BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja Akhir
1.
Pengertian Remaja Akhir Anak-anak dan remaja pada abad pertengahan dipandang sebagai bentuk miniatur dari orang dewasa (Santrock, 2007a). Rousseau (dalam Santrock, 2007a) mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja bukan bentuk miniatur dari orang dewasa. Hurlock (1980) menjelaskan adolescence (remaja) adalah istilah kata Latin yang memiliki arti “tumbuh menjadi dewasa”. Dalam masyarakat modern, perjalanan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan disebut sebagai masa remaja (adolescence) (Hurlock, 1980). Masa remaja merupakan masa peralihan yang melibatkan perubahan dalam aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berhubungan (Papalia dkk, 2009). Santrock
(2007a)
mendefinisikan
masa
remaja
sebagai
periode
transisi
perkembangan masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkan perubahanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional bermula pada perkembangan fungsi seksual yang diikuti oleh proses berpikir abstrak hingga kemandirian (Santrock, 2007a). Rousseau (dalam Santrock, 2007a) mengkategorikan masa remaja dari proses perkembangan penalaran yang ditandai oleh meningkatnya rasa ingin tahu pada usia 12 hingga 15 tahun, mulai matang secara emosional dan cenderung menaruh minat pada orang lain pada usia 15 hingga 20 tahun. Papalia dkk (2009) mengkategorikan usia remaja yang berawal dari usia 10 atau 11 tahun atau lebih awal sampai usia dua
11
12
puluhan awal. Sarwono (2013) mengkategorikan usia remaja dari usia 11 hingga 24 tahun. Santrock (2007a) membagi usia remaja menjadi dua katagori yaitu masa remaja awal dimulai dari usia 10 hingga 13 tahun dan remaja akhir berusia 18 hingga 22 tahun. Menurut Hurlock (1980), masa remaja awal yang dikategorikan sebagai usia belasan tahun dan masa remaja akhir sebagai usia belasan tahun hingga mencapai usia 21 tahun. Mönks, Knoers, & Haditono (2002) juga membagi masa remaja menjadi tiga kategori, yaitu masa remaja awal atau pubertas dimulai dari usia 12 sampai 15 tahun, masa remaja madya berusia 15 sampai 18 tahun, dan masa remaja akhir berusia 18 sampai 21 tahun. Sarwono (2013) mengemukakan tiga tahapan perkembangan yang dapat membantu remaja menyesuaikan diri untuk menjadi dewasa, yaitu remaja awal, remaja madya dan remaja akhir. Pada remaja awal, remaja belum memahami secara sepenuhnya berbagai perubahan fisik dan dorongan yang timbul akibat perubahan tersebut sehingga remaja sulit mengerti orang dewasa dan juga sulit dimengerti orang dewasa. Pada remaja madya, remaja memiliki kecenderungan untuk mencintai diri sendiri, berteman dengan teman-teman yang memiliki kesamaan sifat. Pada remaja akhir, terjadi proses penguatan atau penyatuan menuju masa kedewasaan yang ditandai oleh adanya minat yang kuat dalam kemampuan berpikir, keinginan ego untuk bergabung dengan orang lain dan mengalami pengalaman baru, identitas seksual yang tidak berubah, dapat menyeimbangkan kepentingan pribadi dengan orang lain, serta dapat memisahkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan umum. Kesimpulan yang didapat dari pemaparan diatas adalah remaja akhir merupakan individu yang berusia 18 sampai 21 tahun dan mengalami masa penguatan atau penyatuan menuju masa kedewasaan yang ditandai meningkatnya kemampuan berpikir, memiliki minat terhadap orang lain, mulai matang secara
13
emosional dan mampu menyeimbangkan kepentingan pribadi dan kepentingan umum. 2.
Gejolak-Gejolak Remaja Akhir Yang Berkaitan Dengan Problem Focused Coping Hall (dalam Santrock, 2007a) mengemukakan bahwa masa remaja mengalami gejolak yang dipenuhi konflik dan perubahan suasana hati sehingga menimbulkan pandangan badai dan stres (storm-and-stres-view) pada remaja. Beberapa gejolak pada masa remaja yang berkaitan dengan coping, yaitu: a.
Masa Remaja Sebagai Masa Mencari Identitas Diri Pada tahun awal masa remaja, remaja cenderung menyesuaikan diri dengan teman sebaya namun seiring berjalan waktu, remaja mulai mendambakan identitas diri dan tidak ingin memiliki kesamaan dengan teman sebaya (Hurlock, 1980). Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007a) pada masa remaja, individu mengalami krisis psikososial pada tahap kelima yaitu identitas diri versus kebingungan identitas. Remaja diharapkan dapat mengetahui lebih jauh mengenai diri, keunikan yang dimiliki dan tujuan hidup. Remaja cenderung melakukan eksplorasi identitas sehingga menimbulkan kesenjangan antara rasa aman pada masa kanak-kanak dengan otonomi masa kedewasaan (Santrock, 2007a). Erikson (dalam Santrock, 2007a) menjelaskan remaja yang tidak berhasil mencapai identitas diri akan mengalami kebingungan identitas sehingga remaja cenderung menarik diri, mengisolasi diri dari teman sebaya dan keluarga maupun membiarkan diri terbawa oleh dunia teman sebaya dan kehilangan identitas diri. Marcia (dalam Santrock, 2007a) mengemukakan tiga aspek penting dalam pembentukan identitas yaitu keyakinan bahwa orangtua
14
memberikan dukungan terhadap remaja, kemampuan menciptakan gagasan dan kemampuan merefleksikan diri. b.
Kondisi Emosi Masa Remaja Perubahan
fisik
mempengaruhi
kondisi
emosi
remaja.
Remaja
mengalami ketidakstabilan emosi dari waktu ke waktu karena dampak dari penyesuaian diri pada pola perilaku dan harapan sosial baru. Remaja tidak lagi menyampaikan emosi dengan perilaku atau gerakan meledak-ledak seperti anak-anak, namun cenderung menggerutu, berdiam diri atau mengkritik seseorang yang memicu emosinya (Hurlock, 1980). Kematangan emosi ditandai dengan kemampuan remaja menilai kondisi secara kritis sebelum menunjukkan reaksi secara emosional. Remaja yang mencapai kematangan emosi pada akhir masa remaja mempengaruhi cara mengungkapkan emosi yaitu dengan menunggu waktu dan kondisi yang tepat untuk mengungkapkan emosi dengan cara-cara yang dapat diterima. Untuk mencapai kematangan emosional, remaja harus belajar untuk memperoleh gambaran mengenai situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional dengan membicarakan masalah yang dialami dengan orang lain. Selain belajar memperoleh gambaran situasi, remaja juga belajar menggunakan katarsis emosi seperti latihan fisik, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis dalam menyalurkan emosi (Hurlock, 1980). c.
Hubungan Relasi Dengan Orangtua Remaja mengalami tekanan antara keinginan untuk bergantung dengan orangtua dan kebutuhan untuk mandiri. Tekanan yang dialami remaja cenderung dapat menyebabkan konflik dalam keluarga dan gaya pengasuhan orangtua yang mempengaruhi bentuk dan hasil dari konflik yang terjadi. Hal
15
tersebut menyebabkan orangtua harus bersikap hati-hati dan seimbang dalam memberikan kemandirian kepada remaja, serta orangtua diharapkan mampu melindungi dari kegagalan akibat dari ketidakmatangan remaja (Papalia dkk, 2009). Parke dan Buriel (dalam Santrock, 2007b) mengemukakan bahwa orangtua memiliki peran penting dalam mengawasi hubungan sosial remaja dan sebagai pengelola kehidupan sosial remaja. d.
Hubungan Dengan Teman Sebaya Teman sebaya memiliki pengaruh yang lebih besar dalam membentuk sikap, minat, penampilan, perilaku dan bahan pembicaraan dibandingkan dengan keluarga (Hurlock, 1980). Pada masa remaja jumlah waktu berinteraksi dengan teman sebaya cenderung meningkat. Remaja memiliki kebutuhan untuk disukai dan diterima teman sebaya atau kelompok sosial sehingga pandangan teman sebaya mengenai diri remaja merupakan hal penting bagi remaja. Teman sebaya adalah anak-anak atau remaja yang memiliki kesamaan dalam usia dan tingkat kematangan. Hubungan relasi yang baik antara remaja dengan teman sebaya
mempengaruhi
perkembangan
sosial
dan
berdampak
pada
perkembangan selanjutnya (Santrock, 2007b). Remaja cenderung memilih teman yang mempunyai minat dan nilai yang sama dengan diri remaja. Kesamaan minat dan nilai dengan teman sebaya menyebabkan remaja memiliki perasaan aman dan percaya dalam menceritakan masalah-masalah atau membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orangtua atau guru (Hurlock, 1980).
16
B. Problem Focused Coping
1.
Pengertian Problem Focused Coping Coping adalah usaha merubah pola pikir dan perilaku untuk mengatur tuntutan eksternal dan atau internal spesifik yang dinilai berat atau melebihi kemampuan individu (Lazarus & Folkman, 1984). Coping merupakan usaha dalam mengelola kebutuhan yang dinilai merugikan atau menguntungkan, usaha tersebut berlangsung di dalam pikiran dan perilaku (Lazarus, 1993). Compas (1987) menjelaskan Coping sebagai reaksi alami atau refleks dalam menghadapi serangkaian ancaman, serta respon belajar terhadap stimulus yang tidak menyenangkan. Kirchner, Forns, Amador, dan Munoz (2010) mengemukakan bahwa coping mengacu pada usaha mengelola pikiran dan perilaku secara sadar dalam menghadapi stres yang mengancam keseimbangan psikologis. Coping meliputi respon perilaku dan kognitif, dimana kontribusi respon perilaku dan kognitif bervariasi sesuai dengan kondisi yang memicu stres, tingkat perkembangan, dan gaya menanggapi stres. Menghadapi kondisi yang memicu stres menimbulkan reaksi coping dalam tindakan fisik atau mental. Coping digunakan untuk memunculkan motivasi untuk mengatasi kondisi yang memicu stres (Compas, Connor-Smith, Saltzman, Thomsen, & Wadsworth, 2001). Secara umum, fungsi coping dipengaruhi oleh kepentingan utama yang dipercayai individu, yaitu coping yang cenderung pada mengubah atau mengelola masalah yang menyebabkan kondisi stres, dan coping yang cenderung mengatur respon emosional terhadap masalah tersebut. Kecenderungan untuk mengubah atau mengelola
masalah
disebut
sebagai
problem
focused
coping,
sedangkan
kecenderungan mengatur respon emosi disebut sebagai emotion focused coping.
17
Pemaparan fungsi coping menimbulkan dua tipe strategi coping yang dapat digunakan individu dalam mengatasi masalah (Lazarus & Folkman, 1984), yaitu: a.
Problem Focused Coping Problem focused coping adalah usaha mengubah atau mengelola masalah yang dihadapi dengan melakukan confrontive coping, accepting responsibility, planful problem-solving, dan positive re-appraisal (Folkman dkk, 1986). Problem focused coping serupa dengan strategi yang digunakan untuk pemecahan masalah, seperti mendefinisikan masalah, menghasilkan solusi alternatif, menimbang kerugian dan manfaat alternatif sehingga dapat memilih salah satu alternatif, yang selanjutnya menentukan tindakan yang diambil. Problem focused coping memiliki susunan yang lebih luas dalam menggunakan strategi untuk mengatasi masalah dibandingkan hanya dengan menggunakan strategi pemecahan masalah (Lazarus & Folkman, 1984).
b.
Emotion Focused Coping Emosional focused coping tidak mengubah makna dari kondisi stres secara langsung, namun merubah cara individu dalam menginterprestasikan kondisi stres tanpa merubah kondisi tersebut dengan melakukan distancing, self-controling, seeking social support, dan escaape-avoidance (Folkman dkk, 1986). Emotional focused coping cenderung menyebabkan individu melakukan tindakan menghindari, meminimalisasi masalah, memisahkan diri dari masalah, membandingi secara positif, melihat nilai positif dari masalah untuk mengurangi tekanan emosional dari kondisi stres. Individu menggunakan emotional focused coping untuk mempertahankan harapan dan rasa optimis, menyangkal
fakta,
menolak
mengakui
sesuatu
yang
buruk
terjadi,
18
menunjukkan sikap seolah-olah kondisi stres tidak menganggu dan sebagainya (Lazarus & Folkman, 1984). Folkman dan Lazarus (1984) menjelaskan bahwa secara umum emotion focused coping cenderung digunakan ketika individu merasa tidak mampu mengatasi masalah yang mengancam atau kondisi lingkungan yang menantang, sedangkan problem focused coping cenderung digunakan individu ketika merasa diri bisa mengatasi masalah. Heppner dan Lee (dalam Santrock, 2007b) mengemukakan bahwa problem focused coping dapat bekerja lebih baik apabila digunakan dalam jangka waktu lama dibandingkan dengan emotion focused coping. Maka kesimpulan yang didapat adalah problem focused coping adalah usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi masalah dengan melakukan confrontive coping, accepting responsibility, planful problem solving, dan positive reappraisal 2.
Dimensi Problem Focused Coping Folkman, dkk (1986), memaparkan empat dimensi problem focused coping yaitu: a.
Confrontive coping adalah usaha yang dilakukan individu merubah kondisi atau situasi stres dengan mengekspresikan perasaan secara langsung terhadap sesuatu peristiwa atau terhadap individu yang menimbulkan stres seperti mengekpresikan perasaan terhadap seseorang yang menimbulkan masalah, tetap pada prinsip yang dimiliki dan berjuang untuk mempertahankan prinsip tersebut
sehingga
dengan
memiliki
kemampuan
confrontive
coping
menyebabkan individu mampu mengambil resiko dari kondisi stres yang dihadapi (Folkman dkk, 1986). b.
Accepting responsibility adalah sikap individu untuk memahami peran yang dimiliki ketika berada di kondisi yang menimbulkan stres dengan berusaha
19
untuk membuat kondisi tersebut kembali stabil seperti mengkritik atau introspeksi diri, meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk memperbaiki kondisi, membuat perjanjian dengan diri sendiri sehingga tidak melakukan kesalahan serupa dimasa mendatang (Folkman dkk, 1986). c.
Planful problem solving adalah usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi kondisi stres dengan bersikap tenang dan berfokus terhadap masalah. Individu melakukan analisis untuk melakukan pemecahan masalah dalam mengatasi kondisi stres tersebut seperti memahami apa yang telah diperbuat kemudian meningkatkan usaha untuk memperbaiki kondisi, membuat perencanaan dalam berperilaku atau membuat berbagai macam solusi untuk mengatasi masalah (Folkman dkk, 1986).
d.
Positive reappraisal adalah usaha individu untuk menciptakan makna positif dengan berfokus pada pengembangan diri seperti berubah atau berkembang menjadi diri yang lebih baik, mengetahui pengalaman yang didapat dari berbagai masalah sehingga membuat diri menjadi lebih baik dimasa mendatang. Individu dengan positive reappraisal memiliki sifat religious karena individu menemukan keyakinan baru (Folkman dkk, 1986).
C. Pola Asuh Autoritatif
1.
Pengertian Pola Asuh Autoritatif Pola asuh merupakan aktivitas kompleks yang melibatkan berbagai perilaku spesifik, dimana aktivitas tersebut bekerja sendiri dan bersama-sama mempengaruhi perkembangan anak (Darling, 1999). Baumrind (2005) menyebutkan ada dua faktor yang menentukan pola asuh, yaitu:
20
a.
Responsiveness Responsiveness merupakan tanggapan orangtua dalam membantu perkembangan anak dengan menyesuaikan diri, mendukung, dan menyetujui permintaan
anak
secara
tidak
langsung.
Orangtua
yang
memiliki
responsiveness cenderung memberikan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah. b.
Demandingness Demandingness merupakan tuntutan orangtua terhadap anak supaya berperilaku seperti harapan masyarakat dengan melakukan regulasi perilaku, konfrontasi secara langsung, menutut kedewasaan (kontrol perilaku) dan mengawasi aktivitas anak (memonitor). Baumrind (1991) mengemukakan empat tipe pola asuh yang digunakan
orangtua dalam membimbing anak, yaitu: a.
Pola Asuh Autoritatif Orangtua dengan pola asuh autoritatif mengarahkan anak untuk mampu beraktivitas secara rasional dan berorientasi pada masalah. Orangtua mengutamakan kualitas anak dan membentuk standar untuk masa depan anak. Orangtua menggunakan komunikasi dua arah dalam menetapkan suatu standar sehingga anak mengetahui alasan dari standar yang ditetapkan dan menyampaikan pendapatnya apabila terdapat standar yang dirasa memberatkan anak. Orangtua melibatkan anak dalam membentuk standar karena standar yang ditetapkan berlaku hingga di masa mendatang. Orangtua tidak memaksakan otoritas sebagai orang dewasa namun dapat menghargai kepentingan dan cara khusus yang dimiliki anak. Orangtua dengan pola asuh
21
autoritatif memiliki keseimbangan dalam memberikan responsiveness dan demandingness (Baumrind, 1966). Orangtua menggunakan alasan serta kekuatan dalam mencapai suatu tujuan. Orangtua dengan pola asuh autoritatif tidak membuat keputusan berdasarkan keinginan sendiri atau keinginan anak, karena orangtua autoritatif tidak memandang diri sebagai sosok yang sempurna (Baumrind, 1968). Orangtua mengharapkan anak dapat bersikap tegas, memiliki tanggung jawab, mandiri dan menjadi individu yang koperatif (Baumrind, 1991). b.
Pola Asuh Autoritarian Orangtua dengan pola asuh autoritarian membentuk, mengontrol dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Standar tersebut merupakan standar mutlak yang dirumuskan oleh otoritas tertinggi. Orangtua tidak menggunakan komunikasi dua arah dan menegaskan bahwa anak harus menerima pendapat yang diberikan orangtua. Orangtua menilai kepatuhan terhadap pendapat dan standar yang telah dibentuk sebagai kebijakan yang mulia dalam membatasi perilaku anak. Orangtua percaya dalam menempatkan anak sesuai dengan tempat, membatasi otonomi anak dan menetapkan tanggung jawab terhadap tugas rumah merupakan cara menanamkan rasa hormat anak dalan bekerja (Baumrind, 1966; 1968). Orangtua dengan pola asuh autoritarian memberikan demandingness namun tidak memberikan responsiveness. Orangtua menyediakan lingkungan yang tertib, peraturan yang jelas dan memantau aktivitas anak dengan hati-hati (Baumrind, 1991).
22
c.
Pola Asuh Permisif Orangtua dengan pola asuh permisif cenderung memenuhi kebutuhan anak, kurang mengarahkan anak, dan menujukkan sikap lemah lembut (Baumrind, 1991). Orangtua menunjukkan perilaku tidak memberikan hukuman, menerima dan menyetujui keinginan anak. Orangtua memberikan sedikit tuntutan dalam tanggung jawab terhadap tugas rumah dan perilaku. Orangtua tidak menempatkan diri sebagai individu yang dapat membentuk dan mengubah perilaku anak, namun menempatkan diri sebagai sumber dimana anak dapat memenuhi keinginan-keinginannya. Orangtua menghindari tindakan mengontrol anak dan tidak mendorong anak untuk memenuhi standar yang ditetapkan, namun mengijinkan anak untuk mengatur kegiatannya sendiri (Baumrind, 1966).
d.
Pola Asuh Tidak Terlibat atau Neglect Orangtua dengan pola asuh tidak terlibat atau neglect tidak menuntut ataupun memenuhi kebutuhan anak. Orangtua tidak memiliki struktur dan tidak memantau serta mendukung anak, karena secara aktif menolak bertanggung jawab dalam membesarkan anak (Baumrind, 1991). Darling (1999) menjelaskan bahwa orangtua dengan pola asuh tidak terlibat cenderung menolak dan mengabaikan peran orangtua dalam mengasuh anak. Pola asuh yang digunakan orangtua dapat memprediksi kesejahteraan anak
dalam aspek kompentesi sosial, kemampuan akademik, perkembangan psikososial dan perilaku bermasalah (Darling, 1999). Kopko (2007) menjelaskan bahwa orangtua dengan pola asuh autoritatif memiliki pengaruh terhadap perkembangan kesehatan remaja, menyediakan keseimbangan antara afeksi dan dukungan serta tingkat kontrol dalam mengelola perilaku remaja. Dampak yang timbul pada remaja adalah remaja
23
menjadi mandiri dan mengembangkan otonomi yang sehat dengan batasan, aturan dan pedoman yang telah ditentukan oleh orangtua. Orangtua autoritatif mengajarkan anak untuk melakukan komunikasi dua arah sehingga anak mengetahui alasan-alasan dari suatu keputusan yang dibuat dan mengembangkan kemampuan mendengar pendapat orang lain. Pola asuh autoritatif menyebabkan anak dan remaja lebih kompeten dalam bersosialisasi dibandingkan dengan orangtua yang menggunakan pola asuh selain autoritatif (Baumrind, 1991). Kesimpulan dari pemaparan yang telah disampaikan bahwa pola asuh autoritatif adalah pola pengasuhan dengan pemberian kontrol dan afeksi secara seimbang yang mengutamakan kualitas anak dengan melibatkan anak secara aktif dalam menetapkan standard melalui komunikasi dua arah dan membimbing anak untuk memiliki sikap yang tegas, bertanggungjawab, mandiri serta kooperatif. 2.
Konsekuensi Pola Asuh Terhadap Anak Darling (1999) mengemukakan bahwa responsiveness yang diberikan orangtua dapat memprediksi kompetensi sosial dan fungsi psikososial anak, sedangkan demandingness berhubungan dengan kompetensi instrumen dan kontrol perilaku. Tipe pola asuh yang diterapkan orangtua memiliki konsekuensi terhadap kesejahteraan anak dalam kompetensi sosial, prestasi akademik, perkembangan psikososial dan masalah perilaku. Konsekuensi yang ditimbulkan dari empat tipe pola asuh terhadap anak, adalah: a.
Pola Asuh Autoritatif Orangtua dengan pola asuh autoritatif menyebabkan anak memiliki kompetensi sosial dan instrument yang baik serta tidak terlibat dalam prilaku bermasalah. Anak cenderung dapat menyeimbangkan penyesuaian dan tuntutan ekstrenal dengan kebutuhan pribadi dan kemandirian (Darling, 1999).
24
b.
Pola Asuh Autoritarian Orangtua dengan pola asuh autoritarian menyebabkan anak menunjukkan prestasi yang moderat di sekolah dan tidak terlibat dalam perilaku bermasalah, tetapi memiliki kekurangan dalam kemampuan sosial, self-esteem yang rendah dan tingkat depresi yang tinggi (Darling, 1999).
c.
Pola Asuh Permisif Orangtua dengan pola asuh permisif menyebabkan anak terlibat dalam perilaku bermasalah dan memiliki prestasi yang rendah di sekolah, tetapi mereka memiliki self-esteem yang tinggi, kemampuan sosial yang baik dan tingkat depresi yang rendah (Darling, 1999).
d.
Pola Asuh Tidak Terlibat Orangtua dengan pola asuh tidak terlibat menyebabkan anak dan remaja menunjukkan prestasi yang rendah dalam semua bidang (Darling, 1999). Kesimpulan yang dari pemaparan yang telah disampaikan bahwa orangtua
yang menerapkan pola asuh autoritatif pada anak menyebabkan anak memiliki kemampuan sosial yang baik serta mampu menyeimbangkan diri
terhadap
penyesuaian dan tuntutan eksternal dengan kebutuhan pribadi dan kemandirian sehingga anak tidak terlibat dalam perilaku bermasalah. 3.
Pola Asuh dan Dimensi Pola Asuh Menurut Cross (2009) perlakuan orangtua terhadap anak dapat diuraikan menjadi 19 dimensi yang berkaitan dengan affect maupun control. Tipe pola asuh yang diterapkan oleh suatu keluarga didasarkan pada dimensi yang menonjol dari kesembilanbelas dimensi sebagai berikut: a.
Pleasure (Pl) : kesenangan dalam menjalani peran orangtua.
b.
Displeasure (DP): keengganan dalam menjalani peran orangtua.
25
c.
Confidence (Cn) : kepercayaan diri dalam menjalani peran orangtua.
d.
Respect (Rt): orangtua menghormati otonomi anak dengan menunjukkan sikap tidak instruktif, mengenali kompetensi anak, melakukan negosiasi dengan anak.
e.
Limit setting (LS): menetapkan perilaku anak yang diharapkan orangtua, konsisten dalam menunjukkan batasan, secara langsung menghadapi konflik atau ketidakpatuhan anak.
f.
Expressiveness (Ex): orangtua mengekspresikan secara langsung perasaan, pikiran, kesenangan atau kesedihan.
g.
Maturity Demands (MD): menempatkan standard perilaku yang tepat untuk kapasitas dan tingkat perkembangan anak.
h.
Precision (Pr): ketelitian orangtua dalam menggunakan bahasa seperti menggunakan bahasa yang jelas, aktif bertanya untuk memastikan pemahaman anak.
i.
Structure (St): struktur yang disediakan orangtua seperti menyediakan informasi yang adekuat mengenai sesuatu yang harus diselesaikan, terdapat struktur situasi sehingga anak memahami tugas secara objektif, fleksibel dalam mempertahankan fokus pada sesuatu yang harus diselesaikan.
j.
Warmth (Wm): interaksi yang hangat antara orangtua dengan anak seperti menunjukkan sikap positif dan afeksi terhadap anak, menyediakan dukungan emosional.
k.
Coldness (Cl): interaksi yang dingin antara orangtua dengan anak seperti menunjukkan sikap acuh terhadap anak.
l.
Anger
(An):
tingkat
kemarahan,
ketidaksenangan,
permusuhan
yang
ditunjukkan orangtua terhadap anak secara langsung maupun tidak langsung.
26
m.
Responsiveness (Rn): orangtua memberikan respon terhadap anak seperti mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap ekspresi anak, mampu memahami kebutuhan anak dan menanggapi kebutuhan yang dirasakan
n.
Interactiveness (In): tingkat interaksi dua arah antara orangtua dengan anak.
o.
Creativity (Cr): tingkat kreativitas orangtua dalam interaksi dengan anak atau pemecahan masalah ketika berada dalam situasi sulit.
p.
Activity (At): tingkat aktivitas fisik dalam melakukan manipulasi objek ketika melakukan interaksi dengan anak.
q.
Happiness (Ha): tingkat kebahagiaan yang diekspresikan secara verbal atau non-verbal oleh orangtua.
r.
Sadness (Sa): tingkat kesedihan yang diekspresikan secara verbal atau nonverbal oleh orangtua.
s.
Anxiety (Ax): kecemasan atau ketakutan yang ditunjukan orangtua. High Control
Autoritarian
Autoritatif MD St At
Negative Affect
DP Cl
An Sa
LS Pr
Ax
Rn Cr
Wm Ha
Tidak Peduli
Rt Ex
Pl Cn
In
Positive Affect
Permisif Low Control
Gambar 1. 19 Dimensi pola asuh yang digolongkan sesuai dengan empat tipe pola asuh orangtua (Autoritatif, Autoritarian, Permisif, Tidak Terlibat/Neglect) (Cross, 2009).
27
Berdasarkan Gambar 1 menunjukan bahwa delapan dari sembilan belas dimensi yang menonjol dari pola asuh orangtua dapat dikategorikan ke dalam pola asuh autoritatif. Pola asuh autoritatif yang diterapkan orangtua memiliki affect yang positif dan control yang tinggi terhadap anak. Hal tesebut ditandai dengan orangtua menunjukkan sikap responsif terhadap anak, kreatif dalam berinteraksi dan memecahkan masalah, berinteraksi dua arah, menunjukkan kehangatan, menghormati otonomi anak, memiliki harapan terhadap perilaku anak, menggunakan bahasa secara hati-hati dalam berinteraksi dengan anak dan senang menjalani peran sebagai orangtua menunjukkan affect yang positif serta control yang tinggi (Cross, 2009).
D. Kecerdasan Emosional
1.
Pengertian Kecerdasan Emosional Sternberg dan Salovey (dalam Goleman, 2015), memandang kecerdasan secara luas yang merupakan kerangka kebutuhan manusia untuk meraih keberhasilan dalam hidup. Gardner (dalam Goleman, 2015) menjelaskan kecerdasan pribadi adalah kemampuan memahami orang lain, mengetahui motivasi dan cara kerja individu tersebut, serta bekerjasama dalam bekerja. Kecerdasan pribadi tidak dapat diabaikan karena memberikan hasil pemikiran yang intuitif dan akal sehat (Goleman, 2015). Salovey (dalam Goleman, 2015), mencantumkan kecerdasan pribadi yang disebutkan Gardner sebagai dasar dari definisi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi, motivasi diri, empati, dan membina hubungan. Kecerdasan emosional merupakan serangkaian ciri atau karakter yang memiliki dampak terhadap kehidupan individu (Goleman, 2015).
28
Ketrampilan kecerdasan emosi mempengaruhi ketrampilan kognitif yang menyebabkan individu dapat menggunakan potensi diri dengan maksimal. Individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi memiliki kecakapan pribadi yang menentukan cara individu dalam mengelola diri sendiri dan kecakapan sosial yang menentukan cara individu dalam menangani suatu hubungan sehingga kedua kecakapan tersebut mempengatuhi potensi yang dimiliki individu (Goleman, 2000). Kecerdasan emosional yang tinggi maupun rendah dan ketrampilan emosi mempengaruhi kehidupan emosional individu. Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dapat mengetahui dan mengatasi perasaan diri dengan baik dan memiliki kemampuan mengenali dan menghadapi perasaan orang lain secara efektif. Hal tersebut menyebabkan individu bekerja secara produktif dan dapat menguasai pola pikir yang menimbulkan kebahagiaan dan keberhasilan dalam kehidupan. Individu yang tidak memiliki kecerdasan emosional cenderung mengalami perdebatan dengan diri sendiri sehingga mempengaruhi kemampuan dalam memusatkan pikiran ketika bekerja dan tidak dapat berpikir dengan jernih (Goleman, 2015). 2.
Pikiran Rasional dan Emosional Individu memiliki dua jenis pikiran yaitu pikiran rasional untuk berpikir dan pikiran emosional untuk merasakan yang berpengaruh terhadap kecerdasan emosional individu tersebut. Pikiran rasional adalah suatu pemahaman yang individu sadari seperti kesadaran untuk bertindak hati-hati. Pikiran emosional adalah suatu pemahaman yang impulsif dan memiliki pengaruh yang besar terhadap individu. Pikiran rasional dan emosional memiliki sifat saling mempengaruhi dalam kehidupan mental individu karena emosi memberi informasi kepada pikiran rasional sehingga pikiran rasional memilah-milah informasi dari emosi (Goleman, 2015).
29
Bagian-bagian otak yang memiliki pengaruh terhadap pikiran rasional dan emosional adalah neokorteks dan amigdala. Neokorteks merupakan bagian otak yang melakukan proses pikiran rasional. Neokorteks memiliki fungsi mengumpulkan dan memahami informasi yang diberikan oleh indra sehingga dapat menambahkan informasi dari proses berpikir terhadap informasi yang diperoleh individu. Neokorteks memiliki peran dalam menyusun tindakan yang tepat, sedangkan respon yang menyebabkan individu bertindak merupakan peran dari amigdala (Goleman, 2015). Amigdala merupakan bagian otak yang mempengaruhi pikiran emosional. Amigdala memiliki fungsi untuk mengetahui makna emosional dan sebagai pusat ingatan emosional. Individu yang memiliki kerusakan pada amigdala sulit memahami dan merasakan perasaan serta menunjukkan sikap menarik diri dari lingkungan sosial. Amigdala dapat menganalisis informasi yang diperoleh indra dimana mengisyaratkan kesulitan sehingga menyebabkan tubuh menunjukkan reaksi seperti detak jantung dan tekanan darah meningkat dalam menghadapi informasi tersebut (Goleman, 2015). Amigdala mampu menyimpan ingatan dan respon emosional yang tidak disadari secara penuh, hal ini menyebabkan individu bertindak tanpa menyadari tindakan yang dilakukan. Amigdala menyisipkan ingatan emosional yang melekat pada fakta-fakta dari suatu informasi karena terjadi proses perangsangan dengan melibatkan hipokampus dalam mengenali makna dari informasi tersebut. Amigdala mampu membandingkan informasi yang terjadi saat ini dengan yang terjadi di masa lalu. Proses membandingkan informasi bersifat asosiatif yaitu ketika suatu informasi saat ini memiliki unsur kemiripan dengan di masa lalu maka amigdala akan memberikan respon terhadap pola pikir, emosi dan reaksi dengan cara-cara yang
30
serupa tanpa menganalisis lebih mendalam informasi yang didapat saat ini. Kecepatan
dalam
memberikan
respon
menimbulkan
ketidaktelitian
yang
menyebabkan individu bertindak secara irasional dan mempengaruhi hubungan antar individu (Goleman, 2015). Kesulitan dalam mengendalikan emosi menyebabkan pikiran emosional mendominasi pikiran rasional karena amigdala bekerja secara aktif dan terjadi kegagalan dalam mengaktifkan proses neokorteks yang berfungsi menjaga keseimbangan respon emosional. Untuk menghindari pikiran emosional yang mendominasi, maka dalam mengelola emosi dibutuhkan peran korteks prefrontal. Korteks prefrontal memiliki fungsi untuk mengatur reaksi emosi individu dengan melakukan penilaian terhadap informasi sehingga individu mampu menimbang reaksi yang ditunjukkan sebelum bertindak (Goleman, 2015). Pembelajaran emosi dalam kehidupan individu membantu dalam menyusun keputusan, karena hubungan antara amigdala dan neokorteks menjelaskan bahwa emosi memiliki peran penting dalam proses berpikir yang efektif untuk menyusun keputusan-keputusan yang bijaksana maupun berpikir jernih (Goleman, 2015). Hasil penelitian LeDoux (dalam Goleman, 2015) menunjukkan amigdala memiliki kendali terhadap sesuatu yang dikerjakan individu karena ketika otak berpikir, neokorteks sedang menyusun keputusan. Fungsi-fungsi amigdala dan pengaruh terhadap neokorteks merupakan inti dari kecerdasan emosional. 3.
Dimensi Kecerdasan Emosional Menurut Goleman (2000) kecakapan emosi adalah kecakapan dari hasil belajar berdasarkan kecerdasan emosional sehingga menghasilkan kinerja yang menonjol dalam pekerjaan dengan melihat berapa banyak potensi individu miliki (Goleman,
31
2000). Hubungan antara lima dimensi kecerdasan emosional dan 25 kecakapan emosi adalah sebagai berikut: a. Mengenali emosi diri Mengenali emosi diri atau kesadaran diri adalah usaha mengenali perasaan diri ketika perasaan tersebut terjadi. Kesadaran diri merupakan kemampuan mendasar dalam kecerdasan emosional sehingga dapat terbentuk kecakapankecakapan lain seperti mengelola emosi. Kesadaran diri membantu individu mengenali perasaan yang tidak menyenangkan dan membantu individu melepaskan diri dari perasaan tersebut. Ketidakmampuan menyadari perasaan menyebabkan individu terbawa oleh perasaan (Goleman, 2015). Goleman (2000) mengemukakan bahwa mengenali emosi menyebabkan individu memiliki tiga kecakapan emosi, yaitu: 1) Kesadaran emosi yaitu kemampuan individu mengenali emosi dan pengaruh dari emosi yang dirasakan. 2) Penilaian diri secara akurat yaitu kemampuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki individu 3) Percaya diri merupakan keyakinan mengenai harga diri dan kemampuan yang dimiliki individu. b. Mengelola emosi Mengelola emosi adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri dengan melibatkan usaha dalam mengatasi perasaan sehingga dapat tersampaikan secara tepat. Mengelola emosi membantu individu menyeimbangkan emosi bukan menekan emosi tersebut karena setiap perasaan dari emosi memiliki nilai dan makna tersendiri. Menyeimbangkan emosi merupakan kunci kesejahteraan emosi setiap individu (Goleman, 2015). Goleman (2000) mengemukakan bahwa
32
mengelola emosi menyebabkan individu memiliki lima kecakapan emosional, yaitu: 1) Pengendalian diri yaitu kemampuan individu dalam mengelola emosi dan impuls secara efektif. 2) Dapat dipercaya merupakan hasil yang diperoleh individu ketika menunjukkan kejujuran dan integritas 3) Kewaspadaan merupakan kemampuan
yang menyebabkan individu
diandalkan oleh oranglain dan mampu bertanggung jawab dalam menyelesaikan kewajiban. 4) Adaptibilitas yaitu kemampuan individu dalam menghadapi perubahan secara fleksibel. 5) Inovasi yaitu kemampuan individu menunjukkan sikap terbuka terhadap ide dan pendekatan baru serta informasi saat ini. c. Motivasi diri Motivasi diri adalah kemampuan individu menata emosi untuk mencapai tujuan. Individu yang memiliki motivasi diri cenderung memiliki harapan yang tinggi, dimana harapan memiliki peran dalam keberhasilan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas. Harapan memiliki arti bahwa individu tidak terbawa oleh kecemasan, tidak bersikap pasrah atau depresi dalam menghadapi tantangan atau kemunduran. Individu yang mampu melakukan motivasi diri juga memiliki sikap optimisme (Goleman, 2015). Seligman (dalam Goleman, 2015) mendefinsikan optimisme sebagai salah satu cara individu dalam memandang keberhasilan dan kegagalan. Individu yang optimis cenderung memandang kegagalan sebagai sesuatu yang dapat diubah sehingga individu dapat berhasil di masa depan. Reaksi emosional terhadap
33
kegagalan memiliki peran penting dalam meningkatkan motivasi diri. Optimisme memiliki arti bahwa segala sesuatu dalam kehidupan dapat terselesaikan. Keadaan flow juga dapat menimbulkan motivasi diri pada individu. Flow merupakan keadaan yang terbebas dari gangguan emosional dan paksaan. Flow melibatkan perasaan penuh motivasi yang ditimbulkan oleh individu dari hasil fokus pada suatu pekerjaan. Goleman (2000) mengemukakan bahwa motivasi diri menyebabkan individu memiliki tiga kecakapan emosional, yaitu: 1) Dorongan berprestasi yaitu kemampuan individu untuk meningkatkan atau memenuhi standar keunggulan. 2) Komitmen yaitu kemampuan tetap bertahan terhadap visi dan tujuan individu atau kelompok. 3) Inisiatif yaitu kemampuan yang menggerakan individu untuk menemukan kesempatan 4) Optimisme yaitu kemampuan individu dalam menerima kegagalan serta tantangan sebagai awal dari keberhasilan. d. Empati Empati merupakan radar sosial individu. Pada tingkatan terendah dalam empati meliputi kemampuan membaca emosi orang lain, namun pada tingkat tertinggi empati mencangkup kemampuan individu untuk menanggapi kebutuhan atau perasaan individu yang tidak tersampaikan (Goleman, 2000). Empati adalah kemampuan individu mengenali atau memahami perasaan yang dirasakan orang lain. Individu cenderung menunjukkan perasaan yang dirasakan melalui isyarat atau pesan non-verbal seperti gerak gerik, nada berbicara dan ekspresi wajah, karena kebenaran emosional terletak pada bagaiama individu menyampaikan sesuatu (Goleman, 2015). Kunci utama individu dalam berempati dengan terlebih
34
dahulu memahami secara mendalam emosi yang dirasakan oleh diri sendiri. Empati memiliki lima kecakapan emosional (Goleman, 2000), yaitu: 1) Memahami orang lain adalah kemampuan individu untuk mengetahui perasaan dan perspektif orang lain serta menunjukkan ketertarikan terhadap hal tersebut. 2) Orientasi pelayanan adalah kemampuan individu untuk mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. 3) Mengembangkan orang lain adalah kemampuan individu mengetahui kebutuhan orang lain untuk berkembang dan meningkatkan kemampuannya. 4) Mengatasi keragaman adalah kemampuan individu dalam menghadapi keragaman latar belakang yang dimiliki orang lain. 5) Kesadaran politis adalah kemampuan individu dalam membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan. e. Membina hubungan Membina hubungan merupakan kemampuan yang mendukung popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar individu. Dalam membina hubungan individu dapat menyampaikan perasaannya sendiri dan mampu mengatasi emosi orang lain. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan perasaan diri dan emosi orang lain menyebabkan orang lain merasa nyaman, sehingga disenangi serta dikenali oleh banyak orang (Goleman, 2015). Goleman (2000) mengemukakan bahwa membina hubungan menyebabkan individu memiliki delapan kecakapan emosional, yaitu: 1) Memberikan pengaruh yaitu kemampuan individu menyusun strategi untuk melakukan persuasif secara aktif
35
2) Komunikasi yaitu kemampuan individu menyampaikan pesan dengan menyakinkan dan jelas. 3) Kepemimpinan yaitu kemampuan individu dalam menimbulkan inspirasi dan memandu orang lain maupun kelompok. 4) Katalisator perubahan yaitu kemampuan individu memulai, mendorong dan mengelola perubahan. 5) Manajemen konflik yaitu kemampuan individu melakukan negosiasi dan mengatasi perbedaan pendapat. 6) Pengikat jaringan yaitu kemampuan individu dalam membangun hubungan sebagai media untuk memperluas jaringan. 7) Kolaborasi dan kooperasi yaitu kemampuan individu dalam bekerjasama dengan orang lain untuk tujuan bersama. 8) Kemampuan
tim
yaitu
kemampuan
individu
dalam
menciptakan
keseimbangan kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.
E. Peran Pola Asuh Autoritatif Dan Kecerdasan Emosional Terhadap Problem Focused Coping Pada Remaja Akhir
Santrock (2007a) mengemukakan bahwa masa remaja adalah sebuah periode transisi perkembangan masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkakn perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dibagi menjadi tiga kategori yaitu masa remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir (Mönk, Knoers & Haditono, 2002). Pada masa remaja akhir, remaja diharapkan sudah mampu menstabilkan gejolak-gejolak yang dialami sehingga remaja mampu mencapai identitas diri, kematangan emosi, hubungan relasi dengan orangtua dan teman sebaya yang baik (Santrock, 2007a). Remaja akhir yang mencapai kematangan emosi mampu mengatasi dan mengungkapkan emosi
36
secara tepat ketika menghadapi individu atau situasi yang memicu emosi (Ali dan Asrori, 2012). Remaja akhir yang mampu mengatasi dan mengungkapkan emosi secara tepat dalam menghadapi masalah merupakan perwujudan dari penggunaan problem focused coping. Problem focused coping adalah usaha yang dimiliki individu untuk tidak melibatkan emosi dalam mengatasi dan menghadapi kondisi stres atau masalah secara langsung (Lazarus & Folkman, 1984). Mengembangkan kemampuan problem focused coping pada remaja akhir dipengaruhi oleh peran pola asuh autoritatif. Wolfaardt dkk (2003) menjelaskan bahwa individu yang diasuh dengan pola asuh autoritatif cenderung mengembangkan coping secara aktif. Orangtua dengan pola asuh autoritatif memiliki interaksi yang hangat dengan anak karena menggunakan bahasa secara hati-hati dan jelas ketika memberikan respon penuh perhatian terhadap ekpresi anak. Individu menggunakan pola interaksi hangat dalam menghadapi orang lain sehingga menimbulkan kemampuan confrontive coping karena mampu mengekspresikan perasaan secara langsung terhadap sesuatu peristiwa atau individu yang menimbulkan stres. Pola asuh autoritatif dapat mengembangkan kemampuan problem solving atau pemecahan masalah individu. Kreativitas dalam interaksi maupun memecahkan masalah yang digunakan oleh orangtua dengan pola asuh autoritatif menyebabkan individu yang diasuh dengan pola ash autoritatif akan mampu mengembangkan pemecahan masalah yang terencana (planful problem solving) dengan menganalisis dan bersikap tenang dalam menghadapi masalah (Suparmi & Ngahu, 2006). Peran orangtua dalam mempersepsikan otonomi dan menstimulasi suasana keluarga mempengaruhi perilaku coping remaja (Seiffge-Krenke dan Pakalniskiene, 2011). Orangtua dengan pola asuh autortiatif juga menetapkan perilaku anak sesuai dengan yang diharapkan sehingga anak mampu bersikap tegas, bertanggung jawab mandiri dan
37
kooperatif (Baumrind, 1991; Kopko, 2007). Individu yang diasuh dengan pola asuh autoritatif cenderung memahami batasan-batasan dalam berperilaku dan peran yang dimiliki pada situasi tertentu sehingga individu mengembangkan kemampuan menerima tanggung jawab (accepting responsibility) atas tindakan yang dilakukan. Selain pola asuh autoritatif, kecerdasan emosional juga berperan dalam mempengaruhi individu mengembangkan problem focused coping (Fajarwati, 2005; Saptoto, 2010). Kecerdasan emosional adalah kemampuan dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi, motivasi diri, empati, dan membina hubungan (Goleman, 2015). Individu yang mampu mengenali emosi dan mengelola emosi akan mampu mengembangkan confrontive coping sehingga mampu mengekspresikan perasaan secara langsung dan tepat terhadap individu yang membuat masalah. Individu yang mampu mengenali emosi dan mengelola emosi cenderung akan mampu memotivasi diri, berempati dan membina hubungan dengan orang lain sehingga dapat mengembangkan planful problem solving, accepting responsibility dan positive reappraisal karena individu dapat bersikap tenang, fokus melakukan analisa, mampu memotivasi diri ketika menghadapi masalah, dan melakukan diskusi dalam melakukan negosiasi untuk menyelesaikan masalah (Fajarwati, 2005; Saptoto, 2010). Diagram peran pola asuh autoritatif dan kecerdasan emosional terhadap problem focused coping dapat dilihat pada gambar 2.
Keterangan Gambar 2. : Peran variabel bebas terhadap variabel tergantung : Variabel yang diteliti : Dimensi variabel
38
a. Kehangatan interaksi orangtua dengan anak b. Tegas dalam mengarahkan perilaku anak c. Tanggap memenuhi kebutuhan kasih sayang anak d. Menetapkan perilaku yang diharapkan
POLA ASUH AUTORITAITF
PROBLEM FOCUSED COPING
KECERDASAN EMOSIONAL
A. B. C. D. E.
Mengenali emosi/kesadaran diri Mengelola emosi Motivasi diri Kemampuan empati Membina hubungan
a. b. c. d.
Confrontive coping Accepting responsibility Planful problem solving Positive Reappraisal
Gambar 2. Diagram peran pola asuh autortiatif dan kecerdasan emosional terhadap problem focused coping remaja akhir.
F. Hipotesis Penelitian
1.
Hipotesis Mayor Pola asuh autoritatif dan kecerdasan emosional berperan terhadap problem focused coping remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter FK UNUD.
2.
Hipotesis Minor a.
Pola asuh autoritatif berperan terhadap problem focused coping remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter FK UNUD.
b.
Kecerdasan emosional berperan terhadap problem focused coping remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter FK UNUD.