BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kemiskinan Definisi
mengenai
kemiskinan
sangat
beragam
mulai
dari
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar hingga definisi kemiskinan dengan mempertimbangkan komponen sosial dan moral. Kemiskinan dapat diartikan suatu kondisi serba kekurangan. Kemiskinan juga dapat dicirikan dengan ketidakmampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan pangan, perumahan, dan pakaian, tingkat pendapatan rendah, pendidikan dan keahlian rendah, keterkucilan sosial karena keterbatasan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Singkatnya, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar hidup yang rendah yaitu suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Suparlan,1984) Kemiskinan merupakan suatu konsep yang multidimensional artinya kemiskinan tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomi tapi juga dapat dilihat dari segi sosial, budaya, dan politik. Definisi kemiskinan ini semakin berkembang sesuai dengan penyebabnya. Papilaya (2006) mengemukakan bahwa pada awal 1990-an definisi kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan tetapi mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan. SMERU dalam Krisnamurti (2006) menyebutkan definisi kemiskinan yang memadai harus mencakup berbagai dimensi, antara lain : 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan).
2. Ketidakmampuan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi) 3. Tidak ada jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual dan massal. 5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam. 6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar,wanita tindak kekerasan rumah tangga, janda, kelompok marginal dan terpencil). Pengertian tersebut sesuai dengan konsep Chambers (1983) tentang jebakan kemiskinan yang diacu dalam Mutaqien (2006), antara lain kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok sesuai dengan pemahaman atas kondisi kemiskinan yang dihadapi (krisnamurthi, 2006), yaitu: 1. Kemiskinan absolut, kemiskinan yang terjadi bila seseorang, keluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatan atau pengeluarannya berada di bawah suatu batas minimal tertentu untuk dapat hidup layak sebagai manusia. Batas tersebut disebut garis kemiskinan. 2. Kemiskinan relatif, kemiskinan yang terjadi jika seseorang, sekeluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatannya atau pengeluarannya relatif lebih
rendah dibandingkan dengan pendapatan atau pengeluaran masyarakat sekitarnya. 3. Kemiskinan Kronis (chronic) atau struktural, kemiskinan ini
terjadi jika
kondisi kemiskinan ini yang terjadi terus menerus dalam jangka waktu yang lama. 4. Kemiskinan sementara (transitory) atau accidental, kemiskinan ini terjadi akibat adanya perubahan atau ‘shock’ yang mengakibatkan seseorang atau sekeluarga atau masyarakat berubah dari tidak miskin menjadi miskin. 5. Kemiskinan masal, terjadi jika sebagaian besar dari masyarakat mengalami kemiskinan. 6. Kemiskinan individual, yaitu kemiskinan yang terjadi jika hanya beberapa orang atau sebagian kecil masyarakat yang mengalami kemiskinan. Disamping itu, beberapa peneliti berpendapat berbeda tentang kemiskinan struktural dan kemiskinan kronis dengan klasifikasi yang telah dilakukan Krisnamurthi (2006). Alfian, dkk (1980) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat diukur dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada. Hal ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan Papilaya (2006) bahwa kemiskinan struktural merupakan perampasan daya kemampuan (capability deprivation) manusia atau
kelompok manusia yang terjadi secara sistematis sehingga membuat manusia dan kelompok manusia terjebak dalam kondisi yang memiskinkan Disamping itu, Kemiskinan kronis merupakan suatu bentuk kemiskinan yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, rendahnya pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar, sedangkan kemiskinan sementara yaitu kemiskinan yang terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman, dan bencana alam atau sesuatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi kemiskinan yaitu: 1.
Menekankan pada pengertian subsistensi (subsistence poverty) yakni kemiskinan merupakan ketidakmampuan memperoleh tingkat penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang, dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Pengukuran dengan pendekatan subsistensi dikenal dengan tiga metode yakni : a.
Metode yang dikembangkan Sayogyo, yaitu mereka yang tidak mampu memperoleh penghasilan per kapita setara 230 kg beras bagi penduduk desa dan 480 kg beras bagi penduduk kota.
b. Metode Biro Pusat Statistik (BPS), yaitu menghitung pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Garis kemiskinan menurut BPS ditetapkan berdasarkan
tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi 2100 kalori per orang per hari ditambah dengan beberapa kebutuhan non pangan makanan lain seperti sandang, pangan, dan jasa. c. Kriteria kesejahteraan yang disebut indeks kebutuhan fisik minimum (KFM). KFM adalah nilai barang dan jasa minimum yang diperlukan oleh suatu keluarga per bulan. Ukuran garis kemiskinan didasarkan pada nilai pengeluaran konsumsi per kapita. Dalam mengukur kemiskinan, beberapa ahli memiliki ukuran yang berbeda dan dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3. 2. Kemiskinan dipahami dalam pengertian relatif (relativer deprivation). Indikator kemiskinan ini yaitu: a. Deprivasi material yang diukur dari kurangnya pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan, dan kebutuhan konsumsi dasar lainnya. b. Isolasi yang dicerminkan oleh lokasi geografisnya maupun oleh marjinalisasi rumah tangga miskin secara sosial dan politik. mereka sering tinggal didaerah terpencil, hampir tanpa sarana transportasi dan komunikasi. c. Alineasi, yaitu perasaaan tidak punya identitas dan kontrol atas diri sendiri. Hal ini diakibatkan isolasi dan hubungan sosial yang eksploitatif.
Tabel 3. Kriteria dan Garis Kemiskinan No.
Penelitian
Kriteria Kota
1 2
3
4
Esmara (1969-1970) Sayogyo (1970)
Ginneken (1969) Anne Booth (1969-1970)
5
Gupta (1973)
6
Hasan (1975)
7
Garis Kemiskinan Internasional Ahluwalia (1975) Garis Kemiskinan Internasional Report (1976) BPS (1984)
8
9 10 11 12
Sayogyo (1984) Bank Dunia (1984) BPS (1993)
Konsumsi beras per kapita per tahun (kg) Tingkat pengeluaran ekivalen beras per orang per tahun: • Miskin • Miskin sekali • Paling Miskin Kebutuhan gizi minimum per orang per hari: • Kalori • Protein (gr) Kebutuhan gizi minimum per orang per hari: • Kalori • Protein (gr) Kebutuhan gizi minimum per orang per tahun (Rp) Pendapatan minimum per kapita per tahun (US$) Tingkat pendapatan per kapita per tahun per US$
Garis Kemiskinan Desa Kota + Desa 125
480 360 270
320 240 180
-
-
-
2000 50
-
-
2000 40 24000
125
95
-
-
-
50
-
-
75 200
• Konsumsi kalori per kapita per hari • Pengeluaran per kapita per bulan Pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
13731 8240
7746 6585
2100 -
Pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
6719
4479
-
• Konsumsi kalori per kapita per hari • Pengeluaran per kapita per bulan
27905
18244
2100 -
Tingkat pendapatan per kapita per tahun • Nilai US$ 1970 • US$ paritas daya beli
Sumber : BPS, Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005 d. Ketergantungan yang selama ini menyebabkan lemahnya posisi tawar orang miskin dalam hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik dan penggarap, antara majikan dan buruh atau antara pandega dan ponggawa. Buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah, petani dan buruh nelayan tidak bisa menetapkan harga hasil produksi yang dihasilkannya.
e. Ketidakmampuan membuat keputusan sendiri dan tidak adanya kebebasan memilih dalam produksi, konsumsi dan kesempatan kerja, serta kurangnya perwakilan sosial poitik mereka yang tercermin dari tidak adanya fleksibilitas dan berkurangnya kesempatan bagi kaum miskin di desa. f. Kelangkaan aset yang membuat penduduk miskin desa bekerja dengan tingkat produktivitas yang sangat rendah. g. Kerentanan terhadap guncangan eksternal dan konflik-konflik sosial internal. Hal ini terjadi karena faktor alamiah, perubahan pasar, maupun kondisi kesehatan. h. Tidak adanya jaminan keamanan akibat status sosial rendah yang disebabkan oleh posisi yang lemah, faktor agama, ras, etnik, dan sebagainya. Pendekatan kemiskinan tersebut sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh Bappenas dalam mengidentifikasi kemiskinan. Pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi kemiskinan yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach), pendekatan objektif dan subjektif (objective and subjective approach). Dari berbagai pendekatan tersebut, ditunjukan bahwa indikator kemiskinan yang digunakan oleh Bappenas adalah (1) Kurangnya sandang, pangan, dan papan yang layak, (2) tingkat kesehatan yang memprihatinkan, (3) kurangnya pendidikan yang berkualitas, (4) kurangnya kemampuan membaca dan menulis, (5) terbatasnya kepemilikan tanah dan faktor produksi, (6) kurangnya jaminan kesejahteraan hidup, (7) kurangnya rasa aman, (8) kesejahteraan sosial yang rendah dan lain-lain.
Terdapat beberapa faktor yang dinilai sebagai sebab-sebab kemiskinan antara lain : (1) kesempatan kerja, di mana seseorang itu miskin karena menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau kalau bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan maupun tahun, (2) upah gaji dibawah minimum, (3) produktivitas kerja yang rendah, (4) ketiadaan aset, (5) diskriminasi, (6) tekanan harga, (7) penjualan tanah (Handayani, 2006). Beberapa faktor lain yang dinilai menjadi penyebab kemiskinan menurut Kartasasmita (1996) dalam Rahmawati (2006) yaitu: 1. Rendahnya Taraf pendidikan Rendahnya taraf pendidikan meyebabkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dimasuki juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang. 2. Rendahnya derajat kesehatan Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa. 3. Terbatasnya lapangan kerja Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan itu. 4. Kondisi keterisolasian Banyak penduduk secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat
terjangkau oleh pelayan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya. Berdasarkan penelitian Mukherjee, et al. (2001) dalam Papilaya (2006) terdapat perbedaan persepsi mengenai penyebab kemiskinan pada masyarakat miskin menurut laki-laki dan perempuan di beberapa tempat yang dikelompokan berdasarkan mata pencahariannya (Tabel 4). Berdasarkan penelitian Mukherjee, et al, 2001 yang diacu dalam papilaya (2006) tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab kemiskinan secara umum adalah kurangnya akses terhadap sarana dan prasarana sosial seperti pendidikan, kesehatan dan pelayanan kesehatan, masalah gender, ketidakberpihakan kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap golongan miskin, rendahnya pendidikan, dan kualitas kesehatan, kurangnya akses terhadap informasi, serta bargaining position yang rendah. 2.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks komposit yang digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal mendasar pembangunan manusia, yaitu: lama hidup, yang diukur dengan angka harapan hidup ketika lahir; pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas dan standar hidup yang diukur dengan konsumsi per kapita. Nilai indeks ini berkisar antara 0 -100. IPM mengukur pencapaian keseluruhan dari suatu daerah/negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan suatu standar hidup yang layak. Ketiganya diukur dengan angka harapan hidup, pencapaian pendidikan, dan pengeluaran per kapita.3
3
http://tkpkri.org/content/view/189/239/lang,id/ diakses tanggal 24 Februari 2008 (16:25)
Tabel 4. Perbedaan Persepsi Penyebab Kemiskinan Menurut Jender dan Tipologi Masyarakat Menurut Laki-laki
Menurut Perempuan
Masyarakat Nelayan • Tidak mempunyai alat menangkap ikan (jala, • Tidak punya keahlian selain mengolah ikan perahu mesin) • Rumah bocor tidak punya tempat • Hasil tangkapan sedikit karena para nelayan penyimpanan ikan yang telah diawetkan besar yang datang dari luar yang mempunyai • Seringnya perceraian (wanita ditinggalkan jala dan perahu besar sendirian untuk menafkahi anak-anaknya) • Tidak ada lembaga yang membantu nelayan miskin memasarkan ikan atau membantu menyimpan • Tidak punya uang untuk biaya sekolah anak Masyarakat perladangan dan Kehutanan • Penggunaan pestisida kimiawi • Tidak mampu mengatur perairan sawah (banjir juga terjadi di musim kering). • Masa kering yang panjang • Kerentanan varietas karet baru terhadap • Sakit kronis penyakit tanaman • Pendidikan rendah/ketidakacuhan/ kebodohan • Monopoli tengkulak karet • Keluarga yang sangat besar • Tidak ada saran untuk mengikuti KB • Lahan terlalu Kecil Masyarakat Padi Sawah • Punya banyak anak setiap keluarga • Tidak ada pilihan keluarga berencana yang murah • Penurunan panen karena tikus dan hama • Tidak punya modal untuk bertani dan • Tidak punya peluang mendapatkan pelatihan kerja atau modal berdagang pertanian dikurangi karena • Bandar panen menentukan harga yang terlalu • Buruh komersialisasi rendah • Anak-anak tidak mampu melanjutkan • Ketiadaan lowongan kerja sekolah ke tingkat SMP • Pendidikan dan pendapatan rendah Masyarakat Miskin Perkotaan • Tidak bisa mencari pekerjaan-pendidikan • Terlalu banyak saingan dalam berjualan rendah • Takut atau terlambat menerapkan metode • Terpaksa harus berhutang kepada rentenir KB • Krisis moneter • Kotor, lingkungan sosial dan fisik tidak sehat.
Sumber : Mukherjee, et al. 2001 dalam Papilaya (2006) jika IPM hanya dilihat dari pengeluaran per kapita saja, berarti hanya melihat kemajuan status ekonomi suatu daerah/negara berdasarkan pendapatan per tahun sedangkan apabila melihat pada sisi sosial (pendidikan dan kesehatan), maka akan dapat dilihat dimensi yang jauh lebih beragam terkait dengan kualitas hidup masyarakat. Secara tidak langsung, IPM selalu berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat (Yunitasari, 2007). Dengan kata lain semakin tinggi/baik setiap
komponen yang menyusun IPM juga berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Secara lebih lengkap, tiga dimensi pembangunan manusia tersebut, yaitu dimensi ekonomi yang diwujudkan oleh kehidupan yang layak dan diukur dengan indikator pengeluaran perkapita riil, dimensi sosial, diwujudkan oleh tingkat pengetahuan dan diukur oleh angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, kemudian dimensi kesehatan, perwujudannya adalah umur panjang dan sehat dengan indikator yaitu angka harapan hidup saat lahir (Siregar, 2008). Dimensi, indikator, dan indeks dimensi untuk IPM dapat dilihat pada gambar berikut. - Dimensi :
Umur Panjang dan Sehat
- Indikator :
Angka Harapan Hidup
- Indeks Dimensi :
Indeks Harapan Hidup
Pengetahuan
Angka Melek Huruf
Rataan Lama Sekolah
Indeks Pendidikan
Kehidupan yang Layak
Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan (PPP rupiah)
Indeks Pendapatan
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)
Gambar 2. Dimensi, Indikator, dan Indeks Dimensi untuk IPM Sumber: Siregar (2008) Angka Harapan Hidup ketika lahir merupakan suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk yang dilahirkan pada tahun tersebut (BPS, 2006). Angka Harapan Hidup ini dapat dijadikan sebagai tolak ukur indikator kesehatan. Semakin tinggi Angka Harapan
Hidup (AHH) suatu masyarakat mengindikasikan tingginya derajat kesehatan masyarakat tersebut. Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam kehidupan sehari-hari (BPS, 2006) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) adalah lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun keatas. Seperti halnya Angka Harapan Hidup sebagai indikator kesehatan, Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menggambarkan suatu keadaan pendidikan suatu masyarakat. BPS (2006) mengemukakan bahwa Rendahnya Angka Melek Huruf, dan Rata-rata Lama Sekolah dapat disebabkan oleh kurangnya fasilitas pendidikan dan biaya pendidikan yang mahal dan terkait dengan kemiskinan. Kemampuan Daya Beli Penduduk atau Purchasing Power Parity (PPP) merupakan suatu indikator yang digunakan untuk melihat kondisi ekonomi masyarakat dalam menghitung IPM. Kemampuan daya beli ini lebih mencerminkan kemampuan masyarakat secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya, dan sangat jauh berbeda dengan PDRB per kapita atau yang dikenal dengan income per capita. Untuk mengukur standar hidup layak, data PDRB per kapita tidak dapat digunakan karena bukan ukuran yang peka untuk mengukur kemampuan daya beli penduduk. Oleh sebab itu, penghitungan daya beli penduduk menggunakan konsumsi per kapita yang kemudian disesuaikan. Sumber data yang digunakan meliputi jumlah pengeluaran per kapita baik konsumsi makanan maupun non makanan. Komoditi yang digunakan dalam perhitungan paritas daya beli (PPP) terdapat 27 komoditi yang terdiri dari
konsumsi makanan dan konsumsi non makanan. Komoditi-komoditi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya beli (PPP) No.
Komoditi
1. Beras lokal 2. Tepung terigu 3. Ketela pohon 4. Ikan 5. Ikan teri 6. Daging sapi 7. Daging ayam kampung 8. Telur ayam 9. Susu kental manis 10. Bayam 11. Kacang panjang 12. Kacang tanah 13. Tempe 14. Jeruk 15. Pepaya 16. Kelapa 17. Gula pasir 18. Kopi bubuk 19. Garam 20. Merica/lada 21. Mie instan 22. Rokok kretek/filter 23. Listrik 24. Air minum 25. Bensin 26. Minyak tanah 27. Sewa rumah Sumber: BPS, (2006) 2.3.
Unit Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Butir 397 gram Kg Kg Kg Kg Kg Kg Butir Ons Ons Ons Ons 80 gram 10 batang Kwh M3 Liter Liter Unit
Pengangguran Pengangguran merupakan suatu masalah makroekonomi yang secara tidak
langsung mempengaruhi manusia. Bagi kebanyakan orang, kehilangan pekerjaan berarti menurunnya standar kehidupan dan tekanan psikologis. Pengangguran berarti jumlah tenaga kerja dewasa yang tidak bekerja dan aktif mencari
pekerjaan. Besarnya pengangguran biasanya digambarkan dengan tingkat pengangguran yaitu persentase jumlah mengganggur terhadap angkatan kerja. Pengangguran karakteristik,
dapat
misalnya
dikelompokan
dikelompokan
berdasarkan
menurut
jenis
pada kelamin,
beragam tingkat
keterampilan, pendidikan, dan berdasarkan alasan menganggur. Berdasarkan alasan menganggur, terdapat beberapa jenis pengangguran yaitu pengangguran friksional, pengangguran yang disebabkan oleh perputaran normal tenaga kerja, pengangguran struktural yaitu pengangguran yang disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara struktur penawaran tenaga kerja dengan struktur permintaan tenaga kerja, kemudian pengangguran siklis yaitu pengangguran yang terjadi dikarenakan siklus bisnis yang mengalami periode resesi (Lipsey et al, 1993). Adapun pengangguran yang dimaksudkan di dalam pembahasan yaitu pengangguran terbuka yakni jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja dan yang aktif mencari pekerjaan 2.4. Infrastruktur Sosial Infrastruktur sosial sangatlah penting dalam rangka meningkatkan keberdayaan masyarakat. Friedmann (1992) yang diacu dalam Surbakti (2005) berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan kemampuan untuk mendapatkan kekuatan (power) dan mengkaitkannya dengan kemampuan golongan miskin untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumber seperti jaringan sosial, surplus waktu, alat produksi, pengetahuan dan keterampilan, ruang hidup yang dipertahankan dan sumberdaya keuangan yang menjadi dasar kekuasaan dari suatu sistem. Akhirnya, Pemberdayaan masyarakat yang berhasil
dapat
mengurangi
jumlah
penduduk
yang
termasuk
kategori
miskin
(Sumodiningrat, 1998 dalam Surbakti, 2005). 2.5.
Rasio Beban Ketergantungan Penduduk muda berusia dibawah 15 tahun umumnya dianggap sebagai
penduduk yang belum produktif karena secara ekonomis masih tergantung pada orang tua atau orang lain yang menanggungnya. Selain itu, penduduk berusia diatas 65 tahun juga dianggap tidak produktif lagi sesudah melewati masa pensiun. Penduduk usia 15-64 tahun, adalah penduduk usia kerja yang dianggap sudah produktif. Atas dasar konsep ini dapat digambarkan berapa besar jumlah penduduk yang tergantung pada penduduk usia kerja. Rasio ketergantungan semacam ini dapat memberikan gambaran ekonomis penduduk dari sisi demografi. Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun keatas dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun. Rasio ketergantungan (dependency ratio) dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara atau suatu daerah. Dependency ratio merupakan salah satu indikator demografi yang penting. Semakin tingginya persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.
2.6.
Analisis Panel Data Menurut Gujarati (2003) Data panel (pooled data) atau yang disebut juga
data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section
adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu
terhadap banyak individu sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau data cross section. Baltagi (2001) mengemukakan bahwa kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data panel adalah: 1. Dapat mengendalikan keheterogenan individu atau unit cross section. 2. Dapat memberi informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas diantara variabel, memperbesar derajat bebas, dan lebih efisien. 3. Panel data lebih baik untuk studi dynamics of adjusment. 4. Dapat lebih baik untuk mengidentifikasikan dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series. 5. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model perilaku (behavioral models) yang komlpeks dibandingkan dengan model data cross section atau time series. Estimasi model yang menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap (fixed effect), dan metode efek random (random effect).
1. Metode Pooled Least Square Metode kuadrat terkecil biasa yang diterapkan dalam data yang berbentuk pool merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel. Misalkan terdapat persamaan berikut ini : Yit = α + βj xjit + εit
untuk i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T
Dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai berikut. Yi1 = α + βj xjit + εi1
untuk i = 1, 2, ..., N
Yang akan berimplikasi diperolehnya sebanyak T persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan dapat memperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi dengan α dan β konstan sehingga akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi. Akan tetapi dengan demikian tidak dapat melihat perbedaan antar individu maupun antar waktu. 2. Metode Efek Tetap (Fixed Effect) Masalah terbesar dalam pendekatan metode pooled least square adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum sering dilakukan adalah dengan memasukan variabel boneka (dummy variabel) untuk menghasilkan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun antar waktu (Baltagi, 2001).
Pendekatan fixed effect dapat dituliskan dalam persamaan berikut: Yit = αi + βj xjit + eit dimana: Yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i αi = intersep yang berubah-ubah antar cross section unit βj = parameter untuk variabel ke j xjit = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i eit = komponen error di waktu t untuk unit cross section i Dengan menggunakan pendekatan ini akan terjadi degree of freedom sebesar NT-N-K. Keputusan memasukan variabel boneka ini harus didasarkan pada pertimbangan statistik. Tidak dapat kita pungkiri, dengan melakukan penambahan variabel boneka ini akan dapat mengurangi banyaknya degree of freedom yang akhirnya akan mempengaruhi keefisienan dari parameter yang diestimasi. Pada metode fixed effect, estimasi dapat dilakukan tanpa pembobot (no weighted) atau Least Square Dummy Variable (LSDV) dan dengan pembobotan (cross section weight) atau General Least Square (GLS). Tujuan dilakukannya pembobotan adalah untuk mengurangi heterogenitas antar unit cross section (Gujarati, 2003). 3. Metode Efek Random (Random Effect) Keputusan untuk memasukan variabel boneka dalam model efek tetap memiliki konsekuensi berkurangnya degree of freedom yang akhirnya dapat mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Oleh karena itu, dalam model data panel dikenal pendekatan yang ketiga yaitu model efek acak (Baltagi, 2001).
Model ini dapat dijelaskan melalui persamaan berikut: Yit = α1t + βjxjit + uit Dimana α1t diasumsikan sebagai variabel random dari rata-rata nilai intersep (α1) Nilai intersep untuk masing-masing individu dapat dituliskan: α1t = α1 + εit i = 1 ,2,…N dimana α1 adalah rata-rata dari seluruh intersep, εi adalah random error (yang tidak bisa diamati) yang mengukur perbedaan karakteristik masing-masing individu. Bentuk model efek acak ini kemudian dapat ditulis dengan rumus: Yit = α1 + βjxjit + εit + uit Yit = α1 + βjxjit + ωit Dimana : ωit = εit + uit Bentuk ωit terdiri dari dua komponen error term yaitu εi sebagai komponen cross section dan uit yang merupakan gabungan dari komponen time series error dan komponen error kombinasi. Bentuk model efek acak akhirnya dapat ditulis dengan rumus: Yit = α1 + βjxjit + ωit dengan ωit = εi + vt + wit dimana : εi ~ N ( 0, δε ) = komponen cross section error vi ~ N ( 0, δv ) = komponen time series error wit~ N ( 0, δε ) = komponen error kombinasi asumsinya adalah bahwa error secara individual tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya.
Dengan menggunakan model efek acak, maka dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan oleh model efek tetap. Hal ini berimplikasi parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi semakin efisien. 2.7.
Penelitian Terdahulu
2.7.1 Penelitian Tentang Pembangunan Manusia Aisyah (2004) telah melakukan penelitian tentang pembangunan manusia. Dalam penelitiannya, Aisyah (2004) menganalisis keterkaitan antara indikator pembangunan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam perekonomian Indonesia.
Dengan menggunakan analisis korelasi Spearman,
Aisyah (2004) menyimpulkan bahwa hubungan pembangunan ekonomi dan indikator-indikator IPM tahun 1996 dan 1999 semua mempunyai hubungan yang positif dan signifikan pada taraf 10 persen. Sedangkan hubungan pembangunan ekonomi tahun 2001 dan indikator-indikator IPM 2002 mempunyai hubungan yang positif tetapi tidak signifikan. Pembangunan ekonomi dan pengeluaran riil per kapita berhubungan positif dan signifikan pada taraf 10 persen. Kemudian pembangunan ekonomi dan rata-rata lama sekolah berhubungan negatif dan tidak nyata pada taraf 10 persen. Penelitian mengenai pembangunan manusia juga telah dilakukan oleh Yunitasari (2007) yaitu mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia Propinsi Jawa Timur. Yunitasari (2007) mengemukakan bahwa variabel PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan, kebijakan otonomi daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pembangunan manusia, sedangkan variabel Indeks Pemberdayaan Jender
(IDJ) berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia tetapi tidak signifikan. kemudian kemiskinan dan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap pembangunan manusia. 2.7.2. Penelitian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Menurut Rahmawati (2006) ada beberapa hal yang mempengaruhi peluang suatu rumah tangga berada dalam kondisi kemiskinan yaitu jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin, dan pendapatan. Penelitian yang sama telah dilakukan oleh Dhara (2006), dia mengemukakan bahwa yang menjadi penyebab kemiskinan adalah kekurangan akses, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, struktur sosial, dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada golongan miskin. Berdasarkan penelitian Wiraswara (2005), pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia akan tetapi terdapat variabel-variabel lain yang mempengaruhi kemiskinan. Variabel tersebut adalah angka melek huruf, keterjangkauan rumah tangga terhadap listrik, dan dummy kabupaten atau kota di Jawa. Ketiga variabel ini menurut data 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi kemiskinan. Angka kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa lebih tinggi dari pada angka kemiskinan di Kabupaten/Kota di Luar Jawa. Angka melek hurufnya lebih rendah dari Kabupaten/Kota di Luar Jawa. Kabupaten/Kota di Jawa lebih unggul dalam persentase rumah tangga yang terjangkau listrik. Suryadiningrat (2003) dalam penelitiannya mengenai persepsi dan tindakan tokoh masyarakat desa terhadap kemiskinan mengemukakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh pengetahuan dan pendidikan yang rendah, tidak
bekerja, bekerja tapi dengan pendapatan rendah, tidak seimbang dengan kebutuhan, ulah orang yang mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki keterampilan. Disamping itu, dalam penelitian Nurhayati (2007) mengemukakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah pendapatan, pendidikan, pengangguran dan tingkat ketergantungan. Nurhayati (2007) berpendapat bahwa semakin tinggi pendidikan dan tingkat pendapatan yang diperoleh maka tingkat kemiskinan akan semakin menurun, dan semakin tinggi tingkat ketergantungan dan penganguran maka tingkat kemiskinan juga akan semakin meningkat. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan juga telah dilakukan oleh Adianti (2005) dengan studi kasus di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil regresi logistik yang telah dilakukan Adiati (2005) mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kemiskinan ini diperoleh bahwa peubah yang berpengaruh secara nyata dan positif terhadap kemiskinan di DKI Jakarta adalah besaran anggota rumah tangga, proporsi anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 Tahun dan 65 Tahun ke atas, proporsi pengeluaran untuk BBM, proporsi pengeluaran untuk makanan, dan luas lantai perkapita kurang dari 8 m2 peubah–peubah yang berpengaruh nyata secara negatif terhadap kemiskinan di seluruh lokasi di DKI Jakarta adalah jenis pekerjaan kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga kurang dari SMTA ke atas, dan proporsi anggota rumah tangga yang bekerja. Adapun peubah-peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan di DKI Jakarta adalah pendidikan kepala rumah tangga SD, umur kepala rumah tangga yang berusia mapan, jenis pekerjaan kepala rumah tangga lainnya dan akses terhadap air.
Berdasarkan analisis regresi yang telah dilakukan oleh Sumarya (2002) dikemukakan bahwa luas penguasaan lahan usahatani merupakan peubah yang sangat penting berkenaan dengan tingkat pendapatan keluarga di pedesaan yang menunjukan kecenderungan bahwa semakin luas lahan maka akan semakin tinggi pendapatannya, tetapi ternyata luas lahan bukan satu–satunya peubah yang menentukan tingkat pendapatan petani (kemiskinan) di pedesaan. Kemiskinan di pedesaan juga di pengaruhi oleh peubah – peubah lain seperti jenis pekerjaan lain yang ditekuni, aksesibilitas fisik, aksesibilitas terhadap sumberdaya modal, maupun keeratan hubungan antar anggota keluarga. 2.7.3. Penelitian Mengenai Strategi Penanggulangan Kemiskinan dan Efektivitas Penanggulangan Kemiskinan Tarmidi (2006) telah melakukan penelitian tentang efektivitas pengelolaan kredit mikro proyek penaggulangan kemiskinan diperkotaan (P2KP). Tarmidi mengemukakan bahwa pencapaian tujuan kredit mikro masih belum tercapai. Masih belum ada dampak penambahan kredit mikro P2KP terhadap peningkatan pendapatan keluarga miskin sesudah mendapatkan kredit mikro P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Surbakti (2005) dalam penelitian
mengenai
Pemberdayaan
Penanggulangan
Komunitas
Adat
Kemiskinan
Terpencil
diperoleh
Melalui kesimpulan
Program bahwa
kemiskinan rumah tangga disebabkan oleh faktor keterbatasan rumah tangga dalam menjangkau pelayanan sosial. Program Pemberdayaan Komunitas Adat terpencil (PKAT) merupakan suatu upaya yang telah dilakukan menanggulangi masalah tersebut. Program ini diwujudkan melalui pembangunan jalan, pembangunan sekolah, bantuan pemukiman, bantuan ekonomi produktif seperti
bantuan bibit coklat, alat keterampilan, bantuan percontohan peternakan kambing, bantuan pupuk, bantuan jaminan hidup, dan bantuan ternak ayam. Surbakti (2005) menyatakan bahwa beberapa program tersebut belum dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga seperti bantuan bibit coklat membutuhkan waktu tiga tahun untuk dipanen, alat keterampilan tidak dapat dioperasikan, bantuan percontohan ternak kambing, bebek, ikan tidak dapat berkembang, dan bantuan pupuk tidak dapat meningkatkan hasil pertanian. Meskipun begitu bantuan pemukiman, rehabilitasi rumah dan balai sosial memberikan rasa aman bagi keluarga. Kemudian bantuan percontohan ayam, jaminan hidup, pembangunan jalan dan sekolah dapat mendukung kesejahteraan rumah tangga dan peningkatan sumber daya manusia. Penelitian mengenai penanggulangan kemiskinan juga telah dilakukan oleh Nainggolan (2005) dalam penelitiannya dengan judul Analisis Gender Terhadap Keberhasilan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Dalam penelitian tersebut Nainggolan (2005) mengemukakan bahwa akses dan kontrol perempuan menentukan keberhasilan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu aspek sasaran dan keorganisasian, dalam aspek pinjaman, aspek usaha, aspek mekanisme meminjam dan mekanisme pinjaman. Kurangnya kontrol dan keikutsertaan perempuan dalam berbagai aspek tersebut menimbulkan kredit macet yang akhirnya dapat menyebabkan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dalam mengubah dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Trisna (2005) dalam penelitiannya mengenai Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Usaha Ekonomi Produktif di Kabupaten
Bengkalis mengkaji bahwa akar penyebab kemiskinan adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada penduduk miskin dan kondisi sosial ekonomi serta lingkungan yang belum kondusif. Kedua faktor ini menimbulkan dampak akhir berupa kemiskinan struktural. Faktor – faktor penyebab ini selanjutnya dapat pula disebabkan oleh berbagai faktor lain yang berpangkal pada masalah di atas, faktor tersebut adalah terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha karena kurangnya jumlah sarana ekonomi. Berdasarkan hasil analisis Trisna (2005) terdapat kesimpulan bahwa variabel jumlah sarana ekonomi, terbatasnya akses terhadap faktor produksi yang dicerminkan oleh variabel rata – rata luas lahan garapan rumah tangga miskin, variabel pendidikan, variabel kesehatan berpengaruh secara nyata dan negatif terhadap presentase rumah tangga miskin. Trisna
(2005)
mengemukakan
bahwa
program
penanggulangan
kemiskinan yang telah dilakukan masih rentan terhadap krisis yang muncul sehingga
kurang
mampu
menanggulangi
masalah
kemiskinan
secara
berkelanjutan. Dilihat dari penyebab yang terlah dikaji Trisna (2005) menyimpulkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bengkalis pendekatan pembukaan wilayah isolasi, pembangunan prasarana, pemberdayaan keluarga miskin. Strategi ini dapat diterapkan melalui pelaksanaan program perluasan kesempatan kerja dan berusaha, program pengembangan prasarana yang memberdayakan masyarakat, program peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan program perlindungan sosial. 2.8. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai kemiskian telah banyak dilakukan, mulai dari penelitian mengenai penyebab kemiskinan, strategi penanggulangan kemiskinan,
dan efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Akan tetapi faktor-faktor yang menjadi penyebab masalah kemiskinan berbeda-beda setiap wilayah sehingga implikasi kebijakan penanggulangan kemiskinannya pun akan berbeda sesuai dengan akar permasalahan yang terjadi. Disamping itu, penelitian mengenai pengaruh komponen pembangunan manusia terhadap kemiskinan secara khusus belum dilakukan. Penelitian yang mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Barat telah dilakukan Nurhayati (2007) akan tetapi variabel-variabel yang dianalisis lebih terfokus pada aspek ekonomi dan sedikit melihat masalah sosial. Variabel yang dianalisis pada penelitian Nurhayati (2007) yaitu pendapatan, pendidikan, pengangguran, dan tingkat ketergantungan. Padahal aspek ekonomi saja tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kemiskinan secara menyeluruh, kesehatan dan pendidikan yang terkait kualitas manusia, disamping juga ekonomi, penting terkait dengan masalah kemiskinan. Pada penelitian Nurhayati (2007) belum dilakukan penelitian mengkaji masalah-masalah tersebut. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dilakukan dengan melibatkan variabel pengangguran, angka ketergantungan yang telah dinyatakan berpengaruh secara nyata pada penelitian Nurhayati (2006), ditambah dengan variabel angka melek huruf, rata-rata lama sekolah yang menggambarkan kondisi pendidikan, angka harapan hidup yang menggambarkan kesehatan masyarakat, dan aspek ekonomi yang memang sangat terkait dengan kesejahteraan masyarakat serta infrastruktur sosial untuk mengetahui bagaimana pengaruh akses masyarakat terhadap sarana terutama pendidikan dan kesehatan terhadap kemiskinan. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di
dalam Nurhayati (2007) dilakukan dengan menggunakan model persamaan simultan sedangkan pada penelitian ini digunakan regresi panel data.