BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Tinjauan kepustakaan berisi tentang pendapat dan analisis dari beberapa penulis, ahli maupun pakar dalam bidang tertentu. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari tinjauan kepustakaan yang didasarkan pada beberapa sumber sejarah dan ilmu bantu dari disiplin ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi. Tinjauan kepustakaan dilakukan penulis sebagai bahan referensi dan dasar rujukan dalam penyususnan skripsi. Dalam bab ini penulis memaparkan daftar literatur yang digunakan sebagai acuan berfikir terhadap penulisan skripsi yang berjudul “Ibing Tayub: Kalangenan dan Identitas Kaum Menak Priangan tahu 1920-1950”. Penelitian mengenai Tayuban atau Ibing Tayub memang telah ada. Penelitian terdahulu lebih banyak dituangkan dalam bentuk tesis dan disertasi untuk kepentingan meraih gelar tertentu. Hanya saja penelitian tersebut lebih memfokuskan kajian pada kesenian Tayuban yang berkembang di daerah Jogjakarta (Jawa) dan Cirebon. Jadi masih jarang ditemukan buku ataupun hasil penelitian yang membahas mengenai Tayuban atau Ibing Tayub di Priangan secara keseluruhan, baik dari sejarah, perkembangan dan kelangsungan kesenian ini pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hal yang membedakan penelitian yang penulis lakukan dan karya historiografi terdahulu adalah kedudukan penelitian itu yang secara khusus membahas mengenai perhatian kaum menak terhadap kesenian ibing tayub di Priangan, penetapan ibing tayub sebagai kesenian yang menjadi identitas bagi
14
15
kaum menak Priangan, dan pergeseran ibing tayub sebagai kesenian eksklusif kaum menak Priangan menjadi kesenian yang juga dimiliki oleh rakyat biasa. Secara garis besar, sumber-sumber yang dikaji dalam bab ini dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Bagian pertama yakni literatur yang mengkaji sejarah Ibing tayub di Priangan. Bagian kedua literatur yang mengkaji tentang peran kaun menak Priangan dalam Ibing tayub dan literatur yang ketiga mengkaji tentang ibing tayub di Priangan.
2.1. Seni Tari Sunda Beberapa buku yang membahas tentang seni tari Sunda diantaranya dipaparkan dalam buku Tari Sunda Dulu, Kini dan Esok (2005) karya Tati Narwati dan R.M Soedarsono, Wajah Tari Sunda Dari Masa Ke Masa (2003) karya Tati Narwati, Penciptaan Tari Sunda: gagasan Global Bersumber Dari Nilai-Nilai Lokal (2008) oleh Iyus Rusliana dan Tari di Tatar Sunda (2007)yang ditulis oleh Endang Caturwati. Literatur pertama berjudul Tari Sunda Dulu, Kini dan Esok yang ditulis oleh Tati Narawati dan R.M Soedarsono. Dalam literatur tersebut dijelaskan mengenai sejarah dan perkembangan tari Sunda dari masa ke masa. Dalam bab 2 dijelaskan mengenai ragam tari Sunda masa silam, yang meliputi jenis-jenis tarian atau kesenian menak (termasuk tayub dengan menyoroti tokoh R. Sambas Wirakusumah) dan kesenian rakyat (topeng babakan dan ronggeng gunung). Dalam bab ini dijelaskan pula mengenai sejarah ibing tayub sehingga sampai ke Priangan. Hal ini dimulai ketika terjadi kontak antara kekuasaan Mataram, atau
16
sekitar tahun 1800 dimana orang-orang Sunda terutama golongan menak sangat mengagumi busaya priyayi Jawa. Selain memaparkan mengenai sejarah ibing tayub, literatur ini juga menyajikan pembahasan mengenai tokoh-tokoh penting dalam perkembangan tari Sunda serta karya-karyanya, diantaranya R. Sambas Wirakusuma (Ibing Keurseus) dan R. Tjetje Somantri (tari Sunda klasik). Dalam literatur ini R.Sambas Wirakusumah dideskripsikan sebagai tokoh yang membawa perubahan besar dalam perkembangan ibing tayub di Priangan. Ia berusaha ’menertibkan’ nayuban dengan membuat semacam tatakrama mulai dari cara berpakaian, cara duduk, dan cara menari. Selanjutnya sekitar tauh 1921 ia mendirikan perkumpulan tari Wirahmasari dengan mengajarkan tari keurseus, yakni ibing tayub yang sudah mengalami pembakuan gerakan dan beberapa patokan dalam tatakramanya. Seperti halnya R. Sambas, Tjeje Somantri juga berhasil memperkaya tari Sunda dengan menciptakan tari Sunda klasik yang diartikan sebagai tari yang memiliki standar kualitas tinggi yang digemari oleh kalangan istana dan dikategorikan sebagai the art of the cultural elite atau ’seninya golongan elit kultural’ (Lubis dan Soedarsono, 2005: 81). Literatur ini cukup relevan untuk dijadikan sumber dalam penelitian sksipsi yang dilakukan oleh penulis, karena memberikan banyak informasi tidak hanya terbatas pada sejarah dan perkembangan Ibing tayub di Priangan tetapi juga perkembangan tari Sunda di era Globalisasi. Literatur ini mengelompokkan pembahasannya kedalam dua kelompok besar, yakni tari Sunda masa silam dan tari Sunda di era Globalisasi. Pengelompokan bahasan ini sayangnya tidak disertai
17
dengan pembabakan tahun yang tegas, sehingga memerlukan literatur lain untuk mempertegas kurun waktu yang dimaksud. Literatur kedua yang penulis gunakan adalah Wajah Tari Sunda Dari Masa Ke Masa karya Tati Narawati. Literatur ini memaparkan seberapa jauh kontak budaya priyayi dan tari Jawa dengan tari Sunda, yang dimulai sejak masa Majapahit sampai tampilnya koreografer yang juga pembaru tari Sunda yaitu R. Tjetje Somantri pada awal abad ke-20 (Narawati, 2003:1). Dalam perkambangan sejarah politik, daerah Priangan memang pernah berkali-kali mendapat kontak dengan Jawa Timur pada masa Jawa Kuna dan dengan Jawa Tengah pada masa Mataram Islam. Ketika itu, di Jawa Timur terutama
pada
masa
Majapahit
kebudayaan
Jawa
telah
menunjukkan
kebudayaannya sebagai ’budaya unggulan’. Oleh karena itu, jelas apabila kontak budaya antara Jawa Timur dan Priangan membawa pula kontak budaya. Tati Narwati memaparkan berbagai kemiripan dan perbedaan yang dimiliki antara tari Jawa dan tari Sunda dari berbagai aspek. Salah satu tarian Sunda yang disoroti adalah wayang wong Priangan yang menurut Tati Narwati sangat jelas merupakan usaha penyundaan wayang wong Jawa, baik dari unsur cerita atau lakon, penampilan karakter-karakter lewat teknik tari, busana tari, rias, maupun iringan tari. Literatur ini juga memaparkan tentang hubungan yang erat antara tayub Cirebon, ibing tayub Priangan dengan budaya priyayi dan tari Jawa. Sebelum masuk ke Priangan, tayub sudah membudaya di Cirebon, yang sudah terlebih dahulu mendapat pengaruh dari Jawa Tengah. Selain itu, ketika keraton Cirebon
18
telah berkibar sebagai sentra tumbuh dan berkembangnya budaya tari, wilayah Pringan belum mencapai taraf seperti itu. Sebenarnya tradisi tayub sudah masuk ke Priangan seiring dengan terjadinya kontak budaya antara Jawa dan Priangan, akan tetapi setelah tahun 1919 itu tayub di Priangan berubah menjadi tayub sudah lebih banyak dimasuki tatakrama, unsur-unsur Sunda dan penyesuaian yang menampilkan ciri khas ke-Sundaanya. Dengan mencermati perjalanan kontak budaya Jawa dengan budaya Sunda, dapat disimpulkan bahwa besar-kecilnya pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya kontak ssuatu
kebudayaan akan tergantung pada etnis serta keadaan
lingkungan budaya yang mendapat pengaruh. Oleh karena etnis Jawa dan Sunda berbeda, maka walaupun pengaruh budaya priyayi dan tarian Jawa terhadap tarian Sunda cukup besar, tetapi tari Sunda tetap bisa dikatakan sebagai tari yang bergaya Sunda. Literatur ini disajikan dengan sangat detail menjelaskan antara hubungan Jawa dan Sunda baik dalam hubungan politik, maupun secara sosial-budaya (kesenian). Literarur ini sangat relevan digunakan dalam penelitian yang penulis lakukan mengingat bahasannya yang lengkap menyajikan kontak budaya Jawa dan Sunda yang menimbulkan beberapa kemiripan khususnya dalam kesenian. Selain itu, buku ini juga disajikan dengan pencantuman angka tahun yang jelas. Literatur ketiga yang penulis gunakan adalah buku yang berjudul Penciptaan Tari Sunda: Gagasan Global Bersumber Dari Nilai-Nilai Lokal yang ditulis oleh Iyus Rusliana. Buku ini memaparkan mengenai berbagai inspirasi dan isi atau makna dari penciptaan sebuah tari Sunda. Iyus Rusliana mengungkapkan
19
bahwa sumber-sumber penciptaan tari Sunda yang digali dan digunakan oleh para pencipta tari Sunda di masa lalu adalah dari kekayaan budaya tradisinya. Namun demikian, tidaklah kekayaan budaya tradisi ini menjadi tabu untuk digali dan diserap kembali sebagai sumber-sumber penciptaan tari Sunda di masa kini. Lebih dari itu, masih banyak budaya dan tradisi lainnya yang memungkinkan untuk digali, diserap, dan diinterpretasi sebagai sumber penciptaan tari sunda yang hasilnya betul-betul inovatif sebagaimana yang dihasilkan oleh para pencipta tari Sunda terdahulu. Dalam buku ini juga dideskripsikan beberapa jenis tari dan tradisi Sunda dengan unsur seni dan makna yang berbeda-beda. Keragaman ini salah satunya dapat dilihat dari gambaran tarian yang berlatar belakang cerita seperti cerita wayang, pantun, dan legenda atau cerita rakyat. Selain itu, buku ini juga banyak memberikan analisis tentang tari Sunda masa lampau dari aspek koreografi, jenis tari dan penarinya, juga dari bentuk penyajiannya. Mengenai jangkauan isi tarian Sunda hanya mengungkapkan gambaran dari suatu kejadian atau peristiwa saja, misalnya tari Kawung Anten sebagai salah satu tari Jaipongan karya Gugum Gumbira yang mengungkapkan gambaran suatu karakter manusia. Akan tetapi, jika isinya tidak berkaitan dengan suatu kejadian, maka jangkauan isi tariannya hanyalah mengungkapkan gambaran suatu karakter manusia, atau dari objek tertentu. Misalnya tari Gawil sebagai salah satu tari keurseus, hanyalah mengungkapkan gambaran karakter seorang pria yang lincah dan rancingeus. Buku ini memberikan informasi mengenai makna dan isi dari berbagai jenis tarian dan tradisi Sunda di masa silam. Berbagai jenis tari diklasifikasikan sesuai
20
dengan kategorinya sehingga penulis dapat mengetahui satu jenis tari dilihat dari inspirasi penciptaan tari, makna, latar belakang cerita dan berbagai aspek pendukung tari lainnya misalnya tata rias, musik pengiring dan sebagainya. Akan tetapi kelemahannya, deskripsi buku ini terlalu bersifat general dan tidak fokus pada bahasan tertentu, hanya menglaifiksikan tari dan tradisi Sunda sesuai kriteria tertentu tanpa membahas secara spesifik. Literatur ketiga yang penulis gunakan adalah buku Tari di Tatar Sunda yang ditulis oleh Endang Caturwati. Buku ini mengupas seni tari Sunda sejak diberlakukannya sistem perkebunan di daerah Jawa Barat sekarang sampai kepada tari modern yakni Jaipongan yang diciptakan oleh Gugum Gumbira. Mengenai kesenian tayuban, Caturwati sepakat dengan beberapa penulis sebelumnya, bahwa tayuban sudah berkembang di keraton Cirebon sebelum masuk ke Priangan. Kegemaran akan tayuban bagi golongan tertentu khususnya para menak bupati beserta bawahannya atau juga menak yang berasal dari para pamongpraja, para guru, juga menak pasar menimbulkan hasrat menari sebagus mugkin dengan harapan menjadi bintang gelanggang. Dalam tayuban terdapat unsur ronggeng yang berfungsi sebagai penari dan penyanyi, minuman keras, dan uang, sehingga tidak sedikit dari penari pria yang mabuk-mabukan dan terjadi halhal yang merendahkan kaum perempuan (Caturwati, 2007: 99). Dengan adanya perlakuan tersebut, Aom Doyot (R. Ganda Kusumah) seorang bangsawan Sumedang pada awal abad ke-20 merintis untuk melakukan ibing tayub secara tertib dan sopan. Ibing tayub yang sudah ’ditertibkan’ ini kemudian berkembang sebagai ibing keurseus dengan sentuhan unsur-unsur tari topeng Cirebon. Dengan
21
melalui tari dasar keurseus maka perkumpulan tari Sunda selanjutnya membentuk paguron-paguron seni tari, yang masing-masing tempat menggunakan sistematika dan metode serta patokan-patokan tertentu. Genre tari baru kemudian berkembang pada permulaan tahun 1950-an yang diciptakan oleh R. Tjetje Somantri. Tari ini disebut Tari Kreasi, yaitu satu jenis tarian yang dimaksudkan untuk pertunjukan, bukan lagi sebagai kalangenan. Munculnya karya Tjetje Somantri merupakaan suatu langkah maju dan berani, karena bagi perempuan pada waktu itu dianggap aib untuk menari. Berkat keuletan Tjetje Somantri dalam berkreasi, perempuan dapat tampil dalam pertunjukan-pertunjukan terhormat pada peristiwa-peristiwa penting diberbagai kantor pemerintahan, Istana Negara, ataupun kunjungan Muhibah dalam rangka menumbuhkan persahabatan antar negara. Setelah Tari Kreasi, genre tari baru yang muncul adalah tari Jaipongan yang digagas oleh Gugum Gumbira. Tari ini dikategorikan sebagai tari modern yang mampu menyedot perhatian masa dari berbagai kalangan. Jaipongan, mampu tampil sebagai sebuah hiburan yang diterima oleh masyarakat dalam cakupan nasional bahkan internasional. Literatur ini menyajikan informasi yang lengkap dan cukup detail tentang perkembangan tari Sunda sejak penyerahan wilayah Priangan kepada VOC sampai pada zaman setelah Indonesia merdeka. Informasi yang didapat dari buku ini yakni mengenai awal mula munculnya konsep Priangan, kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Priangan pada masa VOC, serta perkembangan kesenian dan tari Sunda yang fenomenal yakni Ibing Tayub, Tari Kreasi, dan Jaipongan yang merupakan tonggak kemajuan tari Sunda.
22
2.2. Peranan Ménak Priangan dalam Ibing Tayub Beberapa buku yang membahas tentang Peranan Eilte bupati dalam kesenian diantaranya dipaparkan oleh Edi S. Ekadjati dengan judul Kebudayaan Sunda (1995), Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda (2000) karya Nina H. Lubis, dan Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 karya Nina H. Lubis. Buku pertama yang menjelaskan tentang konsep dan teori yang berkaitan dengan pengaruh elite bupati dalam kesenian adalah buku yang berjudul Kebudayaan Sunda yang ditulis oleh Edi S. Ekadjati. Buku ini menjelaskan dengan rinci tentang kehidupan masyarakat Sunda ditinjau dari aspek kebudayaannya. Ekadjati mencoba untuk mengemukakan bahwa pada dasarnya nilai budaya yang muncul dalam suatu lingkungan masyarakat sangat berpengaruh terhadap penentuan kedudukan antara laki-laki dan wanita. Kajian tentang masyarakat Sunda penting untuk dilakukan, mengingat mayoritas penduduk ditempat pelaksanaan penelitian adalah orang Sunda. Oleh karena itu harus dipahami secara baik bagaimana falsafah hidup mereka, khususnya pandangan mengenai seni budaya, hingga memudahkan dalam menganalisis aspek keterlibatan elite bupati Sunda dalam melestarikan seni budaya Sunda. Orang-orang Sunda hidup dalam struktur masyarakat yang bersifat horizontal, bahkan tidak mengenal stratifikasi sosial yang ketat seperti halnya suku lain di tanah air ini. Masyarakat hidup dalam pola hubungan yang didasarkan atas prinsip silih asih, silis asah dan silih asuh. Kondisi demikian mendorong masyarakat memiliki rasa kepekaan sosial yang tinggi terhadap apa yang terjadi di
23
lingkungan sekitarnya, dan pada akhirnya melahirkan satu potensi positif pendorong perubahan, yakni sifat keterbukaan. Kontribusinya terhadap penelitian ini, bahwa pengaruh elite bupati dalam menggali potensi lingkungan alam dan keadaan sosial masyarakat, melahirkan sebuah seni klasik seperti ibing tayub yang dijadikan sebagai salah satu atribut atau identitas kemenakan bagi kaum elit bupati Priangan. Buku kedua yang penulis gunakan adalah buku yang masih membahas tentang pengaruh Elite bupati dalam kesenian, dipaparkan dalam salah satu sub bab buku Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda (2000) karya Nina H. Lubis. Dalam buku tersebut Nina Lubis mengeksplorasi kontribusi elite Bupati dalam seni melalui sudut pandang yang berbeda. Buku ini juga memaparkan bahwa kaum elite birokrasi (menak) haruslah memiliki daftar silsilah yang jelas. Silsilah ini secara tidak langsung merupakan salah satu penjamin kuat posisi otoritas tradisional yang dimiliki calon elite birokrasi apabila dalam silsilah tersebut terdapat tokoh-tokoh besar yang sangat dihormati rakyat atau diakui kebesarannya, terlebih apabila tokoh besar itu berada dalam garis lurus. Jika dilihat dari kepentingan kaum elite politik Priangan, keharusan seperti itu telah memaksa para calon elite untuk membuat daftar silsilah yang legitimated. Caranya, mereka menempatkan tokoh besar yang diakui dan dihormati oleh rakyatnya sebagai cikal bakal silsilah atau salah satu mata rantai, baik yang berada dalam garis lurus maupun garis perkawinan. Kontribusi buku tersebut terhadap penelitian skripsi ini dapat dilihat dari bagaimana kaum elite berokrasi (kaum menak) Priangan berusaha untuk
24
memperthankan garis kemenakan mereka salah satunya dengan membuat daftar silsilah keluarga dengan menempatkan Prabu Siliwangi sebagai salah satu leluhur yang harus dicantumkan dalam silsilah tersebut. Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan berkesenian, yang mana kaum menak Priangan memilih seni yang dapat mencirikan keagungan dan eksklusifitas mereka, salah satunya dapat dilihat dari kesenian pantun dan seni pertunjukan berupa tari yang amat digemari oleh kalangan menak (salah satunya Ibing tayub). Buku ketiga yang penulis gunakan adalah buku yang membahas mengenai kehidupan menak Priangan dalam segala aspek kehidupannya. Buku ini ditulis oleh Nina H. Lubis dengan judul Kehidupan Kaum Menak Prianngan 1800-1942. Buku tersebut memaparkan mengenai semua aspek kehidupan dan kebiasaan yang sering dilakukan oleh kaum menak Priangan. Aspek-aspek kehidupan menak ini dibahas menjadi poin-poin pembahasan yang detail, salah satunya mengenai simbol kekuasaan, kehidupan kesenian dan rekreasi kaum menak (menak mengacu pada kaum aristokrasi lokal Priangan). Mengenai simbol kekuasaan, Nina Lubis menyebutkan bahwa kekuasaan kaum menak acapkali disimbolisasikan dengan kata ”payung”, atau ”songsong” yang merupakan regalia atau alat-alat pusaka milik seorang bupati yang derajatnya paling tinggi. Besarnya kekuasaan raja terhadap rakyatnya dilukiskan dengan ungkpan ”raja adalah pemilik jiwa raga serta menentukan hidup-mati seseorang”. Selain itu, dikenal juga tradisi bahwa ”atasan wajib dipuja dan dihormat’, hal ini tercermin dalam ungkapan guru ratu wong atua karo yang artinya harus taat kepada yang memberi ilmu, taat kepada ratu (penguasa) yang murba (mengusai)
25
negara, dan kepada orang tua. Rakyat wajib ngawula kepada penguasa, sebaliknya penugasa juga wajib melindungi rakyat. Dalam kehidupan berkesenian kaum menak Priangan, Nina Lubis memaparkan bahwa terdapat indikasi pengaruh dari tradisi jawa (Mataram). Kesenian istana adalah kesenian yang dianggap bermutu tinggi dan indah yang sangat berorientasi kepada konsep nilai halus. Diantara cabang kesenian yang akrab di kalangan menak adalah seni sastra, salah satunya karya sastra sejarah yang ditulis oleh menak yang dekat hubungannya dengan bupati atau lingkungan pemerintah tradisional, misalnya Raden Jayakusumah yang menulis Sajarah Bandung adalah Patih Batulayang. Menurut Nina Lubis, bentuk kesenian lainnya yang digemari kaum menak yaitu ibing tayub, yakni seni pertunjukan tari yang berasal dari tradisi Jawa yang merupakan semancam tari pergaulan. Pada awalnya tarian ini dilangsungkan dalam pesta perkawinan, khitanan atau pesta lainnya dan melibatkan unsur ronggeng dan minuman keras. Pada perkembangan selanjutnya, ibing tayub dikembangkan menjadi ibing keurseus, dan sejak itu ibing tayub tidak hanya dimiliki oleh kaum menak saja, akan tetapi menyebar ke kalangan masyarakat biasa (Lubis, 1998:245). Kontribusi yang diberikan dari buku karya Nina H. Lubis ini adalah penulis lebih memahami kehidupan menak Priangan dalam berbagai segi kehidupan, yang salah satunya dalam bidang kesenian. Dengan membaca buku ini penulis mendapat informasi yang rinci mengenai kehidupan menak sejak datangnya pengaruh Mataram, kemudian pengaruh pemerintahan kolonial
26
Belanda sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia. Dalam buku ini juga nampak beberapa perbedaan dan perubahan nilai-nilai sosial di mayarakat Priangan.
2.3. Ibing Tayub Priangan Beberapa buku yang membahas tentang Ibing Tayub diantaranya dipaparkan oleh Anis Sujana berjudul Tayub Kalangenan Menak Priangan (2002), Tari Keurseus (2003) yang ditulis oleh Lalan Ramlan, Kapita Selekta Tari (1996) yang ditulis oleh Arthur S. Nalan, Tayub Cirebonan Artefak Budaya Masyarakat Priyayi (2008) yang ditulis oleh Lalan Ramlan, Deskripsi Kesenian Jawa Barat (2003) yang disusun oleh Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan dan Tayub Pertunjukan dan Ritus Kesuburan (1999) oleh Ben Suharto. Literatur pertama yang penulis gunakan adalah Tayub Kalangenan Menak Priangan oleh Anis Sujana. Buku ini tidak hanya menyajikan ibing tayub sebagai kalangenan menak Priangan, akan tetapi dibahas juga mengenai kehidupan kaum menak Priangan yang pada perkembangannya nanti menjadi kalangan yang sangat mendukung dan menggemari kesenian bergaya Jawa ini. Ibing tayub di Priangan mulai muncul di pendopo Kabupaten Sumedang pada masa Pangeran Suria Kusumah Adinata (1836-1882) (Anis Sujana,2002:57). Bupati berikutnya yakni P.A.A. Suriaatmadja (1882-1919) juga memiliki ketertarikan yang sama terhadap ibing tayub dengan diciptakannya sebuah lagu sekaligus tariannya yang diberi nama sonteng. Hal yang sama juga dialami oleh bupati berikutnya yakni R.A.A. Kusumadilaga (1919-1937). Selama periode
27
ketiga bupati Sumedang ini ada semacam anjuran yang menyebutkan agar semua priyayi terampil dalam menari ibing tayub. Dengan demikian seluruh jajaran pangreh praja mulai dari pangkat terendah hingga pangkat paling tinggi merasa terpanggil untuk terlibat di dalam tayuban. Tidak mengherankan apabila pada gilirannya tayuban secara intensif dilaksanakan di tingkat kewedanaan, kecamatan, hingga ke bale desa bahkan ke rumah-rumah penduduk. Literatur kedua yang penulis gunakan adalah buku Tari Keurseus yang ditulis oleh Lalan Ramlan. Literatur ini mendeskripsikan ibing tayub Priangan sebagai adaptasi dari tayuban di Jawa dan berbagai unsur topeng Cirebon. Secara kronologis buku ini membahas ibing tayub sebagai kalangenan menak Priangan sampai berubah menjadi Ibing Keurseus sebagai sebuah genre tari Sunda. Aktivitas tayuban pada masa lalu tidak lepas dari peranan para penari topeng Cirebon, baik yang berlangsung di lingkungan kabupaten maupun yang diluar kabupaten mengundang mereka mempertunjukan dan mengajar tari adalah mereka para menak. Misalnya pada tahun 1903 R. Gandakusumah mengundang dalang topeng Wentar ke pendopo Kabupaten Tasikmalaya untuk mengajar tari. Buku ini relevan untuk dijadikan sumber dalam penelitian sksipsi yang dilakukan oleh penulis, karena memberikan informasi tentang ibing tayub di Priangan berdasarkan sejarah dan perkembangannya sampai menjadi kesenian yang merakyat. Buku ini lebih menyoroti ibing keureus sebagai sebuah kesenian yang pada perkembangannya menjadi sebuah genre tari yang menandai pembaharuan tari Sunda. Karena buku ini diterbitkan untuk kepentingan perkuliahan di lingkungan kampus STSI Bandung, maka hampir setengah dari
28
pembahasannya mendeskripsikan tari keurseus yang dipelajari di STSI Bandung beserta teknik-teknik, notasi dan koreografi tari keurseus. Literatur selanjutnya yang digunakan adalah buku yang berjudul Tayub Pertunjukan dan Ritus Kesuburan yang ditulis oleh Ben Suharto. Tayub yang dimaksud dalam buku ini bukan mengacu kepada ibing tayub yang berkembang di Priangan, akan tetapi lebih kepada tayub yang berkembang di Jawa yang dipertalikan dengan ritus kesuburan. Dalam penelitiannya di Gunung Kidul Yogyakarta, Ben Suharto menemukan dua gejala, yaitu gejala alam dan gejala religius menjelang dan selepas pelaksanaan tayuban. Gejala alam itu ditunjukkan oleh adanya curah hujan secara ’mendadak’, sedang gejala religius ditunjukkan oleh adanya perlakuan yang ’istimewa’ terhadap figur ronggeng, yakni figur ronggeng dianggap sebagai pembawa berkah. Dalam buku ini dipaparkan secara spesifik mengenai fungsi tayub di Jawa khususnya, yang memiliki muatan ritus kesuburan. Selain itu, dideskripsikan juga mengenai peran sentral ronggeng yang memiliki kekuatan magis juga kesempurnaan secara fisik, ronggeng akan menjadi semacam kunci dari keberlangsungan upacara yang mengandung ritus kesuburan tersebut. Buku ini memberikan informasi bahwa tayuban itu tidak hanya memiliki muatan hiburan, tetapi juga memiliki muatan ritus. Literatur selanjutnya yang dijadikan sebagai referensi adalah sebuah kumpulan tulisan yang dibukukan dengan judul Kapita Selekta Tari yang diedit oleh Arthur S. Nalan. Beberapa tulisan dalam buku tersebut sangat komperhensif dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Tulisan yang dijadikan
29
kepustakaan berjudul Tari Kursus. Tulisan tersebut menjelaskan mengenai perjalanan tari Kursus yang pada mulanya bernama ibing tayub sebagai sebuah tari kalangenan, menjadi sebuah genre tari baru yang berfungsi sebagai tari pertunjukan. Setelah mengalami ’penertiban’, ibing tayub gaya baru atau ibing kurus pun muncul sebagai genre tari baru yang digemari banyak kalangan. Kalangan penggemar ibing kursus ini pada gilirannya memandang perlu melengkapi hasil kebinakitannya ini dengan pandangan-pandangan lain yang didasarkan pada gaya hidup mereka. Maka munculah penafsiran-penafsiran dan pemaknaan terhadap tari kursus yang cenderung bernada filosofis. Tulisan ini memberikan informasi yang jelas bahwa ibing tayub yang kemudian
berkembang
menjadi
ibing
kursus
merupakan
cikal
bakal
perkembangan tari Sunda. Meskipun pada awalnya banyak dari unsur-unsur ibing tayub yang ’ditiru’ dari Jawa, namun pada perkembangannya, terutama ketika ia menjadi ibing kursus, tari ini berubah menjadi sebuah genre tari yang sudah nampak unsur-unsur Sunda-nya, seperti dalam hal koreografi, pemaknaan tari, tata busana tari dan unsur lainnya yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan tradisi Sunda. Sayangnya, semua informasi tersebut disajikan secara singkat sehingga diperlukan literatur lain yang melengkapi. Literatur selanjutnya yang digunakan adalah Tayub Cirebonan Artefak Budaya Masyarakat Priyayi yang ditulis oleh Lalan Ramlan. Dalam bahasan bukunya, Ramlan mencoba menjawab apakah tayuban Cirebon berawal hidup dari kalangan masyarakat biasa atau dari lingkungan keraton?.
30
Masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa yang bersifat agrarais tentu akrab dengan upacara yang bermuatan ritus kesuburan misalnya dalam pesta panen atau bedah bumi dengan unsur ronggeng/ledhek sebagai sentral. Untuk upacara kesuburan, tayub dilaksanakan pada saat panen akan dimulai, dengan harapan agar tanaman berikutnya bisa berhasil dengan baik. Penyelenggaraannya yang dijatuhkan pada panen ini kemungkinan dimaksudkn sebagai ungkapan terimakasih kepada Yang Maha Kuasa, bahwa panennya telah berhasil (Soedrsono dalam Ramlan,2008: 122). Mengenai peranan ledhek (rongeng), ternyata tidak hanya berfungsi dalam upacara kesuburan saja. Di Jawa timur, kesenian Ledhek sudah cukup dikenal, namun selain sarat dengan unsur seni, kesenian ini juga lekat dengan transaksi seks (Ramlan, 2008: 128). T.C. Raffles dengan membandingkan penari nautch yaitu gadis penari profesional India, dengan ronggeng yang dianggap penari ’rendahan’. Akan tetapi mereka tidak pernah dianggap rendah atau mengalami perlakuan penyalahgunaan seks. Mereka bahkan bisa menikah dengan anggota masyarakat terhoirmat. Kenyataannya sampai sekarang penari-penari ini memiliki kedudukan yang dilindungi di Jawa (Claire Holt dalam Ramlan, 2008: 129). Kraton Cirebon sebagai pusat kegiatan agama Islam, juga menjunjung tinggi keterkaitan dan keselarasan nilai-nilai yang terkandung dalam pandangan hidup, etika dan estetika. Maka sejak zaman Sunan Gunung Jati, Keraton Cirebon menggunakan seni sebagai media penyiaran agama. Dapat dipahami jika kemudian muncul pemaknaan yang bernilai Islami dari beberapa bentuk kesenian sebagai tahapan proses spiritual manusia. Hal ini tercermin dalam pemaknaan dari berbagai tari dan kesenian Cirebon seperti wayang kulit, seni topeng Cirebon, berokan dan tayub.
31
Dalam pemahaman tradisi msyarakat priyayi Cirebon, tayub hadir sebagai media untuk meneguhkan kembali keimanan dan keislaman para pejabat keraton. Diceritakan bahwa pada setiap pertemuan agung yang dihadiri oleh seluruh pejabat dan aparat pembantu keraton, selalu diadakan acara tayuban. Dalam acara tersebut, setiap tamu yang mendapat kehormatan untuk menjadi penari utama sebenarnya mereka yang diperkirakan ’imannya sudah goyah’. Ronggeng akan mengantarkan penari kepada seorang imam. Tugas ronggeng disini adalah untuk mengantarkan si pengibing kepada suasana ketenangan rohani dalam suasana penikmatan menari (Ramlan,2008: 138). Masuknya kekuasaan Belanda ke Cirebon membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya dalam bidang kesenian. Tayuban yang sarat dengan nilai-nilai Islam kemudian mengalami pergeseran nilai. Jika pada masa sebelumnya tayub hadir sebagai media inisiasi (pengukuhan keislaman), bergeser menjadi media hiburan atau pergaaulan. Minumannya pun bukan lagi air serbat tapi minuman beralkohol. Oleh karena itu, seni tayub di satu sisi secara vertikal jelas mengalami pergeseran makna dan fungsi, walaupun bentuk dan penyajiannya tidak mengalami perubahan yang mendasar. Informasi yang terdapat dalam buku ini memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan penulis. Buku ini menjadi pembanding dari buku-buku sebelumnya yang membahas mengenai Ibing tayub di Priangan. Sebelum masuk ke wilayah Priangan, ternyata tayuban di Cirebon sudah mengalami fase-fase perubahan yang jelas dalam fungsi dan pemaknaannya. Sehingga jelas bahwa seni tayub merupakan pernyataan budaya yang dibentuk oleh lingkungan alam, hitoris,
32
sarana komunikasi (bahasa dan adat istiadat), dan tempramental manusianya, yang kemudian membentuk kekhasan budaya yang berbeda.