BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari ”tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).
2.1.2. Sumber Pengetahuan Pengetahuan berasal dari pengalaman, informasi yang disampaikan kepada orang lain, surat kabar, majalah, buku dan media elektronik (Notoatmodjo, 2003).
2.1.3. Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan kognitif terdiri atas beberapa tingkatan : (1). Tahu. Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam tingkatan ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Universitas Sumatera Utara
(2). Memahami. Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, yang dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. (3). Aplikasi. Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau pada kondisi yang sebenarnya. (4). Analisis. Analisis atau kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. (5). Sintesis. Sintesis menunjukkan pada suatu komponen untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada. (6). Evaluasi. Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor (Notoatmodjo, 2003) yaitu : (1). Pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang paling penting dan yang diperlukan di dalam pengetahuan. (2). Umur. Umur merupakan variabel yang harus diperhatikan, angka kesakitan atau angka kematian menunjukkan hubungan dengan umur. (3). Pekerjaan. Pekerjaan merupakan suatu aktivitas atau kegiatan seseorang untuk memperoleh pengetahuan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
2.2. Mekanisme Koping 2.2.1. Definisi Mekanisme Koping Akibat stres yang berkepanjangan adalah terjadinya kelelahan baik fisik maupun mental, yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam keluhan/gangguan. Bila individu mampu menggunakan cara-cara penyesuaian diri yang sehat/baik/sesuai dengan stres yang dihadapi, meskipun stres/tekanan tersebut tetap ada, individu yang bersangkutan tetap dapat hidup secara sehat. Penyesuaian diri dalam menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah koping (Siswanto, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Koping dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/ancaman. Koping lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Atau dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan (Siswanto, 2007). Menurut Lazarus (1984) koping merupakan strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan realistis, berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak nyata, dan koping merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap tuntutan-tuntutan (distress demands) (Safaria dan Saputra 2009). Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Friedman (1998) mendefinisikan koping keluarga sebagai respon yang positif, sesuai dengan masalah, afektif, persepsi, dan respon perilaku yang digunakan keluarga dan subsistemnya untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh masalah atau peristiwa.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Proses Terjadinya Koping Menurut Safaria dan Saputra (2009) yang mengutip pendapat Lazarus (1984), mengatakan bahwa ketika individu berhadapan dengan lingkungan yang baru atau perubahan lingkungan (situasi yang penuh tekanan), maka akan melakukan penilaian awal (primary appraisal) untuk menentukan arti dari kejadian tersebut. Kejadian tersebut dapat diartikan sebagai hal positif, netral, atau negatif. Setelah penilaian awal terhadap hal-hal yang mempunyai potensi untuk terjadinya tekanan, maka penilaian sekunder (secondary appraisal) akan muncul. Penilaian sekunder adalah pengukuran terhadap kemampuan individu dalam mengatasi tekanan yang ada. Penilaian sekunder mengandung makna pertanyaan, seperti apakah saya dapat menghadapi ancaman dan sanggup menghadapi tantangan terhadap kejadian. Setelah memberikan penilaian primer dan sekunder, individu akan melakukan penilaian ulang (re-appraisal) yang akhirnya mengarah pada pemilihan strategi koping untuk penyelesaian masalah yang sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Keputusan pemilihan strategi koping dan respon yang dipakai individu untuk menghadapi situasi yang penuh tekanan tergantung dari 2 faktor. Pertama, faktor eksternal dan kedua, faktor internal. Faktor eksternal termasuk di dalamnya adalah ingatan pengalaman dari berbagai situasi dan dukungan sosial, serta seluruh tekanan dari berbagai situasi yang penting dalam kehidupan. Faktor internal, termasuk di dalamnya adalah gaya koping yang biasa dipakai seseorang dalam kehidupan seharihari dan kepribadian dari seseorang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Setelah keputusan dibuat untuk menentukan strategi koping yang dipakai, dengan mempertimbangkan dari faktor eksternal dan internal, individu akan melakukan pemilihan strategi koping yang sesuai dengan situasi tekanan yang dihadapinya untuk penyelesaian masalah, ada 2 strategi koping yang dipakai, apakah strategi koping yang berfokus pada permasalahan ataupun pemilihan strategi koping untuk mengatur emosi. Kedua strategi koping tersebut dapat bertujuan untuk mereduksi ketegangan yang disebabkan oleh situasi tekanan dari lingkungan maupun dapat mengatur hal-hal negatif, sehingga hasil dari proses koping tersebut dapat menciptakan berfungsinya kembali aktivitas yang biasa dilakukan oleh individu.
2.2.3. Jenis Mekanisme Koping Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Safaria dan Saputra, 2009), koping terbagi dalam 2 jenis yaitu : (1). Koping yang berfokus untuk mengatur emosi (Emotion-focused coping). Adalah suatu usaha untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi yang sangat menekan. Emotion–focused coping cenderung dilakukan apabila individu tidak mampu atau merasa tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, yang dilakukan individu adalah mengatur emosinya. Sebagai contoh, ketika seseorang yang dicintai meninggal dunia, dalam situasi ini, orang biasanya mencari dukungan emosi dan mengalihkan diri atau menyibukkan diri dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah atau kantor.
Universitas Sumatera Utara
Aspek-aspek emotion focused coping yaitu : a) Seeking social emotional support Mencoba memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain. b) Distancing Mengeluarkan upaya kognitif untuk melepaskan diri dari masalah atau membuat sebuah harapan positif. c) Escape avoidance Menghayal mengenai situasi atau melakukan tindakan atau menghindar dari situasi
yang
tidak
menyenangkan.
Individu
melakukan
fantasi
andaikan
permasalahannya pergi dan mencoba untuk tidak memikirkan mengenai masalah dengan tidur atau menggunakan alkohol yang berlebih. d) Self control Mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri atau tindakan dalam hubungannya untuk menyelesaikan masalah. e) Accepting responsibility Menerima untuk menjalankan masalah yang dihadapinya sementara mencoba untuk memikirkan jalan keluarnya. f) Positive reappraisal Mencoba untuk membuat suatu arti positif dari situasi dalam masa perkembangan kepribadian, kadang-kadang dengan sifat yang religius.
Universitas Sumatera Utara
(2). Koping yang berfokus pada permasalahan (Problem-focused coping). Adalah suatu usaha untuk mengurangi stresor, dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru untuk digunakan mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini apabila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi (Smet, 1994). Setiap hari dalam kehidupan kita secara tidak langsung problemed-focused coping telah sering digunakan, saat kita bernegosiasi untuk membeli sesuatu di toko, saat kita membuat jadwal pelajaran, mengikuti treatment-treatment psikologis, atau belajar untuk meningkatkan keterampilan. Aspek-aspek problem focused coping yaitu : a) Confrontive coping Melakukan penyelesaian masalah secara konkrit. b) Planful problem solving Menganalisis setiap situasi yang menimbulkan masalah serta berusaha mencari solusi secara langsung terhadap masalah yang dihadapi. (Safaria dan Saputra, 2009).
2.2.4. Faktor yang Memengaruhi Strategi Koping Menurut Ahyar (2010) ada beberapa faktor yang memengaruhi strategi koping, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
(1). Kesehatan fisik. Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar. (2). Keyakinan atau pandangan positif. Keyakinan menjadi sumberdaya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping tipe problem-solving focused coping. (3). Keterampilan memecahkan masalah. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. (4). Keterampilan sosial. Keterampilan
ini
meliputi
kemampuan
untuk
berkomunikasi
dan
bertingkahlaku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. (5). Dukungan sosial. Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
(6). Materi. Meliputi sumberdaya berupa uang, barang, atau layanan yang biasanya dapat dibeli.
2.2.5. Metode Koping Ada 2 metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah psikologis seperti dikemukakan oleh Rasmun (2004) yang mengutip pendapat Bell (1977), metode tersebut antara lain : (1). Metode koping jangka panjang (konstruktif). Merupakan cara yang efektif dan realistis dalam menangani masalah psikologis dalam kurun waktu yang lama, contohnya berbicara dengan orang lain, mencoba mencari informasi yang lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi, menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan kekuatan supranatural, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan, membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi, mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu, dan lain-lain. (2). Metode koping jangka pendek (destruktif). Cara ini digunakan untuk mengurangi stres dan cukup efektif untuk waktu sementara, contohnya menggunakan alkohol atau obat, melamun dan fantasi, mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
2.2.6. Respon Koping Keluarga Respon-respon atau perilaku koping keluarga merupakan tindakan-tindakan pengenalan yang digunakan keluarga (McCubbin et,al. 1981). Respon-respon koping keluarga meliputi tipe strategi koping eksternal dan internal. Sumber-sumber koping internal terdiri dari kemampuan keluarga yang menyatu sehingga menjadi kohesif dan terintegrasi. Integrasi keluarga memerlukan pengontrolan dari subsistem lewat ikatan kesatuan. Keluarga yang paling sukses menghadapi masalah-masalah mereka adalah keluarga yang paling sering terintegrasi dengan baik, dimana anggota keluarga memiliki tanggungjawab yang kuat terhadap kelompok dan tujuan-tujuan kolektifnya. Menurut Hall dan Weaver (1974) dalam Friedman (1998) sumber koping lainnya adalah fleksibilitas peran yaitu suatu kemampuan memodifikasi peran-peran keluarga ketika dibutuhkan, dan pola-pola komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam koping. Sumber-sumber koping eksternal berhubungan dengan penggunaan sistem pendukung sosial oleh keluarga. Dalam memandang sumber-sumber eksternal, keluarga berbeda satu sama lain dalam hal sejauh mana mereka mampu memperoleh persetujuan dari lingkungan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap informasi, barang dan pelayanan (Friedman, 1998). Pada
tingkat
keluarga
koping
yang
dilakukan
dalam
menghadapi
masalah/ketegangan seperti yang dikemukakan oleh McCubbin (1979, dalam Rasmun 2004) adalah :
Universitas Sumatera Utara
(1). Mencari dukungan sosial seperti minta bantuan keluarga, tetangga, teman, atau keluarga jauh. (2). Reframing yaitu mengkaji ulang kejadian masa lalu agar lebih dapat menanganinya dan menerima, menggunakan pengalaman masa lalu untuk mengurangi stres/kecemasan. (3). Mencari dukungan spiritual, berdoa, menemui pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah. (4). Menggerakkan keluarga untuk mencari dan menerima bantuan. (5). Penilaian secara pasif terhadap peristiwa yang dialami dengan cara menonton televisi, atau diam saja.
2.2.7. Penggolongan Mekanisme Koping Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart dan Sundeen, 1995) yaitu : (1). Mekanisme koping adaptif. Mekanisme koping yang mendukung fungsi terintegrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.,
Universitas Sumatera Utara
(2). Mekanisme koping maladaptif. Mekanisme
koping
yang
menghambat
fungsi
integrasi,
memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, dan lain-lain. Menurut Rasmun (2004), koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladapatif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan. 2.3. Keperawatan Jiwa 2.3.1. Definisi Keperawatan Jiwa Perawatan ialah pelayanan yang bersifat manusiawi yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia untuk merawat diri, kesembuhan dari penyakit atau cedera, dan penanggulangan komplikasinya sehingga dapat menunjang kehidupan. Sedangkan keperawatan adalah suatu kegiatan yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan individu baik yang mampu atau tidak mampu melakukan perawatan mandiri sehingga individu tersebut mampu mempertahankan atau melakukan perawatan mandiri (Orem, 1971, dalam Ali, 2001). Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi
Universitas Sumatera Utara
(Stuart, 2006). Pasien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas.
2.3.2. Perawatan Pasien di Rumah Sakit Jiwa Rencana keperawatan pasien di Rumah Sakit Jiwa meliputi : (1) Rencana tindakan yang dilakukan selama pasien di rawat. (2) Persiapan pulang. (3) Rencana perawatan di rumah. Keluarga dan pasien perlu dilibatkan pada semua rencana keperawatan agar dapat menggantikan peran perawat sewaktu pulang ke rumah. Pada awal pasien di rawat, perawat hendaknya melakukan hubungan dengan pasien dan keluarga. Keluarga mengetahui peran dan tanggung jawabnya dalam proses keperawatan yang direncanakan melalui kontrak yang telah disepakati. Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien merupakan dasar utama untuk
membantu
pasien
mengungkapkan
dan
mengenal
perasaannya,
mengidentifikasi kebutuhan dan masalahnya, mencari alternatif pemecahan masalah, melaksanakan alternatif yang dipilih serta mengevaluasi hasilnya. Proses ini harus dilalui oleh pasien dan keluarga agar di masa yang akan datang (di rumah) keluarga dapat membantu pasien dengan cara yang sama (Keliat, 1996).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Peran Perawat Jiwa Peran perawat jiwa terhadap keluarga antara lain (Keliat, 1996) : (1) Menyertakan keluarga dalam rencana perawatan pasien. (2) Menjelaskan pola perilaku pasien dan cara penanganannya. (3) Membantu keluarga berperilaku terapeutik, yang dapat menolong pemecahan masalah pasien. (4) Mengadakan pertemuan antar keluarga pasien, diskusi, membagi pengalaman, mengantisipasi masalah pasien. (5) Melakukan terapi keluarga. (6) Menganjurkan kunjungan keluarga yang teratur. 2.3.4.Persiapan Pulang Perawatan di Rumah Sakit akan bermakna jika dilanjutkan dengan perawatan di rumah. Untuk itu, selama di Rumah Sakit perlu dilakukan persiapan pulang. Persiapan pulang dilakukan sesegera mungkin setelah di rawat serta diintegrasikan di dalam proses keperawatan. Jadi, persiapan pulang bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau sehari sebelum pasien pulang.
Persiapan atau rencana pulang bertujuan untuk (Jipp & Sims, 1986) : (1) Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial. (2) Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga. (3) Melaksanakan rentang perawatan antara rumah sakit dan masyarakat. (4) Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan dalam persiapan pulang adalah : (1) Pendidikan (edukasi, reedukasi, reorientasi). Youssef (1987) menemukan penurunan angka kambuh pada pasien dan keluarga yang mengikuti program pendidikan. Pendidikan kesehatan ini ditujukan untuk mencegah atau menguraikan dampak gangguan jiwa bagi pasien. Program keterampilan yang dapat dilakukan adalah keterampilan khusus (perilaku adaptif, aturan makan obat, penataan rumah tangga, identifikasi gejala kambuh, pemecahan masalah) dan keterampilan umum (komunikasi efektif, ekspresi emosi yang konstruktif, relaksasi, pengelolaan stres). (2) Program pulang bertahap. Setelah pasien mempunyai kemampuan dan keterampilan mandiri maka pasien dapat mengikuti program pulang bertahap. Tujuannya adalah melatih pasien kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Pasien, keluarga, dan jika perlu masyarakat dipersiapkan, antara lain apa yang harus dilakukan pasien di rumah, apa yang harus dilakukan keluarga untuk membantu adaptasi. (3) Rujukan. Integrasi kesehatan jiwa di Puskesmas sebaiknya mempunyai hubungan langsung dengan Rumah Sakit. Perawat komuniti (Puskesmas) sebaiknya mengetahui perkembangan pasien di Rumah Sakit dan berperan serta dalam membuat rencana pulang (Keliat, 1996).
Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Perawatan di Rumah Perawat, pasien dan keluarga bekerjasama untuk membantu proses adaptasi pasien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat komunitas membantu pasien dan keluarga menyesuaikan diri di lingkungan keluarga, dalam hal sosialisasi, perawatan mandiri dan kemampuan memecahkan masalah. Perawat dapat memantau dan mengidentifikasi gejala kambuh dan segera melakukan tindakan sehingga dapat dicegah perawatan kembali di Rumah Sakit (Keliat, 1996). 2.3.6. Peran Perawat dalam Terapi Keluarga Dengan bantuan perawat, keluarga diharapkan mempunyai kemampuan mengatasi masalah dan memelihara stabilitas dari status kesehatan semaksimal mungkin. Newman menjelaskan strategi intervensi perawatan keluarga yang lebih berfokus pada prevensi primer dan tersier seperti : (1) Mendidik kembali dan mengorientasi kembali seluruh anggota keluarga, misalnya perawat menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluarga, kesamaan harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga. (2) Memberikan dukungan kepada pasien serta sistem yang mendukung pasien untuk mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat meyakinkan bahwa keluarga pasien mampu memecahkan masalah yang dihadapi anggotanya. (3) Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawat menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerja sama dengan keluarga dan siapa yang diajak berkonsultasi.
Universitas Sumatera Utara
(4) Memberi pelayanan prevensi primer, sekunder dan tersier melalui penyuluhan, perawatan di rumah, pendidikan dan sebagainya. Bila ada anggota keluarga yang kurang memahami perilaku sehat didiskusikan atau bila ada keluarga yang membutuhkan perawatan. Proses perawatan yang melibatkan pasien dan keluarga akan membantu proses intervensi dan menjaga agar pasien tidak kambuh kembali setelah pulang. Khusus untuk keluarga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa, sangat penting merencanakan pulang pasien dengan keluarganya. Jiip & Sine (1986) mengemukakan tujuan rencana pulang pasien sebagai berikut : (1) Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik dan sosial serta psikologi. (2) Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga. (3) Menyelenggarakan rentang perawatan antara rumah sakit dan masyarakat. (4) Melaksanakan proses pulang yang bertahap (Yosep, 2007).
2.4. Sikap 2.4.1. Definisi Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap
Universitas Sumatera Utara
belum merupakan tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku (Notoatmodjo, 1997).
2.4.2. Komponen Sikap Menurut Allport (1954) sikap memiliki 3 komponen pokok, yakni: (1). Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek. (2). Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek. (3). Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam pembentukan sikap ini, pegetahuan, berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 1997). 2.4.3. Tingkatan Sikap Sikap terdiri dari beberap tingkatan (Notoatmodjo, 1997) yakni : (1). Menerima (Receiving). Subyek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan obyek. (2). Merespon (Responding). Memberikan
pertanyaan
apabila
ditanya
serta
mengerjakan
dan
menyelesaikan tugas yang diberikan. Terlepas jawaban dan pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang yang menerima ide tersebut. (3). Menghargai (Valuing). Mengajak orang lain mengerjakan atau mendiskusikan terhadap suatu masalah.
Universitas Sumatera Utara
(4). Bertanggungjawab (Responsible). Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang paling penting. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataanpernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).
2.5. Konsep Keluarga 2.5.1. Definisi Keluarga Friedman (1998) mendefenisikan bahwa keluarga adalah kumpulan 2 orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Keluarga adalah 2 atau lebih dari 2 individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Baylon dan Maglaya, 1989, dalam Effendy, 1998) Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya( Suprajitno, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Tipe Keluarga Menurut Suprajitno (2004), pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks keilmuan
dan
orang
yang
mengelompokkan.
Secara
tradisional
keluarga
dikelompokkan menjadi 2 yaitu : (1). Keluarga inti (nuclear family). Adalah keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya.
(2). Keluarga besar (extended family). Adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi). Namun, dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme, pengelompokkan tipe keluarga selain kedua di atas berkembang menjadi : (1). Keluarga bentukan kembali (dyadic family). Adalah keluarga baru yang terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya. (2). Orang tua tunggal (single parent family). Adalah keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anak akibat perceraian atau ditinggal pasangannya. (3). Ibu dengan anak tanpa perkawinan (the unmarried teenage mother).
Universitas Sumatera Utara
(4). Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah (the single adult living alone). (5). Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the non-marital heterosexual cohabiting family). Biasanya dapat dijumpai pada daerah kumuh perkotaan (besar), tetapi pada akhirnya mereka dinikahkan oleh pemerintah daerah (kabupaten atau kota) meskipun usia pasangan tersebut telah tua demi status anak-anaknya. (6). Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (gay and lesbian family).
2.5.3. Struktur Keluarga Struktur keluarga dapat menggambarkan bagaimana keluarga melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat sekitarnya. Friedman (1998) mengutip pendapat Parad dan Caplan (1965) mengatakan ada 4 elemen struktur keluarga yaitu : (1). Struktur peran keluarga. Menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam keluarga sendiri dan perannya dilingkungan masayarakat atau peran formal dan informal. (2). Nilai atau norma keluarga. Menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan. (3). Pola komunikasi keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi ayah-ibu (orangtua), orangtua dengan anak, anak dengan anak, dan anggota keluarga lain (pada keluarga besar) dengan keluarga inti. (4). Struktur kekuatan keluarga. Menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku keluarga yang mendukung kesehatan. 2.5.4. Fungsi Keluarga Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998) adalah sebagai berikut : (1). Fungsi afektif (the affective function). Adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain,. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga. (2). Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social placement function). Adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. (3). Fungsi reproduksi (the reproductive function). Adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
(4). Fungsi ekonomi (the economic function). Yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. (5). Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the health care function). Yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan. 2.5.5. Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan (Suprajitno, 2004), meliputi : (1). Mengenal masalah kesehatan keluarga. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatan kadang kala seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. (2). Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai
Universitas Sumatera Utara
keterbatasan dapat meminta bantuan kepada orang di lingkungan tinggal keluarga agar memperoleh bantuan. (3). Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan. Sering kali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh keluarga sendiri. Jika demikian, anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan memiliki tindakan untuk pertolongan pertama. (4). Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga. (5). Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitarnya bagi keluarga.
2.6. Gangguan Jiwa 2.6.1. Definisi Gangguan Jiwa Dalam International Classification of Disease (ICD) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) digunakan istilah “mental disorder” yang diterjemahkan menjadi gangguan jiwa. DSM-IV merumuskan gangguan mental sebagai sindroma atau pola perilaku atau psikologis yang terjadi pada individu. Kaplan dan Sadock (1994) menyatakan gangguan mental berarti penyimpangan dari keadaan ideal dari suatu kesehatan mental merupakan indikasi adanya gangguan mental (Notosoedirdjo, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut dibagi ke dalam 2 golongan yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, 2007). 2.6.2. Etiologi Gangguan Jiwa Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling mempengaruhi (Yosep, 2007), yaitu : (1). Faktor-faktor somatik (somatogenik) atau organobiologis. Mencakup neuroanatomi, neurofisiologi, neurokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik, dan faktor-faktor pre dan peri-natal. (2). Faktor-faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif. Dapat berupa interaksi ibu-anak, peranan ayah, persaingan antar saudara kandung, intelegensi, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat. Faktor psikologik lainnya adalah kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah, konsep diri, keterampilan, bakat dan kreativitas dan tingkat perkembangan emosi. (3). Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik) atau sosiokultural. Faktor-faktor sosio-budaya yang dapat menyebabkan gangguan jiwa yaitu kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat ekonomi, dan lokasi perumahan (perkotaan lawan pedesaan). Menurut Singgih (dalam Yosep, 2007), penyebab gangguan mental dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu (1) prasangka orangtua yang menetap, penolakan
Universitas Sumatera Utara
atau shock yang dialami pada masa anak, (2) ketidaksanggupan memuaskan keinginan dasar dalam pengertian kelakuan yang dapat diterima umum, (3) kelelahan yang luar biasa, kecemasan, anxietas, kejemuan, (4) masa-masa perubahan fisiologis yang hebat, pubertas dan menopause, (5) tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi, politik, dan sosial yang terganggu, (6) keadaan iklim yang mempengaruhi exhaustion dan toxema, (7) penyakit kronis, misal AIDS, (8) trauma kepala dan vertebra, (9) kontaminasi zat toksik dan (10) shock emosional yang hebat. 2.6.3. Klasifikasi Gangguan Jiwa Klasifikasi gangguan jiwa menurut PPDGJ-III ( Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi ke III) tahun 1993 adalah sebagai berikut : I.
Gangguan mental organik dan simtomatik. Ciri khas : etiologi organik/fisik jelas, primer/sekunder.
II.
Skizofrenia, gangguan Skizotipal, dan gangguan Waham. Ciri khas : gejala psikotik, etiologi organik tidak jelas.
III.
Gangguan suasana perasaan (Mood/Afektif). Ciri khas : gejala gangguan afek (psikotik dan non-psikotik).
IV.
Gangguan Neurotik, gangguan Somatoform, dan gangguan stres. Ciri khas : gejala non-psikotik, etiologi non organik.
V.
Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik. Ciri khas : gejala disfungsi fisiologis, etiologi non-organik.
Universitas Sumatera Utara
VI.
Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa. Ciri khas : gejala perilaku, etiologi non-organik.
VII.
Retardasi mental. Ciri khas : gejala perkembangan IQ, onset masa kanak.
VIII.
Gangguan perkembangan psikologis. Ciri khas : gejala perkembangan khusus, onset masa kanak.
IX.
Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja. Ciri khas : gejala perilaku/emosional, onset masa kanak.
X.
Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis. Ciri khas : tidak tergolong gangguan jiwa.
2.6.4. Kriteria Penentuan Gangguan Jiwa. Menurut Notosoedirdjo (2007) yang mengutip pendapat Scott (1961) mengelompokkan 6 macam kriteria untuk menentukan seseorang mengalami gangguan jiwa yaitu : (1). Memperoleh pengobatan psikiatris Pengertian ini lebih menekankan pada pasien-pasien yang memperoleh perawatan di Rumah Sakit. Orang-orang yang tidak mendapatkan perawatan di Rumah Sakit tidak dianggap sebagai orang yang mengalami gangguan jiwa. (2). Salah penyesuaian sebagai gejala sakit jiwa Penyesuaian seseorang berkaitan dengan kesesuaian seseorang dengan normanorma sosial atau kelompok tertentu. Perilaku seseorang dapat sesuai atau tidak sesuai dengan norma masyarakat atau kelompok. Jika perilakunya sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
norma masyarakatnya berarti dia dapat melakukan penyesuaian sosial, tetapi jika perilakunya bertentangan dengan nama kelompok atau masyarakatnya maka dia tidak dapat melakukan penyesuaian sosial. (3). Diagnosis sebagai kriteria sakit jiwa. Diagnosis dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak yang melakukan diagnosis. (4). Sakit jiwa menurut pengertian subjektif. Sehat dan sakit dapat diketahui melalui pemahaman atau pengakuan subjektif. Dalam hal ini sakit jiwa sebagai suatu pengalaman subjektif bagi seseorang. Jika seseorang merasa mengalami gangguan, maka dia sebenarnya tidak sehat jiwanya, tetapi jika tidak merasa mengalami gangguan maka dia dinyatakan sehat. (5). Sakit jiwa jika terdapat simptom psikologis secara objektif. Pada setiap gangguan jiwa terdapat simptom-simptom atau gejala psikologis tertentu. Gejala-gejala itu berdasarkan kriteria yang ditetapkan, jika terdapat pada seseorang maka dijadikan sebagai indikasi adanya gangguan jiwa padanya. Misalnya, gangguan kepribadian antisosial ditandai oleh gejala-gejala pelanggaran kepada peraturan atau norma sosial, gangguan kecemasan juga memiliki ciri-ciri tertentu. (6). Kegagalan adaptasi secara positif. Seseorang yang gagal dalam adaptasi secara positif dikatakan mengalami gangguan jiwa.
Universitas Sumatera Utara
2.6.5. Terapi dan Rehabilitasi Terdapat beberapa terapi yang dapat dilakukan pada pasien gangguan jiwa, yaitu : (1). Terapi antipsikotik. Ada 3 kelas obat utama Antipsikotik, yaitu Antagonis reseptor dopamin berupa
Risperidone
(Risperdal),
Clozapine
(Clozaril),
obat
lain
Lithium
Antikonvulsan Benzodiazepin. Terapi elektrokonvulsif (ECT) dapat memperpendek lamanya serangan Skizofrenik dan dapat mempermudah kontak dengan pasien. Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. ECT lebih mudah diberikan, bahaya lebih kecil, lebih murah dan tidak memerlukan tenaga yang khusus. ECT baik hasilnya pada jenis katatonik terutama katatonik stupor. (2). Terapi psikososial/Terapi perilaku. Terapi sosial dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, dan komunikasi interpersonal. Terapi perilaku dapat dilakukan dengan memberikan hadiah atau pujian sehingga dapat mendorong pasien berperilaku adaptif. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendiri, dan tingkah laku yang aneh dapat diturunkan. Latihan keterampilan perilaku dapat dilakukan dengan permainan simulasi, atau melakukan keterampilan dalam melakukan pekerjaan rumah. (3). Terapi psikomotor. Terapi psikomotor adalah suatu bentuk terapi yang mempergunakan gerakan tubuh sebagai salah satu cara untuk melakukan analisa berbagai gejala yang
Universitas Sumatera Utara
mendasari suatu bentuk gangguan jiwa. Analisa yang diperoleh dapat dipakai sebagai bahan diskusi dinamika dari perilaku serta responnya dalam perubahan perilaku dengan tujuan mendapatkan perilaku yang paling sesuai dengan dirinya. (4). Terapi kelompok. Terapi kelompok bagi Skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah dan hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi ini juga efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan Skizofrenia. (5). Terapi rekreasi. Terapi rekreasi adalah suatu bentuk terapi yang mempergunakan media rekreasi (bermain, olahraga, darmawisata, menonton TV, dan sebagainya) dengan tujuan mengurangi ketergangguan emosional dan memperbaiki perilaku melalui diskusi tentang kegiatan rekreasi yang telah dilakukan, sehingga perilaku yang baik di ulang dan yang buruk dihilangkan. (6). Art terapi. Art terapi adalah suatu bentuk terapi yang menggunakan media seni (tari, lukisan, musik, pahat, dan sebagainya) untuk mengekspresikan keteganganketegangan psikis sehingga dapat menyalurkan dorongan-dorongan yang terpendam dalam jiwa seseorang. Hasil seni yang dibuat selain dapat dinikmati orang lain dan dirinya juga akan meningkatkan harga diri seseorang. Perawat jiwa yang selalu dekat dengan pasien diharapkan dapat memberikan berbagai kegiatan yang terarah dan berguna bagi pasien dalam berbagai terapi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
(7). Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah suatu proses yang kompleks, meliputi berbagai disiplin dan merupakan gabungan dari usaha medik, sosial, educational, yang terpadu untuk mempersiapkan, meningkatkan/mempertahankan dan membina seseorang agar dapat mencapai kembali taraf kemampuan fungsional setinggi mungkin. Peran perawat dalam kegiatan rehabilitasi masih diperlukan terutama dalam melibatkan keluarga atau masyarakat dalam pelaksanaan dan memperlancar upaya rehabilitasi. 2.6.6. Peran Keluarga pada Pasien Gangguan Jiwa Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan pasien dan merupakan ”perawat utama” bagi pasien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan pasien di rumah. Keberhasilan perawat di Rumah Sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan dirumah yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di Rumah Sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah. Pentingnya peran serta keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan ”institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku (Clement dan Buchanan, 1982).
Universitas Sumatera Utara
Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota (Yosep, 2007). 2.6.7. Skizofrenia 2.6.7.1. Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk (Kaplan dan Sadock, 1997) dikutip dari Imron (2008). Menurut Kreapelin pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya; sebab itu dinamakannya demensia (kemunduran intelegensi) precox (muda, sebelum waktunya), (Kaplan dan Sadock, 2003) dikutip dari Akbar (2010). 2.6.7.2. Gambaran Klinis Skizofrenia Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejalagejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : perubahan fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
Universitas Sumatera Utara
Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual di mana gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase di atas, pendenta Skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial) (Luana, 2007, dikutip dari Akbar, 2010). 2.6.7.3. Jenis-jenis Skizofrenia Terdapat beberapa jenis Skizofrenia (Maramis, 2004), yaitu : (1). Skizofrenia Simpleks Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat”.
Universitas Sumatera Utara
(2). Skizofrenia Hebefrenik Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, permulaannya perlahanlahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali. (3). Skizofrenia Katatonik Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik. (4). Skizofrenia Paranoid Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan. (5). Episode Skizofrenia Akut Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakanakan dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya.
Universitas Sumatera Utara
Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya. (6). Skizofrenia Residual Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia. (7). Skizofrenia Skizoafektif Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan. 2.6.7.4. Pengobatan Skizofrenia Beberapa metode pengobatan Skizofrenia (Akbar, 2010), yaitu : (1). Psikofarmaka Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan
Universitas Sumatera Utara
dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). (2). Psikososial Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain psikoterapi individual, meliputi terapi suportif, social skill training, terapi okupasi, terapi kognitif dan perilaku. Terapi psikososial lainnya adalah psikoterapi kelompok, psikoterapi keluarga dan manajemen kasus.
2.7. Landasan Teori Dari berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun mental. Keabnormalan terlihat dalam berbagai macam gejala, yang terpenting diantaranya adalah ketegangan, rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), histeria, rasa lemah, dan tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran buruk, dan sebagainya (Yosep, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian National Mental Health Association/NHMA (2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun faktanya, NHMA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali beraktivitas (Garcia, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sullinger (1988), menyatakan bahwa keluarga berperan dalam mencegah kekambuhan pasien gangguan jiwa. Jika keluarga mengetahui tentang penyakit yang diderita anggota keluarganya maka akan memengaruhi proses penerimaan untuk melakukan perawatan kepada pasien dan akhirnya memiliki dampak pada kekambuhan pasien (Yosep, 2007). Berdasarkan Teori Atribusi yang dikemukakan oleh Heider (1958), individu mengetahui akan sikapnya dengan mengambil kesimpulan dari perilakunya sendiri dan persepsinya tentang situasi. Dalam hal ini, sikap dapat disebabkan oleh 2 jenis penyebab yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal, dan penyebab eksternal (external causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi. Kita mengatribusi suatu sikap disebabkan daya personal hanya jika orang yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk melakukan dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian atribusi kita, kita beranggapan hal tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita gunakan untuk meramalkan tindakan
dimasa yang akan datang. Di sisi lain, jika kita
Universitas Sumatera Utara
mengatribusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalkan tindakan dimasa yang akan datang (Mustafa, 2008). Seseorang yang mengalami stres/ketegangan psikologik dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari lingkungan agar dapat mengurangi stres, cara yang digunakan oleh individu untuk mengurangi stres dikenal dengan istilah koping (Rasmun, 2004). Teori Keperawatan yang dikemukakan oleh Sister Calista Roy, menyatakan bahwa individu sebagai makhluk biopsikososial dan spiritual memiliki mekanisme koping untuk beradaptasi terhadap perubahan yang ada di sekitarnya sehingga individu selalu berinteraksi terhadap perubahan tersebut. Stres merupakan salah satu perubahan yang terdapat di sekitar individu yang mengakibatkan perasaan tegang sehingga timbul sikap ataupun perilaku untuk mengatasi stres. Mekanisme koping adalah usaha yang digunakan untuk mengatasi stres (Hidayat, 2004). Gangguan jiwa yang dialami oleh salah seorang anggota keluarga dapat menjadi suatu stresor bagi keluarga tersebut. Munculnya ketegangan dalam kehidupan mengakibatkan perubahan perilaku pemecahan masalah (mekanisme koping) yang bertujuan meredakan ketegangan tersebut (Ahyar, 2010). Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) seseorang. Umumnya keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Spradey (1985) mengemukakan bahwa keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi
Universitas Sumatera Utara
kasih sayang, rasa aman, rasa dimiliki, dan menyiapkan peran dewasa individu di masyarakat. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan betapa pentingnya peran keluarga pada peristiwa terjadinya gangguan jiwa dan proses penyesuaian kembali setelah selesai program perawatan. Oleh karena itu, keterlibatan keluarga dalam perawatan sangat menguntungkan proses pemulihan pasien gangguan jiwa. Keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa merupakan suatu bentuk dari mekanisme koping yang menunjukkan keluarga tersebut memiliki sikap untuk menerima pasien gangguan jiwa setelah selesai program perawatan (Yosep, 2004). Berdasarkan Teori yang dikemukakan oleh Katz (1960) yang menggunakan pendekatan fungsional dalam memahami mengapa individu bersikap tertentu. Dalam Teori ini dikatakan bahwa pada level psikologis tertentu, seorang individu bersikap karena dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu penyesuaian, mekanisme koping, nilainilai, dan pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga tentang gangguan jiwa dapat memengaruhi sikap keluarga untuk menerima anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Mekanisme koping merupakan hal lain yang dianggap dapat memengaruhi sikap, dalam hal ini mekanisme koping, yaitu cara yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi stres atau hal lain yang menyebabkan tekanan pada diri seseorang. Beberapa ahli menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah (Sullinger, 1988). Menurut Sullinger (1988), Carson dan Ross (1987), klien
Universitas Sumatera Utara
dengan diagnosa Skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat (Yosep, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Mayasari (2007) dengan judul ”peran keluarga dalam proses rehabilitasi penderita Skizofrenia”, menunjukkan bahwa keluarga yang memberikan kebebasan pada penderita melakukan aktivitas sehari-hari dapat membantu proses rehabilitasi. Hasil penelitian lain, yang dilakukan oleh Nurdiana, Syafwani, dan Umbranshah (2005) dengan judul ”hubungan peran serta keluarga terhadap tingkat kekambuhan penderita Skizofrenia”, menyatakan bahwa ada hubungan antara peran serta keluarga terhadap tingkat kekambuhan pasien Skizofrenia.
2.8. Kerangka Konsep Pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa Sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa (Skizofrenia) yang telah tenang Mekanisme koping keluarga • Emotion focused coping • Problem focused coping
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Kerangka konsep pada penelitian ini menjelaskan tentang pengaruh pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa dan mekanisme koping keluarga terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa (Skizofrenia) yang telah dinyatakan tenang di Rumah Sakit Jiwa. Variabel independen pada penelitian ini adalah pengetahuan dan mekanisme koping, yang terdiri dari emotion focused coping dan problem focused coping. Sikap keluarga untuk menerima pasien yang telah dinyatakan tenang merupakan variabel dependen pada penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara