BAB II LANDASAN TEORI
Mengingat kegiatan usaha bank banyak melibatkan masyarakat luas, dan kegiatan usaha bank tersebut dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian baik dalam arti positif maupun arti yang negatif. Maka perusahaan perbankan merupakan jenis industri yang banyak diatur oleh penguasa moneter, baik dalam berbagai jenis undang-undang maupun peraturan dengan maksud untuk menciptakan bank yang sehat, agar kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat luas kepada bank untuk menyimpan dananya terlindungi. II.1 Kredit. II.1.1 Pengertian. Menurut Undang-Undang (UU) no.7 tahun 1992 tentang Pokok-pokok Perbankan dan telah diubah dengan UU no.10 tahun 1998, pengertian Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan atau bunga. Selain dari undang-undang ada juga hal yang mendasari landasan teori bagi skripsi ini, yaitu Peraturan Gubernur Bank Indonesia no.6/10/2004 tahun 2004 mengenai tingkat kesehatan bank menyatakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian kuantitatif dan atau penilaian kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, 9
rentabilitas, likuiditas dan sensitivitas terhadap resiko pasar. Penilaian kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan dan proyeksi rasio-rasio keuangan bank. Sedangkan penilaian kualitatif berkaitan dengan penilaian terhadap faktor-faktor yang mendukung hasil penilaian kuantitatif, penerapan manajemen resiko dan kepatuhan bank. Perkembangan industri perbankan, baik dibidang pencarian dana (funding) maupun penyaluran dana (lending), terutama produk dan jasa semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko. Perubahan eksposur risiko bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko yang selanjutnya berakibat pada kondisi bank secara keseluruhan. Perkembangan metodologi penilaian kondisi bank senantiasa bersifat dinamis, sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan bank perlu di-review secara periodik untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini. Tujuannya adalah agar lebih mencerminkan kondisi bank saat ini dan di waktu yang akan datang. Dalam konteks ini Bank Indonesia senantiasa melakukan perbaikan kembali terhadap sistem penilaian tingkat kesehatan yang meliputi penyempurnaan pendekatan penilaian kualitatif dan kuantitatif. Bagi perbankan terutama bank yang bersangkutan hasil akhir penilaian kondisi bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha diwaktu yang akan datang. Pada era bisnis perbankan saat ini, menurut Sastradipoera K. (2004, p168) pada konsep dan implementasi untuk bersaing, pengertian kredit bagi perusahaan perbankan merupakan salah satu kegiatan dalam menerapkan strategi dengan memperhatikan segmen usaha calon debitur. Bagi calon debitur yang mempunyai segmen usaha yang sudah jenuh dalam dunia perekonomian, berisiko menyebabkan pengembalian kurang 10
lancar, maka bank harus menghindari pembiayaan kredit untuk segmen usaha ini untuk tidak mengganggu struktur modal bank. II.1.2 Unsur-unsur kredit. Kasmir (2007) menyatakan bahwa Unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut: a. Kepercayaan. Merupakan suatu keyakinan dari pemberi kredit (bank) bahwa kredit yang diberikan debitur berupa uang, barang dan jasa akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu di masa depan. b. Kesepakatan. Kesepakatan dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak (kreditur dan debitur) menanda-tangani hak dan kewajibannya. Pada kesepakatan ini, dituangkan pernyataan yang menyangkut barang jaminan (collateral) debitur yang harus diserahkan kepada kreditur, jangka waktu, besarnya angsuran pokok, bunga yang harus dibayar debitur dan biaya-biaya manajemen pengelola kredit (fees) seperti: penilaian agunan, provisi, notaris dan yang lainnya. Perjanjian Kesepakatan ini dapat dibuat didepan Notaris (terutama untuk kredit dengan pagu yang nominalnya besar), ditanda-tangani oleh pejabat bagian/divisi kredit bank, debitur dan Notaris yang terkait, dengan demikian mempunyai kesepakatan ini mempunyai kekuatan hukum; sebaliknya ada kesepakatan yang hanya ditanda-tangani oleh pejabat bagian/divisi kredit bank dan debitur saja karena pagu kredit nominalnya tidak terlalu besar.
11
c. Jangka waktu. Setiap kredit yang diberikan pasti memiliki jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini mencakup masa pengembalian nominal kredit yang telah disepakati. Jangka waktu ini sering dikenal sebagai maturity; dengan demikian kredit dapat digolongkan sebagai kredit jangka pendek (jangka waktu pengembalian kurang dari sampai satu tahun), kredit jangka menengah (jangka waktu satu sampai tiga tahun) dan kredit jangka panjang (jangka waktu lebih dari tiga tahun). Pada kredit jangka pendek termasuk disini jenis kredit konsumsi. d. Resiko. Faktor resiko kerugian dapat diakibatkan dua hal, yaitu: resiko kerugian yang mengakibatkan nasabah sengaja tidak mau membayar kreditnya padahal mampu dan resiko kerugian yang diakibatkan karena nasabah tidak sengaja yaitu akibat terjadinya musibah. Hal yang terakhir ini dapat menyebabkan kredit macet (bad debts). e. Balas Jasa. Akibat dari pemberian fasilitas kredit bank tentu mengharapkan suatu keuntungan dalam jumlah tertentu. Keuntungan atau pemberian suatu kredit atau jasa tersebut biasanya dikenal dengan nama bunga bagi bank yang berprinsip komersiil. Balas jasa dalam bentuk bunga, biaya provisi dan komisi serta biaya administrasi kredit merupakan keuntungan utama bank.
12
II.1.3. Komponen-komponen yang menentukan Bunga Kredit Kasmir (2007) menyatakan bahwa ada beberapa komponen dalam menentukan suku bunga kredit, yaitu sebagai berikut : a. Total Biaya Dana (cost of fund). Merupakan biaya yang diperoleh simpanan (funding) nasabah setelah ditambah dengan cadangan wajib (reserve requirement) yang ditetapkan pemerintah. Biaya dana tergantung dari seberapa besar bunga yang ditetapkan bank; untuk memperoleh dana melalui produk simpanan. Semakin besar atau mahalnya bunga yang dibebankan kepada nasabah, maka semakin tinggi pula biaya dananya. b. Laba yang diinginkan (interest income). Merupakan laba atau keuntungan yang ingin diperoleh bank sebagai kreditur, biasanya dinyatakan dalam presentase tertentu. Penentuan besarnya laba juga sangat mempengaruhi besarnya bunga kredit. Dalam hal ini biasanya bank disamping melihat kondisi pesaing juga melihat kondisi nasabah apakah nasabah utama atau bukan dan juga sektor-sektor yang dibiayai, misalnya jika proyek pemerintah untuk pengusaha kecil, maka labanya berbeda dengan komersiil. c. Cadangan resiko kerugian perkreditan (reserve for loan losses). Merupakan cadangan terhadap macetnya kredit yang telah diberikan, karena setiap kredit yang diberikan pasti mengandung suatu risiko tidak terbayar. Risiko ini dapat timbul baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu pihak bank perlu mencadangkannya sebagai sikap bersiaga menghadapinya. Setiap kali cadangan ini dibentuk, pasti akan mempengaruhi modal bank.
13
d. Biaya operasi. Biaya operasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya. Biaya ini terdiri dari: biaya gaji pegawai, biaya administrasi, biaya pemeliharaan dan biaya-biaya lainnya. d. Pajak. Yaitu pajak yang dibebankan pemerintah kepada bank yang memberikan fasilitas kredit kepada nasabahnya sesuai ketentuan yang berlaku. II.1.4. Ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit. Sebagaimana telah diuraikan dimuka, kredit merupakan earning assets yang penuh dengan risiko. Pemusatan pemberian kredit kepada satu nasabah baik individual maupun korporasinya akan memberikan berbagai dampak negatif bagi bank yang bersangkutan. Pemberian kredit kepada banyak nasabah akan memberikan manfaat penyebaran risiko dari portofolio kredit yang dimiliki oleh bank yang bersangkutan. Dengan demikian sebenarnya tanpa adanya ketentuan dari otoritas moneter yang menyangkut batas maksimum pemberian kredit tersebut, seharusnya setiap bank sudah harus melaksanakan diversifikasi didalam pemberian kreditnya. Dalam rangka pelaksanaan diversifikasi pemberian kredit tersebut, bank dapat mengalokasikan pada sektor-sektor yang memiliki Industrial Risk Ratio (IRR) yang rendah atau merupakan upaya bank untuk menghindari jangan sampai kreditnya dimonopoli oleh satu nasabah atau satu group. Hal ini merupakan salah satu unsur dari prudential banking policy yang digariskan oleh Bank Indonesia. Selain itu, Muljono, T.P. (1999, p23) menyatakan bahwa konsentrasi pemberian kredit kepada satu nasabah atau satu group korporasi akan memungkinkan timbulnya
14
kriminalitas perekonomian. Karena pada prinsipnya bank mengumpulkan/mencari dana dari masyarakat luas namun menyalurkan kreditnya hanya pada satu nasabah atau satu group korporasinya. Hal ini dapat menimbulkan juga kesenjangan sosial; sehingga fungsi bank sebagai agent of development akan sulit terwujud. II.1.5. Penilaian Kredit. Muljono, T.P. (1999, p63-65) menyatakan bahwa pengertian penilaian kinerja pada bagian/divisi kredit bank adalah suatu penilaian yang dilakukan secara sistematis, mandiri (independence), obyektif dengan berorientasi ke masa depan. Kegiatan penilaian kredit merupakan penerapan dari kebijakan atau keputusan manajemen didalam mengelola sumber daya dan dana yang dipercayakan kepada pada bagian/divisi kredit bank dalam rangka meningkatkan profitabilitas maupun pencapaian tujuan lainnya, serta untuk meningkatkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang lebih baik. Analisa Performance Perkreditan akan digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen di bank dalam kesehatan pengelolaan perkreditan yang ada. Rasio dalam kelompok ini mengukur secara kuantitatif perkreditan bank. Dimana rasio-rasio berikut ini bertujuan menilai aspek rentabilitas, risiko efisiensi, dan solvabilitas bank tersebut berkaitan dengan pemberian kreditnya. II.1.6. Upaya Manajemen dalam meningkatkan Penilaian Kredit. Muljono, T.P (1999) menyatakan apabila performance perkreditan bank tidak mampu mencapai mencapai target kuantitas atau rate growth yang tinggi dan market share yang luas; minimal bagian/divisi kredit bank harus dapat mempertahankan kualitas kredit yang baik. Beberapa strategi dapat diformulasikan kepada pihak manajemen melalui beberapa kemungkinan, yaitu: 15
a. Perbaikan Perencanaan Kredit. Performance kredit yang kurang baik dapat terjadi karena tidak baiknya perencanaan kredit itu sendiri, terutama yang menyangkut volume atau target produk perkreditan yang harus dijual tidak dikemas secara baik. b. Kegiatan Pemasaran Kredit. Aktivitas pemasaran pasif, hanya menunggu nasabah datang ke bank; performance perkreditan tidak optimal. Para account officer untuk produk-produk lending harus aktif terjun ke masyarakat baik dalam bentuk kunjungan maupun melalui telepon/ telemarketing hendaknya dipantau oleh supervisor dan manajer untuk suksesi pemasaran kredit dengan konsep yang sejalan dengan visi dan misi bank. c. Alokasi Kredit. Segmen usaha yang dipilih sesuai dengan ciri-ciri apakah konsentrasi ke bisnis retail, kredit umum atau kredit investasi dengan memperhatikan batas maksimum pemberian kredit yang ditetapkan oleh Bank Indonesia bagi usaha korporasi. Disamping itu, pengendalian internal dan satuan kerja audit intern juga harus selalu memperhatikan rasio loan to deposit di setiap cabang dan di kantor pusat, dengan mengingat hubungan antara credit risk dan industrial risk. d. Anggaran Kredit. Siamat
D.
(2005,
p354)
menyatakan
bahwa
bagian/divisi
kredit
bank
mengalokasikan sesuai dengan kebijakan manajemen aktiva-pasiva untuk tidak menimbulkan dilema dalam memenuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan baik oleh direksi ataupun pengurus bank yang bersangkutan maupun oleh otoritas moneter.
16
e. Pendelegasian Wewenang Direksi secara operasional sesuai kebijakan menjamin keseragaman pengambilan keputusan kredit dengan menetapkan wewenang pemberian kredit kepada pejabatpejabat individu sesuai dengan kematangan (senioritas) dan pengalamannya di bidang perkreditan sangat bervariasi; termasuk kepala cabang, kelompok-kelompok dan komite kredit yang ada di bank. Semakin senior posisi pejabat semakin besar wewenang jumlah kredit yang dapat diputuskan dibandingkan dengan pejabat yang masih menempati posisi yunior. f. Komite Kredit dan Keanggotaannya. Memiliki tugas untuk meneliti dan menganalisa semua permohonan kredit yang plafonnya melebihi batas maksimum wewenang pemutusan persetujuan masingmasing pejabat; baik untuk permohonan kredit baru, perpanjangan kredit maupun untuk keputusan tindak-lanjut terhadap kredit macet. Kebijakan perkreditan harus menjelaskan secara rinci mengenai komposisi, tanggung-jawab dan frekuensi rapat komite audit. Bagi bank yang besar struktur komite kredit ini tergantung dari tingkat spesialisasi dalam proses pemberian kredit dan kapabilitas anggota-anggotanya. Bagi bank yang kecil biasanya terdiri dari direktur kredit, pejabat senior dari kantor pusat dan kepala bagian/divisi kredit. g. Proses seleksi Kredit yang sehat. Muljono, T.P. (1999, p311) menyatakan Kualitas Kredit yang diberikan oleh suatu bank, juga tergantung kualitas analis kredit, proses keputusan pemberian kredit itu sendiri serta kualitas pelaksanaan pencairan kredit (loan draw down), disini artinya kelengkapan dokumen kredit harus dilengkapi. Contohnya ada debitur yang
17
mendapat dua fasilitas: yaitu demand loan dan pinjaman rekening koran. Account Officer mengamati bahwa setiap pembayaran angsuran pokok dan bunga dari demand loan, selalu diambil dari pinjaman rekening koran dan seringkali melakukan cerukan. Maka pada saat kunjungan ketempat usahanya, Account Officer harus melakukan pembicaraan hal ini kepada debitur dan sekembalinya melapor kepada atasannya hal apa yang harus dilakukan terhadap kasus ini, sebelum terjadinya kredit kurang lancar.
II.1.7. Komponen Perhitungan Penilaian Kredit. Ada beberapa versi rumus rasio yang dapat digunakan untuk mengukur performance perkreditan bank, yaitu : II.1.7.1. Rate of Return On Loan. Muljono, T.P. (1999, p125) menyatakan bahwa Rate of Return On Loan merupakan perbandingan antara pendapatan kredit (Interest and Fee on Loans) dengan pinjaman (Total Loans). Kegunaannya : Rasio ini mengukur kemampuan bank dalam mendapatkan penerimaan (income) dari pemberian kreditnya. Semakin besar nilai rasio ini akan semakin baik performance
perkreditan
bank
karena
semakin
besar
pendapatan
kreditnya
(mendapatkan bunga dan provisi bank) per unit yang diberikan oleh bank. Kasmir (2007, p282) menyatakan bahwa Rate of Return On Loan digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam mengelola kegiatan perkreditannya. Rumus : Rate of Return On Loan =
Interest and Fees on Loans Total Loans
18
II.1.7.2. Interest Margin on Loan Muljono, T.P. (1999, p126) menyatakan bahwa Interest Margin on Loan yaitu perbandingan marjin bunga (selisih dari Interest Income terhadap Interest Expense) dengan Pinjaman (Total Loans). Kegunaannya : Rasio ini untuk menghitung Marjin Bunga yang diperoleh per unit kredit yang diberikan bank. Semakin besar nilai rasio ini akan semakin besar Margin Bunga dan akan baik pengelolaan kredit di bank. Rumus : Interest Margin on Loan =
Interest Income - Interest Expense Total Loans
II.1.7.3. Credit Risk Ratio. Muljono, T.P. (1999, p126) menyatakan bahwa Credit Risk Ratio yaitu perbandingan Kredit Macet (Bad Debts) dengan Pinjaman (Total Loans). Kegunaannya : Rasio ini memberikan indikasi porsi dari Kredit Macet dalam keseluruhan kredit serta memungkinkan gagalnya pengembalian kredit karena kredit tersebut Macet. Semakin kecil rasio ini akan semakin baik pengelolaan kredit dalam bank karena makin kecil kemungkinan gagalnya pemberian kredit itu. Kasmir (2007, p274) juga menyatakan bahwa Credit Risk Ratio merupakan rasio untuk mengukur risiko terhadap kredit yang disalurkan dengan membandingkan kredit macet dengan jumlah kredit yang disalurkan. Rumus : Credit Risk Ratio
=
Bad Debts Total Loans
19
II.1.7.4. Interest Risk Ratio. Muljono, T.P. (1999) menyatakan bahwa Interest Risk Ratio membandingkan Pendapatan Kredit (Interest Income) dengan Beban Kredit (Interest Expense). Kegunaannya : Rasio ini menunjukkan perbandingan bunga yang diterima dengan bunga yang dikeluarkan dalam rangka pemberian kredit. Semakin besar rasio ini maka semakin baik pengelolaan kredit tersebut karena makin lebih besar pendapatan kredit dibandingkan beban atau biayanya. Rumus : Interest Risk Ratio
=
Total Interest Income Total Interest Expense
II.1.7.5. Capital Ratio. Muljono, T.P. (1999, p127) menyatakan bahwa Capital Ratio merupakan perbandingan dengan modal (Equity Capital) dengan Pinjaman (Total Loans). Kegunaannya : Rasio ini menunjukkan besarnya modal yang dapat dipergunakan untuk menutupi kegagalan perkreditan. Semakin besar rasio ini maka semakin baik performance perkreditan bank karena semakin aman dengan membesarnya porsi modal sendiri. Kasmir (2007, p277) menyatakan bahwa Capital Ratio merupakan rasio untuk mengukur permodalan dan cadangan penghapusan dalam menanggung perkreditan, terutama risiko yang terjadi karena pokok pinjaman dan bunganya gagal ditagih. Rumus : Capital Ratio
=
Equity Capital Total Loans
20
II.1.7.6. Banking Ratio. Muljono, T.P. (1999, p130) menyatakan bahwa Banking Ratio yaitu perbandingan antara Pinjaman (Total Loans) dengan Simpanan Pihak Ketiga (Total Deposit). Kegunaannya : Rasio ini untuk mengetahui kemampuan bank untuk membayar kembali kewajibannya kepada Deposan dengan menarik kembali kredit-kredit yang telah diberikan oleh debiturnya. Semakin besar berarti semakin baik performance kredit karena semakin besar dan yang dipinjamkan. Kasmir (2007, p269) menyatakan bahwa Banking Ratio bertujuan untuk mengukur tingkat likuiditas bank dengan membandingkan jumlah kredit yang disalurkan dengan jumlah deposit yang dimiliki. Semakin tinggi risiko ini, maka tingkat likuiditaas bank semakin rendah, karena jumlah dana yang digunakan untuk membiayai kredit semakin kecil, demikian pula sebaliknya. Rumus : Banking Ratio
=
Equity Capital Total Deposits
II.1.7.7. Loans to Assets Ratio. Muljono, T.P. (1999, p131) menyatakan bahwa Loans to Assets Ratio merupakan perbandingan antara Pinjaman (Total Loans) dengan Aktiva (Total Assets). Kegunaannya : Rasio ini mengukur kemampuan bank memenuhi permintaan kredit para debitur dengan aktiva yang tersedia. Semakin besar nilai rasio ini akan semakin baik performance perkreditan karena semakin besar komponen pinjaman yang diberikan dalam struktur total aktivanya.
21
Kasmir (2007, p270) menyatakan bahwa Loans to Assets Ratio merupakan rasio untuk mengukur jumlah kredit yang disalurkan dengan jumlah harta yang dimiliki bank. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin rendah tingkat likuiditas bank. Rumus : Loans to Assets Ratio =
Total Loans Total Assets
II.1.7.8. Provision for Loan Losses Ratio. Muljono, T.P (1999, p131) menyatakan bahwa Provision for Loan Losses Ratio yaitu perbandingan antara Cadangan Penghapusan Debitur Dubius (Provision for Loan Losses) dengan Pinjaman (Total Loans). Kegunaannya : Rasio ini mengukur kemungkinan kegagalan dalam pengelolaan kredit di bank. Semakin kecil rasio ini akan semakin baik performance perkreditan bank karena semakin kecil kemungkinan gagal akibat kredit yang macet. Rumus : Provision for Loan Losses Ratio =
Provision for Loan Losses Total Loans
II.1.7.9. Cost of Efficiency Ratio. Muljono, T.P. (1999, p132) menyatakan bahwa Cost of Efficiency Ratio yaitu perbandingan antara Cadangan Penghapusan Debitur Dubius (Provision for Loan Losses) dengan Pendapatan (Revenues). Kegunaannya : Rasio ini mengukur besarnya cadangan untuk kredit macet per satuan pinjaman. Semakin kecil rasio ini akan semakin baik performance perkreditan bank karena semakin kecil cadangan untuk kredit macet.
22
Kasmir (2007, p288) menyatakan bahwa Cost of Efficiency Ratio digunakan untuk mengukur efisiensi usaha yang dilakukan oleh bank. Atau untuk mengukur besarnya biaya bank yang digunakan untuk memperoleh earning asset. Rumus : Cost of Efficiency Ratio =
Provision for Loan Losses Revenues
II.1.8. Kredit Macet. Hampir setiap bank pernah mengalami dan mengelola kredit macet. Faktorfaktor yang menyebabkan kemacetan suatu fasilitas kredit, antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: pertama pihak analis kredit kurang teliti dalam menentukan kelayakan usaha calon debitur, kedua saat memeriksa kebenaran fisik agunan dan keaslian dokumennya tidak mempunyai standar penilaian, ketiga analis kredit salah dalam melakukan perhitungan rasio-rasio laporan keuangan calon debitur yang tersedia (mungkin belum di-audit oleh Akuntan Publik). Akibatnya apa yang seharusnya menjadi pendapatan bagi bank (revenue) meleset karena tidak diprediksi sebelumnya. Kemacetan suatu kredit juga dapat terjadi akibat conflict of interest, yaitu adanya kolusi dari pihak analis kredit atau pejabat lain pada bagian/divisi kredit bank dengan calon debitur sehingga analisis yang dibuat sebelum kredit dikucurkan dilakukan secara tidak obyektif. Hal-hal sebagaimana telah dijelaskan tersebut mempengaruhi Performance Perkreditan suatu bank. Dari Analisa Performance Perkreditan, akan dapat digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen di bank dalam kesehatan pengelolaan perkreditan yang ada.
23
II.2 Fee Based Income. Siamat D. (2005, p213) menyatakan pengertian fee based income
yaitu
perbandingan antara Pendapatan Operasional di luar Pendapatan Bunga dengan Pendapatan Operasional. Fee Based Income dikelola oleh bank dengan prinsip kehati-hatian dengan memperhatikan faktor resiko. Rumus :
Fee Based Income
=
Pendapatan Operasional di luar Pendapatan Bunga Pendapatan Operasional
II.3. Analisa Return on Equity II.3.1. Pengertian Return on Equity. Menurut Riyanto (2003, p78), ROE adalah kemampuan dari modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham preferen dan saham biasa. ROE menggambarkan besarnya perolehan
atas modal yang ditanamkan atau
kemampuan modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham preferen dan saham biasa. Lawrence (2006) menyatakan : “The return on common equity (ROE) measure the return earned on the common stockholder’s investment in the firm. Generally, the higher this return, the better off are the owners.” Return on Equity adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia bagi pemegang saham perusahaan. Return on Equity mengukur kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba yang tersedia
24
bagi pemegang saham perusahaan. Rasio ini dipengaruhi oleh besar kecilnya utang perusahaan, apabila proporsi utang makin besar maka rasio ini juga makin besar. Munawir (2002, p105) menyatakan rentabilitas modal sendiri sama dengan return on equity, juga Kasmir (2007, p280) menyatakan bahwa return on equity merupakan rasio yang kegunaannya untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola capital (ekuitas pemegang saham) yang ada untuk mendapatkan net income. II.3.2 Perumusan Return on Equity Rumus yang digunakan adalah : Rumus : Return on Equity
=
Net Income Shareholder’s Equity
25