BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gaya Manajemen Konflik 2.1.1. Pengertian konflik Konflik adalah suatu proses interaktif yang ditandai dengan adanya ketidaksesuaian, ketidaksetujuan, perselisihan di dalam atau di antara entitas sosial (individu, kelompok, organisasi, dan sebagainya). Konflik bisa muncul apabila satu atau dua entitas: 1) dituntut untuk melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan keinginan atau kepentingannya, 2) mempertahankan suatu perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, 3) merasa tidak merasa puas terhadap pembagian sumber daya, 4) menerapkan sikap, nilai, keterampilan, dan tujuan yang dianggap bersifat eksklusif, 5) berperilaku eksklusif terhadap kerjasama yang telah disepakati, 6) saling ketergantungan dalam melaksanakan aktivitas (Rahim, 2001, 2002). 2.1.2. Jenis-jenis konflik Konflik pada organisasi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu konflik interorganisasi dan konflik intraorganisasi. Berdasarkan levelnya, konflik intraorganisasi
diklasifikasikan
menjadi
konflik
intrapersonal,
konflik
interpersonal, konflik intrakelompok, dan konflik interkelompok. Studi mengenai konflik pada organisasi mengarah kepada dua hal. Yang pertama adalah mengukur jumlah konflik pada berbagai level organisasi dan yang kedua adalah gaya manajemen konflik interpersonal (Rahim, 2001, 2002). Sesuai dengan tujuan
Universitas Sumatera Utara
penelitian, maka pada bagian ini akan dibahas mengenai gaya manjemen konflik interpersonal. 2.1.3. Model gaya manajemen konflik Gaya manajemen konflik interpersonal dalam organisasi pertama sekali diperkenalkan oleh Mary P. Follet pada tahun 1926. Dalam konsepnya, dia mengemukakan tiga cara primer untuk menangani konflik yaitu domination, compromise, dan integration, serta dua cara sekunder untuk menangani konflik yaitu avoidance dan supression.
Pada tahun 1964, Blake dan Mouton
mempresentasikan skema konseptual untuk mengklasifikasikan manajemen konflik interpersonal yang terdiri dari lima gaya yaitu: forcing, withdrawing, smoothing, compromising, dan problem solving. Kelima gaya manajemen konflik tersebut disusun berdasarkan dua sikap manajer, yaitu berfokus pada produksi (concern for production) dan berfokus pada orang (concern for people). Pada tahun 1976 Kenneth W. Thomas menerjemahkan ulang skema Blake dan Mouton. Dia
mengklasifikasikan
lima
gaya
manajemen
konflik
berdasarkan
cooperativeness (berusaha memenuhi keinginan pihak lain) dan assertiveness (berusaha memenuhi keinginan pihak sendiri). Lima gaya manajemen konflik menurut Thomas adalah collaborating, accommodating, competing, avoiding dan compromising (Rahim, 2001, 2002). Rahim dan Bonoma pada tahun 1979 menerjemahkan kembali skema Blake dan Mouton dengan cara membedakan manajemen konflik berdasarkan dua dimensi yaitu: berfokus pada diri sendiri dan berfokus pada orang lain (cocern for self dan concern for others). Dimensi pertama menjelaskan derajat tinggi atau
Universitas Sumatera Utara
rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan sendiri. Dimensi kedua menjelaskan menjelaskan derajat tinggi atau rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan orang lain. Kedua dimensi ini menggambarkan orientasi motivasional yang dilakukan individu pada saat terjadinya konflik. Kombinasi dari dua dimensi ini menghasilkan lima gaya manajemen konflik, yaitu integrating,
obliging,
dominating,
avoiding,
dan
compromising
beserta
penjelasannya di bawah ini (Rahim, 2001, 2002): 1. Integrating. Fokus tinggi pada diri dan tinggi pada orang lain. Gaya ini sering juga disebut problem solving. Dalam gaya ini ditemukan adanya keterbukaan, bertukar informasi, mencari alternatif, dan mencari perbedaan untuk mencapai suatu solusi efektif yang dapat diterima oleh kedua pihak. Gaya ini efektif untuk menyelesaikan masalah yang rumit, ataupun pada saat salah satu pihak tidak dapat memecahkan suatu masalah. Gaya ini dapat digunakan apabila kita ingin memanfaatkan keterampilan, informasi, dan sumber daya pihak lain untuk merumuskan solusi alternatif yang efektif untuk menangani suatu masalah. Gaya ini lebih efektif dibandingkan dengan gaya lainnya untuk menjadikan subsistem dalam suatu organisasi lebih kompak. Gaya ini merupakan yang paling efektif dalam menyelesaikan konflik sosial dan cocok diterapkan untuk menangani isu-isu strategis mengenai tujuan, kebijakan dan perencanaan jangka panjang organisasi. 2. Obliging. Fokus rendah pada diri dan tinggi pada orang lain. Gaya ini berguna diterapkan apabila suatu pihak tidak menguasai isu yang menjadi konflik atau isu tersebut lebih penting bagi pihak lain. Gaya ini perlu
Universitas Sumatera Utara
digunakan ketika satu pihak berkeinginan memberikan sesuatu kepada pihak lain dengan harapan dapat mendapatkan keuntungan dari pihak lain pada saat dibutuhkan. Gaya ini cocok pada saat suatu pihak berada pada posisi yang lebih lemah. Gaya ini tidak cocok dilakukan ketika suatu pihak merasa bahwa pihak lain bersalah atau tidak beretika. 3. Dominating. Fokus tinggi pada diri dan rendah pada orang lain. Gaya ini disebut juga orientai win-lose atau menggunkan kekuatan untuk medapatkan suatu posisi. Orang yang dominating atau competing ingin memenangkan tujuannya, dan akibatnya sering mengabaikan kebutuhan dan harapan pihak lain. Gaya ini cocok digunakan ketika isu yang menjadi konflik penting bagi pihak sendiri ataupun keputusan dari pihak lain akan merugikan pihak sendiri. Seorang supervisor bisa menggunakan gaya ini pada isu-isu yang dilaksanakan secara rutin ataupun pada kondisi-kondisi yang memerlukan pengambilan keputusan dengan cepat. Supervisor dapat menggunakan gaya ini kepada bawahan yang sangat asertif atau kepada orangorang yang tidak ahli untuk mengambil keputusan teknis. Gaya ini juga baik digunakan untuk melaksanakan suatu program yang belum populer. Gaya ini tidak cocok dilakukan ketika isu konflik bersifat kompleks dan ketika kita masih memiliki banyak waktu untuk mencari keputusan yang lebih baik. Ketika kedua pihak sama kuatnya, penggunaan gaya ini oleh salah satu pihak atau kedua pihak akan mengakibatkan jalan buntu. Apabila mereka tidak mengubah gaya mereka maka mereka tidak akan bisa memecahakan jalan buntu tersebut. Gaya ini juga tidak tepat digunakan apabila isu yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
konflik tidak penting bagi suatu pihak. Bawahan yang memiliki kompetensi tingkat tinggi, tidak akan suka terhadap atasan yang bersifat otoriter. 4. Avoiding . Fokus rendah pada diri dan rendah pada orang lain. Gaya ini disebut juga situasi withdrawal, buckpassing, atau sidestepping. Orang yang avoiding adalah orang yang gagal memenuhi keinginan dirinya sendiri dan gagal juga memenuhi keinginan orang lain. Gaya ini cocok digunakan ketika ada kemungkinan efek yang disfungsional bila melakukan konfrontasi dengan pihak yang lebih kuat yang memiliki kepentingan terhadap konflik yang dihadapi. Gaya ini juga berguna untuk menyelesaikan isu-isu yang tidak terlalu penting/minor atau memerlukan periode pendinginan sebelum masalah yang kompleks diselesaikan secara efektif. Gaya ini tidak cocok digunakan ketika konflik penting bagi satu pihak, ketika satu pihak bertanggung jawab untuk mengambil keputusan, tidak ingin menunggu, atau memerlukan tindakan yang segera. 5. Compromising. Fokus menengah pada diri sendiri dan pada orang lain. Gaya ini disebut juga give and take, dimana semua pihak menginginkan keputusan yang secara bersama-sama saling menguntungkan. Gaya ini sangat berguna ketika tujuan pihak yang sedang konflik saling eksklusif atau kedua pihak (seperti manajer dan karyawan) sama kuatnya dan menemukan jalan buntu dalam proses negosiasi. Gaya ini dapat digunakan ketika konsensus tidak bisa dicapai, semua pihak memerlukan solusi yang bersifat sementara untuk memecahkan masalah yang kompleks, atau gaya manajemen konflik yang lain sudah semua digunakan tapai tidak menyelesaikan masalah dengan
Universitas Sumatera Utara
efektif. Gaya ini tampaknya paling berguna untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Gaya ini tidak cocok digunakan untuk menangani masalah yang kompleks yang memerlukan pendekatan problem solving. Sayangnya, sering sekali praktisi manajemen menggunakan gaya ini untuk menyelesaikan masalah yang kompleks, sehingga pada akhirnya gagal menemukan masalah yang sebenarnya dan gagal merumuskan penanganan masalah secara efektif. Gaya ini tidak cocok digunakan bila satu pihak lebih kuat dari pihak lain. Penjelasan tentang lima gaya manajemen konflik interpersonal dapat dilakukan dengan cara mengatur kelima gaya tersebut sesuai dengan dimensi integratif dan distributif. Skema di bawah ini menunjukkan lima gaya manajemen konflik yang telah diklasifikasi ulang menjadi dimensi integratif dan distributif (Rahim, 2001, 2002).
Skema 1. Model Dual Concern: Dimensi pemecahan masalah dan perundingan gaya penanganan konflik interpersonal. Sumber: M. Afazur Rahim. 2002. Toward a Theory of Managing Organizational Conflict. International Journal of Conflict Management, 13(3), 206–235.
Universitas Sumatera Utara
Dimensi integratif adalah gaya integrating dikurang gaya avoiding, yang menggambarkan tentang tingkat (tinggi-rendah) kepuasan yang diterima oleh diri sendiri dan orang lain. Dimensi distributif adalah gaya dominating dikurang gaya obliging, yang menggambarkan tentang rasio kepuasan (tinggirendah) yang diterima oleh diri sendiri dan orang lain. Kedua dimensi ini secara berturut-turut merepresentasikan gaya problem solving dan gaya bargaining dalam menangani konflik. Gaya problem solving menggambarkan tentang jumlah kepuasan yang diterima oleh kedua pihak (diri sendiri dan orang lain). Penggunaan gaya problem solving yang Tinggi-Tinggi, mengindikasikan bahwa adanya usaha yang nyata untuk meningkatkan kepuasan kedua belah pihak dengan berusaha menemukan solusi yang tepat dalam memecahkan masalah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Penggunaan gaya problem solving yang Rendah-Rendah, mengindikasikan bahwa adanya penurunan kepuasan pada kedua pihak akibat dari kegagalan dalam menemukan dan memecahkan masalah. Gaya bargaining menggambarkan tentang jumlah kepuasan yang diterima hanya oleh salah satu pihak (diri sendiri atau orang lain). Penggunaan gaya
bargaining yang Tinggi-Rendah, mengindikasikan usaha satu pihak
untuk memperoleh kepuasan yang tinggi pada diri sendiri dan memberikan kepuasan yang rendah terhadap orang lain. Penggunaan gaya bargaining yang Rendah-Tinggi, mengindikasikan usaha satu pihak untuk memperoleh kepuasan yang rendah pada diri sendiri dan memberikan kepuasan yang tinggi
Universitas Sumatera Utara
terhadap orang lain. Compromising merupakan titik temu antara kedua dimensi, yaitu posisi tengah dimana suatu pihak memiliki fokus pada level menengah pada diri sendiri dan orang lain. Dimensi problem solving merupakan dimensi yang tepat digunakan untuk menangani konflik yang strategis dalam rangkan peningkatan pembelajaran dan efektifitas organisasi. Dimensi bargaining merupakan dimensi yang tepat untuk menangani konflik yang bersifat taktis atau konflik yang rutin terjadi setiap hari.
2.1.4. Gaya manajemen konflik pada kepala ruangan Rumah Sakit. Gaya manajemen konflik dapat didefinisikan menjadi beberapa sinonim sesuai dengan penulisnya, akan tetapi konsep yang mendasarinya tetap sama. Kelima gaya manajemen konflik bersama sinonimnya antara lain integrating
(collaborating),
obliging
(accommodating),
dominating
(competing), avoiding dan compromising (Rahim, 2002; Thomas & Kilmann, 2001). Penelitian yang dilakukan pada para dekan
pendidikan tinggi
keperawatan di negara bagian Amerika Serikat (43 dari 45 negara bagian) menunjukkan bahwa gaya manajemen konflik pada rentang skor 0-12 yang paling sering digunakan adalah compromising dengan rata-rata 7,7, kemudian secara berturut-turut colaborating (6,8), avoiding (6,5), accommodating (4,7), dan competing (3,6). Menurut hasil penelitian ini para dekan tidak memiliki
Universitas Sumatera Utara
persepsi yang berbeda dalam menggunakan gaya manajemen konflik dalam menghadapi berbagai jenis konflik (Woodtli, 1987). Gaya manajemen konflik yang paling sering dilakukan oleh perawat profesional (registered nurse) di Thailand secara berturut-turut adalah accommodating
(41,2%),
compromising
(29,2%),
avoiding
(19,5%),
collaborating (6,9%), dan competing (3,2%). Secara umum, konflik yang dialami oleh para perawat profesional ini berada pada level moderat (Kunaviktikul, Nuntasupawat, & Srisuphan, 2000). Perawat manajer di Oman lebih banyak memilih gaya integrating dalam penanganan konflik, kemudian disusul oleh gaya compromising, obliging, dominating, dan avoiding. Hasil penelitian ini menemukan bahwa beberapa karakteristik demografi seperti kewarganegaraan, level manajer, senioritas, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan gaya manajemen konflik (Al-Hamdan et al., 2011). Hasil penelitian pada perawat manajer di Israel ditemukan bahwa gaya manajemen konflik yang paling sering digunakan pada rentang skor 0-12 adalah compromising dengan rata-rata 7,30. Selanjutnya diikuti oleh collaborating (6,04), competing (5,80), avoiding (5,70), dan accommodating (4,00). Pada penelitian ini kebanyakan karaktersitik demografi seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman bekerja, ukuran bangsal, jenis ruang rawat, dan kewarganegaraan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan gaya manajemen konflik. Karakteristik demografi yang
Universitas Sumatera Utara
berpengaruh secara signifikan adalah lamanya menduduki jabatan, makin lama menduduki suatu jabatan maka makin sering dia menggunakan gaya collaborating (Hendel et al., 2005). Hasil penelitian di salah satu rumah sakit Amerika Serikat menunjukkan bahwa pemilihan gaya manajemen konflik antara perawat pelaksana dengan perawat manajer tidak berbeda secara signifikan. Gaya manajemen konflik pada perawat manajer secara berturut-turut pada rentang skor 0-12 adalah avoiding dengan rata-rata 7,24, dan selanjutnya secara berurutan adalah compromising (7,23), accommodating (6,13), collaborating (6,00), dan competing (3,30). Sedangkan gaya penangan konflik yang dilakukan oleh perawat pelaksana adalah avoiding (8,17), compromising (6,75), accommodating (6,78), collaborating (5,05), dan competing dengan rata-rata 3,17 (Cavanagh, 1991). Hasil penelitian yang dilakukan pada 97 perawat profesional wanita pada fasilitas pelayanan kesehatan di Mississippi Amerika Serikat didapatkan data bahwa gaya manajemen konflik yang paling sering digunakan pada rentang skor 0-12 secara berturut-turut adalah compromising dengan rata-rata 6,94, avoiding 6,84, accommodating 6,80, collaborating 5,39, dan competing 4,02 (Whitworth, 2008). Penelitian di Siprus menemukan bahwa perawat di Rumah Sakit lebih sering menggunakan gaya avoiding (Pavlakis et al., 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Teori keperawatan terkait gaya manajemen konflik Behavioral System Model dikembangkan oleh Dorothy E. Jhonson dengan cara memanfaatkan hasil kerja ilmuan psikologi, sosiologi dan etnologi. Johnson menyatakan, ”A system is a whole that functions as a whole by virtue of the interpedence of it’s part” (sistem merupakan keseluruhan yang berfungsi atas dasar ketergantungan diantara bagian-bagiannya) (Brown, Conner, Harbour, Magers, & Watt, 1998). Model sistem perilaku mencakup pola, perulangan dan cara-cara bersikap dengan maksud tertentu. Cara-cara bersikap ini membentuk unit fungsi menjadi teroraganisasi dan terintegrasi antara seseorang dengan lingkunganya serta menciptakan hubungan seseorang dengan objek, peristiwa dan situasi dengan lingkunganya. Manusia sebagai sistem perilaku berusaha untuk mencapai stabilitas dan keseimbangan dengan cara mengatur dan beradaptasi (Brown et al., 1998). Karena sistem perilaku memiliki banyak tugas untuk dikerjakan, bagianbagian sistem berubah menjadi subsistem-subsistem dengan tugas tertentu. Suatu subsistem merupakan sistem kecil dengan tujuan khusus sendiri.
Ada tujuh
subsistem yang diidentifikasi oleh Johnson bersifat terbuka, terhubung dan saling berkaitan (interealated). Subsistem-subsistem ini akan berubah secara terusmenerus karena adanya pengaruh faktor kedewasaan, pengalaman dan pembelajaran. Subsistem ini dikontrol oleh faktor biologis, psikologi dan sosiologi. Ketujuh subsistem yang terdapat dalam Behavioral System Model serta
Universitas Sumatera Utara
penjelasannya adalah attachment-affiliative, dependency, ingestive, eliminative, sexual, achievement dan aggressive (Brown et al., 1998): 1. Subsitem attachment-affiliative Subsistem attachement-afiliative mungkin merupakan yang paling kritis, karena subsistem ini membentuk landasan untuk semua organisasi sosial. Pada tingkatan umum, hal itu memberikan kelangsungan (survival) dan keamanan (security). Sebagai konsekuensinya adalah inklusi sosial, kedekatan (intimacy) dan susunan serta pemeliharaan ikatan sosial yang kuat. 2. Subsistem dependency Dalam hal paling luas, subsistem dependency meningkatkan perilaku menolong untuk pengasuhan. Konsukuensinya adalah bantuan persetujuan, bantuan perhatian, dan bantuan fisik. 3. Subsistem ingestive Subsistem ingestion berkaitan dengan kapan, bagaimana, apa, berapa banyak dan dengan kondisi apa kita makan. Respon-respon ini ada hubungannya dengan pertimbangan sosial, psikologis, dan biologis. 4. Subsistem eliminative Subsistem eliminative berkaitan dengan kapan, bagaimana, apa, berapa banyak dan dengan kondisi apa kita melakukan eliminasi.
Respon-respon ini ada
hubungannya dengan pertimbangan sosial, psikologis, dan biologis. 5. Subsistem sexual Subsistem seksual memiliki fungsi ganda yakni hasil (procreation) dan kepuasan (gratification). Termasuk juga courting dan mating, sistem respon ini dimulai
Universitas Sumatera Utara
dengan perkembangan identitas jenis kelamin dan termasuk (dalam cakupan yang luas) perilaku-perilaku berdasarkan prinsip jenis kelamin. 6. Subsistem aggressive Subsistem agresif berfungsi sebagai perlindungan (protection) dan pemeliharaan (preservation). Subsistem ini menyatakan bahwa perilaku agresif tidak hanya didapat dari pembelajaran tapi merupakan suatu tujuan. 7. Subsistem achievement Subsistem
achievement
berusaha
memanipulasi
lingkungan.
Fungsinya
mengontrol atau menguasai aspek pribadi atau lingkungan pada standar tertentu. Area perilaku achievement antara lain keterampilan intelektual, fisik, kreatifitas, mekanik, dan sosial. Berdasarkan subsistem tersebut di atas, maka akan terbentuk sebuah sistem perilaku individu, sehingga Johnson memiliki pandangan bahwa keperawatan dalam mengatasi suatu permasalahan harus dapat berfungsi sebagai pengatur agar dapat menyeimbangkan sistem perilaku tersebut (Brown et al., 1998).
2.2. Karakteristik Demografi 2.2.1. Umur Menurut Amstrong (2013) siklus hidup manusia terdiri dari 12 tingkat. Setiap tingkat sama pentingnya bagi kesejahteraan manusia. Keduabelas tingkat siklus hidup manusia adalah: (1) Prebirth: pada tingkat ini manusia belum lahir dan nantinya dapat menjadi sosok siapa saja, bisa menjadi seperti Michaelangelo,
Universitas Sumatera Utara
Shakespeare, Martin Luther King atau siapa saja, sehingga memiliki semua prinsip-prinsip kemanusiaan pada masa yang akan datang. (2) Bitrh: ketika manusia lahir dia masih tergantung pada orang tua dan pengasuhnya, sehingga manusia baru lahir mewakili rasa berharap (sense of hope) untuk dunia yang lebih baik. (3) Infancy (usia 0-3 tahun): pada saat ini manusia sangat bersemangat dan tampaknya memiliki energi yang tidak terbatas, sehingga manusia pada saat ini mewakili dinamo kemanusiaan. (4) Early Childhood (usia 3-6 tahun): pada usia ini manusia sedang bermain dan menciptakan dunia yang baru bagi mereka, sehingga menggambarkan tentang
prinsip inovasi dan transformasi yang
mendasari adanya temuan yang baru untuk kepentingan peradaban manusia. (5) Middle Childhood (Usia 6-8 tahun): pada tahap ini pertama sekali muncul keinginan untuk pengembangan diri yang diadopsi dari luar dirinya dalam bentuk imajinasi dan tertanam di dalam sanubarinya. Imajinasi ini akan menjadi sumber inspirasi cita-cita pada masa yang akan datang seperti menjadi sorang artis, penulis, ilmuan dan lain-lain. (6) Late Childhood (Usia 9-11 tahun): tahap ini manusia
memperoleh
memungkinkan
mereka
banyak
keterampilan
menciptakan
strtategi
sosial
dan
yang
teknikal
mengagumkan
yang dan
menemukan solusi untuk mengatasi berbagai kondisi yang ada di sekitar mereka. Prinsip akal budi ini akan menjadi bagian diri mereka yang akan digunakan untuk menemukan cara pemecahan masalah praktis serta memilih koping dalam melaksanakan tanggung jawab sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
(7) Adolescence (Usia 12-20 tahun): kondisi pubertas melepaskan serangkaian kekuatan perubahan pada tubuh manusia yang merefleksikan keinginan tinggi mengenai hal-hal seksual, emosional, kultural, dan spiritual. (8) Early Adulthood (Usia 20-35 tahun): pada saat ini manusia memulai usaha untuk memenuhi berbagai tanggungjawab termasuk menemukan pasangan, membeli rumah, mendirikan keluarga dan lingkaran teman, serta mendapatkan pekerjaan.
(9)
Midlife (Usia 35-50 tahun): setelah beberapa tahun membentuk kehidupan dan mengikuti kegiatan sosial, manusia sering beristirahat dari tanggungjawab duniawi untuk merefleksikan arti yang lebih mendalam mengenai arti hidup mereka. (10) Mature Adulthood (Usia 50-80 tahun): pada tahap ini manusia telah mendirikan keluarga dan menjadi kontributor untuk kebaikan masyarakat melalui kegiatan amal, menjadi penasehat, dan berbagai bentuk kedermawanan. Umat manusia memperoleh berbgai keuntungan dari kebajikan mereka dan manusia yang lebih muda dapat belajar dari contoh yang telah mereka buat. (11) Late Adulthood (Usia lebih dari 80 tahun): pada saat ini manusia telah kaya akan pengalaman yang dapat digunakan untuk membantu membimbing dan mengarahkan orang lain. Tahap ini mewakili sumber kebijaksanaan dan kearifan yang berada di sekitar kita, menolong kita agar terhindar dari kesalahan masa lalu dan memperoleh pelajaran yang untuk masa yang akan datang. (12) Death & Dying: manusia yang sedang sekarat, atau yang sudah meninggal, mengajarkan kepada manusia lainnya mengenai makna dan nilai dari kehidupan. Mereka mengingatkan kita bahwa hidup tidak bisa selamanya, sehingga harus diisi
Universitas Sumatera Utara
sepenuh mungkin, dan mengingatkan kita bahwa masa hidup kita yang sebentar merupakan bagian dari keseluruhan kehidupan yang lebih luas.
2.2.2. Jenis kelamin Jenis kelamin menjelaskan tentang karakteristik biologis dan fisiologis manusia. Konsep jenis kelamin (gender) mengatur tentang dimensi sosial, termasuk perilaku, atribut atau aktivitas yang dianggap tepat oleh masyarakat kepada laki-laki dan perempuan, pria dan wanita (Lohrenscheit, 2013).
2.2.3. Tingkat pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan (Undang Undang RI No. 20 tahun 2003). Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (Undang Undang RI No. 20 tahun 2003).
2.3. Landasan Teori. Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini adalah manejemen konflik yang disusun oleh Rahim dan Bonoma pada tahun 1979. Manajemen konflik ini membedakan manajemen konflik berdasarkan dua dimensi yaitu: berfokus pada diri sendiri dan berfokus pada orang lain (cocern for self dan concern for others). Dimensi berfokus pada diri sendiri menjelaskan tentang derajat tinggi atau rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan sendiri. Sedangkan dimensi berfokus pada orang lain menjelaskan tentang derajat tinggi atau rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan orang lain. Kombinasi dari dua dimensi ini menghasilkan lima gaya manajemen konflik, yaitu integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising seperti yang terlihat pada Skema di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Skema 2. Model dua dimensi gaya penanganan konflik interpersonal. Sumber: M. Afzalur Rahim. 1983. A measure of styles of handling interpersonal conflict. Academy of Management, 26(2), 368–76.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Kerangka Konsep Penelitian. Penelitian ini terdiri dari satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas diturunkan dari karaktersitik demografi terdiri dari umur, jenis kelamin, masa kerja, dan tingkat pendidikan. Sedangkan variabel terikat adalah gaya manajemen konflik yang terbagi menjadi lima, yaitu gaya integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising. Berdasarkan landasan teori di atas maka kerangka konsep penelitian ini ditunjukkan dalam skema di bawah ini :
Karakteristik Demografi
Gaya Manajemen Konflik
1. Umur 1. Integrating 2. Jenis Kelamin
2. Obliging 3. Dominating
3. Masa Kerja
4. Avoiding 5. Compromising
4. Tingkat Pendidikan
Skema 3. Kerangka Penelitian Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi.
Universitas Sumatera Utara