BAB II KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Teori 1. Sinusitis a). Defenisi Sinusitis Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Paling sering ditemukan ialah sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang. Pada anak hanya sinus maksila dan sinus ethmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum. Gejala nyeri yang terjadi pada sinusitis itu sendiri tergantung dari letak sinus yang mengalami peradangan. Apabila yang terkena di frontalis maka nyeri yang dirasakan biasanya disekitar dahi, apabila yang terkena di sfenoidalis maka nyeri yang dirasakan berada disekitar tengkuk kepala belakang bagian dalam dan apabila nyeri yang terkena di ethmoidalis nyeri sering dirasakan didaerah belakang antara mata serta dahi, sedangkan jika nyeri yang dirasakan di bagian rahang atas dan gigi maka yang terkena adalah sinusitis maksilaris.
Nyeri pada sinusitis maksilaris berawal dari penebalan mukosa, selanjutnya
diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang
membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi pada sinus dan akan menekan dinding sinus yang bertulang sehingga menimbulkan rasa nyeri. b). Anatomi Fisiologi Pernafasan (1). Hidung Hidung merupakan rongga pertama yang dilalui udara dari luar. Di dalam rongga hidung terdapat rambut-rambut dan selaput lendir yang berguna untuk menyaring udara, menghangatkan suhu udara yang masuk ke paru-paru. Selaput lendir kaya akan pembuluh darah dan bersambung dengan faring dan dengan semua selaput lendir semua sinus yang mempunyai ke dalam rongga hidung. Di dalam rambut-rambut mengandung sel cangkir atau sel lendir yang dilapisi oleh epithelium silinder dan sel epitel. Sekresi dari sel itu membuat permukaan nares basah dan berlendir. Sewaktu udara masuk melalui hidung, udara di saring oleh bulubulu yang terdapat di dalam vestibulum, dan karena ada kontak dengan permukaan lendir yang dilaluinya maka udara menjadi hangat, dan oleh penguapan air dari permukaan selaput lendir menjadi lembab.
Hidung menghubungkan lubang-lubang dari sinus udara para-nasalis yang masuk ke dalam rongga-rongga hidung dan juga lubang-lubang naso-lakrimal yang menyalurkan mata dari mata ke dalam bagian bawah rongga nasalis kedalam hidung. Di
sekitar
hidung
terdapat
otot-otot
yang
dapat
menggerakkan hidung diantaranya : (a) Otot: M. Procerus, Origo: Os nasale, Cartilago nasi lateralis, Insersio: Kulit Glabella, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menarik turun kulit dahi dan alis mata. (b) Otot: M. Nasalis, Origo: Pars alaris : Jugum alveolare dentis incisivi lateralis, Insersio: pinggir cuping hidung, persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menggerakkan cupping hidung dan hidungnya sendiri. Pars alaris : membuka lebar lebar cuping hidung. (c) Otot: M. Orbicularis Oculi, Origo: Pars orbitalis pars nasalis ossis frontalis, Proc. frontalis maxillae, Lig. Palpebrae mediale, Isersio: Pars orbitalis : Lig. Palpebrale laterale, transisi menjadi suatu otot melingkar membentuk cincin di lateral. Pars palpebralis : Lig. palpebrale laterale, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menutup kelopak mata, menekan saccus lacrimalis, menggerakkan alis mata. (d) Otot: M. Depressor Supercilii, Origo: Pars nasalis ossis frontalis, punggung hidung, insersio: Sepertiga medial kulit alis mata, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menarik
turun kulit dahi dan alis, menciptakan kerutan miring tepat di atas pangkal hidung. (e) Otot: M. Corrugator Supercilii, Origo: Pars nasalis ossis frontalis, insersio: Sepertiga medial (lateral) kulit alis mata, galea aponeurotica, Fungsi: Menggerakan kulit dahi dan alis mata ke arah pangkal hidung, menciptakan kerut vertical tepat di atas pangkal hidung. (f) Otot: M. Depressor septi nasi, Origo: jugum alveolare dentis incisivi medialis, Insersio: jugum alveolare dentis incisivi medialis,
Persarafan:
Nervus
facialis
(VII),
Fungsi:
Menggerakkan cupping hidung dan hidungnya sendiri. (g) Otot: M. Orbicularis Oris, Origo: sebelah lateral angulus oris. Insersio: Kulit bibir, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menutup bibir, sehingga juta menggerakkan cuping hidung, pipi dan juga kulit dagu. (h) Otot: M. Buccinator, Origo: Bagian posterior Proc. alveolaris maxillae, Raphe pterygomandibularis, bagian posterior Proc. alveolaris mandibulae, Insersio: Angulus oris, bibir atas dan bawah,
Persarafan:
Nervus
facialis
(VII),
Fungsi:
Menegangkan bibir, meningkatkan tekanan intraoral (ketika meniup dan mengunyah). (i) Otot: M. Levatoor labii superioris, Origo: Margo infraorbitalis dan bagian Zygomaticus maxilla di dekatnya; berasal dari massa otot M. Orbicularis oculi, Insersio: Bibir atas,
Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menarik bibir atas ke lateral dan atas. (j) Otot: M. Depressor Labii inferioris, origo: Basis mandibulae sebelah mendial foramen mentale, Insersio: Bibir bawah, dagu, serabut dalam ke mukosa, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menarik bibir bawah ke lateral dan bawah. (k) Otot: M. Mentalis, Origo: Jugum Alveolare dentis incisivi lateralis bawah, Insersio: kulit dagu, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Membentuk lekuk didagu, eversi bibir bawah (bersama dengan musculus orbicularis oris). (l) Otot: M. Depressor anguli oris, Origo: Basis mandibulae, tepat di bawah foramen mentale, Insersio: Bibir bawah, pipi disebelah lateral sudut mulut, bibir atas, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menarik sudut mulut ke bawah. (m) Otot: M. Risoriu, Origo: Fascia parotidea, Fascia messeterica, Insersio: Bibir atas, sudut mulut, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menarik sudut mulut ke lateral dan atas, membentuk lesung dipipi. (n) Otot: M. Levator Anguli Oris, Origo: Fossa canina maxillae, Insersio: sudut mulut, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menarik sudut mulut ke arah medial dan atas. (o) Otot: M. Zygomaticus Major, Origo: Os Zygomaticum di dekat sutura zygomaticotemporalis, Insersio: bibir atas, sudut
mulut, Persarafan: Nervus facialis (VII), Fungsi: Menarik sudut mulut ke arah lateral dan atas. (p) Otot: M. Zygomaticus Minor, Origo: Os Zygomaticum di dekat sutura zygomaticomaxillaris, Insersio: bibir atas, sudut mulut,
Persarafan:
Nervus
facialis
(VII),
Fungsi:
Menggerakkan bibir, cuping hidung, pipi dan kulit dagu, memperdalam sulcus nasolabialis. (2)
Faring Faring adalah persimpangan antara rongga mulut ke kerongkongan dengan rongga mulut ke tenggorokaan, Ada satu katup penutup rongga hidung disebut dengan anak tekak. Jika menelan makanan pad saat katup belum menutup, maka makanan masuk ke dalam tenggorokan dan akan terjadi tersendak. Faring merupakan Pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak
sampai
tersambungnya
dengan
usofagus
pada
ketinggian tulang rawan krikoid. Maka letaknya di belakang hidung
(naso-farinx),
dibelakang
mulut
(oro-farinx)
dan
dibelakang laring (farix laryngeal). Nares posterior adalah muara rongga-rongga hidung ke naso-farinx. (3) Laring Pangkal tenggorokan disebut dengan laring. Laring terdiri atas kepingan tulang rawan (tiroid dan krikoid) diikat oleh ligament dan membran yang membentuk jakun. Jakun tersusun atas tulang lidah, katup tulang rawan, perisai tulang rawan, piala tulang
rawan dan gelang tulang rawan. Laring dapat ditutup oleh katup epiglotis. Jika udara menuju ke tenggorokan, anak tekak melipat kebawah bertemu dengan epiglotis untuk membuka jalan ke tenggorokan. Pada waktu menelan dan waktu bernafas katup tersebut menutup laring dan waktu bernafas akan membuka. Pada laring terdapat selaput suara yang akan bergetar bila ada udara yang melaluinya, misalnya pada waktu bicara. Letaknya di sebelah dalam laring, berjalan dari tulang rawan tiroid di sebelah depan sampai di kedua tulang ariteroid. Getaran pita disebabkan karena ada udara yang melalui epiglotis maka suara dihasilkan. Berbagai otot terkait pada laring yang mengendalikan suara dan juga menutup lubang laring sewaktu menelan. (4)
Trakea Trakea kira-kira memiliki panjang 9 meter panjangnya. Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra kelima dan ditempat ini bercabang menjadi dua bronkus. Trakea tersusun atas 16 – 20 lingkaran tak lengkap berupa cincin tulang rawan diikat oleh fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trakea. Trakea dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri atas epithelium bersilia dan sel cangkir. Silia ini berfungsi sebagai menolak debu atau benda asing. Jika tiba-tiba batuk atau bersin mungkin di trakea ada lendir atau debu yang mengganggu jalannya pernafasan, benda asing tersebut akan dikeluarkan oleh silia
bergerak ke atas ke arah laring sehingga debu atau benda asing tersebut dapat dikeluarkan. Tulang rawan yang gunanya mempertahankan
agar
treakea
tetap
terbuka,
di
sebelah
belakangnya tidak tersambung, yaitu ditempat trakea menempel pada usofagus yang memisahkan dari tulang belakang.
Gambar 2.1. Anatomi Pernafasan Manusia http://dinnahandy.blogspot.com
(5)
Bronkus Bronkus terdiri dari dua bronkus yaitu bronkus kanan dan bronkus
kiri.
Letaknya
kira-kira
vertebra
torakhalis
kelima.Bronkus ini berjalan kebawah dan kesamping kearah paruparu. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan dan berjalan dibawah arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabangyang
berjalan ke lobus atas dan bawah. Kedua bronkus tersebut menuju paru-paru. Jika bronkus mengalami infeksi maka akan timbul bronkitis. Di dalam paru bronkus membentuk cabang lagi yang disebut bronkiolus. (6)
Bronkioulus Bronkiolus
merupakan
cabang
dari
bronkus
dimana
percabangan bronkus tersebut membelah bronkiolus menjadi tiga disebelah kanan dan sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang dari bronkiolus membentuk pembuluh darah yang halus. Cabang-cabang yang terhalus masuk ke dalam gelembung
paru-paru
atau
alveolus.
Dinding
alveolus
mengandung kapiler darah, sedangkan karbon dioksida dan air dilepaskan. (7)
Alveolus Di bagian dalam paru-paru terdapat gelembung halus yang merupakan perluasaan permukaan paru-paru yang disebut alveolus. Jumlahnya kurang lebih 300 juta buah. Dengan adanya alveolus, luas permukaan seluruh alveolus diperkirakan mencapai 160m atau 100 kali lebih luas daripad permukaan tubuh. Dinding alveolus mengandung kapiler darah. Oksigen yang terdapat di alveolus berdifusi menembus dinding alveolus. Setelah itu, masuk ke dalam pembuluh darah dan diikat oleh hemoglobin yang
terdapat
didalam
sel
darah
sehingga
terbentuk
oksihemoglobin (HbO2). Akhirnya oksigen diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh.
Gambar 2.2. Bentuk dari alveolus http://journeyoflight79.wordpress.com
Setelah sampai ke sel-sel tubuh, oksigen dilepaskan sehingga oksihemoglobin
kembali
menjadi
hemoglobin.
Oksigen
digunakan untuk oksidasi. Karbon dioksida yang dihasilkan dari respirasi sel diangkut oleh plasma darah melalui pembuluh darah menuju paru-paru. Sesampainya di alveolus, karbon dioksida akan dikeluarkan oleh saluran nafas saat kita mengeluarkan nafas. Karbon dioksida akan dikeluarkan melalui hidung. Jadi, proses pertukaran gas sebenarnya berlangsung di alveolus. c). Anatomi Fisiologis Sinus Paranasalis Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksimal kanan dan kiri (atrium
highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hisung melalui ostium masing-masing. Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat sua tu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. (1) Sinus Paranasalis Secara luas fungsi dari sinus paranasal masih belum jelas. Beberapa sinus telah dapat diketahui dan belum ada penelitian yang dapat memastikan fungsi dari sinus tersebut (Amedee,1993; Becker, Naumann, pflatz,1994) Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal adalah sebagai berikut : (a) Membentuk pertumbuhan wajah. Karena di dalam sinus terdapat rongga udara, sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak. (b) Sebagai pengatur udara ( air conditioning ) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiak kali bernafas
sehingga diperlukan beberapa jam untuk pertukaran udara totaldalam sinus (Soetjipto, Mangunkusumo,2001). (c) Sebagai penahan suhu (thermal insulator). Sinus berfungsi sebagai penahan (buffer) panas melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. (d) Membantu keseimbangan kepala. Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat 1% berat kepala, sehingga
teori
ini
kurang
bermakna
(Soejipto,
Mangunkusumo,2001). (e) Membantu resonansi suara. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, bahwa posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator
yang
efektif.
(Soejiptodan
Mangunkusumo,2001). (f) Sebagai peredam perubahan tekanan udara. Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktui bersin dan membuang inggus (Soejipto dan Mangunkusumo,2001).
(g) Membantu produksi mukus. Mukus dihasilkan oleh sinus paranasal memeng jumlahnya kecil apabila dibandingkan dengan mukus yang dihasilkan rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus media (Soejipto dan Mangunkusumo,2001) Fungsi penting pada sinus paranasal yang telah diketahui dan dapat diterima secara luas adalah sekresi mukus yang dapat menjaga agar saluran pernafasan tetap lembab. Jumlah mukus yang dihasilkan sinus adalah kecil apabila dibandingkan dengan volume keseluruhan sekret yang dihasilkan tubuh (Amedee,1993).
Gambar 2.3 Sinus Paranasalis http://www.scribd.com/doc
a). Sinus Maksilaris (1) Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari processsus maksilaris I. (2) Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada pars zygomaticus maxilae. (3) Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa. (4) Berhubungan dengan : (a) Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. Infraorbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata. (b) Gigi dibatasi dinding tipis atau mukosas pada daerah P2 molar. (c) Ductus
nasolakrimalis,
terdapat
dinding
cavumnasi. b). Sinus Ethmoidalis (1) Terbentuk pada usia fetus bulan IV. (2) Saat lahir, berupa 2-3 celulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15 celulae, dindingnya tipis. (3) Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan mata. (4) Berhubungan dengan:
(a) Fossa cranii anterior yangdibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis, ensefalitis dsb). (b) Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina fapiracea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah, maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi briil hemotoma. (c) Nervus Optikus. (d) Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan posterior. c). Sinus Frontalis (1) Sinus ini dapat terbentuk atau tidak. (2) Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis. (3) Volume pada orang dewasa ±7 cc. (4) Bermuara ke infundibulum (meatus nasimedia). (5) Berhubungan dengan : (a) Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta. (b) Orbita, dibatasi oleh tulang compacca. (c) Dibatasi oleh periosteum, kulit, tulang, diploic. d). Sinus Sfenoidalis (1) Terbentuk pada fetus usia bulan III.
(2) Terletak pada corpus, alas dan processus
os
sfenoidalis. (3) Volume pada orang dewasa ± 7 cc. (4) Berhubungan dengan : (a) Sinus capernosus pada dasar cavum cranii. (b) Glandula pituitari, chiasma n. Optikum. (c) Tranctus olfactorius. (d) Arteri basillaris brain sterm (batang otak).
(2) Kompleks Ostio-Meatal Pada sepertiga tengah dinding lateral yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang processus uncinatus, resessus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maks Kompleks Osteomeatus (KOM), berperan penting dalam fungsi sinus yang sehat yaitu berfungsi sebagai jalur drainase untuk sinus frontalis, ethmoidalis, dan maksilaris. Juga diperlihatkan turbinatus, yang menempel di dinding samping hidung. Dekatnya jarak antara KOM dan turbinatus media, yang dapat menyebabkan obstruksi (pemblokiran) sinus jika
membengkak. Aliran lendir yang normal dari dalam sinus melalui ostia dan masuk ke dalam lubang hidung. (3) Sistem Mukosiliar Seperti pada mukosa hidung didalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir diatasnya. Didalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium mengikuti jalur-jalur yang sudah terbentuk pola. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid di alirkan ke nasofaring didepan muara tuba estacius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung diresesus sfenoetmoidalis, di alirkan ke nasofaring di posterosuperior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung. (4) Suplai Darah Cabang
sfenoplatina
dari
arteri
maksilaris
interna
menyuplai konka, meatus dan septum. Cabang ethmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalamika menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris di perdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri
maksilaris interna dan cabang faringealis dari arterimaksilaris interna disebarkan kedalam sinus sfenoidalis. Vena-vena membentuk suatu fleksus kavarnesus yang rapat di bawah membrane mukosa. Pleksus ini terlihat hanya diatas konka media dan inferior serta bagian septum dimana membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena oftalamika, fasialis anterior dan sfenopalatina. (5) Suplai Saraf Saraf
cranial
pertama
pada
hidung
yaitu,
divisi
oftalamikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls afferent sensorik lainnya, saraf facialis untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar dan system saraf otonom. Yang terakhir melalui ganglion sfenopalatina, berfungsi mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, dengan demikian dapat mengubah pengaturan hantaran suhu dan kelembaban udara.
Gambar 2.4. Saraf paranasal http://.darplastik.com/umum/bagian3-7
(6) Fungsi Sinus Pranasalis Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis nyata. “sinus hanyalah suatu ruang kosong di tengkorak yang tercipta akibat persilangan tulang-tulang disekitar mata” (Ralph, 2006). Akan tetapi ada tujuh teori tentang sinus, yaitu: (a) Sinus meringankan beban Adanya kantong-kantong udara di dalam tengkorak membuat kepala menjadi ringan dibandingkan dengan jika sinus berupa tulang dan jaringan padat (b) Sinus mengurangi tekanan Sinus berfungsi sebagai jenis katup pengaman saat seseorang mengalami perubahan tekanan udara secara drastis didalam rongga hidung, seperti ketika bersin atau menghembuskan udara melalui hidung. (c) Sinus meningkatkan daya pengecapan dan pennciuman Adanya
penambahan
luas
permukaan
dimana
molekul-molekul bau diudara dapat berputar-putar mungkin membantu reseptor penghidung dihidung bekerja lebih baik. (d) Sinus melindungi mata dan otak Sinus berfungsi sebagai mekanisme tingkat didalam tengkorak, meringankan dampak pukulan ke kepala
sehingga memperkecil kemungkinan kerusakan pada mata dan otak. (e) Sinus membantu suara Adanya sinus menyebabkan suara kita memperoleh resonasi yang luar biasa serta terdengar khas dan berbeda dari suara yang lainnya. Sehingga dapat membantu manusia untuk berkomunikasi lebih baik dengan yang lainnya. (f) Sinus membantu mengendalikan kondisi udara Karena memiliki membrane mukosa lembab hangat yang luas, sinus berperan untuk meningkatkan proses suhu udara. Dimana lendir yang dihasilkan akan menyaring partikel-partikel yang tidak diinginkan dan permukaannya yang luas membantu menghangatkan dan melembabkan udara yang dingin dan kering. (g) Sinus memungkinkan pertumbuhan wajah yang efisien Sinus berperan penting dalam perkembangan tulangtulang wajah dari lahir hingga remaja. Tulang-tulang wajah harus tumbuh dalam proporsi yang sesuai dengan tengkorak seiring dengan membesarnya otak dan rongga tengkorak. d). Klasifikasi Sinusitis Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul suatu infeksi saluran nafas atas yang ringan. Gambaran radiologic sinusitis maksilaris akar
mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat di lihat pada foto tegak sinus maksilaris. Sinus maksilaris dengan asal geligi. Bentuk penyakit geligi maksilaris yang khusus bertanggung jawab pada 10% kasus sinusitis yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Gambaran bakteriologik sinusitis berasal geligi ini didominasi oleh infeksi gram negative. Oleh karena itulah infeksi ini menyebabkan pus yang berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung. Sinusitis maksilaris ini paling sering ditemukan, karena dasar sinus lebih rendah dari dasar hidung, ostium sinus maksilaris relative lebih tinggi dari dasarnya serta ada hubungan yang erat antara sinus maksilaris dengan akar gigi P1, P2, M1 dan M2. Selanjutnya pada sinusitis etmoidalis kronik lebih sering terjadi pada anak-anak. Sedangkan pada orang dewasa, seringkali bersamaan dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis (Lindbaek 2007) e). Penyebab dan Factor Predisposisi Sinusitis Ada banyak penyebab timbulnya sinusitis, namun berbagai penyebab itu termasuk dalam salah satu dari kategori besar, yaitu : anatomis, genetik, dan lingkungan. (1) Adanya sumbatan dalam hidung oleh karena :
Tulang hidung yang bengkok, polip hidung, pembesaran selaput lendir hidung, adanya benda asing, tumor hidung. (2) Adanya infeksi menahun di hidung. (3) Alergi. (4) Infeksi organ-organ di sekitar hidung seperti infeksi, amandel (tonsilitis), infeksi adenoid, infeksi tenggorokan (paringitis) dan infeksi gigi di rahang atas. (5) Faktor lain seperti berenang / menyelam, trauma, polusi udara dapat
mengakibatkan
perubahan-perubahan
pada
selaput
lendirdan kerusakan rambut halus / siliasinus Menurut Ritter dan Ludman (2003) beberapa keadaan yang dianggap sebagai faktor predisposisi timbulnya sinusitis adalah letak anatomis sinus paranasalis: (a) Ostium sinus maksilaris letaknya lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga aliran mukus akan melawan gaya berat. (b) Duktus nasofrontalis yang menghubungkan sinus frontalis dengan rongga hidung panjang dan sempit sehingga mudah rusak dan sempit. (c) Ostium sinus etmoidalis membuka ke rongga hidung ditempat mengalirnya sekret dari sinus maksilaris, sehingga peradangan di sinus maksilaris mudah menyebar ke sinus etmoidalis.
(d) Dasar sinus maksilaris berdekatan dengan gigi molar rahang atas sehingga infeksi yang berasal dari gigi molar
atas
mudah menyebar ke sinus maksilaris.
f). Patofisiologi Sinusitis Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam komplek osteo meatal (kom). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan. Bila terinfeksi organ yang membentuk kom mengalami oedem, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh, maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoxia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Drainase cairan mukus keluar dari rongga sinus juga bisa terhambat oleh pengentalan cairan mukus itu sendiri (Lindbaek dan Hjortdahl 2002, Meltzer et all 2004) Pengentalan ini terjadi akibat pemberian obat antihistamin, penyakit fibro kistik dan lain-lain. Sel penghasil mukus memiliki rambut halus (silia) yang selalu bergerak untuk mendorong cairan mukus keluar dari rongga sinus. Asap rokok merupakan salah satu penyebab terbesar dari rusaknya silia ini sehingga pengeluaran cairan mukus menjadi terganggu. Cairan mukus yang terakumulasi di rongga sinus dalam jangka waktu yang lama merupakan tempat yang nyaman bagi hidupnya bakteri, virus dan jamur. Ketika bernafas, setiap orang menghirup udara masuk ke dalam hidung, berjuta spora fungus setiap hari juga ikut masuk ke dalam bersamaan dengan masuknya udara tersebut (diperkirakan kurang lebih sekitar 57 juta spora sehari). Bagaimanapun, spora ini tidak dapat membiak dalam hidung atau paru-paru yang sehat (Gwaltney et all, 2004) Mukosa hidung dilengkapi system pertahanan tertentu untuk melawan fungus atau bacteria. Apabila ada celah dalam system imunity, maka spora fungus dapat berkembang biak sehingga menyebabkan resdung kulat. Bear kemungkinan spora fungus tersedot ke dalam rongga sinus ketika bersin atau menghirup ingus dengan kuat. Sinusitis kronik berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau biasa terus berlangsung sampai tahunan. Pada sinusitis akut, perubahan
patologik membrane mukosa berupa infiltrate poliomorfonuklear, kongesti vaskuler dan deskuamasi epitel permukaan yang semuanya reversible. Gambaran sinusitis
kronik adalah kompleks dan
irreversible. Mukosa umumnya menebal membentuk lipatan-lipatan pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasi, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histology yang sama. Pembentukan mikroabses dan jaringan granulasi bersama-sama dengan pembentukkan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrate sel bundar dan poliomornuklear dalam lapisan submukosa. Sinusitis pada dasarnya bersifat riogenik. Pada sinusitis kronik sumber infeksi berulang cenderung berupa suatu daerah stenotik, biasanya infudibulum etmoidalis dan resesus frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruang sempit ini, akibatnya terjadi gangguan transport mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus, infeksi kemudian menyebar ke sinus yang berdekatan.
Gambar 2.5. Infeksi Sinusitis
http://fkunsri.wordpress.com
Zat yang semakin merangsang proses peradangan. Berbagai zat activator ini antara lain adalah interleukin, protein dasar utama, dan leukotrien. Maksudnya sel darah putih dan bakteri ke dalam lendir menyebabkan lendir menjadi lebih kental daripada biasanya dan sering menjadi kekuningan atau kehijauan, maka terjadilah infeksi. Zat yang kental ini disebut sebagai pus (nanah) atau mukus purulen. Sebagian dari pus di sinus berhasil keluar melalui ostium, melintasi KOM, dan menuju bagian belakang rongga hidung. Pus ini cenderung berkumpul di tenggorokkan, menimbulkan iritasi, atau mengalir ke bawah sebagai postnasal drip yang menggangu. Kasus sinusitis yang sudah menyebar besar kemungkinan bertambah buruk sebelum membaik. Untuk melawan infeksi, sinus menjadi lebih sering meradang, yang menyebabkan bertambahnya pembengkakkan, yang memperparah
penyumbatan
sehingga
bakteri
semakin
mudah
berkembang biak dan akan terjadi siklus ninusitis yang sering disebut dengan “Lingkaran Setan” INFEKSI
PENYUMBATAN
PEMBENGKAKAN
Gambar 2.6. Siklus Sinusitis Metson, DR. Ralph B. dengan Mardon, Steven, Menyembuhkan Sinusitis, Cetakan ke-2, PR. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta. Agustus 2006, hal. 2
“Bakteri menyebabkan pembengkakan, yang menghambat drainase melalui ostium dan hal ini kemudian menyebabkan meningkatnya pertumbuhan bakteri, yang menyebabkan lebih lanjut dan sinus ini terus berulang seperti lingkaran setan sinusitis”. Lingkaran setan ini akhirnya terputus ketika bakteri dieleminasi oleh sisitem kekebalan tubuh, obat, atau kadang-kadang pembedahan. Kemudian peradangan dan penyumbatan akirnya mereda, kemungkinan drainase sinus kembali normal.
Gambar 2.7. Perubahan Silia pada Sinusitis http://www.airfantastis.com/chronsinusitis.htm
g). Tanda dan Gejala Sinusitis Ada beberapa tanda gejala yang terjadi saat infeksi sinus. Gejala ini sering dialami oleh banyak orang, yaitu : (1) Nyeri dan merasa tertekan pada wajah. Nyeri tumpul berdenyut atau tekanan yang merupakan tanda utama sinusitis terjadi akibat tekanan yang ditimbulkan oleh jaringan yang meradang pada ujung-ujung syaraf di dinding
dalam sinus. Sinusitis frontalis menyebabkan nyeri dahi atau sakit kepala. Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi yang dapat menjalar
ke
menyebabkan
gigi nyeri
di
rahang diantara
atas. mata.
Sinusitis Sinusitis
Edmoidalis sfenidalis
menyebabkan nyeri di belkang mata, di puncak kepala, atau di sepanjang tengkuk. (2) Hidung tersumbat dan susah bernafas.. Pembengkakan selaput hidung dan peningkatan pembentukan lendir menyebabkan penderita sulit bernafas melalui hidung. Penyumbatan ini dapat mengenai satu atau dua sisi hidung. Bagi sebagian penderita sinusitis, istilah penyumbatan merujuk bukan pada tersumbatnya pernafasan hidung, melainkan pada perasaan penuh atau tersumbat di wajah, terutama di pipi. Sensasi ini disebabkan oleh tersumbatnya sinus itu sendiri. Jika ostium yang membengkak tertutup, membrane mukosa pada sinus akan menyerap oksigen, menghasikan tekanan negative (atau vakum), yang dapat menimbulkan sensasi penyumbatan wajah atau bahkan nyeri. (3) Postnasal Drip Lendir dari sinus secara normal mengalir dalam jumlah kecil ke dalam hidung dan turun ke belakang tenggorokkan sebelum tertelan. Selama infeksi produksi lendir meningkat, lebih kental dan berwarna kuning atau hijau. Perubahan warna lendir disebabkan oleh campuran bakteri dan sel darah putih, sebagai
tanda bahwa tubuh telah melawan infeksi yang berlangsung. Lendir yang kental dan berwarna hijau ini seringkali turun ke tenggorokan dan disebut postnasal drip. Adapun gejala sinusitis lainnya, adalah : (a) Berkurangnya daya penciuman Atap rongga hidung dilapisi oleh jaringan khusus yang dikenal sebagai epitel olfaktorius. Jaringan ini mengandung reseptor penghidu yang dirangsang oleh molekul-molekul bau.
Membengkaknya
menghambat
membrane
molekul-molekul
ini
di
hidung
mencapai
dapat reseftor
penciuman sehingga indra penciuman menjadi kurang peka. (b) Berkurangnya daya pengecapan Indra pengecapan yang normal bergantung pada keutuhan sensasi penciuman, sehingga terganggunya indra penciuman akan menyebabkan berkurangnya fungsi dari indera pengecap. (c) Nafas berbau Lendir kehijauan yang mengalir dari sinus yang terinfeksi mengandung bakteri dan bahan buangan yang mengalami bau busuk akibatnya, lendir kental yang mengalir ke tenggorokkan dapat menyebabkan bau mulut. Bau mulut ini biasanya ditimbulkan oleh adanya bakteri di mulut.
(d) Batuk Ketika
mengalir
ke
bawah
melalui
belakang
tenggorokkan, lendir mungkin menyentuh pita suara dan memicu respon batuk yang tidak di sengaja. Batuk sering lebih parah saat bangun pagi karena sepanjang malam terjadi penumpukkan lendir dari hidung dan sinus tenggorokkan. Jika lendir ini meresap di antara pite suara dan ke dalam trakea mungkin di perlukan batuk-batuk hebat untuk membersihkan sekresi dan melindungi paru-paru. (e) Nyeri tenggorokkan Lendir kental yang mengalir sewaktu infeksi sinus bersifat lebih asam daripada lendir cair normal, sehingga lendir ini dapat mengiritasi membrane yang melapisi tenggorokkan anda. (f) Lesu Tubuh
manusia
menggunakan
energy
untuk
menghasilkan respon imun. Pergeseran cadangan kalori ini dari aktifitas harian normal ke perlawanan terhadap infeksi dapat menyebabkan seseorang menjadi lelah. Selain itu, pernafasan hidung yang terganggu dan sering batuk pada malam hari dapat menyebabkan kualitas hidup menurun. (g) Rasa penuh di telinga Drainase menyumbat
lendir tuba
dan
peradangan
eustakius,
yaitu
sinusitis
dapat
saluran
yang
menghubungkan telinga dengan bagian belakang hidung. Jika saluran ini terbuka dan berfungsi normal, tekanan antara bagian dalam telinga dan atmosfer luar akan seimbang. Jika saluran ini tersumbat, biasanya akan mengalami perasaan penuh atau tekanan yang tidak nyaman di telinga. (h) Demam Demam akan timbul pada gejala dan tanda sinusitits, hal ini karena sistem imun dalam tubuh sedang bekerja, tetapi tidak terlalu tinggi. Demam yang tidak terlalu tinggi ini juga menandakan bahwa infeksi sinus telah berlangsung lama. Jika tanda gejala ini lenyap dalam sebulan atau bahkan dua atau tiga bulan, berarti gejala tersebut terjadi pada sinusitis akut. Akan tetapi jika nyeri, penyumbatan, drainase atau gejala lain berlangsung lebih lama dari pada tiga bulan, berarti terjadi pada sinusitis kronik. Selain durasi, satusatunya perbedaan yang penting adalah bahwa orang dengan sinusitis akut lebih besar kemungkinannya mengalami demam. Namun dalam aspek praktis terdapat perbedaan yang nyata. Orang yang cenderung yang mengidap sinusitis akut cenderung tidak menganggap masalah tersebut itu serius. Karena dalam beberapa hari atau minggu serangan tersebut akan lenyap dan mereka akan dapat kembali menjalani aktifitas sehari-hari. Dimana orang dengan sinusitis kronis
akan mengalami pengulangan secara terus-menerus. Gejalagejala sinusitis kronis akan menetap atau sering kambuh, yang dapat berdampak besar pada kesehatan keseluruhan dan kualitas hidup seseorang. Semua gejala sinusitis yang di gambarkan sebelumnya, juga dapat terjadi pada anak, namun anak tampaknya tidak terlalu terganggu oleh nyeri dan nyeri tekan di bandingkan orang dewasa. Laryngitis berulang atau menetap atau sering kambuh yang dapat berdampak besar pada kesehatan keseluruhan dan kualitas hidup seseorang. Semua gejala sinusitis yang digambarkan sebelumnya, juga dapat terjadi pada anak, namun anak tampaknya tidak terlalu terganggu oleh nyeri dan nyeri tekanan dibandingkan orang dewasa. Laryngitis berulang atau menetap dan batuk kronik terutama di malam hari, demam, dan anak rewel merupakan keluhan utama pada sinusitis anak. h). Patologi Fungsional Seseorang yang mengalami peradangan berulang, dimana ketika saat imunitas tubuh mengalami penurunan. Struktur abnormal atau gangguan fungsi seperti gangguan pernafasan, akumulasi cairan pada dinding sinus yang menyebabkan nyeri tekan pada wajah. Gangguan pernafasan melalui hidung, diakibatkan oleh adanya pembengkakan membran atau selaput hidung, yaitu suatu lapisan tipis kaya kelenjar yang mengeluarkan lendir. Sehingga muncul terjadinya
pembentukan lendir yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pernafasan. Membran mukosa berdiameter sangat kecil yaitu, seperti lubang jarum. Lubang-lubang itu disebut ostia (ostium). Pada orang sehat ostium biasanya terus terbuka, sehingga udara dapat keluar-masuk dengan bebas dan lendir mengalir dari sinus. Tetapi jika terjadi sinusitis, pembengkakkan akibat infeksi atau alergi maka ostium pun tertutup. Sedangkan membran mukosa pada sinus tidak menyerap O2 maka terjadi tekanan negative pada dinding sinus, disinilah terjadinya penyumbatan yang menyebabkan nyeri tekan pada wajah dan menimbulkan nyeri. Flu dapat menimbulkan pembengkakan rongga hidung,
yang
menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan. Secara tidak langsung gangguan
pernafasan
menyebabkan
beberapa
gangguan
yang
mempengaruhi ketidaknyamanan dalam aktivitas sehari-hari. i). Mekanisme Nyeri pada Kondisi Maksilaris Kronik Nyeri adalah suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional serta termasuk suatu komponen sensori, komponen diskriminatori, respon-respon yang mengantarkan ataupun reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh stimulus dalam suatu kasus nyeri. Biasanya dirasakan hanya dalam bentuk suatu sensasi, dengan gambaran yang dapat dibandingakan dengan sensasi lain (seperti sentuhan atau penglihatan) yang mengikuti untuk membedakan kualitas, lokasi, durasi dan intensitas dari suatu stimulus.
Gambar 2.8. Mekanisme terjadinya Sinusitis Kronik http://www.scribd.com/doc
Nyeri sangat penting sebagai mekanisme proteksi tubuh yang timbul bilamana jaringan sedang dirusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri ini. Pada pertemuan Ilmiah Nasional I (PB PABDI), menyatakan nyeri sebagai perasaan atau pengalaman emosional yang disebabakna dan berhubungan dengan terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Berdasarkan mekanisme nyeri, nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis yaitu : (1). Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat yang tidak merusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan menimbulkan nyeri yang ringan. Ciri khas nyeri sederhana adalah terdapatnya korelasi positif antara kuatnya stimuli dan persepsi nyeri yang dialami.
(2). Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat kuat sehingga merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami inflamasi dan menyebabkan fungsi berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi nosiseptor menyebabkan hiperalgesia. Meskipun nyeri merupakan salah satu gejala utama dari proses inflamasi, tetapi sebagian besar pasien tidak mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan pasien mengeluhkan
nyeri
bila
jaringan
atau
organ
yang
berlesimendapat stimuli, misalnya: sakit gigi semakin berat bila terkena air es atau saat makan, sendi yang sakit semakin hebat bila digerakkan. (3). Nyeri neuropatik, adalah nyeri yang diodahului dan disebabkan adanya disfungsi primer ataupun lesi pada sistem
syaraf
yang
diakibatkan:
trauma,
kompresi,
keracunan, toksin atau gangguan metabolik. Akibat lesi, maka terjadi perubahan khususnya pada Serabut Syaraf Aferen (SSA) atau fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan
normal
keseimbangan
dipertahankan
antara
neuron
secara
dengan
aktif
oleh
lingkungannya,
sehingga meninbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan
keseimbangan tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga
aktivasi
Ssa
(mekanisme
perifer)
menjadi
abnormal yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral). Nyeri merupakan suatu alasan yang umum untuk mencari pelayanan
kesehatan.
Nyeri
juga
sangat
mengganggu
dan
menyulitkan manusia yang tidak bisa merasakan nyeri yang dialami manusia, karena nyeri bervariasi dan bersifat subyektif (antara satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam merasakan nyeri). Pada level sensorik, jika nyeri terjadi dengan adanya kerusakan jaringan, maka sel-sel yang rusak melepaskan zat kimiawi seperti prostaglandine, histamine, dan bradikinin. Zat-zat tersebut yang dikenal dengan algogene menyebarkan zat iritan yang meningkatkan sensitifitas nosiseptor sehingga timbul nyeri hebat atau hiperalgesia. Selama proses peradangan juga terjadi ketidakseimbangan ion pada membrane sel saraf dimna ion Na+ cenderung terakumulasi didalam sel sehingga terbentuk aksi potensial yang terus menerus pada serabut afferent A delta dan C. semakin besar aktifitas serabut afferent A-delta dan C maka semakin cepat konduksinya. Modulasi nyeri melalui sensoris dapat dicapai dengan peningkatan sirkulasi darah dan metabolism sehingga terjadi penyerapan zat-zat algogene melalui proses metabolisme. Dengan demikian dapat mengurangi iritasi pada jaringan sehingga terjadi penurunan aksi potensial serabut afferent A delta dan C.
Nyeri yang terjadi pada sinusitis kronik akibat adanya penyumbatan pada sinus. Dimana ketika sinus yang sehat tersumbat oleh adanya faktor penyebab anatomis, genetic ataupun lingkungan. Maka lendir akan mengalir balik dan sinus pun akan tersumbat. Kelenjar-kelenjar didalam sinus terus mengalir menghasilkan lendir, yang tidak dapat dikeluarkan. Tidak berapa lama, sinus yang tersumbat akan dipenuhi oleh lendir. Pada lendir ini terdapat bakteri dalam jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan infeksi dan akan terjadi pembengkakan pada konka / peradangan jaringan pada ujung-ujung saraf di dinding dalam sinus. “Apabila aliran hidung terhambat maka sekresinya menumpuk dan terperangkap bersama udara didalam sinus dan menekan di dinding sinus yang berulang sehingga menimbulkan rasa nyeri”. (Ralph, 2006) Dimana ostium yang membengkak akan tertutup, membrane mukosa pada sinus tidak menyerap oksigen dan menghasilkan tekanan negative (atau vakum), yang dapat menimbulkan sensasi penyumbatan wajah atau bahkan nyeri.
2. Visual Analogue Scale (VAS) Obyek penelitian adalah nyeri dimana kualitas/intensitas nteri dapat diukur dengan Visual Analogue Scale .Visual Analogue Scale (VAS) adalah alat ukur yang digunakan untuk memeriksa intensitas dan tipe nyeri dengan menggunakan garis lurus yang diberi 100 cm yang
menggambarkan intensitas nyeri yang berbeda mulai dari tidak nyeri, nyeri sedang, hingga nyeri sekali atau tidak tertahankan. Pada saat pengukuran pasien ditanya untuk menentukan nyerinya pada garis tersebut, sebaiknya pada saat pasien ditanya tentang nyeri, garis tersebut tidak perlu diberikan angka karena dapat mempengaruhi intensitas nyeri pasien secara subyektif. Cara penggukuran VAS dengan membuat garis lurus sepanjang 10 cm dan ditanyakan kepada pasien. Pengukuran ini dilakukan sebelum intervensi dan setelah pemberian intervensi atau terapi. 0
100
Tidak Nyeri
Nyeri Sekali Gambar 2.9. Visual Analogue Scale (VAS)
3. Ultrasound a). Definisi Suara merupakan getaran mekanik didalam sebuah medium yang mudah berubah bentuk (elastis) dengan frekuensi antara 20 dan 20.000 Hertz. Gelombang suara adalah gelombang longitudinal yang dalam frekuensi tersebut dapat diregistrasi oleh telinga manusia. Pembagian frekuensi gelombang suara berdasarkan kemampuan telinga manusia dalam mendengar gelombang suara/bunyi dibagi menjadi : (1) Subsonik/infrasonik (<20 hertz) (2) Audiosonik (20-20.000 Hertz) (3) Ultrasonik (>20-20.000 Hertz)
Ultrasound adalah salah satu modalitas fisioterapi yang mneggunakan gelombang suara dengan getaran mekanis membentuk gelombang longitudinal dan barjalan melalui medium tertentu dengan frekuensi yang bervariasi (Bartley J, Young D, 2009) b). Produksi suara ultrasound Produksi suara dalam ultrasonic dihasilkan oleh piezoelectrik yakni adalah semua proses tekanan yang menghasilkan perubahan dibidang
elekriks.
Tranducer
piezoelectrik
digunakan
untuk
mendapatkan energi gelombang suara yang kuat yang mana gelombang suara yang kuat ini diperlukan kita untuk sebuah terapi. Tranduser piezoelektrik ini adalah semacam potongan kristal yang akan membantu merubah energi ketika kristal ini terkena oleh aliran listrik, yang lebuh dikenal dengan efek piezoelektrik. (1)
Fisika dasar Ultrasound (US) (a) Effecting Radiating Area (ERA) Permukaan tranduser tidak semuanya memancarkan gelombang US melainkan hanya permukaan tertentu yang disebut effektif radiating area. Oleh sebab itu ERA merupakan tolak ukur yang tentu dalam penentuan dosis dan waktu. (b) Sifat berkas gelombang US Sifat berkas gelombang US dibedakan atas dua bagian yaitu: 1. Area Konvergensi, ciri-cirinya adalah :
(a) Terjadi gejala interferensi pada daerah yang tidak homogen pada berkas tersebut sehingga timbul variasi intensitas yang besar yang disebut dengan intensity peaks, sedangkan gejala interferensi yang tidak homogen disebut Beams non uniformity ratio (BNR). BNR tidak bisa dihilangkan sama nilai yang dibenarkan adalah 4 sampai 6 kali intensitas output. (b) Bentuk berkasnya konvergensi dimana panjang area konvergensi ditentukan oleh diameter tranduser dan frekuensi US (c) Penyebaran berkasnya lebih tepusat, hal ini juga tergantung pada frekuensi dan diameter transduser, diamana
bila
frekuensi
tingii
maka
berkas
gelombang akan panjang demikian pula jika tranduser besar maka area konvergensi akan semakin panjang. 2. Area divergensi, ciri-cirinya adalah (a) Tidak terjadi gejala interfensi yang menyebabkan berkas gelombangnya sama. (b) Berkas gelombang yang menyebar. (2)
Efek Biologis Ultrasound (US) (a) Efek mekanik Bila gelombang US masuk kedalam tubuh maka akan menimbulkan pemampatan dan peregangan dalam jaringan
sama dengan frekuensi dari transduser US sehingga terjadi varisasi tekanan dalam jaringan. Dengan adanya varisasi tersebut menyebabkan efek mekanik yang sering disebut dengan istilah micro massage yang merupakan efek terapeutik yang sangat penting karena hampir semua efek yang timbul oleh US disebabkan oleh micro massage. Pemampatan dan peregangan oleh selubung longitudinal dari US mampu menimbulkan micro tissue damage dan menimbulakan reaksi inflamasi primer (Hosoien Eli, 2010). Pengaruh
mekanik
tersebut
juga
dengan
terstimulusinya saraf polimedial dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi “ P subtance ” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau dikenal “neurogeic inflammation” (b) Efek Thermal Micro massage pada jaringan akan menimbulkan efek friction yang hangat. Panas yang ditimbulkan oleh jaringan tidak sama tergantung dari nilai akustik impedance, pemilihan bentuk gelombang, intensitas yang digunakan dan
durasi
pengobatan.
Area
yang
paling
banyak
mendapatkan panas adalah jaringan interface yaitu antara kulit dan otot serta periosteum. Hal ini disebabkan oleh adanya gelombang yang diserap dan dipantulkan. Agar efek panas
tidak
terlalu
dominan
digunakan
intermitten
ultrasound
yang
efek
terapautiknya
lebih
dominan
dibandingkan efek panas. Perubahan konsentrasi ion sehingga mempengaruhi nilai ambang rangsang dari sel-sel. Efek thermal ultrasound pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang diperoleh jaringan hanya selama 1 (satu) menit. Tetapi bila terkonsentrasi pada satu jaringan dapat menimbulkan “heat burn”, yaitu bila pada tempat menonjol atau tranduser static. (c) Efek piezoelektrik Adalah suatu efek yang dihasilkan apabila bahanbahan piezoelektrik seperti kristal kwarts, bahan keramik polycrystalline seperti lead-zirconate-titanate dan brium titanate mendapatkan pukulan atau tekanan sehingga menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik pada sisi luar bahan piezoelektrik tadi. Pada manusia seperti pada jaringan tulang, kolagen dan pretein tubuh juga merupakan bahanbahan piezoeelektrik. Secara umum US akan mempengaruhi proses electrode dan kejenuhan dari elektolit tubuh sehingga menggangu ion-ion yang berada pada lapisan yang tipis didaerah perbatasan antara zat padat sengan larutan elektrolit. Fukuda melaporkan bahwa molekul biologis yang besar seperti protein san selulosa tersebut mendapat tekanan mereka
akan
memperlihatkan
perubahan
listrik
di
permukaannya.
Menyebabkan
protein
menarik
zat
metabolic elektrophilik yang menyatu selamu terjadi iskemia dan nyeri. (3) Pengaruh Terapeutik Pengaruh terapeutik merupakan jawaban secara fisiologis dari pengaruh mekanik, pengaruh thermal dan piezoelektrik, yaitu: (a)
Meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan Dengan vasodiatasi
pemberian pembuluh
US darah
menyebabkan sehingga
terjadinya
meningkatkan
pasokan bahan makanan pada jaringan unak dan juga terjadi peningkatkan zat atibodi yang memperudah terjadi perbaikan perbaikan jaringan yang rusak. Disamping itu akibat dari efek panas dan efek mekanik yang ditimbulkan US menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan secara fisiologis yang mengakibatkan terjadinya reaksi radang yang diikuti oleh terlepasnya “P” substance,prostaglandin, bradinkin dan histamin yang mengakibatkan terangsangnya serabut saraf yang bermielin tipis maupun serabut tak bermyelin sehingga timbul rsa nyeri. Namun
dengan
terangsangnya “P” substance tersebuut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih terpacu sehingga mempercepat
terjadinya penyembuhan jaringan
mengalami peradangan.
yang
(b) Mengurangi Nyeri Pengaruh nyeri terjadi secara tidak langsung yaitu nyeri menurun apabila penetrasi meningkat dengan adanya pengaruh gosokan membantu “ venous dan lymphatic”, peningkatan
kelenturan
jaringan
lemak
sehingga
menurunnya nyeri regang dan proses percepatan regenerasi jaringan. (c) Meningkatkan sirkulasi darah Penyerapan dari energi US antara lain menghasilkan efek panas. Tubuh akan memberikan reaksi terhadap efek panas ini yaitu vasodilatasi. Penting untuk diketahui bahwa efek panas terjadi pada pemberian US secara continue maupun intermitten. Tetapi efek yang ditimbulkan dangat kecil. Pelebaran pembuluh darah ini disebabkan : (i)
Adanya pembebanan zat-zat pengiritasi jaringan (tissue stimulant). Hal ini sebagai konsekuensi dari sel-sel tubuh
yang rusak sebagai akibat dari
mekanisme vibrasi. (ii)
Adanya iritasi yang langsung pada serabut saraf afferent
bermyalin
tabel
mengakibatkan
post
excitatory depression dari aktifitas orthosympatis. (iii) Akibat selanjutnya dari proses yang terjadi pada peristiwa kedua adalah relaksasi otot. Tonus otot yang
meningkat
akan
sementara
itu
menghambat dalam
waktu
sirkulasi yang
darah,
bersamaan
dibutuhkan energi yanng banyak dari jaringan hipotonus tadi dengan cara demikian kenaikan konsentrasi dari zat-zat pengiritasi jaringan sangat tepat
yang menyababkan meningginya aktifitas
nosiseptik. Hal ini menimbulkan tambahnya rasa nyeri,
bertambahnya
terhambatnya
ketegangan
sirkulasi
darah.
otot Untuk
(tonus), dapat
mematahkan lingkaran ini sangatlah jelas bahwa peningkatan sirkulasi darah merupakan tahap yang penting. (d) Rileksasi otot Perbaikan
sirkulasi
darah
akan
menyebabkan
terjdainya releksasi otot-otot karena zat-zat pengiritasi jaringan diangkut. Vibrasi US dapat mempengaruhi serabut saraf afferent secara langsung dan akibatnya adalah relaksasi otot. (e) Peningkatan permeabilitas membrane Terjadi pada pelaksanaan continue dan intermitten. Melalui getaran ini, cairan tubuh didorong kedalam membrane
sel,
yang
dapat
mengakibatkan
adanya
perubahan konsentrasi ion yang akan berpengaruh juga terhadap nilai ambang rangsang dari sel-sel. Perlengkapan
pada jaringan yang mengalami pemendekan terurai oleh karena pemisahan serabut-serabut kolagen. (f) Pengaruh terhadap saraf perifer Getaran US dengan intensitas 0.5-3 watt/cm2 dengan gelombang continue dapar mempengaruhi eksitasi dari saraf perifer. Efek inin berhubungan dengan efek panas sedangkan aspek mekanis tidak berpengaruh. (4) Target jaringan dan kontraindikasi US (a) Target jaringan spesifikasi pada aplikasi US antara lain (i)
Mengurangi inflamasi kronik
(ii)
Merangsang perbaikan jaringan yang rusak
(iii) Mengurangi abnormal crosslink (b) Kontra indikasi US antara lain : (i)
Pada daerah denagn luka terbuka
(ii)
Hiposesibilitas
(iii) Adanya tumor (5) Mekanisme Pengaruh Nyeri pada Sinusitis Maksilaris Kronik Pada sinusitis maksilaris kronis mengalami gangguan pada saluran nafas. Dimana terjadinya berupa penebalan mukosa, yang
diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang
membengkak hebat atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus.
Akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat di lihat pada foto tegak sinus maksilaris. Sinusitis pada dasarnya bersifat riogenik. Pada sinusitis kronik sumber infeksi berulang cenderung berupa suatu daerah stenotik, biasanya infudibulum etmoidalis dan resesus frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruang sempit ini, akibatnya terjadi gangguan transport mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus, infeksi kemudian menyebar ke sinus yang berdekatan, sehingga pemberian US ditujukan yang mengalami inflamasi tadi yang menyebabkan membrane sel kembali elastic. Dengan pemberian modalitas ultrasond dapat terjadi iritan jaringan yang menyebabkan reaksi fisiologis seperti kerusakan jaringan, hal ini disebabkan oleh efek mekanik dan thermal ultrasound. Pengaruh mekanik tersebut juga dengan terstimulasinya saraf polimodal dan akan dihantarkan ke ganglion dosalis sehingga memicu produksi “ P substance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau dikenal “neurogeic inflamation” namun dengan terangsangnya “P
substance”
tersebut
mengakibatkan
proses
indukasi
proliferasi akan lebih terpacu sehingga mempercepat terjadinya penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan. Sedangkan
efek thermal pengaruhnya lebih kecil mengingat surasi panas yang diperleh jaringan hanya satu menit. Dari efek-efek diatas akan menimbulkan efek biologis yaitu meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan, meningkatkan sirkulasi
darah,
relaksi
otot,
peningkatan
permeabilitas
membrane, pengaruh terhadap saraf perifer dan mengurangi nyeri pada sinusitis maksilaris kronik. (6) Prosedur pelaksanaan (a) Persiapan alat (i) Siapkan alat US dan jelly sebagai media penghantar, pastikan tidak ada kerusakan pada kabel-kabel yang terpasang. (ii) Atur jarak alat dengan tempat terapi pasien, usahakan agar alat tidak terjangkau oleh pasien. (b) Persiapan pasien (i) Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur dan tujuan dari pemberian US (ii) Daerah wajah yang akan diterapi bebas dari bahan mental. Perhatikan sensasi dan temperatur kulit (iii) Atur posisi pasien sesuai dengan daerah tubuh yang akan diterapi. Yaitu dengan posisi tidur terlentang di atas bed. Pastikan pasien merasa nyaman dengan posisi tersebut. (iv) Kemudian gerakkan trnaduser pada area yang diterapi.
(c) Teknik Aplikasi (i) Nyalakan alat,siapkan tranduser ultrasound lalu diberi jelly sesuai daerah yang diterapi. (ii)
Intensitas 1 W/cm2, selama 7 menit, Type continues, 1x/hari (5 kali berturut-turut). Menurut Journal of Physiotherapy 2010 Vol. 56 – © Australian Physiotherapy Association 2010
(iii) Gerakan tranduser kearah sirkuler pada area yang terapi, jangan biarkan tranduser dalam keadaan statis karena dapat menimbulkan luka bakar. (iv) Bila pada aplikasi terdengar bunyi, berarti tidak ada atau
kurangnya
medium
penghantar
ultrasound. (v) Dosis 1. Frekuensi
: 3 MH
2. Intensitas
: 1 W/cm2
3. Time
: 7 menit
Gambar 2.10. US pada Sinusitis Maksillaris Kronik ( Journal of Physiotherapy 2010 Vol. 56 – © Australian Physiotherapy Association 2010 )
gelombang
4. Micro Wave Diathermy a. Definisi Micro Wave Diatermy (MWD)
merupakan suatu pengobatan
menggunakan stressor fisis berupa gelombang energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus bolak-balik frekuensi 2450 MHz dengan panjang gelombang 12,25 cm. MWD diproduksi oleh suatu magnetron, yang merupakan jenis katoda-pijar (thermionic valve). b. Spesifikasi gelombang radian MWD Gelombang MWD akan berpengaruh pada masa, baik yang bersifat isolator, konduktor maupun elektrolit. Pada benda isolator molekulnya memiliki stabilitas elektronik, dimana molekul dikelilingi oleh elektron. Oleh pengaruh gelombang MWD akan terjadi displacement current yang menimbulkan pengaruh panas pada molekul tersebut. Benda yang bersifat konduktor, dimana molekulnya mempunyai kutub positif dan negatif, oleh pengaruh gelombang MWD, akan terjadi dipoles rotation yang menimbulkan panas pada molekul tersebut. Demikian pula pada benda elektrolit, dimana memiliki ion positif dan ion negatif, oleh gelombang MWD akan terjadi vibrasi ion dan akan berakibat panas pula. Oleh karena itu pada MWD tidak terlalu terpengaruh oleh sifat dielektrik jaringan tubuh akan berpengaruh panas, baik pada jaringan yang bersifat isolator (misalnya lemak) atau konduktor (misalnya otot,saraf) ataupun elektrolit (misalnya darah, limphe). Dengan demikian maka MWD dapat diaplikasikan dengan metal. Panas lebih dipengaruhi oleh daya
penetrasi MWD kedalam jaringan dan lamanya jaringan menyimpan panas. c. Penerapan pada jaringan Emitter yang sering disebut elektroda atau magnetoda terdiri dari serial, reflector dan pembungkus. Emitter ini bermacam-macam bentuk dan ukurannya serta sifatnya energi elektromagnetik yang dipancarkan antara emitter dan kulit didalam tehnik aplikasi terdapat jarak berupa udara. Pada emitter yang berbentuk bulat maka medan elektromagnetik yang dipancarkan berbentuk sirkuler dan paling padat didaerah tepi. Pada bentuk segi empat medan elektromagnetik yang dipancarkan berbentuk oval dan paling padat didaerah tengah. Energi elektromagnetik yang dipancarkan oleh emitter akan menyebar, sehingga kepadatan gelombang semakin berkurang pada jarak yang semakin jauh. Berkurangnya intensitas energi elektro magnetik juga disebabkan oleh penyerapan jaringan. Berkurangnya intensitas energi elektro magnetik juga disebabkan oleh penyerapan jaringan. Jarak antara kulit dan emitter tergantung pada beberapa faktor antara lain jenis emitter, output mesin dan spesifikasi struktur jaingan yang diobati. Pada pengobatan daerah yang lebih luas diperlukan jarak yang lebih jauh dan memerlukan mesin yang outputnya besar.
d. Efek-efek Fisiologis MWD 1) Perubahan temperatur a) Reaksi lokal jaringan (1) Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal 13 % tiap kenaikan temperatur 1C. (2) Meningkatkan vasomotor sphingter sehingga menimbulkan homeostatik lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal. b) Reaksi general Mungkin dapat terjadi kenaikan temperatur, tetapi perlu dipertimbangkan karena penetrasi dangkal 3 cm dan aplikasinya lokal. c) Consensual efek Timbulnya respon panas pada sisi kontralateral dari segmen yang sama. Dengan penerapan MWD, penetrasi dan perubahan temperatur lebih terkonsentrasi pada jaringan otot, sebab jaringan otot lebih banyak mengandung cairan dan darah. -
Pada jaringan otot Meningkatkan elastisitas jaringan otot dan menurunkan tonus melalui normalisasi nosisensorik. - Pada jaringan ikat Meningkatkan elastisitas jaringan ikat seperti jaringan kolagen akibat
kulit, otot, tendon, ligamen, dan kapsul sendi menurunnya viskositas matriks jaringan tanpa
menambah panjang matriks, tetapi terbatas pada jaringan
ikat yang letak kedalamannya 3 cm. Hal ini tergantung lokasi pengobatan. - Pada jaringan saraf Meningkatkan
elastisitas
pembungkus
jaringan
saraf,meningkatkan konduktifitas serta ambang rangsang saraf. Efek sedatif terhadap sistem saraf sensorik. e. Efek Terapeutik 1) Penyembuhan luka pada jaringan lunak MWD berpengaruh langsung pada jaringan interface, hal ini disebabkan karena gelombang pulsa dengan intensitas yang rendah dapat menimbulkan pengaruh sedatif dan analgesik pada ujungujung saraf afferen II dan IIIa sehingga diperoleh efek penurunan nyeri akibat blokade, aktifitas nosiseptor pada PHC (Posterior Horn Cell) melalui serabut saraf tersebut. 2) Nyeri, hipertonus dan gangguan vascularisasi Menurunkan nyeri, normalisasi tonus otot melalui efek sedatif, serta perbaikan metabolisme. 3) Kontraktur jaringan lunak Dengan peningkatan elastisitas jaringan lunak, maka dapat mengurangi proses kontraktur jaringan. Ini dimaksudkan sebagai persiapan sebelum pemberian latihan. 1) Gangguan konduktifitas dan threshold jaringan saraf Apabila elastisitas dan threshold jaringan saraf semakin membaik,
maka konduktifitas jaringan saraf akan membaik pula.
f. Indikasi dan Kontra indikasi MWD 1. Indikasi a) Terhadap jaringan < 3 cm b) Banyak mengandung cairan c) Pada daerah arteri, otot. 2. Kontra Indikasi MWD a) Pemakaian implant pacemaker a) Gangguan sensasi panas b) Perdarahan c) Malignant tumor d) Trombosis vena e) Pasien dengan gangguan control gerakan atau tidak bisa bekerja sama g. Mekanisme Pengurangan Nyeri oleh MWD Nyeri yang timbul pada kondisi sinusitis kronik dapat berkurang dengan pemberian MWD yang mempunyai daya penetrasi dengan panjang gelombang 10mm sampai 1 meter dan frekuensi 2450 MHz, dapat menimbulkan panas induktan untuk kebutuhan jaringan yang lebih dalam tanpa ada pemansan di permukaan. Sehingga arus mengumpul pada jaringan yang meradang dalam sinus. Pembengkakan atau peradangan ini disebabkan oleh lendir yang tersumbat dalam sinus. Pada lendir ini terdapat bakteri dalam jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan infeksi.
Apabila aliran hidung terhambat maka sekresinya menumpuk dan terperangkap bersama udara did lam sinus dan menekan dinding sinus yang bertulang sehingga menimbulkan rasa nyeri. Oleh sebab itu, dengan penerapan MWD yang menghasilkan panas induktan untuk membantu mengencerkan lendir yang tersumbat di dalam sinus, maka akan mempercepat reabsorbsi pembengkakan atau peradangan. Selain itu, panas secara langsung dapat membantu resolusi dari inflamasi akut, vasodilatasi pembuluh darah dan rileksasi. Sehingga hal tersebut dapat mengurangi penekanan pada dinding sinus serta dapat menurunkan nyeri. h. Prosedur Pelaksanaan 1) Persiapan alat a) Semua tombol dalam keadaan nol. b) Merapikan kabel penghubung jangan sampai ada kabel yang bersilangan. c) Kabel utama di sambungkan ke sumber listrik. d) Siapkan penutup mata (kacamata) 2) Persiapan pasien a) Bebaskan faktor penghambat sehingga dapat menerima efek terapi optimal. b) Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman (comportable) c) Jelaskan kepada pasien tentang sensasi yang akan dirasakan pada saat terapi.
d) Jelaskan kepada pasien bahwa selama pengobatan pasien tidak boleh bergerak. e) Lakukan tes sensasi panas/dingin untuk mendeteksi adanya gangguan sensasi. 3) Pelaksanaan terapi a) Pasien tidur rileks b) Berikan penutup mata (kacamata google) c) Pasang elektroda pada daerah sinus yang dirasakan nyeri, kemudian hidupkan mesin serta atur timer dan intensitas. d) Dosis yang diberikan: 1. Waktu
: 15 menit
2. Intensitas: Subthermal 3. Frekuensi: 1x/hari (6 hari berturut-turut)
B. Kerangka Berfikir Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada setiap individu. Sinus paranasal ini merukan hasil pneumatisasi tengkorak yang kemudian akan berkembang menjadi rongga didalam tulang (Soejipto, Mangunkusumo,2001) Ada beberapa jenis sinus yang terdapat dalam tengkorak kepala kita, yaitu: sinusitis maksillaris, sinusitis frontalis, sinusitis sfenoidalis, ethmoidalis.
dan sinusitis
Peradangan pada sinus seringkali disebabkan oleh infeksi atau alergi yang menyebabkan cairan pada sinus tidak dapat dialirkan secara baik sehingga bakteri/virus dapat berkembang dalam sinus. Maka terjadilah sinusitis. Ada banyak penyebab timbulnya sinusitis, namun berbagai penyebab itu termasuk salah satu dari tiga kategori besar, yaitu; dilihat dari segi anatomis, penyimpangan sekang hidung, patah tulang hidung, polip hidung, jaringan parut dan tumor. Dilihat dari segi genetis; fibrosis sistis, penyakit imunodefisiensi, diskinesia, silia primer dan asma triad. Dan terakhir dilihat dari segi lingkungan; polutan udara atau bahan kimia, alergi, asap rokok, mikroorganiisme (bakteri, jamur) dan stick building syndrome. Sinusitis ini dibagi dua. Pertama, sinusitis akut yakni sinusitis yang berlangsung selama sebulan, atau bahkan dua atau tiga bulan. Kedua, sinusitis kronik, yakni sinusitis yang berlangsung lebih lama bisa tiga bulan atau bisa terus berlangsung sampai tahunan. Selain durasi, satu-satunya perbedaan yang penting
adalah
bahwa
orang
dengan
sinusitis
akut
lebih
besar
kemungkinannya mengalami demam. Adapun gejala yang terjadi saat infeksi sinus yang sering dialami banyak orang, yang pertama adalah nyeri dan tekanan. Nyeri dan tekanan yang ditimbulkan oleh jaringan yang meradang pada ujung-ujung saraf di dinding dalam sinus. Lokasi ini kerapkali khas untuk sinus yang terinfeksi, yaitu: sinusitis frotalis menyababkan nyeri dahi atau sakit kepala; sinusitis maksilaris menyababkan nyeri pipi yang mungkin menyebar ke gigi rahang atas; sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri diantara mata atau di jembatan hidung;
sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri di belakang mata, di puncak kepala atau disepanjang tengkuk kepala. Kedua, kesulitan bernafas atau penyumbatan. Kombinasi pembengkakkan membran atau selaput hidung dan peningkatan pembentukan lendir menyebabkan terjadinya kesulitan bernafas melalui hidung. Bagi sebagian penderita sinusitis, istilah penyumbatan adalah perasaan penuh di wajah terutama di pipi. Sensasi ini disebabkan oleh tersumbatnya oleh cairan sinus itu sendiri, dan jika osium yang membengkak tertutup maka membran mukosa tidak akan menyerap oksigen, sehingga menghasilkan tekanan negative (atau vakum) yang dapat menimbulkan sensasi penyumbatan lendir pada wajah hingga terdapat nyeri. Ketiga, postnatal drip. Lendir dalam sinus secara normal mengalir dalam jumlah kecil ke dalam hidung dan turun ke belakang tenggorokkan sebelum tertelan. Selama infeksi terjadi peningkatan sekresi dalam hidung yang menyebabkan bertambahnya lendir yang sering, kental dan berwarna kuning atau hijau. Lendir ini yang mengandung banyak bakteri dan sel darah putih, yang mengalir ke bawah belakang hidung dan tenggorokkan. Adanya nyeri yang timbul pada kondisi sinusitis kronik, disebabkan oleh lendir yang tersumbat didalam sinus. Pada lendir ini terdapat bakteri dalam jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan infeksi. Disinilah timbul tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Dimana kelenjar-kelenjar di dalam sinus terus mengalir menghasilkan lendir yang tidak dapat dikeluarkan sehingga
terjadi pembengkakan atau peradangan jaringan pada ujung-ujung saraf di dinding dalam sinus.
Terapi Antibiotik
Infeksi dan alergi mengakibatkan bakteri/virus berkembang biak
Masuk bakteri dan virus
US
Timbul reaksi radang
MWD Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal± 13 % tiap kenaikan temperatur 1⁰
Meningkatkan regenerasi jaringan Meningkatkan sirkulasi darah (vasodilatasi ) karena adanya efek thermal Rileksasi otot Peningkatan permebilietas membrane
Spasme otot wajah dan rasa penuh akibat penyumbatan pada sinus
Pengaruh terhadap saraf perifer Nyeri tekan wajah di sekitar area sinus maksilaris
Nyeri lebih berkurang
Meningkatkan vasomotor sphingter sehingga terjadi vasodilatasi lokal Meningkatkan elastisitas jaringan otot serta jaringan ikat Meningkatkan konduktifitas serta ambang rangsang saraf Menurunkan nyeri, normalisasi tonus otot melalui efek sedatif serta perbaikan metabolisme Nyeri berkurang
Skema Gambar 2.1
C. Kerangka Konsep
X1 P1 P
S
P2
RA X2 P3
P4
Skema Gambar 2.2 Keterangan : P = Populasi, S = Sample, RA = Random alokasi, 1
= Nyeri sebelum intervensi kelompok 1
=2N = Nyeri sesudah intervensi kelompok 1 33
= Nyeri sebelum intervensi kelompok 2
44
= Nyeri sesudah intervensi kelompok 2
P1 = Perlakuan 1 P2 = Perlakuan 2
D. Hipotesa Adapun hipotesa yang akan buktikan dalam penelitian ini adalah : 1. Ada pengaruh Pemberian US dapat menurunkan nyeri pada sinusitis maksillaris kronik. 2. Ada pengaruh Pemberian MWD dapat menurunkan nyeri pada sinusitis maksillaris kronik .