BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, aktifitas insulin atau keduanya (ADA, 2010). Hiperglikemia kronis dihubungkan dengan kerusakan, disfungsi dan kegagalan organ-organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (PERKENI, 2011). 2.1.2 Epidemiologi Prevalensi DM terus meningkat dari tahun ke tahun. Total penduduk dengan DM di seluruh dunia diperkirakan akan bertambah dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta penduduk pada tahun 2030 (Wild et al., 2004). Di tahun 2012 diperkirakan 371 juta jiwa penduduk dunia (8,3%) menderita DM (IDF, 2012). Pertumbuhan
populasi
penduduk,
perubahan
gaya
hidup,
penuaan
dan
meningkatnya prevalensi kegemukan akan meningkatkan prevalensi DM (Wild et al., 2004; Braunwald et al., 2005). Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi diabetes melitus. World Health Organization (WHO) memprediksi peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) memprediksi peningkatan penderita DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (IDF, 2005; PERKENI, 2011). Di 1
8
Indonesia berdasarkan hasil RISKESDAS oleh DepKes pada tahun 2007, prevalensi DM mencapai 5,7% (PERKENI, 2011). Di Bali juga didapatkan prevalensi DM yang cukup tinggi yakni mencapai 5,9% (Suastika, 2008). Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) oleh Departemen Kesehatan (DepKes) pada tahun 2013, prevalensi DM mencapai 6,9%. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan penyebab penting masalah ini, dan terus menerus meningkat pada milenium baru ini (PERKENI, 2011). 2.1.3 Diagnosis DM Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: sering lelah dan lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2011). Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Cara kedua yaitu pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga adalah dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (PERKENI, 2011). American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 menambahkan pemeriksaan kadar hemoglobin terglikasi
(HbA1C) dapat mendiagnosis DM selain sebagai kontrol glikemik pasien DM. Cut off point HbA1C dalam mendiagnosis DM berdasarkan kadar glukosa puasa 7 mmol/l atau 126 mg/dL pada populasi high risk Indigenous dimana data dikumpulkan dari Aboriginal and Torres Strait Islander communities di Australia dan Canadian First Nations community (n=431) adalah 7.0% dengan sensitivitas 73% (CI 56-86%), spesifisitas 98% (CI 96-99%), dan nilai duga positif 88% (Rowley et al., 2005). Tabel 2.1 Kriteria diagnosis DM (PERKENI, 2011) 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir ATAU 2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam ATAU 3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
2.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan tipe DM dengan persentase terbesar, yaitu 90-95%. Tipe ini sebelumnya juga dikenal sebagai non-insulindependent diabetes (NIDDM) atau DM onset dewasa. Risiko akan meningkat sejalan dengan umur, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada wanita dengan riwayat diabetes melitus gestasional dan pada individu dengan dislipidemia atau hipertensi (ADA, 2012).
DMT2 yang juga disebut diabetes melitus tidak
tergantung insulin atau
NIDDM, disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolik insulin, penurunan sensitivitas terhadap insulin ini disebut sebagai resistensi insulin. DMT2 dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolik insulin. Penurunan sensitivitas insulin mengganggu penggunaan dan penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan merangsang peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Guyton, 2008). Gejala klasik dari DMT2 adalah terjadi peningkatan frekuensi buang air kecil (polyuria), rasa haus (polydipsia), rasa lapar (polyphagia), penglihatan kabur, dan lemas. Gejala tersebut merupakan manifestasi dari kondisi hiperglikemi. Akan tetapi pasien DMT2 biasanya mengalami gejala hiperglikemi insidental dan seringkali tidak memiliki gejala yang signifikan sebelum munculnya komplikasi (PERKENI, 2011). Seiring dengan peningkatan usia (umur 40 tahun), kejadian obesitas (obesitas sentral) dan kurangnya aktivitas fisik maka risiko perkembangan diabetes juga akan meningkat (Leahy, 2005). Faktor lain yang dapat meningkatkan kejadian DMT2 adalah faktor genetik, penyakit vaskular, dislipidemia, riwayat menderita DM gestasional dan adanya riwayat kegagalan toleransi glukosa impair fasting glucose (IFG) / impair glucose tolerance (IGT). 2.3 Kontrol Glikemik pada DM
Salah satu hal penting dalam evaluasi pasien DM adalah kontrol glikemik karena berhubungan dengan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskuler akibat DM yang akan atau telah terjadi (Lehman & Krumholz, 2009 ; Montori & Balsells, 2009). Studi UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) menyatakan bahwa komplikasi mikrovaskular dapat diturunkan dengan kontrol glikemik yang baik dengan menggunakan obat anti diabetes. Rekomendasi lain menyatakan bahwa terapi penurunan kadar gula darah secara baik dan tepat mendekati nilai normal dapat menurunkan komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular (Skyler, 2004; Stolar, 2010; WHO, 2011). Pentingnya kontrol glikemik dalam managemen DM karena hal ini dapat mengetahui efektivitas dari terapi yang telah dilakukan dan kepatuhan dalam berobat (Skyler, 2004; Qaseem et al., 2007). Kontrol glikemik pada pasien DM dapat memprediksi komplikasi yang telah dan akan terjadi dan memperkirakan prognosis dari pasien DM. Selain itu juga dapat dipakai sebagai pegangan dalam penyesuaian diet, latihan jasmani dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa senormal mungkin sehingga terhindar dari hiperglikemia maupun hipoglikemia (PERKENI, 2011). Kontrol glikemik pada pasien DMT2 secara skematik dapat digambarkan sebagai ‘triad glukosa’, dengan komponen HbA1C, kadar glukosa puasa, dan kadar glukosa 2JPP (Monnier & Colette, 2009).
Gambar 2.1 Triad glukosa (Monnier & Colette, 2009) 2.4 Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Glukosa darah adalah sumber utama energi untuk sel-sel tubuh. Umumnya tingkat gula darah bertahan pada batas-batas yang sempit sepanjang hari: 4-8 mmol/l (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari sebelum makan. Tingkat gula darah diatur melalui umpan balik negatif untuk mempertahankan keseimbangan di dalam tubuh. Tujuan pemeriksaan glukosa darah untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai dan untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, glukosa 2JPP, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan (PERKENI, 2011). Meskipun demikian, pemeriksaan kadar glukosa sangat berfluktuasi dan hasilnya dapat dipengaruhi oleh stres, penundaan pemeriksaan serum, merokok serta aktifitas sebelum uji laboratorium dilakukan.
2.5 Hemoglobin Terglikasi (HbA1C) 2.5.1 Definisi Hemoglobin terglikasi (HbA1C) merupakan zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin, melalui reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N-terminal valine pada rantai beta hemoglobin A. Glukosa membentuk ikatan aldimine dengan N H2- dari valine dalam rantai beta, basa Schiff yang dihasilkan bersifat tidak stabil, kemudian melalui suatu penyusunan ulang (Amadori rearrangement) yang ireversibel membentuk suatu ketoamin yang stabil (Mahajan
& Mishra, 2011). HbA1C yang lebih dikenal dengan hemoglobin glikat adalah salah satu fraksi hemoglobin di dalam tubuh manusia yang berikatan dengan glukosa secara non enzimatik. HbA1C terbentuk dari protein dalam sel darah merah atau disebut juga hemoglobin yang bereaksi dengan glukosa sehingga disebut hemoglobin terglikasi. Ketika kadar glukosa dalam darah tinggi (hiperglikemi), molekul-molekul glukosa dalam darah semakin banyak yang berikatan dengan hemoglobin dan menyebabkan peningkatan dari HbA1C. Usia HbA1C mengikuti usia dari sel darah merah yaitu 120 hari (Nathan et al., 2008).
Gambar 2.2 Proses glikasi hemoglobin (Jones, 2013) 2.5.2
HbA1C sebagai parameter kontrol DM Hemoglobin terglikasi telah digunakan secara luas sebagai indikator kontrol
glikemik, karena mencerminkan konsentrasi glukosa darah 3 bulan sebelum pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum pengambilan sampel darah. (Schneider et al., 2003; ADA, 2012). Kontrol glikemik pada pasien DMT2 secara skematik dapat digambarkan sebagai ‘triad glukosa’, dengan komponen HbA1C, kadar glukosa puasa, dan kadar glukosa postprandial. Saat ini, meskipun masih ada perdebatan namun tampaknya penilaian kontrol glikemik terbaik ditentukan oleh ketiga komponen tersebut (Monnier & Colette, 2009).
Pada sebuah analisis set data dari Diabetes Control and Complication Trial (DCCT), dilaporkan hubungan lebih baik terhadap HbA1C didapatkan dari konsentrasi glukosa setelah makan siang dan rata-rata kadar glukosa per hari (Rohlfing et al., 2002). Studi lain lagi melaporkan apabila pasien dibagi menjadi 5 kelompok menurut kuintil HbA1C, glukosa postprandial memberikan kontribusi terbesar (70%) pada kuintil HbA1C yang lebih rendah pada pasien dengan kontrol diabetes baik hingga sedang. Sebaliknya, glukosa puasa tampaknya menjadi kontributor utama kadar glukosa sepanjang hari pada pasien diabetes tidak terkontrol (HbA1C >8,4%) (Monnier et al., 2003) Untuk pasien dengan kadar HbA1C antara 7,3 dan 8,4%, kontribusi glukosa puasa dan postprandial adalah sama (Rohlfing et al., 2002). Kadar HbA1C memberikan informasi yang berguna pada kontribusi postprandial hiperglikemi dan basal hiperglikemi pada pasien DMT2. Karena glukosa postprandial adalah kontributor utama pada pasien dengan kadar HbA1C 6,5%-7,5%, maka logis untuk menurunkan glukosa postprandial mencapai kadar HbA1C di bawah 6,5%. Sebaliknya, pada pasien dengan kadar HbA1C di atas 7,5%, hiperglikemi basal menjadi yang utama, sehingga terapi perbaikan kontrol glikemik sebaiknya dimulai dengan obat yang bekerja menurunkan hiperglikemia basal dan interprandial. Saat ini, ada dua nilai HbA1C yang digunakan untuk menilai diabetes yang terkontrol yaitu: 7% oleh ADA dan 6,5% oleh AACE dan IDF (Monnier & Colette, 2009). Penelitian ADVANCE menunjukkan sedikit keuntungan bertahap pada mikrovaskular outcome dengan HbA1C mendekati normal; untuk pasien tanpa
risiko hipoglikemi atau efek samping lain, kadar HbA1C yang diharapkan adalah <7% (Monnier & Colette, 2009). Sebaliknya penelitian ACCORD menunjukkan bahwa target HbA1C yang tidak terlampau ketat dari <7% lebih dianjurkan pada pasien yang mendapat terapi obat hipoglikemik seperti sulfonilurea dan/ atau insulin yang dapat mengakibatkan hipoglikemi. Rekomendasi lebih fleksibel sebaiknya diaplikasikan kepada pasien dengan harapan hidup rendah atau dengan komplikasi mikro dan makrovaskuler yang sudah lanjut (Monnier & Colette, 2009). Studi yang dilakukan oleh McCance et al. tahun 1994 dalam menilai kompilkasi mikrovaskular yakni kejadian retinopati pada pasien diabetes mendapatkan cut off point optimum HbA1C adalah ≥7% dengan nilai sensitivitas 78% dan spesifisitas 85%. Cut off point glukosa puasa adalah ≥7,2 mmol/L (126 mg/dL) dengan nilai sensitivitas 81% dan spesifisitas 80%, sedangkan cut off point optimum dari glukosa 2JPP adalah ≥13.0 mmol/L (234 mg/dL) dengan sensitivitas 88% dan spesifisitas 81% (WHO, 2011). 2.5.3 Kelebihan dan kekurangan pemeriksaan HbA1C Tidak ada tes diagnostik klinis yang sempurna. Untuk penggunaan klinis, tes yang ideal adalah akurat, spesifik, terstandardisasi, mudah dilakukan dan tidak mahal. Keuntungan dalam melakukan pemeriksaan HbA1C dalam mendiagosis DM antara lain tidak diperlukan puasa sehingga nyaman untuk pasien, hasil yang stabil untuk memantau kondisi hiperglikemik selama tiga bulan yang lalu tanpa dipengaruhi kondisi stres dan sakit. Selain itu, HbA1C dapat digunakan sebagai tes saring bagi seseorang dengan risiko tinggi terkena DM (Gillett, 2009; Kilpatrick et al., 2009; WHO, 2011).
Pada beberapa keadaan, HbA1C tidak dapat mencerminkan kontrol glukosa darah. Hal ini penting diketahui karena dapat menyebabkan under- atau over treatment. Meskipun saat ini HbA1C secara luas telah digunakan sebagai penanda kontrol glikemik, namun HbA1C tidak mencerminkan perubahan glikemia dalam periode yang relatif singkat, dan akurasinya dikatakan menurun jika disertai dengan abnormalitas metabolisme hemoglobin seperti anemia dan pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) tahap akhir atau end stage ranal disease (ESRD) (Peacock et al., 2008; Nitin, 2010; Son et al., 2013; WHO, 2011).
2.6 Albumin Terglikasi / Glycated Albumin (GA) 2.6.1 Metabolisme albumin Dalam tubuh manusia dewasa albumin disintesa oleh hati sekitar 100-200 mikrogram per gram jaringan hati per hari. Albumin didistribusikan secara vaskuler dalam plasma dan secara ekstravaskuler dalam kulit, otot, dan beberapa jaringan lain. Sintesa albumin dalam sel hati dilakukan dalam dua tempat, pertama pada polisom bebas dimana dibentuk albumin untuk keperluan intravaskuler. Kedua, poliribosom yang berkaitan dengan retikulum endoplasma dimana dibentuk albumin untuk didistribusikan ke seluruh tubuh (Kim & Lee, 2012). Sintesa albumin dipengaruhi beberapa faktor, yaitu nutrisi terutama asam amino, hormon dan adanya suatu penyakit. Asam amino yang dapat merangsang terjadinya sintesa albumin adalah triptofan, arginin, ornitin, lisin, fenilalanin, treonin dan prolin. Sedangkan hormon yang dapat merangsang sintesa albumin adalah tiroid, hormon pertumbuhan, insulin, adrenokortikotropik, testosteron, dan korteks adrenal. Adapun yang dapat menghambat sintesa albumin adalah alkohol serta adanya suatu penyakit yang mengakibatkan gangguan sintesa albumin seperti
pada seseorang penderita penyakit hati kronis, ginjal, dan kekurangan gizi seperti kwashiorkor (Kim & Lee, 2012). 2.6.2 Proses glikasi albumin Albumin adalah salah satu protein plasma yang telah diketahui paling lama dan merupakan komponen terbesar dari protein plasma, mewakili lebih dari 80% molekul total dan 60% konsentrasi protein plasma total (Roohk & Zaidi, 2008). Konsentrasi normal albumin adalah 35-50 g/l, yang membuatnya menjadi protein paling banyak dalam plasma dengan berbagai fungsi fisiologis (Evans, 2002). Secara struktural, albumin terbuat dari 585 asam amino dan mengandung 35 residu sistein penting (kecuali Cys-34) yang membentuk jembatan disulfida yang berkontribusi terhadap struktur protein tersier secara keseluruhan (Kim & Lee, 2012).
Gambar 2.3 Struktur albumin (Kim & Lee, 2012) Glikasi (kadang disebut glikosilasi nonenzimatik)
merupakan proses
sederhana dimana kelebihan molekul gula seperti fruktosa atau glukosa, menempelkan dirinya sendiri dengan molekul protein atau lipid yang normal dalam darah tanpa intervensi enzimatik (Kim & Lee, 2012). Monosakarida memiliki aktivitas glikasi bawaan yang berbeda; diketahui bahwa galaktosa dan fruktosa
memiliki sekitar 10 kali aktivitas glikasi glukosa. Kekhawatiran mengenai glikasi pada diabetes muncul dari fakta bahwa gula tereduksi berpotensi untuk menginduksi glikasi dan mengganggu fungsi sejumlah protein. Karena semua protein rentan terhadap glikasi, gangguan ini dapat menimbulkan efek yang menonjol. Produk glikasi dapat diklasifikasikan menjadi produk awal dan produk tahap lanjut. Awalnya, basa Schiff yang reversibel dan tidak stabil dibentuk dari ikatan glukosa atau derivatnya dengan grup albumin yang memiliki amin bebas (glikasi reversibel, glikasi 1-2 minggu), menyebabkan pembentukan residu fruktosamin yang stabil (ketoamin) melalui dibuangnya air. Pengaturan ulang senyawa ini akhirnya menghasilkan senyawa amadori yang ireversibel (glikasi ireversibel, glikasi 6-8 minggu). Ini merupakan proses glikasi awal dan juga dikenal sebagai reaksi Maillard. Modifikasi tahap lanjut pada produk glikasi tahap awal ini (aduksi
Amadori),
seperti
pengaturan ulang, oksidasi,
polimerisasi,
dan
pembelahan, menghasilkan konjugat ireversibel yang disebut advanced glycated end products (AGE). Produk AGE dianggap sebagai penanda berbagai penyakit seperti arteriosklerosis, gagal ginjal, penyakit alzheimer, atau diabetes, dan juga mengalami peningkatan selama proses penuaan (Koga & Kasayama, 2010 ;Kim & Lee, 2012; Arasteh et al., 2014).
Gambar 2.4 Proses glikasi albumin (Kim & Lee, 2012) 2.6.3 Manfaat GA 2.6.3.1 Pemantauan perubahan kadar glukosa darah yang lebih cepat Masa paruh albumin serum lebih pendek dibandingkan eritrosit. Hal tersebut menyebabkan perubahan kadar GA lebih cepat ketika terjadi perubahan status kontrol glukosa dalam waktu yang singkat. Perubahan yang singkat biasanya terjadi karena ada faktor terapi luar, seperti pengobatan oral maupun injeksi insulin. Di sisi lain, kadar GA juga lebih baik dibanding HbA1C ketika status glukosa darah memburuk (terjadi peningkatan kadar glukosa) dalam waktu yang singkat. Dalam kasus ini, GA menangkap sinyal kenaikan kadar glukosa lebih dini dibandingkan HbA1C. HbA1C tetap normal atau terjadi sedikit peningkatan pada diagnosis fulminan diabetes melitus tipe 1 (DMT1) dimana sel-sel β-pankreas rusak dengan cepat, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa plasma dan ketoasidosis dalam jangka sangat pendek. Pada kasus-kasus tersebut, GA merupakan parameter yang lebih baik dibandingkan HbA1C karena lebih cepat menggambarkan perubahan status glukosa darah yang disebabkan oleh efek pengobatan (Koga & Kasayama, 2010). Perubahan status glikemik pada GA yang lebih cepat dibandingkan HbA1C, dapat membantu dokter dalam memberikan dosis yang akan diberikan kepada pasien yang sedang dalam pengobatan. Dengan respons yang lebih cepat pada perubahan kadar glukosa dibandingkan HbA1C, GA dapat sangat bermanfaat pada saat penyesuaian dosis untuk pasien dalam terapi. Takahashi et al, menemukan adanya penurunan kadar GA yang sangat bermakna (signifikan) dibandingkan kadar
HbA1C dengan pemberian terapi insulin intensif, walaupun pada akhirnya persentase penurunan HbA1C dan GA akan sama pada minggu ke-16 setelah terapi. Rasio GA/HbA1C sangat menurun pada 8 minggu terapi, dan berangsur naik dalam 8 minggu berikutnya. Dengan demikian, GA dapat dijadikan parameter pemantauan yang lebih sensitif untuk mendeteksi perbaikan kontrol glikemik yang lebih dini ketika memulai atau sedang dalam proses pengobatan. Hal ini menjelaskan bahwa GA dapat menggambarkan efek pengobatan lebih baik, sehingga dokter dapat memberikan penyesuaian dosis obat yang diberikan kepada pasien dengan lebih efektif (Takahashi et al., 2007 ; Koga & Kasayama, 2010). 2.6.3.2 Pemantauan kadar glukosa darah pada pasien dengan dialisis dan anemia Telah diketahui jika pada kondisi pasien yang mengalami kerusakan ginjal tingkat akhir yang mengharuskan pasien menjalani hemodialisis, umur dari eritrosit menjadi lebih pendek. Hal ini menyebabkan penurunan kadar HbA1C (rendah palsu) sehingga pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan HbA1C tidak dapat dipakai dengan baik. Selama hemodialisis, uremia, kehilangan darah pada saat pengobatan, dan pengambilan darah secara frekuentif dapat berkontribusi pada pengurangan waktu paruh sel darah merah. Umur paruh eritrosit yang memendek dan transfusi dapat menurunkan kadar HbA1C, yang berpotensial untuk membuat penilaian kontrol glikemik tidak dapat digunakan. Studi menyebutkan bahwa kadar HbA1C relatif lebih rendah pada pasien diabetes melitus dengan dialisis dibandingkan dengan GA. Pada pasien PGK tahap akhir atau ESRD, kadar rendah HbA1C berkorelasi dengan rendahnya kadar hemoglobin dan tingginya dosis terapi eritropoietin (Peacock et al., 2008). Eritropoietin merupakan hormon yang dapat
mendorong pembentukan eritrosit dan meningkatkan kelangsungan hidup eritrosit. Namun, pasien dialisis dengan kadar hemoglobin rendah dapat mengurangi kelangsungan hidup eritrosit dan menurunkan waktu paruh hemoglobin yang tidak dapat diatasi dengan pemberian dosis tinggi eritropoietin. Hal tersebut menunjukkan bahwa GA dapat menjadi parameter yang lebih baik dibandingkan HbA1C pada pasien hemodialisis (Peacock et al., 2008). 2.6.3.3 Pemantauan kadar glukosa darah pada kehamilan Kontrol glikemik pada wanita hamil dengan DM atau diabetes gestasional menjadi sangat penting untuk menurunkan risiko terjadinya kematian janin, dan penyulit maternal. Studi menunjukan terjadi penurunan kadar HbA1C pada trimester kedua, dilanjutkan peningkatan yang cukup signifikan pada trimester ketiga kehamilan. Dari trimester kedua ke trimester ketiga kehamilan, kadar HbA1C meningkat dan kadar transferin jenuh serta feritin menurun, sedangkan GA tidak menunjukkan perubahan yang signifikan (Hashimoto et al., 2010 ; Danese et al., 2015). Perubahan kadar HbA1C selama kehamilan diduga disebabkan karena kekurangan zat besi. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar wanita hamil mengalami kekurangan zat besi. Kadar transferin dan feritin ditemukan relatif lebih rendah pada wanita hamil. Feritin merupakan protein penyimpan zat besi paling utama dalam tubuh, sedangkan transferin adalah protein yang membawa besi dalam darah. Kadar HbA1C didapatkan memiliki korelasi negatif dengan transferin jenuh
dan feritin. Kenaikan HbA1C pada masa akhir kehamilan sangat dipengaruhi oleh kekurangan zat besi (Hashimoto et al., 2010 ; Danese et al., 2015). Korelasi terbalik antara HbA1C dan zat besi menyimpulkan bahwa kenaikan HbA1c terjadi akibat dari kekurangan zat besi di trimester ketiga kehamilan, baik wanita sehat maupun diabetes melitus. Hal ini menunjukkan bahwa HbA1C bukan indeks kontrol yang baik untuk pemantauan kadar glukosa darah pada kehamilan. Pada kasus ini, karena GA tidak terpengaruh oleh kekurangan zat besi dan dapat merefleksikan perubahan jangka pendek rerata glukosa darah, GA dapat dijadikan parameter yang lebih baik sebagai pemantauan kadar glukosa (Hashimoto et al., 2010 ; Danese et al., 2015). 2.6.3.4 Pemantauan hiperglikemia postprandial dan fluktuasi glukosa Beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa hiperglikemia postprandial menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular. Studi
Funugata
menunjukkan bahwa glukosa plasma postprandial dalam tes toleransi glukosa merupakan faktor risiko yang lebih kuat untuk kejadian kardiovaskular daripada glukosa plasma puasa. Selain itu dilaporkan bahwa pemberian α-glucosidase inhibitor acarbose untuk pasien dengan gangguan toleransi glukosa atau diabetes melitus dikaitkan dengan pengurangan risiko kardiovaskular (Tominaga et al., 1999). Lanjutnya, GA dapat menangkap perubahan pada kadar glukosa postprandial dibandingkan glukosa darah rerata dan HbA1C. Rasio GA/HbA1C pada pasien DMT1 yang lebih besar dibandingkan DMT2 memperlihatkan bahwa GA lebih menggambarkan fluktuasi tersebut, karena secara umum pasien DMT1
memiliki fluktuasi glukosa yang lebih tinggi dibandingkan DMT2. Berdasarkan fenomena tersebut, pada pasien DMT1 dan DMT2 yang tidak menunjukkan perbedaan pada kadar HbA1C, kadar GA signifikan lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa GA mungkin lebih kuat mencerminkan kadar glukosa plasma postprandial dan berbagai fluktuasi glukosa plasma dari HbA1C (Koga & Kasayama, 2010). Studi DCCT menunjukkan bahwa injeksi insulin intensif dapat mengurangi risiko retinopati dibandingkan dengan insulin konvensional pada pasien DMT1, bahkan pada keadaan dimana tidak ada perubahan kadar HbA1C. Injeksi insulin intensif diduga dapat menurunkan fluktuasi dan perubahan kadar glukosa darah, dan akan dapat menurunkan risiko kejadian mikroangiopati. Kadar glukosa postprandial ditemukan menjadi prediktor yang lebih baik untuk retinopati diabetik dibandingkan HbA1C pada DMT2. Kenaikan fluktuasi glikemik dan/atau perubahan glukosa postprandial telah menunjukkan adanya kenaikan risiko pada makroangiopati diabetik. GA sebagai parameter jangka pendek-menengah dapat menagkap perubahan/fluktuasi glukosa plasma. Yoshiuchi et al menjelaskan bahwa rasio GA/HbA1C lebih tinggi pada pasien DMT1 dibandingkan DMT2, dimana terjadi fluktuasi kadar glukosa darah yang cukup tinggi pada pasien DMT1 (Koga & Kasayama, 2010 ; Yoshiuchi et al., 2008). Studi DCCT menunjukkan bahwa secara independen, GA dan HbA1C menjadi parameter yang baik untuk risiko mikroangiopati. Korelasi paling kuat adalah ketika kadar GA dan HbA1C digabung sebagai parameter, sehingga saling mendukung dari potensi masing-masing pengukuran sebagai faktor risiko (Nathan et al., 2014).
5.2 GA sebagai penanda kontrol glikemik pada penderita DM Fruktosamin, GA, dan HbA1C, merupakan glycated protein non-enzimatik yang digunakan sebagai penanda kontrol glikemik pasien diabetes. GA merupakan bentuk formasi ikatan antara molekul-molekul albumin dan glukosa melalui reaksi oksidasi non-enzimatik. Serupa dengan fruktosamin, GA merupakan indeks kontrol glikemik yang tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin. Selain itu, GA mencerminkan status glukosa darah yang lebih pendek dibandingkan HbA1C, yakni 2-4 minggu sebelumnya. GA tidak dipengaruhi oleh kadar protein serum layaknya fruktosamin, karena GA menghitung rasio antara kadar albumin glikat dengan total albumin serum (Koga & Kasayama, 2010). Glukosa berikatan kuat dengan albumin serum pada 4 situs residu lisin, dan reaksi glikasi terjadi 10 kali lipat lebih cepat dibandingkan glikasi pada hemoglobin. Karena itu, GA dapat lebih menangkap fluktuasi dan perubahan status glikemik lebih cepat dan nyata dibandingkan HbA1C (Yoshiuchi et al., 2008). GA menggambarkan kendali glikemik dalam jangka waktu yang lebih pendek, namun GA tidak dipengaruhi oleh kadar albumin serum karena dihitung dari rasio albumin serum total. Beberapa studi pernah melaporkan nilai rujukan GA antara lain oleh Tominaga et al (1999) pada populasi orang Jepang adalah 12,3-16,9%. Penelitian oleh Kohjuma et al (2011) mendapatkan nilai rujukan GA pada populasi Amerika adalah 11,9-15,8%. Oleh Roohk & Zaidi (2008), target kendali glikemik yang diukur dengan parameter GA adalah <20%, dengan nilai normalnya adalah 1116%. Studi oleh Pu et al (2007), predective values dari GA dan HbA1C dalam menilai penyakit jantung koroner pada pasien DMT2 didapatkan area under
Receiver Operating Characteristic (ROC) curve GA adalah 0,620 (62%) lebih baik dibanding HbA1C (54,3%) dengan cut off point GA ≥19%. Dalam 15-20 tahun terakhir, selain GA, banyak publikasi laporan yang mendeskripsikan pemeriksaan penanda protein serum yakni fruktosamin (FA) sebagai metode untuk menilai status glikemik dalam periode intermediet (2-4 minggu). Dinamakan fruktosamin karena kesamaan struktur kimianya dengan fruktosa yang mengacu kepada jumlah semua ikatan ketoamin yang dihasilkan dari glikasi protein serum dalam sirkulasi. Pemeriksaan cepat untuk FA dijabarkan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1997, dan dilaporkan beberapa studi klinis dengan berbagai hasil, namun jalur komersil yang berliku untuk pemeriksaan ini membuat penyediaannya susah, dan saat ini sudah tidak lagi tersedia sebagai pemeriksaan komersil cepat. (Edelman et al., 2000; Roohk & Zaidi, 2008). 2.6.5 Kondisi yang mempengaruhi hasil GA 2.6.5.1 Sirosis hati Hati merupakan organ vital yang penting untuk meregulasi kadar glukosa plasma. Gangguan metabolik glukosa muncul secara frekuentif pada pasien dengan penyakit hati kronik, seperti hepatitis kronik dan sirosis hati. Pada pasien dengan penyakit hati kronik, sekitar 70-90% terdiagnosa memiliki gangguan toleransi glukosa dan 30-60% diantaranya adalah pasien DM. Sangat penting untuk tetap dapat mengontrol kadar glukosa darah pada pasien tersebut. HbA1C memiliki korelasi yang rendah pada pasien penyakit hati kronik, karena umur eritrosit yang memendek. Sebaliknya nilai GA dan fruktosamin lebih tinggi pada pasien tersebut, yang diduga karena memanjangnya masa paruh albumin serum yang dikarenakan
sintesis albumin yang menurun. Sangat sulit untuk memantau kadar glukosa darah pada pasien dengan penyakit hati kronik karena tidak ada parameter yang bekerja dengan baik pada kondisi tersebut (Koga & Kasayama, 2010). 2.6.5.2 Gangguan metabolisme albumin GA menunjukkan nilai yang lebih rendah pada pasien dengan sindrom nefrotik, hipertiroid dan pada pengobatan steroid seperti glukokortikoid dimana dapat meningkatkan metabolisme albumin. Penurunan kadar GA pada kondisi tersebut disebabkan karena memendeknya masa paruh albumin serum karena peningkatan metabolisme serum albumin. Sedangkan GA menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan kadar glukosa plasma pada pasien dengan sirosis hati dan hipotiroid dimana metabolisme albumin menurun (Koga & Kasayama).