarnya ketelitian suatu lokasi atau objek lainnya yang terdapat dalam suatu peta digambarkan pada skala tertentu. Jika peta dengan skala besar maka resolusi objek akan lebih teliti dibandingkan dengan kondisi sebenarnya (Supriadi, dkk., 2007). Sebaliknya apabila skala peta semakin kecil maka ketelitian suatu peta juga akan berkurang sebab objek yang digambarkan akan semakin kecil dan mungkin
Universitas Sumatera Utara
tidak akan kelihatan di peta. Suatu desa yang cukup luas mungkin akan hilang di peta berskala kecil. Dalam hal penggunaan peta ini maka ketelitian merupakan hal yang sangat penting, seperti yang juga di atur dalam PP No.10 tahun 2000 tentang ketelitian peta dalam penataan ruang. Dalam spesifikasi teknis pemetaan rupa bumi digital disebutkan apabila peta yang digunakan sebagai sumber merupakan hasil pemotretan udara ada beberapa ketelitian yang dibutuhkan pada titik kontrol horizontal. Titik kontrol horizontal diukur dengan GPS (metode beda fasa) dengan Bench Marck (BM) sebagai titik kontrol terdekat dengan kode N0 atau N1 yaitu titik kontrol geodesi Bakorsutanal. Tabel 2.8 Ketelitian Titik Kontrol Horizontal
Skala Peta
Ketelitian Horizontal minimum yang dibutuhkan Unsur
Ketelitian Horizontal Minimum yang Dibutuhkan Titik Kontrol
1 : 10.000
2m
1m
1 : 25.000
5m
2.5 m
1 : 50.000
10 m
5m
1 : 100.000
20 m
10 m
1 : 250.000
50 m
25 m
Sumber : Bakorsutanal, 2001 dalam Amelia, 2007
Titik kontrol vertikal diukur dengan alat ukur sifat datar atau cara trigonometris dengan total station dan diikatkan pada titik kontrol tinggi terdekat dengan kode TTG. Jika TTG tidak tersedia, maka harus diikatkan
Universitas Sumatera Utara
dengan Mean Sea Level (MSL) terdekat dengan melakukan pengukuran pasang surut dalam waktu yang memadai sesuai dengan ketelitian yang diperlukan pada skala peta. Tabel 2.9 Ketelitian Titik Kontrol Vertikal
Skala Peta
Interval Kontur
Ketelitian Vertikal minimum yang dibutuhkan Unsur
1 : 10.000
2m
2m
Ketelitian Vertikal Minimum yang Dibutuhkan Titik Kontrol 1m
1 : 25.000
5m
5m
2.5 m
1 : 50.000
10 m
10 m
5m
1 : 100.000
20 m
20 m
10 m
1 : 250.000
50 m
50 m
25 m
Sumber : Bakorsutanal, 2001 dalam Amelia, 2007
Langkah selanjutnya adalah melakukan kontrol kualitas yang dimaksudkan untuk memperoleh jaminan bahwa titik kontrol yang dipilih adalah memenuhi syarat geometris, dapat dengan baik diidentifikasi, tidak berubah tempatnya serta telah diukur dan dihitung sesuai dengan syarat-syaratnya. Sistem proyeksi peta adalah suatu sistem yang memungkinkan penggambaran unsur-unsur spasial yang terdapat di atas permukaan ellipsoid ke atas lembar peta. Dalam proyeksi peta banyak digunakan rumus-rumus matematika yang digunakan untuk mentransformasikan koordinat titik-titik yang terdapat di atas permukaan ellipsoid ke dalam bentuk koordinat kartesian yang terdapat di atas lembar peta. Datum secara umum dapat diartikan sebagai
Universitas Sumatera Utara
besaran atau konstanta yang dapat berperan sebagai referensi untuk proses hitungan besaran lainnya. Permasalahan timbul ketika suatu negara menggunakan model bumi yang beda dengan negara lainnya yang berdekatan. (Prahasta, 2005). Berdasarkan hal tersebut maka perlu disamakan persepsi spasial melalui transformasi datum. Transformasi datum dari datum lokal ke datum global dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : menggunakan aplikasi perangkat lunak SIG (misal : ArcView) atau perangkat lunak lain yang secara khusus digunakan untuk melakukan transformasi datum dengan menggunakan metode-metode yang telah tersedia (Prahasta, 2005). 2.6.3
Digitasi Peta dan Check Plot Digitasi peta dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data digital dari data sekunder dalam bentuk peta hard copy. Pelaksanaan digitasi peta adalah untuk memperoleh data digital untuk keperluan data base jaringan jalan, sungai atau tempat-tempat tertentu lainnya.
2.6.3.1 Digitasi Peta Digitasi pada dasarnya adalah mengubah bentuk data dari format analog (peta analog) menjadi format digital, sehingga dapat disimpan dan ditampilkan dalam komputer. Ada 2 metode dalam digitasi ini (Supriadi, dkk., 2007), yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Heads-down digitising (Manual Digitasi): Heads-down digitising dilakukan dengan mengikuti jalur feature peta baik dalam bentuk point, line maupun poligon dengan puck yang menentukan koordinat setiap point sample untuk disimpan dalam komputer. b. Heads-up digitising (Otomatis Digitasi): Heads-up digitising dilakukan dengan menggunakan hasil scanning peta. Langkah yang dilakukan hampir sama dengan heads-down digitising, jika pada heads-down digitasi menggunakan puck maka pada digitising on screen ini menggunakan mouse untuk mengikuti track yang akan dibuat themenya. Pada digitasi peta perlu melakukan perubahan sistem transformasi. Digitasi merupakan transformasi informasi dari format analog menjadi bentuk digital. Digitasi secara manual termasuk pemakaian meja digitasi atau menggunakan layar komputer. Digitasi dilakukan dengan menetapkan sistem koordinat kartesian mengikuti pola sumber data. Digitasi berarti juga menyalin track ke dalam bentuk titik, garis atau poligon dengan menggunakan mouse atau pack. 2.6.3.2 Check Plot Check Plot dilakukan untuk memeriksa kebenaran hasil digitasi. Pemeriksaan kebenaran ini dilakukan dengan membandingkan peta asli (hard copy) dengan hasil cetak peta digitasi.
Universitas Sumatera Utara
2.6.4
Editing Peta dan Pembentukan Topologi
2.6.4.1 Editing Peta Editing peta dilakukan adalah untuk memeriksa kelengkapan peta hasil digitasi atas dasar peta sumber yang digunakan serta kesinambungan unsur peta yang bersebelahan. Tindak lanjut dari pemeriksaan tersebut adalah melengkapi unsur yang belum di digitasi, membentuk hasil digitasi yang tidak sempurna (overshoot dan undershoot) dan mendigitasi ulang unsur-unsur yang posisinya bergeser dari posisi unsur yang seharusnya.
2.6.4.2 Pembentukan Topologi Pembentukan topologi dilakukan adalah untuk mengorganisir data sedemikian rupa sehingga akan mudah diakses dan digunakan untuk kegiatan analisis selanjutnya. Proses topologi dilakukan lebih dari satu kali untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Untuk menghasilkan data dengan kualitas yang baik perlu diperhatikan aturan dalam pembentukan topologi. Aturan topologi adalah aturan hubungan antar komponen data spasial. Dalam membangun suatu data base spasial digital aturan topologi ini sangat diperlukan untuk menjamin kualitas dari data spasial, sehingga jika suatu saat data spasial akan digunakan untuk keperluan analisa hasilnya tidak akan terjadi kesalahan.
Universitas Sumatera Utara
2.6.5
Metode Analisis Tumpang Susun (Overlay) Overlay merupakan metode tumpang tindihkan dua layer atau lebih serta membuat kembali topologi titik, garis dan poligon, dan operasi penggabungan atribut untuk penelitian kesesuaian, manajemen resiko serta evaluasi potensi (Supriadi, dkk., 2007).
2.6.5.1 Overlay Data Raster Overlay data raster dengan dua layer lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan overlay data vector, karena tidak menggunakan operasi topologi, tetapi hanya operasi pixel dengan pixel. Metode yang biasanya digunakan dalam overlay data raster terdiri dari : a. Weighting Point Method : Metode ini dilakukan apabila ada dua layer bernilai N 1 dan N 2 ditumpang tindih dengan timbangan T 1 dan T 2 akan menghasilkan : P = T1. N1 + T2. N2 dengan : T 1 + T 2 = 1. Metode ini hanya sesuai jika data atribut mempunyai nilai numerik yang dapat dilakukan melalui operasi numerik. b. Ranking Method : Metode ini melakukan tumpang tindihkan data atribut berdasarkan tingkat kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan adalah : minimum ranking, multiplication ranking, dan selective ranking.
Universitas Sumatera Utara
1. Minimum ranking : mengambil ranking terendah dari overlay kedua layer sebagai susunan layer yang baru. 2. Multiplication
ranking
:
mengalikan
ranking
karena
berpengaruhnya lebih baik dibanding akibat penambahan. 3. Selective ranking : menentukan tingkat kombinasi berdasarkan pengalaman profesi pengguna. 2.6.5.2 Overlay Data Vektor Overlay data vector lebih sulit dilakukan karena harus memperbaiki tabel topologi hubungan antar titik, garis, dan poligon. Hasil overlay data vektor dapat berupa objek garis dan area baru melalui penambahan perpotongan (node) yang dibutuhkan overlay topologi. Jenis-jenis overlay vektor, yaitu : 1. Point in polygon overlay : titik dioverlay pada peta polygon. Topologi titik merupakan atribut baru setiap titik polygon. 2. Line on polygon overlay : garis dioverlay ke polygon. Topologi garis merupakan atribut ID garis lama dan ID area. 3. Polygon on polygon overlay : dua layer dioverlay menghasilkan polygon baru dan saling berpotongan. Topologi polygon merupakan daftar ID polygon asli.
Universitas Sumatera Utara
2.7 Aksesibilitas Pendidikan Pemerataan harus dapat dilihat dalam konteks kata ”akses” (Friedman dan Nozick, 1974). Pernyataan tersebut memiliki makna bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam mengakses. Apabila dihubungkan dengan pendidikan maka yang dimaksud dengan peningkatan aksesibilitas pendidikan adalah pendidikan yang disediakan oleh berbagai stake-holder harus dapat memenuhi kebutuhan hak akses masyarakat akan pendidikan tanpa terkecuali. Setiap masyarakat tidak ada lagi yang tidak dapat mengakses. Peningkatan aksesibilitas yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerataan, pemerataan yang memiliki makna bahwa setiap wilayah memiliki jumlah fasilitas disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Penyesuaian ini didasarkan pada jumlah penduduk yang membutuhkan fasilitas ini dengan berdasarkan pada standar-standar dan pertimbangan dalam penyediaan fasilitas pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menumbuhkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhalak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas No 20 tahun 2003). Dalam salah satu ajaran agama menjelaskan, bahwa batasan dari suatu pendidikan adalah sampai ke liang lahat. Jadi alangkah pentingnya pendidikan, maka wajar apabila pendidikan menjadi suatu prioritas dan pilihan utama dari suatu kebutuhan bagi setiap manusia.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat pada dasarnya masih sangat mengharapkan adanya suatu kebijakan tentang sekolah yang berdampak terhadap peningkatan aksesibilitas pendidikan. Pengalaman menunjukan pada beberapa tahun terakhir ini di Indonesia aksesibilitas dalam memperoleh kesempatan pendidikan masih belum terjawab di tingkat pendidikan menengah, selama ini yang sudah direalisasi sebatas pada kebijakan di tingkat Pendidikan Dasar, yang dikenal dengan “Wajar 9 Tahun” yang diharapkan tuntas pada tahun 2009 ini. Namun beberapa daerah propinsi di Indonesia telah mulai melaksanakan Wajib Belajar 12 Tahun dengan target semua penduduk pada wilayah tersebut minimal berpendidikan SMA. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah tersebut hendaknya membawa dampak terhadap masyarakat, yaitu berupa adanya kesempatan, kemudahan dan kemampuan (aksesibilitas) masyarakat dalam memperoleh pendidikan yang layak sehingga akan meningkatkan pemerataan pendidikan.
2.8 Penelitian Sebelumnya Berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang sebelumnya pernah dilakukan mengenai sebaran sekolah maupun penentuan lokasi sekolah diperoleh gambaran mengenai faktor yang mempengaruhi sebaran sekolah maupun penentuan lokasi sekolah. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Wiwik Prihantini (2008) tentang : ” Pendirian Lokasi Sekolah Di Kota Salatiga Dengan Memanfaatkan Sistem Informasi Geografis” bahwa kriteria penentuan lokasi suatu SLTP adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Peta Pendidikan : Peta pendidikan adalah jumlah kebutuhan sekolah dalam suatu wilayah yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi sekolah yang tepat berdasarkan kepadatan penduduk dan jumlah usia sekolah. Untuk menghitung kepadatan penduduk adalah dengan menghitung jumlah penduduk mencapai kurang lebih 25.000 orang lulusan SD/MI mencapai 20 orang maka diperlukan 1 unit bangunan SMP/MTs. b. Ketersediaan Dokumentasi Administrasi : Dalam menentukan lokasi sekolah perlu diperhatikan status hukum lahan sekolah yang bukan merupakan tanah sengketa/gugatan, sitaaan atau dalam proses peradilan dan surat tanah yaitu bukti surat kepemilikian yang sah. Dokumen administrasi ini dapat berupa sertifikat tanah, girik atau akta. c. Lahan Sekolah Pendirian suatu lokasi sekolah harus memperhatikan rencana peruntukan lahan yang berupa advis planning, yaitu surat keterangan rencana tata kota atau kabupaten yang dibuat berdasarkan RDTR Kota yang meliputi : ketentuan penataan bangunan (koefisien dasar bangunan, koefisien luas bangunan, koefisien dasar hijau, garis sempadan bangunan, rencana jalan, dan tipe bangunan), peta lokasi tanah, data tanah, peruntukan. Pendirian suatu lokasi harus mendapatkan surat keterangan dari instansi terkait setempat yang menjelaskan bahwa lokasi tanah tersebut tersebut sesuai dengan detail tata ruang dan dapat dibangun gedung sekolah.
Universitas Sumatera Utara
Kajian Kurniati (2007) tentang : ”Peran Sistem Informasi Geografis Dalam Bidang Pendidikan” disebutkan bahwa : peningkatan aksesibilitas pendidikan dapat dilakukan dengan adanya pemetaan sekolah yang apabila disinergikan dengan SIG akan diperoleh suatu sistem yang mampu mendata daerah atau wilayah mana saja yang belum terakses pendidikan secara baik sehingga dapat diberikan solusinya. Mahrani, Ade (2003) tentang : ”Evaluasi Distribusi Fasilitas Pendidikan SD di Kecamatan Batununggal Kota Bandung Dengan Memanfaatkan SIG” menyatakan bahwa : untuk perencanaan pembangunan fasilitas SD di masa yang akan datang sebaiknya dilakukan secara berkesinambungan dan perlu memperhatikan : kebutuhan, standar dan ketentuan, daerah jangkauan layanan, tata guna lahan, jaringan jalan dan aksesibilitas. 2.9 Kerangka Pemikiran Penelitian ini berawal dari fenomena pertumbuhan penduduk dan kota yang mempengaruhi kinerja pelayanan fasilitas pendidikan, perubahan demografi penduduk usia sekolah, serta perubahan kondisi fisik dan pemanfaatan ruang. Perubahan-perubahan ini pada gilirannya akan memberi dampak bagi sekolah. Jangkauan pelayanan sekolah terbatas dan tidak merata di seluruh wilayah, ditambah pola distribusi yang tidak lagi sesuai antara supply dan demand, serta kondisi tapak yang kurang mendukung kegiatan belajar-mengajar.
Universitas Sumatera Utara
Aksesibilitas pendidikan ditentukan oleh hambatan jarak dan waktu menuju sekolah. Kualitas pendidikan juga dipengaruhi oleh fasilitas yang memadai dan lingkungan yang kondusif. Sehingga untuk menilai dan memperbaiki kinerja pelayanan fasilitas pendidikan, perlu dilakukan analisis terhadap lokasi sekolah. Analisis lokasi dilakukan berdasarkan tiga faktor: jangkauan pelayanan, pola distribusi, dan aktivitas lingkungan sekolah yang mengacu pada kajian literatur : ketentuan Diknas, Cipta Karya PU, SPM, teoriteori yang terkait, dan hasil penelitian sebelumnya. Sebelum dilakukan analisis untuk mengevaluasi ketiga faktor di atas, dilakukan identifikasi terhadap distribusi lokasi sekolah, pola jaringan jalan, dan demografi penduduk usia sekolah untuk mendukung evaluasi jangkauan pelayanan dan evaluasi pola distribusi. Mengevaluasi kondisi lahan, dilakukan identifikasi kondisi fisik ruang dan pemanfaatan ruang. Analisis yang dilakukan meliputi analisis jaringan : jangkauan pelayanan, analisis spasial : pola distribusi supply dan demand, serta analisis kesesuaian lahan. Alur kerja dari ketiga analisis tersebut selanjutnya akan dijelaskan pada bagian kerangka analisis. Berdasarkan hasil analisis (yang meliputi tiga analisis di atas), dilakukan analisis penentuan lokasi yang optimal yang juga mengacu pada kajian literatur.
Universitas Sumatera Utara
SEKOLAH MENENGAH DI KOTA TEBING TINGGI
FAKTOR JANGKAUAN PELAYANAN
FAKTOR POLA DISTRIBUSI
FAKTOR KONDISI LAHAN SEKOLAH
Sistem Informasi Geografis Dalam Menganalisis Sebaran Sekolah Menengah PETA SPASIAL LOKASI SEKOLAH YANG IDEAL Peningkatan Aksesibilitas Pendidikan
Gambar 2.1 Bagan Alir Kerangka Berpikir
Universitas Sumatera Utara