BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang mengemukakan sumber-sumber yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini. Tinjauan kepustakaan dikembangkan melalui penelaahan secara mendalam terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema penelitian yang akan dikaji. Sumber-sumber yang diperoleh penulis dalam menyusun skripsi ini berupa tulisan ilmiah yang disusun dalam bentuk buku yang berkaitan dengan kajian yang dibahas yaitu mengenai permasalahan yang berkaitan dengan peranan A. H. Nasution dalam peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Tinjauan pustaka dilakukan peneliti sebagai bahan referensi dan dasar rujukan dalam penyusunan skripsi. Dalam tinjauan pustaka ini sesuai prosedur di atas, penulis mencoba untuk menganalisa penelitian-penelitian terdahulu yang mempunyai objek kajian yang sama. Kemudian, meletakkan kedudukan masing-masing sehingga jelas hal apa yang belum tersentuh oleh penelitian-penelitian terdahulu. Dengan demikian, penulis dapat menempatkan penulisan skripsi ini dalam “body of knowledge” dari keseluruhan kajian-kajian sejenis. Dengan mengkaji apa yang ditulis oleh para sejarawan dan penulis lain, penulis akan mendapatkan berbagai ide untuk menyusun landasan teoritis sesuai dengan masalah yang diteliti. Pemaparan tinjauan kepustakaan ini terbagi ke dalam beberapa subbab berdasarkan isi dari berbagai literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji. Beberapa akan dikupas pada bagian ini berkenaan dengan kondisi
12
13
politik Indonesia menjelang peralihan kekuasaan tahun 1965-1968, latar belakang
karir militer Nasution, langkah-langkah yang diambil A.H. Nasution dalam mendorong proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto dan dampak peralihan kekuasaan yang dilakukan A.H. Nasution terhadap perkembangan politik di Indonesia pada tahun 1965-1968.
A. Kajian buku tentang A.H. Nasution Sebagai seorang tokoh penting yang memainkan peranan cukup besar dalam berbagai peristiwa sejarah di Indonesia, sosok A.H. Nasution telah banyak ditulis orang, terutama dalam kedudukannya sebagai perwira militer. Dalam hal ini penulis merasa beruntung karena banyaknya sumber untuk mendukung penelitian, walaupun tidak mudah pula untuk mendapatkannya berhubung beberapa buku terbitan tentang Nasution sudah sangat lama dan tidak diterbitkan lagi. Beberapa buku yang mengkaji mengenai A.H. Nasution peneliti menggunakan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku, dan artikel-artikel yang relevan dengan penelitian. Namun pada kesempatan ini peneliti hanya membahas sumber dari buku yang dijadikan sumber referensi utama dalam kajian ini. Kajian yang pertama ini menggambarkan tentang latar belakang kehidupan A.H. Nasution dari masa kecil hingga tumbuh dewasa dan perjalanannya menempuh pendidikan sampai karirnya di militer khususnya di Angkatan Darat, serta perannya di dunia politik sampai ia terpinggirkan dari kancah perpolitikan di Indonesia. Beberapa sumber yang membahas mengenai Nasution, penulis
14
menggunakan beberapa buku yang ditulis oleh Nasution sendiri dan para penulis lainnya sebagai bahan perbandingan. Buku pertama adalah karya pribadi Nasution berupa memoarnya yang tetuang dalam Memenuhi Panggilan Tugas (1982-1993), buku ini terdiri dari sembilan jilid secara tuntas menguraikan perjalanan hidup, pengalaman, dan sikap politik Nasution dalam kiprah yang dijalankannya dalam berbagai posisi penting di Indonesia. Karyanya yang satu ini dikategorikan sebagai kesaksian sejarah karena hanya dapat menguraikan bagaimana Nasution mengalami suatu peristiwa sejarah dari sudut pandangnya. Buku ini memaparkan secara lengkap mengenai Nasution dari semenjak ia kecil sampai tersingkir dari dunia politik yang merupakan babak akhir keterlibatannya dari kancah politik di Indonesia bahkan juga di kemiliteran khususnya Angkatan Darat. Seperti yang dipaparkan dalam buku ini bahwa Nasution merupakan tokoh yang memiliki peranan yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia sejak kemerdekaan 1945. Buku ini secara kronologis menggambarkan ketika ia menghabiskan waktu semasa kanak-kanak di Sumatera Utara, kemudian merantau ke Sumatera Barat dan Jawa Barat, ketika itu ia pernah menjadi guru di Sumatera selatan dan setelahnya hijrah ke Bandung menjadi Taruan Akademi Militer Bandung, Jakarta dan Surabaya. Selain itu juga ia adalah pemimpin pemuda pada masa pendudukan Jepang, kepala staf Comandemen TKR Jawa Barat pada masa Pembentukan TKR, Panglima divisi TKR III Priangan pada masa pertempuran-pertempuran pertama Bandung Lautan Api dan Halo-Halo Bandung. Serta ia pernah diangkat sebagai Panglima Divisi Siliwangi dan peranannya dalam Agresi Militer Belanda
15
I sampai ia mendapatkan pemikiran mengenai konsepsi perang Gerilya dan Perlawanan Rakyat Total atau Konsep Territorial (Wilayah) yang kemudian dituangkan dalam bentuk sebuah buku. Sampai akhirnya ia hijrah dari Divisi Siliwangi ke Jawa Tengah. Sejak di Yogya, yang mula pertama kali ikut dalam kegiatan-kegiatan dalam garis kebijaksanaan yang bersifat nasional di bidang ketentaraan dengan kedudukan berturut-turut sebagai Wakil Panglima Besar, Kepala Staf Operasi MBAp, Panglima Komando Jawa, Agresi Militer belanda II, masa perang Gerilya II sampai dengan menjabat sebagai KSAD yang pertama. Dalam buku ini juga menceritakan ketika masa pancaroba yang oleh Presiden Sukarno disebut "pancakrisis" atau masa survival terhadap seranganserangan baik dari Luar maupun dari dalam negeri sendiri, dan peristiwa 17 Oktober 1952, serta masa meluasnya pemberontakan di Indonesia, sehingga seperenam bagian dari daerah RI lepas dari kendali penguasaan pemerintah pusat Ri secara de facto, pada masa ini Nasution dua kali menjabat KSAD, tapi di tengah-tengah ia dinonaktifkan dari tugas sebagai KSAD. Dalam masa non aktif itu ia ikut menjadi calon dalam pemilu 1955 dari partai IPKI dengan program partai "Kembali kepada UUD 1945". Dalam buku ini pula A.H.Nasution mengungkapkan masa awal manipolnasakom, konsolidasi TNI dalam kerangka kenegaraan untuk perjuangan bangsa, bagaimana perjuangan TNI AD menghadapi rongrongan PKI, dan bagaimana situasi politik orde lama pada masa itu. Ia juga mengungkapkan bahwa ketika itu UUD'45 pernah diselewengkan dan mencapai puncaknya pada peristiwa G30S/PKI. Dalam hal ini Nasution juga mengungkapkan bahwa nilai-nilai yang
16
dapat diambil dari peristiwa G30S/PKI ialah kesadaran bangsa Indonesia pada umumnya dan ABRI pada khususnya untuk melaksanakan UUD'45 secara murni dan konsekuen. Untuk kembali ke UUD'45 secara murni dan konsekuen tersebut menurutnya diperlukan landasan konstitusional. Maka MPRS pun pada tahun 1966 mengadakan sidang-sidang untuk mencapai konsensus dalam menghadapi situasi dan kondisi yang gawat pada waktu itu. Buku ini berkontribusi bagi penulis untuk mendapatkan informasi dari pelaku dan saksi sejarah yang mengalami suatu peristiwa secara langsung mengenai kehidupan Nasution dari sejak ia dilahirkan sampai perjalanan karirnya di militer dan perannya dalam perjalanan sejarah di Indonesia, sehingga nilainya akan sama dengan hasil suatu wawancara. Akan tetapi sebagaimana juga hasil wawancara, diperlukan banyak koreksi untuk meminimal sikap penokohan diri sendiri dalam karya pribadi seperti ini. Suatu analisis dalam karya sejarah memerlukan sudut pandang multidimensional yang dalam hal ini tidak dapat dilakukan apabila hanya digunakan sudut pandang dari salah satu pihak saja. Buku kedua adalah buku yang berjudul Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai : Perjalanan Hidup A.H.Nasution (1998) ditulis oleh Tim Pusat Data Dan Analisa Tempo (PDAT) yang diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti, buku ini memiliki ketebalan sebanyak 416 halaman. Buku ini dijadikan sebagai rujukan penulis karena dalam buku ini berisi tentang catatan-catatan perjalanan hidup A.H. Nasution di pentas politik. Buku ini terdiri dari 11 bagian, berisi catatan singkat tentang peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan hidup A.H. Nasution sejak lahir di Hutapungkut, Kotanopan pada tahun 1918 sampai diberi
17
penghargaan jenderal bintang lima pada tahun 1997. Sekitar masa kecil Nasution dan keluarganya sampai ia masuk sekolah raja di Bukittinggi dan di sana ia mengenal Bung Karno ketika ia masuk CORO dan kemudian menjadi Panglima Divisi III TKR yang membawahi Priangan. Nasution diangkat menjadi penasehat Badan keamanan Rakyat di Bandung dan dijelaskan pula dalam buku ini mengenai pencopotan Nasution dari jabatannya sebagai Wakil Panglima Besar. Sampai akhirnya ia menjabat sebagai ketua Peperpu menindaklanjuti Dekrit Presiden 1959 yang membawa RI kembali ke UUD 1945. Pada tahun 1959 yang menandai retaknya hubungan Nasution dengan Bung karno, hal ini terlihat dengan sikap Nasution yang anti komunis namun
dilain pihak Bung Karno
mendukung Komunis berkembang di Indonesia yang tertuang dalam ide Nasakom. Pada bagian selanjutnya sebuah peristiwa pahit terjadi pada tanggal 30 september 1965 yang menandai situasi politik yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Peristiwa yang mungkin tidak dapat dilupakan Nasution dalam perjalanan hidupnya. Terjadinya peristiwa tersebut menggambarkan melunaknya sikap Bung karno yang nyaris tak punya kekuatan lagi dengan menyetujui Nasution naik kembali sebagai Wakil panglima Besar. Setelah peristiwa G30S merupakan awal dari pahitnya hidup Nasution. Ia yang berniat membabat habis PKI, malah kemudian ia dikucilkan. Tapi sebagai ketua MPRS akhirnya ia juga yang menurunkan Bung Karno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI. Sampai masa-masa kelabu bagi Nasution ketika Fraksi ABRI dan Golkar menolak aktif di MPRS yang dipimpinnya dan mulai terpinggirkan dari percaturan politik nasional. Ia kemudian mendirikan Lembaga Kesadaran
18
Berkonstitusi dan selanjutnya petisi 50. Namun pada akhirnya bagaimana Nasution dirangkul kembali oleh pusat-pusat kekusaan bahkan kemudian mendapatkan bintang lima. Dari buku ini peneliti mendapatkan penjelasan yang cukup dalam mengenai peran A.H. Nasution dalam percaturan politik nasional yang menggambarkan Nasution sebagai tokoh penting yang memberikan konstribusi dalam sistem ketatanegaraan, walaupun dalam buku tersebut lebih memberikan gambaran
yang
menitikberatkan
pada
perjalanan
hidup
Nasution
dari
kehidupannya pada masa kecil sampai perjalanan karirnya baik di tentara maupun di lembaga pemerintahan, sampai ia tersingkir dari percaturan politik setelah peristiwa G30S terjadi. Dalam buku ini juga memuat tentang catatan wawancara khusus dengan Nasution mengenai hal-hal yang menyangkut dirinya yang kontroversial seperti halnya banyak bersinggungan dengan sejumlah persoalan penting. Dia pernah dituduh sebagai ”dalang” peristiwa 17 Oktober 1952, saat moncong meriam diarahkan ke Istana Negara oleh sejumlah perwira Angkatan Darat. Dialah yang melahirkan pidato jalan tengah tentara yang merupakan cikal bakal konsep dwifungsi ABRI. Nasution juga orang pertama yang memimpin lembaga tertinggi negara yaitu MPR(S) dan kabarnya pada saat itulah MPR begitu independen membuat berbagai ketetapan. Buku ini merupakan buku yang dinilai cukup lengkap dalam membahas tentang kehidupan Nasution dibandingkan dengan buku-buku referensi lainnya yang peneliti dapatkan tentang kehidupan
Nasution selain buku karangan
19
Nasution sendiri. Bagaimana kepribadiannya terbentuk, organisasi, sikap dan juga pemikiran-pemikirannya. Buku ketiga adalah buku karya Hendri Supriyatmono (1994) yang berjudul Nasution, Dwifungsi ABRI dan Kontribusi Kearah Reformasi Politik. Buku ini menyajikan kupasan mengenai peranan A.H. Nasution dalam proses perubahan-perubahan politik dan sumbangannya dalam penyusunan konsep Dwifungsi ABRI yang melandasi formasi sistem politik baru pada masa-masa berikutnya. Kajian yang diharapkan cukup terhadap pemikiran-pemikiran paling mendasar dari seorang Nasution dalam satu periode dimana ia sebagai seorang pemimpin militer telah muncul sebagai salah satu elite politik yang paling menentukan ketika itu. Buku ini juga menyoroti sejauh mana gagasan-gagasan strategis dan kebijakan-kebijakannya telah menentukan pola dan keberhasilan perjuangan militer menuju dibakukannya posisi dan fungsi kelompok militer secara legal konstitusional dalam negara, hingga partisipasi politik mereka memiliki legitimacy yang cukup dan permanen. Namun seberapa besar kontribusi konstruktif Nasution terhadap perkembangan politik yang terjadi, yang telah ditandai dengan berlangsungnya pembaharuan politik menuju dibakukannya tatanan politik yang baru. Selain itu hal penting yang peneliti dapatkan dari buku ini adalah gambaran mengenai bagaimana konsep Dwifungsi ABRI berhasil dirumuskan yang dianggap oleh kalangan militer sebagai modal dasar dari keterlibatannya didunia politik. Karya Hendri Supriyatmono di sini lebih menempatkan A.H. Nasution sebagai tokoh kunci yang berperan dalam kancah perpolitikan di
20
Indonesia, mengungkapkan keterlibatan Nasution dalam pengambilan keputusankeputusan politik yang dilakukan oleh Soekarno sebagai pimpinan nasional pada jamannya. Pendapat Hendri yang patut disimak dalam buku ini antara lain ialah bahwa Nasution merupakan salah seorang tokoh militer yang dekat dengan Soekarno yang ikut berperan dalam melahirkan konsep demokrasi terpimpin, walaupun dalam perjalannya ia terkadang
bertentangan dengan pemikiran-
pemikiran Soekarno. Ia juga disebutkan sebagai tokoh yang sejak awal ikut berperan dalam memprakarsai diberlakukannya UUD 1945, disamping sebagai pencetus gagasan dan perumus konsep Dwifungsi ABRI yang pada masa kemudian menjadi landasan pokok bagi formasi sistem politik pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto. Buku keempat yang diterbitkan tentang Nasution, yaitu Bisikan Nurani Seorang Jenderal karya Bakri Tianlean diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1997 yang berisi kumpulan wawancara yang pernah dimuat di media massa tentang perannya dimasa lalu. Buku ini merupakan rentetan perjalanan hidup Nasution, sikap dan peran yang pernah diambilnya dalam momen-momen genting serta beberapa langkah Nasution, termasuk mengapa Nasution tak mengambilalih pimpinan negara dari tangan Soekarno. Bahkan memberi jalan kepada Soeharto yang kemudian berkuasa sebagai pengganti Presiden Soekarno. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian besar, bagian pertama dipaparkan tentang perjalanan Nasution menempuh hidup dan tugas Negara. Bagian kedua memaparkan tentang pengalaman Nasution dalam menghadapi berbagai permasalahan, baik itu menyangkut permasalahan sosial dan politik maupun
21
keamanan. Dan bagian ketiga berisi tentang riwayat hidup sebagaimana yang tertera pada dokumen resmi mengenai sosok dan kiprahnya yang pernah dimuat di media massa. Buku ini lebih banyak menggambarkan kisah-kisah Nasution ketika pada masa-masa awal Orde Baru dan , ketika itu ia tersingkir dari jabatannya sebagai ketua MPRS, bahkan ini adalah batas terakhir dari perjalanan karir Nasution. Akibat rekayasa politik, ketika itu MPRS mengalami kevakuman dan seolah-olah tidak diperlukan lagi. Bukan lantaran MPRS tak mampu menjalankan tugas , tapi lebih karena adanya upaya untuk memacetkan lembaga tersebut. Selain itu juga buku ini berisikan ketika Nasution dicekal, perannya di petisi 50, korupsi, hingga kekerasan politik. Buku ini dinilai cukup berkontribusi dalam membahas tentang perjalanan hidup, sikap A.H. Nasution serta perannya sampai ia mengalami kehidupan yang sangat pahit ketika ia menjelang pensiun. Bahkan masa tuanya pun tidak luput dari penderitaan dan terpinggirkan dari dunia politik. Adapun kekurangan dari buku ini adalah kurang mendalamnya pembahasan mengenai peranan Nasution dalam proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Buku selanjutnya adalah buku yang berjudul A. H. Nasution di Masa Orde Baru karangan Tatang Sumarsono berkaitan dengan tersingkirnya Nasution dari jajaran elite militer
pasca peralihan kekuasaan juga mengupas perjalanan
Nasution secara luas, bahkan juga membahas peranannya dalam periode peralihan kekuasaan. Buku ini mengungkapkan peristiwa-peristiwa penting seputar kiprah A.H. Nasution disaat ia menjalani hari-hari di rumahnya di jalan Teuku Umar no.
22
40 Jakarta pada zaman Orde Baru. Komposisi buku ini berupa rentetan artikel yang dikumpulkan dari berbagai sumber sehingga pembahasan yang tercakup didalamnya terpotongpotong dan tampak tidak utuh untuk menggambarkan sosok dan keseluruhan peran yang pernah dijalankan Nasution. Buku ini juga berisi wawancarawawancara Nasution dengan wartawan tentang berbagai hal, maka buku ini lebih cocok sebagai kesaksian sejarah daripada sebuah karya sejarah. Selain itu sudut pandang objektif sangat diperlukan untuk mengkaji buku-buku perannya di masa lalu yang ditebitkan, karena apa yang dirasakan dan dipikirkan Nasution pada tahun 1967 akan berbeda dengan yang dipikirkan dan dirasakannya beberapa puluh tahun kemudian.
B. Kajian tentang Militer dan peralihan kekuasaan dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto Studi tentang peralihan kekuasaan di Indonesia dibahas secara mendalam oleh Ulf Sundhaussen dalam bukunya, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI, diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1986. Sundhassen menggambarkan bagaimana sikap politik kaum militer selama lebih 20 tahun sebelum terjadinya peralihan kekuasaan. Kelompok-kelompok kepentingan serta latar belakang sikap politik mereka dikedepankan Sundhaussen dengan metode kronologis. Keakuratan penelitiannya didukung oleh sumber yang memadai. Sampai batas tertentu buku ini menjadi contoh bagi penulis, terutama untuk menjelaskan permasalahan yang dikemukakan berdasarkan sudut pandang kaum
23
militer. Seperti dipaparkan dalam buku ini bahwa ketika militer lahir dan berkembang menjadi alat pertahanan, dilain pihak militer juga berkembang menjadi lembaga yang secara fungsi dan peran berada diluar jalur yang ikut terlibat didalam kehidupan politik. Militer Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan militer di negara lain, militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi menjadikan militer tidak hanya menjadi instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi menjadi bagian penting dalam membuat kebijakan politik. Faktor kemerdekaan menjadikan awal keterlibatan militer
Indonesia
dalam
peran
politik,
dimasa
orde
lama,
Soekarno
mengakomodasi militer diawal pemerintahannya dan bersitegang dan menjadi faktor penentu peralihan kekuasaan yang di tandai dengan lengsernya Soekarno sebagai presiden. Di dalam buku ini dengan jelas ketika militer khususnya Angkatan Darat setahap demi setahap memberikan pengaruh terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah dibawah Presiden Soekarno seperti digambarkan dalam dekrit presiden 1959, ketika itu ketidakpusan kaum militer terhadap elit politik sipil yang saling menjatuhkan dan banyaknya kebijakan pemerintahan sipil yang mengancam otonomi khusus dan eksklusifitas militer. Oleh karena itu militer
24
secara tegas memberikan gagasan kepada presiden Soekarno untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan dewan konstituante. Setelah dekrit presiden, muncul sebuah kekuatan-kekuatan yang saling bersaing untuk memperoleh tempat yang cukup strategis dalam pengambilan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Ketika itu muncul PKI yang mulai memperoleh konsesi untuk menempatkan orang-orangnya di posisi-posisi kunci pemerintahan. Kemajuan dan sepak terjang PKI yang semakin kuat di pemerintahan, hal ini tentu saja meresahkan pihak militer khususnya Angkatan Darat yang juga memiliki kekuatan besar dalam pemerintahan. Sehingga muncul pertentangan diantara keduanya, pertentangan tersebut tergambarkan dalam ideology yang dianut di kedua kekuatan tersebut. Namun AD tidak bisa berbuat apa-apa ketika Soekarno lebih condong dan memberi jalan kepada PKI. Ketika muncul peristiwa G30S yang digambarkan dengan tewasnya para jenderal dari AD yang juga merupakan awal dari melemahnya pengaruh PKI di pemerintahan, bahkan PKI dianggap sebagai dalang dari semua peristiwa tersebut. Oleh karena itu muncul kekuatan AD yang memperoleh posisi yang bagus dan secara tidak langsung megambilalih kekuasaan presiden yang diperoleh dari mandat presiden kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah dalam menghadapi gejolak politik yang terjadi. Walaupun peran Nasution di dalam militer menonjol, sebagaimana ditulis oleh Sundhaussen dalam bukunya tersebut, tetapi pada periode peralihan kekuasaan, ia mencatat bahwa peran itu tidak lagi dikendalikan seseorang sebagai individu. Sebagaimana seharusnya, pokok masalah yang dikemukakan oleh
25
Sundhaussen dalam bukunya adalah tentara sebagai lembaga. Hal ini berbeda dengan pokok permasalahan yang dikemukakan penulis yang justru menyoroti peranan Nasution sebagai individu dalam peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Buku kedua adalah karya Harold Crouch (1986), Militer dan Politik di Indonesia pada dasarnya hampir sama dengan karya Ulf Sundhaussen di atas, yakni menyoroti tentara sebagai lembaga. Perbedaan keduanya terletak periode penulisan. Crouch memfokuskan periode penelitiannya sejak Demokrasi Terpimpin
sampai dengan pasca peralihan kekuasaan 1967. Berbeda dengan
Sundhaussen, Crouch hanya memberikan sedikit ulasan tentang sejarah kelahiran TNI. Oleh karena itu ketokohan Nasution dan pengaruhnya terhadap lembaga kemiliteran tidak ditampilkan secara utuh. Studi yang dilakukan oleh Harold Crouch perihal tentara Indonesia pada masa 1945-1965 menggambarkan dengan jelas hal tersebut. Crouch menemukan fakta bahwa sejak masa Revolusi 1945 Militer Indonesia tidak pernah membatasi dirinya sebagai kekuatan militer, sebab klaim keterlibatan mereka dalam perjuangan kemerdekaan mengandaikan keterlibatan perjuangan politik dan militer. Buku yang ditulis Harold Crouch ini adalah salah satu dari pendekatanpendekatan mendalam. Lebih dari satu dasawarsa sebelum Soekarno kehilangan kekuasaannya, Angkatan Darat telah mulai memainkan peran yang penting dan terus meningkat dalam proses politik Indonesia. Akan tetapi pada tahun 1966, yaitu ketika pemerintahan Soeharto menggantikan Soekarno, pemerintahan di Indonesia hampir secara sempurna diambil oleh pemerintahan baru. Sudah tentu
26
Angkatan Darat telah tumbuh menjadi suatu institusi yang besar yang dalam hal ini tidak terlepas pada peran tokoh-tokoh di Angkatan Darat seperti halnya A.H. Nasution. Dalam buku yang di tulis oleh Harold Crouch dalam bukunya Militer dan Politik di Indonesia memberikan informasi tentang proses peralihan yang terjadi di Indonesia yang secara jelas bahwa kaum militer dibawah pengaruh Nasution mengambilalih kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto yang diawali dengan adanya sebuah peristiwa G30S dan lahirnya Supersemar serta gambaran kondisi politik sebelum terjadinya proses peralihan tersebut. Namun buku ini tidak secara mendalam bagaimana pengaruh Nasution dalam proses peralihan. Buku ketiga yang dijadikan rujukan oleh penulis adalah buku yang ditulis oleh Marwati Joened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993) yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Buku ini dijadikan sebagai rujukan oleh penulis karena di dalam buku ini dipaparkan dalam beberapa bagian tulisannya yang menyangkut mengenai permasalahan yang penulis kaji yaitu mengenai keadaan politik Indonesia sampai pada proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto sekitar tahun 1965-1968. Walaupun dalam buku ini lebih jauh lagi menggambarkan sejarah Indonesia sebelum peralihan kekuasaan terjadi bahkan dipaparkan sampai pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. Namun penulis hanya melihat tulisan yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang penulis kaji. Hal ini untuk mempermudah penulis dalam penulisan, sehingga memperoleh hasil yang baik dan tidak terlalu melebar dalam pembahasannya. Dalam buku ini dipaparkan mengenai keadaan politik Indonesia yang
27
penuh dengan pergolakan yang ditandai dengan munculnya kekuatan-kekuatan politik yang memperoleh kedudukan sangat besar dalam pengambilan kebijakan strategis di pemerintahan khususnya pada masa pemerintahan demokrasi terpimpin. Ketika itu ada dua kekuatan besar yang memperoleh kedudukan di pemerintahan yaitu Partai Komunis Indonesia dan Militer khususnya TNI Angkatan Darat yang kemudian kekuatan politik tersebut terpusat di tangan Presiden Soekarno. Diantara kekuatan politik tersebut terjadi gesekan-gesekan yang menimbulkan gejolak politik. Persaingan antara PKI dan TNI-AD dalam memperoleh pengaruh terhadap pemerintahan dilakukan PKI dengan cara “menempel” pada presiden Soekarno, sehingga secara sistematis PKI berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang menerima pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Sehingga dapat mencitrakan sebagai partai yang pancasilais dan yang mendukung ajaran-ajaran presiden Soekarno yaitu ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) pada saat itu. Sehingga ajaran soekarno tersebut sangat menguntungkan PKI, karena menempatkannya sebagai unsur yang sah dalam pergerakan nasional dan dalam konstelasi politik Indonesia. Dilain pihak TNI Angkatan Darat menentang adanya pengaruh yang besar terhadap PKI dan berusaha mengimbanginya. TNI-AD dan para panglima daerah mengingatkan presiden Soekarno agar jangan terlampau percaya atas keloyalan PKI, baik atas perimbangan ideologis maupun atas pengalaman lampau. Namun Soekarno tetap pada keyakinannya bahwa PKI tidak akan melakukan hal yang dianggapnya tidak mungkin. Dalam pidato-pidato Soekarno lebih cenderung pada PKI dan merangsang PKI untuk menyudutkan TNI-AD sebagai pihak yang
28
sumbang suaranya. Puncak dari kegiatan PKI adalah meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI yang menimbulkan korban dari pihak TNI Angkatan Darat. Peristiwa tersebut terjadi ditandai dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Dalam peristiwa ini kemudian Angkatan Darat mengambil langkahlangkah dalam menumpas gerakan tersebut. Dan memperoleh surat mandat dari presiden Soekarno yang di tujukan kepada Letjen Soeharto sebagai Pangkostrad untuk mengambil alih komando yang kemudian surat tersebut terkenal dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Atas mandat tersebut Soeharto kemudian menumpas pemberontakan yang dilakukan PKI. Pada masa ini terdapat dualisme dalam kepemimpinan nasional, yaitu disatu pihak presiden Soekarno yang masih aktif dan di pihak lain adanya tokoh Jenderal Soeharto yang semakin popular berkat prestasinya menumpas pemberontakan G 30 S/PKI dalam waktu yang singkat, serta melaksanakan dengan pasti usaha-usaha stabilisasi politik dan ekonomi berdasarkan surat perintah 11 Maret 1966.