15
BAB II LANDASAN TEORITIS POLA ASUH PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK TERHADAP PEMBINAAN DISIPLIN ANAK.
A. Tinjauan Umum tentang Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA). Data yang tercatat di Biro pusat statistik dan Departemen Sosial, diketahui bahwa pada tahun 1998 jumlah anak terlantar yang berusia 6-18 tahun mencapai 2.767.629 anak. Hampir 10 % dari jumlah anak yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan rincian mereka yang tinggal di Perkotaan mencapai 492.291 jiwa, dan Pedesaan mencapai 10.332.674 anak, dengan rincian yang tinggal di Kota mencapai 2.996.253 jiwa dan Pedesaan sebanyak 7.326.421 jiwa. Hal ini berarti, bahwa sebagian besar keterlantaran anak Indonesia berada di kawasan Pedesaan populasi ini diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan sosial yang terjadi secara terus menerus dewasa ini. Berbagai bentuk pelayanan selama beberapa dasawarsa telah diberikan dan jumlah anak yang telah mendapatkan pelayanan relatif besar, namun secara kuantitas jumlah anak terlantar masih relatif besar. Kondisi ini tercermin dari data SUSENAS tahun 2003, jumlah anak terlantar di Indonesia diperkirakan sebanyak 3,61 juta anak atau 5,42 % dari 57.520.300 anak. Jumlah tersebut bila dilihat dari golongan umur,anak yang berumur 5-6 tahun sebanyak 7,24 %. Sementara itu anak yang berada pada kondisi rawan terlantar diperkirakan mencapai 10,09 juta anak atau 17,5 % dari jumlah seluruh anak Indonesia ( 57.520.300 anak ). Usia
16
anak yang tergolong rawan terlantar berkisar antara 5-6 tahun 24,48 %, 7 - 12 tahun 23,98 %, 13-15 tahun 9,90 %, dan 16-18 tahun 7,76 %. Besarnya populasi anak terlantar di atas diduga ada kaitannya dengan perkembangan angka kemiskinan di era kritis. Kurun waktu dua dekade (19761996) telah menunjukkan hasil yang relatif baik, yakni terjadi penurunan persentasi kemiskinan ( 40,1 % menjadi 11,3 % ). Sementara itu pada tahun 2004 (PUSDATIN, Departemen Sosial, 2005) tercatat jumlah anak terlantar mencapai 4.446.568 orang, terdiri dari 1.138.126 orang balita terlantar dan 3.308.642 orang anak terlantar. Perbandingan jumlah anak terlantar antar pulau tahun 2004, pulau Jawa menunjukkan jumlah anak terlantar paling banyak yakni sebesar 1.137.616 anak, kemudian Sumatera 714.643 anak, Bali dan Nusa Tenggara 490.947 anak, Maluku dan Papua 383.493 anak, Sulawesi 357.492 anak dan Kalimantan 224.451 anak. Persebaran anak terlantar antar pulau dapat dipahami mengingat distribusi penduduk Indonesia secara umum berada di pulau Jawa ( 59 % ) disusul pulau Sumatera (21 %). Kondisi ini sejalan dengan data kepadatan penduduk yang menunjukkan bahwa pulau Jawa menunjukkan kepadatan tertinggi yaitu 17.383. Data ini dapat di interprestasikan bahwa permasalahan sosial anak terlantar merupakan salah satu akibat kondisi rendahnya ekonomi masyarakat. Jumlah anak terlantar yang besar ini perlu penanganan yang optimal, apabila tidak ditangani dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan yang besar.
17
Menghadapi situasi sosial semacam itu, sudah tentu lingkungan keluarga kurang bisa diandalkan untuk memecahkan masalah ketelantaran anak, sehingga diperlukan lembaga pengganti fungsi orang tua yang peran dan posisi sejenis. Itulah yang menyebabkan Panti Sosial Asuhan Anak ( PSAA ) menjadi pilihan untuk memberikan pelayanan kesejahteraan anak. Peran masyarakat dalam hal perlindungan anak, seperti dijelaskan dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 72, bahwa: 1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. 2) Peran masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan orang–perorangan, lembaga perlindungan anak, pembangunan sosial kemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa. Landasan hukum dalam pelayanan kesejahteraan sosial terhadap anak terlantar terdapat dalam Undang–undang 1945 pasal 34 ayat (1), (2), dan (3) yang menyatakan bahwa: 1. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. 2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. 3. Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesejahteraan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Selengkapnya penjabaran dari hal-hal diatas tentang pelayanan sosial anak terlantar dituangkan dalam peraturan perundang–undangan sebagai berikut : 1. Undang–undang RI No.6 Tahun 1974 ketentuan pokok kesejahteraan sosial. 2. Undang–undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. 3. Undang–undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. 4. Undang–undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
18
5. Undang–undang RI No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 6. Peraturan pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang usaha kesejahteraan bagi anak yang mempunyai masalah 7. Peraturan pemerintah RI No. 52 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan perbantuan. 8. Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention On The Rights Of The Child ( Konvensi tentang hak–hak anak ).
1. Pengertian Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Anak sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai insan yang belum dapat berdiri sendiri, perlu diadakan usaha kesejahteraan anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik rohani, jasmani maupun sosial. Usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak pertama-tama dan terutama menjadi tanggung jawab orang tua. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Undangundang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ( Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143 ), yang berbunyi : "Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial". Namun demikian, mengingat tingkat penghidupan bangsa Indonesia yang beraneka ragam tingkatnya, maka belum setiap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
19
Sadar akan keadaan tersebut dan sesuai dengan tanggung jawab Pemerintah dan/ atau masyarakat, perlu diadakan usaha-usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak, terutama ditujukan kepada anak yang mempunyai masalah antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan dan anak cacat. Pembatasan sasaran tersebut, tidak berarti bahwa anak yang tidak termasuk salah satu golongan di atas tidak berhak mendapatkan usaha kesejahteraan anak. Pengaturan usaha kesejahteraan anak adalah demikian pentingnya dan sudah waktunya untuk dilaksanakan, sesuai dengan ketentuan. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Usaha kesejahteraan anak dalam peraturan Pemerintah ini mengatur tentang usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi yang dilaksanakan dalam bentuk asuhan, bantuan dan pelayanan khusus. Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan yang merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut, Seperti misalnya jika si anak kehilangan salah satu atau kedua bagian dari orang tuanya, keluarga miskin, keluarga yang pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Anak jalanan, kebutuhan dan hak-hak
20
anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik dan tentu saja kondisi perkecualian ini akan sangat mempengaruhi jiwa si anak. Menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan perlindungannya agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal. Keberadaan panti asuhan sebagai lembaga sosial, menjadi salah satu jawaban terhadap masalah tersebut. Panti asuhan, merupakan tempat seorang anak bisa mendapatkan dunianya kembali melalui program-program yang diselenggarakan disana. Bahkan si anak bisa mengakses pendidikan, yang menjadi barang mahal bagi keluarga si anak sebelumnya. Ditambah kekuatan dogma agama dalam menyuruh umatnya untuk beramal, keberadaan panti asuhan yang senantiasa mendapatkan aliran dana dari masyarakat tentu saja akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup si anak tersebut. Sehubungan
dengan
hal
tersebut
di
atas,
maka
penulis
akan
mengemukakan panti asuhan itu sendiri. Berdasarkan Departemen Sosial Republik Indonesia (2005:6) bahwa: “Panti sosial asuhan anak adalah suatu lembaga pelayanan professional yang bertanggung
jawab memberikan
pengasuhan dan pelayanan pengganti fungsi orang tua kepada anak terlantar”. Assesment cepat pasca Tsunami di Aceh ( Departemen Sosial Republik Indoneesia, 2006:22 ) adalah sebagai berikut: “Panti sosial asuhan anak adalah secara harfiah merupakan lembaga sosial untuk pengasuhan anak yang kadang-kadang disebut ‘panti yatim piatu’, yang mengacu pada lembaga untuk yatim piatu terlantar”.
21
Sedangkan menurut Gaspor Nabor ( 1991: 23) dijelaskan bahwa: “Panti asuhan adalah suatu lembaga pelayanan sosial yang didirikan oleh Pemerintah maupun masyarakat, yang bertujuan untuk membantu atau memberikan bantuan terhadap individu, kelompok masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup dapat berfungsi sosial”. Beberapa pengertian panti sosial tersebut di atas terkandung unsur-unsur bahwa panti asuhan terorganisasi.
Panti
didirikan berdasarkan kesengajaan formil dan asuhan
tersebut
memiliki
tanggungjawab
dalam
memberikan pelayanan kepada anak-anak yatim/ piatu/ yatim piatu serta anakanak terlantar dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri yang dimilikinya sehingga diharapkan mampu berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Digantikannya fungsi keluarga oleh panti sosial asuhan anak, apabila memang sudah tidak punya orang tua lagi atau mempunyai orang tua atau keluarga tetapi tidak mampu berfungsi sebagai satuan keluarga asuhan yang wajar, yang karena disebabkan oleh beberapa faktor antara lain gangguan mental atau gangguan fungsi sosial. Mengacu pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa panti sosial asuhan anak merupakan sarana pengganti keluarga yang memberikan pelayanan sosial yang bersifat sementara yang memungkinkan adanya pemenuhan kebutuhan bagi anak. Berdasarkan pengertian tentang panti asuhan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa panti asuhan merupakan sebuah rumah yang berbentuk asrama. Didalamnya terdapat anak-anak yang sudah tidak mempunyai orang tua tetapi tidak mampu memberikan pelayanan secara wajar, atau biasa di sebut dengan anak terlantar. Anak asuh yang tinggal di dalam panti dapat
22
mengalami pertumbuhan fisik, memperoleh pengembangan fikiran sehingga dapat mencapai tingkat kedewasaan yang matang dalam melaksanakan peranan - peranan sosialnya sesuai tuntutan lingkungannya.
2. Tujuan Panti Sosial Asuhan Anak ( PSAA ). Setelah penulis jelaskan mengenai pengertian panti sosial asuhan anak (PSAA) di atas, selanjutnya penulis akan membahas mengenai tujuan panti sosial itu sendiri. Panti sosial asuhan anak ( PSAA ) adalah lembaga pelayanan profesional bagi anak terlantar yang diserahkan untuk memenuhi kebutuhan anak. Oleh sebab itu, tujuan panti sosial asuhan anak ( PSAA ) berdasarkan Departemen Sosial, 2004 : 6 adalah sebagai berikut: 1. Terwujudnya hak atau kebutuhan anak yaitu kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi. 2. Terwujudnya kualitas pelayanan atas dasar standar profesional. a. Dikelola oleh tenaga pelaksana yang memenuhi standar profesi. b. Terlaksananya manajemen kasus sebagai pendekatan pelayanan yang memungkinkan anak memperoleh pemenuhan kebutuhan yang berasal dari keanekaragaman sumber. c. Meningkatnya kualitas kehidupan sehari-hari di lingkungan panti yang memungkinkan anak berinteraksi dengan masyarakat secara serasi dan harmonis. d. Meningkatkan kepedulian masyarakat sebagai relawan sosial. 3. Terwujudnya jaringan kerja dan sistem informasi pelayanan kesejahteraan anak secara berkelanjutan baik horizontal maupun vertikal. Sedangkan menurut A.J. Khan yang dikutif oleh Soetarso ( 1982 : 43 ), bahwa: “Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangannya diadakan untuk melindungi, mengadakan pembinaan, perubahan atau menyempurnakan kegiatan-kegiatan asuhan anak”.
23
Atas dasar tujuan panti asuhan, dapat disimpulkan bahwa panti sosial merupakan lembaga pelayanan sosial yang mempunyai tujuan yang luas akan tujuan sosialisasi. Latar belakang anak asuh yang berbeda-beda, maka setelah mereka berada dalam lingkungan panti, komunikasi serta interaksi di bina agar dapat berjalan dengan baik. Pengembangan bakat atau kemampuan yang dimiliki anak asuh dilakukan melalui pendidikan, dan pelatihan keterampilan.
3. Sifat Pelayanan Panti Sosial Asuhan Anak ( PSAA ). Setiap jenis pelayanan kepada anak melalui panti sosial asuhan anak (PSAA), mengandung sifat preventif, pengembangan, kuratif, dan rehabilitatif yang pelaksanaannya saling melengkapi dan saling menunjang. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai sifat-sifat pelayanan panti sosial berdasarkan Departemen sosial ( 2004 : 13 ), yaitu sebagai berikut: a. Preventif. Pelayanan ini ditekankan untuk mencegah dan mengurangi masalah anak melalui berbagai upaya-upaya pencegahan baik primer, sekunder, maupun tertier. Pencegahan primer dimaksudkan sebagai upaya agar masalah tidak terjadi pada diri anak. Sekunder menekankan pada sifat mencegah agar masalah yang dihadapi anak tidak meluas. Sedangkan tertier menekankan agar masalah yang pernah muncul, tidak tumbuh atau kembali terulang. b. Perlindungan. Pelayanan ini memandang bahwa setiap anak memiliki potensi, kemampuan dan kekuatan yang perlu dilindungi dan dikembangkan. Oleh sebab itu keanekaragaman pelayanan hendaklah disediakan oleh panti sosial asuhan anak yang memungkinkan diberikannya perlindungan yang memadai bagi setiap anak. c. Kuratif. Merupakan pelayanan yang memandang bahwa setiap anak memiliki masalah yang harus dipecahkan oleh panti sosial asuhan anak (PSAA), melalui pelayanan prima. Ketuntasan pemecahan masalah merupakan ciri dari kadar pelayanan yang bersifat kuratif.
24
d. Rehabilitatif. Rehabilitasi memandang bahwa mengembalikan peranan anak pada situasi yang sehat adalah mutlak diperlukan dalam setiap pelayanan. Pelayanan rehabilitatif mengupayakan terpulihnya anak memperoleh hak, sehingga yang bersangkutan mampu menampilkan kedudukan dan perananya dalam lingkungan sosial secara wajar. Berdasarkan sifat pelayanan panti sosial asuhan anak yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat pelayanan yang dilakukan atau diterapkan di dalam pengasuhan diantaranya harus bersifat preventif, yakni mencegah pelanggaran-pelanggaran yang akan atau bahkan sudah terjadi agar tidak kembali terulang, memberi perlindungan bagi potensi anak, memperbaiki setiap kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan anak atau dengan kata lain membantu anak dalam memecahkan masalahnya ( kuratif ), serta harus dapat mencakup rehabilitatif, yakni membantu anak kembali dalam lingkungannya serta peranannya secara wajar.
4. Bentuk Pelayanan. Pelayanan yang ada di dalam panti, diantaranya harus mencakup: a. Jenis Pelayanan Pelayanan yang diberikan oleh panti sosial asuhan anak ( PSAA ) kepada anak antara lain pelayanan sosial, pelayanan fisik, pelayanan mental dan spiritual serta pelayanan penunjang lainnya seperti pelatihan, keterampilan, dan lain-lain. Pelayanan sosial antara lain berupa penyediaan sarana rekreasi, bimbingan kelompok, bimbingan perseorangan, konsultasi, resosialisasi, latihan keterampilan sosial (kepemimpinan, berorganisasi, dan lain-lain). Pelayanan fisik berupa sarana olah raga, kesehatan, pemberian makanan
25
sesuai dengan standar gizi dan makanan tambahan, sarana dan pra sarana belajar, kunjungan keluarga dan lain-lain. Pelayanan mental dan spiritual antara lain sarana ibadah, shalat berjamaah (formal atau non formal), pelatihan keterampilan dan pelatihan lain yang semuanya menjadi modal di kemudian hari. b. Bentuk Asuhan. Berdasarkan apa yang telah penulis kemukakan di atas, bahwa jenis pelayanan yang diberikan oleh panti sosial asuhan anak ( PSAA ), kepada anak asuh diantaranya adalah pelayanan sosial. Mencakup bimbingan dan keterampilan sosial, kemudian pelayanan fisik seperti penyediaan sarana atau fasilitas untuk setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak asuh. Jenis pelayanan mental spiritual, seperti pembiasaan dalam melaksanakan shalat berjamaah atau pengajian. Di samping itu semua, terdapat bentuk asuhan yang dapat dilakukan oleh masing-masing panti sosial asuhan anak ( PSAA ), antara lain berupa keluarga asuh dan asrama atau dengan mengintegrasikan antara keduanya. Keluarga asuh merupakan bentuk asuhan yang bercirikan: 1. Anak ditempatkan dalam suatu lingkungan keluarga di lingkungan panti sosial asuhan anak ( PSAA ). Keluarga tersebut bisa pengasuh, pengurus, pekerja sosial atau keluarga lain yang dianggap representatif. 2. Terdiri dari maksimal lima anak asuh untuk masing - masing keluarga. 3. Melalui keluarga tersebut, anak diasuh, dididik dan dilayani sebagaimana layaknya anak kandung. Keluarga asuh menggantikan fungsi orang tua.
26
4. Anak yang di asuh adalah mereka yang membutuhkan perhatian orang tua yang demikian besar ( anak balita sampai pada usia sekolah dasar ). Berdasarkan uraian mengenai bentuk asuhan yang dilakukan oleh panti sosial asuhan anak ( PSAA ), di atas dapat penulis simpulkan bahwa bentuk asuhan tersebut dapat berupa keluarga asuh, bentuk asrama, dan perpaduan antara keluarga asuh dan asrama. Ketiga bentuk asuhan ini didasarkan atas kondisi atau kepentingan bagi anak asuh itu sendiri. Bagi penulis sendiri, panti asuhan merupakan lembaga pendidikan luar sekolah dan di luar keluarga yang berusaha untuk melengkapi pendidikan sekolah, atau lebih mudah dipahami dengan istilah pendidikan non formal, karena menurut penulis panti sosial merupakan salah satu contoh lembaga yang memberikan peranan pendidikan non formal. Lebih jelasnya penulis mencoba membahas panti asuhan dari segi non formal kaitannya dengan lembaga pendidikan. Dengan pernyataan di atas Sanafiah Faisal ( 1981 : 37 ) mengemukakan bahwa: “Pendidikan non formal biasa diartikan sebagai penyelenggaraan pendidikan yang terorganisir diluar sistem persekolahan, isi pendidikannya terprogram, dan adanya materi yang disajikan”. Sementara soelaiman joesoef dan Slamet Santoso ( 1981 : 52 ), mengemukakan bahwa: “Pendidikan non formal adalah pendidikan yang teratur dengan sadar dilakukan, tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan-peraturan yang tepat dan ketat”.
27
Sedangkan H.D. Sudjana ( 2000 : 22-23 ), mengemukakan bahwa: “Pendidikan non formal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya”. Beberapa pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan non formal meliputi setiap kegiatan pendidikan yang disengaja, terorganisir, dan di selenggarakan di luar sistem persekolahan, baik dilaksanakan tersendiri, yang tidak turut, atas oleh waktu dan tempat. Gerak pendidikan non formal merupakan suatu usaha peningkatan partisipasi masyarakat untuk mensukseskan pembangunan. Pengertian pendidikan non formal di atas telah memberi gambaran yang jelas tentang gambaran pendidikan non formal. Panti sosial asuhan anak (PSAA), sebagai suatu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan jalur pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal, karena di panti sosial asuhan anak ( PSAA ) pendidikan diselenggarakan secara sengaja, terarah, terorganisir, dan terprogram. Pembinaan yang berlangsung di panti sosial asuhan anak ( PSAA ), atau pondok anak yatim Yayasan Bhakti Pertiwi, adalah suatu kegiatan untuk mengasuh anak. Pada hakekatnya bertujuan menegakkan dan mengembangkan disiplin yang efektif. Disiplin yang diterapkan di dalam panti pada dasarnya adalah untuk membentuk anak dapat belajar mandiri, mampu mengatur waktunya agar lebih bermanfaat serta membentuk moral anak menjadi lebih baik.
28
B. Tinjauan Umum Tentang Kedisiplinan Anak Asuh. 1. Konsep Pembinaan Kedisiplinan. a. Pengertian Disiplin Membahas pengertian disiplin ini, perlu adanya papan pijakan bersama sebagai titik tolak penelaahan. Secara etimologis, istilah disiplin berasal dari kata discipline yang artinya pengikut atau penganut, yakni seseorang yang belajar dari atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Pembicaraan sehari-hari istilah disiplin biasanya dikaitkan dengan keadaan yang tertib, maksudnya suatu keadaan dimana perilaku seseorang mengikuti pola-pola tertentu yang ditetapkan terlebih dahulu. Lebih jelasnya lagi disiplin adalah suatu keadaan dimana para penganut atau pengikut tunduk terhadap ajaran pemimpinnya. Dalam bahasa Indonesia istilah disiplin kerapkali terkait dan meyatu dengan istilah tata tertib dan ketertiban. Istilah ketertiban mempunyai arti kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong atau disebabkan oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya. Sebaliknya, istilah disiplin sebagai kepatuhan dan ketaatan yang muncul karena adanya kesadaran dan dorongan dari dalam diri orang itu. Istilah tata tertib berarti perangkat peraturan yang berlaku untuk menciptakan kondisi yang tertib dan teratur. Amir Da’ien Indrakusuma ( 1973 : 142 ) mengemukakan bahwa: “Disiplin adalah kesediaan untuk mematuhi peraturan-peraturan dan larangan-larangan. Kepatuhan disini bukan hanya patuh karena adanya tekana-tekanan dari luar, melainkan kepatuhan yang didasari oleh adanya kesadaran tentang nilai dan pentingnya peraturan-peraturan dan larangan tersebut”.
29
Sejalan dengan itu ungkapan tersebut, Darmodihardjo dalam Usman Radiana (1999 : 23) mengemukakan bahwa “ Disiplin adalah sikap mental yang mengandung kerelaan untuk memenuhi semua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggungjawab”. Kamus Webster dalam Dasim Budimansyah ( 2000 : 48 ) menyebutkan bahwa arti dari disiplin adalah sebagai berikut: 1. Kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan atau pengendalian. 2. Latihan yang bertujuan mengembangkan watak agar dapat mengendalikan diri, agar berperilaku tertib dan efisien. 3. Suatu sistem peraturan atau metode yaitu cara berperilaku. 4. Hukuman atau koreksi terhadap seseorang yang melanggar ketentuan peraturan yang dilakukan melalui latihan atau dengan jalan mendera. 5. Hasil latihan ( pengendalian diri ) perilaku yang tertib.
Beberapa pengertian disiplin yang dikemukakan di atas, pada dasarnya sama yaitu menyatakan sikap tunduk dan patuh terhadap peraturan yang berlaku di masyarakat. Kepatuhan terhadap peraturan itu ada yang timbul atas dasar tanggung jawab dan kesadaran diri serta ada yang timbul atas dasar paksaan dan tekanan dari luar. Penulis memandang bahwa disiplin yang timbul atas kesadaran diri merupakan disiplin yang paling baik, pada tingkatan ini kesadaran untuk mentaati tata tertib, norma dan peraturan yang berlaku bukan lagi karena takut hukuman, melainkan karena adanya rasa tanggungjawab sebagai anggota masyarakat untuk turut menciptakan lingkungan yang tertib dan teratur. Tumbuhnya disiplin diri bukanlah suatu hal yang terjadi begitu saja melainkan hasil belajar atau hasil proses interaksi dengan lingkungannya.
30
Menurut Soegeng prijodarminto, dalam tulus Tu’u ( 2004 : 31 ), mengemukakan bahwa: “Disiplin sebagai kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban. Nilai-nilai tersebut telah menjadi bagian perilaku dalam kehidupannya. Perilaku itu tercipta melalui proses binaan melalui keluarga, pendidikan dan pengalaman”. Pengertian-pengertian disiplin di atas, dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah kesadaran yang dimilikinya oleh seseorang untuk mematuhi atau mentaati peraturan-peraturan dan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perasaan ikhlas lahir dan bathin sehingga akan berperilaku sesuai dengan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku, akan timbul rasa malu terkena sanksi dan rasa takut terhadap Tuhan yang Maha Esa apabila melanggarnya. Kepatuhan dan ketaatan pada suatu ketentuan yang telah ada ditetapkan atau kelaziman-kelaziman yang berlaku ini mempunyai fungsi untuk keselamatan manusia itu sendiri. Menurut Kamus besar bahasa Indonesia W. J. S. Purwadarminta (1984:11) ada dua pengertian kedisiplinan yaitu: 1. Latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu taat pada tata tertib. 2. Ketaatan pada aturan tata tertib. Menurut Anwar Yasin (1989:30) kedisiplinan digunakan dalam beberapa pengertian diantaranya:
31
a. Disiplin diartikan sebagai kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan pengendalian. b. Sebagai latihan yang bertujuan mengembangkan watak agar berperilaku tertib dan efisien. c. Sebagai hasil latihan ( pengendalian diri ) perilaku tertib. Bertitik tolak dari pengertian di atas dan sesuai dengan konteks tulisan ini, maka pengertian kedisiplinan perlu di perluas menjadi kepatuhan atau ketaatan kepada hukum dan segala aturan menurut peraturan perundang-undangan, termasuk juga kepatuhan terhadap norma-norma yang ada dalam masyarakat serta kaidah-kaidah moral yang berlaku. Lindgren ( Syamsu Yusuf L. N. 1989:21) mengemukakan bahwa ada tiga pengertian mengenai disiplin, yaitu: 1. Punishment ( hukuman ) . Hal ini berarti bahwa anak perlu dihukum ( bila salah ). 2. Control by enforcing obedience or orderly conduct. Hal ini berarti seseorang itu memerlukan orang lain yang mengontrol, mengarahkan dan membatasi tingkah laku. Dalam hal ini individu dipandang tidak mampu mengarahkan, mengontrol, dan membatasi tingkah lakunya sendiri. 3. Training that correct angstreng theng. Implikasi dari pengertian ini adalah bahwa tujuan disiplin itu ‘ self discipline’ ( disiplin diri ) dalam arti bahwa tujuan latihan adalah memberikan kesempatan kepada individu untuk melakukan sesuatu berdasarkan pengarahan dan control dirinya. Selanjutnya, Elizabeth Hurlock ( 1972 ) dalam Dardji Darmodihardjo (1991: 16-20) menjelaskan bahwa esensi dari disiplin adalah sebagai berikut : 1) Aturan atau norma fungsinya untuk mengarahkan seseorang kepada keteraturan hidup yang dapat diterima oleh kelompok. Apabila seseorang tidak mengikuti aturan atau norma yang telah ditentukan, dengan kata lain lepas dari aturan dan norma maka ia akan bertindak sesuka hatinya, dan akan menemukan bahwa kelompok social tidak akan mentolelir dirinya. 2) Konsistensi atau konsekuen. Konsistensi berfungsi untuk menanamkan keteguhan dalam memegang prinsip kepada seseorang. Jika disiplin tidak konsisten maka seseorang akan kehilangan kendali tentang apa yang dapat ia lakukan dan kepada siapa ia harus patuh.
32
3) Hukuman dan hadiah. Hukuman bertindak untuk menghalangi perbuatan– perbuatan yang tidak diinginkan, sementara hadiah bertindak untuk mendorong atau merangsang perbuatan-perbuatan yang diinginkan. Oleh karena itu, jika hukuman dan hadiah turut menyumbang terhadap kesehatan pertumbuhan mental dan emosional seseorang, maka hukuman dan hadiah sebaiknya digunakan secara tepat. Disiplin itu tidak terbentuk secara seketika, melainkan diperlukan suatu proses yang cukup lama. Menumbuhkan disiplin pada anak perlu dibina dan dipupuk terus menerus sehingga pada akhirnya mereka mampu membentuk disiplin dirinya. Disiplin diri ( self discipline ) adalah merupakan disiplin yang tertanam dalam diri individu tanpa ada paksaan dari luar, karena individu yang memiliki disiplin diri tidaklah hanya mampu mentaati peraturan dari luar, akan tetapi mampu juga mengatur dirinya, atau mengarahkan diri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Chaplin ( Syamsu Yusuf L. N. 1989:27 ) mengemukakan bahwa: “Yang berdisiplin itu mampu mengatur tingkah lakunya sendiri. Disamping itu juga mempunyai tanggung jawab untuk merencanakan kegiatannya sendiri.” Kemampuan untuk mengatur diri ini mengandung arti, bahwa individu mampu memilah-milah perilakunya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Kemampuan untuk merencanakan kegiatannya sendiri berarti individu tersebut mampu mengarahkan perilaku atau aktivitasnya dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, sehingga individu mampu mengevaluasi dan mengkritisi perilaku disiplin dalam dirinya sendiri tanpa ada paksaan dari luar (Critical self discipline). Disiplin adalah suatu kepatuhan yang harus ditetapkan oleh lingkungan dimana individu berada, dan individu melakukannya tidak secara
33
terpaksa melainkan datang dari dalam dirinya sendiri dan punya rasa tanggung jawab yang tinggi. Orang yang memiliki perilaku disiplin akan menunjukkan perilaku tidak membuat kekacauan, dapat memusatkan perhatian, dapat menggunakan waktu secara efisien, mudah bekerjasama dengan orang lain. Dapat pula disimpulkan bahwa disiplin adalah kesadaran yang dimiliki oleh seseorang untuk mematuhi atau mentaati peraturan-peraturan dan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, secara ikhlas lahir batin sehingga akan berperilaku sesuai aturan dan norma yang berlaku, serta akan menimbulkan rasa takut terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa disiplin sangat diperlukan dalam membentuk kepribadian anak. Melalui disiplin anak diperkenalkan terhadap sesuatu yang layak dan tidak layak dalam berperilaku, anak diperkenalkan kepada hak dan kewajibannya, anak belajar untuk mengendalikan diri agar tidak berbuat sesuai dengan keinginannya. Anak harus mengetahui dan menyadari bahwa dalam hidup bersosialisasi ada sejumlah peraturan yang harus dipatuhinya sehingga akan tercipta suatu lingkungan yang kondusif bagi terbentuknya kepribadian yang mantap. Mengacu pada pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan disiplin, seseorang harus senantiasa merujuk kepada peraturan atau norma yang menjadi unsur penentu tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat. Disamping itu, harus disertai pula oleh pengontrolan, pengawasan dan sanksi terhadap tingkah laku yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku tersebut. Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam pelaksanaan disiplin biasanya disertai
34
dengan hukuman, tetapi haruslah disadari dan diingat bahwa disamping adanya hukuman terhadap suatu pelanggaran ada juga hadiah terhadap perbuatan yang memang dikehendaki. Berilah penghargaan atau hadiah terhadap perbuatan yang memang dianjurkan, jangan sampai anak berbuat sesuatu yang baik orang tua atau pengurus tidak menghiraukannya, tetapi ketika anak berbuat salah orang tua atau pengurus akan segera menghukumnya. Hal ini secara psikologis akan berdampak buruk terhadap kesehatan jiwa anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan menjatuhkan hukuman terhadap anak, sehingga hukuman tersebut tidak mengganggu perkembangan anak dan tetap memperhatikan aspek–aspek pendidikan. Adapun syarat–syarat hukuman yang sifatnya pedagogis itu Ngalim Purwanto seperti dikutip Usman Radiana (1999 : 22) yaitu sebagai berikut: 1) Tiap–tiap hukuman hendaklah dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berarti bahwa hukuman itu tidak boleh dilakukan dengan sewenang– wenang. Walaupun dalam hal ini orang tua dan pengurus agak bebas menetapkan hukuman mana yang akan diberikan kepada anak didiknya, tetapi tetap terikat oleh rasa kasih sayang terhadap anak– anak. 2) Hukuman itu haruslah bersifat memperbaiki. Artinya bahwa ia harus tetap mempunyai nilai mendidik bagi si terhukum. 3) Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam yang bersifat perseorangan. Hukuman yang demikian tidak memungkinkan adanya hubungan baik antara pendidik dengan yang dididik. 4) Jangan menghukum pada waktu kita sedang marah. Sebab jika demikian, kemungkinan besar hukuman itu tidak adil atau terlalu berat. 5) Setiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan setelah dipertimbangkan terlebih dahulu. 6) Bagi si terhukum ( anak ), hukuman itu hendaknya dapat dirasakannya sendiri sebagai kedukaan atau penderitaan yang sebenarnya. Karena hukuman itu maka anak merasa menyesal dan merasa bahwa untuk sementara waktu ia kehilangan kasih sayang pendidiknya. 7) Jangan melakukan hukuman badan, sebab pada hakekatnya hukuman badan itu dilarang oleh Negara dan tidak sesuai dengan perikemanusiaan, dan merupakan penganiyayaan terhadap sesama
35
mahluk. Disamping itu, hukuman badan tidak meyakinkan kita adanya perbaikan pada si terhukum, melainkan sebaliknya hanya menimbulkan dendam atau sikap suka melawan. 8) Hukuman tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidik dengan anak didiknya. Untuk itu hukuman yang diberikan harus dapat dipahami dan dimengerti oleh anak. Anak dalam hatinya menerima hukuman itu dan merasakan keadilan hukuman itu. 9) Adanya kesanggupan meminta maaf dari si pendidik, sesudah menjatuhkan hukuman dan setelah anak itu menginsyafi kesalahannya. Dengan kata lain, pendidik hendaknya dapat mengusahakan pulihnya kembali hubungan baik dengan anak didiknya. Dengan demikian dapat terhindar perasaan dan atau sakit hati yang mungkin timbul pada anak.
b. Jenis - jenis Disiplin. Disiplin secara umum banyak dikaitkan dengan peraturan–peraturan yang harus ditaati, disiplin seperti itu sifatnya eksternal karena adanya tekanan dari luar. Disiplin yang baik adalah yang sifatnya internal yaitu disiplin yang disertai dengan rasa tanggungjawab dan kesadaran diri. Disiplin diri pada anak sudah mulai terbentuk, apabila anak sudah dapat bertingkah laku sesuai dengan pola tingkah laku yang baik. Anak sudah mengenal disiplin apabila tanpa hukuman ia sudah dapat bertingkah laku dan memilih perbuatan– perbuatan yang diharapkan darinya. Pembentukan disiplin diri erat hubungannya dengan penerimaan terhadap otoritas. Anak yang menerima otoritas orang tua, akan melakukan tugas–tugas yang diinginkan darinya. Apabila ia sudah terbiasa dengan kekuasaan orang tua, maka pada umumnya otoritas guru juga dapat diterimanya. Sikap konsisten dari orang tua yang tidak tegas, baik dalam sikap, perbuatan maupun ucapannya, akan menimbulkan kesan ketidakpastian pada anak dan penilaian kurang wibawanya orang tua.
36
Menurut Hadisubrata dalam Tulus Tu’u ( 2004:44 ): teknik disiplin dapat dibagi menjadi tiga macam, yang akan diuraikan sebagai berikut: 1. Disiplin Otoritarian Dalam disiplin otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungan disiplin ini diminta mematuhi dan menaati peraturan yang telah disusun dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati dan mematuhi peraturan yang berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat. Sebaliknya, bila berhasil memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau hal itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Jadi tidak perlu mendapat penghargaan lagi. Disiplin otoritarian selalu berarti pengendalian tingkah laku berdasarkan tekanan, dorongan, pemaksaan dari luar diri seseorang. Hukuman dan ancaman kerapkali dipakai untuk memaksa, menekan mendorong seseorang mematuhi dan menaati peraturan. Disini, tidak diberi kesempatan bertanya mengapa disiplin itu harus dilakukan dan apa tujuan disiplin itu. Orang hanya berpikir kalau harus dan wajib mematuhi peraturan yang berlaku. Kepatuhan dan ketaatan dianggap baik dan perlu bagi diri, institusi atau keluarga menjadi terganggu. Karena itu, setiap pelanggaran perlu diberi sanksi, ada sesuatu yang harus ditanggung sebagai akibat pelanggarannya. Disini, dapat terjadi orang patuh dan taat pada aturan yang berlaku, tetapi merasa tidak bahagia, tertekan dan tidak aman. Anak kelihatan baik, tetapi dibaliknya ada ketidakpuasan, pemberontakan dan kegelisahan. Disini mereka perlu dibantu untuk memahami arti dan manfaat disiplin itu bagi dirinya, agar ada kesadaran yang baik tentang disiplin. 2. Disiplin Permisif Dalam disiplin ini seseorang dibiarkan bertindak menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu. Seseorang yang berbuat sesuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak teknik permisif ini berupa kebingungan dan kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu mana yang tidak dilarang dan mana yang dilarang, atau bahkan menjadi takut, cemas, dan dapat juga menjadi agresif serta liar tanpa kendali. 3. Disiplin Demokratis Pendekatan disiplin demokratis dilakukan dengan memberikan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak memahami mengapa diharapkan mematuhi dan menaati peraturan yang ada. Teknik ini menekankan aspek edukatif bukan aspek hukuman. Saksi atau hukuman dapat diberikan kepada yang menolak atau melanggar
37
tata tertib. Akan tetapi, hukuman dimksud sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan mendidik. Teknik disiplin demokratis berusaha mengembangkan disiplin yang muncul atas kesadaran diri sehingga siswa memiliki disiplin diri yang kuat dan mantap. Oleh karena itu, bagi yang berhasil mematuhi dan menaati disiplin, kepadanya diberikan pujian dan penghargaan. Dalam disiplin demokratis, kemandirian dan tanggung jawab dapat berkembang. Siswa patuh dan taat karena didasari kesadaran dirinya. Mengikuti peraturan-peraturan yang ada bukan karena terpaksa, melainkan atas kesadaran bahwa hal itu baik dan ada manfaat.
c. Pembinaan Disiplin. Pembinaan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang dengan tindakan bimbingan, pengarahan dan pengawasan untuk mencapai tujuan belajar yang diharapkan sehingga tepat sekali apabila pembinaan ini diberikan kepada anak usia remaja untuk meningkatkan potensi diri yang dimilikinya. Pembinaan berasal dari kata “bina” yang dalam kamus besar bahasa Indonesia ( 1955 : 134 ) diartikan dengan : (1) Membangun, mendirikan (Negara, bangsa dan sebagainya) dan (2) Mengusahakan supaya lebih baik (maju, sempurna dan sebagainya). Pembinaan sendiri diartikan dengan: (1) Proses perbuatan, cara membina (2) pembaharuan, penyempurnaan dan (3) Usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pembinaan merupakan suatu proses kegiatan untuk mencapai hasil yang diharapkan atau suatu usaha dalam rangka mencapai suatu perubahan kearah yang lebih baik.
38
Menurut B. Simanjuntak ( 1990 : 84 ) yaitu : “Pembinaan pada dasarnya adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing dan mengembangkan suatu dasar-dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bakat, kecenderungan dan keinginan serta kemampuan-kemampuannya sebagai bekal untuk selanjutnya atas prakarsa sendiri, menambah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya, sesamanya maupun lingkungannya kearah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal dan pribadi yang mandiri”. Salah satu bentuk pendidikan adalah pembinaan, dimana dengan pembinaan dimaksudkan untuk membantu individu yang mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan hidupnya. Oleh karena itu, usaha pembinaan ini harus dilakukan secara sadar, berencana dan teratur agar dapat memberikan hasil yang sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan oleh individu dalam hidup dan penghidupannya. Adapun menurut A. Mangunhardjana ( 1991 : 12 ) pembinaan adalah: “Suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang baru yang belum dimiliki dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara efektif”. Pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembinaan adalah suatu rangkaian upaya pengendalian profesional melalui kegiatan penyampaian pengetahuan, perubahan dan pengembangan sikap, latihan kecakapan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan yang dibinanya. Didalam pembinaan, orang tidak sekedar dibantu untuk mempelajari ilmu murni saja, tetapi ilmu yang dapat di praktekkan. Pembinaan orang terutama dilatih untuk mengenal kemampuan mengembangkan potensi
39
yang dimiliki, agar dapat dimanfaatkan secara penuh dalam bidang kehidupan dan kerjanya. Jadi pembinaan merupakan usaha merubah suatu keadaan tertentu kepada keadaan yang lain. Pembinaan itu di dalamnya terdapat suatu bimbingan dan pengarahan agar orang yang dibina dapat berubah dan belajar dan akhirnya dapat memanfaatkan hasil belajarnya itu untuk bekal hidupnya.
d. Ruang Lingkup Pembinaan. Suatu kegiatan pembinaan dalam pelaksanaannya mempunyai unsur-unsur yang harus ada dan terealisasi. Unsur-unsur tersebut secara umum harus ada dalam setiap kegiatan pembinaan yang meliputi: •
Pembinaan mempunyai tujuan untuk meningkatkan pengetahuan sikap dan keterampilan.
•
Dalam pembinaan ada suatu proses memberikan bimbingan, pengarahan dan tindakan kepada yang dibinanya.
•
Pembinaan mengandung tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian pembinaan merupakan suatu kegiatan yang mempunyai
tujuan, proses, dan hasil yang ingin dicapai baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap orang yang dibinanya.
e. Model-Model Pembinaan. Kegiatan pembinaan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan langsung ( direct Contact ) dan pendekatan tidak langsung ( Inderect Contact ). Pendekatan secara langsung terjadi apabila pihak Pembina melakukan pembinaan
40
melalui tatap muka dengan pihak yang dibina. Pendekatan langsung ini dapat dilakukan melalui kegiatan diskusi, tanya jawab, kunjungan lapangan, dan sebagainya. Cara-cara pembinaan secara langsung ini dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : pertama, pembinaan individual ( perorangan ). Yaitu pembinaan yang dilakukan terhadap seseorang warga belajar. Teknik yang dapat digunakan antara lain dialog, diskusi dan peragaan. Kedua, pembinaan kelompok, yaitu pembinaan yang dilakukan secara berkelompok. Pembinaan berkelompok ini dapat menghemat waktu dan tenaga. Adapun teknik-teknik yang dapat digunakan dalam pembinaan kelompok ini adalah diskusi, demonstrasi, pameran, dan karya wisata.
f. Proses Penanaman Kedisiplinan. Kedisiplinan itu merupakan isi dan tujuan proses sosialisasi sebagai salah satu dari empat perlengkapan kehidupan sosial manusia, yaitu: disiplin, peranan, aspirasi, dan identitas. Pembentukan dan proses disiplin sebagai bagian dari proses sosialisasi yang merentang dari pembentukan kebiasaan sederhana pada masa kanak-kanak. Perilaku yang tidak disiplin adalah perilaku yang hanya dirangsang oleh pemuasaan kebutuhan sementara atau seketika seraya mengabaikan akibat-akibat lebih jauh dari perilaku tersebut. Disatu pihak perilaku disiplin itu menunda kepuasan-kepuasaan seketika untuk tujuan lebih jauh yang mendapatkan penerimaan dan penanaman sikap. Perilaku disiplin memerlukan waktu merentang dari awal kehidupan seseorang, keajegan antar waktu dan antar ruang serta memerlukan agen yang banyak yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
41
Proses disiplin itu melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Disiplin amat tergantung kepada kehadiran pengawas, jika pengawas tidak ada maka merasa bebas. 2. Disiplin dilaksanakan untuk mendapatkan imbalan hadiah psikologi atau material yaitu pujian, gengsi, asal bapak senang. 3. Disiplin untuk aturan itu sendiri. 4. Disiplin atas dasar kesadaran akan aturan hidup bermasyarakat. 5. Disiplin atas dasar kebutuhan internal sebagai perwujudan kesadaran dan tanggung jawab berdasarkan nilai, norma, dan aturan yang sudah ditanamkan secara mendalam. Untuk tahapan-tahapan disiplin yang lain dikemukakan oleh Henry M Ardy (Garda Wibawa Sakti, Edisi Oktober 1991) sebagai berikut: 1. Tahap Pertama Disiplin dimiliki seseorang yang hanya sekedar untuk menghindari hukuman saja. Aturan masih sering dilanggar kalau pengawas kebetulan tidak ada. 2. Tahap Kedua Disiplin diwujudkan hanya untuk mendapatkan imbalan pada anak kecil agar ia mendapatkan pujian, pada pegawai kantor supaya naik pangkat. 3. Tahap Ketiga Disiplin dijalankan demi aturan itu sendiri, aturan yang itu sendiri, tidak ada syarat dan tujuan lain dari pemilikan disiplin itu kecuali untuk menjadikan insan yang tahu aturan. 4. Tahap Keempat Disiplin diterapkan berdasarkan kesadaran bahwa untuk hidup bermasyarakat setiap warga Negara perlu mengikuti peraturan tertentu. Kesadaran ini dilandasi keinsyafan bahwa kepentingan perorangan tidak sepenuhnya dapat diutamakan orientasi disiplin pada tahap ini adalah orientasi sosial antar manusia. 5. Tahap Kelima Tahap yang paling tinggi, disiplin diwujudkan oleh dorongan kebutuhan dari dalam diri sendiri. Disiplin itu sudah mengalami proses internalisasi yang sempurna. Kenangan dan pembatasan yang tadinya
42
dipaksakan dari luar sudah berubah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pribadi seseorang melaui proses pembiasaan dan panutan, contohnya teladan dari orang tua, guru dan pemimpin masyarakat ( POLRI ). Berdasarkan
uraian
di
atas,
perkembangan
disiplin
yang
sehat
sebagaimana diharapkan pada seseorang tidak mungkin terwujud dengan cepat, malainkan perlu waktu dan usaha yang sungguh-sungguh. Tiap tahap yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan usia kematangan mental individu yang bersangkutan. Amir Daien Indrakusuma ( 1973 : 55 ) berpendapat bahwa : “ Alat pendidikan disiplin disebut juga alat pendidikan refrensif, yakni alat pendidikan yang bertujuan menyadarkan kembali pada ha-hal yang benar, baik, dan tertib. Alat pendidikan refrensif diterapkan bila terjadi suatu perbuatan yang bertentangan atau melanggar peraturan yang ada”. Alat-alat pendidikan disiplin menurut Amir Daien Indrakusuma ( 1973 : 56-61 ) adalah melalui pemberitahuan, teguran, peringatan, dan pemberian ganjaran. 1. Pemberitahuan yaitu pemberitahuan kepada anak yang telah melakukan sesuatu yang dapat mengganggu atau menghambat jalannya proses pendidikan. Misalnya anak berbicara dengan orang tua menggunakan bahasa yang tidak pantas atau bernada agak tinggi. Menghadapi anak seperti ini, orang tua tidak boleh langsung memarahinya. Sebaiknya orang tua memberitahukan dahulu bahwa hal itu tidak baik dilakukan, demikian pula untuk hal-hal lainnya orang tua harus senantiasa memberikan pemahaman dan pengarahan atas tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. 2. Teguran yaitu jika pemberitahuan sudah diberikan tetapi anak tetap masih melakukan pelanggaran maka teguran baru diberikan bagi anak yang telah mengetahui sesuatu hal. Teguran diberikan pada anak yang baru satu atau dua kali melakukan pelanggaran, sehingga belum harus diberikan hukuman. 3. Peringatan, ini diberikan kepada anak yang telah beberapa kali melakukan pelanggaran dan telah diberikan teguran pula atas pelanggarannya. Pemberian peringatan ini biasanya disertai dengan ancaman akan sanksinya, bilaman terjadi pelanggaran lagi.
43
4. Hukuman adalah tindakan yang paling akhir diambil apabila teguran dan peringatan belum mampu mencegah anak melakukan pelangaranpelanggaran. Terdapat dua prinsip yang menjadi hakekat hukuman yaitu : a. Hukuman diadakan oleh karena ada pelanggaran, ada kesalahan yang di perbuat. b. Hukuman diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran yang berulang-ulang. Menurut Ngalim Purwanto ( 1988 : 224-236 ), alat pendidikan disiplin yang harus ditempuh dalam menanamkan disiplin kepada seorang anak yaitu dengan pembiasaan, contoh dan teladan dengan penyadaran serta melalui pengawasan. Secara lebih terinci alat pendidikan disiplin tersebut diuraikan sebagai berikut : 1. Pembiasaan Pembisaan adalah salah satu langkah dalam proses menanamkan disiplin terutama bagi anak-anak yang masih kecil. Mereka belum menginsyafi apa yang dikatakan buruk dalam arti susila dan kelayakan. Anak harus dibiasakan melakukan sesuatu hal dengan tertib dan teratur. Misalnya, kebiasaan berpakaian rapi, berbicara santun, makan dan tidur pada waktunya, juga kebiasaan baik lainnya. Bagi remaja kebiasaan-kebiasaan baik seperti ini harus dipupuk sedini mungkin, karena bila telah remaja tersebut mungkin telah tambah pula kebiasaan tertentu yang sudah melekat padanya. 2. Contoh dan Teladan Para orang tua harus memberi contoh dan teladan kepada anaknya, jangan hanya membiasakan sesuatu pada anak namun dirinya tidak melakukannya. Hal ini akan menimbulkan rasa tidak adil pada diri anak. Rasa hendak protes, rasa tidak senang, dan rasa tidak ikhlas melakukan sesuatu pekerjaan yang dibiasakan padanya hingga sulit menjadi suatu kedisiplinan yang tumbuh dari dalam dirinya. 3. Penyadaran Disamping adanya pembiasaan disertai contoh dan teladan, kepada anak yang sudah mulai kritis pikirannya sedikit demi sedikit harus diberikan penjelasan tentang arti pentingnya suatu peraturan diadakan. Anak harus menyadari nilai dan fungsi dari peraturan itu. Bila kesadaran tersebut telah timbul, berarti pada anak telah mulai tumbuh disiplin. 4. Pengawasan Harus dipahami bahwa bila terdapat kesempatan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan peraturan, seorang anak akan cenderung
44
melakukannya. Disinilah letak pentingnya pengawasan orang tua sedini mungkin untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan muncul pada perilaku anak. Upaya untuk memperkuat kedudukan pengawasan dapat diikuti dengan adanya hukumanhukuman dimana perlu ( alat pendidikan disiplin ). Kedua alat pendidikan disiplin yang harus ditempuh dalam menanamkan disiplin di atas, kedua pendapat tersebut tidak sejalan karena menurut Amir Daien Indrakusuma agar kedisiplinan itu dapat terwujud yaitu dengan menerapkan pemberitahuan, teguran, peringatan, dan hukuman. Menurut Ngalim Purwanto kedisiplinan dapat terwujud dengan menerapkan pembiasaan, contoh dan tauladan, penyadaran, dan pengawasan. Nyatalah menghukum merupakan perbuatan yang tidak bebas dilaksanakan dengan seenaknya. Supaya hukuman yang diberikan itu dapat berdampak positif dan meningkatkan kedisiplinan maka hukuman yang diberikan itu haruslah sejalan dengan teori-teori hukuman yang ada. Menghukum adalah perbuatan yang selalu mendapat pengawasan/ dikontrol baik oleh undang-undang atau badan kemasyarakatan yang bertujuan untuk itu. Dari itulah maka hukuman yang baik itu adalah hukuman yang mengarah kepada perbaikan sikap (diri) Usaha menanamkan disiplin pada anak tersebut, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut : 1) Menyadari adanya perbedaan tingkatan kemampuan kognitif anak sesuai dengan azas perkembangan aspek kognitif, maka cara–cara yang dipergunakan perlu disesuaikan dengan tingkatan kemampuan kognitif ini. Menanamkan disiplin tidak lepas dari memberikan
45
pengertian–pengertian dan arena itu harus disesuaikan dengan tahapan perkembangannya. 2) Menanamkan disiplin terhadap anak harus dimulai sedini mungkin, yakni sejak anak mengembangkan pengertian–pengertian dan mulai bisa melakukan sesuatu oleh sendiri. 3) Dalam usaha menanamkan disiplin perlu dipertimbangkan agar mempergunakan teknik demokratis sebanyak mungkin. Pendekatan yang berorientasi pada kasih sayang harus dipakai sebagai dasar untuk menciptakan hubungan dengan anak. Sikap afeksional dari orang tua harus dirasakan oleh anak agar tidak merasa dipaksa untuk berbuat sesuatu diluar kemauannya. 4) Penggunaan hukuman harus diartikan sebagai sikap yang tegas, konsekuen dan konsisten dengan dasar bahwa yang dihukum bukan si anak atau perasaan anak melainkan perbuatannya yang melanggar peraturan. Hukuman harus sesuai dengan corak kesalahan yang dilakukan, tidak bersifat pribadi, fisik atau mengancam dan menakut– nakuti. 5) Menanamkan disiplin bukan kegiatan “sekali saja”, melainkan harus berkali–kali. Melatih dan mendorong perlu dilakukan berulang–ulang sampai tercapai keadaan di mana anak bisa melakukan sendiri sebagai kebiasaan. Kesabaran dan ketekunan orang tua untuk mengawasi dan mengingatkan sangat diperlukan, disamping perlunya memperhatikan keadaan–keadaan
khusus
yang
berbeda
antara
satu
masa
46
perkembangan dengan masa berikutnya atau berbeda antara anak dengan anak lain. 2. Konsep anak Asuh. a. Pengertian Anak Asuh. Anak asuh merupakan salah satu garapan bidang kesejahteraan sosial, karena anak asuh itu merupakan anak-anak yang mengalami ketelantaran. Secara khusus pengertian anak asuh dikemukakan oleh tim penelitian dan pengembangan pelayanan kesejahteraan sosial yang dikutif oleh Gaspor Nabor ( 1991 : 9 ), bahwa: “Anak asuh adalah anak yang mengalami ketelantaran dalam memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosialnya yang di sebabkan oleh beberapa faktor”. Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka anak asuh adalah identik dengan anak terlantar yang disebabkan oleh berbagai faktor-faktor antara lain yang dikemukakan oleh Gaspor Nabor ( 1991 : 10 ) yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Ketidakharmonisan hubungan dalam keluarga. Orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Adanya pengaruh negatif lingkungan. Ketidakmampuan sosial ekonomi orang tua mereka. Adanya pengaruh karena ditinggal mati orang tua sebagian atau keduanya. Faktor-faktor penyebab ketelantaran anak tersebut, faktor yang paling
dominan sebagai penyebab ketelantaran adalah adanya pengaruh ditingggal mati oleh salah satu orang tua atau keduanya serta ketidakmampuan sosial ekonomi orang tua mereka.
47
Penyebab ketelantaran menurut Nurma ( 1994 : 15 ) yaitu : “Di pandang sebagai suatu keadaan dimana orang tua tidak dapat menampilkan perannya secara wajar dan melalaikan kewajibannya, sehingga anak kurang mendapatkan perhatian secara wajar dari orang tua dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya, yang akhirnya anak mengalami ketelantaran baik jasmani, rohani dan sosial”. Pengertian mengenai anak terlantar pun tercantum dalam UU No. 4 Tahun 1974 tentang kesejahteraan anak pasal 1 yaitu : “Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tua melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak di penuhi dengan wajar baik secara jasmani, rohani dan sosial”. Menurut pendapat Zastrow yang di kutif oleh Nurma ( 1994 :17 ) bahwa jenis ketelantaran adalah sebagai berikut : a. Penelantaran secara fisik. b. Kekurangan makanan, pakaian yang tidak layak, tidak mendapatkan perhatian dan pengawasan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. c. Pemerasan terhadap anak dan di bebani pekerjaan yang terlalu berat. Melihat pernyataan di atas bahwa faktor yang paling dominan untuk terjadinya ketelantaran anak adalah berkaitan dengan keadaan orang tua (keluarga). Keadaan keluarga yang di maksud adalah orang tua meninggal salah satu atau keduanya dan tidak ada sanak keluarga yang merawatnya dan juga keadaan ekonomi. Orang tua tidak mampu sehingga tidak mampu pula memenuhi kebutuhannya. Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian anak asuh adalah anak yang di bina oleh satu yayasan atau satu lembaga karena anak tersebut mengalami berbagai faktor-faktor ketelantaran, maka anak tersebut di
48
tampung dalam satu rumah atau asrama perawatan yatim piatu atau panti asuhan untuk mendapatkan pembinaan dari para pembina rumah atau panti tersebut.
b. Hak dan Kewajiban Anak Asuh. Menurut Darji Darmodiharjo ( 1995 : 77 ) bahwa: “Hak adalah hak-hak pokok yang di bawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa”. Hak adalah sesuatu yang mendasar yang harus di dapatkan oleh seseorang karena hak tersebut di bawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, “Hak itu mengikuti hati nurani kita”. ( K. Bertens, 1995 : 187 ). Mengenai hak tidak bisa terlepas dari kewajiban yang berarti sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Menurut K. Bertens ( 1995 : 193 ) bahwa : “Hak akan menimbulkan kewajiban - kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain dan sebaliknya setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut”. Dengan demikian hak dan kewajiban itu tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Adapun hak dan kewajiban anak asuh di dalam panti sosial asuhan anak (PSAA), antara lain: a) Hak Anak Asuh Untuk Memperoleh Pendidikan. Menurut pasal 31 UUD 1945 bahwa : “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Sedangkan menurut H. Suljana ( 1975 : 5 ) bahwa:“Setiap anak asuh berhak untuk memperoleh perlindungan, bimbingan
49
terhadap pertumbuhan serta pendidikan”. Melihat kedua pernyataan tersebut di atas bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh suatu pendidikan. Apabila suatu keluarga tidak mampu membiayai anaknya untuk memperoleh suatu pendidikan, maka mula-mula yang harus bertanggung jawab adalah panti-panti asuhan. Apabila seorang anak telah diserahkan oleh orang
tuanya
kepada
panti-panti
asuhan,
maka
kewajiban
untuk
menyekolahkan anak itu beralih kepada panti asuhan. Pelaksanaan berbagai sistem pendidikan dapat berlangsung dimana-mana seperti pelaksanaan pendidikan dalam masyarakat diselenggarakan melalui berbagai kegiatan. Pernyataan tersebut di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa masyarakat dalam pendidikan memiliki peranan atau pengaruh terhadap pendidikan anak, karena apabila masyarakat telah rusak moralnya atau tidak tahu akan pendidikan, otomatis anak akan terbawa arus. Anak asuh berhak memperoleh pendidikan yang berlangsung di lembaga formal dan non formal. Apabila anak asuh tersebut sudah menjadi tanggung jawab panti asuhan maka para pembina panti berkewajiban untuk menyekolahkannya. Anak asuh berhak untuk memperoleh pendidikan dan pembinaan yang diberikan oleh para pembina panti asuhan. b) Kewajiban Anak Asuh Dalam Melaksanakan Tanggung Jawabnya dan Tugasnya. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal (19) dijelaskan bahwa:
50
Setiap anak berkewajiban untuk: b. b. b. b. b.
Menghormati orang tua, wali dan guru; Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; Mencintai tanah air, bangsa dan Negara; Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan Melaksanakan etika dan akhlak mulia. Tanggung jawab berkaitan dengan pelaksanaan terhadap tugas-tugas
tertentu. Seperti dikemukakan oleh M. Munandar, ( 1995 : 21 ) memiliki 3 komponen, yaitu: 1. Memelihara dengan baik segala sesuatu yang ada di sekeliling kita disertai kesediaan untuk melaksanakan sesuatu yang diperlukan. 2. Adanya kesadaran untuk bertingkah laku dan kesadaran akan akibatnya bagi orang lain. 3. Tindakan yang di wujudkan akan selain disadari oleh rasa kasih sayang saling menghormati dan saling memahami. Tanggung jawab menurut M. Munandar, ( 1995 : 78 ) bahwa :“Orang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya, karena orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentingan orang lain”. Tanggung jawab seseorang tidak dapat dipisahkan oleh lingkungan atau kelompok dimana yang bersangkutan itu berada. Oleh sebab itu anak yang berada di panti asuhan, apabila tidak dapat melaksanakan tugas, akan mendapatkan sanksi - sanksi dari pembinanya.
51
3. Pembinaan Disiplin di Panti Sosial Asuhan Anak Yayasan Bhakti Pertiwi. Ranah pembinaan disiplin sebagai suatu proses pendidikan dapat dibagi dalam tiga dominan. Yaitu (1) pembinaan yang berhubungan dengan pengetahuan disiplin/ aspek kognitif, (2) pembinaan yang berhubungan dengan sikap/ afektif, dan (3) pembinaan yang berhubungan dengan keterampilan disiplin/ psikomotor. 1. Aspek Pengetahuan. Aspek pembinaan yang diterapkan berhubungan erat dengan pengetahuan agama. Mulai dari kultum pembinaan akhlak, shalat berjamaah, belajar mengaji atau Al–Qur’an, dimana setiap kegiatan dilakukan bersama-sama. 2. Aspek Sikap. Sikap dapat berupa sopan santun dalam berbicara maupun bertindak pada semua orang, berlaku jujur pada diri sendiri dan orang lain, bertanggung jawab atas setiap kegiatannya, bagaimana bersikap pada orang yang lebih tua/ muda, rajin belajar serta berusaha keras untuk mencapai prestasi dan lain-lain. 3. Aspek Keterampilan. Setiap anak asuh harus mampu berdisiplin dalam mengikuti segala kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam asrama atau panti asuhan, termasuk kegiatan di luar panti misalnya sekolah atau masyarakat. Sebagai contoh, aktif dalam mengikuti kegiatan olah raga, kerja bakti, piket, belajar tambahan atau kursus, seperti komputer, les bahasa, memasak, menjahit dan lain-lain.
52
4. Pendekatan Disiplin dalam Panti Asuhan. Peranan panti dalam membimbing atau melatih anak asuh supaya mandiri, bertanggungjawab melalui tugas dan kewajibannya, dengan penuh sadar serta ibadah pada Tuhan Yang Maha Esa agar terbentuk pribadi yang baik, diantaranya yaitu: 1. Menjaga kebersihan diri maupun lingkungan. 2. Hidup dalam ketertiban. 3. Berusaha selalu tepat waktu. 4. Kebersihan dan kerapihan dalam berpakaian. 5. Mengikuti setiap kegiatan panti. 6. Tatakrama dalam bergaul. 7. Menerima hukuman apabila melanggar peraturan secara bertanggung jawab. Semua penjelasan ini penulis jabarkan berdasarkan tata aturan atau tata tertib panti yang disepakati dan dijalankan atau dilaksanakan oleh seluruh warga panti.
5. Unsur-unsur Disiplin yang diterapkan dalam Panti Asuhan. Unsur-unsur yang diterapkan dalam panti asuhan diantaranya sebagai berikut: 1. Peraturan. Peraturan adalah pola yang diterapkan untuk tingkah laku anak asuh. Fungsinya yaitu:
53
a. Mempunyai nilai pendidikan, artinya memperkenalkan pada seseorang mengenai perilaku yang disetujui anggota kolompoknya, yakni peraturan yang berlaku dalam lingkungan asrama atau panti. b. Membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Merupakan perwujudan peraturan agar menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak asuh serta mencegah dari perbuatan yang menyimpang akibat pengaruh lingkungan luar. 2. Hukuman. Hukuman diberikan karena suatu kesalahan. Perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan walaupun tidak dikatakan secara jelas, tersirat didalamnya bahwa kesalahan, perlawanan atau pelanggaran ini disengaja, dalam arti bahwa seseorang mengetahui bahwa perbuatannya itu salah tetapi tetap dilakukan. Fungsi dari hukuman adalah: a. Untuk menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh kelompok. b. Untuk mendidik, artinya seseorang belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah melalui hukuman yang diterimanya bila mereka melakukan tindakan yang diperbolehkan. c. Memberi motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima masyarakat.
Sebagaimana
pendapat
yang
Hadisubrata dalam Tulus Tu’u ( 2004:56) bahwa:
dikemukakan
oleh
54
“Tujuan hukuman adalah untuk mendidik dan menyadarkan siswa bahwa perbuatan yang salah mempunyai akibat yang tidak menyenangkan. Hukuman diperlukan juga untuk mengendalikan perilaku disiplin. Tetapi hukuman bukan satu - satunya cara untuk mendisiplinkan anak atau siswa”. Karena itu, sanksi disiplin berupa hukuman tidak boleh dilihat sebagai cara untuk menakut - nakuti atau mengancam supaya orang tidak berani berbuat salah. Sanksi seharusnya sebagai alat pendidikan dan mengandung unsur mendidik, tanpa itu hukuman kurang bermanfaat. 3. Penghargaan. Setiap bentuk penghargaan diberikan untuk suatu hasil yang baik. Fungsi dari penghargaan adalah: a. Mempunyai nilai mendidik, artinya bila suatu tindakan disetujui maka hal tersebut dapat dirasakan bahwa hal tersebut baik. b. Memotivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial. c. Memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial. Seseorang belajar berperilaku sesuai dengan aturan, apabila ia merasa bahwa perilaku demikian
cukup
penghargaan
menguntungkan
digunakan
untuk
baginya.
Dengan
membentuk
demikian
asosiasi
yang
menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan. 4. Konsistensi. Tingkat keseragaman dan kecenderungan menuju kesamaan dan menjadi ciri aspek semua disiplin, baik konsistensi dalam peraturan yang digunakan sebagai pedoman perilaku, dalam peraturan itu diajarkan dan dipaksakan dalam hukuman yang diberikan pada mereka yang melanggar.
55
Adapun fungsi dari konsistensi adalah: a. Memiliki nilai mendidik, artinya dengan peraturan yang konsisten akan memacu proses belajar. b. Memiliki nilai motivasi, artinya seseorang yang menyadari bahwa penghargaan selalu mengikuti perilaku yang disetujui dan hukuman selalu mengikuti peraturan yang dilarang akan mempunyai keinginan yang jauh lebih besar untuk menghindari tindakan yang dilarang dan melakukan tindakan yang disetujui. Singgih Gunarsa dalam Tulus Tu’u ( 2004:57) menyatakan konsistensi yang dimiliki sebagai berikut: “Penanggulangan disiplin dapat dilakukan melalui tahapan preventif, represif dan kuratif. Langkah preventif lebih pada usaha untuk mendorong siswa melaksanakan tata tertib sekolah. Memberi persuasi bahwa tata tertib itu baik untuk perkembangan dan keberhasilan sekolah. Langkah represif sudah berurusan dengan siswa yang telah melanggar tata tertib sekolah. Siswa-siswa ini ditolong agar tidak melanggar lebih jauh lagi, dengan jalan nasihat, peringatan atau sanksi disiplin. Langkah kuratif merupakan upaya pembinaan dan pendampingan siswa yang melanggar tata tertib dan sudah diberi sanksi disiplin. Upaya tersebut merupakan langkah pemulihan, memperbaiki, meluruskan, menyembuhkan perilaku yang salah dan tidak baik”. Pembinaan disiplin anak asuh terjadi melalui pengalaman dan kebiasaan. Semua itu harus dimulai sejak usia anak masih kecil. Pembiasaan hidup baik yang disesuaikan dengan nilai-nilai agama harus diberikan oleh orang tua atau Pembina, karena kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua tentu akan ditiru oleh anak.
56
Jelas diketahui adanya, bahwa tenaga yang paling potensial untuk membuat anak mampu berjiwa sosial ialah dengan mengamati apa yang diperbuat orang lain, terutama orang terdekatnya, yaitu orang tua atau pengasuh (Pembina). “Teladan” merupakan contoh dari perbuatan dan tindakan sehari-hari orang tua kepada anaknya. Anak-anak akan terus-menerus meniru apa yang dilihatnya, dan menyimpan apa yang mereka dengar. Contoh “Teladan” dapat lebih efektif daripada kata-kata, karena “Teladan” atau contoh perbuatan/ tindakan memberikan isyarat -isyarat non-verbal yang berarti memberikan contoh yang jelas untuk ditiru. Dalam penerapan disiplin, orang tua atau Pembina harus menggunakan rasionalitas dan memberikan penjelasan pada anak mengenai konsekuensi dari tingkah laku yang dilakukan oleh anak termasuk aturan tata laku guna membantu anak mengerti mengapa perilaku tersebut diharapkan. Penaggulangan disiplin ini diperlukan adanya tata tertib dan konsistensi dalam menerapkannya, tindakan penanggulangan dapat dilakukan melalui kegiatan pendekatan (preventif, represif, kuratif), dan sanksi yang diberikan tidak boleh dilakukan secara emosional, tetapi harus mengacu pada aturan serta bertujuan mendidik. Hal-hal tersebut, disiplin dapat ditegakkan dan dipulihkan. Diharapkan dengan sikap dan langkah seperti itu akan memberi dampak besar bagi kondisi kondusif sehingga tercipta perubahan perilaku anak yang lebih positif.