BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengetahuan
2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Berdasarkan pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmodjo,2007). 2.1.2 Cara Memperoleh Pengetahuan Cara yang dapat digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan : a.
Cara Tradisional Cara kuno sebelum dikemukakan metode ilmiah. Cara ini meliputi : 1. Cara coba salah 2. Cara kekuasaan atau otoritas 3. Berdasarkan pengalaman pribadi 4. Melalui jalan pikiran
b.
Cara Modren Cara baru memperoleh pengetahuan yang sistimatis, logis, dan ilmiah (Notoatmodjo, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Tingkat Pengetahuan Didalam Domain Kognitif Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, Yaitu: a.
Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu meteri yang telah dipelajari sebelumnya.
b.
Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c.
Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d.
Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi-materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu sruktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e.
Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk melakukan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Universitas Sumatera Utara
f.
Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.2
Sikap
2.2.1 Pengertian Sikap Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulasi atau objek. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek (Notoadmodjo, 2007). Sikap adalah suatu bentuk evaluasi
atau reaksi perasaan. Menurut
Berkowitz (1972) (dalam Azwar, 2007), sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Secara lebih spesifik, Edwards (1957) (dalam Azwar, 2007) memformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologis. 2.2.2 Komponen Pokok Sikap Dalam pembagian lain Allport (1954) (dalam Notoadmodjo, 2007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu: a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecendrungan untuk bertindak (tent to behave).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Tingkatan Sikap Menurut Notoadmodjo (2007), sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: a.
Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
b.
Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c.
Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
d.
Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatunya.
2.2.4 Dimensi Sikap a.
Arah Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua arah yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek.
b.
Intensitas Sikap mempunyai intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak berbada.
Universitas Sumatera Utara
c.
Keluasan Sikap memiliki keluasan, artinya kesetujuan atau ketidak setujuan terhadap suatu objek sikap dapat mengenai hanya aspek yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada objek sikap.
d.
Konsistensi Sikap memiliki konsistensi, artinya kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap objek sikap yang dimaksud.
e.
Spontanitas Sikap memiliki spontanitas, yaitu menyangkut sejauh mana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan (Azwar, 2007).
2.3
Perilaku
2.3.1 Pengertian Perilaku Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati langsung oleh pihak luar. Menurut Skiner (1938) (dalam Notoadmodjo, 2007) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau ransangan dari luar. Oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respon.
Universitas Sumatera Utara
Skiner membedakan adanya dua respon, yakni: a.
Respondent respons atau reflesive, yakni respon yang ditimbulkan oleh ransangan-ransangan (stimulus tertentu).
b.
Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
2.3.2 Bentuk Perilaku a.
Perilaku tertutup (covert behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b.
Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati oleh orang lain. (Notoadmodjo, 2007)
2.1.3 Perubahan Perilaku Menurut Notoadmodjo (2003), perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: a.
Perubahan alamiah (natural change) Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamia. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi maka anggota masyarakat didalamnya akan berubah. b.
Perubahan terencana (planned change) Perubahan ini memang karena direncanakan subjek.
c.
Kesediaan untuk berubah (readdiness change) Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan didalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat menerima perubahan tersebut (berubah perilaku) dan sebagian orang lagi sangat lambat. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan yang berbeda-beda untuk berubah.
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep
dari Lawrence Green (1980) (dalam Notoadmodjo, 2007). Menurut
Green, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: a.
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor ini mencakup
pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, system nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. b.
Faktor-faktor pemungkin (enambling factors) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
c.
Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,tokoh agama,dan para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
2.1.5 Proses Adopsi Perilaku Penelitian Rogers (1974) (dalam Notoadmodjo, 2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru atau berperilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: a.
Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
b.
Interest, yakni orang mulai tertarik terhadap stimulus.
c.
Evaluation, yakni menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
d.
Trial, yakni orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e.
Adoption, yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
2.1.6 Determinan Perilaku a.
Determinan
atau
faktor
internal,
yakni
karakteristik
orang
yang
bersangkutan. b.
Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan
Universitas Sumatera Utara
2.4
Remaja
2.4.1 Pengertian Remaja Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence memiliki arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Ali dan Asrori, 2004). Masa remaja adalah masa transisi antara masa anak-anak dan dewasa, dimana terjadi pacu tumbuh (growth spurt), timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapai fertilitas, dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta kognitif (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja dalam hidup kita adalah suatu periode transisi yang memiliki rentang dari masa kanak-kanak yang bebas dari tanggung jawab sampai pencapaian tanggung jawab pada masa dewasa. Remaja secara umum dianggap mencakup individu berusia 10 sampai 19 tahun, sehingga kesehatan reproduksi remaja memperhatikan kebutuhan fisik, sosial, dan emosional kaum muda (Glasier dan Gebbie, 2005). Menurut
defenisi
Organisasi
Kesehatan
Dunia
(WHO),
remaja
(adolescence) adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun (Sherris (ed), 2000). Menurut WHO defenisi tentang remaja lebih bersifat konseptual. Dalam defenisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi (Sarwono, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Tahap Perkembangan Remaja Menurut ciri-ciri perkembangannya, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: a.
Masa remaja awal (10-12 tahun), dengan ciri khas antara lain: 1. Lebih dekat dengan teman sebaya. 2. Ingin bebas. 3. Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.
b.
Masa remaja tengah (13-15 tahun), dengan ciri khas antara lain: 1. Mencari identatas diri. 2. Timbulnya keinginan untuk kencan. 3. Mempunyai rasa cinta yang mendalam. 4. Mengembangkan kemampuan berpikir abstra. 5. Berkhayal tentang aktivitas seks.
c.
Masa remaja akhir (16-19), dengan ciri khas antara lain: 1. Pengungkapan kebebasan diri. 2. Lebih selektif dalam mencari teman sebaya. 3. Mempunyai citra jasmani dirinya. 4. Mampu berpikir abstrak (Depkes, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.5
Seks Bebas
2.5.1 Pengertian Seks Bebas Seks bebas merupakan aktivitas seksual yang dilakukan tanpa dilandasi oleh suatu ikatan perkawinan yang sah. Perilaku ini cenderung disukai oleh anak muda terutama kalangan remaja yang secara bio-psikologis sedang tumbuh menuju proses pematangan (Amirudin dkk, 1997). Pada hakekatnya, dalam eksesivitasnya seks bebas itu tidak ada bedanya dengan promiscuity atau campur aduk seksual tanpa aturan (Kartono, 2006). 2.5.2 Aktivitas Seksual Remaja yang Memiliki Resiko Terjadinya Aktivitas Seks Bebas (hubungan intim) Berdasarkan Tingkatan-Tingkatan Menurut Derajat Keintiman a.
Tingkatan pertama berupa pegangan-pegangan tangan, pelukan- pelukan ringan, meletakkan tangan ke pundak, ciuman ringan di pipi dan bibir.
b.
Tingkatan kedua berkembang menjadi pelukan yang lebih mendalam, ciuman pada dahi dan mata, memepat telinga, adu mulut dengan lidah, dan mengusap pinggang.
c.
Tingkatan ketiga yaitu mencumbui buah dada.
d.
Tingkatan keempat yaitu melakukan perangsangan pada bagian- bagian organ seksual. Pada tingkatan inilah biasanya remaja sulit mengendalikan nafsu seksualnya, sehingga bisa mengakibatkan ke arah tindakan atau aktivitas seks bebas. Yaitu melakukan hubungan intim atau hubungan kelamin sebelum menikah ( Lim Su Min, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.5.3 Dampak Seks Bebas a.
Kehamilan yang tidak diharapkan Hubungan seks bebas atau seks pra nikah yang dilakukan remaja secara tidak bertanggung jawab terbukti telah banyak mengakibatkan kehamilan tak diharapkan (KTD). Banyak KTD diakhiri dengan aborsi. Aborsi selain dapat merusak organ reproduksi remaja perempuan juga dapat menyebabkan kematian ibu. 1. Menurut Prof. Biran Affandi, sekitar 2,1-2,4 juta perempuan setiap tahun diperkirakan melakukan aborsi, 30% diantaranya remaja. 2. Aborsi dikalangan remaja sering kali dilakukan dengan cara tidak aman seperti memijat, minum jamu, dan memasukkan benda kedalam jalan lahir.
b.
Penyakit menular seksual (PMS) dan HIV / AIDS. Hubungan seks bebas atau seks pra nikah yang dilakukan secara tidak aman terbukti telah menyebabkan infeksi atau penyakit menular seksual termasuk HIV / AIDS. Apabila PMS tidak diobati secara tepat maka dapat meningkatkan resiko kemandulan, kanker leher rahim, dan lain-lain (BKKBN, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.5.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perilaku Remaja dalam
Menghadapi Seks Bebas a.
Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
b.
Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain).
c.
Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.
d.
Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan ransangan melalui media massa dengan adanya teknologi canggih (Video Casette, foto copy, VCD, photo, satelit, telepon genggam, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.
e.
Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaaran mengenai seks dengan anak,
Universitas Sumatera Utara
menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini. f.
Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria (Sarwono, 2006) Menurut para ahli,
alasan seorang remaja melakukan hubungan
hubungan seks diluar nikah atau seks bebas terbagi dalam beberapa faktor, yaitu: a.
Tekanan yang datang dari teman pergaulannya. Lingkungan pergaulan yang telah dimasuki oleh seorang remaja dapat juga berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan seks.
b.
Adanya tekanan dari pacarnya. Karena kebutuhan seseorang untuk mencintai dan dicintai, seseorang harus rela melakukan apa saja terhadap pasangannya, tanpa memikirkan risiko yang dihadapinya.
c.
Adanya kebutuhan badaniah. Seks merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang termasuk remaja.
d.
Rasa penasaran. Pada usia remaja rasa keingintahuannya begitu besar terhadap seks. Apalagi jika teman-temannya mengatakan bahwa seks terasa nikmat, ditambah lagi adanya segala informasi yang tidak terbatas masuknya. Maka, rasa
Universitas Sumatera Utara
penasaran tersebut semakin mendorong mereka untuk lebih jauh lagi melakukan berbagai macam percobaan sesuai dengan yang diharapkannya. e.
Pelampiasan diri. Faktor ini tidak hanya datang dari diri sendiri. Misalnya, karena putus asa lalu seseorang mencari pelampiasan yang akan semakin menjerumuskannya kedalam pergaulan bebas.
f.
Faktor lingkungan keluarga. Bagi seorang remaja, mungkin aturan yang diterapkan oleh kedua orang tuanya tidak dibuat berdasarkan kepentingan kedua belah pihak (orang tua dan anak). Akibatnya remaja tersebut merasa tertekan, sehingga ingin membebaskan diri dengan menunjukkan sikap sebagai pemberontak, yang salah satunya dalam masalah seks. (Dianawati, 2006)
2.5.5 Tindakan yang Perlu Dilakukan dalam Menghadapi Seks Bebas Remaja a.
Tindakan Preventif 1. Internal Mengupayakan melakukan pencegahan oleh diri remaja itu sendiri. Antara lain dengan cara : meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; mengupayakan mengenal diri dan menanamkan kepercayaan pada diri dengan cara mengidentifikasi minat, bakat, potensi,dan menyalurkannya pada aktivitas positif dalam mengisi waktu luang;
mengidentifikasikan diri dengan lingkungan pergaulan
Universitas Sumatera Utara
yang positif dan produktif, menyaring berbagai informasi yang masuk, dan belajar disiplin. 2. Eksternal Pencegahan yang dilakukan oleh pihak diluar diri remaja. Antara lain oleh orang tua, lingkungan permainan (masyarakat), lembaga pendidikan atau sekolah, dan lembaga-lembaga lainnya. Misalnya; orang tua harus menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis, mengembangkan komunikasi
dengan
anak
yang
bersifat
suportif,
menunjukkan
penghargaan secara terbuka, dan melatih anak untuk mengekspresikan dirinya ; orang tua dan masyarakat memperhatikan sarana dan prasarana rekreasi yang tepat dan sehat bagi remaja, mendorong remaja terhadap latihan penyaluran kreativitas, dan melaksanakan pembinaan psikososial edukatif. b.
Tindakan preservatif Orang tua dan masyarakat berupaya memotivasi anak remaja dengan cara mempertahankan dan mengembangkan kondisi-kondisi yang positif yang telah dimiliki remaja atau yang telah dilakukan remaja. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan remaja.
c.
Tindakan rehabilitatif Orang tua dan masyarakat secara proaktif mengidetifikasi kondisi remaja dilingkungannya dengan cara:
Universitas Sumatera Utara
1. Menyelidiki apakah remaja itu tergolong berperilaku sehat secara sosialpsikologis 2. Latar belakang apa yang menyebabkan remaja berperilaku menyimpang, apakah faktor lingkungan keluarga, sekolah, teman, atau lainnya. 3. Tumbuhkan motivasi bahwa remaja memiliki psikis yang sehat, serta motivasinya untuk menghadapi kehidupan masa mendatang. 4. Salurkan remaja terhadap pelatihan keterampilan dan kembangkan pengetahuan serta tanamkan mental untuk dapat mandiri, bertanggung jawab, dan aktif kreatif. d.
Tindakan korektif Orang tua memberikan penanganan yang efektif dan tepat atas gangguan yang dialami remaja. Misalnya dengan memberikan terapi, baik psikologis, spiritual dan medis, maupun secara sosial-psikologis ( Iriany, 2006).
2.6
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Remaja Pada umumnya seseorang memasuki usia remaja itu tanpa didasari oleh
pengetahuan yang memadai tentang seks. Hal ini disebabkan orang tua tabu membicarakan seks dengan anaknya sehingga anak berpaling kesumber-sumber lain yang tidak akurat, khususnya teman. Sikap mentabukan seks ini tidak hanya terdapat pada orang tua saja, tetapi juga pada anak-anak itu sendiri. Sikap mentabukan
seks pada remaja
hanya
mengurangi kemungkinan untuk
membicarakannya secara terbuka, tetapi tidak menghambat hubungan seks itu sendiri (Sarwono, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Wilopo (2002), pengetahuan remaja Indonesia mengenai masalah kesehatan reproduksi memang masih sangat minim. Hal ini disebabkan kurangnya informasi kesehatan reproduksi baik dari sekolah maupun lingkungan keluarganya. Berdasarkan hasil survey SKRRI 2002-2003, pengetahuan seks remaja Indonesia masih relatif rendah, pengetahuan remaja laki laki hanya 46,1% dan pengetahuan remaja perempuan hanya sekitar 43,1% (SKRRI, 2004). Dari data lain diketahui hanya 55% remaja yang mengetahui proses kehamilan dengan benar, 42% mengetahui tentang HIV/ AIDS dan hanya 24% mengetahui tentang PMS (Baseline Survey, 1999). Selain itu ada 86% remaja, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mengerti tentang kapan terjadinya masa subur. Disamping itu, hanya satu diantara dua remaja yang mengetahui adanya kemungkinan hamil apabila melakukan hubungan seks meskipun hanya sekali (SKRRI, 2004). Kurangnya pengetahuan seks remaja menyebabkan meningkatnya perilaku seks bebas dikalangan remaja sehingga meningkatkan resiko kehamilan usia remaja dan penyakit menular seksual (Soetjiningsih, 2004). Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap. Berdasarkan hasil survey LDFEUI & NFPCB 1999, ada 2,2% remaja Indonesia setuju apabila berhubungan seks sebelum menikah. Menurut Dianawati (2006), sikap remaja yang kurang baik dalam menghadapi seks bebas dikarenakan kurangnya pengetahuan remaja tentang seks bebas tersebut. Kurangnya pengetahuan remaja dikarenakan remaja kurang menerima dan
Universitas Sumatera Utara
menghargai arahan yang diberikan dari orangtua, sehingga remaja lebih senang menggali informasi mengenai seks bebas dengan teman-teman terdekatnya. Berdasarkan hasil penelitian PSK UII /Pusat Studi Kriminologi Universitas Indonesia 1991 Yogyakarta menunjukkan bahwa dari 1200 remaja, 23.1% sudah berciuman bibir diwaktu pacaran, 11.9% sudah memegang buah dada, 8.7% sudah pegang alat kelamin, bahkan 4.2% sudah melakukan hubungan kelamin (Sriwidodo, 1992).
Universitas Sumatera Utara