9
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Karakteristik Produk Banyaknya variasi produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan merupakan suatu langkah untuk menghadapi persaingan dalam merebut pangsa pasar. Terbukti Toyota setelah me-launching Toyota Avanza, berhasil merebut antusiasme masyarakat. Karakteristik produk merupakan salah satu alasan yang membuat produk tersebut laku dipasaran. Ryerson (2009) mengatakan karakteristik suatu produk merupakan modal atau atribut penting, sejauh mana produk tersebut mampu memberikan keuntungan untuk memenuhi tujuan yang lebih besar. Dengan kata lain, karakteristik produk adalah suatu pola yang akan menentukan suatu produk layak untuk di konsumsi atau tidak. Definisi lain oleh Kottler & Keller (2006) bahwa karakteristik produk adalah kondisi yang berbeda / khusus suatu produk dari para pesaing yang dapat ditawarkan kepada para pelanggan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, setiap produk memiliki karakteristik yang unik dan berbeda. Selain itu, pemasar berusaha menciptakan produk dengan karakteristik tertentu yang unik sehingga pelanggan memiliki persepsi yang unik juga terhadap produk.
Dalam industri otomotif, perlombaan untuk menciptakan suatu produk baru yang dapat meraih pangsa pasar merupakan hal yang sangat penting. Perusahaan yang dapat
10 menciptakan suatu produk dengan memiliki kelebihan pada karakteristik produknya, merupakan nilai tambah yang akan membantu perusahaan dalam mencapai tujuannya. Perusahaan akan lebih mudah menentukan pangsa pasar yang akan dibidik nantinya. Seperti pada Toyota Astra Motor yang memperkenalkan Toyota Avanza pertama kali pada tahun 2004. Mobil tersebut langsung mendapatkan antusiasme yang cukup besar di Indonesia. Selain harga yang sangat terjangkau, mobil tersebut sudah memiliki spesifikasi yang lengkap untuk berada pada segmen kelas city car seperti penambahan pada sensor parkir, CD-Player, dan sporty design pada bumper. Toyota Avanza juga dapat dikategorikan mobil keluarga yang memiliki kapasitas daya angkut yang tidak kalah dengan MPV car. Hal tersebut yang menjadikan Toyota Avanza laku dipasaran dan memiliki karakteristik produk yang kuat di mata konsumen. Peter & Olson (2002) mendiskripsikan tujuh karakteristik yang harus dimiliki oleh sebuah produk baru agar sukses dalam menjaring pelanggan. Ketujuh faktor itu antara lain : 1. Compability, adalah derajat kekonsistenan produk terhadap berbagai kebutuhan konsumen yang berbeda-beda. 2. Trialability, dapat dicoba sehingga konsumen dapat mengetahui dan memahami fungsi produk secara langsung. 3. Observability, adalah kemampuan produk untuk dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain.
11 4. Speed, adalah seberapa cepat keunggulan dari produk dapat dirasakan oleh konsumen. 5. Simplicity, adalah kemudahan produk untuk dimengerti dan digunakan. 6. Product Simbolys, adalah bagaimana tingkat kepentingan suatu produk atau merek bagi konsumen. Gambar 2.1 Karakteristik Produk Toyota Avanza
12
2.2. Harga Jual Kembali Sewaktu konsumen memutuskan untuk melakukan pembelian atas suatu produk, mereka telah melakukan peritungan terlebih dahulu bahwa produk tersebut akan mengalami depresiasi. Maksudnya adalah modal atas pembelian produk tersebut akan mengalami penyusutan setiap tahunnya untuk periode tertentu. Banyak pelanggan sewaktu membeli sebuah produk memasukkan faktor harga jual kembali (resale value) sebagai pertimbangan dalam memutuskan merek atas produk yang akan dibelinya untuk manfaat di masa yang akan datang. Oleh karena itu menurut Dalvi (2010) mengatakan bahwa harga jual kembali (resale value) merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk di perhatikan sebelum membeli sebuah mobil. Diantara produk – produk yang ada di Indonesia, Toyota merupakan salah satu produk yang memiliki harga jual kembali (resale value) yang cukup stabil. Hal ini diperkuat
pada
Harian
Koran
Jakarta
(http://www.koranjakarta.com/print-
berita.php?id=48164), yang menjelaskan bahwa harga jual kembali untuk produk Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan produk mobil MPV lainnya. Di Indonesia sekarang ini penjualan untuk produk Avanza per Januari sampai November 2004 mencapai angka 9.574 unit, yang mencatat kenaikan luar biasa dengan angka penjualan terbesar sepanjang sejarah Avanza. Hal tersebut menandakan bahwa pangsa pasar di Indonesia cukup bagus.
13 Menurut Kumar 2001, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Image. Pembeli menganggap produk tersebut membuat perbedaan – perbedaan besar pada sisi manfaat dan keunggulan. Contohnya mobil – mobil Amerika lebih menggunakan bahan bakar adiktif yang mengutamakan kinerja mesin dan torsi, sedangkan mobil Jepang lebih kepada bahan bakar yang efisien, hemat, dan ramah lingkungan. 2. Spare parts Availability. Kecelakaan seringkali menyebabkan mobil yang di kendarai harus di perbaiki. Perbaikan – perbaikan tersebut tentu membutuhkan spare part baru. Kemudahan dan kelengkapan dalam mendapatkan spare part yang dibutuhkan menjadi salah satu alasan mengapa produk Toyota memiliki resale value yang stabil. 3. Maintenance. Mobil sekelas Toyota Avanza memiliki tingkat pemeliharaan yang tidak terlalu mahal dibandingkan dengan mobil – mobil Eropa. Selain murah, tempat service berkala yang tidak terlalu sulit ditemui menjadi salah satu faktor Toyota Avanza memiliki resale value yang stabil. 4. After Sales Service Total Quality Service menjadi kelebihan Toyota untuk selalu memberikan yang terbaik untuk para pelanggannya, seperti Service Reminder yang
14 bertujuan untuk mengingatkan para pelanggannya untuk melakukan servis pertama 1000 km dan servis berkala selanjutnya secara rutin.
Bell dalam Kelley Blue Book (2009) juga menjabarkan bahwa kendaraan memiliki masa manfaat selama kurang lebih lima tahun dan setelah itu umur ekonomis suatu kendaraan akan berpengaruh kepada harga jual kembali kendaraan tersebut. Nilai jual kembali kendaraan juga di dasarkan pada penawaran dan permintaan saat ini dan proyeksi kondisi pasar di masa mendatang. Kendaraan yang dapat mempertahankan nilai jual kembali sangat jarang di jual dengan diskon ataupun promosi – promosi lainnya dan cenderung menghasilkan antusiasme konsumen yang sangat tinggi.
2.3. Ekuitas Merek Banyak perusahaan yang sukses membangun merek. Merek yang kuat dan melekat dibanyak benak konsumen amat penting untuk kesuksesan merek tersebut. Pertanyaannya adalah, kenapa merek mempunyai peran yang demikian penting bagi perusahaan. Merek, menurut Garlbaldi (2003), didefinisikan sebagi kombinasi dari atribut – atribut, dikomunikasikan melalui nama atau simbol, yang dapat mempengaruhi proses pemilihan suatu produk / layanan di benak konsumen. Merek akan bernilai jika konsumen mempunyai pengalaman yang positif terhadaprnya. Menurut Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2002:2), ada beberapa faktor yang menjadikan merek sangat penting :
15 a. Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji emosi menjadi konsisten dan stabil. b. Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia dan budaya. c. Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen. Semakin kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan makin banyak asosiasi merek yang terbentuk dalam merek tersebut. Jika asosiasi merek yang terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat, potensi ini akan meningkatkan citra merek. d. Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen. Merek yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen. e. Merek berkembang menjadi sumber asset terbesar bagi perusahaan.
Menurut Susanto dan Wijanarko (2004:2), ekuitas merek adalah istilah yang sering digunakan untuk mengukur besaran nilai sebuah merek. Banyak merek yang beredar dipasaran memiliki ekuitas merek yang lebih besar daripada asset perusahaannya sendiri. Dalam menghadapi persaingan ketat, merek yang kuat merupakan suatu pembeda yang jelas, bernilai, dan berkesinambungan, menjadi ujung tombak bagi daya saing perusahaan dan sangat membantu dalam strategi pemasaran. Kotller (2004:214) mendefinisikan ekuitas merek sebagai efek diferensial positif yang ditimbulkan oleh pengetahuan nama merek terhadap pelanggan atas produk atau
16 jasa tersebut. Selain itu, pemasar berusaha menciptakan produk dengan karakteristik tertentu yang unik sehingga pelanggan memiliki persepsi yang unik juga terhadap produk. Konsistensi sangatlah dibutuhkan untuk membangun suatu merek. Menurut Keller (2000), merek dikatakan kuat dan sehat jika mampu mengkapitalisasi pendapatan atau cash flow jauh lebih baik dibanding tanpa merek. Keller juga mengajukan sebuah model pengembangan merek yang disebut sebagai customer-based brand equity. Model CBBE ini didasarkan pada empat pertanyaan utama : Gambar 2.2.CBBE (Customer-Based Brand Equity)
Relationship : What about u & me
Consumer Brand Resonance
Consumer Judgement
Brand Performace
Intense, Active Relationship
Response : What about u
Positif, Accesible Response
Meaning : What are u
Strong, Favorable & Unique Brand Association
Identity : Who are u
Deep, Broad Brand Awareness
Consumer Feeling
Brand Imagery
Brand Salience
CBBE by : Keller (2000)
17 a.
Seberapa jauh perusahaan dapat secara jelas merumuskan indentitas merek (who are you?)
b.
Seberapa jauh perusahaan mengembangkan asosiasi yang mempunyai arti tertentu bagi konsumennya (what are you?)
c.
Bagaimana tanggapan konsumen terhadap asosiasi yang ditawarkan oleh merek (what about you?)
d.
Seberapa jauh interaksi yang terjadi antara konsumen dan merek menyebabkan ikatan antara keduanya menjadi lebih kuat (what about you and me?)
Membangun sebuah merek dari nol dan tumbuh menjadi besar bukan perkara mudah. Merek besar seperti Toyota, tentunya telah mengalami persaingan pasar yang cukup lama untuk dapat diterima didunia internasional. Banyak penyebab sebuah merek bisa tenggelam, hilang atau mati. Faktor – faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya adalah : (Handi Chandra, 2008:135) 1.
Salah urus (mis-management) Salah urus bisa diartikan ketidakcakapan pemimpin perusahaan membawa merek tersebut maju, unggul, dan memenangi persaingan. Merek bisa tenggelam akibat konflik internal, seperti terjadi perebutan merek antar pemegang saham.
18 2.
Ketinggalan jaman Terjadi perubahan eksternal diluar kendali yang tidak bisa diatasi oleh manajemen. Merek besar umumnya mampu mengatasi perubahan – perubahan dan menyesuaikan diri terhadapnya. Contoh dulu bisnis utama Indosat adalah SLI dan akibat adanya internet, bisnis ini merosot tajam. Indosat saat ini masih merupakan merek unggulan, karena ia sudah mengantisipasi perubahan tersebut jauh hari dengan masuk ke bisnis selular.
3.
Kalah Bersaing Ada pesaing tangguh yang masuk dan memenangkan persaingan. Contoh Google yang berhasil masuk dengan inovasi – inovasi yang baru dan memenangkan persaingan mengalahkan Yahoo!.
Merek yang kuat akan membuat konsumen menjadi lebih yakin, nyaman, dan aman ketika membeli produk dengan merek tersebut. Menurut Farquhar (1989), ada tiga tahapan yang perlu diperhatikan dalam membangun dan me-manage Brand Equity, yaitu 1.
Introduction Memperkenalkan produk yang berkualitas dengan strategi menggunakan merek sebagai platform untuk tujuan peluncuran produk di masa mendatang. Sebuah evaluasi positif oleh konsumen sangatlah penting.
19 2.
Elaboration Membuat merek mudah diingat dan mengembangkan penggunaan ulang. Harus ada akses untuk brand attitude, yaitu agar konsumen mudah mengingat hasil positif dari evaluasi merek tersebut.
3.
Fortification Merek harus membawa citra yang konsisten dari waktu ke waktu untuk memperkuat merek itu sendiri di benak konsumen dan mengembangkan hubungan khusus dengan konsumen. Eksistensi merek lebih lanjut dapat membentengi sebuah merek, tetapi hanya dengan produk – produk terkait yang memiliki kecocokan dalam benak konsumen.
2.4. Intensi Pembelian Pembelian terjadi karena adanya consumer needs yang memaksa seseorang untuk membeli sebuah produk seperti, kebutuhan akan fisiologis dasar (makanan, istirahat); kebutuhan akan keselamatan; kebutuhan akan hubungan dengan orang lain (rekan, sahabat); dan kebutuhan akan kepuasan pribadi. Disamping itu pula, suatu proses pembelian dapat terjadi karena adanya persepsi konsumen yang sangat selektif dalam memilih informasi tentang suatu produk. (Cravens 2004:93) Pembelian terhadap suatu produk tidak terjadi secara instan, namun konsumen pasti memikirkan banyak faktor sebelum membeli sebuah produk yang di inginkan.
20 Lavidge dan Steiner (1961) mengatakan bahwa ada enam tahapan proses yang dilalui oleh konsumen sebelum memutuskan untuk melakukan pembelian, antara lain :
Gambar 2.3 Decision-making Process Need Recognition & Problem Awareness
Information Search
Alternative evaluation
Purchase decision
Post-purchase evaluation
Decision-making Process by : Lavidge dan Steiner (1961)
a.
Problem Recognition Tahap ini adalah tahap dimana konsumen menyadari adanya suatu kebutuhan, lalu mulai mencari solusi untuk memecahkan masalah kebutuhan tersebut. Masalah kebutuhan mencakup banyak hal, mulai dari kebutuhan keluarga seperti mengantar anak ke sekolah, liburan dengan keluarga sampai
21 pada kebutuhan untuk berniaga seperti mengangkut banyak barang dagang, kendaraan antar jemput karyawan dan lain-lain. Masalah tersebut yang menyebabkan adanya suatu dorongan yang kuat kepada konsumen untuk segera memustuskan produk seperti apakah yang harus dibeli.
b.
Information Search Tahapan selanjutnya dalam proses penentuan keputusan, yaitu pencarian informasi. Ketika konsumen menyadari terdapatnya sebuah masalah dan masalah tersebut dapat diselesaikan dengan pembelian sebuah produk atau jasa, mereka mulai melakukan pencarian informasi yang dibutuhkan untuk membeli produk atau jasa tersebut. Pencarian awal seringkali dimulai dari mencari informasi yang tersimpan di pikiran mengenai pengalaman yang mungkin dulu pernah dirasakan. Hal ini berkaitan dengan dimensi dari ekuitas merek yaitu Brand Association, dimana konsumen memiliki ingatan tertentu terhadap suatu produk dan keterikatan terhadap sebuah merek akan lebih kuat apabila didasarkan kepada pengalaman untuk mengkomunikasikannya. Proses pencarian informasi dari diri sendiri disebut dengan internal search. Untuk beberapa pembelian produk atau jasa yang sifatnya rutin, atau berulang, pencarian internal cukup untuk membandingkan beberapa alternative pembelian dan memutuskan akan membeli apa. Namun jika pencarian internal
22 tidak dapat memberikan cukup informasi, maka dibutuhkan pencarian eksternal. Beberapa sumber pencarian eksternal : - Personal sources - Marketer-controlled sources - Public sources - Personal experience
Baik internal search maupun eksternal search melibatkan ketiga variabel penting diatas yaitu karakteristik produk, harga jual kembali, dan ekuitas merek untuk mendapatkan mobil yang sesuai dengan yang diharapkan. Contoh : Konsumen ingin membeli sebuah mobil dengan membandingkan beberapa
faktor
dari
segi
karakteristik
produk
:
bagaimana
cara
pengoperasiannya, irit ataukah boros, bagus atau tidak modelnya. Yang kedua dari segi harga jual kembali : mahal atau tidak harganya, apabila dijual kembali apakah harganya masi tetap tinggi atau tidak dan dari segi ekuitas merek : apa merek mobilnya, banyak atau tidakkah tempat servisnya, terkenalkah mereknya, dan sebagainya. Berdasarkan faktor-faktor diatas maka dalam benak konsumen muncul 4 pilihan mobil dari merek yang berbeda, yaitu Toyota Avanza, Daihatsu Xenia, Suzuki APV, dan Nissan Livina yang semuanya memenuhi kriteria pemilihan diatas.
23 c.
Alternative evaluation Konsumen membandingkan beberapa merek atau produk atau jasa yang dirasa dapat memenuhi atau memecahkan masalah konsumsi dan memuaskan kebutuhan / keinginan yang memotivasi konsumen dalam melakukan pembelian. Menurut Peter and Olson (1987) ada hal penting yang harus diperhatikan dalam alternative evaluation yaitu antra atribut atau konsep fungsional yang dimiliki oleh suatu produk dan konsekuensi. Konsekuensi menurut mereka adalah hasil yang akan konsumen rasakan ketika membeli atau mengkonsumsi sebuah barang atau jasa yang dibedakan menjadi dua tipe, yaitu functional consequences, merupakan hasil yang bersifat konkrit yang dapat dirasakan secara langsung dan psychosocial consequences, merupakan hasil yang bersifat abstrak, subyektif dan personal. Atribut dari sebuah produk atau jasa dan konsekuensi – konsekuensi yang konsumen pikir akan mereka rasakan atau nikmati ketika memilih sebuah merek sangatlah penting karena mereka seringkali membeli dan memutuskan diantara beberapa banyak pilihan. Pada tahap ini konsumen mulai membandingkan antara ke empat mobil tersebut, manakah yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan mereka. Biasanya pada tahap ini, konsumen telah mengerti atau pernah mencoba ke empat mobil tersebut untuk nantinya dapat dibandingkan secara langsung. (lihat tabel 2.1)
24 Tabel 2.1 Perbandingan Toyota Avanza, Nissan Livina, Suzuki APV, dan Daihatsu Xenia
Karakteristik Produk : 1. Irit 2. Murah(harga >200jtan) 3. Bagasi Lega 4. Kursi belakang dapat dilipat 5. Sensor parkir 6. AC double blower Harga Jual Kembali : 1. Harga jual kembalinya stabil 2. Sparepart bekas yang murah 3. Pajak kendaraannya yg terjangkau Ekuitas Merek : 1. Mereknya terkenal
2. Bengkel servis mudah ditemui
Toyota Avanza
Daihatsu Xenia
Nissan Livina
Suzuki APV
Ya (1300cc) Ya (148jutaan) Ya Ya
Ya (1300cc) Ya (133jutaan) Ya Ya
Ya (1500) Tidak (155jutaan) Ya Ya
Tidak Tidak
Tidak (1500cc) Tidak (160jutaan) Ya Ya Ya Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya (1,8jutaan)
Ya (1,3jutaan)
Tidak (2jutaan)
Tidak (2jutaan)
Tidak (Market Share 2010 : 22,3%) Tidak (8 bengkel resmi)
Tidak (Market Share 2010 : 8,6%) Tidak (9 bengkel resmi)
Ya Ya
Ya (Market Share 2010 : 47,7%)
Tidak (Market Share 2010 : 24%) Ya (17 bengkel Ya (10 resmi) bengkel resmi)
Ya Ya
25 d.
Purchase decision Pada akhirnya, konsumen harus berhenti menimbang – nimbang beberapa pilihan tersebut dan mengambil keputusan untuk memilih sebuah merek. Mengambil keputusan untuk membeli tidak sama dengan melakukan pembelian, ada beberapa hal yang harus di pertimbangkan sebelum melakukan pembelian walaupun sudah memutuskan untuk membeli, diantaranya kapan harus melakukan pembelian, dimana, dan berapa banyak yang harus dikeluarkan. Untuk beberapa produk berkategori low-involvement, waktu yang dibutuhkan antara pengambilan keputusan dan melakukan pembelian mungkin saja sangat singkat. Pada tahap purchase decision, konsumen akan mengambil suatu keputusan berdasarkan perbandingan yang dilakukan sebelumnya pada tahap alternative evaluation dan Toyota Avanza menjadi jawaban konsumen, dilihat dari perbandingan antara faktor karakteristik produk, harga jual kembali, dan ekuitas merek.
e.
Post-purchase evaluation Tidak berakhir sampai pada pembelian saja, ketika konsumen sudah menggunakan atau mengkonsumsi produk atau jasa tersebut, konsumen akan membandingkan antara ekspektasi yang diharapkan dan performa yang dihasilkan produk atau jasa tersebut. Hasilnya bisa berupa puas atau tidak
26 puas. Kepuasan terjadi ketika ekspektasi konsumen dipenuhi atau bahkan melebihi. Sementara ketidakpuasan timbul ketika performa yang dihasilkan tidak sesuai atau dibawah ekspektasi konsumen. Proses post-purchase evaluation ini penting karena feedback yang ditimbulkan akan mempengaruhi kemungkinan pembelian di masa yang akan datang dengan mempertaruhkan kebesaran sebuah ekuitas merek. Kepuasan antara perbandingan ekspetasi yang diharapkan dengan kualitas produk yang didapat mempengaruhi eksistensi sebuah merek. Disini konsumen akan kembali menguji apakah mobil yang telah dibeli mampu menghasilkan manfaat secara maksimal sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, post-purchase evaluation nantinya dapat mendorong konsumen untuk melakukan pembelian ulang atau justru konsumen beralih merek tergantung kepada kualitas produk dan pelayanan yang diberikan.
Para konsumen yang melakukan pembelian ulang untuk sebuah produk memiliki karakteristik tertentu. Menurut Kotler (1993:381) karakteristik tersebut membentuk pola pembelian, yaitu : 1) Sangat setia (Hard core loyal) Konsumen yang membeli satu merek saja setiap saat. Jadi pola pembelian A,A,A,A,A,A yang akan mencerminkan loyalitas yang terbagi hanya pada merek A.
27 2) Agak setia (Soft core loyal) Konsumen yang setia pada dua atau tiga merek. Pola pembelian A,A,B,B,A,B mewakili setiap konsumen dengan loyalitas terbagi antara merek A dengan merek B. 3) Kesetiaan yang berpindah (Shifting loyal) Konsumen yang pindah dari {menyukai} satu merek ke merek lain. Pola pembelian A,A,A,B,B,B akan mencermink\ an seorang konsumen yang memindahan loyalitas pada merek A ke merek B. 4) Pengalihan (Switching) Konsumen yang menunjukan ketiadaan loyalitas pada merek apapun. Pola pembelian A,C,E,B,D akan mencerminkan seorang konsumen yang tidak setia pada sebuah merek sekalipun.
2.5. Loyalitas Pelanggan Loyalitas dapat terbentuk apabila pelanggan merasa puas dengan merek atau tingkat layanan yang diterima dan berniat untuk melanjutkan hubungan. Menurut Aaker dalam Mouren Margaretha, (2004:297), loyalitas merupakan suatu perilaku yang diharapkan atas suatu produk atau layanan yang antara lain meliputi kemungkinan pembelian lebih lanjut atau perubahan perjanjian layanan, atau sebaliknya seberapa besar kemungkinan pelanggan akan beralih kepada merek lain atau penyedia layanan lainnya.
28 Hasil penilaian konsumen atas kualitas pelayanan akan membentuk pola loyalitas konsumen tertentu (consumer loyalty pattern), yaitu dari sangat loyal sampai sangat tidak loyal. Konsumen dikatakan sangat loyal apabila ia mempunyai konsumsi terhadap satu pelayanan pada setiap waktu dan tidak pernah berganti dari satu pelayanan ke pelayanan yang lain, tingkatan ini menunjukkan loyaltias yang sangat tinggi. Pada sisi lain konsumen disebut sangat tidak loyal apabila konsumen sama sekali tidak memiliki loyalitas pada pelayanan tertentu. Konsumen semacam ini setiap waktu memiliki pola konsumsi yang berubah – ubah dari satu pelayanan ke pelayanan lainnya. Pelanggan berbeda dengan konsumen, seseorang dapat dikatakan sebagai pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli jasa yang ditawarkan oleh badan usaha. Kebiasaan tersebut dapat dibangun melalui pembelian secara berulang – ulang dalam jangka waktu tertentu apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan pembelian ulang maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelanggan melainkan seorang pembeli atau konsumen. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Griffin (1995) mengenai perbedaan antara konsumen dan pelanggan yaitu, pelanggan merupakan seseorang yang membeli suatu produk dari kita. Para pelanggan ini menetapkan kegiatan pembelian dan interaksi pada kesempatan waktu yang berulang kali. Tanpa adanya pengalaman mengenai kegiatan pembelian seseorang belum bisa dikatakan pelanggan melainkan pembeli. Menurut Wright (2002), loyalitas pelanggan merupakan kesediaan pelanggan untuk terus berlangganan pada suatu perusahaan dalam jangka panjang, dengan membeli
29 dan menggunakan barang atau jasanya secara berulang – ulang, serta dengan sukarela merekomendasikan barang atau jasa perusahaan tersebut kepada teman dan kerabat. Banyak keuntungan – keuntungan yang didapat apabila konsumen memiliki loyalitas terhadap suatu merek. Chandra (2008:150) mengemukakan bahwa, dengan adanya loyalitas yang tercipta pada pelanggan, maka perusahaan akan memperoleh dua keuntungan sekaligus yaitu mendapatkan profitabilitas dengan terjualnya produk yang mereka hasilkan dan menarik pelanggan baru karena melihat loyalitas dari pelanggan yang telah ada. Ini berarti perusahaan banyak memperoleh laba untuk kelangsungan usahanya.
2.6. Hubungan Karakteristik Produk dengan Intensi Pembelian Kotler & Keller (2006) mengatakan bahwa produk yang memiliki karakteristik yang unik, superior dan sulit untuk ditiru akan menciptakan sebuah diferensiasi produk yang akhirnya membawa kepada keunggulan kompetitif. Wood (2004:152) mengatakan bahwa karakteristik suatu produk yang berhasil di pasaran adalah produk yang memiliki komponen quality & performance, feature, design, packaging, labeling, dan brand. Toyota membuktikannya dengan memproduksi Toyota Avanza yang menjadi market leader di pasar 4 x 2 low ini, dimana setiap tahun semakin jauh meninggalkan para pesaingnya, baik dalam jumlah unit penjualan maupun angka pangsa pasar. Selama satu semester 2006, Avanza terus – menerus menguasai lebih dari 52% pangsa pasar dikelasnya. Dalam improvement terbaru, New Avanza mengalami perombakan baru
30 pada desain yang mengusung tagline makes your proud, yang memang sangat tepat mewakili penampilan, performa, dan kenyamanan baru yang ditawarkan. Koleksi penambahan warna juga ditambahkan menjadi champagne, light green, dan blue aqua. Richardson et al. (1996) mencatat bahwa keputusan konsumen untuk membeli sebuah
produk
dalam negri
tergantung
kepada jenis produk yang sedang
dipertimbangkan, namun penelitian kecil telah dilakukan sejauh mana karakteristik produk dapat mempengaruhi pembelian dalam negri. Richardson juga mencatat bahwa dalam penelitiannya ada tiga hal yang paling berpengaruh pada karakteristik produk seperti keterlibatan produk, jenis produk, dan switching cost. Keterlibatan produk dan switching cost (dan juga jenis produk) merupakan pengaruh karakteristik produk yang dirasakan oleh konsumen. Tiga hal tersebut tidak dapat dilihat sebagai variabel psikografis yang mencirikan individu konsumen tetapi penelitiannya menjelaskan bahwa karakteristik produk dianggap atribut yang melekat pada setiap produk dari sudut pandang konsumen. Dengan kata lain, sifat suatu produk tercermin dalam persepsi dengan pelanggan perseorangan. Aaker (1994:250) juga berpendapat bahwa pada industri otomotif khususnya mobil, penambahan fitur seperti sunroof dan penambahan varian pada transmisi akan meningkatkan penetrasi pasar akan daya beli konsumen yang akhirnya dapat bersaing dengan para competitor lainnya. Liker (2004) mengatakan bahwa untuk mendongkrak daya beli konsumen, Toyota selalu melakukan kaizen (continuous improvement) kepada semua produknya, seperti produk lainnya yaitu Toyota Prius dengan sistem hybrid yang
31 mengutamakan efisiensi bahan bakar yang ramah lingkungan untuk menjawab tantangan – tantangan pemanasan global pada abad-21 ini. Kottler & Keller (2008) juga menjelaskan bahwa sewaktu pembeli memutuskan akan membeli laptop merek Apple, desain yang merupakan salah satu dimensi dari karakteristik produk menjadi faktor utama yang menyebabkan pembelian terjadi. Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka hipotesis pertama adalah sebagai berikut : Hipotesis 1 : Karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap intensi pembelian konsumen
2.7. Hubungan Harga Jual Kembali dengan Intensi Pembelian Sebuah produk yang memiliki harga jual kembali yang tinggi akan menghemat value of money untuk jangka panjang. Tinggi atau rendahnya harga jual kembali suatu produk ditentukan oleh market price, kualitas produk yang akan dijual, dan nama merek itu sendiri. Harga jual kembali yang stabil merupakan suatu persepsi yang akan merubah paradigma bahwa konsumen masih akan memiliki nilai lebih apabila mengkonsumsi produk tersebut. Hal inilah yang nantinya akan berpengaruh pada intensi pembelian, seberapa sering terjadinya pembelian terhadap merek tersebut di kemudian hari (Wood, 2006). George (2004) dalam penelitiannya mengatakan bahwa konsumen cenderung memiliki perilaku untuk melakukan (trade in) tukar tambah dengan produk yang lebih baru dikarenakan oleh adanya penambahan fitur dan desain yang baru pada produk tersebut, rusak, atau bosan terhadap produk yang dikonsumsi. Stanton (2002:44)
32 mengatakan bahwa dengan konsumen menjual kembali produknya, memungkinkan adanya pembelian suatu produk yang baru. Penelitian lain oleh Sin & Sang (2000) mengatakan bahwa trend suatu merek dapat mempengaruhi konsumen terhadap pola pembelian suatu produk dengan tidak memperdulikan resale price barang yang dikonsumsi sebelumnya. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut : Hipotesis 2 : Harga jual kembali memiliki pengaruh positif terhadap intensi pembelian konsumen.
2.8. Hubungan Ekuitas Merek dengan Intensi Pembelian Kuatnya sebuah merek dapat membantu kegiatan pemasaran secara tidak langsung seperti menarik kepercayaan mitra kerja, menghidupkan jaringan – jaringan pemasaran yang telah dibangun dan dapat menghemat biaya – biaya pemasaran seperti promosi, iklan, dan sebagainya. (Cohen, 2005) Chandra (2008:129-130) dalam studinya mengambil contoh kasus yang terjadi pada dua produk mobil yakni Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia, bahwa penjualan mobil Avanza dua kali lebih besar daripada mobil Xenia padahal sesuai dengan klaim kedua merek mobil tersebut memiliki kualitas yang sama. Kekuatan sebuah merek dari Toyota inilah yang ada dibalik semua ini. Di dalam benak konsumen mobil Indonesia, merek Toyota jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan merek Daihatsu. Orang lebih suka membeli mobil dengan merek Toyota. Kenyataannya setiap produk yang
33 dikeluarkan oleh Toyota selalu direspon positif oleh pasar. Merek Daihatsu tidak sekuat merek Toyota. Alhasil walaupun mobil Avanza dan Xenia diberitakan dibuat di pabrik Daihatsu dan memiliki kualitas yang sama, tetap saja orang lebih memilih merek Toyota. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut : Hipotesis 3 : Ekuitas Merek memiliki pengaruh positif terhadap intensi pembelian konsumen.
2.9. Hubungan Intensi Pembelian dengan Loyalitas Pelanggan Para konsumen yang telah memutuskan untuk membeli suatu produk tidak menjamin bahwa mereka akan melakukan pembelian ulang di tempat yang sama. Dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang – ulang dan untuk membangun kesetiaan pelanggan terhadap suatu produk / jasa yang dihasilkan oleh badan usaha tersebut membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian yang berulang – ulang tersebut. Menurut Siat dalam Mouren Margaretha (2004 : 297) yang menyatakan bahwa pelanggan yang puas akan melakukan pembelian ulang pada waktu yang akan datang dan memberitahukan kepada orang lain atas apa yang dirasakan. Tidak heran bila sekarang banyak ditemui dieler mobil Toyota di seluruh kota – kota besar. Menurut Chaudhuri and Holbrook (2001), perilaku pembelian berulang – ulang terhadap suatu produk adalah suatu konsep yang terbentuk karena adanya pengalaman yang diperoleh
34 dari penggunaan sebuah merek dari produk sebelumnya. Oleh karena itu pelanggan yang merasa nyaman menggunakan merek tersebut akan terus – menerus menggunakan merek tersebut. Lil dan Wang (2006), juga mengatakan bahwa pelanggan loyal adalah pelanggan yang memiliki ciri – ciri antara lain : -
Melakukan pembelian secara berulang pada badan usaha yang sama
-
Membeli lini produk dan jasa yang ditawarkan oleh badan usaha yang sama
-
Memberitahukan kepada orang lain tentang kepuasan – kepuasan yang didapat dari badan usaha dan menunjukkan kekebalan terhadap tawaran – tawaran dari badan usaha pesaing.
Penelitian lain menurut Lovelock and Wright (2002) mengungkapkan bahwa pelanggan loyal akan melakukan pembelian lebih sering dibandingkan pelanggan lainnya yang kurang loyal dan pelanggan loyal akan menggunakan barang atau jasanya secara berulang – ulang, serta dengan sukarela merekomendasikan barang atau jasa perusahaan tersebut kepada kerabat. Hal tersebut tentu saja akan membantu meningkatkan intensi pembelian secara tidak langsung. Berdasarkan temuan - temuan tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut : Hipotesis 4 : Intensi pembelian konsumen memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan.
35
2.10.
Hubungan Karakteristik Produk Terhadap Loyalitas Pelanggan Tidak heran apabila Toyota Avanza memiliki keunggulan mobil di kelas
menengah dengan harga terjangkau yang mampu memenuhi semua fasilitas keluarga. Karakteristik tersebutlah yang tertanam di benak konsumen akan merek Toyota. Faktanya hampir dapat kita temui Toyota Avanza di jalanan setiap harinya. Terkadang – kadang konsumen membeli produk bukan di lihat dari fungsinya melainkan lebih disebabkan oleh simbol yang melekat dengan produk tersebut (Soehadi, 2006:87). Lambang Toyota yang terdiri dari dari three elips, menjadi bukti bahwa simbol tersebut telah dikenal oleh pelanggan sebagai produk yang telah teruji kualitasnya. Penelitian lain oleh Srinivasan (1996) berpendapat bahwa situasi persaingan dalam menciptakan kualitas produk baru yang tinggi, akan menyebabkan kecenderungan konsumen berpindah yang tinggi dan begitu pula sebaliknya. Product development terhadap suatu produk harus terus dilakukan secara bertahap, karena dengan adanya desain dan fitur – fitur baru dari sebuah produk pesaing akan mempengaruhi persepsi pelanggan, dan pelanggan akan sesekali berganti merek untuk mencoba produk baru tersebut (Mowen & Minor, 1999:535). Berdasarkan temuan-temuan tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut : Hipotesis 5 : Karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan
36
2.11.
Hubungan Ekuitas Merek dengan Loyalitas Pelanggan Menciptakan suatu merek yang dapat diterima oleh para pelanggannya memang
tidaklah mudah. Apalagi untuk membuat para konsumen tersebut memiliki loyalitas yang tinggi terhadap merek tersebut. Handi Chandra (2008;145) berpendapat bahwa hubungan antara brand equity dan loyalty sangatlah berkaitan. Untuk membangun brand equity yang kuat, anda terlebih dahulu di haruskan membangun pelanggan loyal, karena dari pelanggan – pelanggan loyal inilah proses penyebaran berita positif terhadap merek anda bisa dilakukan. Jika anda sukses membangun ekuitas merek yang kuat, pelanggan loyal akan memiliki keterikatan emosi yang kuat dan ia akan rela membela mati – matian merek anda apabila ada pihak yang menjelekkannya. Contoh dalam Keller (2006) yaitu sebanyak 28000 orang mengikuti sesi Three Day Driving Session untuk berlatih off-road driving skills dalam acara Jeep Jamborees dan Camp Jeep. Disini ratusan atau bahkan ribuan pengendara mobil Jeep berkumpul untuk bersosialisasi dan memeriahkan acara tersebut. Hal tersebut menandakan bagaimana sebuah merek dapat menciptakan komunitas yang sangat loyal bagi para pelanggan. Berdasarkan temuantemuan tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut : Hipotesis 6 : Ekuitas merek memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan.