BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Konsep dan Batasan Konsep 1. Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) Yang dimaksud dengan layanan komprehensif adalah upaya yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang mencakup semua bentuk layanan HIV dan IMS, seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian faktor risiko, layanan Konseling dan Tes HIV (KTS dan KTIP), Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP), Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), Pengurangan Dampak Buruk NAPZA (LASS, PTRM, PTRB), layanan IMS, Pencegahan penularan melalui darah donor dan produk darah lainnya, serta kegiatan monitoring dan evaluasi serta surveilan epidemiologi di Puskesmas Rujukan dan Non‐Rujukan termasuk fasilitas kesehatan lainnya dan Rumah Sakit Rujukan Kabupaten/Kota. Yang dimaksud dengan layanan yang berkesinambungan adalah pemberian layanan HIV & IMS secara paripurna, yaitu sejak dari rumah atau komunitas, ke fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit dan kembali ke rumah atau komunitas; juga selama perjalanan infeksi HIV (semenjak belum terinfeksi sampai stadium terminal). Kegiatan ini harus melibatkan seluruh pihak terkait, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat (kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA, keluarga, PKK,
tokoh
adat,
tokoh
agama
dan
tokoh
masyarakat
serta
organisasi/kelompok yang ada di masyarakat). Layanan komprehensif dan berkesinambungan juga memberikan dukungan baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial ODHA selama perawatan dan pengobatan untuk mengurangi atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Puskesmas Rujukan (puskesmas terpilih yang memiliki sarana dan tenaga tertetu sesuai dengan standar yang ditetapkan) dan Rumah Sakit Rujukan perlu didukung oleh ketersediaan pemeriksaan laboratorium di samping adanya pusat rujukan laboratorium di
kabupaten/kota (Labkesda) untuk pemeriksaan CD4 dan pusat rujukan laboratorium diprovinsi (BLK/fasilitas kesehatan lainnya), untuk akses pemeriksaan viral load. Permasalahan medis yang dihadapi ODHA dapat berupa infeksi oportunistik, gejala simtomatik yang berhubungan dengan AIDS, ko‐infeksi, sindrom pulih imun tubuh serta efek samping dan interaksi obat ARV. Sedangkan masalah psikologis yang mungkin timbul yang berkaitan dengan infeksi HIV adalah depresi, ansietas (kecemasan), gangguan kognitif serta gangguan kepribadian sampai psikosis. Masalah sosial yang dapat timbul pada HIV adalah diskriminasi, penguciIan, stigmatisasi, pemberhentian dari pekerjaan, perceraian, serta beban finansial yang harus ditanggung ODHA. Masalah psikososial dan sosioekonomi tersebut sering kali tidak saja dihadapi oleh ODHA namun juga oleh keluarga dan kerabat dekatnya. Sebagian dari kasus HIV berasal dari kelompok pengguna NAPZA suntikan sehingga cakupan layanan pada ODHA tak dapat dilepaskan dari pemasalahan yang timbul pada penggunaan NAPZA yaitu adiksi, overdosis, infeksi terkait NAPZA suntikan, permasalahan hukum, dan lain‐lain. Dengan demikian cakupan layanan menjadi luas dan melibatkan tidak hanya layanan kesehatan namun juga keluarga dan lembaga swadaya masyarakat. Pengobatan HIV sendiri memiliki keunikan yang perlu mendapat perhatian, seperti misalnya: a. Terapi antiretroviral merupakan pengobatan seumur hidup dan memerlukan pendekatan perawatan kronik. b. Tuntutan akan kepatuhan (adherence) pada pengobatan ARV yang sangat tinggi (>95%) guna menghindari resistensi virus terhadap obat ARV dan kegagalan terapi. c. Layanan terapi ARV akan meningkatkan kebutuhan akan layanan konseling dan tes HlV, namun juga akan meningkatkan kegiatan pencegahan dan meningkatkan peran ODHA. Agar kepatuhan pada terapi ARV dan kualitas hidup ODHA dapat meningkat secara optimal, maka perlu dikembangkan suatu layanan
perawatan komprehensif yang berkesinambungan. Semula upaya pencegahan merupakan ujung tombak dalam pengendalian HIV di lndonesia karena jumlah anggota masyarakat yang terinfeksi HIV masih sedikit, sehingga terbuka kesempatan luas untuk mencegah penularan di masyarakat. Namun dengan semakin banyaknya orang yang terinfeksi HlV di lndonesia maka dibutuhkan upaya terapi dan dukungan pada saat dilaksanakan. Komponen LKB terdiri dari 5 komponen utama dalam pengendalian HIV di Indonesia yaitu: a. Pencegahan b. Perawatan c. Pengobatan d. Dukungan e. Konseling
Tabel 2.1 Jenis Layanan Komprehensif HIV
Promosi dan Pencegahan
1. Promosi Kesehatan (KIE) 2. Ketersediaan dan akses alat pencegahan
Tatalaksana Klinis HIV 1. Tatalaksana medis dasar 2. Terapi ARV 3. Diagnosis IO dan
(kondom, alat suntik
komorbid terkait
steril)
HIV serta
3. PTRM, PTRB, PABM
pengobatannya,
4. Penapisan darah donor
termasuk TB
5. Life skills education
4. Profilaksis IO
6. Dukungan kepatuhan
5. Tatalaksana
berobat (Adherence) PPIA 7. Layanan IMS, KIA, KB dan Kesehatan reproduksi remaja
Hepatitis B dan C 6. Perawatan paliatif,
Dukungan Psikososial, Ekonomi dan Legal 1. Dukungan psikososial 2. Dukungan sebaya 3. Dukungan spiritual 4. Dukungan sosial 5. Dukungan ekonomi: latihan kerja, kredit mikro,
termasuk
kegiatan
tatalaksana nyeri,
peningkatan
7. Dukungan gizi
8. Tatalaksanan IMS 9. Vaksinasi Hep‐B bagi
pendapatan,, dsb. 6. Dukungan legal
bayi dan para penasun (bila tersedia) 10. Pencegahan Pasca Pajanan Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2012 2. Human Immunodeficiency Virus (HIV) HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh kita untuk melawan segala penyakit yang datang. Pada saat kekebalan tubuh kita mulai lemah, maka timbulah masalah kesehatan. Gejala yang
umumnya timbul antara lain demam, batuk, atau diare yang terus-menerus. Kumpulan gejala penyakit akibat lemahnya sistem kekebalan tubuh inilah yang disebut AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Walaupun begitu, tertular HIV (atau menjadi HIV-positif) bukan berarti kita langsung jatuh sakit. Seseorang bisa hidup dengan HIV di dalam tubuhnya bertahuntahun lamanya tanpa merasa sakit atau mengalami gangguan kesehatan yang serius. Lamanya masa sehat ini sangat dipengaruhi oleh keinginan yang kuat dari kita sendiri dan bagaimana kita menjaga kesehatan dengan pola hidup yang sehat. a. HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi hanya bisa menular melalui cairan tubuh tertentu, yaitu: 1) Darah 2) Air mani (cairan, bukan sperma) 3) Cairan vagina 4) Air susu ibu (ASI) b. Kegiatan yang dapat menularkan HIV adalah: 1) Hubungan seks tanpa kondom 2) Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian 3) Peralatan dokter yang tidak steril, contoh: peralatan dokter gigi 4) Mendapatkan transfusi darah yang mengandung HlV 5) Ibu HIV-positif ke bayinya: waktu dalam kandungan, ketika melahirkan atau melalui ASI c. HlV tidak menular melalui: 1) Bersentuhan 2) Berciuman, bersalaman dan berpelukan 3) Peralatan makan dan minum 4) Kamar mandi 5) Kolam renang 6) Gigitan nyamuk 7) Tinggal serumah bersama orang dengan HIV/AIDS (Odha) 8) Duduk bersama dalam satu ruangan tertutup (Yayasan Spiritia, 2003)
3. Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya. (Yayasan Spiritia, 2009) Gejala klinis pada stadium AIDS dibgi antara lain : a. Gejala utama/mayor : 1) Deman berkepanjangan lebih dari tiga bulan 2) Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus 3) Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan 4) TBC b. Gejala minor 1) Batuk kronis selama lebih dari satu bulan 2) Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida Albicans 3) Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh 4) Munculnya Herpes Zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh (Nursalam dan Ninuk Dian K, 2007 : 47) 4. Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) Odha adalah orang yang hidup dengan HIV. Maksudnya dengan ‘hidup dengan HIV’ adalah bahwa kita terinfeksi virus tersebut, tetapi tidak pasti kita sakit, dan sekarang ada harapan yang nyata bahwa kita tidak akan meninggal karena infeksi HIV. (Yayasan Spiritia, 2009) ODHA tak mengenal batasan usia bukan hanya orang dewasa saja melainkan banyak anak telah menjadi odha. Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi yang disebut anak dengan HIV/AIDS adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan yang telah mengidap HIV/AIDS. B. Penelitian Terdahulu Berikut adalah daftar penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini : 1. Judul : Perempuan dalam Cengkraman HIV/AIDS : Kajian Sosiologi Feminis Perempuan Ibu Rumah Tangga Nama : Ikhlasiah Dalimoenthe Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan ibu rumah tangga dapat menjadi kelompok rentan tertular HIV/AIDS. Umumnya mereka terjangkiti HIV/AIDS dari suaminya yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena seringnya berganti-ganti pasangan atau karena pecandu narkoba. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran perempuan ibu rumah tangga terhadap HIV/AIDS semakin mempermudah mereka tertular virus itu. Faktor lainnya yang ikut memengaruhi terjangkitnya perempuan ibu rumah tangga terhadap HIV/AIDS adalah adanya potensi kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga yang memiliki peluang terkena iInfeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV/ AIDS. Secara khusus terdapat tiga faktor yang menyebabkan perempuan mengalami kekerasan seksual rentan terinfeksi HIV/AIDS. Pertama adalah faktor biologis. Struktur di dalam vagina yang terdapat banyak lipatan membuat permukaannya menjadi luas dan dinding vagina sendiri memiliki lapisan tipis yang mudah terluka. Anatomi ini memudahkan air mani bertahan lebih lama dalam rongga vagina bila terjadi infeksi, sehingga air mani yang terinfeksi dapat segera menulari perempuan tersebut. Ini akan terjadi pada kasus perkosaan yang menyebabkan luka sehingga kemungkinan terinfeksi bisa dua hingga empat kali lebih besar. Kedua, faktor sosial-kultural. Perempuan sukar menolak hubungan seksual dengan pasangannya karena perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk menyarankan penggunaan kondom dalam hubungan seksual. Faktor tabu membicarakan seks, kesehatan reproduksi, dan informasi lain membuat
perempuan sulit membicarakan masalah seks dengan pasangannya. Akibat lebih lanjut, perempuan sulit melakukan tindakan cepat untuk mengakses pengobatan bagi penyakit seksual yang sudah dideritanya. Ketiga adalah faktor ekonomi. Perempuan umumnya sangat tergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Ini menyebabkan perempuan tidak memiliki posisi tawar menolak hubungan seksual dengan pasangannya. 2. Judul : Implementasi Kebijakan Kesejahteraan Anak Nama : Mulia Astuti dan Ahmad Suhendi Hasil Penelitian : Secara umum masalah yang dihadapi anak dengan HIV/AIDS (ADHA) bersumber pada 2 (dua) pihak secara bersamaan. Pertama, bersumber dari anak dan keluarga anak itu sendiri. Masalah yang bersumber dari anak terkait dengan stabilitas atau daya tahan mental (aspek psikologis) anak sebagai penyandang masalah. Hal ini sekaligus terkait dengan kemampuan keluarga anak dalam memberikan dukungan kepada anak (baik dukungan sosial, emosional, dan ekonomi). Dukungan ini sekaligus tercermin dalam pola pengasuhan yang diterapkan keluarga terhadap anak sebagai penyandang masalah. Kedua, bersumber dari masyarakat sekitar anak dan keluarga anak itu. Masalah yang bersumber dari masyarakat sekitar terkait dengan pengetahuan, persepsi, sikap, dan atau perilaku masyarakat lingkungan sekitar anak dan keluarga sehubungan dengan statusnya sebagai penyandang HIV/ AIDS. Masalah utamanya adalah stigma yang berkembang di tengah masyarakat yang kemudian tercermin dalam sikap dan perilaku aktual dalam bentuk prasangka dan diskriminasi. Stigma berkembang di tengah masyarakat dalam bentuk pemberian cap atau label negatif kepada anak dan penyandang HIV/AIDS dan keluarganya didasarkan pada penilaian subjektif. 3. Judul : Gambaran Perilaku Orang Tua/Pengasuh Dalam Memberikan Makanan Bergizi Pada Anak Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus Di Yayasan Tegak Tegar Jakarta Timur Tahun 2013 Nama : Fety Fatimah
Hasil Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melandasi perilaku orang tua dalam upaya memberikan makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV-AIDS di Yayasan Tegak Tegar Wilayah Jakarta Timur menggunakan theory of planned behavior dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan selama bulan April – Oktober 2013 kepada 5 orang tua/pengasuh anak HIV-AIDS. Wawancara mendalam dan observasi digunakan dalam pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan di rumah responden penelitian. Hasil penelitian menunjukan masih terdapat anak yang kebutuhan gizinya kurang terpenuhi. Perceive behavior control memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku orang tua/pengasuh. Terlihat rendahnya perceive behavior control dan niat orang tua/pengasuh mempengaruhi pemberian makanan bergizi anak meskipun sikap orang tua/pengasuh baik dan orang tua yakin bahwa orang disekitarnya akan mendukung perilaku mereka. 4. Judul : Kualitas Hidup Anak Remaja pada Keluarga dengan HIV/AIDS di Indonesia Nama : Toha Muhaimin Hasil Penelitian : Hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan penderita HIV/AIDS dalam keluarga mempunyai dampak buruk yaitu menurunkan kualitas hidup anak remaja. Peluang risiko kualitas hidup menjadi kurang baik lebih besar 1,6 kali dibandingkan pada remaja dari keluarga tanpa HIV/AIDS. Peranan pengasuh sangat penting karena peluang risiko kualitas hidup kurang baik pada remaja ini meningkat menjadi 1,7 kali pada remaja yang mendapat pengasuhan kurang dan peluang risiko tersebut meningkat lagi menjadi 2,4 kali pada pengasuh dengan pendidikan SMP kebawah dan peluang risiko terbesar hampir tiga kali (2,8 kali) pada pengasuh lakilaki. 5. Judul : Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) Di Yayasan Spirit Paramacitta Nama : Komang Diatmi dan I. G. A. Diah Fridari
Hasil Penelitian : Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pihak yayasan demi mencapai kualitas hidup ODHA yang lebih baik, yaitu: a) Memberikan informasi terkait dengan pelayanan kesehatan, dukungan emosional dan pendampingan bagi ODHA yang bermasalah dengan kesehatannya. Pihak yayasan berusaha untuk membantu ODHA mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai. Bagi ODHA yang belum mengetahui cara mendapatkan akses pelayanan kesehatan, pihak yayasan akan memberitahukan kepada ODHA tersebut mengenai alur yang harus ditempuh demi mendapatkan pelayanan kesehatan dan secara tidak langsung bantuan yang diberikan pihak yayasan ini juga membuka jalan bagi ODHA untuk mendapatkan dukungan berupa pelayanan kesehatan yang memadai dari pihak medis. Dukungan yang diberikan pihak yayasan pun tidak sebatas pada pembukaan akses layanan kesehatan, tetapi pihak yayasan juga berusaha untuk memberikan dukungan emosional kepada ODHA agar bisa bangkit dari keterpurukannya, sehingga tidak memperburuk kondisi sakit dari ODHA itu sendiri. b) Memantau kepatuhan terapi pengobatan, khususnya terapi ARV. ARV merupakan obat yang sangat penting dikonsumsi ODHA untuk menekan jumlah HIV di dalam tubuh, sehingga pihak yayasan pun selalu mewantiwanti agar ODHA tidak sampai putus obat agar kondisinya tidak meburuk. Apalagi sekarang semakin banyak pengobatan alternatif yang dikatakan mampu menyembuhkan HIV dan AIDS, sehingga pihak yayasan pun harus semakin gencar untuk meyakinkan ODHA agar tetap mengonsumsi ARV dan tidak mudah terpengaruh dengan pengobatan alternatif. Pihak yayasan juga meminta agar ODHA yang satu dengan yang lainnya bisa saling mengingatkan agar tetap rutin meminum obat dan saling membantu jika memang ada ODHA yang kehabisan obat dengan bersedia memberikan pinjaman obat yang sesuai dengan kebutuhan obat dari ODHA tersebut.
c) Memberikan bantuan biaya terbatas pengobatan darurat melalui program Positive Fund. Pihak yayasan juga bersedia memberikan bantuan biaya terbatas kepada ODHA yang dalam berada kondisi darurat dan mengalami kesulitan dalam keuangan agar ODHA tersebut bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih memadai. d) Memberikan informasi dan pengetahuan mengenai pengetahuan dasar HIV dan AIDS, cara membuka status kesehatan kepada orang lain, pengobatan ARV dan perkembangan pengetahuan lain yang menunjang peningkatan kualitas hidup ODHA. Pihak yayasan melakukan pertemuan secara rutin dengan ODHA setiap satu bulan sekali untuk memberikan informasi dan pengetahuan baru terkait HIV dan AIDS. Melalui pertemuan rutin ini, pihak yayasan juga mengajak ODHA untuk berdiskusi terkait permasalahan yang sering dihadapi ODHA, misalnya kesulitan ODHA untuk bisa membuka status kepada keluarga. Pihak yayasan pun akan berusaha memberikan tips-tips yang dapat membantu ODHA agar bisa membuka status kesehatannya tersebut serta menanyakan kembali tips-tips lain kepada ODHA yang telah bisa membuka statusnya kepada keluarga. Keterbukaan ODHA mengenai status kesehatannya kepada keluarga maupun orang terdekat merupakan hal penting bagi pihak yayasan agar ODHA tersebut bisa mendapatkan lebih banyak dukungan yang nantinya dapat menunjang kesehatan ODHA itu sendiri. 6. Judul : Sociodemographic profile and health status of children living with HIV–AIDS attached to an NGO (ADHAR) of Ahmedabad city Nama : Nilesh Thakor, Rajendra N Gadhavi, Pradip Damor, Ushma Baranda, Samir Bhagora, Nisarg Patel Hasil Peneitian : Studi ini meliputi 90 anak HIV+ (rentang usia, 5 – 14 tahun; 53% perempuan dan 47% laki-laki). Dari mereka, 65 (72.2%) orang dalam kelompok usia 5-9 tahun (SD); 30% yang putus sekolah. Sebagian besar anak (51, 56,7%) milik kelas sosial 4. 59 Anak (65.5%) memiliki kedua orang tua yang terinfeksi HIV. Dalam 63% kasus, hanya orang tua
tahu status HIV positif anak-anak mereka, dan 37% kasus orang tua, serta orang lain (teman, guru, dan kerabat lainnya) tahu status HIV positif. Dua puluh tiga anak-anak (25.5%) memiliki kebiasaan kebersihan yang buruk. 40% dari Ibu dan 25,6% dari ayah anak-anak menderita buta huruf. Enam puluh (66,6%) anak menerima terapi antiretroviral. Prevalensi keseluruhan malnutrisi dalam studi ini adalah 20%. Dua puluh dua anak (24.4%) memiliki tanda-tanda kekurangan vitamin B kompleks. Prevalensi anemia pada anak-anak ini adalah 62,2%. 7.
Judul : The situation of orphans and vulnerable children inselected Woredas and towns in Jimma Zone Nama : Gudina Abashula, Nega Jibat dan Tariku Ayele Hasil Penelitian : Studi menunjukkan bahwa OVC (Anak yatim dan rentan HIV) rentan terhadap kekurangan gizi, miskin kebersihan, pelecehan seksual terhadap anak, penggunaan narkoba, eksploitasi tenaga kerja anak. Selain itu, mereka memiliki sedikit/tidak memiliki akses ke layanan sosial penting seperti Kesehatan, pendidikan dan perumahan. Temuan dari studi juga mengungkapkan bahwa organisasi non-pemerintah yang beroperasi di daerah sedikit membantu anak-anak dengan pendidikan, biaya kesehatan dan makanan. Dukungan yang ditawarkan oleh organisasi non-pemerintah belum memadai, terkadang ada terkadang tidak, terbatas pada beberapa anak dalam cakupan mereka. Akibatnya, sejumlah OVC masih dalam situasi yang sulit dan butuh perhatian segera. Dengan demikian, memperkuat kapasitas ekonomi keluarga / wali melalui aktivitas yang menghasilkan pendapatan, sosial dan emosional termasuk mendukung
program,
koordinasi
antar-organisasi,
meluncurkan
kelembagaan perawatan / mempromosikan adopsi lokal untuk anak yatim dan terlantar direkomendasikan berdasarkan temuan ini. 8. Judul : Exploring the Appropriateness of Institutionalized Care of Orphans and Vulnerable Children (OVCs) in the Era of HIV/AIDS: Examples from South Africa and Botswana Nama : Dudzai Nyamutinga and S. M. Kang’ethe
Hasil Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membahas kelayakan lembaga peduli untuk anak yatim dan anak-anak rentan (OVC) dalam menghadapi HIV/AIDS melalui review literatur yang sistematis. Dalam menghadapi lingkungan HIV/AIDS, lembaga peduli OVC menawarkan rumah kedua yang terbaik; layanan yang professional; memberikan figur ibu dan figur-figur lainnya; dan menawarkan layanan HIV/AIDS. Lebih lanjut, mereka meemperlihatkan kesenjangan berikut: anak-anak menderita stigma; tantangan manajemen dan pendanaan; pengalaman tidak menentu dan sumbangan/pendapatan yang tidak menentu; dan pengasuh mereka menampilkan kesenjangan pengetahuan dan keterampilan. Penelitian merekomenasikan mobilisasi komunitas antistigma dan pengasuh; berbagai bentuk pendidikan dimulai dengan pada pelatihan pekerjaan pengasuh; pendidikan pada perawatan anak-anak umumnya, tes HIV/AIDS, diagnosis dini HIV/AIDS dan keterbukaan dengan anak-anak, dan konseling. 9. Judul : Social Support Disparities among Children affected by HIV/AIDS in Ghana Nama : Paul Narh Doku ZA, John Enoch Dotse, Kofi Akohene Mensah Hasil Penelitian : Hasil multivarian linear regresi menunjukkan bahwa anakanak yang hidup dengan HIV/AIDS dilaporkan secara signifikan lebih rendah dukungan sosialnya dibandingkan dengan anak-anak yatim piatu yang menderita AIDS, anak-anak yatim lainnya dan anak-anak bebas yang bukan anak yatim pada kovariat demografi sosial. Anak-anak yang telah kehilangan orang tua mereka karena penyebab lain dan anak-anak yatim piatu menunjukkan tingkatan serupa dukungan sosial. Dalam hal sumber dukungan, Semua anak-anak yatim dan anak-anak rentan yang lebih cenderung mendapat dukungan dari teman dan orang lain daripada keluarga. 10. Judul : Migration as a risk factor for school dropout amongst children made vulnerable by HIV/AIDS: a prospective study in eastern Zimbabwe Nama : Erica L. Pufalla, Constance Nyamukapaa, Laura Robertsona, Paradzai George Mushoreb, Albert Takaruzab and Simon Gregsona
Hasil Penelitian : Anak yatim dan anak-anak yang rentan oleh HIV di subSahara Afrika berada pada peningkatan risiko berpindah-pindah rumah dan putus sekolah. Namun, hubungan antara migrasi dan pendaftaran sekolah anak tidak terbentuk. Model regresi multivarian dan calon data dari sebuah komunitas anak-anak di Manicaland, Zimbabwe, digunakan untuk mengetahui dampak dari migrasi pada pendaftaran sekolah. Anak-anak yang baru pindah rumah berada pada peningkatan risiko putus sekolah setelah mendapatkan status yatim piatu, hubungan dengan pengasuh, dan kekayaan yang ada di rumah. Intervensi diperlukan untuk memastikan bahwa anak-anak yang bermigrasi mendaftar lagi di sekolah. C. Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori aksi (action theory) atau yang juga dikenal sebagai teori tindakan yang dikemukakan oleh Talcott Parsons. Sepanjang hidupnya Parsons telah berusaha mengembangkan kerangka-kerangka teoritis. Ada perbedaan yang menyolok antara karya-karya awal Talcott Parsons dengan karya-karyanya kemudian. Karya-karya awal Parsons lebih berhubungan dengan usahanya membangun teori aksi atau teori tindakan sebagaimana dalam bukunya The Structure of Social Action (1937). Sedangkan karya-karyanya yang kemudian lebih berhubungan dengan fungsionalisme struktural sebagaimana diuraikan di dalam bukunya yang berjudul The System Social (1951). (Raho, 2007 : 53) Dalam buku The Structur Of Soial Action yang diterbitkan tahun 1937, Parsons mengatakan bahwa semua teori besar (mayor-theory) yang dia teliti bisa dilihat sebagai suatu gerakan yang mengarah dengan apa yang dia sebut sebagai “teori tindakan voluntaristik” : manusia difahami ketika dia membuat pilihan atau keputusan, antara tujuan yang berbeda dengan alat-alat untuk mencapainya. Konsepsi seperti itu bisa menjadi dasar dari semua ilmu pengetahuan manusia dan dia mengatakan bahwa adalah mungkin menyaring dari karya mereka suatu model dasar tindakan manusia dan membatasi semua komponennya dalam peristilahan abstrak. Model ini terdiri dari, pertama aktor manusia yang kedua adalah serangkaian tujuan dan sasaran yang harus dipilih
oleh pelakunya dan alat-alat yang berbeda yang memungkinkan tujuan ini bisa dicapai. Bagaimanapun juga pilihan-pilihan itu tidaklah dibuat dengan kekosongan. Lingkungan itu tebentuk dari sejumlah faktor fisik dan sosial yang membatasi rangakaian pilihan-pilihan itu. Yang penting dari semuanya ialah bahwa lingkungan itu termasuk norma-norma dan nilai-nilai yang diterima secara umum dan ide-ide yang mempengaruhi pilihan tujuan-tujuan dan alatalat untuk mencapai tujuan. Jadi unit tindakan terbentuk oleh pelaku, alat-alat, tujuan-tujuan dan suatu lingkungan yang terdiri dari obyek-obyek fisik dan sosial, norma-norma dan nilai-nilai. Ini merupakan deskripsi abstrak dari semua tindakan dan menjadi titik tolak dari skema Parsons yang benar. (Craib, 1986 : 60-61) Teori tindakan awal mulanya di kembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat bahwa individu melakukan tindakan berdasarkan pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini adalah tindakan yang rasional, yaitu mencapai tujuan dan sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat. Teori dari Weber ini kemudian di kembangkan oleh Talcott Parson, yang mengkritik teori dari
Weber,
menyatakan
bahwa
aksi
atau
action
itu
bukanlah
perilaku/behaviour. Aksi merupakan tanggapan/respon mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah proses mental yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan normanorma atau nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur perilaku. Kondisi obyektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya mealui status dan peran.dalam sebuah sistem sosial individu menduduki suatu tempat (status)tertentu dan bertindak (berperan) sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku individu ditentukan oleh tipe kepribadiannya. (Sarwono, 2004 : 18-19)
Gambar 2.1 Skema Teori Weber
Stimulus
Pengalaman Persepsi Pemahaman Penafsiran
Tindakan
Gambar 2.2 Skema Teori Parsons Sistem Sosial
Sistem budaya
Individu
Perilaku
Sistem Kepribadian Sumber : Solita Sarwono, 2004 : 19-20
Dalam sistem budaya unit analisis yang paling besar adalah tentang “arti” dan “sistem simbolik”. Beberapa contoh dari sistem simbolik adalah adalah kepercayaan religius, bahasa dan nilai-nilai. Dalam tingkatan ini, Parsons memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai yang dihayati bersama. Konsep tentang sosialisasi misalnya, mempunyai hubungan tingkatan dengan tingkatan analisa ini. Menurut dia, sosialisasi terjadi ketika nilai-nilai dihayati bersama dalam masyarakat diinternalisir oleh anggota-anggota masyarakat itu. Sistem sosial mendapat perhatian yang cukup besar dalam uraiannya . Kesatuan yang paling besar dalam analisa ini adalah interaksi berdasarkan peran. Menurut Talcott Parsons sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi ini tidak terbatas antara individuindividu melainkan juga terdapat antara kelompok-kelompok, institusi-institusi, masyarakat-masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional. Dalam sistem kepribadian kesatuan yang paling dasar dalam unit ini adalah aktor atau pelaku. Pusat perhatian dalam analisa ini adalah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap seperti motivasi untuk mendapatkan kepuasan atau keuntungan.
Sistem yang terakhir adalah sistem organisme atau aspek biologis manusia. kesatuan yang paling dasar dalam sistem ini adalah manusia dalam arti biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu. Hal lain yang termasuk dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik dimana manusia hidup. (Raho, 2007 : 55 – 56) Skema tindakan menurut Parsons memiliki empat komponen yakni : 1. Pelaku atau aktor : Aktor atau pelaku dapat terdiri dari seorang individu atau kolektivitas. Parsons melihat aktor ini sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan. 2. Tujuan (Goal) : tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Misalnya, aktor ingin memperoleh gelar sarjana. 3. Situasi : tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Halhal yang termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi. Prasarana berarti fasilitas, alat-alat, dan biaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Sedangkan kondisi adalah halangan yang menghambat tercapainya tujuan. Misalnya aktor mempunyai biaya dan kemampuan inteltual untuk kuliah guna mendapat gelar sarjana, tetapi sayang ia bekerja paruh waktu pada suatu perusahaan sehingga sulit untuk kuliah. 4. Standar-standar normatif : ini adalah skema tindakan yang paling penting menurut Parsons. Guna mencapai tujuan aktor harus memenuhi sejumlah standart atau aturan yang berlaku guna memperoleh sarjana itu. Norma-norma adalah sangat penting dalam skema tindakan Parsons. Oleh karena itu Parsons menganggap sistem budaya sebagai hal yang paling penting dalam empat sistem tindakan yang dikemukakanya. (Raho, 2007 : 57) D. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian ini didasarkan pada teori aksi yang dikemukakan oleh Talcott Parsons. Dalam menganalisa tindakan dalam Layananan Komprehensif Berkesinambungan terhadap anak dengan HIV/AIDS ada empat komponen yang harus dipenuhi sesuai dengan skema tindakan yang dijelaskan oleh Parsons. Empat komponen itu adalah aktor, tujuan, situasi dan standar-standar normatif. Aktor dalam layanan komprehensif berkesinambungan adalah orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan LKB. Tujuan yang hendak
dicapai dari LKB termuat dalam panduan LKB yang di rilis oleh Kementerian Kesehatan. Situasi dalam hal ini berkaitan dengan tersediannya layanan-layanan kesehatan yang sudah support LKB baik yang di tingkat puskesmas maupun yang di tingkat rumah sakit. Dan yang terakhir adalah standar-standar normatif yang berkaitan erat dengan nilai-nilai dan norma atau seperangkat peraturan yang dibuat sehingga mempengaruhi pilihan-pilihan yang akan diambil oleh aktor. Dalam teorinya Parsons juga mengemukakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok tidak terlepas oleh pengarush sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem organisme. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran diatas dapat dilihat pada bagan dibawah ini :
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Aktor
Sistem Budaya
Sistem Kepribadian
Promotif
Situasi
Tujuan
Layanan Komprehensif Berkesinambungan Terhadap ADHA Di Kota Surakarta
Preventif
Kuratif
Standar-standar Normatif
Sistem Sosial
Sistem Organisme
Rehabilitatif