9
BAB II
KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS
2.1
Posyandu
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan dan memberikan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar sehingga mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi yang merupakan tujuan utama dari posyandu. Tujuan khusus posyandu yaitu meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan mendasar (primary health care), meningkatkan peran lintas sektor, dan meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan mendasar. (Kemenkes, 2011)
Syarat berdirinya posyandu di suatu daerah meliputi jumlah penduduk, RW paling sedikit terdapat 100 orang balita, terdiri dari 120 Kepala Keluarga (KK), disesuaikan dengan kemampuan petugas dan jarak antara rumah dan jumlah KK dalam suatu tempat (Kemenkes, 2011). Sasarannya yaitu seluruh masyarakat terutama bayi, anak balita, ibu melahirkan, ibu nifas dan ibu menyusui, serta Pasangan Usia Subur (PUS). Kegiatan yang dilakukan di Posyandu terdiri dari kegiatan utama dan kegiatan pengembangan. Waktu pelaksanaan posyandu, dilaksanakan 1 (satu) bulan kegiatan, dengan waktu buka posyandu minimal satu
10
hari/bulan, sesuai dengan kesepakatan bersama wilayah tersebut. Kegiatan rutin posyandu diselenggarakan dan dimotori oleh kader dengan bimbingan teknis dari puskesmas.
Jumlah minimal kader untuk setiap posyandu adalah 5 (lima) orang. Jumlah ini mengacu pada sistem 5 meja (Kemenkes, 2006). Kegiatan yang dilaksanakan pada setiap langkah secara sederhana diuraikan sebagai berikut:
Tabel 2.1. Mekanisme Kegiatan Posyandu Langkah
Kegiatan
Pelaksana
Pertama
Pendaftaran
Kader
Kedua
Penimbangan bayi, anak balita dan ibu hamil
Kader
Ketiga
Pengisian KMS
Kader
Keempat
Penyuluhan per orangan berdasarkan KMS
Kader
Kelima
Pelayanan kesehatan (pemberian pelayanan
Kader atau kader bersama petugas kesehatan dan sektor terkait
imunisasi KB, pengobatan gizi, KIA)
Sumber : Depkes RI, 2006
Indikator yang digunakan dalam pengukuran pelaksanaan posyandu ini antara lain frekuensi kunjungan (penimbangan) setiap bulan, namun tidak semua posyandu dapat berfungsi setiap bulan sehingga frekuensinya kurang dari 12 kali setahun. Menurut Zulkifli (2003) posyandu dikatakan aktif, apabila frekuensi penimbangan di atas 8 kali setahun.
11
Perkembangan posyandu tidak sama, dengan demikian pembinaan yang dilakukan untuk setiap posyandu juga berbeda (Kemenkes,2011). Untuk mengetahui tingkat perkembangan posyandu, telah dikembangkan metode dan alat telaahan perkembangan posyandu yang dikenal dengan nama Telaah Kemandirian Posyandu yang bertujuan mengetahui tingkat perkembangan posyandu secara umum, dibedakan atas 4 tingkat sebagai berikut :
Tabel 2.2 Tingkat Perkembangan Posyandu Tingkat Posyandu Pratama
Posyandu Madya
Perkembangan Kriteria • • •
Posyandu yang masih belum mantap kegiatannya Kegiatan belum rutin setiap bulan kader aktifnya terbatas kurang dari 5 orang
•
Sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali pertahun jumlah kader tugas 5 orang atau lebih cakupan program utamanya masih rendah yaitu kurang dari 50%
• •
Posyandu Purnama
• • •
Posyandu yang frekuensinya lebih dari 8x setahun jumlah kader tugas 5 orang atau lebih cakupan 5 program utamanya lebih dari 50% sudah ada program tambahan bahkan mungkin sudah ada dana sehat yang masih sederhana
Posyandu Mandiri
• • •
Sudah dapat melaksanakan kegiatan secara teratur jumlah kader rata-rata 5 orang atau lebih cakupan 5 program utama sudah bagus, ada program tambahan dan dana sehat telah menjangkau lebih dari 50% KK.
Sumber : Kemenkes, 2011
12
Kurang berfungsinya posyandu berdampak pada rendahnya kinerja disebabkan oleh rendahnya kemampuan kader dan pembinaan dari unsur pemerintah kelurahan dan dinas/instansi/lembaga terkait berdampak pada rendahnya minat masyarakat memanfaatkan posyandu. Upaya revitalisasi posyandu telah dilaksanakan sejak krisis ekonomi timbul agar posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya, namun kinerja posyandu secara umum masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Sehingga, upaya revitalisasi posyandu perlu terus ditingkatkan agar mampu memenuhi kebutuhan pelayanan terhadap kelompok sasaran yang rentan (Kemendagri RI, 2001)
2.2
Pertumbuhan dan Perkembangan Balita
Menurut Rusmil (2006) , pertumbuhan yaitu bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler, bertambahnya ukuran fisik dan struktur yang dapat diukur, sedangkan perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks seperti kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara, sosialisasi serta kemandirian. Masa balita merupakan periode penting tumbuh kembang anak, yang memengaruhi dan menentukan perkembangan selanjutnya. Masa lima tahun pertama setelah anak lahir (bayi dan balita) yang merupakan masa yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis, maupun intelegensinya (Sulistijani,2001).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 155/Menkes/Per/I/2010 Tentang Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) Balita,
13
perubahan berat badan merupakan indikator yang sangat sensitif memantau pertumbuhan anak. Melakukan penimbangan setiap bulannya diharapkan gangguan pertumbuhan setiap anak dapat diketahui. Pemantauan
pertumbuhan
adalah serangkaian kegiatan yang terdiri dari :
1)
Penilaian pertumbuhan anak secara teratur melalui penimbangan berat badan setiap bulan, pengisian KMS, menentukan status pertumbuhan berdasarkan hasil penimbangan berat badan
2)
Menindaklanjuti setiap kasus gangguan pertumbuhan.
2.3
Partisipasi ibu balita
Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, memilih dan mengambil keputusan mengenai solusi alternatif untuk menangani yang pada umumnya dipandang sebagai suatu bentuk perilaku, salah satu bentuk perilaku kesehatan adalah partisipasi ibu balita dalam program Posyandu, adalah dengan membawa anak mereka untuk ditimbang berat badannya ke Posyandu secara teratur setiap bulan mulai umur 1 bulan hingga 5 tahun di posyandu. Penimbangan balita dikatakan baik apabila minimal empat kali anak balita ditimbang ke Posyandu secara berturut-turut selama enam bulan. (Depkes RI, 2006)
Bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk
14
partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Kontribusi partisipasi antara lain melalui manpower (tenaga), money (uang), material (seperti beras, gula, dan sebagainya), mind (idea atau gagasan) (Notoatmodjo, 2007).
Kemenkes (2011) menyebutkan bahwa dalam kegiatan posyandu, tingkat
partisipasi
masyarakat
disuatu
wilayah
diukur
dengan
melihat
perbandingan antara jumlah anak balita di daerah kerja posyandu (S) dengan jumlah balita yang ditimbang pada setiap kegiatan posyandu yang ditentukan (D). Angka D/S menggambarkan kecakupan anak balita yang ditimbang, ini merupakan indikator tingkat partisipasi masyarakat untuk menimbangkan anak balitanya. Hasil cakupan penimbangan merupakan salah satu alat untuk memantau gizi balita yang dapat dimonitor dari berat badan hasil penimbangan yang tercatat di dalam KMS.Kelengkapan sarana yang memadai merupakan salah satu penunjang dalam membantu kegiatan posyandu baik dari kader sendiri maupun pengguna posyandu.
Beberapa tahap yang dilakukan untuk mengajak dan menumbuhkan partisipasi masyarakat (Notoatmodjo,2007), yaitu :
a. Partisipasi dengan paksaan, artinya memaksa masyarakat untuk berkontribusi dalam suatu program, baik melalui perunadang-undangan, peraturan-peraturan maupun dengan perintah lisan. Pada umumnya cara ini akan lebih cepat hasilnya dan mudah namun dasarnya bukan kesadaran tetapi ketakutan sehingga masyarakat tidak akan mempunyai rasa memiliki terhadap program.
15
b. Partisipasi dengan persuasi dan edukasi, artinya suatu partisipasi yang didasari pada kesadaran, sulit diterapkan dan membutuhkan waktu yang lama, namun tercapai hasilnya akan mempunyai rasa memiliki dan rasa memelihara.
Partisipasi
ini
dimulai
dengan
penerangan,
pendidikan,
dan
sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara menimbulkan motivasi. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sangat diperlukan dalam rangka merangsang tumbuhnya motivasi.
2.3.1
Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi ibu balita
Faktor yang memengaruhi tindakan masyarakat dalam memanfaatkan posyandu, diantaranya faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, sosial ekonomi, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya), faktor pendukung (lingkungan fisik, tersedia atau tidak fasilitas atau sarana kesehatan), dan faktor penguat (sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain) (Notoatmodjo, 2010). Green dan Marshall (2005), mengatakan faktor penguat dapat bersifat positif atau negatif, tergantung dari sikap dan perilaku orang di lingkungan tersebut. Sebagai contoh, dalam program posyandu dimana yang menjadi penguat adalah lurah/kepala desa, petugas kesehatan/puskesmas, ketua PKK, ibu bayi/balita, ibu hamil/menyusui, yang dapat saling mempengaruhi. Salah satu dampak dari kurang aktifnya sarana pelayanan kesehatan seperti posyandu yaitu dapat mengakibatkan terjadinya kasus balita gizi buruk.
16
2.3.2
Wilayah Posyandu
Menurut teori Ronald M. Andersen (1995) dalam jurnalnya “Revisting the Behavioral Model and Access to Medical Care:Does It Matter?” , determinan perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam pola penggunaan pelayanan kesehatan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Selain itu, berdasarkan Jurnal Nutrition Education (2011), faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berperilaku.
Wilayah tempat tinggal merupakan bagian dalam jaringan sosial yang melibatkan keluarga, teman sebaya, dan lain sebagainya. Hubungan sosial ini sangat berpengaruh terhadap perilaku, sehingga dalam mempromosikan lingkungan yang mendukung mampu mengatasi masalah sosial (Contento, 2011)
Bila dilihat dari Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 Provinsi DKI Jakarta, wilayah Jakarta Pusat menduduki urutan pertama dari segi kepadatan penduduk yakni 18.779,94 Jiwa/Km2 .Pola permukiman di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan menggunakan pola permukiman mengelompok dengan bentuk melingkar mengikuti Setu/Danau Babakan dan dengan sifat pola persebaran kelompok permukiman menyebar. Filosofi dari pola permukiman Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan tidak terlihat disebabkan padatnya penduduk di permukiman ini. Penyebab padatnya penduduk dikarenakan faktor masyarakat di dalam hal membangun sebuah bangunan, masyarakat lebih
17
mementingkan nilai fungsi yang didasari oleh budaya dan kebutuhan primer tanpa melihat faktor lingkungan dan keindahan. (Moechtar, dkk, 2012)
2.3.3
Umur Ibu Balita
Istilah usia diartikan dengan lama waktu hidup terhitung sejak dilahirkan (Hoetomo, 2005). Ibu yang relatif muda cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehinnga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tuanya terdahulu. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya dan sebagai ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan anak (Hurlock, 1999). Umur akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang seiring dengan perkembangan fisik dan mental orang tersebut sehingga perilakunya akan semakin matang dengan bertambahnya umur yang didukung dengan bertambanhnya pengalaman (Kurnia, 2011).
Berdasarkan
hasil
kesimpulan
Kartini
dan
Asdhany
(2012),
mengemukakan bahwa sebanyak 66,7% ibu balita berusia 15-31 tahun berpartisipasi aktif dalam kegiatan posyandu.
2.3.4
Pendapatan Keluarga
Tingkat ekonomi sebuah keluarga ditentukan dengan besar pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan oleh sebuah keluarga. Keluarga yang tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dikatakan tingkat ekonomi tinggi
18
sedangkan keluarga yang masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya dikatakan tingkat ekonomi masih kurang (Zuhri,2010).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, persentase penduduk miskin di Jakarta semakin banyak sebesar 4,29%, hasil ini meningkat dibandingkan dengan hasil pendataan sebelumnya (3,61%).
Menurut pendapat dari seorang ahli bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah gaji, hasil pertanian, pekerjaan dari anggota keluarga. Pendapatan merupakan sumber pemasukan baik yang berupa uang, barangbarang, jasa dan kepuasan yang dapat dipakai oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya (Zuhri,2010). Mengacu pada ukuran kemiskinan yang digunakan Badan Pusat Statistik, yaitu konsep pemenuhan kebutuhan dasar, maka angka yang digunakan saat ini adalah sebesar Rp 267.408,00/orang/bulan untuk wilayah perkotaan (McKinsey,2012).
Kartini dan Asdhany ( 2012), menyatakan bahwa terdapat sebanyak 80,6% keluarga balita dengan pendapatan di atas Rp 939.756,00 yang aktif dalam berpartisipasi di Posyandu, penelitian ini dilakukan di Posyandu Kelurahan Cangkiran Kota Semarang. Beberapa penelitian empiris yang menyatakan bahwa kesehatan berbanding terbalik dengan kemiskinan, dimana ada kemiskinan maka masalah kesehatan akan semakin nyata terjadi. Kecenderungan yang terjadi di masyarakat miskin adalah kurang memperhatikan kesehatan mereka, yang berdampak pada rendahnya tingkat pemahaman akan pentingnya
19
kesehatan, penyebab lainnya yaaitu ketidakmampuan mendapatkan pelayanan kesehatan karena biaya yang tidak terjangkau. Pusat Pelayanan Kesehatan seperti Puskesmas maupun Posyandu merupakan lembaga yang dikonsepkan menjadi ujung tombak kesehatan masyarakat diharapkan dapat meningkatkan perannya untuk menyentuh lapisan masyarakat terbawah. (Razif, dkk, 2012)
2.3.5
Pendidikan Ibu Balita
Pendidikan adalah segala sesuatu hal guna membina kepribadian serta mengembangkan kemampuan manusia baik secara jasmani dan rohani yang berlangsung seumur hidup, dalam rangka pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (BPS,2013).Pendidikan dibagi menjadi 3 macam, yaitu pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan non formal. Pendidikan formal pada umumnya disebut dengan sekolah. Jenjang pendidikan formal terbagi atas:
1) Di bawah Sekolah Dasar : kategori ini adalah mereka yang belum menyelesaikan pendidikan SD atau tidak sekolah. 2) Sekolah Dasar : mereka yang telah menyelesaikan jenjang SD namun belum menyelesaikan SMP. 3) Sekolah Menengah Umum/sederajat : mereka yang telah menyelesaikan SMP/SLTP namun belum menyelesaikan SMA/sederajat
20
4) Sekolah Menengah Atas/sederajat : mereka yang telah menyelesaikan SMA/sederajat namun belum menyelesaikan sekolah pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. 5) Diploma 1/2/3 : mereka yang telah menyelesaikan Diploma namun belum menyelesaikan sekolah pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. 6) Sarjana : mereka yang telah menyelesaikan Sarjana.
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, orang tua dapat menerima segala informasi dari luar dengan baik (Soetjiningsih (1995). Notoatmojo
mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin mudah seseorang untuk menerima informasi sehingga pengetahuannya semakin baik. Kurnia (2011) meyatakan bahwa orang tua yang berpendidikan rendah akan sulit beradaptasi dengan situasi dan kondisi dari kegiatan yang dilaksanakan sehingga dapat mempengaruhi dalam kegiatan pelaksanaan Posyandu. Sejalan pula dengan teori bahwa ibu dengan pendidikan yang rendah masih sering ditemui, hal tersebut menyebabkan penyimpangan terhadap keadaan tumbuh kembang dan status gizi anak terutama pada anak usia balita (Sudiyanto dan Sekartini, 2005).
2.3.6
Status Bekerja Ibu Balita
Menurut Khalimah (2007) dalam Kurnia (2011), kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Seseorang bekerja karena ada sesuatu
21
yang hendak dicapainya dan harapan bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada sesuatu keadaan yang lebih memuaskan dalam upaya pemenuhan kebutuhan. Pekerjaan memilki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi da berkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan. Hal tersebut sesuai menurut Khomsan (2007) bahwa pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga dengan adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatannya setiap bulan. Seseorang yang mempunyai pekerjaan dengan waktu yang cukup padat akan mempengaruhi ketidakhadiran dalam pelaksanaan Posyandu. Orang tua yang bekerja akan tidak mempunyai waktu luang, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi aktivitas pekerjaan orang tua semakin sulit datang ke Posyandu.
2.3.7
Jarak Tempuh dari Rumah ke Posyandu
Jarak tempuh adalah ukuran jauh dekatnya dari rumah atau tempat tinggal seseorang ke Posyandu dimana adanya kegiatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di wilayahnya. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2002) dalam Kurnia (2011), jarak adalah ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat yaitu jarak antara rumah denga tempat Posyandu.
Posyandu yang terjangkau semua pengguna dengan jalan kaki dapat mendukung posyandu berjalan dengan baik sehingga mewujudkan pelayanan gizi menjadi efektif (Sumarno, 2006). Menurut Effendy (1997) dalam Kurnia (2011),
22
letak Posyandu sebaiknya berada di tempat yang mudah didatangi oleh masyarakat, ditentukan lokal sendiri, atau dapat dilaksanakan di rumah penduduk, balai rakyat, pos rukum tetangga (RT) atau rukun warga (RW) atau pos lainnya. Hal ini agar jarak Posyandu mudah dijangkau sehingga memudahkan masyarakata untuk menimbang anaknya sebagaimana diungkapkan Kartini dan Asdhany (2012),mengemukakan bahwa semakin dekat jarak tempuh rumah dengan tempat penyelenggaraan posyandu, maka akan semakin banyak masyarakat yang memandaatkan posyandu.
2.3.8
Kehadiran Petugas Kesehatan
Pada setiap posyandu yang berjalan lancar dan teratur selalu ada tokoh motor penggerak posyandu secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan puskesmas dan bidan desa merupakan motivasi yang penting bagi kader dan masyarakat. Pelayanan kesehatan berupa pengobatan sederhana, ada pemberian makanan tambahan yang teratur dan menarik, insentif kader dan dukungan dari tokoh masyarakat (Sumarno, 2006).
2.4
Studi Penelitian terkait
Hasil penelitian Kartini dan Asdhany (2012), mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi ibu dalam kegiatan posyandu maka semakin baik pula status gizi balita berdasarkan BB/U. Angka partisipasi yang aktif ke Posyandu di beberapa wilayah juga merupakan indikator yang menunjukkan belum mencapai target yang diharapkan. Hasil penelitian Yuryanti pada tahun
23
2010 dalam Kurnia (2011) yang dilakukan di Batam dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kunjungan Ibu Balita ke Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Pancur Kota Batam” menunjukkan angka partisipasi aktif masyarakat sebesar 47%. Hasil berbeda dikemukakan penelitian Sambas (2002) dalam Kurnia (2011) di Kelurahan Bojongherang Kabupaten Cianjur yaitu didapatkan 57,7% ibu balita yang berpartisipasi aktif ke Posyandu. Penelitian Soeryoto (2001) di Kecamatan Jurai Kabupaten Pesisir Selatan mendapatkan proporsi ke Posyandu dengan cakupan lebih rendah yaitu 48,1% daripada di Kelurahan Sukasari Kota Tangerang.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi ibu ke posyandu berdasarkan beberapa hasil penelitian antara lain menurut Raharjo (2000), dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara Karakteristik Ibu dan Keaktifan Menimbangkan Anak di Posyandu Desa Jendi Kecematan Selogiri Kabupaten Wonogiri”, faktor yang berhubungan dengan keaktifan ibu dalam menimbangkan anaknya di posyandu adalah pendidikan ibu, pengetahuan ibu, status pekerjaan dan jumlah tanggungan keluarga.
Menurut Yudianingsih (2005), dalam penelitiannya yang berjudul ”Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kehadiran Ibu Menimbangkan Anaknya di Posyandu Desa Nambangan Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri” mengatakan variabel tingkat pendidikan, pekerjaan,
keterlibatan
dalam organisasi masyarakat, pengetahuan ibu, jumlah penyuluhan perorangan
24
dimeja 4, jumlah anak, dan umur anak yang berhubungan dengan kehadiran ibu menimbangkan anaknya di posyandu.
Hasil penelitian Yamin (2003) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara umur ibu dengan pemanfaatan pelayanan Posyandu Baita, yang menunjukkan bahwa ibu balita yang berusia > 30 tahun memiliki tingkat pemanfaatan posyandu baik dibandingkan dengan kelompok usia ibu ≤ 30 tahun sejalan dengan penelitian Anderson dan Andersen (1972) dalam Kurnia (2011) mengenai penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan lebih banyak dimanfaatkan oleh orang yang berusia sangat muda (anak-anak) dan berusia tua.
Hasil penelitian Lestari (2009) menyatakan hal yang sama bahwa terdapat hubungan bermakna untuk umur ibu balita (p= 0,016), untuk pendidikan ibu balita (p= 0,032), pekerjaan ibu balita (p= 0,0001), untuk sikap ibu balita (p= 0,0001), dan untuk hubungan antara pengetahuan ibu balita dengan kunjungan balita dalam kegiatan posyandu (p= 0,013).
Hasil penelitian Mulyati (2010) menunjukkan bahwa terhadap hubungan bermakna antara sikap, perilaku dan pendidikan responden terhadap kepatuhan kunjungan ibu balita sedangkan untuk variabel umur tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan rata-rata responden berusia di bawah 28 tahun dengan angka partisipasi rata-rata 56,1%. Kunjungan Ibu ke Posyandu pada hasil
25
penelitian Jannah (2010) tidak dipengaruhi oleh usia ibu balita, namun dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan pengetahuan.
Analisis Semba (2007) di Ethiopia mendapatkan adanya perbedaan nyata cakupan kapsul vitamin A dengan pendidikan ibu dan ayah. Grover (2008) di Kamboja dan Semba (2010) di Bangladesh hanya mengemukakan bahwa pendidikan ibu berperan dalam cakupan kapsul vitamin A di posyandu.
Sejalan dengan hasil penelitian Semba dan Grover, hasil penelitian Fitriani (2010)
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang tidak bermakna
antara pendidikan ibu dengan kunjungan aktif ke posyandu di wilayah kerja poskesdes Segayam Kecamatan Pemulutan Selatan. Hal tersebut sejalan juga dengan hasil penelitian Handayani pada tahun 2010 yaitu bahwa faktor pendidikan tidak memiliki hubungan partisipasi ibu balita di posyandu. Dalam penelitian Anderson and Andersen (1972) dan Aday and Eichhorn (1972) bahwa seseorang yang mendapat pendidikan formal biasanya lebih banyak mengunjungi ahli kesehatan (Greenly, 1980) dalam Kurnia (2008). Hasil penelitian serupa dilakukan di Nova Scovia Amerika menunjukkan bahwa penduduk berpendidikan lebih rendah lebih banyak mengunjungi pelayanan kesehatan sebanyak 49% daripada yang berpendidikan lebih tinggi (OR 1,49;1,24-1,79) (Mahmud, 2009).
Penelitian Sambas (2002) yang menyatakan bahwa ibu balita yang tidak bekerja berpeluang baik untuk berkunjung ke Posyandu dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian kualitatif di
26
Kota Denpasar yang dilakukan Widiastuti (2006), ditemukan bahwa ibu yang bekerja menyebabkan tidak membawa anaknya ke Posyandu untuk di timbang. Sebuah penelitian oleh Tuti Pradianto tantang faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakhadiran Ibu Balita dan Penggunaan Posyandu di Kecamatan Bogor Barat (1989) membuktikan bahwa ada faktor pekerjaan (status pekerjaan) ibu berhubungan signifikan dengan penggunaan Posyandu (Sudarti, 2008). Penelitian yang dilakukan di Nova Scotia Amerika menunjukkan bahwa pada kelompok sosio-ekonomi tinggi lebih banyak mengunjungi pelayanan dokter daripada sosioekonomi yang lebih rendah. Penduduk dengan pendapatan yang lebih rendah beresiko sebanyak 43% dengan nilai OR 1,43; 1,12-1,84 daripada sosio-ekonomi yan lebih tinggi.
Dari beberapa hasil penelitian, bahwa faktor jarak ternyata memberikan kontribusi terhadap seseorang dalam melakukan suatu tindakan, seperti yang dikemukakan dalam hasil penelitian Sambas (2002) bahwa responden yang jarak tempuhnya dekat dari rumah ke Posyandu (<10 menit) berpeluang baik untuk berkunjung ke Posyandu dibandingkan yang jarak tempuhnya jauh (≥ 10 menit). Sebanyak 50% ibu balita berpartisipasi tidak aktif di posyandu beralasan menjangkau Posyandu dengan jarak sedang (50-100meter). Menurut hasil penelitian Kartini, dan Ashdhany (2012) bahwa semakin dekat jarak tempuh posyandu maka akan semakin banyak ibu balita yang hadir dalam pelaksanaan posyandu.
27
Menurut hasil penelitian Widiastuti (2006), pelayanan dari petugas kesehatan menjadi salah satu daya tarik bagi ibu balita untuk membawa anaknya berkunjung ke posyandu. Posyandu yang tidak dihadiri petugas kesehatan menyebabkan ibu enggan membawa anaknya berkunjung ke posyandu. Faktorfaktor yang mendorong masyarakat dalam berpartisipasi dalam kegiatan posyandu(Lestari, 2006) adalah selain hal tersebut sudah menjadi tradisi yang rutinitas, kesehatan balita mereka menjadi perhatian utama. Namun sebagai penghambat pelaksanaan program tersebut adalah masih rendahnya tingkat mayoritas masyarakat, di samping itu juga para tenaga ahli kesehatan tidak memberikan pelayanan yang lebih responsif terhadap masyarakat. Hal ini juga salah satunya diakibatkan oleh masih rendahnya wawasan dan pendidikan para tenaga ahli.
Faktor lain yang mendukung partispasi masyarakat antara lain, keaktifan kader, jumlah anak, persepsi ibu balita terhadap kader, kelengkapan posyandu. Seperti yang diutarakan oleh Widiastuti (2006) bahwa posyandu yang mempunyai kader yang berumur lebih muda, berpengetahuan tinggi, mempunyai persepsi yang baik terhadap tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan sarana serta mempunyai
motivasi
yang
tinggi
mempengaruhi
penimbangan balita di posyandu (D/S).
tingkat
pemanfaatan
Eddy (2000) menyatakan bahwa
kemampuan ataupun keterampilan kader mempunyai hubungan paling kuat dengan cakupan penimbangan balita. Penelitian Sambas (2002) juga ditemukan terdapat hubungan yang bermakna antara pembinaan dari kader dengan kunjungan ibu-ibu anak balita ke Posyandu. Penelitian lainnya dilakukan oleh Tuti Pradianto
28
(1989) tentang Faktor-faktor Yang mempengaruhi Ketidakhadiran Ibu Balita dalam Penggunaan Posyandu di Kecamatan Bogor Barat, membuktikan bahwa persepsi ibu tentang perilaku kader merupakan faktor yang memudahkan ibu dalam menimbangkan anaknya ke Posyandu. Grover (2008), Cakupan vitamin A anak pertama atau kedua di daerah kumuh New Delhi lebih tinggi secara nyata dibanding anak nomor tiga atau lebih.
Berdasarkan
hasil
penelitian
Handayani
(2011)
menunjukkan
pengetahuan, dan sikap ibu balita mempengaruhi partisipasi ibu membawa balita ke posyandu terhadap partisipasi aktif ibu balita di posyandu namun pendidikan tidak mempengaruhi partisipasi ibu balita dalam berpartisipasi aktif di posyandu.
29
2.5
Kerangka Berpikir
Pendekatan teori yang dipakai dalam mengamati partisipasi ibu untuk menimbangkan anaknya yang berusia 1-59 bulan ke posyandu adalah teori Lowren Green (1980). Teori ini menggambarkan bahwa perubahan perilaku kesehatan individu maupun sebuah masyarakat dapat dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu perilaku itu sendiri dan faktor diluar perilaku tersebut. Faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor yaitu ; faktor predisposisi, faktor pendukung (enabling factor), serta faktor pendorong (reinforcing factor). Peneliti ingin mengetahui perbedaan rata-rata partisipasi ibu balita berdasarkan letak wilayah posyandu. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa salah faktor yang dapat mempengaruhi perilaku ibu untuk menimbangkan anaknya ke posyandu, yaitu wilayah letak posyandu yang merupakan faktor lingkungan.
30
Bagan 2.1 Kerangka Teori Faktor Predisposisi - Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Pengetahuan - Ras/Suku - Status ekonomi
Faktor Pendukung - Jarak tempuh posyandu - Persepsi individu tentang pelayanan kesehatan - Sumber Daya Masyarakat - kelengkapan posyandu
Rata-rata Partisipasi (D/S) Pelayanan Posyandu
Faktor Pendorong - dukungan petugas kesehatan - kader - tokoh masyarakat.
Sumber : Modifikasi Teori Andersen (1995), Teori Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2005), dan Sudarti (2008)
31
2.6
Kerangka Konsep
Berdasarkan modifikasi teori Ronald M. Andersen (1995) dan teori Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2005), dan Sudarti (2008) terdapat 3 faktor yang yang berpengaruh terhadap perilaku
pemanfaatan pelayanan
kesehatan yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor kebutuhan. Faktor predisposisi yaitu setiap individu mempunyai ciri yang berbeda untuk menggunakan pelayanan kesehatan seperti umur, tingkat pendidikan. Faktor pendukung yaitu fasilitas kesehatan seperti jarak tempuh dari rumah ke Posyandu yang termasuk pendapatan keluarga, dan motivasi individu antara lain kehadiran petugas kesehatan yang termasuk dalam sumber daya masyarakat.
Berdasarkan kerangka teori diatas dengan segala keterbatasannya, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian yang akan menjadi acuan dalam
melakukan penelitian seperti di bawah ini. Uraian tersebut dapat
digambarkan seperti gambar di bawah ini :
32
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor-Faktor yang mempengaruhi :
-
pendidikan ibu
-
statusbekerja ibu balita
-
pendapatan keluarga
-
Jarak tempuh posyandu
-
dukungan petugas kesehatan
Partisipasi ibu balita menimbang berat badan anak di Posyandu
Letak wilayah : -
Wilayah A
-
Wilayah B
33
2.7
Hipotesis Penelitian
2.10.1
Ada perbedaan rata-rata partisipasi ibu balita berdasarkan letak wilayah posyandu di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa tahun 2013.
2.10.2
Ada perbedaan rata-rata partisipasi ibu balita berdasarkan usia ibu balita di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa tahun 2013.
2.10.3
Ada perbedaan rata-rata partisipasi ibu balita berdasarkan pendidikan ibu balita di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa tahun 2013.
2.10.4
Ada perbedaan rata-rata partisipasi ibu balita berdasarkan status bekerja ibu status bekerja ibu balita di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa tahun 2013.
2.10.5
Ada perbedaan rata-rata partisipasi ibu balita berdasarkan pendapatan keluarga di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa tahun 2013.
2.10.6
Ada perbedaan rata-rata partisipasi ibu balita berdasarkan jarak posyandu di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa tahun 2013.
2.10.7
Ada perbedaan rata-rata partisipasi ibu balita berdasarkan kehadiran petugas kesehatan di Puskesmas Kelurahan Duri Kepa tahun 2013.