BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Sejarah Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Penemuan sampel dari jaringan potongan beku dan serum dari seorang pria berusia 15 tahun di St. Louis Amerika Serikat, yang dirawat dan meninggal akibat Sarkoma Kaposi diseminata dan agresif pada 1968. Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 pada saat itu diberi nama LAV (Lymphadenopathy virus) sedangkan
Robert Gallo menemukan virus
penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III.1,7 Sejak tahun 1986 telah banyak dilakukan penelitian tentang HIV. HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien AIDS di Afrika hingga pada tahun 1996-1997 obat highly active antiretroviral therapy (HAART) digunakan untuk menekan replikasi HIV. Luc Montagneir tahun 2008 menerima penghargaan nobel atas penelitian yang berhasil mengisolasi HIV dari pasien dengan limfadenopati.11
2.2 Defenisi Human
Immunodeficiency
virus
(HIV)
adalah
virus
sitopatik
diklasifikasikan dalam family Retroviridae, subfamily Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk family retrovirus, termasuk virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases).2,12 Virus ini terdiri dari dua salinan RNA beruntai tunggal, tiap untaian memiliki sembilan genes (gag, pol, vif, vpr, vpu, env, rev, tat, nef), dan terdiri dari 2.000 kopi p24 protein virus. Dikelilingi oleh kapsid selubung virus (envelope). Selubung virus terdiri atas dua lapisan membrane lipid, dimana masing-masing unit selubung virus terdiri atas
Universitas Sumatera Utara
dua non-kovalen rangkaian protein membrane glycoprotein 120 (gp 120), protein membran luar dan glycoprotein 41 (gp 41).2,12
Gambar 2.1 Struktur HIV 7
2.3 Epidemiologi Penularan HIV/AIDS terjadi akibat kontak melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkan.1 Badan WHO tahun 2011 melaporkan ada sebanyak 34 juta orang terinfeksi HIV, setiap tahun dijumpai 2,2 juta sampai 2,5 juta orang kasus baru infeksi HIV dan 1,7 juta orang meninggal karena AIDS. Sejak tahun 1985-1996 kasus AIDS masih amat jarang di Indonesia, namun sebagian besar dari kelompok homoseksual.1,3 Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok orang yang berprilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para penjaja seks komersil dan penyalah gunaan NAPZA suntik dibeberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemik terkonsentrasi (concentrated level of epidemic), sedangkan Papua sudah memasuki tingkat epidemik meluas (generalized epidemic).3 Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian
Universitas Sumatera Utara
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (2013), sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Maret 2013, HIV/AIDS tersebar di 345 (69,4%) dari 497 Kabupaten/Kota di seluruh provinsi di Indonesia dilaporkan 103.759 kasus HIV, 43.347 kasus AIDS dan 8.288 kasus yang meninggal, dimana persentase AIDS laki-laki sebesar 55,4%, perempuan sebesar 28,8% dan yang tidak melapor jenis kelamin sebesar 15,8%. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2013), sampai Maret 2013 terdapat 6.824 kasus HIV terdiri dari 4.920 laki-laki dan 1.748 perempuan.6
2.4 Patogenesis Infeksi HIV HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertikal, horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang menembus dinding pembuluh darah secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk kedalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, langerhan’s, sel dendrite, astrosit, dan makroglia. Kemudian untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine receptor yaitu CXCR4 dan CCR5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Intensitas ikatan gp120 HIV dengan reseptor CD4 ditentukan melalui peran regio V terutama V3. Stabilitas dan potensi ikatan diperkuat oleh ko-reseptor CCR5 dan CXCR4. Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membrane HIV dengan membrane sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transcriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk ke sel target, HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi sehingga menjadi double
Universitas Sumatera Utara
strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus, menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten.2,12
2.5 Siklus Hidup HIV HIV
merupakan
retrovirus
obligat
intraseluler
dengan
replikasi
sepenuhnya di dalam sel host (gambar 2.2). Di dalam siklus hidup HIV, rangkaian asam nukleat berperan pada fungsi intrinsik. Asam nukleat merupakan zat kimia yang bertanggung jawab atas penyimpanan dan penyampaian semua informasi genetik untuk yang di perlukan guna perencanaan pembentukan fungsi sel. Asam nukleat mengandung deoksiribosa disebut asam deoksiribo nukleat atau DNA. Yang mengandung ribosom disebut asam ribonukleat atau RNA. DNA berperan membawa informasi genetik untuk sintesis protein. RNA termasuk mRNA (messenger RNA), tRNA (transfer RNA) dan rRNA (ribosomal RNA) bertugas melaksanakan instruksi yang dibawa DNA.2 Untuk terjadinya infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel host yaitu molekul CD4. Molekul sel CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari seluruh virus. Diantara sel tubuh yang memiliki molekul sel CD4 paling banyak adalah sel limfosit-T. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada reseptor CD4 limfosit T. Setelah menempel, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit-T, terjadi fusi kedua membran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi suatu DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA melalui bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel host dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten, atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung dari aktivitas dan
Universitas Sumatera Utara
diferensiasi sel host (limfosit-T CD4) yang terinfeksi, sampai suatu saat terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi dengan kecepatan yang sangat tinggi.2,12
Gambar 2.2 Siklus Hidup dan Patogenesis HIV 13
Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus dan gejala klinis melalui 3 fase: 2.5.1 Fase Infeksi Akut Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion). Viremia dari begitu banyak virion tersebut memicu munculnya sindroma infeksi akut dengan gejala yang mirip sindroma flu yang juga mirip dengan infeksi mononukleosa. Sekitar 50-70% orang terinfeksi HIV mengalami sindroma infeksi akut selama 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargia, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia dan penurunan berat badan. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit-T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respon
Universitas Sumatera Utara
imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas 500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV.2,12 2.5.2 Fase Infeksi Laten Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam Sel Dendritik Folikuler (SDF) dipusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang ditemukan virion diplasma sehingga jumlah virion diplasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe. Sehingga penurunan limfosit-T terus terjadi walaupun virion diplasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3, setelah terjadi
serokonversi positif
individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis (Asimptomatis).2,12
2.5.3 Fase Infeksi Kronik Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 hingga dibawah 200 sel/mm3. Penurunan limfosit-T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Perjalanan penyakin semakin progresif yang mendorong kearah AIDS.2,12
Gambar 2.3 Perjalanan Infeksi HIV 12
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kriteria Diagnosis Infeksi HIV Diagnosis HIV/AIDS ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium mulai dari uji penapisan. Dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Sebagai penyaring digunakan tehnik ELISA (enzyme-linked immunusorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, selalu didahului dengan konseling pra-test atau informasi singkat. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu menjalani serangkaian pemeriksaan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis (pemeriksaan jumlah CD4) dengan tujuan untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan ARV atau tidak dan pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum memulai terapi.2,4
Tabel 2.1 Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
4
Keadaan Umum Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar Demam (terus menerus atau intermiten, temperature oral > 37,50C) yang lebih dari satu bulan Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan Limfadenopati meluas Kulit •
PPE dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genitalia (genital Warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV.
Infeksi Infeksi Jamur
Infeksi Viral
Gangguan
• • • • • • • • •
Kadidiasis Oral Dermatitis seboroik Kandidiasis vagina berulang Herpes Zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermato) Herpes genital (berulang) Moluskum kontangiosum Kondiloma Batuk lebih dari satu bulan Sesak nafas
Universitas Sumatera Utara
Pernafasan
Gejala Neurologis
• • • • • •
Tuberkulosis Pneumonia berulang Sinusitis kronis atau berulang Nyeri kepala yang semakin parah (terus-menerus dan tidak jelas penyebabnya Kejang demam Menurunnya fungsi kognitif
2.6.1 Stadium Klinis Pada tahun 1990, WHO mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan virus HIV-1.
Penilaian stadium klinis (Tabel 2.2) ditentukan setelah
diagnosis infeksi HIV ditegakkan (serologi dan/atau virologi). Stadium klinis bermanfaat untuk menilai status penderita saat diagnosis HIV ditegakkan dan follow-up penatalaksanaan, serta menjadi pedoman untuk memulai terapi profilaksis kotrimoksazol dan/atau intervensi lainnya yang berhubungan dengan infeksi HIV, termasuk kapan memulai terapi ARV. Stadium klinis berhubungan dengan angka harapan hidup prognosis dan progresifitas penyakit tanpa terapi ARV.14
Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis HIV berdasarkan kriteria WHO Stadium I II
III
Gambaran Klinis . Asimptomatik 2. Limfadenopati generalisata 1. Berat badan menurun < 10% 2. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, kheilitis angularis 3. Herves zoster dalam 5 tahun terakhir 4. Infeksi saluran nafas atas atau seperti sinusitis Bakterialis Berat badan menurun > 10 %. Diare kronis yang berlangsung > 1 bulan. Demam > 1 bulan. Kandidiasis orofaringeal. Oral Hairy Leukoplakia. TB paru dalam tahun terakhir. Infeksi bakterial yang berat seperti pneumonia,
Universitas Sumatera Utara
piomiositis IV
HIV wasting syndrome. Pneumonia Pneumocystis Carini. Toksoplasmosis Otak. Diare kriptosporidiosis > 1 bulan. Kriptokokosis ekstrapulmonal. Retinitis virus Citomegalo. Herves simpleks mukokutan > 1 bulan. Leukoensefalopati multifokal progresif. Mikosis diseminata seperti histoplasmosis. . Kandidiosis esofagus, trakhea, bronchus dan paru. . Mikobakteriosis atipikal diseminata. . Septisemia salmonelosis non tifoid. . Tuberkulosis di luar paru. . Limfoma. . Sarkoma Kaposi. . Ensefalopati HIV
2.7 Antiretroviral (ARV) Prinsip pengobatan ARV tidak menyembuhkan tetapi dapat menghentikan proses penyakit pada penderita HIV untuk beberapa tahun. Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita yang dicurigai. Sebelum mendapatkan terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidup. ARV harus diberikan secara kombinasi, paling tidak melibatkan 3 jenis obat untuk mendapatkan efek optimal serta memperkecil resistensinya.2,4 Terdapat tiga kelompok obat ARV, masing-masing ARV memiliki cara yang berbeda dalam merusak atau menghambat HIV yaitu 4,14-16:
2.7.1 Reverse Transcriptase Inhibitors HIV membutuhkan suatu enzim yang dikenal dengan reverse transcriptase untuk menginfeksi sel inang dan mereproduksi dirinya. Seperti namanya obat ini memperlambat produksi dari enzim transkriptase enzim dan membuat HIV tidak dapat menginfeksi sel dan menduplikasi sel. Golongan obat reverse transcriptase ini terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
2.7.1.1 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors Obat nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) Juga dikenal sebagai nukleoside analog, adalah obat jenis pertama untuk menghambat HIV. Dikenal mulai tahun 1987.
2.7.1.2 Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors Golongan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) mulai dikenal pada tahun 1997 dan secara umum dikenal sebagai non-nukleosid.
2.7.1.3 Nukleotide Reverse Transcriptase Inhibitors Sebenarnya hanya ada satu jenis obat ini yaitu tenofovir. Obat ini bekerja dengan mencegah reverse transkriptase enzim tapi dalam cara yang berbeda dengan obat reverse transcriptase lain.
Tabel 2.3 ARV golongan Reverse Transcriptase Inhibitors Nukleosid analog Reverse Transcriptase Inhibitos (NRTI) - 3TC (Lamivudine) - Abacavir (Ziagen, ABC) - AZT (Retrovir, zidovudine) - Combivir (AZT/3TC) - Trizivir (AZT/3TC/abacavir) - D4T (Zerit, stavudine) - ddC (Hivid, zalcitabine) - ddI (Videx (tablet) Videx C (capsule),
Non Nucleside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs) - Delavirdine (Rescriptor) - Efavirenz (Sustiva) - Nevirapine (Viramune)
Nucleotide Reverse Transcriptase inhibitors (NRTIs) Tenofovir (Viread)
- FTC (Emtriva, emtricitabine) 2.7.2 Protease Inhibitor (PI) Jenis kedua dari obat ARV adalah protease inhbitor. Diperkenalkan pertama kali tahun 1995. Protease inhibitor menginhibisi protease yaitu suatu
Universitas Sumatera Utara
enzim digestif yang memecah protein dan merupakan salah satu dari banyak enzim yang digunakan oleh HIV untuk menduplikasikan dirinya. PI berperan dalam mencegah sebelum enzim protease dalam HIV merusak dan memotong rantai enzim dan protein.17
Tabel 2.4 ARV Golongan Protease Inhibitor Protease Inhibitor (PI) Lopinavir/ritonavir (Kaletra) Amprenavir (Agenerase) Atazanavir (Reyataz) Indinavir (Crixivan) Nelfinavir (Viracept) Ritonavir (Norvir) Saquinavir (Fortovase (soft gel) Invirase (hard gel)) Tipranavir (PNU)
2.7.3 Fusion atau Inhibisi Entry Permukaan dari HIV bermuatan protein yang dikenal sebagai gp 41 dan gp120. Ini adalah protein yang mempersiapkan HIV untuk melekatkan dirinya atau masuk kedalam sel. Dengan mencegah salah satu dari protein tersebut, akan memperlambat proses reproduksi
dari HIV. Sebagai contoh T20 adalah fusi
inhibitor yang melekat pada gp41. Obat T20 berbeda dari obat lainnya karena harus disuntikkan. T20 adalah suatu protein karena itu tidak dapat diberikan secara oral karena tidak dapat dicerna. Salah satu T20 adalah fruzeon atau enfuvirtid.
2.8 Zidovudine Zidovudine (3’-Azido-3’-deoxythymidine) pertama kali disintesa pada tahun 1960 yang digunakan sebagai anti kanker namun tidak efektif. Pada tahun 1985 digunakan sebagai bahan aktif secara in vitro digunakan untuk pengobatan lini pertama
infeksi
dan obat penting yang HIV-1.
Secara struktur
merupakan timidin nukleosida endogen dan merupakan kelompok azido (N3) pada gugus hidroksil (-OH) posisi 3’ dari rantai deoksiribosa, yang dapat mencegah dan memutuskan pembentukan rantai
posfodiester yang dibutuhkan untuk
Universitas Sumatera Utara
replikasi DNA virus.30,31 Obat ini tergolong analog nukleosida atau nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI).20
Gambar 2.4 Struktur kimia Zidovudine21
Nama dagang
: Retrovir®, Adovi®, Avirzid®
Rumus molekul
: C10H13H5O4
Berat molekul
: 267,2 gr/mol
Sinonim
: Azido deoksitimidin, Azidotimidin, AZT, Zidovudinum, 3’-Azido-3’-deoksitimidin
Fungsi
: Antiretroviral
2.8.1 Farmakokinetik dan Metabolisme Pemberian zidovudine secara oral sangat cepat diserap melalui saluran pencernaan pada saat lambung tidak kosong. Distribusi obat tersebut terjadi secara difusi pasif
dan lipofilik relatif
dengan bioavailabilitas mencapai 63%
.
Konsentrasi plasma maksimal tercapai dalam 0,4-1,4 jam setelah pemberian obat. Sekitar 25% AZT terikat protein terutama albumin.19,21 Zidovudin dapat di temukan di seluruh cairan tubuh selain plasma dengan volume distribusi sekitar 1,4 L/kg . Waktu paruh plasma dari zidovudin sekitar 1 jam.19 Zidovudin dimetabolisme terutama di
mitokondria sel hati oleh enzim sitokrom p3A4
melalui 5-’glikoronidase membentuk metabolit glukoronidase yang stabil yang diekskresi melalui ginjal. Sekitar 14-20% obat tersebut tidak berubah namun 6070% dari metabolisme utama di ekskresi melalui urin. Zidovudin secara perlahanlahan
dapat
menembus
cairan
serebrospinal
dengan
konsentrasi
maksimal dicapai dalam 2 jam.16,19,21
Universitas Sumatera Utara
2.8.2 Farmakodinamik Zidovudin
merupakan
suatu
nukleosida
analog
sintesis.
Secara
intraseluler, zidovudin difosforilasi untuk metabolit 5’-triphospat aktif (AZT-TP) yang berfungsi untuk menghambat reverse transcriptase (RT) melalui pemutusan rantai DNA setelah bergabung dengan nukleosida analog. AZT-TP adalah inhibitor lemah dari seluler rantai DNA polymerase α dan gama . Dalam studi kombinasi obat AZT memiliki hubungan sinergis dengan NRTI abacavir, ddI, Lamivudin dan zalcitabine, NNRTI delavirdine dan nevirapine, dan protease inhibitor (PI) indinavir, nelfinavir, ritonavir dan saquinavir dan bekerja secara aditif dengan interferon alfa.22
2.8.3 Keamanan, Toleransi dan efek samping Zidovudin termasuk golongan NRTI, bila di kombinasi dengan lamividin dan efavirenz merupakan pengobatan yang sangat efektif untuk pasien HIV yang naïf.8,23 Respon imunologi dalam peningkadan kadar CD4 dalam penggunaa obat tersebut selama 48 minggu dapat mencapai 155 sel/mm3.23 Zidovudin memiliki toksisitas dengan spektrum yang luas sehingga efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan zidovudin adalah sakit kepala, mual dan muntah, nyeri otot, kelelahan peningkatan fungsi hati dan asidosis laktat, neutropenia, dan miopati. Penggunaan dalam waktu yang lama dapat megakibatkan kulit dan kuku menghitam. Efek samping lebih lanjut yang paling sering terjadi adalah anemia. Anemia terjadi bila awal pengobatan dengan kadar sel CD4 rendah (<200 sel/mm3) sehingga dapat menyebabkan efek toksisitas terhadap hematologi
yang berat. Efek tersebut dapat menyebabkan supresi
sumsum tulang dimana efek tersebut berhubungan dengan durasi pengobatan dan kadar sel CD4. Pada pasien dengan kadar sel CD4 awal pengobatan >100 sel/mm3 kejadian anemia dpt mencapai 2-14%, namun jika kadar sel CD4 awal pengobatan <100sel/mm3 kejadian toksisitas hematologi akan lebih berat.
Anemia dapat
terjadi setelah 1 sampai 2 bulat setelah menggunakan zidovudin, anemia tersebut terjadi akibat defisiensi triposfat yang dapat menghambat kematangan sel induk.17 Penelitian di India membuktikan bahwa prevalensi anemia yang disebabkan karena pemakaian AZT bervariasi antara 5,42% - 9,62%.24 Agarwal dkk, study
Universitas Sumatera Utara
retrospektif melaporkan bahwa insidensi anemia pada pasien HIV yang menggunakan pengobatan dengan zidovudin tinggi.9 Efek samping yang muncul saat pengobatan dapat menimbulkan efek
yang merugikan yaitu tingkat
kepatuhan makan obat menjadi rendah sehingga mempengaruhi tingkat keberhasilan terapi, kegagalan virology dan memperburuk kualitas hidup penderita.9,17 Studi Lesotho di Zambia menyatakan bahwa tingkat mortalita sangat tinggi pada pasien yang menggunakan regimen AZT. Semua efek samping ini bersifat reversible jika obat tersebut dihentikan.23,25
2.9 Tenofovir Tenofovir (TDF) adalah obat yang dipakai sebagai bagian dari terapi antiretroviral (ART). Obat ini sejak tahun 2001 di Amerika Serikat digunakan sebagai obat antiretroviral untuk penderita HIV. Tenofovir termasuk golongan analog nukleotida atau nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI) dan merupakan 9-R-2phospho-nomethoxypropyl adenin (PMPA).22,26
Gambar 2.5 Struktur kimia Tenofovir
22
Nama dagang
: Viread®
Rumus molekul
:C19H30N5O10P.C4H4O4
Berat molekul
: 305.2 gr/mol
Sinonim
: Tenofovir disoproxil fumarat (TDF)
Fungsi
: antiretrovilal
Universitas Sumatera Utara
2.9.1 Farmakokinetik dan Metabolisme Tenofovir mudah larut dalam air dan mudah diabsorbsi melalui usus, bioavaibilitasnya adalah 30% setelah mengkonsumsi makanan berlemak tinggi dan 25% bila berpuasa. Penelitian secara in vitro menyatakan bahwa TDF tidak memiliki sitokrom (CYP) 450 dan tidak dimetabolisme di hati. TDF dieliminasi secara luas dan cepat, obat tersebut 80% tidak berubah dalam urine selama 3-4 hari dengan waktu paruh yang relative lama 12-18 jam, dengan volume distribusi sekitar 0,51 L/jam/kg.27
Tabel 2.5 Dosis TDF pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau yang menjalani hemodialisis.27 Renal impairment classification
Creatinine clearance (mL/min)
Normal
Administration
>50
Every 24 hours
Moderate
30-49
Every 48 hours
Severe
10-29
Every 72 to 96 hours
<10
12 hours of dialysis
Hemodialysis
2.9.2 Farmakodinamik Tenofovir termasuk golongan NtRTI yang berfungsi menghambat enzim reverse transcriptase. Enzim
ini mengubah bahan genetik (RNA) HIV
menjadikannya bentuk DNA. Ini harus terjadi sebelum kode genetik HIV dapat dimasukkan ke kode genetik sel yang terinfeksi HIV. Tenofovir pertama kali dihidrolisa di dinding usus dengan boxylesterase selanjutnya di hati dihidrolisis oleh phosphodiesterase, kemudian TDF memasuki sel melalui trasporter anion organik. Setelah masuk ke dalam sel oleh enzim adenilatkinase TDF akan dirubah menjadi tenofovir mono-fosfat (TDF-MP), pembentukan kedua oleh nukleotida fosfat kinase akan membentuk tenofovir difosfat (TDF-DP). TDF-DP inilah yang aktif menghambat reverse transcriptase virus. Secara in vitro tenofovir bekerja secara sinergis dan aditif bila di kombinasi dengan ARV tertentu dan tidak ada
Universitas Sumatera Utara
interaksi antagonis. Obat tersebut aktivitas sinergis kuat dengan AZT dan nevirapine (NVP) dan aktivitas sinergis ringan dengan ddI dan nelfinavir (NFV).27
2.9.3 Keamanan, Toleransi dan efek samping Mulai tahun 2010 WHO mulai menyarankan regimen pengobatan lini pertama antiretroviral yaitu zidovudin (AZT) dan tenofovir (TDF). Dari dua pilihan ini TDF memiliki keuntungan yang lebih banyak karena obat tersebut ditoleransi dengan baik, dalam memonitoring efek samping lebih sedikit dalam pemeriksaan laboratorium, memiliki sitotoksik yang minimal, harga yang murah dan memiliki efek imunomodulator. Suatu penelitian
selama 12 minggu
menyatakan bahwa terdapat kegagalan virologi sebesar 91% pada pasien yang mendapatkan pengobatan yang mengandung TDF, ddI, dan 3TC. Efek samping yang sering dijumpai adalah mual, muntah, hilang nafsu makan. Tenofovir dapat mengakibatkan kerusakan pada ginjal sehingga sebaiknya fungsi ginjal harus dipantau.27,28 Studi 907 yang merupakan studi randomaized double-blaind yang menggunakan terapi tenofovir 300 mg sekali sehari terbukti menunjukkan kemampuan untuk mempertahankan penekanan virus dalam jangka panjang pada sebagian besar pasien HIV dan memiliki frekuensi rendah untuk terjadinya mutasi K65R.26
2.10 Tatalaksana Pemberian ARV Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi ARV atau belum.4 Pengobatan ARV terdiri dari obat-obat yang dapat memperlambat reproduksi HIV pada tubuh. Agar pengobatan ini dapat lebih efektif dalam waktu yang lama maka diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat ARV.15,16
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Indikasi Pemberian ARV berdasarkan kriteria WHO:4 Target populasi
Stadium Jumlah sel Rekomendasi klinis CD4 ODHA dewasa Stadium klinis > 350 sel/mm3 Belum mulai terapi 1 dan 2 Monitor gejala klinis dan jumlah sel CD4 setiap 6-12 bulan < 350 sel/mm3 Mulai terapi Stadium klinis Berapapun Mulai terapi 3 dan 4 jumlah sel CD4 Pasien dengan ko- Apapun Berapapun Mulai terapi infeksi TB stadium klinis jumlah sel CD4 Pasien dengan ko- Apapun Berapapun Mulai terapi infeksi Hepatitis stadium klinis jumlah sel CD4 B kronik aktif Ibu hamil Apapun Berapapun Mulai terapi stadium klinis jumlah sel CD4 Untuk pasien baru HIV/AIDS, ada 4 pilihan panduan ARV sebagai lini pertama pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO dan juga dipakai di Indonesia (Tabel 2.7).4
Tabel 2.7 Panduan ARV lini pertama AZT + 3TC + (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) NVP
ATAU
AZT + 3TC + (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) EFV
ATAU
TDF + 3TC ( (Tenofovir + Lamivudine ATAU FTC) + Emtricitabine) + Nevirapine) NVP
(atau
ATAU
TDF + 3TC (atau (Tenofovir + Lamivudine FTC) + EFV Emtricitabine) + Efavirenz)
(atau
AZT= Zidovudine, 3TC=Lamivudine, NVP=Nevirapine, TDF=Tenofovir, FTC=Emtricitabine, EFV=Efevirenz 2.11 Pemantauan klinis dan laboratorium selama terapi ARV lini pertama Frekuensi pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Selama pemberian terapi ARV, perlu dilakukan pematauan klinis pada minggu ke2,4,8,12 dan 24 sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila
Universitas Sumatera Utara
pasien telah mencapai keadaan stabil. Demikian
juga dengan kadar CD4,
pemantauan berkala dilakukan setiap 3 atau 6 bulan atau lebih sering bila ada indikasi klinis . Pengukuran hemoglobin dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala, dan bukan pemeriksaan yang rutin. Bila menggunakan AZT dengan kadar CD4 antara 250-350 sel/mm3 maka perlu dilakukan pemantauan hemoglobin sejak memulai terapi ARV. Pengukuran viral load (VL) tidak dianjurkan untuk monitoring pasien yang mendapatkan ARV terutama pada tempat-tempat dengan fasilitas dan kemampuan pasien yang terbatas. Pemeriksaan VL umumnya digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan gagal terapi. VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan pemantauan klinis atau pemeriksaan kadar CD4. Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi yang diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi setelah bulan ke6.4
Universitas Sumatera Utara