BAB II LANDASAN TEORITIS
A.
Teori Perpajakan 1.
Definisi Pajak Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-
menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat
baik
materill
maupun
spiritual.
Untuk
dapat
merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu upaya untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negri berupa pajak. Pajak menurut Sonny Agustinus dan Isnianto Kurniawan (2009:1) adalah sebagai berikut : Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua hal penting yang terdapat di dalam pengertian pajak, yaitu: a. Iuran yang dapat dipaksakan, artinya iuran yang mau tidak mau harus dibayar oleh rakyat yang dikenakan kewajiban membayar iuran tersebut. Kalau rakyat atau badan hukum yang oleh pemerintah dikenakan kewajiban membayar iuran tersebut (atau yang disebut dengan Wajib 8
9
Pajak) tidak melaksanakan pembayaran tersebut, maka Wajib Pajak yang bersangkutan
dapat
dikenakan
tindakan
hukum
oleh
pemerintah
berdasarkan undang-undang atau dengan perkataan lain Wajib Pajak tersebut dapat dipaksakan oleh pemerintah untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan menggunakan surat paksa dan sita. b. Tanpa jasa timbal/kontra prestasi/imbalan langsung, mengandung arti bahwa wajib pajak yang membayar iuran kepada Negara tidak ditunjukkan secara langsung imbalan apa yang diperolehnya dari pemerintah atas pembayaran iuran tersebut. Imbalan secara tidak langsung yang diperoleh Wajib Pajak adalah berupa pelayanan pemerintah kepada seluruh anggota masyarkat, baik yang membayar pajak maupun yang dibebaskan dari penggunaan pajak, yaitu antara lain penyelenggaraan bidang keamanan, kesejahteraan, pembuatan jalan, saluran irigasi, pencegahan penyakit menular. Berdasarkan definisi yang disebutkan diatas maka karakteristik dari pajak dapat disimpulkan sebagai berikut: a.
Pajak
dipungut
berdasarkan
Undang-Undang
dan
aturan
pelaksanaannya. b.
Pembayaran pajak yang terutang oleh orang pribadi atau badan (Wajib Pajak) sifatnya dapat dipaksakan.
10
c.
Pembayaran pajak (tax payer) tidak dapat menikmati kontraprestasi secara langsung dari pemerintah.
d.
Pajak dipungut oleh Negara, baik melalui pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
e.
Penerimaan pajak dari sektor pajak digunakan untuk pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Menurut Waluyo (2006:6) terlihat adanya dua fungsi pajak, yaitu: a. Fungsi Penerimaan (Budgeteir) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negri. b.
Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah.
11
2.
Jenis – Jenis Pungutan di Indonesia Di samping pungutan, beberapa jenis pajak yang dikenal sebagai pajak
negara seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Materai, Pemerintah Pusat masih melakukan pungutan lain. Menurut Zain (2007:12) jenis – jenis pungutan tersebut, yaitu : a. Bea, adalah pungutan yang dikenakan atas suatu kejadian atau perubahan yang berupa lalu lintas barang dan perbuatan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bea dapat berupa Bea Masuk yang dipungut atas barang-barang yang dimasukkan kedalam daerah pabean berdasarkan harga atau nilai barang tersebut (tarif ad valorem) atau berdasarkan tarif yang sudah ditentukan (tarif spesifik). Bea Keluar dikenakan atas sejumlah barang yang dikeluarkan ke luar daerah pabean berdasarkan tarif yang sudah ditentukan bagi masing-masing golongan barang. Bea Balik Nama dikenakan atas perbuatan pemindahan hak pemilikan atas harta dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. b. Cukai ialah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan biasanya barang konsumsi. Cukai dapat berupa cukai tembakau, cukai rokok, cukai gula, cukai alkohol, cukai minuman keras dan lain-lainnya.
12
Bea dan Cukai dikategorikan sebagai pajak tidak langsung. c. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerinth daerah dan pembangunan daerah. Jenis Pajak Daerah Tingkat I terdiri dari: 1) Pajak Kendaraan Bermotor 2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Jenis Pajak Daerah Tingkat II terdiri dari: 1) Pajak Hotel dan Restoran 2) Pajak Hiburan 3) Pajak Reklame 4) Pajak Penerangan Jalan 5) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan “C” 6) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan jenis pajak selain yang ditetapkan di atas. d. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
13
khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi dibagi atas tiga golongan: 1) Retribusi Jasa Umum 2) Retribusi Jasa Usaha 3) Retribusi Perizinan Tertentu Jenis – jenis retribusi yang termasuk golongan Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. e. Penerimaan
Negara
Bukan
Pajak
adalah
seluruh
penerimaan
Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi: 1) Penerimaan yang bersumber dari pengeluaran dana Pemerintah, antara lain Penerimaan Jasa Giro, Sisa Anggaran Pembangunan, dan Sisa Anggaran Rutin. 2) Penerimaan dari Pemanfaatan sumber daya alam, antara lain royalti di bidang perikanan, royalti di bidang kehutanan dan royalti di bidang pertambangan, tidak termasuk penerimaan yang merupakan bagian pemerintah dari minyak dan gas bumi. 3) Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan antara lain deviden, bagian laba pemerintah, dana pembangunan semesta dan hasil penjualan saham pemerintah.
14
4)
Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, antara lain pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pelatihan, pemberian hak paten, merek, hak cipta, pemberian visa dan paspor, serta pengelolaan kekayaan negara yang tidak dipisahkan.
5) Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi, antara lain lelang barang rampasan negara dan denda. 6) Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah, adalah penerimaan negara berupa bantuan hibah dan atau sumbangan dari dalam dan luar negri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi hak pemerintah. Hibah dalam bentuk natura, antar lain yang secara langsung untuk mengatasi keadaan darurat seperti bencana alam atau wabah penyakit tidak dicatat dalam APBN. 7) Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.
3.
Subjek Pajak Penghasilan Menurut Muda Markus (2005:13) undang-undang pajak penghasilan tahun 2000 mengenai ketentuan rakyat mana saja yang disetujui untuk membayar sebagian penghasilan yang diperolehnya, yaitu : a.
Orang Pribadi, yaitu manusia yang masih hidup. Satu subjek orang pribadi bisa berupa satu individu dewasa yang belum menikah atau bisa berupa satu keluarga yang terdiri dari suami
15
dan istri yang belum bercerai dan tidak mengadakan perjanjian pisah harta dengan suami dan anak-anak (kandung/tiri/angkat) yang belum dewasa (belum menikah dan belum mencapai usia 18 tahun) b.
Badan, yang terdiri atas : 1)
Sekumpulan modal (legal person) yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer yang modalnya terbagi atas saham-saham, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, koperasi dana pensiun berbentuk PT, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana berbentuk PT, CV atau perseroan komanditer yang modalnya terbagi atas saham-saham.
2)
Sekumpulan orang (other body person) yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi firma, kongsi, persekutuan, CV atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, saham-saham, yayasan (termasuk dana pensiun berbentuk yayasan.
16
4.
Hukum Pajak Kewenangan pemungutan pajak berada pada Pemerintah. Di Indonesia
pemungutan pajak diatur dalam Pasal 23A Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Atas dasar undang-undang dimaksudkan bahwa pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat ke Pemerintah, untuk membiayai pengeluaran negara dengan tidak mendapatkan kontraprestasi yang langsung. Kedudukan Pajak merupakan bagian dari Hukum Tata Usaha Negara. Menurut Waluyo (2006:11) hukum Pajak dibedakan menjadi dua, yaitu : a)
Hukum Pajak Materil
Memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak (objek-objek), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum anatara pemerintah dan Wajib Pajak. b) Hukum Pajak Formal Memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum pajak materil menjadi kenyataan, hukum pajak formal ini memuat antara lain: 1) Tata cara penetapan utang pajak 2) Hak-hak fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.
17
3)
Kewajiban Wajib Pajak sebagai contoh penyelenggaraan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak mengajukan keberatan dan banding. Di Indonesia hukum pajak formal telah diwujudkan di dalam
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
5.
Pembagian Pajak dan Pemungutan Pajak Menurut Waluyo dan Wirwan (2003:13) pajak dapat dikelompokan
kedalam kelompok : a.
Menurut Golongan, 1) Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan 2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
b.
Menurut Sifat, Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip ;
18
1) Pajak subyektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya
yang
selanjutnya
syarat
obyektifnya,
dalam
arti
memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan 2) Pajak obyektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah c. Menurut Pemungut dan Pengelolanya, 1) Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. 2) Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Reklame, Pajak Hiburan
Menurut Mardiasmo (2006:3) teori-teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak antara lain adalah :
19
a.Teori Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut. b. Teori Kepentingan Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar. c. Teori Daya Pikul Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Teori daya pikul dapat dihitung dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu: 1)
Unsur Obyektif Melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
2)
Unsur Subyektif Memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
20
6. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Nomor Pokok Wajib Pajak menurut Waluyo (2006:24) adalah sebagai berikut: Nomor yang diberikan oleh Direktur Jendral Pajak kepada Wajib Pajak sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Karena itu setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP, dan fungsi dari NPWP itu sendiri adalah: a.
Sebagai tanda pengenal diri atau identitas bagi Wajib Pajak.
b.
Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. NPWP juga dapat dihapuskan, tetapi dengan penghapusan NPWP
tidak berarti akan menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Pengertian dari penghapusan NPWP adalah suatu tindakan menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Tata Usaha Kantor Pelayanan Pajak. Penghapusan NPWP dilakukan dalam hal : a.
Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan.
b.
Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
c.
Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi.
21
d.
Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.
Bentuk Usaha Tetap yang karena suatu hal kehilangan statusnya sebagai Bentuk Usaha Tetap.
f.
Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksudkan dalam angka 1 dan angka 2 yang tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai Wajib Pajak. Penghapusan NPWP ini dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi,
kecuali dari pemeriksaan pajak diketahui adanya hutang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi karena : a.
Wajib Pajak orang pribadi telah meninggal dunia tanpa meninggalkan harta warisan, dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan.
b.
Wajib Pajak tidak dapat tidak mempunyai harta kekayaan lagi.
c.
Sebab lain sesuai dengan hasil pemeriksaan.
Penghapusan NPWP bagi Wajib Pajak wanita kawin karena perkawinannya tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, berlaku sejak awal tahun berikutnya setelah tahun perkawinan dilaksanakan dengan ketentuan suami telah terdaftar sebagai Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak Terdaftar pindah tempat tinggal, tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain atau terjadi perubahan status perusahaan yang mengakibatkan Kantor Pelayan Pajak tempat
22
Wajib Pajak terdaftar harus berubah, maka Wajib Pajak mengajukan permohonan pindah dengan menyampaikan surat pernyataan pindah beserta persyaratannya. Sebagai tindak lanjutnya Kantor Pelayanan Pajak : a. Menerbitkan surat pindah untuk diberikan kepada Wajib Pajak paling lama pada hari kerja berikutnya setelah surat pernyataan pindah diterima untuk diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak baru dalam surat pernyataan pindah beserta persyaratan secara lengkap disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak Lama. b. Menerbitkan surat keterangan terdaftar paling lama pada hari kerja berikutnya dalam hal surat pernyataan pindah beserta pernyataannya secara lengkap disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak baru atau setelah menerima surat pindah dari Wajib Pajak.
7.
Tata Cara Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2006:6) beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam tata cara pemungutan pajak, yaitu : a.
Stelsel Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel, yaitu: 1) Stelsel Nyata (riel stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata). Sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir
tahun
pajak,
yakni
setelah
penghasilan
yang
23
sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan tau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). 2) Stelsel Anggapan (fictieve stelsel) Pengenaan pajak di dasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya. Sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannnya adalah pajak
yang
dibayar
tidak
berdasarkan
pada
keadaan
sesungguhnya. 3) Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada
awal
tahun,
besarnya
pajak
dihitung
berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah.
24
Sebaliknya jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali. b.
Asas Pemungutan Pajak Pemungutan pajak mempunyai 3 asas pemungutan, yaitu: 1) Asas Domisili Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negri. 2) Asas Sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber diwilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 3) Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negri.
c.
Sistem Pemungutan Pajak Ada 3 jenis sistem pemungutan pajak, yaitu: 1) Official Assessment System
25
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. b) Wajib Pajak bersifat pasif. c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2) Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3) With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib
26
Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
B.
Self Assessment System Self Assessment System adalah “suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahun sesuai dengan ketentuan undang – undang yang berlaku” (Siti, 2005:10) Jadi Wajib Pajak sendirilah yang menghitung dan menilai pemenuhan kewajiban perpajakannya. Sistem Self Assessment telah dijalankan di Indonesia sejak tahun 1984 hingga saat ini, menggantikan Sistem Official Assessment. Sejak diadakannya reformasi perpajakan tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sistem pemungutan pajak di Indonesia berubah dari official assessment system menjadi self assessment system. Official assessment system merupakan sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Self assessment system merupakan suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang. Peranan
27
pembukuan/ akuntansi sangat penting karena informasi keuangan yang dihasilkan dari proses pembukuan, diperlukan untuk keperluan menghitung pajak terutang dan verifikasi, serta pemeriksaan dan investasi terhadap kebenaran penghitungan jumlah pajak terutang. Reformasi peraturan perpajakan harus dilakukan secara cermat dan jangan sampai ada peraturan yang saling bertentangan Karena kompleksitas meningkatkan ketidakpastian bagi pembayar pajak, yang selanjutnya mendorong ketidakpatuhan (Westat dalam Jackson et al., 1986). Seiring dengan upaya optimalisasi penerimaan pajak, diharapkan pelayanan publik yang dilakukan oleh Fiskus dapat lebih ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (KEPMENPAN) Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelayanan Publik, yang mengharuskan setiap penyelenggaraan pelayanan publik memiliki standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan, termasuk pelayanan di bidang perpajakan. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada Wajib Pajak. Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh pemerintah (Fiskus) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah fungsi yang memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Atas
28
dasar fungsi penghitungan tersebut Wajib Pajak berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang telah dibayar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kelemahan self assessment system yang memberikan kepercayaan pada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutang, dalam praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan disalahgunakan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib Pajak yang masih rendah atau kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak enggan untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak ini bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya. Dalam self assessment, SPT merupakan sarana yang paling mutlak bagi Wajib Pajak untuk melaporkan dengan benar semua hal tentang Wajib Pajak mulai dari identitas, kegiatan usaha sampai jumlah harta yang semuanya berkaitan dengan perpajakan. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika perhatian secara penuh diberikan pada penyempurnaan SPT baik dalam masalah bentuk, isi, dan susunannya, sehingga SPT merupakan sarana yang handal bagi tercapainya tujuan perpajakan (Direktorat Jenderal Pajak) dan untuk tujuan pelayanan bagi Wajib Pajak SPT haruslah “userfriendly”, yaitu menarik, mudah pengisiannya dan dapat menampung semua aspek bisnis yang berkaitan dengan perpajakan.
29
Penelitian ini mengangkat isu tentang pelaksanaan self assessment system khususnya pada Wajib Pajak Orang Pribadi. Hal ini menarik karena fenomena yang berkembang dimasyarakat menunjukkan bahwa Wajib Pajak sudah membayar pajak, tetapi masih timbul kebingungan para Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Padahal Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Penelitian Novianti (1997) menyimpulkan bahwa pelaksanaan self assessment belum bisa diterapkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi terutama pemilik kos-kosan, karena
mereka
sering
kali
tidak
melaporkan
atau
mencantumkan
pajak
penghasilannya di SPT. Sedangkan Damayanti (2004) menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan di Salatiga masih banyak yang belum mampu menghitung sendiri pajak terutangnya, disamping itu juga fungsi Fiskus sendiri belum terlaksana dengan baik, karena fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Fiskus terlalu berlebihan dan salah sasaran. Pramastuti (2003) menemukan bahwa pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh pemeriksa pajak dapat memudahkan para Wajib Pajak dalam menghitung besarnya pajak yang harus disetorkan. Sedangkan Damayanti (2004) menunjukkan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan Fiskus belum terlaksana dengan baik, karena fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Fiskus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Wajib Pajak dan Fiskus sudah benar–benar menerapkan self
30
assessment system. Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan teori perpajakan khususnya tentang self assessment system. Bagi pemerintah (Fiskus) bisa digunakan sebagai koreksi atas pelaksanaan self assessment system, sehingga diharapkan sistem administrasi perpajakan yang efisien benar-benar terwujud. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini bisa digunakan sebagai bukti ilmiah untuk menilai pelaksanaan self assessment system. Self assessment system sebagai sistem penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan sejak tax reform tahun 1983, setelah sebelumnya pernah diberlakukan official assessment system. Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Official assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Fiskus untuk menentukan besarnya pajak terutang Self assessment system merupakan tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib Pajak atau pemotong/pemungut pajak dan respon Wajib Pajak terhadap pengenaan pajak tersebut (Zain, 2003). Pada tipe ini Wajib Pajak mendapat beban yang sangat berat, karena: 1.
Wajib Pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT,
2.
Menghitung Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP),
3.
Mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang maksudnya mengurangi pajak
31
yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan, dan 4.
Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang
Surat pemberitahuan (SPT) merupakan surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak, obyek pajak dan bukan obyek pajak, atau harta dan kewajiban. Dasar hukum untuk melakukan pengisian SPT adalah terdapat dalam pasal 3 ayat 1 dan (1a) UU KUP menyebutkan bahwa “setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan”. Menurut Undang-undang No. 16 tahun 2000 KUP perpajakan, SPT dapat dibagi menjadi, SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu masa pajak dan SPT Tahunan adalah surat-surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pengisian SPT Tahunan PPh oleh Wajib pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca menghitung besarnya Penghasilan Kena dan laporan laba rugi serta keterangan-Pajak. keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan (PPh) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) fungsi SPT
32
adalah
sebagai
sarana
untuk
melaporkan
dan
mempertanggung
jawabkan
penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Niai atas barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang. Mengisi SPT adalah mengisi SPT dengan benar, jelas dan lengkap, sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pengisian SPT yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang kurang bayar sehingga akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 16 Tahun 2000, bagi Wajib Pajak yang terlambat dan tidak menyampaikan SPTnya akan dikenakan sanksi administrasi yaitu: 1.
Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT dikenakan denda untuk SPT Masa sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dan untuk SPT Tahunan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
2.
Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
3.
Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dengan sengaja sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana
33
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar. Surat Setoran Pajak (SSP) menurut Mardiasmo (2006:31) adalah : Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran, penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara melalui kantor pos, Bank BUMN atau Bank BUMD dan tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan. Dalam pelaksanaan self assessment system, Wajib Pajak tidak serta merta mengisi formulir pajak dan diperiksa oleh Fiskus. Persoalan yang meski kita kedepankan adalah betapa pentingnya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan dan berbagai peraturannya yang dituangkan secara gamblang, baku, lugas, tegas, jelas, tidak bermakna ganda, dan tidak terlalu sering berubah (Tarjo dan Sawarjuwono, 2005). Selanjutnya harus disampaikan kepada Wajib Pajak sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang salah.
34
C. Sanksi Pajak Sanksi perpajakan menurut Mardiasmo (2006:47) adalah : Jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan”. Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Nugroho, 2006). Pandangan tentang sanksi perpajakan tersebut diukur dengan indikator (Yadnyana, 2009) sebagai berikut: 1.
Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat.
2.
Sanksi administrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan
3.
Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana untuk mendidik wajib pajak
4.
Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggaran tanpa toleransi
5.
Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan.
35
Tabel 2.1 Tabel Sanksi Administrasi Berupa Denda, Bunga Dan Kenaikan No Pasal Denda
Masalah
1.
SPT Terlambat disampaikan : a. Masa
7 (1)
2.
8 (3)
3.
14 (4)
Bunga 1.
Sanksi
Rp100.000 atau Rp500.000 b. Tahunan Rp100.000 atau Rp1.000.000 Pembetulan sendiri dan belum 150% disidik a. PKP tidak membuat faktur 2% pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu b. PKP yang tidak mengisi faktur 2% pajak secara lengkap c. PKP melaporkan faktur pajak 2% tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak
Keterangan
Per SPT
Per SPT Dari jumlah pajak yang kurang dibayar
Dari DPP
Pembetulan SPT Masa dan 2% Tahunan
Per bulan, dari jumlah pajak yang kurang dibayar
Keterlambatan pembayaran 2% pajak masa dan tahunan
Per bulan, dari jumlah pajak terutang
3.
8 (2 dan 2a) 9 (2a dan 2b) 13 (2)
Kekurangan pembayaran pajak 2% dalam SKPKB
4.
13 (5)
SKPKB diterbitkan setelah 48% lewat waktu 5 tahun karena adanya tindak pidana
Per bulan, dari jumlah kurang dibayar, max 24 bulan Dari jumlah pajak yang tidak mau atau kurang dibayar.
5.
14 (3)
a. PPh tahun tidak/kurang bayar
2.
berjalan 2%
Per bulan, dari jumlah pajak tidak/kurang dibayar, max 24 bulan
36
b. SPT kurang bayar
14 (5)
2%
Per bulan, dari jumlah pajak tidak/kurang dibayar, max 24 bulan
PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan 2% pengembalian Pajak Masukan
Per bulan, dari jumlah pajak tidak/kurang dibayar, max 24 bulan
6.
15 (4)
SKPKBT diterbitkan setelah 48% lewat waktu 5 tahun karena adanya tindak pidana
Dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
7.
19 (1)
Per bulan, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
8.
19 (2)
SKPKB/T, SK Pembetulan, SK 2% Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan kurang bayar terlambat dibayar Mengangsur atau menunda 2%
9.
19 (3)
Kekurangan pajak penundaan SPT
Atas kekurangan pembayaran pajak
Kenaikan
akibat 2%
Per bulan, bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan
1.
8 (5)
Pengungkapan ketidak benaran 50% SPT sebelum terbitnya SKP
Dari pajak yang kurang dibayar
2.
13 (3)
Apabila: SPT tidak disampaikan sebagaimana disebut dalam surat teguran, PPN/PPnBM yang tidak seharusnya dikompensasikan atau tidak tarif 0%, tidak terpenuhinya Pasal 28 dan 29 a. PPh yang tidak atau kurang 50% dibayar b. tidak/kurang dipotong/ 100% dipungut/ disetorkan
Dari PPh yang tidak/kurang dibayar Dari PPh yang tidak/kurang dipotong/dipungut
c. PPN/PPnBM kurang dibayar
atau 100%
Dari PPN/PPnBM yang tidak atau kurang dibayar
pada 100%
Dari jumlah pajak tersebut
3.
15 (2)
Kekurangan SKPKBT
Sumber : www.pajak.go.id
tidak
pajak
kekurangan
37
Dalam melaporkan pajaknya maka wajib pajak harus memiliki kesadaran, wajib pajak dikatakan memiliki kesadaran (Manik, 2009) apabila sesuai dengan halhal berikut : 1.
Mengetahui adanya undang-undang dan ketentuan perpajakan.
2.
Mengetahui fungsi pajak untuk prmbiayaan negara.
3.
Memahami kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.
Memahami fungsi pajak untuk pembiayaan negara
5.
Menghitung, membayar, melaporkan pajak dengan suka rela
6.
Meghitung, membayar, melaporkan dengan benar.
38
D.
Kepatuhan “Adanya sanksi administrasi maupun sanksi hukum pidana bagi Wajib Pajak
yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dilakukan supaya masyarakat selaku Wajib Pajak mau memenuhi kewajibannya”(Safri, 2003:148). Hal ini terkait dengan ikhwal kepatuhan perpajakan/tax compliance. Kepatuhan adalah ketaatan, dalam hal ini kepatuhan pajak diartikan secara bebas adalah ketaatan dalam menjalankan semua peraturan perpajakan. Kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan juga perilaku yang taat hukum. Secara konsep, kepatuhan diartikan dengan adanya usaha dalam mematuhi peraturan hukum oleh seseorang atau organisasi. Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Ada dua jenis kepatuhan yaitu: 1.
Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan uu perpajakan
2.
Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantive/hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
39
“Prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela” (Ismawan, 2001:82). Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. Menurut Devano (2006:110) kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi sebagai berikut : 1.
Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
2.
Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3.
Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4.
Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila elemenelemen kunci telah diterapkan secara efektif. Menurut Ismawan (2001:83) elemenelemen kunci tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Program pelayanan yang baik kepada wajib pajak.
2.
Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak.
3.
Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif.
40
4.
Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000, wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir. 2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. 3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir. 4. Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terutang paling banyak 5%. 5. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.
41
Dalam
sistem self
assessment, administrasi
perpajakan
berperan
aktif
melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pengawasan dan penerapan sanksi terhadap penundaan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perpajakan. Fungsi pengawasan memegang peranan sangat penting dalam sistem self assessment, karena tanpa pengawasan dalam kondisi tingkat kepatuhan Wajib Pajak masih rendah, mengakibatkan sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik, sehingga Wajib Pajak pun akan melaksanakan kewajiban pajaknya dengan tidak benar dan pada akhirnya penerimaan dari sektor pajak tidak akan tercapai. Dasar-dasar kepatuhan meliputi: 1.
Indoctrination Sebab pertama warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah adalah karena dia didoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar
mematuhi
kaidah-kaidah
yang
berlaku
dalam
masyarakat
sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. 2.
Habituation Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku.
42
3.
Utility Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur, akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang, belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Karena itu diperlukan patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut, patokan tadi merupakan pedoman atau takaran tentang tingkah laku dan dinamakan kaedah. Dengan demikian, maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat pada kaidah adalah karena kegunaan dari pada kaidah tersebut.
4.
Group Identification Dari satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaidah adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya tadi. Bahkan kadang-kadang seseorang mematuhi kaidah kelompok lain, karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut. Sebenarnya masalah kepatuhan yang merupakan suatu derajat secara
kualitatif dapat dibedakan dalam tiga proses, yaitu:
43
1.
Compliance Compliance diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya maka kepatuhan akan ada, apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.
2.
Identification Identification terjadi apabila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhan pun tergantung pada baik buruknya interaksi tadi.
3.
Internalization Pada Internalization seseorang mematuhi kaedah-kaedah hukum oleh karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-
44
kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya sejak semula pengaruh terjadi, atau oleh karena dia merubah pola-pola yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Pusat kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang terhadap tujuan dari kaidah-kaidah bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya. Berlakunya sistem self assessment di Indonesia menunjang besarnya peranan Wajib Pajak dalam menentukan besarnya penerimaan negara dari sektor pajak yang didukung oleh kepatuhan pajak (tax compliance). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepatuhan pajak merupakan pelaksanaan atas kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Kepatuhan yang diharapkan dengan sistem self assessment adalah kepatuhan sukarela (valuntary compliance) bukan kepatuhan yang dipaksakan (compulsary compliance). Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak, diperlukan keadilan dan keterbukaan dalam menerapkan perpaturan perpajakan, kesederhanaan peraturan dan prosedur perpajakan serta pelayanan yang baik dan cepat dari Wajib Pajak. Tapi mengapa wajib pajak tidak patuh, ada beberapa faktor yaitu: 1.
Wajib pajak kurang sadar tentang kewajiban bernegara
2.
Kurang patuh terhadap peraturan pemerintah
45
3.
Kurang menghargai hukum
Ketidakpatuhan
secara
bersamaan
akan
dapat
menimbulkan
upaya
menghindarkan pajak secara melawan hukum atau tax evasion. Tax evasion adalah perbuatan melanggar undang-undang. Misalkan menyampaikan didalam SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah dari pada yang sebenarnya. Sedangkan bentuk tax evasion yang lebih parah adalah apabila wajib pajak tidak melaporkan penghasilannya.
E.
Kerangka Berfikir 1.
Identifikasi variabel atau unsur
Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai perkembangan masyarakat dan Negara, baik dalam bidang kenegaraan maupun bidang dalam bidang sosial dan ekonomi. Pemungutan pajak merupakan suatu bentuk kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak serta peran aktif untuk membiayai berbagai keperluan Negara yaitu berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya
diatur
dalam
kesejahteraan bangsa dan Negara
undang-undang
dan
peraturan
untuk
tujuan
46
Dengan
mempertimbangkan
hal
di
atas,
maka penelitian
ini
menitikberatkan pada pengaruh system self assessment dan saksi pajak terhadap tingkat kepatuhan pelaporan pajak. Berdasarkan penjelasan diatas maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 2.1:
Sistem Self Assessment (X1)
Kepatuhan Pelaporan Pajak
Sanksi Pajak
(Y)
(X2)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber :
Data yang diolah
2.
Definisi variabel atau unsur
Definisi variabel atau unsur dalam penelitian ini sesuai dengan penjelasan diatas adalah: a. Variabel Independen 1) Sistem Self Assessment (X1)
47
Sistem self Assessment adalah Sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang 2) Sanksi Pajak (X2) Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan
(norma
perpajakan)
akan
dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan b. Variabel Dependent (Y) Variabel dependent dalam penelitian ini adalah Kepatuhan Pelaporan Pajak (Y), Kepatuhan perpajakan adalah sebagai keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.