BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Belajar 1. Pengertian Belajar Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dengan berbagai bentuk, seperti dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan kemampuan, daya kreasi, daya penerimaan, dan lain-lain yang ada atau terjadi pada individu tersebut (Sudjana, 1988:2). Menurut Benyamin Bloom (Sagala, 2010:33-34) belajar adalah perubahan tingkah laku yang meliputi ranah kognitif (yaitu pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi), ranah afektif (yaitu penerimaan, reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi) serta ranah psikomotorik (yaitu gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual atau ketepatan, gerakan-gerakan skill dan gerakan ekspresif dan interpretatif). Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Sagala, 2010:12). Menurut B.F Skinner (Sagala, 2010:9) belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif. Dari beberapa
6
7
definisi tentang belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam diri seseorang baik itu mengenai pengetahuan atau sikap yang mencakup tiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan, misal membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan sebagainya.
2. Belajar Tuntas Konsep ketuntasan belajar didasarkan pada konsep pembelajaran tuntas. Pembelajaran tuntas merupakan istilah yang diterjemahkan dari istilah “mastery learning”. Nasution, S (2003:36) menyebutkan bahwa mastery learning atau belajar tuntas artinya penguasaan penuh. Penguasaan penuh ini dapat dicapai apabila siswa mampu menguasai materi tertentu secara menyeluruh yang dibuktikan dengan hasil belajar yang baik pada materi tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan penuh menurut Nasution, S (2003:36) adalah sebagai berikut: a. bakat untuk mempelajari sesuatu b. mutu pengajaran c. kesanggupan untuk memahami pengajaran d. ketekunan e. waktu yang tersedia untuk belajar Tingkat penguasaan siswa terhadap terhadap materi pelajaran menurut Djamarah dan Zain (2002:121-122) dibagi menjadi 4 kategori:
8
a. Istimewa/maksimal: apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa. b. Baik sekali/optimal: apabila sebagian besar (76% sampai dengan 99%) bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai oleh siswa. c. Baik/minimal: apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya 60% sampai dengan 75% saja yang dikuasai oleh siswa. d. Kurang: apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 60% yang dikuasai oleh siswa. Berdasarkan teori belajar tuntas, peserta didik dipandang tuntas belajar jika ia mampu menguasai minimal 65% dari seluruh tujuan pembelajaran. Keberhasilan kelas dilihat dari jumlah siswa yang mampu mencapai minimal 65%, sekurang-kurangnya 85% dari jumlah siswa yang ada di kelas tersebut. Siswa yang mencapai standar ketuntasan belajar yaitu siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 65%. Apabila 85% dari jumlah siswa yang mengikuti proses pembelajaran sudah mencapai standar ketuntasan belajar maka proses pembelajaran berikutnya dapat membahas pokok bahasan yang baru. Namun jika siswa yang mencapai standar ketuntasan belajar kurang dari 85% dari jumlah siswa maka proses pembelajaran hendaknya diperbaiki.
B. Pemahaman 1. Pengertian Pemahaman Pemahaman adalah kemampuan memahami arti suatu bahan pelajaran seperti
9
menafsirkan, menjelaskan atau meringkas tentang sesuatu kemampuan semacam ini lebih tinggi daripada pengetahuan. Aspek pemahaman ini mengacu pada kemampuan untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui atau diingat dan memaknai arti dari bahan maupun materi yang dipelajari (Sagala, 2005:120). Sudjana (2009:24) menyatakan bahwa: Tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan adalah pemahaman. Misalnya menjelaskan susunan kalimatnya sendiri berdasarkan sesuatu yang dibaca atau didengarnya, memberi contoh lain yang telah dicontohkan, atau menggunakan petunjuk penerapan pada kasus lain. Arifin, dkk (2003) mengemukakan bahwa kemampuan pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi yang dipelajarinya. Hal ini ditunjukkan dengan menerjemahkan materi dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain (misalnya dari bentuk kata-kata ke bentuk angka-angka), menginterprestasikan materi dalam arti menjelaskan atau meringkas materi yang dipelajarinya,
dan
meramalkan
arah/kecenderungan
yang
akan
datang
(meramalkan akibat sesuatu). Menurut Makmun, A. S., (2003:78) pemahaman merupakan suatu tingkatan hasil proses belajar yang indikatornya yaitu individu belajar dapat menjelaskan atau mendefinisikan suatu informasi dengan kata-kata sendiri. Sesuai dengan pernyataan tersebut, maka dalam memahami suatu konsep ilmu (pelajaran) siswa tidak hanya sekedar menghapal pelajaran, tetapi siswa harus memiliki kemampuan untuk dapat menjelaskan suatu konsep yang diterimanya, bahkan lebih baik lagi siswa tersebut memiliki kemampuan untuk dapat menjelaskan suatu hubungan keterkaitan antar konsep. Konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, atau
10
hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama (Rosser dalam Dahar, R. W. 1989:80). Konsep-konsep ini merupakan suatu kerangka berpikir siswa. Dalam proses kegiatan belajar-mengajar, hasil akhir yang akan dicapai adalah siswa memahami konsep-konsep yang disampaikan guru. Untuk mengukur sejauh mana siswa tersebut memahami konsep-konsep yang sudah disampaikan oleh guru maka diperlukan alat evaluasi yang berfungsi untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman
siswa
dalam
memahami
konsep-konsep
yang
telah
disampaikan. Seorang siswa dikatakan paham apabila memenuhi aspek-aspek yang telah dikemukakan oleh Bloom (1979) yaitu: a. Translasi yang berarti mendeskripsikan. Translasi meliputi aspek sebagai berikut : 1) Kemampuan mendeskripsikan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih konkrit. 2) Kemampuan mendeskripsikan sesuatu simbol ke dalam bentuk lain, seperti mendeskripsikan tabel, grafik , dan lain-lain 3) Kemampuan untuk mendeskripsikan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. b. Interpretasi yang berarti membedakan. Interpretasi meliputi aspek sebagai berikut : 1) Kemampuan
membedakan
antara
kesimpulan–kesimpulan
yang
diperlukan dengan yang tidak diperlukan. 2) Kemampuan memahami kerangka suatu pekerjaan secara keseluruhan.
11
3) Kemampuan memahami dan menafsirkan dengan kedalaman dan kejelasan berbagai macam bacaan. c. Ekstrapolasi yang berarti menyimpulkan. Ekstrapolasi meliputi aspek sebagai berikut: 1) Kemampuan untuk menyimpulkan dan menyatakan sesuatu secara eksplisit. 2) Kemampuan untuk memprediksi konsekuensi dan tindakan yang digambarkan dari sebuah komunikasi. 3) Kemampuan untuk dapat sensitif terhadap faktor yang mungkin membuat prediksi jadi tidak akurat.
2. Kriteria Pemahaman Menurut Koentjaraningrat (1990) persentase pemahaman dapat ditafsirkan dengan kriteria sebagai berikut: Tabel 2.1 Tafsiran Persentase Kepahaman Persentase (%) Tafsiran 0 Tidak ada 1-25 Sebagian kecil 26-49 Hampir separuhnya 50 Separuhnya 51-75 Sebagian besar 76-99 Hampir seluruhnya 100 Seluruhnya Konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang dapat digunakan sebagai dasar mengelompokkan benda-benda, simbol-simbol atau peristiwaperistiwa yang memungkinkan manusia berpikir. Batasan bahwa siswa dapat
12
dikatakan telah memahami dengan baik materi yang disampaikan oleh guru, dinyatakan oleh Gloom, yaitu: a. Dapat menerjemahkan dari keadaan abstrak ke keadaan yang lain, dari bentuk simbol ke bentuk yang lain atau sebaliknya, dari bentuk ke bentuk yang lainnya. b. Dapat menafsirkan, yaitu kemampuan-kemampuan untuk menguraikan atau mengorganisir data yang ada menurut pandangan individu itu sendiri dan berdasarkan tafsiran ini barulah kesimpulan dapat diambil. c. Dapat
mengekstrapolasi,
yaitu
kemampuan
untuk
menggambarkan
menyimpulkan, meramalkan sesuatu yang dipahaminya pada setiap keadaan. Apabila sudah dapat memenuhi semua itu, dapat disimpulkan bahwa siswa telah memahami konsep-konsep yang telah dipelajarinya. Jadi pemahaman konsep memberi pengertian bahwa konsep-konsep yang diajarkan kepada siswa bukan merupakan hafalan saja, akan tetapi konsep-konsep tersebut harus betul-betul dipahami sehingga siswa dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi berdasarkan pada konsep-konsep yang telah dipelajari oleh siswa tersebut.
C. Tes sebagai Instrumen Instrumen berupa tes berhubungan dengan pengukuran variabel performasi maksimal. Variabel performasi maksimal dapat berupa hasil belajar, kreativitas, bakat, kecerdasan, penguasaan bahasa Inggris, kemampuan verbal, kemampuan numerik, potensi akademik dan sebagainya.
13
Dari berbagai jenis tes, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tes penguasaan dan tes kemampuan. Tes penguasaan (mastering test) adalah tes yang diujikan setelah peserta memperoleh sejumlah materi. Tes diperlukan untuk mengukur penguasaan siswa terhadap materi yang disampaikan oleh guru dan dipelajari oleh siswa. Pada tes penguasaan, peserta didorong untuk memberikan penampilan maksimal dan dari penampilannya dapat diketahui penguasaan siswa terhadap materi. Termasuk dalam tes penguasaan adalah tes hasil belajar atau tes prestasi belajar, kemampuan berhitung, kemampuan membaca, keterampilan mengajar dan sebagainya. Sedang tes kemampuan (competence test) adalah tes yang diujikan untuk mengetahui kepemilikan kemampuan peserta tes. Penguasaan berbeda dengan kemampuan, karena penguasaan merupakan sesuatu yang dimiliki dan telah melekat dalam diri responden. Tes hasil belajar (THB) merupakan tes penguasaan, karena tes ini mengukur penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan oleh guru atau dipelajari oleh siswa. Tes diujikan setelah siswa memperoleh sejumlah materi sebelumnya dan pengujian dilakukan untuk mengetahui penguasaan siswa atas materi tersebut. Tes hasil belajar dilakukan untuk mengukur hasil belajar yakni sejauh mana perubahan perilaku yang diinginkan dalam tujuan pembelajaran telah dapat dicapai oleh para siswa. Dalam mengukur hasil belajar, siswa didorong untuk menunjukkan penampilan maksimalnya. Dari penampilan maksimal yang ditunjukkan dalam jawaban atas tes hasil belajar dapat diketahui penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan dan dipelajari.
14
D. Penilailan Penilaian merupakan rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan (Depdiknas, 2008:3). Penilaian hasil dan proses belajar saling berkaitan satu sama lain sebab hasil merupakan akibat dari proses (Sudjana, 2009:3). Sejalan dengan pengertian di atas maka penilaian berfungsi sebagai: a) alat untuk mengetahui tercapai-tidaknya tujuan instruksional. b) umpan balik bagi perbaikan proses belajar-mengajar. c) dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa kepada para orang tuanya. Sedangkan tujuan penilaian adalah untuk : a) mendeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya. b) mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para siswa kea rah tujuan pendidikan yang diharapkan. c) menentukan tindak lanjut hasil penilaian,yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya.
15
d) memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
1. Jenis Penilaian Dilihat dari fungsinya, jenis penilaian ada beberapa macam, yaitu penilaian formatif, penilaian sumatif, penilaian diagnostic, penilaian selektif, dan penilaian penempatan (Sudjana:2009:5). Penilaian formatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir program belajar-mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar-mengajar itu sendiri. Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit program, yaitu akhir catur wulan, akhir semester, dan akhir tahun. Penilaian diagnostik adalah penilaian yang bertujuan untuk melihat kelemahan-kelemahan siswa serta faktor penyebabnya. Penilaian selektif adalah penilaian yang bertujuan untuk keperluan seleksi, misalnya ujian saringan masuk ke lembaga pendidikan tertentu. Penilaian penempatan adalah penilaian yang ditunjukan untuk mengetahui keterampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program belajar dan penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai kegiatan belajar untuk program itu.
16
2. Prinsip Penilaian Mengingat pentingnya penilaian dalam menentukan kualitas pendidikan, maka upaya merencanakan dan melaksanakan penilaian hendaknya memperhatikan beberapa prinsip dan prosedur penilaian. Prinsip penilaian adalah: a) Dalam menilai hasil belajar hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga jelas abilitas yang harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian, dan interprestasi hasil penilaian. b) Penilaian hasil belajar hendaknya menjadi bagian integral dari proses belajarmengajar. c) Agar diperoleh hasil belajar yang objektif dalam pengertian menggambarkan prestasi dan kemampuan siswa sebagaimana adanya, penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif. d) Penilaian hasil belajar hendaknya diikuti dengan tindak lanjutnya.
E. Bentuk-Bentuk Tes Untuk mengetahui tingkat pencapaian kompetensi, guru dapat melakukan penilaian melalui tes dan non tes. Tes meliputi tes lisan, tes tertulis, dan tes perbuatan yang meliputi: kinerja (performance), penugasan (projek) dan hasil karya (produk). Penilaian non-tes contohnya seperti penilaian sikap, minat, motivasi, penilaian diri, portfolio, life skill. Tes perbuatan dan penilaian non tes dilakukan melalui pengamatan (observasi).
17
1. Tes Tertulis Tes tertulis adalah tes yang soal-soalnya harus dijawab peserta didik dengan memberikan jawaban tertulis. Jenis tes tertulis secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1) tes objektif, misalnya bentuk pilihan panda, jawaban singkat atau isian, benarsalah, dan bentuk menjodohkan; 2) tes uraian, yang terbagi atas tes uraian objektif (penskorannya dapat dilakukan secara objektif) dan tes uraian non-objektif (penskorannya sulit dilakukan secara objektif).
2. Tes Lisan Tes lisan yakni tes yang pelaksanaannya dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung antara pendidik dan peserta didik. Tes ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah: (1) dapat menilai kemampuan dan tingkat pengetahuan yang dimiliki peserta didik, sikap, serta kepribadiannya karena dilakukan secara berhadapan langsung; (2) bagi peserta didik yang kemampuan berpikirnya relatif lambat sehingga sering mengalami kesukaran dalam memahami pernyataan soal, tes bentuk ini dapat menolong sebab peserta didik dapat menanyakan langsung kejelasan pertanyaan yang dimaksud; (3) hasil tes dapat langsung diketahui peserta didik. Kelemahannya adalah (1) subjektivitas pendidik sering mencemari hasil tes, (2) waktu pelaksanaan yang diperlukan relatif cukup lama.
18
3. Tes Perbuatan Tes perbuatan yakni tes yang penugasannya disampaikan dalam bentuk lisan atau tertulis dan pelaksanaan tugasnya dinyatakan dengan perbuatan atau unjuk kerja. Penilaian tes perbuatan dilakukan sejak peserta didik melakukan persiapan, melaksanakan tugas, sampai dengan hasil yang dicapainya. Untuk menilai tes perbuatan pada umumnya diperlukan sebuah format pengamatan, yang bentuknya dibuat sedemikian rupa agar pendidik dapat menuliskan angka-angka yang diperolehnya pada tempat yang sudah disediakan. Bentuk formatnya dapat disesuaikan menurut keperluan. Untuk tes perbuatan yang sifatnya individual, sebaiknya menggunakan format pengamatan individual. Untuk tes perbuatan yang dilaksanakan secara kelompok digunakan format tertentu yang sudah disesuaikan untuk keperluan pengamatan kelompok.
F. Bentuk Tes Pilihan Ganda Beralasan 1. Pengertian Pilihan Ganda berlasan Bentuk pilihan ganda berlasan pada dasarnya sama dengan pilihan biasa. Hanya saja, dalam bentuk ini digunakan alasan yang berupa beberapa alternatif jawaban untuk mengatasi kelemahan bentuk pilihan ganda biasa, yaitu terjadinya penembakan. Menurut
Treagust
(Anonim,
2008:21)
pilihan
ganda
beralasan
dikembangkan dan digunakan untuk menganalisis pemahaman serta kesulitan belajar siswa. Dengan kata lain bentuk ini disusun sebagai media diagnostik kesulitan belajar siswa.
19
2. Kaidah Penulisan Pilihan Ganda Berlasan Kaidah penulisan pilihan ganda beralasan sama seperti yang berlaku pada pilihan ganda biasa. Stem pilihan ganda beralasan disusun sesuai stem yang berlaku pada stem pilihan ganda. Baik opsi maupun alasan pilihan ganda beralasan disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku pada opsi pilihan ganda biasa. Alasan disusun mengacu pada alasan mengapa suatu opsi dipilih.
3. Keunggulan Pilihan Ganda Beralasan Seperti telah diungkapkan diatas bahwa bentuk pilihan ganda beralasan pada dasarnya sama seperti pilihan ganda biasa. Hanya saja bentuk ini memiliki keunggulan dibandingkan pilihan ganda biasa dan bentuk lainnya. Keunggulan pilihan ganda berlasan adalah sebagai berikut: 1. Jumlah materi yang dapat ditanyakan relatif tak terbatas dibandingkan dengan materi yang dapat dicakup soal bentuk lainnya. Jumlah soal yang ditanyakan umumnya relatif banyak. 2. Dapat mengukur berbagai jenjang kognitif mulai dari ingatan sampai dengan evaluasi. 3. Penskoran mudah, cepat, objektif, dan dapat mencakup ruang lingkup bahan dan materi yang luas dalam satu tes untuk suatu jenjang. 4. Sangat tepat untuk ujian yang pesertanya banyak sedangkan hasilnya harus segera seperti ujian nasional. 5. Reliabilitas soal pilihan ganda relatif lebih tinggi dibandingkan dengan soal uraian.
20
6. Penskoran bisa digantikan oleh mesin. 7. Dapat digunakan untuk mengukur kemampuan problem solving. 8. Tidak ada peluang untuk menerka atau menembak jawaban
4. Kelemahan Pilihan Ganda Beralasan Seperti halnya bentuk pilihan ganda maka bentuk pilihan ganda beralasan pun memiliki kelemahan, antara lain: 1. Kurang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan verbal. 2. Peserta
didik
tidak
mempunyai
keleluasaan
dalam
menulis,
mengorganisasikan, dan mengekspresikan gagasan yang mereka miliki yang dituangkan ke dalam kata atau kalimatnya sendiri. 3. Penyusunan soal yang baik memerlukan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan bentuk soal yang lainnya. 4. Sangat sukar menentukan alternatif jawaban dan alasan yang benar-benar homogen, logis dan berfungsi.
G. Pola Penyelesaian Masalah (Soal) Pemecahan masalah merupakan bagian yang penting dalam pembelajaran. Menurut Suryadi dkk, (Yoganingsih, 2007:11) menjelaskan bahwa pemecahan masalah merupakan salah satu kegiatan yang dianggap penting baik oleh para guru maupun siswa di semua tingkatan mulai dari Sekolah Dasar sampai SMU. Dengan demikian, siswa harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berpikir mandiri
21
agar keterampilan memecahkan masalah dapat dimiliki siswa. Dalam pemecahan masalah biasanya ada lima langkah yang harus ditempuh, antara lain: a. Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas b. Menyatakan masalah dalam bentuk yang lebih jelas c. Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik d. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya e. Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh Penyelesaian masalah (soal) adalah suatu proses pencarian jawaban (solusi) atas soal yang diberikan. Menurut Polya dijelaskan bahwa, solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakannya (Yoganingsih, 2007:13). Fase pertama, adalah memahami masalah. Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Selanjutnya mereka harus mampu menyusun rencana penyelesaian masalah. Fase kedua adalah menyelesaikan masalah sesuai rencana. Kemampuan menyelesaikan fase kedua ini sangat tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Sernakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian suatu masalah, dilanjutkan penyelesaian masalah sesuai rencana dianggap paling tepat. Langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah
22
menurut Polya adalah melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari fase pertama sampai fase penyelesaian ketiga.
H. Reaksi Redoks 1. Konsep Reaksi Oksidasi dan Reduksi berdasarkan Penggabungan dan Pelepasan Oksigen Konsep reaksi oksidasi dan reduksi didasarkan atas penggabungan unsur/senyawa dengan oksigen untuk membentuk oksida, dan pelepasan oksigen dari senyawa. Jadi berdasarkan konsep tersebut, oksidasi adalah penggabungan oksigen dengan unsur/senyawa, zat yang memberi oksigen pada reaksi oksidasi disebut oksidator. Sedangkan reduksi adalah pelepasan oksigen dari senyawanya, zat yang menarik oksigen pada reaksi reduksi disebut reduktor. Contoh reaksi oksidasi: 2Mg (s) + O2 (g)
2MgO (s)
Contoh reaksi reduksi: CuO (s) + H2 (g)
Cu (s) + H2O (g)
2. Konsep Reaksi Oksidasi dan Reduksi berdasarkan Pelepasan dan Penerimaan Elektron Pemahaman para ahli tentang reaksi ikatan kimia, yakni ikatan ion, mendorong dikembangkannya konsep reaksi oksidasi dan reduksi berdasarkan serah terima elektron. Reaksi oksidasi terkait dengan pelepasan elektron, sedangkan reaksi reduksi terkait dengan penerimaan elektron. Lebih lanjut, serah
23
terima elektron tidak hanya terjadi pada reaksi-reaksi yang melibatkan oksigen saja. Ditinjau dari serah-terima elektron, reaksi oksidasi dan reaksi reduksi ternyata selalu terjadi bersama-sama. Artinya, ada zat yang melepas elektron dan ada zat yang menerima elektron. Zat yang melepas elektron dikatakan mengalami oksidasi dan zat yang menerima elektron mengalami reduksi. Oleh karena terjadi bersama-sama, reaksi oksidasi dan reaksi reduksi disebut juga reaksi oksidasireduksi atau reaksi redoks. Zat yang mengalami oksidasi (melepas e-) sehingga menyebabkan zat lain tereduksi (menerima e-) disebut reduktor. Sedangkan zat yang mengalami reduksi (menerima e-) sehingga menyebabkan zat lain teroksidasi (melepas e-) disebut oksidator. Untuk lebih jelasnya pada contoh berikut. •
Reaksi antara Na dan Cl membentuk NaCl Dalam reaksi ini, Na melepas 1 elektron yang kemudian diterima Cl. 2 Na (s) + Cl2 (g) ଵ
atau Na (s) + ଶ Cl2 (g)
2NaCl (s) NaCl (g)
terjadi serah terima 1 elektron Na+ + Cl-
NaCl
3. Konsep Reaksi Oksidasi dan Reduksi berdasarkan Perubahan Bilangan Oksidasi Konsep reaksi redoks berdasarkan perubahan bilangan oksidasi merupakan pengembangan konsep reaksi redoks sebelumnya, agar berlaku tidak hanya pada senyawa ion tetapi juga pada senyawa kovalen. Para ahli melihat karakteristik dari ikatan kimia pada kedua jenis senyawa tersebut yaitu adanya pergerakan elektron.
24
Pergerakan elektron akan menyebabkan perbedaan muatan atom-atom pada senyawanya (muatan penuh atau muatan parsial). Untuk mengetahui atom mana yang memiliki muatan positif dan atom mana yang memiliki muatan negatif, dirumuskan suatu sistem yang dapat berlaku umum yakni bilangan oksidasi. Konsep redoks pun diperluas berdasarkan bilangan oksidasi sebagai berikut: Reaksi redoks adalah reaksi di mana terjadi perubahan bilangan oksidasi dari atom unsur sebelum dan sesudah reaksi. Bilangan oksidasi C bertambah dari 0 ke +4; C mengalami oksidasi 0
C (s)
0
+4-2
+ O2(g)
CO2
Bilangan oksidasi O berkurang dari 0 ke -2; O mengalami reduksi
Dalam reaksi redoks, zat yang bilangan oksidasinya bertambah dikatakan mengalami oksidasi. Sedangkan zat yang bilangan oksidasinya berkurang dikatakan mengalami reduksi. Zat yang mengalami oksidasi (bilangan oksidasi bertambah) sehingga menyebabkan zat lain tereduksi (bilangan oksidasi berkurang) disebut reduktor. Sedangkan zat yang mengalami reduksi (bilangan oksidasi berkurang) sehingga menyebabkan zat lain mengalami oksidasi (bilangan oksidasi bertambah) disebut oksidator. 1). Bilangan Oksidasi Bilangan oksidasi menyatakan muatan yang dimiliki oleh atom seumpama elektron valensinya tertarik ke atom lain yang berikatan dengannya, yang memilki
25
keelektronegatifan lebih besar. Berikut adalah aturan untuk menentukan bilangan oksidasi dari suatu atom unsur a) Bilangan oksidasi atom dalam unsur bebas sama dengan 0 Contoh: bilangan oksidasi atom dalam unsur Na, Fe, C, H2, Cl2, P4, S8 = 0 b) Bilangan oksidasi ion monoatom sama dengan muatan ionnya. Contoh: • Bilangan oksidasi ion Na+ = +1 • Bilangan oksidasi ion Fe2+ = +2 • Bilangan oksidasi ion Cl- = -1 • Bilangan oksidasi ion Fe3+ = +3 c) Jumlah bilangan oksidasi atom-atom dalam senyawa netral sama dengan 0. Sedangkan jumlah bilangan oksidasi atom-atom dalam ion poliatom sama dengan muatan ionnya. Contoh: ion poliatom NO3- mempunyai muatan = -1 d) Bilangan oksidasi flourin (F) dalam senyawanya selalu sama dengan -1. Contoh: bilangan oksidasi F dalam NaF, HF, ClF3 = -1 e) Bilangan oksidasi hidrogen (H) jika berikatan dengan non-logam sama dengan +1. Sedangkan bilangan oksidasi H jika berikatan dengan logam dan boron adalah -1. Contoh: bilangan oksidasi H dalam HF, HCl, H2O, H2S = +1 f) Bilangan oksidasi oksigen (O) dalam senyawanya sama dengan -2, kecuali dalam senyawa biner fluorida, peroksida, dan superoksida. Contoh: • Bilangan oksidasi O dalam senyawa H2O, Na2O = -2 • Bilangan oksidasi O dalam senyawa fluorida OF2 = +2
26
• Bilangan oksidasi O dalam senyawa peroksida H2O2, Na2O2 =-1 • Bilangan oksidasi O dalam senyawa superperoksida KO2 = -
ଵ ଶ
g) Bilangan oksidasi logam golongan IA (Li, Na, K, Rb, Cs) dalam senyawanya sama dengan +1. h) Bilangan oksidasi logam golongan IIA (Be, Mg, Ca, Sr, Ba) dalam senyawanya sama dengan +2. i) Bilangan oksidasi logam transisi dalam senyawanya dapat lebih dari satu. 2). Penggunaan Bilangan Oksidasi untuk Menjelaskan Reaksi Oksidasi dan Reduksi Berikut langkah-langkah untuk mengetahui adanya perubahan bilangan oksidasi dalam reaksi redoks. •
Tulis nilai bilangan oksidasi dari semua atom-atom
•
Tentukan zat mana yang nilai bilangan oksidasi atom unsurnya bertambah. Dikatakan zat tersebut mengalami oksidasi. Zat demikian disebut reduktor dalam reaksi tersebut.
•
Tentukan zat mana yang nilai bilangan oksidasi atom unsurnya berkurang. Dikatakan zat tersebut mengalami reduksi. Zat demikian disebut oksidator dalam reaksi tersebut.
3). Reaksi Autoredoks Reaksi autoredoks adalah reaksi redoks di mana pereaksi yang sama mengalami oksidasi sekaligus mengalami reduksi. Untuk lebih jelasnya, simak contoh berikut: Cl dalam Cl2 teroksidasi sekaligus tereduksi pada reaksi berikut.
27
bilangan oksidasi Cl C mengalami oksidasi 0
+1 -2 +1
Cl2 (s) + 2NaOH (aq)
+1 -1
+1 +1 -2
+1 - 2
NaCl (aq) + NaClO (aq) + H2O (l)
bilangan oksidasi Cl bertambah O mengalami oksidasi
4. Tata Nama IUPAC berdasarkan Bilangan Oksidasi Beberapa unsur dapat mempunyai lebih dari satu bilangan oksidasi. Oleh karena itu diperlukan suatu tata nama yang meyetarakan bilangan oksidasi dari unsur dalam senyawanya. Tata nama demikian dikembangkan oleh ahli kimia Jerman Alfred Stock dan kemudian dikenal sebagai sistem stock. Dalam sistem ini, bilangan oksidasi dinyatakan dengan angka Romawi I, II, III, …yang ditulis setelah nama unsur/ionnya tanpa diberi spasi. Secara umum, tata nama IUPAC berdasarkan sistem stock dinyatakan sebagai berikut. 1) Senyawa biner dari Logam dan Non-logam Beri angka Romawi untuk unsur logam yang dapat memiliki lebih dari satu bilangan oksidasi Contoh: • NaS : Natrium Sulfida • FeCl2 : Besi (II) klorida • FeCl3 : Besi (III) klorida 2) Senyawa biner dari Non-logam dan Non-logam Beri angka Romawi untuk unsur yang dapat memiliki lebih dari satu bilangan oksidasi, di mana bilangan oksidasinya positif.
28
Rumus Kimia N2O NO PCl3 PCl5
Nama Senyawa Dinitrogen monoksida Nitrogen monoksida Fosfor triklorida Fosfor pentaklorida
Nama senyawa menurut sistem Stock Nitrogen(I) oksida Nitrogen(II) oksida Fosfor(III) klorida Fosfor(V) klorida
3) Senyawa yang mengandung Ion Poliatom Tata nama senyawa ini tidak begitu baku. Berikut adalah beberapa petunjuk yang dapat digunakan. •
Jika kation mempunyai lebih dari satu bilangan oksidasi, maka beri angka Romawi setelah nama kation. Rumus Kimia PbSO4 CuClO3 Cr(ClO4)3
•
Nama senyawa menurut sistem Stock Timbal(II) sulfat Tembaga(II) klorat Kromium(III) perklorat
Jika kation hanya mempunyai satu bilangan oksidasi, maka setarakan bilangan oksidasi dari unsur di tengah dalam ion poliatom setelah nama ionnya. Rumus Kimia Na2SO3 Na2SO4 NaClO NaClO2
Nama Senyawa Natrium sulfit Natrium sulfat Natrium hipoklorit Natrium klorit
Nama senyawa menurut sistem Stock Natrium sulfat(IV) Natrium sulfat (VI) Natrium klorat (I) Natrium klorat (III)
4) Senyawa Asam Jika senyawa asam mengandung ion poliatom, beri angka Romawi untuk unsur dalam ion yang dapat memiliki lebih dari satu bilangan oksidasi. Nama ion poliatom menggunakan akhiran –at.
29
Rumus Kimia HCl HClO HClO2 HClO3
Nama Senyawa Asam klorida Asam hipoklorit Asam klorit Asam klorat
Nama senyawa menurut sistem Stock Asam klorida Asam klorat(I) Asam klorat(III) Asam klorat(V)