BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Keberadaan
Badan
Penasihatan,
Pembinaan
Dan
Pelestarian
Perkawinan (BP4) di Indonesia 1. Latar Belakang Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Tingginya penghargaan terhadap nilai-nilai perkawinan dan meningkatnya mutu perkawinan sehingga terwujuad keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan sejahtera menurut ajaran Islam, diperlukan bimbingan yang terus menerus dari korps penasehat perkawinan yang mempunyai akhlak yang tinggi sehingga mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Dalam rangka mewujudkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan tercapainya tujuan tersebut mutlak diperlukan adanya organisasi masyarakat yang senantiasa memberikan nasihat kepada pasangan suami istri terutama yang sedang mengalami masalah. Organisasi tersebut diberi nama Badan Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP-4). Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) ini tidak diatur dalam undang-undang atau Peraturan Pemerintah, faktor kebutuhanlah yang mendorong berdirinya organisasi ini. Pada tahun 1950-1954 dilakukan penilaian terhadap statistik nikah, talak dan rujuk (NTR) di seluruh Indonesia dan ditemukan fakta-fakta yang menunjukkan labilnya perkawinan mencapai 60-70% (Lili Rasjidi, 1983: 35). Hal tersebut terjadi karena petugas NTR hanya
14
mengawasi dan mencatat pernikahan, sedangkan pemeliharaan dan perawatan selanjutnya diserahkan kepada suami istri. Bukanlah tugas Departemen Agama untuk menyelesaikan kasus krisis perkawinan (rumah tangga) hal tersebut mengakibatkan
tingginya angka perceraian dan banyak diantaranya yang
sewenang-wenang, dalam hal ini hanya wanitalah yang menderita. Selain karena hal diatas, Zaini Ahmad Noeh (1980: 189) menyatakan bahwa: ”Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) terbentuk karena belum efektifnya peran Pengadilan Agama dalam mempersukar terjadinya perceraian atau dalam arti mengurangi terjadinya perceraian. Namun, mereka selangkah lebih berhasil dalam memberikan konsultasi pada kesulitankesulitan perkawinan daripada pejabat NTR” Jadi, pada dasarnya Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) itu dibentuk karena meningkatnya angka perceraian dan labilnya perkawinan yang disebabkan oleh kurangnya berperanya petugas NTR dalam kasus percerian dan kurang efektifnya Pengadilan Agama dalam mempersulit terjadinya perceraian. Berdasarkan hal-hal tersebut, kantor urusan agama kota praja lebih dahulu merintis cita-cita kearah itu dengan dibentuknya SPP (Seksi Penasehat Perkawinan) se-Jakarta raya pada bulan April 1954 yang kemudian pada tahun 1956 berubah menjadi P-4 (Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian), sebagai sebuah organisasi masyarakat yang bergerak dibidang usaha mengurangi perceraian, mempertinggi nilai perkawinan dengan jalan memberikan nasihat bagi
15
mereka yang mengalami krisis. Usaha-usaha yang dilakukan P-4 ini berpengaruh luas kedaerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia. Pada tanggal 3 Oktober 1954 di Bandung, didirikan organisasi yang sejenis dengan nama BP-4 (Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian). Kemudian di Yogyakarta didirikan BKRT (Badan Kesejahteraan Rumah Tangga) pada tanggal 3 Januari 1960, seluruh organisasi yang sejenis meleburkan diri dan menjadi satu serta bersifat nasional dengan nama Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang berpusat di Jakarta dengan cabang-cabangnya diseluruh Indonesia. Berdirinya Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) ini dikukuhkan dengan surat keputusan Menteri Agama No. 85 tahun 1961 yang mengakui bahwa Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) satu-satunya badan yang berusaha dibidang penasihatan perkawinan dan pengurangan perceraian dalam rangka melaksanakan penetapan Menteri Agama no. 53 tahun 1958. Dengan keputusan Menteri Agama tersebut, BP-4 adalah badan resmi pemerintah. Dengan keputusan menteri Agama No. 30 tahun 1977 tanggal 18 Juni tahun 1977 diatur pengakuan atas Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) sebagai satu-satunya badan yang bergerak dibidang penasihatan perkawinan, pengurangan perceraian dalam rangka menunjang program Departemen Agama. Untuk landasan bergeraknya dipergunakan anggaran dasar Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang disahkan oleh konfrensi (BP4) ke-IV di Jakarta pada tanggal 20 Desember
16
1976 serta anggaran rumah tangga Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang tersebut diberi nama Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP-4) yang disahkan oleh rapat pleno pengurus Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) tanggal 18 Mei 1977 (Zaini Ahmad Noeh, 1980 : 191-192). Uraian di atas menunjukkan bahwa terbentuknya Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) tidak dilandasi dengan dasar hukum Undang-undang atau peraturan pemerintah pada awalnya, melainkan tumbuh dan berkembang dari masyarakat sehingga memperoleh pengukuhan serta pengawasan dari pemerintah. Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) berdasarkan pancasila dan berasaskan Islam, sedangkan sifatnya sebagai penunjang Departeman Agama dalam bidang penasihatan perkawinan dan pembinaan keluarga (rumah tangga) bahagia sejahtera. Tentang tujuan dan usaha BP-4 dikemukakan berturut-turut dalam pasal 3 dan 4 anggaran dasar. Tujuannya adalah mempertinggi nilai perkawinan dan terwujudnya rumah tangga sejahtera, bahagia menurut tuntutan Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut BP-4 mempunyai usaha- usaha sebagai berikut : 1. Memberikan nasehat dan penerangan tentang soal-soal nikah, talak, cerai dan rujuk kepada yang akan melakukannya serta khalayak ramai 2. Mengurangi terjadinya perceraian dan poligami 3. Memberikan bantuan dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan perkawinan dan perselisihan rumah tangga menurut hukum agama 4. Menerbitkan buku-buku atau brosur-brosur dan menyelenggarakan kursus-kursus, penataran, diskusi, seminar, dan sebagainya 5. Bekerjasama dengan instansi atau lembaga-lembaga yang bersamaan tujuannya didalam dan luar negeri 6. Lain-lain usaha yang dianggap bermanfaat (Lili rasjidi, 1983:38)
17
Memperhatikan tujuan maupun usaha-usaha yang dilakukan oleh Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) ternyata kedudukan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) mempunyai posisi penting bahkan posisi tersebut akan bertambah penting seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan jaman dimana penghargaan terhadap perkawinan terus-menerus merosot akibat gaya hidup bebas. Hidup bersama, kebebasan tercinta, kebebasan kawin cerai yang mulai tampil dimasyarakat merupakan suatu tantangan yang sangat berat bagi Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) untuk menanggulanginya. Adalah tugas Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) untuk memberikan suatu penerangan secara luas bahwa lembaga perkawinan adalah perwujudan paling sempurna untuk mengejar kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia.
2. Organisasi Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelesatarian Perkawinan (BP4) merupakan unit pelaksana dari Departemen Agama, oleh karena itu dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya maka telah diatur mengenai organisasi Badan Penasihatan, pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), yaitu dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 85 Tahun 1961 Jo Nomor 30 Tahun 1977 tentang Penegasan Pengakuan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) pusat. Adapun Organisasi Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), digambarkan sebagai berikut:
18
Struktur Organisasi Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4)
Kepala Seksi
Koordinator Kepenghulu an
Koordinator Keluarga Sakinah
Koordinator Produk Halal
Koordinator Ibadah Sosial
Koordinator Kemitraan Umat Islam
Gambar 2.1 (Sumber: Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4)) Surat keputusan ketua Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) kota Bandung nomor 15/8-K/BP4/IX/2005 tanggal 1 September 2005 tentang susunan Korp Penasihat Harian BP4 Kota Bandung Masa Bakti 2005-2009, adalah : Pembina
: Kepala Kantor Departemen Agama Kota Bandung
Pengarah
: Kepala Sub Bagian Tata Usaha
Ketua
: Drs. H. Aos Sutisna., M.Ag
Sekretaris
: Dra. Dedeh Sa’adah
Wakil Sekretaris
: Winny Widyasari
Bendahara
: Cucu Widyasari
19
Anggota
:
1. Drs. H. Ateng Muhaemin 2. Drs. Endang Syarifudin 3. Drs. H. Kiki Basuki Rahmat 4. Drs. H. Diding 5. Drs. H.A Syaepudin 6. Ahmad Hidayat., S.Sos 7. Bulon Sugiarto., BA 8. Dra. Lindawati
3.
Proses dan Metode Penasihatan Perkawinan Pada Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4) Pada umumnya, orang beranggapan bahwa memberi nasehat adalah suatu
pekerjaan yang gampang yang bisa dilakukan oleh siapapun. Jika pengertian nasehat disini hanyalah nasehat sebagaimana arti sehari-hari betul mudah tetapi bukan pengertian yang demikian yang dimaksud. Penasihatan secara ilmiah mempunyai pengertian tersendiri, dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu yang menguasai ilmu atau setidaknya menguasai metodenya. Karena itu metode penasihatan perkawinan perlu dipelajari dan lebih penting lagi adalah perlunya ada pengalaman langsung mapaun pengalaman tidak langsung. Proses dan metode penasihatan yang dipraktekkan oleh BP-4 pada saat sekarang berpedoman pada apa yang disarankan oleh seorang tokoh BP-4 yaitu
20
Almarhum KH Nasaruddin Latif dalam buku Lili Rasjidi (1983 : 53), yang menyatakan bahwa : ”Nasehat perkawinan adalah suatu proses pertolongan yang diberikan kepada pria dan wanita, sebelum dan atau sesudah kawin, agar mereka memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan dalam perkawinan dan kehidupan keluarganya”.
Nasehat yang diberikan sebelum kawin, ditujukan pada pemuda dan pemudi atau calon-calon suami istri agar mereka benar-benar siap untuk mengahadapi masalah-masalah perkawinan yang akan ditempuh. Ini berarti agar mereka meninsafi tanggung jawab masing-masing dalam mencapai kerukunan dan kebahagiaan hidup rumah tangga dan berkeluarga. Nasehat kepada mereka yang telah kawin lebih ditujukan pada usaha pemeliharaan agar hubungan perkawinan itu tetap berjalan lancar, rukun, harmonis dan terhindar dari segala macam godaan yang datang. Dengan demikian penasihatan perkawinan adalah suatu pelayanan sosial mengenai masalah keluarga khususnya hubungan suami istri. Tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya situasi yang menyenangkan dalam suatu keluarga sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Proses penasihatan perkawinan merupakan suatu proses yang relatif lama tidak hanya sekali saja. Namun hal tersebut relatif tergantung dari pasangan suami istri bersangkutan, bagaimana pemahamannya tentang arti sebuah keluarga (rumah tangga). Proses penasihatan perkawinan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1. Nasehat yang diberikan sebelum kawin, ditujukan kepada calon suami istri
21
2. Nasehat kepada mereka yang sudah kawin, ditujukan kepada pasangan suami istri yang sudah kawin dan memiliki masalah dalam perkawinannya Cara-cara pemberian penasihatan disebut metode penasihatan. Yang dimaksud dengan cara bukanlah sekedar tindakan saja, tetapi harus suatu tindakan yang terdiri dari langkah-langkah yang didasarkan kepada pertimbanganpertimbangan tertentu. Ada dua metode penasihatan yang digunakan oleh Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yaitu metode wawancara dan metode mendengar. Seperti yang dikemukakan oleh Lili Rasjidi (1983 : 53) bahwa : Terdapat beberapa metode penasihatan yang digunakan oleh Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) seperti wawancara dan mendengar. Dalam penggunaan metode wawancara terdapat beberapa teknik yaitu : 1. Direktif, penasihatan berupa memahami dan memperhatikan segi-segi permasalahannya dan setelah itu menasehati mereka untuk melakukan sesuatu 2. Non direktif, penasehat berupaya untuk menggerakan kemauan dan sikap memahami pada pasien dan mereka sendiri yang menentukan jalan apa yang akan ditempuh untuk menyalamatkan perkawinannya. Sedangkan dalam penggunaan metode mendengar terdapat tiga cara yaitu : 1. Hanya mendengarkan saja hal-hal yang diajukan para pihak 2. Mendengar sambil membimbing dengan mengemukakan pertanyaapertanyaan untuk menggali permasalahannya 3. Mendengar sambil memberikan bantuan pemecahan permasalahan yang dihadapi para pihak Penggunaan metode-metode tersebut tujuannya adalah sama, yaitu untuk menemukan permasalahan pokok yang menyebabkan pasangan suami istri tersebut mengajukan perceraian dan mencari jalan keluar yang paling baik demi keutuhan rumah tangga dari permasalahan yang dijadikan dasar perceraian
22
tersebut. Pemecahan dari masalah tersebut dilakukan sendiri oleh pasangan suami istri tersebut atau dengan bantuan langsung dari korps penasehat perkawinan. Hasil usaha Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Seperti yang terjadi di Semarang dan Jakarta angka perceraian berkurang cukup banyak, tetapi di tempat lain hampir tidak ada perubahan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya ketekunan para anggota korps penasehat perkawinan, tidak adanya peningkatan keahlian pegawainya serta kurangnya kerjasama dengan KUA setempat. Disamping itu Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) sendiri mengalami
hambatan
dalam
melaksanakan
tugasnya
hambatan
dalam
keanggotaan dan korps penasehat Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) keuangan dan pengadaan saran kantor seta fasilitas lainnya (Liili Rasjidi, 1983 : 54-57). Namun demikian, bagaimanapun keadaannya Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) tetap menjalankan fungsinya
dengan
sebaik-baiknya,
sehingga
tujuan
didirikannya
Badan
Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) untuk mempertinggi nilai perkawinan dan meningkatkan mutu perkawinan agar terwujud keluarga (rumah tangga) bahagia, sejahtera dan kekal menurut ajaran Islam dapat tercapai.
23
4. Komponen
Penasihatan
Perkawinan
Pada
Badan
Penasihatan,
Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Menurut Lili Rasjidi (1983: 62) setiap penasihatan perkawinan selalu terdiri dari empat komponen yaitu : Seseorang atau lembaga yang disebut dengan klien, baik pria maupun wanita yang akan melangsungkan pernikahan atau telah melangsungkan pernikahan Mempunyai problema atau masalah tentang perkawinan Suatu lembaga dimana lembaga ini diwakilkan oleh seorang penasehat maupun oleh suatu tim penasehat Nasehat atau konsultasi dan sejenisnya yang berlangsung secara terusmenerus dan merupakan proses yang relatif lama Keempat komponen itu akan selalu terdapat dalam penasihatan perkawinan, jika salah satu komponen penasihatan tidak ada pelaksanaan penasihatan perkawinan tersebut tidak sempurna atau tidak semestinya.
B. Arti dan Peran Pembinaan Pembinaan adalah proses, cara, perbuatan membina atau usaha yang berupa tindakan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Arti pembinaan dalam Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) ini adalah segala upaya pengelolaan berupa atau penanganan berupa merintis, meletakan dasar melatih, membiasakan, memelihara, mencegah, mengawasi,
menyantuni, mengarahkan serta mengembangkan
kemampuan suami istri untuk mewujudkan keluarga sakinah dengan mengadakan dan menggunakan segala daya, upaya dana yang dimiliki atau proses membina kepada calon pasangan suami istri dengan cara bukanlah sekedar tindakan saja, tetapi harus suatu tindakan yang terdiri dari langkah-langkah yang didasarkan
24
kepada pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk mempertinggi nilai perkawinan dan terwujudnya rumah tangga sejahtera, bahagia menurut tuntutan Islam. Usahausaha yang dilakukan Badan Penasihatan Pembinaan Dan Pelestarian Perkawinan (BP4) dalam membina rumah tangga sebagai berikut : Terdapat beberapa metode pembinaan yang dilakukan oleh Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), yakni : 1. Memberikan materi mengenai kesehatan seperti HIV, AIDS dampak dan akibatnya 2. Bekerja sama dengan Pemerintah Daerah (PEMDA) dan Dinas Kesehatan untuk mempersiapkan pengantar imunisasi TT1 atau TT2 Terdapat beberapa metode pembinaan dan penasihatan yang digunakan oleh BP 4 seperti wawancara dan mendengar. Dalam penggunaan metode wawancara terdapat beberapa teknik yaitu : 1. Direktif, penasihatan berupa memahami dan memperhatikan segisegi permasalahannya dan setelah itu menasehati mereka untuk melakukan sesuatu 2. Non direktif, penasehat berupaya untuk menggerakan kemauan dan sikap memahami pada pasien dan mereka sendiri yang menentukan jalan apa yang akan ditempuh untuk menyalamatkan perkawinannya. Sedangkan dalam penggunaan metode mendengar terdapat tiga cara yaitu : 1. Hanya mendengarkan saja hal-hal yang diajukan para pihak 2. Mendengar sambil membimbing dengan mengemukakan pertanyaapertanyaan untuk menggali permasalahannya 3. Mendengar sambil memberikan bantuan pemecahan permasalahan yang dihadapi para pihak Memperhatikan
usaha
pembinaan
yang
dilakukan
oleh
Badan
Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) tersebut ternyata kedudukan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) mempunyai posisi penting bahkan posisi tersebut akan bertambah penting seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan jaman dimana penghargaan terhadap
25
perkawinan terus-menerus merosot akibat gaya hidup bebas seperti hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, kebebasan bercinta, kebebasan kawin cerai yang mulai tampil dimasyarakat merupakan suatu tantangan yang sangat berat bagi Badan Penasihatan,
Pembinaan
dan
Pelestarian
Perkawinan
(BP4)
untuk
menanggulanginya. Adalah tugas Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) untuk memberikan suatu penerangan dan pembinaan secara luas bahwa lembaga perkawinan adalah perwujudan paling sempurna untuk mengejar kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia.
C. Tinjauan Tentang Arti dan Maksud Perkawinan 1.
Arti dan Maksud Perkawinan Pengkajian tentang hukum perkawinan di seluruh dunia pada prinsipnya,
hampir sama saja. Dunia menganggap perlu adanya ikatan perkawinan antara pria dan wanita. “Tidak pandang golongan dan suku bangsa serta kecerdasan yang dimiliki, Pendeknya setiap golongan manusia mempunyai hukum perkawinan” (Tamar Djaja 1982: 105 ). Seperti yang diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 : ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sini jelas bahwa pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal tidak mungkin tercapai apabila di dalam rumah tangga tidak tercipta suasana damai. Islam berpendapat bahwa “perkawinan bukan saja satu jalan amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi juga sebagai satu
26
jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lain dan mempunyai pertalian yang seteguh-teguhnya antara suami-istri dan turunan” (Mr. Haji Abdullah Siddik, 1983 :27-28). Betapa tidak, karena perkawinan dibayangkan Al-Qur’an sebagai perpaduan dari dua jiwa yang pada hakikatnya merupakan kesatuan. Yang dimaksud dengan perpaduan dari dua jiwa di dalam Al-Qur’an yaitu rasa kasih sayang, rasa cinta mencintai yang timbul dari hubungan akrab dan mesra antara suami dan istri karena perkawinan. Huda Khattab (1996: 88) mengatakan “perkawinan tidak dimaksudkan sebagai arena pertengkaran antara pria dan wanita dan tidak pula sebagai tempat untuk memenjarakan kaum wanita atau menghadapi mereka dengan cara kasar, tetapi sebagai suatu lembaga yang menawarkan perlindungan, kemantapan bagi suatu pasangan dan anak-anak yang mungkin didapatkan dari perkawinan tersebut”. Menurut H.S.A Alhamdani (1989:19) ”banyak hikmah yang dapat diperoleh dari perkawinan baik bagi yang bersangkutan, bagi masyarakat maupun bagi kemanusiaan pada umumnya”. Hikmah perkawinan tersebut, yakni : “bahwa perkawinan itu mententramkan jiwa, menahan emosi, menutup pandangan dari segala yang dilarang Allah dan untuk mendapat kasih sayang suami istri yang dihalalkan Allah”. Sesuai dengan Firman Allah Ar-Rum ayat 21, berikut ini : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya; dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir”
27
Manfaat lainnya yaitu bahwa perkawinan itu untuk mengembangkan keturunan dan untuk menjaga kelangsungan hidup, Nabi bersabda : “Kawinlah perempuan yang kamu cintai dan yang subur, karena saya akan bangga dengan jumlahmu kepada Nabi-nabi lain di hari kiamat” (Riwayat Ahmad). Hikmah lainnya yaitu untuk menjalin ikatan kekeluargaan, keluarga suami dan keluarga istrinya, untuk memperkuat ikatan kasih sayang sesama mereka. Karena keluarga yang diikat dengan ikatan cinta kasih adalah keluarga yang kokoh bahagia. Kamal Mukhtar (1974: 2) menyatakan bahwa “persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya, mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan”. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadinya suatu perkawinan sangat diperlukan. Dalam hal ini telah terjadinya suatu akad (perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya, sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar membuktikannya. Hal ini ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dinyatakan bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Allah SWT menyatakan bahwa nikah itu bukanlah suatu perjanjian (ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari pihak calon suami atau wakilnya) yang biasa saja, tetapi adalah suatu perjanjian yang sangat kuat, hal ini tertuang pula dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 230 berikut ini : “Bagaimana kamu mengambil harta yang telah kamu berikan kepada bekas istrimu, padahal sebahagian kamu telah bercampur
28
(bergaul) dengan yang lain suami istri. Dan mereka (Istri)-mu telah mengambil dari janji yang kuat”. Sejalan dengan itu perkawinan menurut agama Islam mempunyai unsur-unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti pula telah menyempurnakan sebagian dari agama. Sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa yang telah dianugrahi Allah istri yang saleh, maka sesungguhnya ia telah mengusahakan sebagian agamanya. (HR Ath-thabrani dan Al-Hakim dan dinyatakan oleh Shaheh sanadnya). Dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia dan harus dilakukan. Dengan kata lain, orang-orang yang tidak melakukuan pernikahan tanpa alasan yang tepat, berarti tidak melaksanakan dan mengikuti sunah Rasulullah dan mengingkari fitrahnya sebagai manusia.
2. Tujuan Perkawinan Abdurrahman Ghazaly (2006: 22) mengemukakan “Allah menciptakan manusia di dunia ini terdiri atas dua jenis, yaitu pria dan wanita. Masing-masing dianugrahi dengan naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan”. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktivitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan. Dapat diperoleh kesimpulan bahwa aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinan pun hendaknya ditujukan
29
untuk memenuhi petunjuk agama, sehingga ada dua tujuan orang melangsungkan perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama. Mengenai naluri manusia seperti tersebut pada Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 14 : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak.” Adapun tujuan dari menikah adalah membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dengan arti memperoleh ketentraman, bathin, persatuan dan kasih sayang. Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 3 yakni “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”. Berdasarkan Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan lima hal seperti yang dikutip oleh (Abdurrahman Ghazaly 2006 : 24) sebagai berikut : a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab Sulaiman Rasjid (2004:401) mengemukakan mengenai tujuan pernikahan, sebagai berikut : a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna b. Suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan
30
c. Sebagai suatu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (istri) sehingga pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa satu kaum (golongan) untuk tolong-menolong dengan kaum yang lainnya Mahmud Junus (1956: 1) menyatakan “tujuan perkawinan ialah menuruti perintah Allah untuk memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Maksud diatas jelas bahwa perkawinan yang tidak dapat mendirikan rumah tangga dengan damai dan berkasih sayang serta cinta-mencintai antara keduanya, maka telah terlalu jauh dari tujuan perkawinan yang sebenarnya”. Oleh karena itu, untuk melestarikan hubungan yang harmonis dalam rumah tangga dan tercapai tujuan perkawinan yang diinginkan, masing-masing harus berupaya menyadari fungsinya sebagai suami atau istri dengan baik. Suami tanggung jawabnya mencari nafkah, mengatur dan melindungi istri dan anak. Sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga menyelesaikan pekerjaan di rumah, kebersihan, ketertiban dan mengasuh anak.
3. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menetukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu, dan takbiratul ihram untuk shalat atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. Nasharuddin Thaha (1967: 36) menyatakan nikah itu baru syah apabila mencukupi tiga perkara yang diperlukan :
31
1. Cukup dan lengkap rukun-rukun nikah 2. Cukup dan lengkap syarat-syarat nikah 3. Tidak ada sesuatu yang menghambat atau mencegah syah nikah itu Alhamdani (1989: 30) mengemukakan rukun perkawinan, yakni : Rukun perkawinan ada lima : 1. 2. 3. 4. 5.
Mempelai laki-laki Mempelai perempuan Wali Dua orang saksi Sighat ijab kabul
Dari lima rukun itu paling penting ialah ijab qabul antara yang mengakadkan dengan menerima akad. Menurut Imam Abu Hanifah yang dikutip oleh Nashruddin Thaha (1967: 37) disamping lima rukun perkawinan berpendapat pula bahwa perempuan yang telah boleh mengurus hartanya, boleh menikahkan dirinya. Adapun menurut Abu Jusuf dan Abu Tsur yang dikutip oleh Nashruddin Thaha (1967: 37) membolehkan perempuan menikahkan dirinya apabila diizinkan oleh walinya. Disamping itu ada pula ulama yang mengatakan bahwa saksi itu tidak perlu dalam perkawinan. Namun, Sabda Rasulullah SAW “Tidak sah pernikahan kecuali dengan (hadirnya) wali dan dua orang saksi dan dengan mahar (mas kawin) sedikit maupun banyak.” (HR. Tabrani) Sejalan dengan itu, perkawinan harus (wajib) dilakukan dengan ijab dan kabul yang dinamakan aqad nikah. Ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari pihak laki-laki calon suami atau wakilnya. Menurut Hanafi yang dikutip oleh Mahmud Junus (1956: 15) “boleh juga ijab dari pihak calon suami (wakilnya) dan kabul dari pihak perempuan (walinya atau wakilnya, jika perempuan itu telah balig lagi berakal, dan boleh kebalikannya)”. Aqad nikah
32
harus dilakukan dalam satu majelis dengan tidak ada perantaraan yang lama anatara ijab dan kabul, serta didengar oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Menurut Hanafi yang dikutip oleh Mahmud Junus (1956: 15) “boleh lama perantaraan antara ijab dan kabul, asal dilakukan dalam majelis, tetapi tidak dihalangi oleh sesuatu hal yang menunjukkan, bahwa salah satu pihak telah berpaling dari maksud perkawinan”. Ini dikemukakan untuk semata diketahui dan didasari bahwa hukum fiqih Islam adalah luas dan lebar, hanya tinggal kita memilih qaul yang mana yang dapat dan baik untuk di amalkan dalam perkawinan tersebut. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang tercantum dalam pasal 6-11 adalah sebagai berikut : Pasal 6 menyebutkan : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
33
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini 6. Ketentuan tersebut ayat 1 samapi dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain Pasal 7 menyebutkan : 1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun 2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita 3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6
Pasal 8 menyebutkan: Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya c. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri d. Hubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara sususan dan bibi/paman susuan e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin
Pasal 9 menyebutkan : Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-undang ini.
34
Pasal 10 menyebutkan : Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan lain yang dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 menyebutkan : 1. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu 2. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat 1 akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. Alhamdani (1989: 30) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul; Syarat-syarat suami : 1. Bukan mahram dari calon istri 2. Tidak terpaksa, atas kemauan sendiri 3. Orangnya tertentu, jelas orangnya 4. Tidak sedang menjalankan ihram haji Syarat-syarat istri : 1. Tidak ada halangan syar’i, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah 2. Merdeka, atas kemauan sendiri 3. Jelas orangnya 4. Tidak sedang berihram haji Syarat-syarat wali : 1. Islam 2. Laki-laki 3. Baligh 4. Waras akalnya 5. Tidak dipaksa 6. Adil 7. Tidak sedang ihram haji Syarat-syarat saksi : 1. Islam 2. Laki-laki 3. Baligh 4. Waras akalnya
35
5. 6. 7. 8. 9.
Adil Dapat mendengar dan melihat Bebas, tidak dipaksa Tidak sedang mengerjakan ihram haji Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul
Salah satu syarat menjadi wali atau saksi harus beragama Islam karena orang yang tidak bergama Islam tidak syah menjadi wali atau saksi. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qu’an Surat Al-Maidah ayat 51, berikut ini : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu) sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.” Dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara syarat dan rukun perkawinan ialah, bahwa rukun perkawinan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti lakilaki, perempuan, wali, akad nikah. Semuanya itu adalah sebagian dari hakikat perkawinan, dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan, jika tidak ada misalnya laki-laki atau perempuan. Maka hal itu disebut rukun perkawinan.
4. Hukum Perkawinan Islam Islam mengajarkan bahwa setiap muslim yang sudah memenuhi syarat (harta dan ilmu perkawinan) diperintahkan untuk segera menikah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Al-Qur’an surat An-Nisa Ayat 3, berikut ini : Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinlah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau emapt. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
36
Kamal Muchtar (1974: 15-17) mengemukakan hukum asal perkawinan adalah “mubah”, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-nur ayat 32, berikut ini : Dan nikahilah olehmu orang-orang yang tidak mempunyai jodoh di antara kamu, begitu pula budak-budak laki-laki yang saleh dan perempuanperempuanmu yang saleh. Jika adalah kamu fakir niscaya Allah akan mencukupkanmu dengan sebagian karunia-Nya dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. Dalam pada itu, hukum nikah mungkin menjadi wajib atau sunah, atau haram, atau makruh bagi seseorang, sesuai dengan keadaan seseorang yang akan kawin. Berikut ini hukum perkawinan menurut Kamal Muchtar (1974: 15-17) : 1. Wajib Orang yang diwajibkan kawin, yaitu bagi orang-orang yang sudah mampu, memenuhi syarat (harta dan ilmu), sedangkan ia tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, jika tidak segera menikah, dikhawatirkan terjerumus kepada perzinaan. Hal ini ditegaskan berdasarkan hadist Nabi SAW:
Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, telah berkata kepada kami Rasulullah SAW: “Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya. (HR. Bukhari dan Muslim) Alhamdani (1989: 20) menuturkan “kawin diwajibkan bagi orang yang akan menambah taqwa dan bila dikhawatirkan akan berbuat zina. Karena menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram adalah wajib Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan kawin.”
37
2. Sunah Orang yang disunahkan kawin, ialah orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin dan sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan perbuatan yang terlarang. Sekalipun demikian melaksanakan perkawinan adalah lebih baik baginya, karena Rasulullah SAW melarang hidup sendirian tanpa kawin. Hal ini ditegaskan pula dalam hadist Nabi SAW: “ Adalah Rasulullah SAW melarang dengan sangat hidup sendirian tanpa kawin, dan beliau bersabda: ”Kawinilah olehmu wanita-wanita yang pecinta dan peranak, maka sesungguhnya akan bermegah-megah dengan banyaknya kamu itu terhadap Nabi-nabi yang lain di hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Inu Hibban)
3. Makruh Orang-orang yang makruh hukumnya kawin ialah orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin. Pada hakekatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin, dibolehkan melakukan perkawinan, tetapi dikhawatirkan ia tidak dapat mencapai tujuan perkawinannya, karena itu dianjurkan sebaiknya ia tidak melakukan perkawinan.
Sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nuur ayat 33:
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian, dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budakbudak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu handak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allag adalah
38
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu) Yang dimaksud dengan “alat untuk nikah” yang tersebut pada ayat diatas ialah semua peralatan atau perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan pernikahan dan melangsungkan kehidupan suami istri, seperti: mahar, nafkah, dsb.
4. Haram Orang yang diharamkan kawin ialah orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin, tetapi kalau ia kawin diduga akan menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain, seperti orang gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 195 yang melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan : “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” Menurut Alhamdani (1989: 20) kawin diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban lahir bathin seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal dan kewajiban bathin seperti mencampuri istri.
5. Dasar Hukum Pelaksanaan Perkawinan a. Undang-Undang perkawinan nomor 1 Tahun 1974, diantaranya adalah : • Mengenai dasar perkawinan, terdiri dari lima pasal yaitu pasal 1 sampai dengan pasal 5
39
• Tentang syarat-syarat perkawinan, terdiri dari tujuh pasal yaitu dari pasal 6 sampai dengan pasal 12 • Tentang hak dan kewajiban suami istri, terdiri dari lima pasal yaitu pasal 30 sampai dengan pasal 34 • Tentang putusnya perkawinan serta akibatnya, terdiri dari empat pasal yaitu pasal 38 sampai dengan pasal 41 b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ke satu tentang Orang dan terdapat beberapa bab yang berkaitan dengan perkawinan diantaranya adalah : • Bab IV tentang perkawinan • Bab V tentang hak-hak dan kewajiban suami dan istri • Bab X tentang pembubaran perkawinan c. Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan Bab dan pasal mengenai perkawinan diantaranya : • Bab II mengenai Dasar-dasar perkawinan yang terdiri dari 9 pasal yaitu dari pasal 2 sampai dengan pasal 10 • Bab IV mengenai rukun dan syarat perkawinan, yang terdiri dari enam belas pasal yaitu dari pasal 14 sampai dengan pasal 29 • Bab XII mengenai hak dan kewajiban suami istri yang terdiri dari delapan pasal yaitu dari pasal 77 sampai dengan pasal 84, dari pasal 107 sampai dengan pasal 112 • Bab XVI tentang putusnya perkawinan terdiri dari tiga puluh enam pasal yaitu dari pasal 113 sampai dengan pasal 148
6. Akibat hukum dari terjadinya 1. Hak dan Kewajiban Istri Terhadap Suami Islam memberikan hak-hak sebagai wanita dan istri, namun dalam menuntut hak-hak, harus ingat juga tentang kewajiban-kewajiban tersebut. Istri tidak boleh mengharapkan semua hak-hak dari suami tanpa kemauan untuk
40
memikul beban tanggung jawab suami. Menurut Huda Khattab (1996: 96-104) berpendapat bahwa wanita berhak atas nafkah, rumah dan pakaian itulah yang harus diberikan oleh suami. Apa yang diberikannya untuk istri harus sama dengan apa yang diberikannya untuk dirinya sendiri. Istri juga berhak mendapatkan perlakuan yang adil dari suami, karena istri bukan sasaran untuk disakiti (baik jiwa maupun raganya). Kewajiban-kewajiban ini telah terangkum dalam hadist berikut ini : “Bahz ibn Hakim meriwayatkan: ”Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang aturan yang berhubungan dengan istri, dan beliau berkata: ’Berilah mereka makan seperti apa yang aku makan, berilah mereka pakaian seperti apa yang kau pakai dan jangan memukul atau menghina mereka.”(Kanz Al-Ummal) (Rahman dalam buku Role of Muslim Woman yang dikutip oleh Huda Khattab (1996: 97)). Kewajiban utama istri, menurut para ulama, adalah memelihara keutuhan perkawinan, dan ini dapat dikategorikan ke dalam hal-hal berikut : 1. Hubungan seksual, istri tidak diperbolehkan menolak berhubungan seksual dengan suaminya. Ini disebabkan perkawinandalam Islam adalah satu-satunya penyaluran gairah seksual secara alami yang sah. 2. Rahasia, Istri tidak diperkenankan membicarakan urusan keluarga dengan orang lain karena Islam mengajarkan jauh lebih baik untuk menjaga urusan keluarga agar tetap berada dalam keluarga. 3. Kepatuhan kepada suami, dalam hal ini kepatuhan kepada Allah SWT sangat diutamakan daripada kepatuhan kepada suami, misalnya jika seorang istri ingin melakukan ibadah puasa dan shalat dibulan Ramadhan dan karena sesuatu hal suaminya berusaha menghalanginya. Lain halnya jika istri ingin melakukan puasa sunah harus meminta izin kepada suami terlebih dahulu. 4. Kesetiaan, bahwa kesetiaan harus ada dipihak suami maupun istri, khususnya istri, hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34, berikut ini : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
41
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah SWT lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian apabila mereka mentaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk nenyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Wanita yang mulia adalah yang setia kepada suaminya, dan perilaku ini dapat tercermin dalam keluarganya; di banyak bagian dunia Islam, tinggi rendahnya kehormatan keluarga tergantung dari perilaku kaum wanitanya.
2. Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Istri Nashruddin Thaha (1956: 79) berpendapat bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah sebagai berikut : a. Berlaku sopan santun terhadap istrinya. Karena istri telah rela meninggalkan rumahnya/kampung halamannya untuk mengikuti suaminya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 18, berikut ini : “Pergaulilah wanita (istri) itu dengan lunak lembut, jika kamu membenci mereka, semoga dimana yang kamu benci itu, disitulah Allah meletakan kebaikan yang banyak.” b. Memberikan perhatian penuh terhadap istrinya dan selalu bermuka manis. Hal ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW, berikut ini : “Kaum mu’min yang sempurna ialah yang berbudi mulia dan jang ramah terhadap istrinya.” Karena dengan cara yang demikian, istri akan gembira dalam menghadapi rumah tangga. c. Setia didalam hubungan bersuami istri dan berpegang teguh terhadap kesulitan perkawinan. Didalam hubungan ini Rasulullah bersabda “Yang paling terbaik dari antara mu ialah orang yang terbaik pula terhadap istri dan anak-anaknya, maka kesetiaan dan kesulitan serta kejujuran itu, kebaikan yang bernilai tinggi.” d. Berusaha mempertinggi kecerdasan dan keimanan istri dengan bermacam-macam cara yang mungkin dilaksanakan. e. Berusaha untuk menguasai istri itu dengan melalui saluran-saluran hati dan jiwa bukan dengan mempergunakan gertak dan kekerasan. f. Memberikan kebebasan kepada istri untuk bergaul di tengah masyarakat dalm batasan tertentu.
42
g. Melapangkan hati dan tenang menghadapi kekurangan budi pekerti istri. Dalam hubungan ini Rasulullah bersabda yang artinya: “Siapa yang sanggup meladeni keburukan budi pekerti istrinya, kelak dia akan diberi pahala sama dengan pahala yang diberikan Allah kepada Ayub karena kesabarannya menderita cobaan. h. Mencukupkan pembelanjaan utamanya mengenai makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, perumahan serta perabotnya. Semuanya ini dilakukan dengan menurut kesanggupan suami. Didalam Al-Qur’an surat Ath-Talak ayat 7 Allah SWT menerangkan : “Wajiblah orang berkesanggupan memberi nafkah menurut kesanggupannya.” i. Tidak memaksakan bekerja keras dirumah tangga dan tidak boleh mengucapkan perkataan yang menyakitkan. j. Berpakaian pantas dan bersih dihadapan istrinya, karena perempuan senang melihat suaminya yang rapi dan teratur.
Abdurrahman Ghazaly (2006: 158-159) mengemukakan beberapa hak suami atas istri, sebagai berikut : a. Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat b. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami c. Menjauhkan diri dan mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami d. Tidak bermuka masam dihadapan suami e. Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami Hakim meriwayatkan kepada Aisyah : “Dari Aisyah ia berkata : ”Saya bertanya kepada Rasulullah SAW: Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap perempuan ? Jawabnya: Suaminya. Lalu bertanya lagi: Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap laki-laki ?Jawabnya: Ibunya.” Lebih lanjut Rasulullah SAW menguatkan sabdanya : “Andaikata aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan perempuan bersujud kepada kepada suaminya, karena begitu besar haknya kepadanya.”
43
D. Tinjauan Tentang Perceraian 1. Pengertian Perceraian Islam menganggap perkawinan bukan sebagai suatu sakramen, tetapi sebagai suatu kontrak dalam kehidupan yang sebagai jalan terakhir boleh dibatalkan melalui perceraian. Tujuan perkawinan adalah bukan saja untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna dalam mengatur rumah tangga dan turunan yang meliputi rasa cinta dan kasih sayang, tetapi juga sebagai satu tali yang amat teguh dalam memperkokoh tali persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri. Tetapi pada kenyataannya, tidak selalu tujuan perkawinan dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan terkadang sebaliknya yaitu tiada kesepakatan atau kerukunan antara suami istri apalagi sampai menimbulkan permusuhan yang berlarut-larut. Islam sebagai agama yang sempurna dan sesuai dengan akal sehat memahami keadaan yang seperti itu. Oleh karena itu ajaran agama Islam membuka kemungkinan perceraian (talak) demi untuk kepentingan kedua belah pihak. (Abdullah Siddik 1983: 97) Kamal Mukhtar (1974: 156) menuturkan “Perceraian” dalam istilah ahli fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak” berarti “membuka ikatan”, “membatalkan
perjanjian”,
“Furqah”
berarti
“bercerai”,
lawan
dari
“berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti: perceraian antara suami dan istri. Perkataan “talak” dan “furqah” dalam istilah fiqih mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum, ialah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang
44
telah ditetapkan hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya dari salah seorang suami atau istri. Arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja. Menurut Syaikh Hasan Ayuub (2005: 247) cerai adalah melepas ikatan pernikahan. Perceraian itu disyariatkan, dan dasar legalitasnya adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Didalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Q.S Al-Baqarah (2): 229). Allah SWT berfirman, ”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” Menurut hukum perkawinan Islam talak adalah tindakan terakhir, setelah diikhtiarkan segala daya upaya guna perbaikan kerukunan rumah tangga ketika jalan keluar alami tertutup bagi suami istri. Rasulullah bersabda, yang artinya : Demi Allah, di antara perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ialah talak.”, “Allah tidak suka kepada laki-laki dan perempuan yang senang kepada ganti-mengganti dalam persetubuhan” dan “Allah menjatuhkan laknat-Nya kepada laki-laki dan perempuan yang banyak mempergunakan perceraian guna nafsu birahinya. (HR. Abu Daud dari Ibn Umar)
2. Hakekat Hukum Perceraian Syakh Hasan Ayyub (2005: 248) mengemukakan bahwa hukum cerai ada lima macam. Yang pertama adalah wajib, yaitu cerainya orang yang melakukan ‘ila(sumpah suami untuk tidak menggauli istri) setelah menunggu apabila ia menolak fai’ah (kembali menyetubuhi istrinya) dicerai yang dilakukan dua hakam dalam kasus percekcokan apabila keduanya melihat cerai lebih baik bagi pasangan
45
suami-istri itu. Yang kedua, adalah makruh yaitu cerai tanpa ada hajat. Ada dua riwayat mengenai cerai ini : a. Hukumnya haram, karena mendatangkan mudharat bagi diri sendiri dan istri, serta menghilangkan maslahat yang mereka peroleh tanpa ada hajat. Karena itu hukumnya haram, sama seperti memusnahkan harta benda. Juga berdasarkan sabda nabi SAW, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain” b. Boleh, berdasarkan sabda Nabi SAW, “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah cerai.” Dalam lafazh lain disebutkan, “Allah tidak menghalalkan sesuatu yang lebih dibenci -Nya daripada cerai.” (HR. Daud, isnad-nya cacat). Cerai yang dibenci adalah yang tanpa hajat, dan Nabi SAW menyebutkan halal. Juga, karena cerai meniadakan pernikahan yang mengandung maslaha-maslahat yang dianjurkan, sehingga hukumnya makruh.
Ketiga, adalah mubah, yaitu ketika ada hajat, baik karena buruknya perangai istri dan pergaulannya dan karena istri dirugikan tanpa mencapai tujuan. Keempat, dianjurkan, yaitu ketika istri melalaikan hak-hak Allah yang wajib; seperti shalat dan sebagainya, dan suami tidak bisa memaksanya, atau suami mempunyai istri yang tidak menjaga kesucian moral. Dalam kondisi ini, tidak ada larangan melakukan ‘adhl (melarang istri menikah dengan orang lain dengan cara menahannya, padahal suami sudah tidak menyukainya) dan mempersulit istri dengan membayar tebusan kepada suami. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (QS. An-Nisaa 4 :19). Ada kemungkinan cerai dalam dua kasus ini menjadi wajib. Termasuk cerai yang dianjurkan adalah cerai dalam kondisi percekcokan, dan dalam kondisi dimana istri perlu melakukan khulu’ (perceraian atas permintaan istri dengan
46
kompensasi dari pihak istri) untuk menghilangkan kerugian darinya. Kelima, dilarang, yaitu cerai sewaktu haid atau dalam masa suci dimana suami telah menyetubuhinya. Ulama seluruh negeri dan zaman menyepakati keharamannya, dan disebut juga cerai bid’ah, karena orang yang mencerai itu menentang sunnah dan meninggalkan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, ”Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (QS. Ath-Thalaq 65: 1). Nabi Saw bersabda, “Dan bila mau, ia boleh mencerainya sebelum ia menyentuh. Itulah iddah yang karenanya Allah memerintahkan untuk mencerai istri.” (Muttafaq Alaih)
3. Faktor-faktor Penyebab Perceraian a. Khulu’ Abdurrahman Ghazaly (2006: 220) mengemukakan suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian. Dalam hukum Islam, perceraian terjadi karena terjadinya khulu’, zhihar, ila’ dan li’an. Menurut Kamal Mukhtar (1974: 181) “khuluk” berarti ”menanggalkan” seperti menanggalkan pakaian. Kemudian dipakai denga arti “menanggalkan istri”, karena istri itu adalah pakaian dari suami dan suami adalah pakaian dari istri, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187, berikut ini : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah kamu tetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempunakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
47
mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Menurut para fuqaha, khulu’ kadang dimaksudkan makna yang umum, yakni percerian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus dirinya agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Menurut Syaikh Hasan Ayyub (2005: 361) apabila istri membenci suaminya karena fisiknya, akhlaknya, agamanya, usianya yang tua, kelemahannya atau yang semisalnya, dan ia takut tidak menjalankan hak Allah untuk mentaati suaminya, maka ia boleh melakukan Khulu’ terhadap suaminya dengan memberi kompensasi untuk menebus dirinya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah SWT, “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.“ (QS. Al-Baqarah 2 :229) Hukum Islam memberikan jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’, sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami
untuk
menceraikan
istrinya
dengan
jalan
talak.
Dasar
hukum
disyari’atkannya khulu’ ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229, berikut ini Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (istri) kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang aniaya.
48
Sebagai dasar hukum dari hadist, sebagaimana dikemukakan oleh Alshan’ani bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syams bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah SAW mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya, sebagai berikut : Ya Rasulullah, terhadap Tsabit bin Qais saya tidak mencelanya tentang budi pekerti dan agamanya, namun saya membenci kekufuran (terhadap suami) dalam Islam. Maka berkata Rasulullah: “Maukah engkau mengembalikan kebunnya (yang dahulu diberikan sebagai mas kawin), kepadanya ? Istri Tsabit menjawab “mau”. Maka berkata Rasulullah (kepada Tsabit): Terimalah kebun itu dan talaklah ia satu kali (HR. Bukhari). Firman Allah SWT dan hadist Rasulullah SAW tersebut diatas, menjadi dalil disari’atkannya khulu’ dan sahnya terjadi khulu’ antara suami istri.
b. Zhihar Dalam bahasa Arab, kata Zhihar di ambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibunya, seperti ucapan suami kepada istrinya : ”Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku.” Menurut Alhamdani (1989: 236) “dimasa Jahiliyah zhihar dianggap sebagai thalaq, kemudian Islam membatalkannya dengan peraturan suami yang dilarang mencampurinya sebelum membayar kifarat”. Apabila seorang suami menzhihar istrinya dengan maksud untuk menthalaq maka tetap dianggap zhihar, sedang apabila menthalaq dengan maksud menzhihar maka jatuh thalaqnya.
49
Menurut
Abdurrahman Ghazaly (2006: 228) “syari’at Islam datang untuk
memperbaiki
masyarakat,
mendidiknya
dan
mensterilkannya
menuju
kemaslahatan hidup”. Hukum Islam menjadikan ucapan zhihar itu berakibat hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum zhihar yang bersifat duniawi ialah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang dizhihar sampai melaksanakan kaffarah zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulang perkataan dan sikapnya yang buruk itu. Sedangkan bersifat ukhrawi ialah bahwa zhihar itu berbuat dosa; orang yang mengucapkannya berat\rti berbuat dosa; dan untuk membersihkannya wajib bertaubat dan memohon ampunan Allah SWT. Dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah Al-Qur’an surat AlMujadilah ayat 2-4 dan surat Al-Ahzab ayat 4, berikut ini : Orang-orang yang menzhihar di antara kamu terhadap istrinya (perbuatan mereka itu tidak benar, karena) tiadalah mereka itu ibu-ibu mereka. Ibuibu mereka tiada lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa, (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah dan bagi orangorang kafir ada siksaan yang sanagt pedih.
Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 4 : Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. Dia tidak menjadikan istri-istri yang kamu zhihar itu sebagai ibumu. Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-
50
anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)
c. Ila’ Abdullah Siddik (1983: 111) mengemukakan ila’ adalah sumpah seorang suami yang tidak akan mencampuri istrinya. Mengenai ila’ ini Al-Qur’an mengaturkannya dalam surat Al-Baqarah ayat 226 dan 227 : “Kepada orangorang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya); maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 226 ) Bila sudah menunggu empat bulan kebencian hati suami tidak berubah atau terpengaruh atau melunak serta tetap melunak tidak mempedulikan istrinya, maka suami dapat menjatuhkan talak. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 227 : “Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar Lagi Maha Tahu.” Dari kedua ayat diatas aturan Tuhan bahwa orang yang melakukan ila’ itu diberi kesempatan selama empat bulan untuk memikirkan atau menarik kembali sumpahnya atau menceraikan istrinya. Sungguh bijaksana peraturan Tuhan, membatasi waktu empat bulan berpisah sementara untuk berfikir bagi laki-laki yang marah kepada istrinya. Hanya dalam hukum Islam istri tidak perlu keluar rumah suami dengan maksud baik yaitu agar mereka dapat terus bertemu dan dengan cara yang demikian Islam mengharapkan supaya mereka urung bercerai dan dapat hidup rukun kembali.
51
Abdurrahman Ghazaly (2006: 234) mengemukakan ada beberapa contoh ila’ adalah ucapan suami kepada istri, sebagai berikut : a. Demi Allah, saya tidak akan menggauli istriku b. Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuru istriku selama lima bulan c. Demi Allah, saya tidak akan mendekati istriku selamanya
d. Li’an Syaikh Hasan Ayyub (2005 :393) mengatakan bahwa li’an diambil dari kata la’n (melaknat), karena pada sumpah kelima, suami mengatakan bahwa ia menerima laknat Allah bila ia termasuk orang-orang yang berdusta. Menurut Alhamdani (1989: 241) li’an adalah sumpah seorang suami apabila ia menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu diucapkan empat kali, bahwa tuduhannya benar dan pada sumpah yang kelima ia menerima kutukan Allah SWT seandainya ia berdusta. Dasar hukum pengaturan li’an bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina ialah firman Allah SWT surat An-Nur ayat 6-7 : Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah SWT, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah SWT akan ditimpakan kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta Terhadap tuduhan suami itu, istri dapat menyangkalnya dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya, dan pada kesaksiannya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima
52
marah dari Allah SWT jika suami benar dalam tuduhannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur 8-9, berikut ini : Istrinya itu dapat dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya sebanyak empat kali atas nama Allah SWT bahwa suaminya itu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa murka Allah (akan ditimpakan) atas dirinya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada tiga macam ciri-ciri li’an, yaitu : a.
b. c.
Persaksian yang dilakukan oleh diri sendiri sebanyak empat kali yang dikuatkan dengan sumpah dan kesediaan masing-masing pihak menerima laknat Allah SWT. Masing-masing tetap pada pendiriannya Tidak ada satu alat bukti yang dapat diajukan sebagai bukti
E. Cara Penyelesaian Perceraian Cara penyelesaian perceraian adalah proses perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang hendak bercerai atau langkah-langkah yang harus ditempuh oleh pasangan suami istri yang hendak bercerai. Di dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, mengenai cara perceraian diatur mulai dari pasal 39 ayat (3) sampai pasal 40. Mengenai isi dari ketentuan pasal diatas, sejumlah ahli hukum berpendapat bahwa tata cara perceraian itu ada dua macam yatiu cerai talak dan cerai gugat. Menurut Lili Rasjidi (1983: 23) menyatakan bahwa tata cara perceraian dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Cerai talak, yaitu bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam. Maksud perceraiannya dapat diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat dimana mereka bertempat tinggal. 2. Cerai gugat, yaitu bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya selain Agama Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dan bagi Islam. Gugatan cerainya dapat diajukan kepada
53
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dimana mereka bertempat tinggal. Selanjutnya menurut K. Wantjik Saleh (1976:37) berpendapat bahwa : Dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan dan tentang tatacara perceraian dalam Peraturan Pemerintah dapat ditarik kesimpulan adanya dua macam perceraian, yaitu : 1. Cerai talak 2. Cerai gugat Sedangkan Hilman Hadikusuma (1990:171) menyatakan bahwa peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mengatur tatacara perceraian itu dalam dua cara, yaitu : 1. Cerai talak yang dapat dijatuhkan suami terhadap istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam melalui Pengadilan Agama, dan 2. Cerai gugat yang dapat dijatuhkan istri terhadap suami yang melangsungkan perkawinan menurut agama lain dari Islam atau menurut cara lain melalui Pengadilan Negeri.
Dengan demikian kedua tatacara perceraian itu dibedakan berdasarkan pelaksanaan perkawinan yang dilakukan, apakah menurut ketentuan agama Islam atau menurut ketentuan agama Budha, Kristen dan Hindu. Dan berdasarkan pula pada apakah permohonan atau gugatan perceraian itu datang dari pihak istri atau suami. Cerai talak bagi suami yang melangsungkan perkawinan menurut ketentuan agama Islam, sedangkan cerai gugat bagi mereka (suami/istri) yang melangsungkan perkawinan menurut ketentuan agama Kristen, Budha dan Hindu, dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut ketentuan agam Islam. Perbedaan dari pelaksanaan perkawinan menurut ketentuan agama, membedakan Pengadilan mana yang berhak menyelesaikan perkara perceraian
54
tersebut. Apakah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut ketentuan agama Islam, permohonan atau gugatan perceraian disampaikan kepada Pengadilan Agama, sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut ketentuan agama Kristen, Hindu dan Budha gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri atau Pengadilan Umum.
1. Cerai Talak Istilah cerai talak disebut oleh penjelasan pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 sebagai berikut : Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu (Wantjik Saleh 1976:38) Selanjutnya diatur tentang bagaimana tatacara perceraian dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 mulai pasal 15 sampai 18, seperti yang dijelaskan oleh Lili Rasjidi (1983: 24-25) bahwa tatacara perceraian dengan cara talak adalah sebagai berikut : 1. Seorang suami yang hendak menceraikan atau mentalak istrinya, hendaknya memberitahukan maksudnya kepada Pengadilan Agama dimana dia bertempat tinggal disertai alasan-alasannya dan meminta melakukan sidang untuk keperluan tersebut. 2. Pengadilan akan mempelajari isi surat pemberitahuan itu dan dalam waktu
selambat-lambatnya
30
hari
semenjak
penerimaan
55
pemberitahuan, akan memanggil kedua belah pihak untuk didengar dan dimintkan penjelasannya tentang pemberitahuan perceraian itu. 3. Pertama-tama Pengadilan Agama akan berusaha mendamaikan para pihak dengan meminta bantuan Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP-4) tersebut 4. Jika usaha itu mengalami kegagalan, maka Pengadilan Agama akan bersidang lagi untuk mendengarkan pengucapan talak. Pengucapan talak ini harus disaksikan oleh istrinya atau kuasanya setelah itu suami menandatangani surat ikrar talak itu 5. Ketua Pengadilan Agama membuat surat keterangan tentang terjadinya talak itu rangkap empat, helai pertama dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah dimana suami bertempat tinggal untuk dicatat, kedua dan ketiga diberikan masing-masing kepada suami dan istri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama 6. Selanjutnya talak datang ke pegawai pencatat nikah di tempat dimana suami bertempat tinggal untuk mendapatkan kutipan buku pendaftaran talak 7. Perceraian itu terjadi pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan Agama tersebut Dapat disimpulkan bahwa, jika seorang suami yang ingin menceraikan istrinya maka ia harus memberitahukan kepada Pengadilan Agama di tempat dimana ia tinggal. Kemudian Pengadilan Agama akan mempelajari isi surat pemberitahuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari sejak
56
penerimaan pemberitahuan, pihak Pengadilan Agama akan memanggil kedua belah pihak untuk didengarkan dan dimintakan penjelasannya tentang pemberitahuan perceraian tersebut. Pertama-tama Pengadilan akan berusahan mendamaikan para pihka dengan meminta bantuan BP-4 setempat. Apabila usaha Pengadilan mengalami kegagalan, maka Pengadilan Agama akan bersidang lagi untuk mendengarkan pengucapan talak. Dalam pengucapan talak itu harus disaksikan oleh istri atau kuasanya setelah itu suami menandatangani surat ikrar talak itu. Dengan diucapkan ikrar talak oleh suami, maka terjadilah perceraian dengan segala akibatnya.
2. Gugat Cerai Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah tidak menamakan hal ini dengan gugat cerai tetapi menyatakan bahwa perceraian ini dengan suatu gugatan. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dalam penjelasan pasal 20 menegaskan bahwa : Gugatan perceraian dimaksudkan dapat dilakukan oleh seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan seoarng suami atau seoarng istri yang melangsungkan perkawinannya itu selain agama Islam (K. Wantjik Saleh 1975:37) Selanjutnya diatur tentang bagaimana tatacara perceraian dengan suatu gugatan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 mulai dari pasal 20 sampai pasal 36. seperti yang dikemukakan oleh Djareh Saragih (1992: 42-43) bahwa tatacara perceraian dengan guga cerai adalah sebagai berikut :
57
1. Suami atau istri mengajukan gugatan kepada Pengadilan di daerah hukum tergugat. Apabila tempat tinggal tergugat tidak jelas, maka gugatan diajukan ke tempat tinggal penggugat dan oleh Pengadilan yang menerima gugatan itu disampaikan kepada tergugat melalui perwakilan Indonesia setempat 2. Setelah Pengadilan menerima gugatan perceraian dari seseorang, maka selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah diterimanya berkas gugatan itu harus diperiksa hakim Pengadilan yang bersangkutan. Apabila tergugat berada diluar negeri maka jangka waktu itu ditetapkan sekurang-kurangnya enam bulan terhitung sejak dimasukkannya surat gugatan itu ke panitera Pengadilan. 3. Dalam pemeriksaan pihak-pihak tergugat dan penggugat datang sendiri ataupun dapat dikuasakan kepada kuasanya 4. Apabila pemeriksaan sudah dilakukan di Pengadilan, hakim terlebih dahulu mendamaikan kedua belah phak. Apabila usaha ini berhasil maka dengan sendirinya tidak usah lagi dilanjutkan pemeriksaan 5. Apabila penggugat dan tergugat berkeras tidak mau menerima tawaran perdamaian dari hakim, maka pemeriksaan dilanjutkan oleh hakim yang bersangkutan di ruang tertutup. Pemeriksaan secara tetutup ini bertujuan agar para pihak dapat mengeluarkan isi hati yang sebenarnya dengan bebas, walaupun pemeriksaan gugatan dilakukan dalam sidang tertutup tetapi keputusan Pengadilan dibacakan dalam sidang terbuka
58
6. Dengan adanya keputusan Pengadilan maka sahlah terjadinya perceraian antara suami istri tersebut Dengan perkawinannya
demikian
apabila
seorang
istri
yang
melangsungkan
menurut ajaran Islam, dan suami/istri yang melangsungkan
perkawinannya bukan menurut ajaran Islam, maka mereka harus mengajukan gugatan perceraiannya kepada Pengadilan Agama bagi istri yang beragama Islam sedangkan bagi suami/istri yang tidak beragama Islam gugatan perceraiannya diajukan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Umum. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah diterimanya surat gugatan.
59