mengarah pada persiapan memenuhi tuntutan dan peran sebagai orang dewasa (Santrock, 2002). Hurlock (2004) berpendapat bahwa remaja memiliki kebutuhan-kebutuhan psikologis diantaranya adalah keinginan untuk menentukan dan membuat keputusan sendiri. Hal ini dapat terlihat pada saat seorang remaja yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas kelas akhir yang sudah memulai memikirkan jenjang kelanjutan studi serta mulai memikirkan masa depannya dengan lebih serius. Menurut Super (dalam Brown & Associates, 2002) ada lima tahapan dalam perkembangan karir. Tahap pertama (Pertumbuhan: Usia 0-14 tahun), tahap ini meliputi empat subtahap yakni keingintahuan, fantasi, minat, dan kapasitas. Berawal dari tingkah laku anak yang dimotivasi oleh kebutuhan dan rasa ingin tahu, kemudian mulai menunjukkan minat terhadap berbagai pekerjaan hingga memilih pekerjaan yang paling dekat dengan minat. Tahap kedua (Eksplorasi: Usia 15-24 tahun), terdiri dari tiga sub tahap: (a) usia 15-17 tahun, remaja mulai mengkristalisasikan pilihan pekerjaan, (b) usia 18-21 tahun remaja mulai mempersempit pilihan karir mereka dan mulai mengarahkan tingkah laku agar dapat bekerja pada bidang karir tertentu, dan (c) usia 22-24 tahun, komitmen remaja masih sangat rendah dan sangat dipengaruhi oleh pengalaman kerja yang akan didapatkan. Tahap ketiga (penetapan: Usia 25-44 tahun), tahap ini seorang dewasa muda mulai membangun posisi di tempat kerja dengan mengadopsi budaya kerja organisasi dan menampilkan kerja yang memuaskan, tahap selanjutnya mulai menguatkan memperkuat posisi, membina hubungan baik dengan rekan kerja serta, serta kebiasaan kerja yang produktif. Tahap keempat (pemeliharaan: Usia 45-65 tahun), seseorang mempertahankan apa yang sudah dicapai sejak mulai bekerja, melanjutkan pekerjaan dengan selalu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan serta menemukan inovasi baru dalam menjalankan rutinitas. Tahap kelima (penurunan: Usia di atas 65 tahun) seseorang mengalami penurunan energi dan minat pada pekerjaan, mulai mengalami perlambatan, mengurangi pekerjaan dan menyerahkan kepada rekan kerja yang lebih muda serta mulai mempersiapkan masa pensiun. Melihat tahapan perkembangan karir di atas, usia SMA masuk rentang 15-19 tahun, masa ini dapat digolongkan sebagai masa remaja dengan tugas perkembangan
2
yang masuk dalam tahapan eksplorasi. Tahapan eksplorasi ini dapat digambarkan yaitu: remaja mulai mengambil langkah-langkah untuk menguasai keahlian dengan kristalisasi
pilihan-pilihan
pekerjaan
(Gati,
Krausz,
&
Osipow,
1996);
mempersiapkan diri untuk menjalankan suatu pekerjaan (Santrock, 2002); masuk pada tahap membuat keputusan karir (Creed, Patton, & Prideaux, 2006); serta membuat rencana karir dengan mencari informasi terkait dengan karir yang diminati (Susilowati, 2009). Sarwono (2005), mengamati gejala yang sama dari tahun ke tahun di Indonesia, yaitu lulusan tingkat pendidikan menengah umum tidak tahu akan meneruskan kemana. Tidak semua remaja pada tingkat pendidikan menengah umum dapat dengan mudah membuat keputusan karir, banyak diantaranya mereka mengalami fase keraguan sebelum mantap pada suatu jalur karir (Creed, Patton, & Prideaux, 2006). Keraguan tersebut termanifestasi sebagai kesulitan-kesulitan yang dihadapi individu dalam memutuskan karir (Gati, Krausz, & Osipow, 1996). Kurangnya informasi mengenai program pendidikan, lapangan kerja yang akan dihadapi serta penghasilan yang akan diperoleh menambah kekhawatiran remaja dalam pengambilan keputusan karir (Gati & Amir, 2010). Penyebab hambatan pemilihan karir lainnya dikarenakan kurangnya informasi tentang diri dan dunia karir, minat karir yang tersebar luas, hingga kesulitan personal dalam pembuatan keputusan pilihan karir (Argyropoulou, Sidiropoulou-Dimakakaou & Besevegis, 2007). Fenomena menarik juga di temui di lembaga bimbingan belajar X di Yogyakarta. Lembaga bimbingan belajar ini masih diminati oleh siswa yang masuk kelas tinggi (Kelas VI, Kelas IX, dan Kelas XII). Akan tetapi bimbingan belajar masih fokus pada persiapan akademik saja, sedangkan siswa terutama kelas XII SMA membutuhkan banyak informasi terkait dengan beberapa jurusan yang ada di Perguruan Tinggi. Alasan siswa mengikuti bimbingan belajar salah satunya adalah mempersiapkan untuk kelulusan ujian nasional dan mempersiapkan masuk di perguruan tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan tim konselor Detection, selama periode tahun 2012-2013 menunjukkan bahwa 167 siswa kelas XII masih belum memiliki kesiapan untuk melanjutkan jenjang pendidikan di Universitas yang meliputi: tidak
3
mengetahui informasi mengenai jurusan di Perguruan Tinggi, belum menentukan jurusan yang sesuai dengan minatnya, masih bingung mau melanjutkan jurusan di Perguruan Tinggi, masih belum yakin dengan pilihan yang akan dipilih, dan belum membuat rencana pilihan mengenai jurusan. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti kepada 15 siswa yang melakukan konseling menunjukkan bahwa 11 dari 15 siswa (73,33%) siswa belum memiliki pilihan dan menentukan jurusan di Perguruan Tinggi. Keluhan yang sering muncul dari siswa adalah mereka belum siap untuk memilih jurusan dan tidak tahu akan memilih jurusan apa di Perguruan Tinggi. Diperkuat juga Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Syahraini (2011) kepada siswa kelas XI di kota Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa 57,76% mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan untuk memilih jurusan. Permasalahan lain terkait pengambilan keputusan karir juga terjadi pada siswa yang mengikuti kegiatan Crash Program di lembaga bimbingan belajar X tersebut, 100 dari siswa yang mengikuti program tersebut 55% siswa mengaku belum memiliki bayangan untuk memilih jurusan di Perguruan Tinggi. Ada banyak alasan yang membuat siswa tersebut belum bisa memilih jurusan, diantaranya adalah siswa belum banyak memiliki informasi tentang jurusan di perguruan tinggi, siswa belum yakin apakah jurusan yang akan dipilih sesuai dengan kemampuan dirinya, dan ketidaksesuaian antara keinginan orang tua dan keinginan siswa. Permasalahan tersebut membuat siswa belum bisa mengambil keputusan untuk memilih jurusan di Perguruan Tinggi. Peneliti juga melakukan screening dengan menggunakan angket yang disebar kepada kelas XI di 4 sekolah Negeri dan Swasta di Kota Yogyakarta. Angket berisi sejumlah pertanyaan untuk melihat apakah siswa sudah memiliki pilihan jurusan di Perguruan Tinggi. Jumlah siswa yang mengisi angket adalah 157 siswa, dari jumlah siswa yang mengisi angket 43% persen belum memiliki pilihan di Perguruan Tinggi. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan sementara bahwa masih banyak siswa SMA kelas XII masih belum bisa mengambil keputusan karir terkait pemilihan jurusan di Perguruan Tinggi. Hal ini tidak sejalan dengan tahapan perkembangan karir menurut Super (Brown & Associates, 2002) pada usia remaja
4
15-19 tahun memasuki tahapan perkembangan eksplorasi karir dan idealnya akan memiliki banyak informasi sehingga sudah bisa menentukan pilihan karirnya. Idealnya karir merupakan salah satu bagian dari kehidupan yang memiliki pengaruh pada kebahagiaan manusia, oleh karenanya ketepatan dalam memilih dan menentukan pilihan karir menjadi titik penting dalam perjalanan hidup manusia (Germeijs & Verschueren, 2007). Dengan demikian pengambilan keputusan karir merupakan suatu hal yang penting karena karir seseorang akan menentukan berbagai segi kehidupan (Santrock, 2002). Banyak dari siswa kelas XII yang mengaku kesulitan dalam memilih jurusan, hal ini menyebabkan siswa merasa cemas dan bingung harus melakukan apa ketika tidak bisa memilih jurusan di Perguruan Tinggi. Pengambilan keputusan karir merupakan tahapan yang yang harus dihadapi oleh siswa. Pengambilan keputusan karir adalah proses memilih karir dan membentuk komitmen untuk mengimplementasikan pilihan karir tersebut (Brown, 2002). Pemilihan karir menjadi tugas individu yang melibatkan pengambilan keputusan dengan resiko yang sudah pasti dan jelas atau keputusan yang masih belum pasti (Greebank, 2009). Ketidakpastian sebagai suatu kondisi dengan resiko kesalahan dapat terjadi bila konsekuensi dari keputusan tersebut tidak dipahami secara utuh atau peluang hasil yang diharapkan dari keputusan tersebut tidak pasti. Gati, Krausz, & Osipow (1996), menyatakan bahwa keputusan karir adalah suatu proses yang digunakan seseorang untuk menentukan keputusan yang paling tepat dengan mempertimbangkan segala resiko. Sementara itu, Brown & Associate (2002) menyatakan bahwa pengambilan keputusan karir adalah proses yang tidak hanya berkaitan dengan keputusan karir tetapi meliputi membuat komitmen untuk mencapai tindakan yang dibutuhkan. Pengambilan keputusan karir dalam hal pendidikan dan pelatihan itu sendiri yakni memilih jurusan di Perguruan Tinggi, memilih program studi, atau peluang mengikuti pelatihan yang akan diikuti dalam rangka mencapai kompetensi secara keseluruhan (Sampson, Reardon, Peterson, & Lenz, 2004). Salah dalam memilih jurusan akan berdampak terhadap kehidupan individu di masa mendatang (Germeijs & Verschueren, 2007), yakni:
5
a. Problem psikologis, memilih jurusan yang tidak sesuai dengan minat diri, seperti pilihan orang tua, mengikuti teman atau trend dapat menurunkan daya tahan terhadap tekanan, konsentrasi, dan daya juang. b. Problem relasional, misalnya agresif karena kompensasi dari inferioritas di pelajaran, seperti merasa tidak nyaman, tidak percaya diri, menjadi pendiam, menarik diri dari pergaulan, lebih senang mengurung diri di kamar, dan takut bergaul. c. Problem akademis, seperti prestasi yang tidak optimal, kesulitan dalam memahami materi dan memecahkan persoalan, ketidakmampuan untuk mandiri dalam belajar, banyak mengulang mata kuliah yang berdampak pada bertambahnya waktu dan biaya serta dapat mempengaruhi motivasi belajar dan tingkat kehadiran yang berujung pada rendahnya nilai indeks prestasi. Salah satu dampak dari pemilihan pendidikan yang kurang tepat adalah fenomena Drop out atau putus sekolah ditingkat Perguruan Tinggi (Susilowati, 2009). Hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 18 Januari 2014 kepada 5 mahasiswa yang akhirnya memilih pindah jurusan karena merasa tidak cocok dengan jurusan yang dipilih. Mereka memilih untuk pindah jurusan karena tidak bisa mengikuti perkuliahan dengan baik, jarang masuk kuliah, dan berakibat nilainya tidak maksimal. Alasan mereka tidak cocok dengan jurusan yang dipilih karena merasa salah memilih jurusan. Beberapa faktor yang membuat individu belum mampu mengambil keputusan karir disebabkan antara lain karena mereka tidak membuat target karir, mengalami kebingungan dan berada dalam kondisi kurang nyaman ketika dalam membuat sebuah target (Germeijs, Verschueren, & Soenens, 2006). Kesulitan dalam mengambil keputusan karir bisa terjadi, antara lain ketika individu mulai mengambil keputusan dan harus memilih keputusan yang paling tepat (Gati, Krauzs, dan Osipow, 1996). Kesulitan yang muncul pada awal proses pengambilan keputusan dapat disebabkan karena kurangnya kesiapan yang dimiliki oleh individu yaitu kesiapan terkait dengan informasi terkait jurusan dan analisis diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi remaja dalam pengambilan keputusan terhadap pilihan karir adalah faktor dalam diri dan faktor dari luar diri. Faktor dalam
6
diri yang mencakup inteligensi, kepribadian, prestasi, aspirasi, dan pengetahuan tentang wawasan karir. Faktor dari luar diri mencakup jenis pekerjaan dan penghasilan orang tua, pendidikan tertinggi orangtua, status sosial ekonomi keluarga, harapan orangtua terhadap pendidikan anak, pekerjaan yang didambakan dan dicita-citakan orang tua terhadap anaknya, stigma masyarakat terhadap pilihan jurusan, gender, serta pengaruh teman sebaya (Albion & Forgarty, 2005; Germeijs & Verschueren, 2009; Keller & Whiston, 2008; Nawaz & Gilani, 2011; Santrock, 2003; Tang, 2009). Natalie, Kosine, Steger, & Duncan (2008), menjelaskan bahwa individu dikatakan matang atau siap untuk membuat keputusan karir jika pengetahuan yang dimilikinya untuk membuat keputusan karir didukung informasi yang adekuat mengenai pekerjaan berdasarkan eksplorasi yang telah dilakukan. Sejalan dengan pendapat di atas Gati, Krausz, & Osipow (1996), menyatakan bahwa agar efektif dalam membuat keputusan karir, individu harus memiliki informasi mengenai analisis diri, lingkungan karir yang akan dipilih, serta mengintegrasikan keduanya sebagai dasar dalam proses pengambilan keputusan karir. Permasalahan dalam pengambilan keputusan pemilihan studi lanjut dianalisis berdasarkan teori dari Bandura. Konsep (reciprocal determinism) menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan person, environment, dan behavior. Person di sini terkait dengan pengetahuan informasi tentang analisis diri dan wawasan karir yang dimiliki oleh siswa. Environment terkait dengan orangtua, lingkungan sekitar, dan teman sebaya. Behavior adalah bagaimana siswa dapat melakukan pengambilan keputusan pemilihan studi lanjut yang dipengaruhi oleh person dan environment. Pengetahuan dan informasi tentang karir serta analisis diri berpengaruh terhadap kesiapan siswa dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan pemaparan permasalahan di atas penting untuk dilakukan usaha pendampingan pada siswa untuk mempersiapkan diri agar bisa mengambil keputusan secara tepat. Dengan demikian diharapkan ada satu alat intervensi yang digunakan untuk membantu siswa agar bisa melakukan pengambilan keputusan dengan tepat. Splete dan Pietrofesa (1975) mengungkapkan bahwa pemahaman diri,
7
pengetahuan tentang karir, dan penetapan tujuan serta rencana karir merupakan tiga faktor penting dalam pengambilan keputusan. Teori proses pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh Pietrofesa dan Splete (1975). Dalam teori tersebut dijelaskan ada lima hal penting dalam membuat sebuah keputusan, yaitu: pemahaman akan proses pengambilan keputusan karir, analisis diri, wawasan karir, analisis potensi dan pilihan karir, dan eksekusi (memilih, merencanakan, dan bertindak). Pengambilan keputusan karir merupakan proses yang bertahap meliputi, (1) penilaian terhadap diri sendiri, (2) mengeksplorasi berbagai kemungkinan, (3) menyusun rencana karir, (4) melakukan tindakan, dan (5) mengevaluasi hasil. Splete dan Pietrofesa (1975) mengungkapkan bahwa terdapat lima faktor penting dalam proses pengambilan keputusan karir, yakni: 1. Memahami proses pengambilan keputusan karir Proses pengambilan keputusan karir menekankan pada pentingnya proses kognitif dalam menggabungkan pengetahuan tentang diri sendiri dan pengetahuan tentang karir yang ingin ditekuni. Menurut Katz (dalam Splete dan Pietrofesa, 1975) proses pengambilan keputusan karir melibatkan pemikiran yang logis tentang kemungkinan resiko yang dihadapi saat membuat sebuah keputusan karir. Adapun faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan karir yaitu : (a) Faktor psikologis dan sosiologis, (b) Kesiapan dalam membuat sebuah keputusan karir, (c) Aspirasi, (d) Persepsi. 2. Pemahaman diri Pemahaman diri yang dimaksud mencakup sikap, kemampuan, bakat, kebutuhan, kepribadian, minat, dan gaya hidup. Pemahaman individu atas dirinya (kelebihan dan kekurangan diri) akan membantu individu dalam pengambilan keputusan karir. Menurut Friel dan Carkhuff (dalam Splete dan Pietrofesa, 1975), langkah pertama untuk pengembangan karir seseorang adalah mengeksplorasi dan memahami diri.
8
3. Pengetahuan tentang karir Informasi karir meliputi pengetahuan yang dimiliki individu terkait pekerjaan, tugas-tugas yang dilakukan dalam setiap pekerjaan, persyaratan kerja, pendidikan, serta training atau pelatihan khusus yang dibutuhkan dalam setiap pekerjaan. Informasi tentang karir dapat diperoleh melalui berbagai sumber seperti : (1) informasi audio visual (film, kaset, radio, televisi, majalah, surat kabar, tabloid), (2) pengalaman (orang yang sudah memiliki pengalaman kerja di bidang tertentu, study tour), (3) mengikuti program-program pengembangan karir (workshop), (4) pengalaman kerja praktek, (5) informasi dari internet, (6) guru di sekolah, konselor karir. 4. Mempertimbangkan alternatif pilihan karir dan dampaknya Hasen (dalam Splete dan Pietrofesa, 1975) mengungkapkan bahwa individu harus mengidentifikasi alternatif pilihan karirnya dan meramalkan kemungkinan sukses atau tidaknya. Setiap alternatif pilihan karir harus dipertimbangkan dampaknya supaya seseorang merasa nyaman dengan pilihannya. Menurut Friel dan Carkhuff (dalam Splete dan Pietrofesa, 1975), ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam membuat keputusan karir, yakni aspek fisik, emosional, dan intelektual. Individu dituntut untuk dapat berpikir secara realistis dalam mempertimbangkan berbagai macam alternatif pilihan karir dan memilih karir yang memiliki dampak negatif paling kecil serta dampak positif yang paling besar untuk dirinya. 5. Memilih, merencanakan dan bertindak Apabila individu memahami proses pengambilan keputusan, memahami dirinya, mencari informasi tentang karir, dan mempertimbangkan segala macam kemungkinan dampak yang terjadi atas pilihan karirnya, maka individu telah dianggap siap untuk menentukan pilihan karirnya dan membuat rencana untuk menggapai pilihan karirnya. Intervensi yang telah dilakukan sehubungan dengan karir menggunakan model yang bervariasi. Program-program intervensi ini terbukti cukup memberikan efek positif dalam merencanakan, memilih, dan menentukan karir (Brown & McPartland, 2005; Mau, 2000). Intervensi tersebut antara lain: Konseling karir
9
Individual (Sangganjanavanich & Magnuson, 2011), Konseling karir kelompok (Austin, Wagner, & Dahl, 2004; Lestari, 2010), model portofolio (Dowd, 2010), klub karir dengan menggunakan penugasan secara individual (Wessel, Christian & Hoff, 2003), Interview (Amundson, Borgen, Iaquinita, Butterfield, & Koert, 2010; Kuijpers & Scheerens, 2006), Kelas kursus (Fouad, Cotter, & Kantamneni, 2009; Reese & Miller, 2006; Scoot & Ciani, 2008), Workshop (Hirschi & Lage, 2007), dan Pelatihan (Krumboltz & Hamel, 2000; Notta & Soresi, 2003; Wang, Zhang, & Shao, 2010). Pada dasarnya, berbagai intervensi karir tersebut menggunakan variabel yang sama yaitu, perencanaan karir untuk meningkatkan keterampilan pengambilan keputusan karir, hanya saja dirancang dengan teknik berbeda Pelatihan kelompok merupakan salah satu cara yang efektif dalam meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan karir, sebab melalui interaksi antar
anggota
kelompok
peserta
dapat
merasakan
pengalaman
positif;
mengidentifikasikan dan mengeksplorasi kemampuan diri; membuat perencanaan; membangun pengetahuan rasional mengenai pilihan karir; serta belajar mengambil keputusan karir (Krumboltz & Hamel, 2000; Teuscher, 2002; Wang, Zhang, & Shao, 2010). Dalam perspektif sosial kognitif yang dikemukakan Bandura (1986), pembelajaran melalui pengamatan dikenal dengan istilah observational learning. Pelatihan dengan metode observational learning ini dirancang untuk meningkatkan keterampilan dalam pengambilan keputusan karir melalui empat tahapan belajar, yakni attentional processes, retention processes, production processes, dan motivational processes. Dalam pelatihan, peserta akan diajak untuk mengamati berbagai perilaku orang lain melalui video dan pengamatan langsung melalui berbagai aktivitas. Dengan mengamati, peserta akan mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang nantinya dapat digunakan untuk membentuk pola perilaku baru Pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelatihan pengambilan keputusan yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Pietrofesa dan Splete (1975). Dalam teori teori tersebut dijelaskan ada lima hal penting dalam membuat sebuah keputusan, yaitu: Memahami proses pengambilan keputusan karir, pemahaman diri seseorang, pengetahuan tentang karir, mempertimbangkan alternatif
10