BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja Masa remaja merupakan suatu periode transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa, yang ditandai dengan adanya perubahan kematangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional yang cepat pada anak untuk mempersiapkan diri menjadi dewasa (Wong, 2008). Menurut WHO, remaja (adolescence) adalah mereka yang berusia 10 tahun sampai 19 tahun. Pedoman umum remaja di Indonesia menggunakan batasan usia 11 tahun sampai 24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2001). Tahap perkembangan remaja dibagi menjadi tiga, yaitu tahap remaja awal dari usia 11 sampai 13 tahun, remaja tengah dari usia 14 sampai 16 tahun, dan remaja akhir dari usia 17 sampai 20 tahun (Behrman, 2004). Perubahan fisik pada masa remaja merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kesehatan reproduksi, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan fisik yang sangat cepat untuk mencapai kematangan, termasuk organ-organ reproduksi sehingga mampu melaksanakan fungsi repoduksinya dengan baik. Menurut Tukan (1993), pada masa ini seorang remaja akan mengalami perubahan ciri seks sekunder. Ciri seks sekunder tersebut adalah pada remaja laki-laki tampak tumbuh kumis, jenggot, dan rambut disekitar alat kelamin dan ketiak. Selain itu, suara juga menjadi lebih besar, dada melebar, serta kulit menjadi relatif lebih kasar. Pada remaja perempuan,
9
10
tampak rambut mulai tumbuh disekitar kelamin dan ketiak, payudara dan pinggul mulai membesar dan kulit menjadi lebih halus. Selain tampaknya ciri-ciri seks sekunder tersebut, organ kelamin pada remaja juga mengalami perubahan ke arah pematangan, dimana pada laki-laki testis akan menghasilkan sperma, sedangkan pada wanita kedua indung telur (ovarium) akan menghasilkan sel telur (ovum). Pada saat ini wanita akan mulai mengalami ovulasi dan menstruasi dalam hidupnya.
2.2 Menstruasi Menstruasi merupakan peristiwa penting yang terjadi pada gadis remaja. Hal ini menandakan bahwa alat reproduksinya berfungsi dengan normal (Marimbi, 2011). Pada usia ini, tubuh wanita mengalami perubahan drastis, karena mulai memproduksi hormon-hormon seksual yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sistem reproduksi (Marmi, 2013). Proses perubahan ini merupakan suatu yang kompleks, saling mempengaruhi, dan merupakan kerja sama yang harmonis antara korteks serebri, hipotalamus, hipofisis, dan ovarium, serta pengaruh dari glandula tyroidea, korteks adrenal dan kelenjar endokrin lainnya. Menstruasi merupakan perdarahan secara periodik dan siklik, disertai dengan pelepasan endometrium. Terjadinya menstruasi pada saat lapisan dalam rahim luruh dan keluar. Menstruasi dimulai pada saat pubertas (menarche) dan berhenti secara permanen pada saat wanita menopause. Panjang siklus haid adalah jarak antara waktu haid yang lalu dengan waktu dimulainya haid berikutnya. Siklus normal lamanya menstruasi adalah
11
apabila seorang wanita memiliki jarak menstruasi yang relatif tetap setiap bulannya yaitu selama 28-35 hari. Lama waktu berlangsungnya haid normal antara tiga sampai enam hari, dengan jumlah darah yang dikeluarkan bervariasi tetapi biasanya tidak lebih dari 60ml (Proverawati & Misaroh, 2009). Siklus menstruasi terdiri dari empat fase, diantaranya fase menstruasi, fase proliferasi atau fase folikuler, fase ovulasi atau fase luteal dan fase pasca ovulasi atau fase sekresi. Fase menstruasi adalah peristiwa peluruhan dari sel ovum matang yang tidak dibuahi bersamaan dengan perobekan dinding endometrium. Hal ini juga terjadi karena tidak adanya kandungan hormon dalam darah akibat berhentinya sekresi hormon estrogen dan progesteron. Fase proliferasi atau fase folikuler ditandai dengan adanya penurunan hormon progesteron yang akan memacu kelenjar hipofisis untuk mensekresikan FSH (Follice Stimulating Hormone) dan merangsang folikel dalam ovarium, serta menyebabkan diproduksinya kembali hormon estrogen. Sel folikel ini nantinya akan berkembang menjadi sel folikel de Graaf yang matang dan menghasilkan hormon estrogen yang akan merangsang keluarnya LH (Luteinizing Hormone) dari hipofisis. Hormon estrogen yang dihasilkan tersebut dapat menghambat sekresi FSH, tetapi dapat juga memperbaiki dinding endometrium yang telah robek. Fase ovulasi atau fase luteal ditandai dengan adanya sekresi dari LH yang akan memacu pematangan sel ovum pada hari ke-14 sesudah menstruasi hari pertama. Sel ovum yang telah matang ini akan meninggalkan folikel
12
yang akan menyebabkan folikel mengkerut dan berubah menjadi corpus luteum. Corpus luteum memiliki fungsi untuk menghasilkan hormon progesteron yang berperan untuk mempertebal dinding endometrium yang kaya akan pembuluh darah. Fase pasca ovulasi atau fase sekresi ditandai dengan mengecilnya dan menghilangnya corpus luteum dan berubah menjadi corpus albicans. Corpus albicans berfungsi sebagai penghambat
sekresi
hormon estrogen dan progesteron yang akan menyebabkan hipofisis secara aktif mensekresikan FSH dan LH. Dengan terhentinya sekresi hormon progesteron, maka akan terhentinya juga proses penebalan dinding endometrium yang akan menyebabkan endometrium menjadi kering dan robek. Pada saat inilah terjadi fase perdarahan atau menstruasi (Proverawati & Misaroh, 2009).
2.3 Konsep Dasar Nyeri Haid (Dismenore)
2.3.1
Definisi Dismenore Dismenore (dysmenorrhea) berasal dari bahasa yunani, dimana “dys” berarti sulit, nyeri, abnormal, “meno” yang berarti bulan, dan “orrhea” yang berarti yang berarti aliran. Dismenore adalah kondisi medis yang terjadi pada saat haid atau menstruasi yang ditandai dengan nyeri atau rasa sakit di daerah perut dan panggul yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan memerlukan pengobatan (Judha, 2012)
13
Dismenore adalah nyeri pada daerah panggul akibat dari menstruasi dan produksi zat prostaglandin. Nyeri yang dirasakan biasanya memaksa wanita untuk beristirahat atau berakibat pada menurunnya
kinerja
dan
berkurangnya
aktifitas
sehari-hari
(Proverawati & Misaroh, 2009). Menurut
Prawirohardjo
(2005),
dismenore
adalah
hiperkontraktilitas uterus yang disebabkan oleh prostaglandin. Prostaglandin ini dapat menimbulkan rasa nyeri apabila kadar progesteron dalam darah relatif rendah. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dismenore merupakan nyeri yang dirasakan pada saat menstruasi yang disebabkan karena
adanya kontraksi dari uterus akibat produksi
prostaglandin yang ditandai dengan nyeri pada daerah perut dan panggul.
2.3.2 Klasifikasi Dismenore Berdasarkan jenisnya dismenore terdiri dari: a. Dismenore primer Dismenore primer bisa juga disebut dismenore idiopatik, esensial, dan intriksik. Dismenore primer adalah nyeri menstruasi pada wanita dengan anatomi pelvis yang normal yang dialami tanpa adanya kelainan organ reproduksi atau tanpa kelainan ginekologik. Hal ini terjadi karena proses kontraksi rahim tanpa penyakit dasar sebagai penyebab. Menurut Smeltzer (2002), dismenore ditandai
14
dengan nyeri kram yang dimulai sebelum atau segera setelah menstruasi dan berlanjut selama 48 sampai 72 jam. Sifat nyeri lainnya yang dirasakan adalah kejang yang berjangkit, biasanya terbatas di perut bawah, tetapi dapat juga merambat ke daerah pinggang dan paha. Nyeri juga dapat disertai mual, muntah, sakit kepala dan diare. Rasa nyeri yang dirasakan pada saat menstruasi oleh gadis remaja sebagian besar disebabkan oleh dismenore primer (Judha, 2012) b. Dismenore sekunder Dismenore sekunder atau yang biasa juga disebut sebagai dismenore ekstrinsik, adalah nyeri menstruasi yang terjadi karena adanya kelainan ginekologik. Dismenore jenis ini biasanya muncul saat wanita berusia lebih dari 20 tahun. Rasa nyeri yang timbul disebabkan karena adanya kelainan pada daerah pelvis, misalnya endometriosis, mioma uteri (tumor jinak kandungan), stenosis serviks, dan malposisi uterus. (Judha, 2012). Nyeri yang dirasakan terjadi selama dua hari atau lebih sebelum menstruasi dimulai dan rasa nyeri akan semakin hebat dirasakan saat menstruasi, kemudian akan menghilang setelah dua hari atau lebih setelah menstruasi berhenti (Proverawati & Misaroh, 2009).
2.3.3
Etiologi Dismenore Terdapat berbagai teori yang menjelaskan tentang penyebab dismenore. Namun teori yang paling mendekati adalah teori yang
15
menyatakan bahwa pada saat menstruasi tubuh wanita menghasilkan suatu zat yang disebut prostaglandin. Zat tersebut berfungsi untuk membuat
dinding
rahim
berkontraksi
dan
pembuluh
darah
disekitarnya terjepit (kontriksi) yang akan menimbulkan iskemi jaringan. Intensitas kontraksi yang dirasakan berbeda pada masingmasing individu dan apabila berlebihan akan menimbukan rasa nyeri saat menstruasi. Selain itu, prostaglandin juga merangsang saraf nyeri di rahim sehingga menimbulkan bertambahnya intensitas nyeri (Proverawati & Misaroh, 2009). a. Dismenore Primer Menurut Wiknjosastro (1999), terdapat beberapa faktor yang berperan penting sebagai penyebab dismenore primer, antara lain: 1) Faktor kejiwaan Faktor emosional yang belum stabil dan kurangnya mendapat informasi
yang baik tentang proses menstruasi dapat
menyebabkan timbulnya dismenore primer pada gadis remaja. 2) Faktor konstitusi Faktor ini erat hubungannya dengan faktor kejiwaan yang dapat menurunkan ketahanan tubuh terhadap rasa nyeri. Faktor-faktor tersebut adalah anemia dan adanya penyakit menahun.
16
3) Faktor obstruksi kanalis servikalis (leher rahim) Salah satu teori yang paling tua untuk menerangkan terjadinya dismenore primer adalah stenosis kanalis servikalis. Namun hal ini tidak lagi dianggap sebagai faktor penting karena banyak perempuan yang menderita dismenore primer tanpa stenosis servikalis dan tanpa uterus dalam hiperantefleksi. Mioma submukosum bertangkai atau polip endometrium inilah yang dapat menyebabkan dismenore karena otot-otot uterus berkontraksi kuat untuk mengeluarkan kelainan-kelainan tersebut. 4) Faktor endokrin Umumnya terdapat anggapan bahwa kejang yang terjadi pada dismenore primer disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan. Hal itu disebabkan karena endometrium dalam fase sekresi
(fase
pramenstruasi)
memproduksi
PGF2α
(prostaglandin F2 alfa) yang menyebabkan kontraksi otot polos. Jika jumlah PGF2α dilepaskan secara berlebihan dalam peredaran darah, maka selain dismenore akan dijumpai pula efek umum seperti diare, nausea (mual), dan muntah. b. Dismenore Sekunder Penyebab dismenore sekunder antara lain: 1) Endometriosis 2) Mioma uteri (tumor jinak kandungan)
17
3) Stenosis kanalis servikalis 4) Malposisi uterus 5) Mioma submukosa 6) Polip corpus uteri 7) Retroflexio uteri fixata Sedangkan menurut Harlow, 1996 dalam Judha 2012, terdapat faktor risiko yang berhubungan dengan episode dismenore, diantaranya: a. Menstruasi pertama pada usia amat dini <11 tahun Jumlah folikel-folikel ovary primer pada gadis remaja yang berusia < 11 tahun masih dalam jumlah sedikit sehingga produksi estrogen yang dihasilkan juga masih sedikit. b. Kesiapan dalam menghadapi menstruasi Kesiapan dalam hal ini lebih banyak dihubungkan dengan faktor psikologis. Semua nyeri yang dirasakan tergantung pada hubungan susunan saraf pusat, khususnya talamus dan korteks. Nyeri dapat diperberat oleh keadaan psikologis penderita. Hal lain yang dapat mempengaruhi
kesiapan
gadis
remaja
dalam
menghadapi
menstruasi adalah latar belakang pendidikan. c. Periode menstruasi yang lama (long menstrual periods) Siklus haid yang normal pada seorang wanita adalah apabila jarak haid yang setiap bulannya relatif tetap yaitu selama 28-35 hari, dihitung dari hari pertama haid sampai haid bulan berikutnya. Lama waktu berlangsungnya haid normal antara tiga sampai enam
18
hari, dengan jumlah darah yang dikeluarkan bervariasi tetapi biasanya tidak lebih dari 60ml. Apabila telah lebih dari 10 hari, maka dapat dikategorikan sebagai gangguan. d. Aliran menstruasi yang hebat (heavy menstrual flow) Pada saat menstruasi, jumlah darah yang dikeluarkan sekitar 50ml sampai 100ml. Darah menstruasi yang dikeluarkan seharusnya tidak mengandung bekuan darah, jika enzim yang dilepaskan di endometriosis tidak cukup atau kerjanya lambat, maka darah yang dikeluarkan saat menstruasi sangat banyak dan cepat. e. Merokok (smoking) Nikotin menjadi penyebab timbulnya gangguan haid pada wanita perokok. Zat ini bekerja dengan mempengaruhi metabolisme estrogen. Estrogen merupakan hormon yang bertugas untuk mengatur proses haid, sehingga kadar estrogen harus cukup dalam tubuh. Apabila terjadi gangguan pada metabolisme, maka haid akan menjadi tidak teratur. Bahkan dilaporkan bahwa wanita perokok akan mengalami nyeri perut yang lebih berat saat haid tiba. f. Riwayat keluarga yang positif (positive family history) Endometriosis dipengaruhi oleh faktor genetik. Wanita yang memiliki
ibu
atau
saudara
perempuan
yang
menderita
endometriosis memiliki risiko lebih besar terkena penyakit ini juga. Hal ini disebabkan karena adanya gen abnormal yang diturunkan dalam tubuh wanita tersebut. Gangguan menstruasi lainnya seperti
19
hipermenorea
dan
menoragia
dapat
mempengaruhi
sistem
hormonal tubuh, dimana tubuh akan memberi respon berupa gangguan sekresi estrogen dan progesteron yang nantinya menyebabkan
adanya
gangguan
pada
pertumbuhan
sel
endometrium. g. Kegemukan Perempuan obesitas biasanya mengalami anovulatory chronic atau haid yang tidak teratur secara kronis akibat pengaruh faktor hormonal. Perubahan hormonal atau perubahan pada sistem reproduksi terjadi akibat adanya timbunan lemak pada perempuan obesitas. Timbunan inilah yang akan memicu pembuatan hormon, terutama hormon estrogen. h. Konsumsi alkohol (alcohol consumption) Dari hasil sebuah penelitian ditemukan bahwa mengonsumsi alkohol dapat menyebakan terjadinya peningkatan kadar estrogen dimana efek yang ditimbulkan adalah terjadi pelepasan zat prostaglandin yang akan membuat otot-otot rahim berkontraksi
2.3.4 Tanda Dan Gejala Dismenore Menurut Kasdu (2008), terdapat beberapa tanda dan gejala dari dismenore, diantaranya: a. Nyeri mulai dirasakan dari awal menstruasi, dan terasa lebih baik setelah pendarahan menstruasi mulai.
20
b. Nyeri dirasakan pada perut bagian bawah yang bisa menjalar ke punggung bagian bawah dan tungkai. c. Nyeri yang dirasakan sebagai kram yang hilang timbul atau nyeri tumpul yang dirasakan terus-menerus. d. Nyeri dapat berlangsung selama 48-72 jam. e. Gejala sistemik lainnya yang dapat menyertai nyeri adalah mual, diare, sakit kepala, dan perubahan emosional.
2.3.5
Patofisiologi Dismenore Saat menstruasi pada fase ovulasi atau luteal ditandai dengan adanya sekresi LH yang memacu matangnya sel ovum pada hari ke-14 sesudah menstruasi hari pertama. Sel ovum yang matang akan meninggalkan folikel sehingga folikel akan mengkerut dan berubah menjadi corpus luteum. Corpus luteum berfungsi menghasilkan hormon progesteron untuk mempertebal dinding endometrium yang kaya akan pembuluh darah. Pada fase pasca ovulasi atau fase sekresi, corpus luteum yang mengecil dan menghilang akan berubah menjadi corpus albicans yang berfungsi untuk menghambat sekresi hormon estrogen dan progesteron (Proverawati & Misaroh, 2009). Dengan terhentinya sekresi progesteron, maka PGF2α akan diproduksi secara berlebihan. Pelepasan PGF2α yang berlebihan akan meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi uterus yang menyebabkan vasospasme arteriol uterus (Smeltzer & Bare, 2002).
21
Kontraksi uterus yang berkepanjangan akan menyebabkan aliran darah ke uterus menjadi berkurang sehingga uterus menjadi iskemi. Saat uterus mengalami iskemi akan terjadi metabolisme anaerobik, dimana hasilnya nanti akan merangsang saraf nyeri kecil tipe-C yang akan memberikan kontribusi untuk terjadinya dismenore. Nyeri yang dirasakan saat dismenore dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha, hal ini dikarenakan uterus dipersarafi oleh T12, L1, L2, L3, S2, S3, dan S4 yang akan memberikan penyebaran nyeri ke daerah tersebut (Rasjidi, 2008). Selain itu, terdapat respon sistemik yang terjadi terhadap pelepasan PGF2α antara lain nyeri punggung, kelemahan, keluarnya keringat, gangguan pada saluran cerna (anoreksia, mual, muntah, dan diare), dan gejala pada sistem saraf pusat meliputi pusing, sinkope, nyeri pada kepala, dan konsentrasi yang buruk (Bobak, 2005).
2.3.6 Skala Pengukuran Nyeri Pengkajian nyeri secara faktual dan akurat sangat diperlukan untuk menetapkan data dasar dan untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat bagi klien. Selain itu, pengkajian nyeri juga diperlukan untuk memilih terapi yang cocok dengan keadaan klien dan untuk mengevaluasi respon klien terhadap terapi yang telah diberikan. Pengkajian karakteristik umum dari nyeri dapat membantu perawat dalam membentuk pengertian pola nyeri dan dapat menentukan terapi yang tepat bagi klien. Karakteristik nyeri dapat
22
dilihat dari awitan dan durasi nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, kualitas nyeri, pola nyeri, tindakan yang dapat memunculkan dan meringankan nyeri, dan gejala yang menyertai nyeri (Potter & Perry, 2006). Pada saat mengkaji nyeri klien, perawat harus sensitif terhadap tingkat ketidaknyamanan yang dirasakan klien. Perawat juga harus waspada terhadap adanya kemungkinan kekeliruan dari pengkajian nyeri yang telah dilakukan. Dengan menggunakan alat dan metode yang benar dalam melakukan pengkajian nyeri maka dapat membantu untuk menghidari kekeliruan dan memilih terapi yang tepat bagi klien (Potter & Perry, 2006). Penggunaan instrumen untuk mengetahui luas dan derajat dari nyeri bergantung pada kesadaran klien secara kognitif dan mampu memahami instruksi-instruksi yang diberikan oleh perawat. Terdapat beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur skala nyeri klien, diantaranya: a. Skala Pendeskripsian Verbal (Verbal Descriptor Scales) Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang objektif. Skala pendeskripsian verbal merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima buah kata pendeskripsian yang telah disusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsian dari skala ini dimulai dari “tidak nyeri” sampai “nyeri berat tidak terkontrol”. Perawat menunjukkan kepada klien
23
skala tersebut, kemudian meminta klien untuk menetukan intensitas nyeri terbaru yang dirasakan. Pada saat ini perawat juga menanyakan
seberapa
jauh
menyakitkan dan seberapa
nyeri
yang
jauh nyeri
dirasakan
paling
yang terasa tidak
menyakitkan. Skala ini dapat memungkinkan klien untuk memilih kategori untuk mendeskripsikan nyeri yang dirasakan (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2006).
Gambar 1. Skala Pendeskripsian Verbal (Verbal Descriptor Scales)
b. Skala Penilaian Nyeri Numerik (Numerical Rating Scales) Skala penilaian nyeri numerik (Numerical Rating Scales) lebih digunakan untuk mengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri yang dirasakan dengan menggunakan skala angka 0-10. Skala ini merupakan skala yang paling efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah klien diberikan intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai intensitas nyeri, maka patokan 10cm sangat direkomendasikan (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2006).
24
Gambar 2.
Skala Penilaian Nyeri Numerik (Numerical Rating Scales)
c. Skala Nyeri Analog Visual (Visual Analog Scale) Skala nyeri analog visual (Visual Analog Scale) merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri secara terus menerus dan memiliki alat pendeskripsin verbal disetiap ujungnya. Skala ini memberikan klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri yang dirasakan. Skala nyeri analog visual merupakan alat pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien sendiri dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian garis daripada harus memilih satu kata atau satu angka (Potter & Perry, 2006)
Gambar 3 Skala Nyeri Analog Visual (Visual Analog Scale)
25
d. Skala Nyeri Menurut Bourbanis Kategori yang digunakan dalam skala nyeri bourbanis sama dengan kategori pada Verbal Descriptor Scales. Skala ini memiliki lima kategori nyeri dan menggunakan skala 0-10 cm.
Gambar 4 Skala Nyeri Bourbanis Kriteria nyeri: 1) Skala 0 menandakan tidak terdapat nyeri 2) Skala satu sampai tiga merupakan nyeri ringan dimana nyeri dirasakan hanya sedikit yang secara objektif klien masih dapat diajak berkomunikasi dengan baik. 3) Skala empat sampai enam merupakan nyeri sedang yang secara objektif klien mendesis, menyeringai dan menunjukkan lokasi nyeri. Pada skala ini, klien masih dapat mendeskripsikan nyeri yang dirasakan dan masih dapat mengikuti instruksi dari perawat. Nyeri yang dirasakan masih dapat dikurangi dengan melakukan perubahan posisi. 4) Skala tujuh sampai sembilan merupakan nyeri berat terkontrol. Pada skala ini klien tidak dapat mengikuti instruksi, tetapi klien masih dapat menunjukkan lokasi dari nyeri yang
26
dirasakan dan masih berespon terhadap tindakan. Nyeri pada skala ini sudah tidak dapat berkurang setelah dilakukan perubahan posisi. 5) Skala 10 merupakan nyeri berat tidak terkontrol, dimana pada skala ini klien sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik (Dharmayana, 2009).
2.3.7 Penanganan Dismenore a. Penanganan farmakologi dismenore Jenis obat-obatan yang biasanya digunakan untuk mengurangi rasa nyeri pada saat menstruasi antara lain analgesik (pereda nyeri) golongan Non Steroid Anti Inflamasi Drug (NSAID), misalnya parasetamol atau asetamonofen (sumagesic, panadol, dll), asam mefenamat (ponstelax, nichostan, dll), ibuprofen (ribunal, ostarin, dll), metamizol atau metampiron (pyronal, novalgin, dll), dan obatobatan pereda nyeri lainnya (Proverawati & Misaroh, 2009). b. Penanganan non farmakologi dismenore Penanganan nyeri non farmakologi yang dapat dilakukan, diantaranya: 1) Kompres panas Pemakaian kompres panas hanya dilakukan pada tubuh tertentu. Dengan diberikannya kompres panas, maka pembuluh darah akan melebar sehingga memperbaiki peredaran darah di dalam jaringan tersebut. Dengan cara ini, penyaluran zat-zat
27
asam dan bahan makanan ke sel-sel akan diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang dibuang akan diperbaiki. Aktivitas sel yang meningkat akan mengurangi rasa nyeri dan akan menunjang proses penyembuhan luka dan peradangan (Andarmoyo, 2013) 2) Distraksi Distraksi adalah pengalihan perhatian klien dari rasa nyeri. dengan cara ini diharapkan klien tidak terfokus pada nyeri yang dirasakan dan dapat menurunkan kewaspadaan klien terhadap nyeri. Distraksi diduga menurunkan persepsi nyeri dengan
cara
menyebabkan
menstimulasi lebih
kontrol
sedikitnya
desenden
stimulus
nyeri
yang yang
ditransmisikan ke otak. Jenis teknik distraksi yang dapat diberikan yaitu distraksi visual, distraksi audio, dan distraksi intelektual (Andarmoyo, 2013). 3) Relaksasi Relaksasi merupakan suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stres sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri dari napas abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas secara perlahan (Andarmoyo, 2013).
28
4) Minum air putih Minum air putih saat menstruasi dapat dilakukan untuk mencegah penggumpalan darah dan melancarkan peredaran darah. Minum air putih sebanyak delapan gelas sehari dapat mengurangi nyeri yang dirasakan saat menstruasi (Laila, 2011) 5) Aromaterapi Aromaterapi mampu mengurangi nyeri saat menstruasi karena memberikan sensasi menenangkan diri dari stres yang dirasakan. Penggunaan aromaterapi dapat dilakukan dengan cara dihirup atau bisa juga dicampurkan dengan air hangat dan digunakan untuk berendam. Hal ini dapat mengurangi nyeri saat
menstruasi
karena
meminimalkan
kontraksi
otot,
memberikan rasa nyaman dan rileks (Laila, 2011). 6) Berolahraga Jenis olahraga yang dapat dilakukan misalnya berjalan kaki, bersepeda, dan olahraga ringan lainnya. Dengan berolahrga, tubuh akan meningkatkan produksi hormon endorphin otak yang dapat meredakan rasa nyeri (Laila, 2011). 7) Stimulasi kutaneus Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk meredakan
nyeri.
Stimulasi
yang
diberikan
dapat
menyebabkan terjadinya pelepasan endorphin yang akan memblok transmisi stimulus nyeri. Sentuhan dan massase
29
merupakan teknik integrasi sensori yang akan mempengaruhi aktivitas
dari
sistem
saraf
otonom.
Apabila
individu
mempersepsikan sentuhan yang diberikan sebagai stimulus untuk rileks, maka akan timbul respon relaksasi (Potter & Perry, 2006). 8) Istirahat Istirahat
pada
mengistirahatkan
saat
menstruasi
otot-otot
yang
diperlukan
tegang
akibat
untuk adanya
kontraksi. Istirahat bisa dilakukan dengan cara tidur, duduk santai sambil menenangkan diri, dan menonton televisi (Laila, 2011). 9) Massase Massase adalah melakukan tekanan tangan pada jaringan lunak,
biasanya
otot,
tendon
atau
ligamentum
tanpa
menyebakan perubahan posisi sendi untuk mengurangi nyeri, menghasilkan relaksasi, dan memperbaiki sirkulasi. Tindakan utama massase dianggap menutup gerbang untuk menghambat perjalanan rangsang nyeri pada pusat yang lebih tinggi pada sistem saraf pusat (Andarmoyo 2013).
30
2.4 Stimulasi Kutaneus Slow Stroke Back Massage
2.4.1 Definisi Stimulasi Kutaneus Slow Stroke Back Massage Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk meredakan nyeri. Stimulasi yang diberikan dapat menyebabkan terjadinya pelepasan endorphin yang akan memblok transmisi stimulus nyeri. Teori gate-control mengungkapkan bahwa stimulasi kutaneus dapat mengaktifkan transmisi dari serabut saraf sensori Abeta yang lebih besar dan cepat. Proses ini dapat menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A yang berdiameter kecil sekaligus dapat menutup gerbang sinap untuk transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 2006). Slow stroke back massage adalah salah satu tindakan stimulasi kutaneus yang dilakukan dengan memberi masase pada punggung yang dilakukan secara perlahan selama tiga sampai lima menit. Stimulasi kutaneus yang diberikan akan merangsang serabut saraf perifer untuk mengirimkan impuls pada medula spinalis melalui dorsal horn. Apabila impuls yang dibawa didominasi oleh serabut A-beta, maka mekanisme gerbang akan tertutup sehingga impuls nyeri tidak akan dihantarkan keotak. Keuntungan dari stimulasi kutaneus adalah tindakan ini dapat dilakukan secara mandiri di rumah sehingga memungkinkan klien untuk mengontrol nyeri dan penanganannya (Potter & Perry, 2006).
31
2.4.2
Manfaat Stimulasi Kutaneus Slow Stroke Back Massage Beberapa manfaat yang didapatkan dari pemberian stimulasi kutaneus slow stroke back massage, diantarnya: a. Melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah di dalam jaringan sehingga penyaluran zat asam dan bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang tidak dipakai akan diperbaiki. Aktivitas dari sel yang meningkat dapat mengurangi rasa sakit dan akan menunjang proses penyembuhan luka, radang setempat seperti bisul yang besar, radang sendi, abses, dan radang empedu (Kusyati E, 2006). b. Memberikan efek mengurangi ketegangan pada otot-otot yang kaku (Kusyati E, 2006). c. Meningkatkan perasaan yang rileks baik fisik maupun psikologis (Kusyati E, 2006). d. Pemberian stimulasi kutaneus yang benar dapat mengurangi persepsi terhadap nyeri dan membantu meredakan ketegangan otot yang dapat meningkatkan intensitas nyeri (Kusyati E, 2006). e. Menurunkan kecemasan, intensitas nyeri, tekanan darah, dan denyut jantung secara bermakna (Mook & Chin, 2004).
32
2.4.3
Petunjuk Melakukan Stimulasi Kutaneus Slow Stroke Back Massage Menurut Priharjo (1993) mengatakan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan
saat
melakukan
masase
punggung
pada
klien,
diantaranya: a. Pada saat pemberian tindakan pertama kali, perawat harus menanyakan apakah klien menyukai usapan punggung karena tidak semua klien menyukai kontak secara fisik b. Perhatian kemungkinan adanya alergi atau kulit mudah terangsang pada klien sebelum diberikan lotion c. Hindari melakukan masase pada daerah-daerah yang kemerahan, kecuali jika kemerahan tersebut hilang saat dimasase d. Perhatikan kontraindikasi dari masase punggung, misalnya fraktur tulang rusuk atau vertebra, luka bakar, daerah kemerahan pada kulit, dan adanya luka terbuka
2.4.4 Metode Stimulasi Kutaneus Slow Stroke Back Massage Metode yang digunakan untuk melakukan teknik stimulasi kutaneus slow stroke back massage adalah dengan mengusap kulit klien secara perlahan dan berirama dengan menggunakan tangan. Teknik ini dilakukan dengan kecepatan 60 kali usapan per menit. Kedua tangan menutup area yang lebarnya lima cm yang dilakukan pada kedua sisi tonjolan tulang beakang yaitu dari ujung kepala sampai area sakrum.
33
Teknik ini dilakukan selama tiga sampai lima menit (Potter & Perry, 2006).
2.5 Pengaruh Stimulasi Kutaneus Slow Stroke Back Massage Terhadap Nyeri Haid (Dismenore) Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) dalam Potter & Perry (2006) mengemukakan bahwa impuls nyeri dapat diatur dan juga dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan ini dapat ditemukan pada sel-sel gelatinosa substansia yang berada dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, talamus, dan sistem limbik (Clancy dan McVicar, 1992 dalam Potter & Perry, 2006). Teori ini mengungkapkan bahwa impuls nyeri akan dihantarkan apabila sebuah pertahanan dibuka dan impuls nyeri akan dihambat apabila pertahanan ditutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi untuk mengurangi nyeri. Keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak akan mengatur proses pertahanan. Melalui mekanisme pertahanan, neuron delta-A dan C akan melepas substansi P untuk mentransmisikan impuls. Selain itu, terdapat juga mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal dan lebih cepat melepaskan neurotransmiter penghambat. Jika masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka mekanisme pertahanan akan tertutup. Apabila masukan yang dominan berasal dari delta-A dan C, maka hal ini akan menyebabkan pertahanan terbuka dan klien akan mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan apabila impuls nyeri
34
dihantarkan ke otak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang akan memodifikasi persepsi nyeri klien. Alur dari saraf desenden akan melepaskan opiat endogen, yang terdiri dari endorfin dan dinorfin, yang merupakan pembunuh alami nyeri yang berasal dari tubuh. Neuromodulator ini akan menutup mekanisme pertahanan dengan cara menghambat pelepasan substansi P (Potter & Perry, 2006). Melakukan masase punggung secara lembut pada klien diyakini dapat menutup mekanisme pertahanan, dimana pesan yang dihasilkan nantinya akan menstimulasi mekanoreseptor. Menurut teori gate control seperti yang diungkapkan diatas bahwa dengan
melakukan stimulasi kutaneus dapat
mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori beta-A yang lebih besar dan cepat. Proses ini dapat menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A yang berdiameter kecil sekaligus dapat menutup gerbang sinap untuk transmisi impuls nyeri. Meek (1993) juga mengatakan bahwa sentuhan dan masase merupakan integrasi sensori yang dapat mempengaruhi aktivitas sistem saraf otonom. Apabila klien mempersepsikan sentuhan yang diberikan sebagai stimulus untuk rileks maka akan muncul respon relaksasi (Potter & Perry, 2006).