BAB II LANDASAN TEORITIS A. Utang Menurut Munawir (2004) bahwa utang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, dimana utang ini sebagai sumber dana atau modal yang berasal dari kreditor. Sedangkan menurut Henry (2000) mendefinisikan utang sebagai bentuk kewajiban yang muncul dari transaksi atau kejadian dimasa lalu, dan menuntut pelunasan pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang. IAI dalam statementnya mendefinisikan utang sebagai bentuk kewajiban perusahaan masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber perusahaan yang mengandung manfaat ekonomi (Ghozali dan Chairiri. 2007). Selain itu Kieso (2011) mendefinisikan “Liabilities as a present obligation of a company arising from past events, the settlement of which is expected to result in an outflow form the company of recources, embodying economic benefits”. Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa utang merupakan suatu bentuk kewajiban yang timbul akibat transaksi dari suatu manfaat ekonomi yang terjadi dimasa lampau sehingga menimbulkan pelunasan dimasa yang akan datang. Kemudian dalam teori Kieso (2011) utang memiliki tiga karakteristik utama, yaitu:
9
10
1. Merupakan kewajiban diwaktu sekarang 2. Timbul dari kejadian yang lampau 3. Merupakan akibat yang timbul dari kas, barang dan jasa. B. Jenis Utang Berdasarkan kategorinya, utang dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Utang jangka pendek Utang jangka pendek merupakan utang yang pelunasannya kurang dari satu tahun yang dimana pelunasannya juga akan menggunakan aktiva lancar perusahaan. Kewajiban jangka pendek sudah semestinya harus diklasifikasikan sedemikian rupa guna untuk memberikan informasi yang cukup bagi pihak-pihak yang berkepeningan dalam hal informasi atas laporan
keuangan.
Secara
umum
utang
jangka
pendek
dapat
diklasifikasikan dalam dua kelompok, yakni: a. Kewajiban jangka pendek yang sudah pasti. Kewajiban jangka pendek yang sudah pasti merupakan kewajiban yang sudah dapat dipastikan nilainya dan sesuai dengan kondisi riil yang ada. Klasifikasi yang termasuk dalam utang jangka pendek yang sudah pasti adalah sebagai berikut: 1)
Utang dagang (Accounts Payable)
Merupakan utang yang timbul dari transaksi pembelian barang dagangan, jasa atau aktiva lainnya yang dilakukan secara kredit dengan pembayaran kurang dari 12 bulan setelah tanggal neraca dibuat. Utang dagang menunjukkan perjanjian kredit informal
11
dengan para pemasok dan biasanya melibatkan hubungan yang berkelanjutan. 2)
Utang wesel (Notes Payable)
Utang wesel merupakan janji tertulis kepada supplier untuk membayar uang sejumlah tertentu dengan ketentuan waktu tertentu dimasa depan atas akibat dari pembelian atau transaksi lainnya. Utang wesel ini juga digunakan sebagai pengganti utang dagang. Adanya utang wesel ini juga dimanfaatkan sebagai dokumentasi
secara
tertulis
seandainya
mesti
dilakukan
penyelesaian hukum untuk menagih piutang tersebut. 3)
Utang jangka panjang yang segera jatuh tempo
Utang yang berasal dari utang jangka panjang, akan tetapi akan segera jatuh tempo, dan harus segera dilakukan pembayaran. Waktu yang akan jatuh tempo ini kurang dari 12 bulan setelah tanggal neraca, dan kemudian dapat dikelompokkan kedalam hutang lancer. 4)
Penghasilan diterima dimuka (Differed Revenue)
Penghasilan diterima dimuka ini merupakan utang yang berasal dari penerimaan uang akibat dari barang dagang / jasa tertentu yang masih belum selesai dalam pengerjaannya / masih belum terealisasi pengiriman atau pengerjaannya. Dengan kata lain penghasilan diterima dimuka ini merupakan suatu bentuk kontra prestasi jasa-jasa perusahaan yang belum dilakukan oleh
12
perusahaan kepada pihak lain yang telah melakukan pembayaran tersebut. b. Kewajiban jangka pendek yang diestimasi Kewajiban jangka pendek yang diestimasi dilakukan untuk mencatat transaksi-transaksi masa lalu yang merupakan kewajiban masa kini dan kemungkinan besar mengakibatkan arus kas keluar sumber daya untuk menyelesaikan kewajiban tersebut dikemudian hari. Kewajiban yang dicatat dengan menggunakan estimasi tersebut harus memenuhi tiga kriteria sebagai berikut: 1) Merupakan kewajiban masa kini sebagai akibat kejadian masa lalu. 2) Ada kemungkinan penyelesaiannya mengakibatkan arus keluar sumber daya. 3) Jumlah kewajiban dapat diestimasi secara andal. Jadi, kewajiban-kewajiban yang diestimasi diakui ketika ada perkiraan pengaruh materiil terhadap keluarnya kas dimasa depan. Adapun contoh dari kewajiban yang diestimasi adalah utang pembelian hadiah, utang garansi service, kewajiban pemulihan pencemaran lingkungan, kewajiban operasinal dalam penghentian, employee benefit dan lain sebagainya. Seperti halnya contoh yang telah disebutkan diatas bahwa semua beban yang diakui merupakan estimasi atas transaksi yang belum terjadi, akan tetapi memiliki sifat yang materiil terhadap pengeluaran kas perusahaan dimasa yang akan datang.
13
2. Utang Jangka Panjang Utang jangka panjang sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ahmad
Syafi’I
Syakur
(2009)
adalah
perkiraan-perkiraan
yang
dimaksudkan utang perusahaan yang memiliki masa pelunasan lebih dari satu periode akuntansi atau yang akan dilunasi bukan dari aktiva lancar perusahaan. Utang jagka panjang ini umumnya bernilai besar, karena biasanya juga digunakan untuk penambahan modal kerja permanen, pembelian mesin-mesin aktiva baru, perluasan pabrik, akuisisi, afiliasi, perluasan cabang, perluasan utang jangka panjang lainnya yang akan segera jatuh tempo dan lain sebagainya. Dalam penyelesaian atas utang jangka panjang ini sering dilunasi dengan menggunakan pembayaran cicilan berkala. Kemudian untuk cicilan-cicilan yang akan dibayarkan barulah dicantumkan dalam neraca sebagai current liability. Setelah itu sisa dari cicilan tersebut atas utang jangka panjangnya masih akan tetap dicantumkan dalam kewajiban jangka panjang. Utang obligasi juga merupakan suatu bentuk dari utang jangka panjang. Utang obligasi ini harus dicatat berdasarkan nilai nominal obligasi. Jika suatu obligasi dicatat dengan hasil bersih lebih besar dari pada nilai nominalnya maka sebesar selisihnya harus dicatat secara terpisah dalam perkiraan premium obligasi, dan jika sebaliknya maka selisihnya akan dicatat dan diakui sebagai discount dari adanya akuisisi transaksi obligasi yang dilakukan.
14
C. Kebijakan Utang Kebijakan utang dapat diartikan sebagai suatu hasil keputusan yang dilakukan oleh pihak menejemen dalam rangka memperoleh sumber pembiayaan (dana) yang berasal dari pihak lain diluar internal perusahaan dengan tujuan untuk membiayai aktivitas operasional perusahaan. Akan tetapi ketika terjadi peningkatan hutang, maka akan terjadi juga peningkatan leverage, sehingga akan meningkatkan kemungkinan kesulitan atau kebangkrutan. Kebijakan utang dalam suatu perusahaan akan mempengaruhi struktur modal, yang dimana struktur modal merupakan perimbangan antara modal asing atau utang dengan modal sendiri (internal perusahaan). Berikut adalah teori-teori dalam struktur modal: 1.
Konsep Pecking order theory Pemenuhan kebutuhan pendaan akan memilih sumber dana yang
sesuai dengan urut-urutan resiko. Pendanaan yang dilakukan pada teori ini adalah untuk optimalisasi dari penggunaan dana internal perusahaan maupun eksternal perusahaan. Husnan (2009) dalam Byan (2013) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan pecking order theory adalah urutan sumber pendanaan dari internal (laba ditahan) dan eksternal (penerbitan ekuitas baru). Akan tetapi jika perusahaan dengan umur operasional perusahaan yang masih baru, tentunya untuk laba ditahan masih sedikit, ataupun masih belum ada. Sehingga jalan satu-satunya adalah menggunakan dana eksternal (penerbitan ekuitas baru), dan jika
15
perusahaan tidak menginginkan penerbitan ekuitas baru, maka tidak lain sumber dana yang dilakukan adalah berasal dari utang. Nina (2009) mengungkapkan bahwa dalam metode pecking order theory ini tidak ada target rasio karena ada dua jenis modal yang melandasi, yaitu modal internal dan eksternal. Kemudian Suad Husnan (1996) dalam Nina (2009) berpendapat bahwa modal sendiri yang berasal dari perusahaan lebih disukai dari pada modal sendiri yang berasal dari luar perusahaan. Memperkuat pendapat tersebut, Myers (1996) dalam penelitian Susetyo (2006) mengungkapkan bahwa perusahaan lebih menyukai penggunaan sumber pendanaan dari modal internal, laba yang berasal dari kas dan laba ditahan dari depresiasi. Sehingga dalam uruturutannya sebagai acuan sumber pendanaan dilakukan dengan mengacu pada sumber pendanaan internal (internal fund), hutang (debt), dan permodalan (equity) Kaaro (2001) dalam Nina (2009). 2.
Trade Off Theory Laksana (2009) dalam dennys (2012) mengungkapkan bahwa
yang dimaksud dengan trande of theory ini adalah teori yang menjelaskan struktur modal yang ditentukan berdasarkan kesinambungan antara manfaat (keunggulan) dan biaya (kelemahan) yang ditimbulkan dari kebijakan utang. Jadi, yang dimaksudkan teori ini adalah penyeimbangan antara manfaat pajak dengan biaya kebangkrutan yang dikarenakan perusahaan memiliki utang.
16
3.
Teori Keagenan (Agency Theory) Teori agency cost merupakan suatu bentuk kontrak antara pihak
agen dengan pemodal. Dalam teory agency akan dapat menimbulkan masalah pada pihak-pihak yang bersangkutan. Masalah yang ditimbulkan adalah adanya perbedaan kepentingan antara stock holder dengan menejemen. Perbedaan tersebut diakibatkan adanya kepentingan stock holder sebagai pemodal menginginkan untuk semakin bertambahnya kekayaan pemilik modal dan adanya kemakmuran dalam menjalankan investasinya. Selain dari pada itu, pemilik juga lebih tertarik untuk memaksimumkan kompensasinya. Kemudian adanya kepentingan yang dimiliki
oleh
para
menejemen
perusahaan
untuk
bertambahnya
kesejahteraan bagi para menejer. Kontrak yang dibuat pemilik dengan menejer diharapkan dapat meminimumkan konflik antara
kedua
kepentingan tersebut. (Setyapuurnama dan Norpratiwi 2004 dalam Ratih 2009). D. Rasio Profitabilitas Dengan kata lain rasio profitabilitas disebut juga sebagai rasio rentabilitas. Menurut Harahap (2009) bahwa Rasio profitabilitas adalah rasio yang menunjukkan tentang kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba melalui kemampuan yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, jumlah karyawan, jumlah cabang, modal dan lain sebagainya. Kemampuan perusahaan mendapatkan laba sama halnya yang dimaksud dengan operating ratio. Ini berarti rasio profitabilitas memfokuskan pada hubungan antara hasil operasi dengan sumber daya yang
17
tersedia bagi perusahaan. Sehingga secara singkat dapat disimpulkan bahwa rasio profitabilitas ini adalah rasio yang menunjukkan kesanggupan perusahaan dalam menghasilkan laba. Kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba tergantung pada efisiensi dan efektivitas pelaksanaan sumber daya yang tersedia untuk melakukannya, karena itu analisis profitabilitas secara umum memfokuskan pada hubungan antara hasil operasi, seperti yang dilaporkan dalam laporan laba rugi, dan sumber-sumber yang tersedia dalam perusahaan seperti yang dilaporkan dalam Neraca. Analisis utama yang diperlukan dalam analisis profitabilitas adalah: 1. Rasio Margin Laba (Profit Margin – PM) Dengan meningkatnya rasio Profit Margin maka hal ini akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba bersih yang lebih tinggi dari aktivitas penjualannya. Adapun rumusnya adalah: LABA BERSIH Profit Margin
= PENJUALAN
2. Rasio Kemampuan Dasar Menghasilkan Laba (Basic Earning Power Ratio / Operating Return on Total Asset – OROA) EBIT / Earning Befor Interest and Tax merupakan laba murni hasi Operasi perusahaan yang belum dipengaruhi keputusan keuangan (Utang) dan Pajak. Maka dari itu sejak awal OROA dianggap sebagai rasio yang tepat untuk mengukur aktivitas Investasi. Adapun rumusnya sebagai berikut:
18
OROA
EBIT TOTAL AKTIVA
=
3. Tingkat Pengembalian Atas Total Aktiva (Return on Asset – ROA) ROA dalam perusahaan digunakan untuk mengukur kemapuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang berasal dari aktivitas Investasi. Adapun rumusnya adalah:
ROA
LABA BERSIH TOTAL AKTIVA
=
4. Tingkat Pengembalian Atas Total Ekuitas (Return on Equity – ROE) Hasil dari rasio ini akan menunjukkan seberapa besar keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang saham. Sehingga ROE ini dianggap sebagai representasi dari kekayaan pemegang saham atau nilai perusahaan. Adapun rumusnya adalah:
ROE
=
LABA BERSIH TOTAL EKUITAS
5. Rasio Harga / Laba (Prie Earning Ratio – P/E) Semakin tinggi rasio PE ini, maka akan menjadikan semakin mahal harga saham suatu perusahaan (relatif terhadap harga perlembarnya). Dengan tingginya harga saham dibursa efek, maka ini akan mencerminkan tingginya harga saham dimana para investor, akan tetapi terlalu tinggi untuk rasio ini umumnya dihindari para calon
19
pembeli saham sebab harga saham seperti ini akan condong menurun harga sahamnya dalam waktu dekat. Adapun rumusnya adalah:
P/E
=
HARGA SAHAM BIASA PERLEMBAR LABA PERLEMBAR SAHAM
6. Rasio Nilai Pasar (Market Book Ratio – M/B) Dalam rasio Market Book Ratio ini menunjukkan ukuran harga saham relatif terhadap nilai buku ekuitasnya saham biasa). Rumusnya adalah:
M/B
=
HARGA SAHAM BIASA PERLEMBAR NILAI BUKU SAHAM BIASA PERLEMBAR
E. Free Cash Flow White at al (2003) dalam Refina (2013) mengungkapkan Free Cash Flow sebagai aliran kas diskresioner yang tersedia bagi perusahaan. Free Cash Flow adalah kas dari aktivitas operasi dikurangi capital expenditure yang dibelanjakan perusahaan untuk memenuhi kapasitas produksi saat ini. Menurut Jensen 1986 dalam Refina (2013) bahwa Free Cash Flow diartikan sebagai kelebihan kas yang digunakan untuk pendanaan sebuah proyek. Menurut Jensen (1986) Free Cash Flow adalah kelebihan kas yang diperlukan untuk mendanai semua proyek yang memiliki nilai net present value positif. Free Cash Flow inilah yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Manajemen biasanya lebih suka untuk menginvestasikan lagi dana tersebut pada proyek – proyek yang dapat keuntungan karena alternatif ini akan meningkatkan intensif yang diterimanya.
20
Ross et al (2000) dalam Refina (2013) mendefinisikan Free Cash Flow merupakan kas perusahaan yang dapat didistribusikan kepada kreditur atau pemegang saham yang tidak diperlukan untuk modal kerja atau investasi pada asset. Arus kas yang tersedia ini menunjukkan refleksi atas tingkat pengembalian atas penanam modal. Kemudian Ross menggunakan rumus dibawah ini untuk menghitung Free Cash Flow:
Free Cash Flow = AKO – PM – NWC Dimana: AKO : Aliran Kas Operasi Perusahaan PM
: Pengeluaran Modal Bersih
NWC : Net Working Capital (Modal Bersih Perusahaan) Atas perumusan Free Cash Flow ini akan lebih nyata dipergunakan untuk perusahaan besar, karena memerlukan mekanisme tersendiri untuk memantau menejer perusahaan dalam membuat keputusan yang terbaik bagi pemegang saham. Subramanyam dan John (2010) mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan fleksibelitas keuangan tergantung pada ketersediaan arus kas. Hal ini menunjukkan bahwa arus kas bebas yang dimiliki perusahaan akan dapat memberikan kontribusi dan nilai positif untuk setiap kebijakan yang akan dilakukan oleh perusahaan. F. Nilai Perusahaan Definisi tentang nilai perusahaan menurut beberapa konsep yang telah dilakukan penelitian oleh Christiawan (2007) bahwa nilai perusahaan merupakan
21
nilai nominal, nilai pasar, nilai intrinsik, nilai buku, dan nilai likuidasi. Nilai nominal dapat diartikan sebagai nilai riil yang tepat dalam anggaran dasar perusahaan yang biasanya diilustrasikan dalam akun riil di Neraca Laporan Keuangan perusahaan dan juga diwujudkan dalam sertifikat nilai saham kolektif. Kemudian untuk nilai pasar seperti halnya yang dimaksud diatas adalah nilai kurs atau harga yang telah terjadi pada proses tawar menawar saham di Bursa Efek. Nilai perusahaan yang didefinisikan sebagai nilai intrinsik perusahaan merupakan nilai perusahaan berdasarkan nilai sesungguhnya yang diestimasikan berdasar nilai pasar yang berlaku pada saat periode dilakukan penilaian. Sedangkan yang dimaksud nilai perusahaan sebagai niai buku adalah penilaian perusahaan yang didasarkan pada konsep dasar Akuntansi. Untuk penilaian perusahaan sebagai nilai likuidasi adalah penilaian perusahaan yang dinilai dengan penjualan seluruh asset perusahaan yang telah dikurangi dengan semua kewajiban perusahaan sampai dengan periode likuidasi. Hougen dalam sulistiono (2010) mendefinisikan nilai perusahaan sebagai nilai perusahaan yang dapat dinilai dari harga sahamnya. Dalam hal ini nilai perusahaan diproksikan dengan Price Book Value (PBV). Husnan (1994) dalam sulistiono (2010) mengungkapkan mengenai rumus Price Book Value (PBV): PBV
=
HARGA PASAR SAHAM PERUSAHAAN NILAI BUKU PERUSAHAAN
Harga saham didefinisikan sebagai harga penutup akhir tahun yang datanya diambil dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Sedangkan nilai buku merupakan jumlah saham yang beredar yang dikalikan dengan harga saham.
22
Beberapa
konsep
dasar
penilaian
perusahaan
sebagaimana
yang
diungkapkan oleh sulistiono (2010) sebagai berikut: 1. Nilai ditentukan oleh suatu waktu atau periode tertentu 2. Nilai ditentukan pada harga wajar 3. Penilaian tidak boleh dipengaruhi oleh suatu kelompok pembeli tertentu. Nani (2012) juga mengungkapkan bahwa nilai perusahaan diukur dengan PBV yang merupakan perbandingan harga saham dari suatu saham dengan nilai bukunya. PBV akan
menunjukkan seberapa besar perusahaan
mampu
menciptakan nilai yang relatif terhadap jumlah modal yang investasikan. Penilian ini dapat dimaksudkan jika diukur dengan PBV dengan nilai diatas satu maka perusahaan tersebut dapat dikatakan baik, dan apabila nilai PBV perusahaan dibawah satu maka nilai perusahaan dikatakan kurang baik. G. Kebijakan Dividen Nurainun dan Sinta (2007) dalam Adinata (2010) dan Ika (2013) mengungkapkan pengertian dari kebijakan dividen sebagai kebijakan perusahaan dalam menentukan apakah membayar kebijakan dividen atau tidak, mengurangi atau meningkatkan jumlah kebijakan dividen yang sama dengan jumlah yang dibagikan pada periode sebelumnya. Cakupan dari kebijakan dividen ini adalah penggunaan laba bersih untuk mendanai investasi dalam bentuk laba ditahan dan imbalan kepada para pemegang saham dalam bentuk kebijakan dividen (Handono, 2009). Artinya setiapkali ada penambahan untuk laba ditahan, maka akan terjadi pengurangan dalam kebijakan dividen yang akan diberikan. Meskipun demikian,
23
kebijakan dividen juga wajar untuk dapat dilaksanakan karena pada dasarnya pembagian kebijakan dividen sebesar-besarnya adalah untuk kemakmuran pemegang saham. Namun hal itu akan mengurangi dana investasi ditahun mendatang (Handono, 2009). Kebijakan dividen yang dilakukan akan menggambarkan jumlah kebijakan dividen perlembar saham yang dibagi dengan laba perlembar saham, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:
DPR
=
DPS EPS
DPR : Divident Payout Ratio (Kebijakan dividen) DPS : Divident Pershare (Dividen Perlembar Saham) EPS : Earning Pershare (Laba Perlembar Saham) H. Penelitian Terdahulu Yeniati dan Nicken Destriana (2010) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan utang pada perusahaan keuangan dan non keuangan yang terdaftar di Bbusa Efek Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan adanya pengaruh kepemilikan institusional, struktur aset, profitabilitas, pertumbuhan perusahaan mempengaruhi kebijakan utang. Namun dalam penelitian Yeniati dan Nicken (2010) mengemukakan bahwa kepemilikan manajerial, kebijakan dividen dan risiko bisnis tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang. Andhika (2012) juga melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan dividen, kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional, profitabilitas dan
24
risiko bisnis terhadap kebijakan utang. Hasil dari penelitian Andhika (2012) adalah Kebijakan dividen, kepemilikan menejerial, pemilikan institusional, profitabilitas dan resiko bisnis berpengaruh positif terhadap kebijakan utang. Akan tetapi secara parsial hanya kebijakan profitabilitas dan risiko bisnislah yang berpengaruh negative terhadap kebijakan utang. Kebijakan dividen, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh negative terhadap kebijakan utang. Essa & Reffina (2013) melakukan penelitian yang berjudul pengaruh free cash flow dan kepemilikan manajerial terhadap kebijakan utang pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di bursa efek Indonesia. Variabel yang digunakan ada dua, yatiu: free cash flow dan kepemilikan manajerial. Hasil yang diperoleh dari penelitan Essa dan Reffina (2013) menunjukkan bahwa free cash flow berpengaruh terhadap kebijakan utang yang didasarkan pada nilai hitung (2,579) > ttable (1,67469) dan tingkat signifikanisasi 0,013 < taraf nyata 0,05. Kemudian kepemilikan manajerial (MOWNS) tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang (DER) pada perusahaan manufaktur yang didasarkan pada nilai t hitung (1,141)< ttable (1,16479)dan tingkat signifikanisasi 0,259 > taraf nyata 0,05. Kemudiann Eva (2011) melakukan penelitiannya tentang pengaruh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan kebijakan dividen terhadap kebijakan utang. Kesimpulan yang diambiil dari penelitian Eva (2011) bahwa kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan kebijakan dividen berpengaruh secara simultan terhadap kebijakan utang perusahaan. Meskipun begitu kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang.
25
Rona (2012) dalam penelitiannya yang berjudul analisis kebiajakan utang. Variabel yang digunakan adalah Ukuran Perusahaan, Likuiditas, Kepemilikan Institusional, Profitabilitas, Free Cash Flow. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rona (2012) maka dapat disimpulkan bahwa Profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan hutang, Ukuran perusahaan, Likuiditas, Kepemilikan Institusional dan Free Cash Flow tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang. Berdasarkan penelitan-penelitian terdahulu yang telah dijelaskan diatas, maka dapat diringkas kedalam tabel sebagai berikut:
26
Table : 2.1 RINGKASAN PENELITIAN TERDAHULU
Nama Penliti dan Tahun Yeniatie & Nicken Destriana (2010)
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Kepemilikan Manajerial, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepemilikan Institusional, Kebijakan Utang Pada Perusahaan Kebijakan Dividen, Struktur Non Keuangan Yang Terdaftar Di Asset, Profitabilitas, Pertumbuhan Bursa Efek Indonesia. perusahaan dan Risiko Bisinis
Andhika (2012)
Kebijakan Dividen, Kepemilikan Manajemen, Kepemilikann Intitusional, Profitabilitas Resiko Bisnis Terhadap Kebijakan Utang.
Essa & Reffina 2013
Pengaruh Free Cash Flow Dan Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Utang Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI)
Hasil Penelitian Kepemilikan Institusional, Struktur Aset, Profitabilitas, pertumbuhan perusahaan mempengaruhi kebijakan utang.
Kebijakan dividen, Kepemilikan Manajemen, Kepemilikan Institusional, Profitabilitas dan Resiko Bisnis
Kebijakan dividen, kepemilikan menejerial, pemilikan intitusional, profitabilitas dan resiko bisnis berpengaruh positif terhadap kebijakan utang.
Free Cash Flow dan Kepemilikan Manajerial.
Free Cash Flow (FCF) berpengaruh terhadap kebijakan utang (DER) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011
27
Eva (2011)
Rona (2012)
Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional dan Kebijakan dividen terhadap Kebijakan Utang Perusahaan.
Analisis Kebijakan Hutang
Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional dan Kebijakan dividen
Kepemlikan menejerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen, berpengaruh secara simultan terhadap kebijakan utang perusahaan.
Ukuran Perusahaan, Likuiditas, Kepemilikan Institusional, Profitabilitas, Free Cash Flow.
Profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan hutang, Ukuran perusahaan, Likuiditas, Kepemilikan Institusional dan Free Cash Flow tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang.
Sumber: data diolah sendiri
28
I. Kerangka Pemikiran Berdasarkan landasan teori maka digambarkan hubungan antar variabel sebagai berikut:
MULTIPLE REGRESSION ANALYSIS Y=βo+β1X1+β2X2+β3X3+ β4X4+ε
PROFITABILITAS
FREE CASH FLOW KEBIJAKAN UTANG NILAI PERUSAHAAN
KEBIJAKAN DIVIDEN
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber : Data diolah penulis J. Hipotesis 1.
Pengaruh profitabilitas terhadap kebijakan utang Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba dari kegiatan pendaan perusahaan yang dikonversikan dengan biaya operasional
untuk
memperoleh
pendapatan
tersebut.
sebagaimana
yang
diungkapkan oleh Steve dan Lina (2011), Yeni dan Destrina (2010), Susanto
29
(2011), Indah Ningrum dan Asmarini (2009) menunjukkan penemuaannya bahwa profitabilitas mempengaruhi kebijakan utang perusahaan. Dengan adanya bukti diatas maka penulis mengajukan hipotesis: H1 : Profitabilias mempengaruhi kebijakan utang 2.
Pengaruh Free Cash Flow terhadap kebijakan utang Dalam kegaiatan operasional perusahaan, terdapat suatu ruang akun yang
berisikan atas cash dan cash equivalent. Dimana semua dana yang berupa cash riil perusahaan tertampung didalamnya. Setiap periode yang berlangsung akan berakibat fluktuasinya cash yang ada dalam akun tersebut. Bentuk cash yang dimiliki oleh perusahaan kadangkala ada sebagian yang tidak terpakai, entah itu digunakan sebagai dana pencadangan atau lain sebagainya. Dalam menentukan kebijakan utang, maka perusahaan akan mempertimbangkan cash yang ada dalam perusahaan untuk melakukan pembayaran terhadap pelunasan utang yang dilakukan. Reffina Sibagiran (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Free Cash Flow mempengaruhi kebijakan utang perusahaan. Maka penulis mengajukan hipotesis H2 : Free Cash Flow mempengaruhi kebijakan utang. 3.
Pengaruh Nilai perusahaan terhadap kebijakan utang Jensen (1986) dalam Taswan (2003) menyatakan bahwa dengan adanya
utang dapat digunakan untuk mengendalikan penggunaan Free Cash Flow secara berlebihan oleh manajemen, dengan demikian menghindari investasi yang sia-sia. Penggunaan utang akan meningkatkan nilai perusahaan, karena saat kebutuhan utangnya naik, itu akan digunakan untuk pembiayaan perusahaan. Peningkatan
30
nilai tersebut dikaitkan dengan harga saham dan penurunan utang akan menurunkan harga saham. Namun demikian peningkatan utang juga akan menimbulkan peningkatan risiko kebangkrutan bila tidak diimbangi dengan penggunaan utang yang hati-hati (Masulis, 1988) dalam Taswan (2003). Oleh karena itu hipotesis yang dapat dibangun adalah: H3 : Nilai perusahaan mempengaruhi kebijakan utang perusahan 4.
Pengaruh kebijakan dividen terhadap kebijakan utang
Penelitian yang dilakukan oleh Rozzef (1982) dalam ratih (2009) bahwa pembayaran kebijakan dividen pada pemegang saham dapat mengurangi sumber dana yang dikendalikan ole manajemen perusahaan. Menurut faisal (2002) dalam ratih (2009) mengungkapkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan perusahaan
yang menmpunyai payout ratio yang tinggi akan menyukai
perusahaan dengan modal sendiri.
Dengan adanya hal tersebut diatas akan
menjadikan manajemen lebih berhati-hati dalam menggunakan utang. Untuk itu peneliti menggunakan hipotesis sebagai berikut: H4 : Kebijakan dividen mempengaruhi kebijakan utang.