BAB II KEDUDUKAN BANK INDONESIA DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT TERHADAP BANK
A.
Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral Di berbagai negara, tugas menjaga stabilitas keuangan diemban oleh bank
sentral, dengan dasar bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem keuangan yang stabil. Dari sini dapat dilihat sudah seharusnya pemeliharaan stabilitas moneter dan stabilitas keuangan dilaksanakan secara simultan. Di Indonesia, memang tidak ada kerangka hukum yang secara formal dan definitif menyatakan bahwa Bank Indonesia memiliki fungsi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun perlu diingat, bahwa baik fungsi kestabilan moneter maupun fungsi kestabilan keuangan bermuara pada hal yang sama, yaitu stabilitas harga. 63 Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi menjaga stabilitas moneter yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, secara simultan juga turut menjaga stabilitas keuangan. Atau dapat pula dikatakan bahwa tugas menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi satu dengan tugas menjaga stabilitas sistem moneter. 64 Sejalan dengan berlakunya peraturan Bank Indonesia, Bank Indonesia juga telah memasukkan aspek stabilitas sistem keuangan dalam misinya, yaitu memelihara stabilitas nilai rupiah dengan memelihara stabilitas moneter dan
63
Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan tentang Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan di Indonesia, Op.cit., hal. 349. 64 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mendorong stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. 65 Sehingga peranan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan bukanlah suatu hal untuk diperdebatkan lagi. Pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan antara lain menjaga stabilitas moneter, menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, melakukan macroprudential surveillance dan mengembangkan riset untuk pengembangan instrumen dan indikator macroprudential serta mendeteksi kerentanan sektor keuangan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan fungsi lender of the last resort. 66 Sebagai lender of the last resort, bank sentral memiliki peranan yang sangat besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Lender of the last of resort merupakan instrumen pengawasan pada saat krisis, dimana bank sentral dapat memberikan bantuan kepada bank yang mengalami krisis likuiditas apabila ada potensi terjadi resiko sistemik. 67 Hal ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan sehingga menciptakan kredibilitas bank, sehingga stabilitas keuangan juga turut terjaga. Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam
65
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, “Kerangka Acuan Tugas Penelitian dan Publikasi : Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan dan Jaring Pengaman Sektor Keuangan”, Op.cit. 66 Ibid. 67 Zulkarrnaen Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan tentang Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan di Indonesia, Op.cit, hal. 346. Lihat juga : Tobias M.C. Asser, Op.cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia. Secara konsep istilah ”sentral” dalam ”bank sentral” mengandung pengertian bahwa bank tersebut mengemban tugas sebagai pelayan publik yang bersifat memenuhi kepentingan umum (Public Purpose). 68 Hal ini memberikan indikasi bahwa bank sentral tersebut tidak mencari keuntungan, tetapi mempengaruhi pasar uang dan memberi efek terhadap struktur perbankan pada umumnya. 69 Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri 68
Satjipto Rahardjo, et.al., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah, (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1995), hal. 21. 69 Hendra Nurtjahjo, et.al., Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara (Pembahasan Kemandirian Bank Indonesia dalam Perspektif Hukum Tata Negara), (Depok : Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002), hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien. Sebagai lembaga yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam pelaksanaan tugasnya. Secara struktural Bank Indonesia berada diluar pemerintah sehingga dapat mengeliminir adanya intervensi terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain.70 Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. 71 Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
70
Barno Sudarwanto, “Mengupayakan Bank Indonesia yang Independen”, 15 Desember 2009, dalam ”Peranan Bank Indonesia Sebagai Last Money Lender”, diakses http://sandipieceofmind.blogspot.com/2010/01/peranan-bank-indonesia-sebagai-last.html., pada 13 Mei 2011. 71 Bank Indonesia, ”Tujuan dan Tugas Bank Indonesia”, http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/., diakses pada 13 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini, antara lain 72 : 1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. 2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan 3. Mengatur serta mengawasi perbankan di Indonesia.
Ketiganya perlu diintegrasikan agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia berwenang untuk 73 : 1. ”Memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh Bank Indonesia meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu; 2. Mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat; 3. Mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langasung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank, 72
Pasal 8, Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bank Indonesia, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasan+Bank/Tujua n+dan+Kewenangan/., diakses pada 13 Mei 2011. 73
Universitas Sumatera Utara
laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan tugas pemeriksaan; 4. Mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan azas perbankan yang sehat”.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank umum dilaksanakan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pengawasan tidak langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank. Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. Selanjutnya adalah peranan Bank Indonesia dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga Stabitas Sistem Keuangan (SSK). Kelima peran utama tersebut
Universitas Sumatera Utara
mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu, antara lain 74 : 1. ”Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework; 2. Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II; 3. Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat 74
Bank Indonesia, “Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Keuangan”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+ BI/., diakses pada 13 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran; 4. Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan; 5. Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut”.
B.
Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral Memiliki Kewenangan Untuk Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku
yang telah diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan
Universitas Sumatera Utara
menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang diambil dari berbagai sumber. 75 Menurut Sutton dan Tosovsky sebagai ahli perbankan, mengatakan bahwa Stabilitas Keuangan yaitu 76 : ”Situasi dimana sistem keuangan dapat : (i) mengalokasikan sumber daya secara efisien ke dalam kegiatan produktif pada waktu yang berbeda-beda; (ii) memprediksi dan mengukur risiko finansial; dan (iii) menyerap shock. Maksud dari ketiga poin tersebut adalah Stabilitas Sistem Keuangan meliputi efisiensi dan ketahanan sistem keuangan yang notabene merupakan suatu konsep yang kompleks. Stabil tidaknya sistem keuangan tidak hanya bergantung pada interaksi yang kompleks antara lembaga keuangan, sektor riil dan pasar keuangan”.
Menurut Crocket sebagai ahli perbankan, dalam membahas stabilitas keuangan dibedakan menjadi financial stability dari monetary stability yang mengacu pada stabilitas harga-harga secara umum (no excessive inflation), yaitu 77 : ”Ketidakstabilan keuangan (financial instability) akan memberi dampak negatif pada efektivitas kebijakan moneter (monetary stability) apabila perbankan tidak dapat mentransmisikan kebijakan moneternya dengan baik. Secara teoritis, pada ekonomi tertutup kebijakan moneter memiliki kaitan erat dengan stabilitas keuangan, terutama karena kebijakan moneter yang baik dapat meredam gangguan terhadap ekonomi dan sistem keuangan. Namun dalam perekonomian terbuka, keterkaitan antara stabilitas keuangan dan kebijakan moneter menjadi semakin longgar, terutama karena perekonomian yang terbuka cenderung lebih rentan terhadap berbagai gangguan eksternal. Gangguan tersebut dapat berupa perubahan terms of trade yang menghantam aggregat supply jangka panjang ataupun berupa pembalikan arah arus modal (capital flow reversal) secara besar-besaran yang menghantam sektor finansial. Walaupun demikian, kebijkan moneter yang mampu menunjang stabilitas ekonomi makro dalam suatu perekonomian terbuka kerap kali juga mampu menunjang stabilitas keuangan secara terbatas. Oleh karenanya, upaya 75
Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, Op.cit. Sjamsul Arifin, et.al., IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional : Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004), hal. 13. 77 Ibid. 76
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan oleh setiap negara untuk mencapai kestabilan makro pada hakikatnya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara kestabilan moneter dan kestabilan finansial”.
Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional. 78 Kecenderungan
globalisasi
sektor
finansial
yang
didukung
oleh
perkembangan teknologi menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin dinamis dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya mengatasi ketidakstabilan tersebut. 79 Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil identifikasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis 78 79
Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, Op.cit. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin membahayakan, meluas dan bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan perekonomian. 80 Gambar 1 Hubungan Stabilitas Sistem Kuangan dan Stabilitas Moneter
Sumber
: Website Resmi Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi+SS K/., diakses pada 13 Mei 2011.
Setidaknya, ada dua aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit usaha bisnis yang tidak terlepas dari berbagai risiko. Kedua aspek itu bisa karena persoalan di internal bank atau eksternal. Faktor internal bank bisa menjadi sumber bank mengalami masalah bila bank itu dikelola dengan tidak hati-hati khususnya dalam manajemen risiko, lemahnya pengendalian internal, campur tangan pemilik dalam operasional bank atau adanya kesalahan penetapan strategi yang bermuara bank mengalami kerugian. Sedangkan faktor eksternal bank seperti perubahan 80
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
lingkungan bisnis. Contoh senyatanya adalah krisis moneter yang mendera tahun 2008 hingga memasuki tahun 2009 yang banyak memukul kinerja usaha debitor bank yang mengalami kesulitan untuk membayar bunga dan pokok kredit mereka. Gagal bayar debitor bank ini memukul tingkat pendapatan bank dari bunga kredit (fee based income) dan memaksa bank untuk menyisihkan pencadangan yang menguras likuiditas hingga struktur permodalan pun terancam melorot. 81 Masih banyak faktor eksternal lainnya sangat berpotensi mempengaruhi kinerja bank. Sebut misalnya, perubahan kebijakan pemerintah. Perubahan kebijakan yang tidak terduga berpeluang besar memukul pemburukan kualitas kredit debitur bank sehingga mempengaruhi likuiditas bank. Ambil contoh kebijakan Pemerintah mengurangi pagu ekspor minyak kelapa sawit untuk setiap industri pengolahan minyak sawit di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Kenyataan ini sudah barang tentu berpotensi memukul industri sawit dan mengancam kelancaran pembayaran angsuran kredit ke perbankan. Sebab lain bisa juga karena faktor perubahan situasi politik dan tingkat persaingan antar bank itu sendiri. 82 Masih panjang daftar risiko-risiko yang mesti dipikul perbankan. Sebuah bank dikatakan bermasalah atau mengalami kegagalan bila sudah tidak mampu lagi memenuhi kewajiban deposan dan kreditur. Gagal bayar ini bersumber pada persoalan likuiditas bank. Dalam menjalankan roda bisnis, bank menghimpun dana
81
Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”, http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perbankan_Indonesia/Bab_3., diakses pada 13 Mei 2011. 82 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dalam bentuk tabungan, deposito dan giro yang umumnya berjangka waktu pendek (kurang dari setahun). 83 Dana yang terkumpul tadi akan dimanfaatkan bank untuk membiayai kredit korporasi atau penempatan pada instrumen-instrumen investasi lain yang umumnya berjangka waktu lebih dari setahun. Disinilah bank secara alamiah menghadapi apa yang disebut maturity gap pada struktur keuangannya. Maksudnya, antara kewajiban membayar dana nasabah dan hasil penempatan, jatuh temponya tidaklah sama. Sekali bank gagal memenuhi kewajiban kepada deposan, reputasi bank itu sedang dipertaruhkan. Bukan tidak mungkin akan mengalami rush oleh nasabah. 84 Kalau sudah begini, bank sebesar dan sesehat apapun akan collapse. Dalam menangani bank bermasalah mestilah dilihat situasi dan kondisi ketika itu. Bila ada bank bermasalah hingga ditetapkan sebagai bank gagal dan setelah dikaji tidak berdampak sistemik dalam situasi tidak sedang ada krisis, putusan terang benderang seperti likuidasi. Selanjutnya tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk membayar dana masyarakat yang masuk dalam skim penjaminan. Lihat saja ketika Bank Indonesia menutup Bank IFI atau Uni Bank. Dalam kondisi sedang tidak ada krisis, penutupan bank-bank tersebut berjalan secara alamiah tanpa menimbulkan goncangan psikologi massa nasabah bank. 85 Namun sebaliknya, ketika ada bank bermasalah dalam situasi krisis (moneter atau ekonomi), jelaslah pendekatan dan penanganan menjadi berbeda. Hal itu dikarenakan adanya krisis yang berpotensi mengoyak psikologi pasar yang 83
Ibid. Ibid. 85 Ibid. 84
Universitas Sumatera Utara
berdampak ikut (baca : sistemik) merontokkan bank-bank lainnya, misalnya penyelamatan Bank Century. Selanjutnya Bank yang tergolong kecil yang bermasalah dalam hal likuiditasnya ini dalam kondisi normal akan divonis mati alias likuidasi karena kecil saja peran bank ini terhadap totalitas sistem perbankan. Dalam kondisi yang sedang tidak normal didera krisis, bukan lagi faktor-faktor kuantitatif yang dominan akan menjadi bahan pertimbangan mengambil keputusan (judgement). Tapi unsur kualitatif atau judgement yang mempertimbangkan dengan cermat dampak psikologi pasar. Memang haruslah diakui, wilayah ini adalah debatable. Tapi, kalau belajar dari krisis moneter tahun 1997 – 1998, bukankah faktor psikologi pasar yang merontokkan perbankan nasional hingga harus direkapitalisasi dana triliunan rupiah. 86
C.
Kriteria Tingkat Kesehatan Bank Dalam
rangka
menjalankan
tugas
pengawasannya,
Bank
Indonesia
menetapkan beberapa jenis pengawasan yang didasarkan atas analisis terhadap kondisi suatu bank tertentu, yaitu 87 : 1. Pengawasan Normal (Rutin) 2. Pengawasan Intensif (Intensive Supervision) 3. Pengawasan Khusus (Special Surveillance).
86
Ibid. Bank Indonesia, “Bank Dalam Pengawasan Khusus (Special Surveillance)”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Bank+dalam+Pengawasan+Khusus/., diakses pada 13 Mei 2011. 87
Universitas Sumatera Utara
Dalam prakteknya, Bank Indonesia juga tetap mengawasi Bank Dalam Penyehatan (BDP), dan memantau penyelesaian kewajiban dari Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), serta Bank Dalam Likuidasi (BDL) yang ditetapkan oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan strategi pengawasan tersebut di atas, pendekatan pengawasan yang dilakukan terbagi atas 2 (dua) jenis kegiatan yaitu pengawasan tidak langsung (off site supervision) dan pengawasan langsung (on site examination). Secara ringkas, pengawasan tidak langsung merupakan tindakan pengawasan dan analisis yang dilakukan berdasarkan laporan berkala (regulatory reports) yang disampaikan oleh Bank, informasi dalam bentuk komunikasi lain serta informasi dari pihak lain. Sementara itu, pengawasan langsung dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada Bank untuk meneliti dan mengevaluasi tingkat kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku. Termasuk dalam kedua jenis pengawasan tersebut di atas analisis kondisi Bank, saat ini dan di waktu yang akan datang (forward looking). 88
1.
Bank Dalam Pengawasan Normal Pengawasan intensif terhadap Bank yang memenuhi kriteria tidak memiliki
potensi atau tidak membahayakan kelangsungan usahanya. Umumnya, frekuensi pengawasan dan pemantauan kondisi Bank dilakukan secara normal sedangkan pemeriksaan terhadap jenis Bank ini dilakukan secara berkala atau sekurangkurangnya setahun sekali. 89
88 89
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2.
Bank Dalam Pengawasan Intensif Pengawasan intensif ini dilakukan Bank yang memenuhi dan memiliki potensi
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya. Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia pada Bank dengan status ini, antara lain 90 : 1. Meminta Bank untuk melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank Indonesia; 2. Melakukan peningkatan frekuensi pengkinian dan penilaian rencana kerja dengan penyesuaian terhadap sasaran yang akan dicapai; 3. Meminta Bank untuk menyusun rencana tindakan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi; 4. Menempatkan pengawasan dan atau pemeriksaan Bank Indonesia pada Bank, apabila diperlukan.
Bagi Bank dalam Pengawasan Intensif yang tidak menghasilkan perbaikan kondisi keuangan dan manajerial dan berdasarkan analisis Bank Indonesia diketahui bahwa Bank tersebut dapat diklasifikasikan sebagai Bank yang memiliki kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank tersebut ditetapkan sebagai Bank dengan status Pengawasan Khusus. Di samping itu, apabila diperlukan, intensitas pemeriksaan langsung pada Bank pada umumnya meningkat terutama
90
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dalam rangka memantau perkembangan kinerja berdasarkan komitmen dan rencana perbaikan yang disampaikan manajemen Bank kepada Bank Indonesia. 91
3.
Bank Dalam Pengawasan Khusus Pengawasan terhadap bank yang dinilai mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya. Terhadap Bank dengan status Pengawasan Khusus ini maka beberapa tindakan Bank Indonesia yang diambil, antara lain 92 : 1. Memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk mengajukan rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) secara tertulis kepada Bank Indonesia. 2. Memerintahkan Bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan tindakan perbaikan (mandatory supervisory actions). 3. Memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk melakukan tindakan antara lain: a. mengganti dewan komisaris dan atau direksi Bank; b. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank; c. melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; d. menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban Bank;
91 92
Ibid. Ibid., Lihat : Pasal 37 ayat (1), Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Universitas Sumatera Utara
e. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain; f. menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban Bank kepada bank atau pihak lain; dan atau g. membekukan kegiatan usaha tertentu Bank.
Adapun larangan dan pembatasan bagi Bank dalam Pengawasan Khusus, antara lain 93 : 1. Bank dilarang melakukan pembayaran distribusi modal (pembagian deviden atau pemberian bonus); 2. Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; 3. Bank dikenakan pembatasan pertumbuhan aset; 4. Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman subordinasi; dan 5. Bank dikenakan pembatasan kompensasi kepada pihak terkait.
Selain tindakan perbaikan Bank yang diwajibkan tersebut, Bank Indonesia juga Bank yang telah ditetapkan dengan status Bank dalam Pengawasan Khusus pada homepage Bank Indonesia. Sebaliknya, dalam rangka keseimbangan informasi kepada publik, maka apabila kondisi Bank membaik dan tidak terkategori sebagai Bank
dalam
Pengawasan
Khusus,
maka
Bank
Indonesia
juga
akan
mengumumkannya. Jangka waktu Bank dengan status Pengawasan Khusus adalah paling lama tiga bulan bagi Bank yang tidak terdaftar pada Pasar Modal atau enam 93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bulan bagi Bank yang terdaftar pada Pasar Modal (listed Banks). Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dan perpanjangan dapat diberikan maksimal satu kali dan paling lama tiga bulan. Pertimbangan perpanjangan tersebut terutama yang berkaitan dengan proses hukum yang diperlukan antara lain perubahan anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan, proses perizinan, dan proses kaji tuntas oleh investor baru (due diligence). 94 Pada umumnya frekuensi dan intensitas pengawasan dan pemeriksaan meningkat terutama dalam rangka memantau perkembangan kinerja dan komitmen serta kewajiban Bank yang diperintahkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya berdasarkan analisis dan pemantauan dimaksud, apabila diketahui bahwa kondisi Bank semakin memburuk, maka terdapat dua alternatif resolusi Bank dimaksud, yaitu Bank diserahkan kepada BPPN dengan status Bank Dalam Penyehatan (BDP) atau Bank Beku Kegiatan Usaha.
a.
Bank Dalam Penyehatan (BDP) Bank dapat ditetapkan dengan status Bank Dalam Penyehatan apabila Bank
tersebut dinilai masih memiliki potensi untuk dapat diperbaiki terutama dari aspek permodalan. Selama proses penyehatan Bank oleh BPPN, komunikasi dan kerjasama antara Bank Indonesia dengan BPPN intensif dilakukan terutama yang berkaitan dengan perkembangan indikator utama kinerja Bank, antara lain kinerja permodalan, rasio likuiditas (Giro Wajib Minimum), non-performing loan, ketentuan prudensial (BMPK, PDN, PPAP), dan indikasi pencapaian rencana kerja. Apabila kondisi 94
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
membaik dan program penyehatan telah selesai dilakukan atau dinyatakan berhasil, maka status BDP dicabut dan Bank diserahkan kembali kepada Bank Indonesia untuk dilakukan pengawasan yang diperlukan. Sebaliknya, apabila kondisi Bank semakin memburuk, status BDP dapat berubah menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha. 95
b.
Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) Bank ditetapkan dengan status Bank Beku Kegiatan Usaha apabila Bank
memenuhi persyaratan bahwa kondisi Bank menurun sangat tajam atau program penyehatan BPPN atas Bank Dalam Penyehatan (BDP) tidak dapat diselesaikan oleh Bank dalam jangka waktu yang disepakati atau berdasarkan pertimbangan BPPN, program penyehatan tidak dapat dilaksanakan meskipun jangka waktu yang disepakati belum terlampaui. Selanjutnya dalam hal BPPN telah selesai melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk penyelesaian Bank dengan status BBKU, penyelesaian berikutnya dilakukan tahapan-tahapan pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum, serta likuidasi Bank menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. 96
4.
Penanganan Bank Gagal Kegagalan sebuah bank secara realistis harus dijadikan suatu risiko yang
terukur dan rasional. Artinya sejak awal harus disadari bahwa peluang gagalnya
95 96
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
suatu bank harus diperhitungkan sekecil apapun peluangnya. Dengan demikian dapat dilakukan pencadangan sumber dananya agar penanganan bank gagal menjadi lebih terorganisir dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Tentunya sulit diterima oleh semua pihak kalau dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan dialokasikan sejumlah dana pencadangan untuk mengatasi bank gagal. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan dan penanganan khusus oleh suatu lembaga yang khusus juga. 97 Pendekatan dan penanganan khusus oleh suatu lembaga khusus dilandasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 22 September 2004 atas dasar persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. LPS adalah sebuah lembaga yang independen diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program dimaksud. Di dalam ketentuan ini ditetapkan penjaminan simpanan nasabah Bank yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhaap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang menimbulkan moral hazard. 98 Penjaminan simpanan nasabah Bank tersebut diselenggarakan oleh LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah Bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan bank gagal (likuidasi bank). Penjaminan simpanan nasabah Bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas, tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya
97
Krisna Wijaya, “Penanganan Bank Gagal”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=35., diakses pada 13 Mei 2011. 98 Soetanto Hadinoto, Bank Strategy on Funding and Liability Management, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2008), hal. 201.
Universitas Sumatera Utara
nasabah. Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia diwajibkan untuk menjadi peserta yang membayar premi penjaminan. LPS melakukan tindakan penyelesaian atau penanganan Bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam kerangka mekanisme kerja yang terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan ketahanan sektor keuangan Indonesia atau disebut : Indonesia Financial Safety Net (IFSN) bersama Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) menjadi anggota Komite Koordinasi. 99 Tindakan penyelesaian atau penanganan Bank gagal oleh LPS didahului berbagai tindakan lain oleh Bank Indonesia dan LPP sesuai peraturan perundangundangan. Bank Indonesia melalui mekanisme sistem pembayaran, akan mendeteksi kesulitan tersebut dan berupaya mengatasi dan menjalankan fungsi pengawasannya, antara lain berupa tindakan agar pemilik Bank menambah modal atau menjual Bank, atau agar Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank lain. Apabila kondisi Bank yang mengalami kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya tingkat solvabilitas Bank, tindakan penyelesaian dan penanganan lain harus segera dilakukan. Dalam keadaan ini, penyelesaian dan penanganan Bank gagal diserahkan kepada LPS yang akan bekerja setelah terlebih dahulu mempertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha Bank terhadap perekonomian nasional. 100 Dalam hal pencabutan izin usaha Bank diperkirakan memiliki dampak terhadap perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan LPS
99
Ibid., hal. 201-202. Ibid., hal. 202.
100
Universitas Sumatera Utara
didasarkan pada keputusan Komite Koordinasi. Mengingat fungsinya yang sangat penting, LPS harus independen, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Karena itu, status hukum, governance, pengelolaan kekayaan dan kewajiban pelaporan dan akuntabilitas LPS serta hubungannya dengan organisasi lain, diatur sercara jelas dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). 101 Keberadaan LPS terlanjur dipahami hanya sekedar menjalankan fungsi penjaminan simpanan masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum mengetahui bahwa salah satu tugas strategis LPS diluar penjaminan simpanan adalah penanganan bank gagal dan melaksanakan proses dan penyelesaian likuidasi bank. Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran dan kelangsungan roda perekonomian. Sementara yang tidak sistemik tentunya apabila tidak memenuhi kriteria tersebut di atas. 102 Dalam menangani bank gagal yang sistemik maupun tidak, pihak LPS akan melakukan kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya penyelamatan jauh lebih mahal dari pada dengan melikuidasinya, maka penyelesaiannya singkat saja. Bank tersebut diusulkan dicabut ijin usahanya, kemudian dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan masyarakat. Apabila LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan, maka ada perbedaan perlakuan
101 102
Ibid. Krisna Wijaya, “Penanganan Bank Gagal”, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
antara penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik. Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang saham lama. Artinya segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan menjadi disediakan oleh pihak LPS. 103 Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama (open bank assistance). Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam penyelematan, maka diwajibkan menyetor minimal 20% dari total biaya penyelamatan. Sama seperti bank gagal sistemik, maka kekurangannya akan ditangani LPS. Untuk penanganan bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS berdasarkan UU No.24/2004 diberikan kewenangan yang sangat memadai. Kewenangan RUPS dan pengelolaan bank gagal sepenuhnya diserahkan kepada LPS sehingga program penyelamatan dapat dilakukan lebih efektif. Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk melakukan penyertaan sementara, melakukan merger dan konsolidasi dengan bank lain. 104 Sekalipun diperbolehkan melakukan penyelamatan, bukan berarti dana “talangan” dari LPS akan hilang. Semua biaya yang timbul akibat melakukan penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan sebagai penyertaan sementara. Jangka waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3 tahun sejak penyelamatan dilakukan. Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus dilikuidasi, maka hasil penjualan aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara prioritas untuk biaya gaji dan pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya
103 104
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang telah dikeluarkan oleh LPS. Apabila hasil penjualan aset masih belum mencukupi, maka sisanya akan tetap menjadi kewajiban pihak pemegang saham lama. 105 Gambar 2 Mekanisme Pengambilan Keputusan untuk Pencegahan dan Penanganan Krisis TUJUAN/ RUANG LINGKUP Pencegahan Krisis 1. Likuidasi Bank 2.
3.
Solvabilitas Bank/ Bank Gagal
Likuiditas dan/ atau solvabilitas LKBB
Penanganan Krisis 1. Likuiditas dan/ atau solvabilitas Bank
2.
Likuiditas dan/ atau solvabilitas LKBB
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
KEPUTUSAN
TOOL KITS/ MEKANISME
KKSK melakukan : a. Evaluasi masalah b. Penetapan masalah c. Penetapan langkah penanganan masalah
1.
Pemberian bantuan likuiditas 2.a. Pemberian bantuan likuiditas 2.b. Penyelesaian untuk Bank Sistemik 3. Pemberian Pinjaman atau penyertaan modal untuk LKBB
1.
KKSK melakukan : a. Evaluasi masalah b. Penetapan masalah c. Penetapan langkah penanganan masalah
1.a. Pemberian bantuan likuiditas 1.b. Penyertaan Modal Sementara
1.a. FPD oleh Pemerintah melalui BI 1.b. PMS oleh LPS atau Pemerintah atau Badan Khusus 2. Pinjaman/ PMS oleh Pemerintah atau Badna Khusus
2. Pemberian Bantuan likuiditas/ Penyertaan Modal Sementara
SUMBER PENDANAAN
FPD oleh BI, dijamin Pemerintah 2.a. PMS oleh LPS 2.b. Penutupan Bank dan pembayaran jaminan oleh LPS
3.
Pemberian Pinjaman atau penyertaan modal untuk LKBB
Sumber pendanaan Pemerintahan dan penanganan Krisis berasal dari APBN melalui penerbitan SBN; BI dapat membeli SBN dimaksud di pasar primer; Penggunaan dana APBN untuk pencegahan dan penanganan krisis harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR.
Sumber : Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”, http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perbankan_Indon esia/Bab_3., diakses pada 13 Mei 2011.
Dari skim penanganan bank gagal oleh LPS sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kegagalan bank secara sistem telah ada mekanisme penyelesaian yang lebih pasti dan terstruktur. Di samping itu ada sanksi yang jelas dan tegas kepada pemegang saham yang mengakibatkan banknya gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan suatu perlindungan yang lebih memadai baik
105
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bagi masyarakat maupun pemerintah. Sekalipun demikian harus tetap disadari bahwa keberadaan LPS belum bisa membebaskan beban pemerintah. Sebab apabila kemampuan LPS baik dari modal, akumulasi premi dan cadangan serta surplus usaha tidak mencukupi, maka kekurangannya akan tetap dimintakan kepada pemerintah. Kalau dilihat bahwa kemungkinan itu ada, maka LPS memang bukan dewa penyelamat yang handal. 106 Pada akhirnya harus diyakini bahwa penanganan bank gagal yang paling ampuh dan mujarab adalah apabila bank yang ada selalu sehat. Mungkin ada yang berpendapat gagal tidaknya suatu bank tergantung kepada unsur pengawasannya. Kesan itu tidak salah tetapi juga tidak selalu benar. Sebab dalam keseharian yang menentukan sehat tidaknya bank kembali kepada pengelola dan pemiliknya. Sebagai langkah antisipasi kedepan, tentu ada baiknya dicarikan suatu pendekatan yang lebih komprhensif dalam rangka menumbuh-kembangkan perbankan yang kuat sekaligus sehat. Ada pendekatan yang ideal dan perlu dikaji lebih lanjut. Biarkan BI fokus pada pengelolaan monoter dan regulator, lalu OJK (Otoritas Jasa Keuangan) fokus kepada pengawasan dan LPS dalam penanganan bank gagal. Jadi akan ada segitiga pengaman untuk perbankan nasional yang lebih terstruktur sekaligus terukur. 107 R. G. Hawtrey sebagai ahli perbankan (The Art of Central Banking, 1932) berpendapat bank sentral adalah suatu bank yang berperan sebagai sumber pinjaman terakhir bagi bank-bank (lender of the last resort) dan untuk mendukung peranan tersebut, bank sentral juga harus mempunyai hak untuk menerbitkan uang kertas bank
106 107
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sebagai sumber dari perolehan dana bank sentral itu dalam pemberian jaminan. 108 Vera Smith sebagai ahli perbankan (Rational of Central Banking, 1936) menyatakan bahwa suatu bank dikatakan sebagai bank sentral apabila bank tersebut berperan sebagai pencetak dan pengedar uang kertas dengan hak monopoli dari pemerintah (the bank of issue). Kisch dan Elkin berpendapat bahwa bank sentral adalah suatu bank yang memiliki ciri yang paling hakiki, yaitu sebagai pemelihara stabilitas moneter yang baku yang mendukung kontrol terhadap peredaran moneter.109 Salah satu fungsi Bank Indonesia yang diatur dalam peraturan perundangundangan adalah mengatur dan mengawasi bank umum di Indonesia. Bank-bank umum di bawah pengendalian dan pengawasan Bank Indonesia, beserta dengan Bank Indonesia itu sendiri, membentuk sistem moneter nasional. Sistem moneter ini juga melibatkan lembaga-lembaga keuangan non-bank. Bank Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjaga kestabilan sistem moneter nasional. Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan moneter nasional berwenang untuk menjaga dan memelihara cadangan kas-kas bank komersial. 110 Dalam hal ini bank komersial diwajibkan untuk menyimpan suatu jumlah minimum tertentu (reserve requirement) pada bank sentral. Penyimpanan cadangan 108
RG. Hawtrey, The Art of Central Banking, Edisi Kedua, http://books.google.co.id/books?id=n0ciOB2jKV0C&lpg=PA39&dq=R.%20G.%20Hawtrey%20(The %20Art%20of%20Central%20Banking%2C%201932)&pg=PA116#v=onepage&q&f=false., diakses pada 22 Juni 2011. 109 Vera Constance Smith, The Rationale of Central Banking and the Free Banking Alternative, http://books.google.co.id/books?id=nyyVWio6wiUC&lpg=PA261&dq=Vera%20Smith%20Rationale %20of%20Central%20Banking%2C%201936&pg=PA261#v=onepage&q=Vera%20Smith%20Ration ale%20of%20Central%20Banking,%201936&f=false., diakses pada 22 Juni 2011. 110 Pamela Romauli Tampubolon, “Perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing Dikaitkan Dengan Penyaluran Kredit Bank”, (Medan : Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
ini bisa berupa uang kertas maupun surat berharga. Bank Indonesia juga berwenang untuk Menyelenggarakan kegiatan kliring di antara bank-bank. Kliring (clearing) adalah sarana perhitungan market antar bank yang dilaksanakan oleh bank sentral guna memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral dalam suatu wilayah kliring. 111 Bank Indonesia sebagai bank sentral juga diberi fungsi dan wewenang untuk membina dan mengawasi kegiatan perbankan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary). Dalam menjalankan fungsinya itu, bank sentral mempunyai peranan khusus dalam sistem moneter sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank (the banker’s bank) dan sumber terakhir bagi bank-bank untuk mendapatkan pinjaman ketika bank yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan likuiditas (lender of the last resort). Dalam fungsinya ini, bank sentral sekaligus juga berperan dalam mengembangkan sistem perkreditan yang sehat. 112 Bank Indonesia membantu manakala suatu bank gagal untuk memenuhi Giro wajib Minimum (GWM). Semua fungsi dan wewenang ini dijalankan oleh Bank Indonesia dalam rangka menjami terciptanya kondisi perbankan yang sehat. Perbankan yang sehat menurut Manuel Guitian sebagai ahli perbankan hanya dapat tercipta melalui pengawsan dan pengaturan yang ketat. Isu kesehatan perbankan menjadi isu sentral manakala krisis perbankan melanda dunia. Perbaikan sistem pembayaran dan restrukturisasi perbankan menjadi permasalahan utama dalam menjaga fungsi perbankan pada umumnya. Tingkat kesehatan suatu bank dapat diukur dari Cash
111 112
Ibid. Satjipto Rahardjo, et.al, Op.cit, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
Ratio (CAR). 113 Aset yang dimiliki oleh bank tersebut, pengelolaan bank, pendapatan, dan tingkat likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan bank. Bank juga diwajibkan untuk menjaga kesehatannya sendiri dengan cara melaksanakan kegiatan usahanya dengan prinsip kehati-hatian. 114
D.
Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Bank Sebagai Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitur yang merupakan Bank, menurut ahli hukum kepailitan Sutan Remy Sjahdeini merupakan standar ganda (double standard). 115 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, ketentuan ini telah merampas hak kreditur dari suatu bank. Kreditur bank justru pada umumnya adalah juga bank, bahkan sering terdiri dari banyak sekali bank, yang memberikan fasilitas kepada bank itu melalui interbank money market. Bank sebagai kreditur dalam menghadapi debitur non-bank adalah mandiri menjalankan haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, tetapi apabila bank sebagai kreditur menghadapi debitur yang merupakan bank, haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit itu hilang 113
Cash Ratio adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga yang dihimpun dan harus segera dibayar oleh pihak bank. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam membayar kembali simpanan nasabah pada saat ditarik menggunakan alat likuid yang dimilkinya. Alat likuid, menurut ketentuan Bank Indonesia, terdiri dari uang kas ditambah dengan rekening giro bank yang disimpan di Bank Indonesia. Dalam : Steven M. Bragg, Business Ratios and Formulas : A Comprehensive Guide, Second Edition, (Amerika Serikat : John Wiley & Sons Inc., 2010), hal. 87. 114 Manuel Guitián, Rules and Discretion in International Economic Policy, Occasional Paper, (Washington DC : International Monetary Fund, Juni 1992). 115 Sutan Remy Syahdeini, Undang-Undang Kepailitan : Dalam Persfektif Hukum, Politik dan Ekonomi, Makalah disajikan pada 7 Mei 1998 di Jakarta, hal. 6., sebagaimana dikutip Habiba Hanum, “Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan”, (Medan : Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2007), hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
karena ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang tersebut. 116 Selanjutnya menurut ahli hukum kepailitan Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan memberikan keputusan untuk dinyatakan pailit suatu bank, haruslah terdapat keterlibatan Bank Indonesia. Sebab, Bank Indonesia merupakan bank sentral yang menentukan kebijakan perbankan Indonesia, yang mempunyai kewenangan untuk memberikan izin usaha berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pemerintah berpendapat bahwa kewenangan Bank Indonesia ini berhubungan dengan tugas pengawasan dan pembinaan terhadap dunia perbankan nasional. 117 Pembinaan terhadap perbankan ditekankan pada aspek ekonomi dan politik. Konsekuensinya segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan insolvensi atau masalah kesulitan dana yang dapat membahayakan keberadaan bank dengan cara-cara persuasif akan diakhiri oleh Bank Indonesia dengan cara melakukan likuidasi tanpa perlu pernyataan pailit terhadap bank. Menurut ahli hukum kepailitan Sutan Remy Syahdeini menyatakan bahwa keadaan pailit atau bangkrut hanya akan dirasakan oleh kreditur. Krediturlah yang mengalami ingkar janji (in default) sehubungan dengan
116
Ibid, hal. 48. Menteri Kehakiman, “Jawaban Pemerintah atas Tanggapan Fraksi-fraksi terhadap Rancangan Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan”, hal. 3., dalam Laporan Lima Tahun DPR-RI 2004-2009, (Jakarta : Sekjend DPR-RI & UNDP dan AusAID, 2009). 117
Universitas Sumatera Utara
perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit) antara debitur dan kreditur. Bank Indonesia tidak pernah menjadi pihak dalam perjanjian antara kreditur dan debitur. 118 Kenyataan bahwa debitur bukanlah debitur biasa, tetapi suatu bank, tidak mengubah keadaan bahwa Bank Indonesia bukan pihak dalam perjanjian kredit antara debitur dan kreditur. Bank Indonesia hanya akan menjadi pihak dalam perjanjian antara kreditur dan debitur, apabila kredit yang diterima oleh debitur yang merupakan bank diberikan oleh Bank Indonesia berupa Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) atau berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dalam hal Bank Indonesia yang menjadi kreditur, maka seyogyanya Bank Indonesia, baik sendiri maupun bersama dengan kreditur-kreditur lain, yang mengajukan permohonan pernyataan pailit. Selain itu Bank Indonesia dapat pula mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa diminta oleh debitur atau kreditur atau kejaksaan, apabila Bank Indonesia (bukan sebagai kreditur tetapi sebagai otoritas moneter yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengawasan bank-bank serta stabilitas moneter) menilai bahwa bank yang bersangkutan telah membahayakan sistem perbankan. Hal ini tidak mengurangi kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit suatu bank dalam kedudukan Bank Indonesia selaku kreditur Bank itu. 119 Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini sebagai ahli hukum kepailitan, menyebutkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa : “Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pailit dalam hal debitur
118 119
Habiba Hanum, Op.cit., hal. 48. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang diajukan pailit tersebut merupakan bank”, pada satu sisi dapat dibenarkan. Hal ini untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Apabila kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada debitur yang merupakan bank tanpa melalui Bank Indonesia, dikhawatirkan bahwa setiap saat Bank akan senantiasa dibayang-bayangi pengajuan permohonan pernyataan pailit. Bila kondisi ini terjadi maka jelas akan mengganggu kinerja perbankan nasional, yang selanjutnya tentu akan berkaitan dengan kelangsungan hidup perbankan tersebut. Dampak selanjutnya adalah akan mengganggu perekonomian nasional. Karena sebagaimana diketahui bahwa bank merupakan agent of modernization. 120 Pemberian hak-hak khusus kepada Bank Indonesia yang mewakili kepentingan orang banyak harus mendapat dukungan karena berkaitan dana masyarakat yang terhimpun dalam bank. Perlindungan terhadap dana masyarakat luas ini harus dijaga dan dilindungi secara proporsional. Perkara yang berkaitan dengan diajukannya permohonan pailit terhadap Bank adalah perkara Bank IFI sebagai pemohon terhadap Bank Danamon sebagai termohon. Dalam perkara ini Bank Indonesia menolak untuk mempailitkan Bank Danamon dan akhirnya Pengadilan Niaga menolak untuk memeriksa dan memutuskan permohonan kepailitan bank karena tidak diajukan melalui Bank Indonesia. Hal ini berarti selama Bank Indonesia tidak memohonkan pailit terhadap bank yang tidak membayar utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka terhadap bank tersebut tidak dapat dipailitkan. 121
120
Sutan Remy Sjahdeini dalam Andreas Timothy, Op.cit., hal. i-ii. Andreas Timothy, “Tinjauan Yuridis tentang Kasus Permohonan Pernyataan Pailit PT.Bank IFI terhadap PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk.”, (Medan : Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 83-95. 121
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya untuk mengetahui lebih dalam mengenai permohonan pailit yang diajukan kepada Bank dapat dilihat pada kasus Lina Sugiharti Otto melawan PT. Bank Global Internasional Tbk., dan PT. Bank IFI melawan PT. Bank Danamon. Pada putusan Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung RI juga menolak permohonan pemohon terhadap Bank yang diajukan pailit. Putusan tersebut dapat dilihat di bawah ini :
1.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 029/K/N/2006 antara Lina Sugiharti Otto melawan PT. Bank Global Internasional Tbk. Pada putusan Mahkamah Agung RI No. 026/K/N/2006 antara Lina Sugiharti
Otto melawan PT. Bank Global Internasional Tbk., mengatakan bahwa 122 : “Menyatakan permohonan pailit dari Pemohon Pailit : Lina Sugiharti Otto, tidak dapat diterima : Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.
Sebelumnya pertimbangan Hakim Mahkamah Agung RI yang menangani perkara tersebut antara lain 123 : “Bahwa, Termohon Pailit adalah sebuah Bank dan Pasal 2 ayat (3) UndangUndang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa dalam hal Debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia; Bahwa, terlepas dari alasan-alasan kasasi judex facti/Pengadilan Niaga yang mempertimbangkan bahwa Permohonan Pailit tidak memiliki kapasitas legitima persona standi in judicio sehingga materi permohonan a quo tidak berdasar hukum dan harus dinyatakan ditolak, merupakan kesalahan dalam 122
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 029/K/N/2006 antara Lina Sugiharti Otto melawan PT. Bank Global Internasional Tbk. 123 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menerapkan hukum, sebab seharusnya permohonan pernyataan pailit tersebut dinyatakan tidak dapat diterima; Menimbang, bahwa dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat dari Hakim Agung I (I.B. Ngurah Adnyana) yang berpendapat : Bahwa, telah terbukti PT. Bank Global sudah dicabut ijin usahanya oleh Bank Indonesia, sehingga bukan sebagai Bank lagi, oleh karena itu Pemohon Pailit sebagai Kreditur berhak untuk mengajukan perkara ini; Bahwa, berdasarkan bukti P4 telah terbukti bahwa Termohon Kasasi mempunyai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih; Bahwa, berdasarkan bukti KL I-1 dan KL II-1 telah terbukti pula Termohon Kasasi juga mempunyai hutang kepada Kreditor lain yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih; Bahwa, berdasarkan hal tersebut di atas Pembaca I mengusulkan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Permohonan Kasasi untuk seluruhnya; Menimbang, bahwa meskipun permohonan kasasi dikabulkan, akan tetapi permohonan pernyataan pailit dinyatakan tidak dapat diterima maka Pemohon Kasasi harus dihukum untuk membayar biaya perkara pada semua tingkat peradilan; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, UndangUndang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, serta Undang-Undang dan peraturan lain yang bersangkutan”.
Pada contoh kasus di atas dapat dilihat bahwa permohonan Lina Sugiharti Otto (Nasabah Bank Global) ditolak atau tidak dapat diterima walaupun kasasinya diterima. Sebelumnya pada Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 30/PAILIT/2006/PN.NIAGA JKT PST tanggal 14 Agustus 2006
Universitas Sumatera Utara
ada terdapat dissenting opinion (perbedaan pendapat para hakim) I.B. Ngurah Adnyana, yaitu 124 : “Sebagai Kreditur, Lina berhak untuk mengajukan permohonan pailit Bank Global. Pasalnya, BI telah mencabut izin usaha bank tersebut, sehingga Bank Global bukan lagi sebuah bank. Apalagi, berdasarkan bukti yang diajukan oleh Lina dan kuasa hukumnya, Bank Global telah terbukti mempunyai hutang kepada Kreditur Lain yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih”.
PT. Bank Global Internasional Tbk., yang sudah dilikuidasi menggunakan nama PT. Bank Global Internasional Tbk. (Dalam Likuidasi). 125 Dalam hal ini, tugas direksi telah diganti oleh Tim Likuidasi Bank Global. Pengawasan atas pelaksanaan pembubaran badan hukum dan likuidasi bank dilakukan oleh Bank Indonesia.126 Menurut pengacara Bank Global, Kukuh Komandoko mengatakan bahwa : “Direksi sudah tidak punya wewenang apapun saat Bank Global dibubarkan. Hal ini, ditandai dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan direksi tidak boleh melakukan tindakan hukum apapun terhadap Bank Global. Sebab, tugas direksi dalam pemberesan bank telah digantikan oleh Tim Likuidasi Bank Global. Apa yang dilakukan oleh hakim sudah benar bahwa Bank Global adalah bank walaupun sudah dilikuidasi”.
Dalam hal pengajuan permohonan pailit terhadap Bank yang dilakukan oleh Nasabah Bank sebagai Kreditor Bank tidak dapat diterima karena bertentangan dengan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa : “dalam hal
124
Hukum Online, “Hanya Bank Indonesia yang Berhak Memailitkan Bank Dalam Likuidasi”, Op.cit. 125 Pasal 143 ayat (2), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengatakan bahwa : “Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “Dalam Likuidasi” di belakang nama Perseroan”. 126 Pasal 9, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Universitas Sumatera Utara
Debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia”. Namun, apabila sudah diajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia untuk memohonkan pailit terhadap Bank dan Bank Indonesia tidak menggubrisnya bagaimana keadilan hukum di mata nasabah Bank. Tentu saja keadilan tidak berpihak kepada Nasabah Bank. Apalagi berbicara mengenai uang jutaan dollar Amerika Serikat. Bank Indonesia telah lalai dalam melaksanakan tugasnya atau tidak melaksanakan haknya sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa : “Dalam hal Debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia”. Peraturan mengenai pengajuan permohonan pailit terhadap Bank adalah Bank Indonesia saja maka dalam hal ini adalah demi menyelamatkan sistem perbankan nasional untuk menjamin Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Bank Indonesia tidak menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap Bank Global adalah karena terlalu rigid-nya Undang-Undang Kepailitan itu diartikan. Dengan kekakuan interpretasi tersebut membuat Bank Indonesia tidak menjalankan tugasnya sebagai self regulatory bodies. Rigid-nya Undang-Undang Kepailitan dapat dilihat dengan tidak adanya peraturan pelaksanaan terhadap Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bank Indonesia yang dapat mempailitkan Bank, namun dalam peraturan tersebut tidak bisa ditemukan cara yang ditempuh apabila mempailitkan Bank. Dapat juga mengikuti keterangan saksi ahli dari Bank Indonesia, Frederick Tumbuan sebagai saksi ahli dari Bank Indonesia yang mengatakan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
“Bank Indonesia tidak mengenal mekanisme kepailitan, karena mempailitkan sebuah Bank merupakan harga mahal bagi Bank Indonesia”.127 Apabila Bank Indonesia mempailitkan sebuah Bank maka dibutuhkan anggaran yang tinggi untuk menjamin dana nasabah pada Bank tersebut. Dana tersebut diambil dari APBN karena Bank tunduk pada Bank Indonesia, dan Bank Indonesia adalah self regulatory bodies juga sebagai Bank Sentral Indonesia.
2.
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 021/PAILIT/2001/PN. Niaga Jkt.Pst. antara PT. Bank IFI melawan PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk. Pada
Putusan
Pengadilan
Niaga
Jakarta
Pusat
No.
021/PAILIT/2001/PN.Niaga Jkt.Pst. antara PT. Bank IFI melawan PT. Bank Danamon Indonesia,Tbk., pada bagian pertimbangan hukum dan pendapat hukum Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, mengatakan bahwa 128 : “Bahwa, memang telah terjadi perjanjian pinjaman antara PT. Bank Nusa Nasional dengan PT. Bank IFI dengan perjanjian subpartisipasi antara PT. Bank Nusa Nasional dengan PT. Bank IFI pada tanggal 18 Desember 1996; Bahwa, PT. Bank Nusa Nasional telah mencairkan pinjaman sub partisipasi sebesar US$. 5.000.000,00 dari PT. Bank IFI pada tanggal 19 Juni 1997. dengan demikian perjanjian subpartisipasi telah terlaksana; Bahwa, perjanjian subpartisipasi berlaku selama dua tahun dan PT. Bank IFI tidak bersedia untuk memperpanjang fasilitas tersebut sehingga pinjaman menjadi jatuh tempo dan wajib di bayar oleh PT. Bank Nusa Nasional sejak tanggal 18 Desember 1998; Bahwa, PT. Bank Nusa Nasional telah tidak melaksanakan kewajiban untuk membayar hutangnya yang telah jatuh tempo kepada PT. Bank IFI walaupun 127
Tempo Interaktif, “Permohonan Pailit Bank IFI atas Bank Danamon Ditolak”, Op.cit. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 021/PAILIT/2001/PN.Niaga Jkt.Pst. antara PT. Bank IFI melawan PT. Bank Danamon Indonesia Tbk. 128
Universitas Sumatera Utara
telah ditegur. Sehingga terbukti bahwa PT. Bank Nusa Nasional mempunyai hutang kepada PT. Bank IFI yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; Bahwa, berdasarkan Pasal 9 ayat (3) perjanjian subpartisipasi maka PT. Bank Nusa Nasional dikenakan denda sebesar 1‰ (satu permil) dari total yang harus dibayar untuk setiap satu hari keterlambatan; Bahwa, terbukti telah terjadi merger antara PT. Bank Nusa Nasional dengan PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk., pada tanggal 20 Juni 2000, maka seluruh kewajiban hukum dari PT. Bank Nusa Nasional menjadi beralih kepada kewajiban hukum PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk.; Dengan beralihnya kewajiban hukum dari PT. Bank Nusa Nasional kepada PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk., maka Majelis Hakim berpendapat bahwa PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk., dapat dikategorikan sebagai Debitur; Syarat untuk adanya kreditor lain juga telah terbukti. Bahwa untuk dapat dinyatakan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan dibuktikan adanya : 1. Debitur; 2. Dua kreditur atau lebih; 3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, terbukti Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan telah terpenuhi; Terhadap Pasal 1 ayat (3) UU Kepailitan, Majelis Hakim berpendapat, bahwa PT. Bank IFI tidak mempunyai kapasitas sebagai Persona Standi in Judicio, karena yang berhak untuk bertindak sebagai pemohon pailit hanyalah Bank Indonesia; Majelis Hakim berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) merupakan hukum acara yang bersifat imperatif dimana ditentukan bahwa apabila debitur merupakan sebuah bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia; Selain itu Majelis Hakim berpendapat bahwa seharusnya sengketa antara PT. Bank IFI dengan PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk., diselesaikan menurut Pengadilan domisili dalam perjanjian pinjaman antara PT. Bank Nusa Nasional dengan PT. Bank IFI serta dalam perjanjian subpartisipasi antara PT. Bank Nusa Nasional dengan PT. Bank IFI yang dibuat pada tanggal 18 Desember 1996; Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas terbukti bahwa PT. Bank IFI tidak mempunyai kapasitas sebagai pemohon pailit oleh karena itu permohonan PT. Bank IFI haruslah ditolak”.
Universitas Sumatera Utara
Pada akhirnya putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga, adalah sebagai berikut 129 : “Menolak Permohonan PT. Bank IFI; dan Membebankan biaya perkara permohonan kepada PT. Bank IFI sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)”. Alasan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pailit PT. Bank IFI adalah tetap merujuk pada Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa : “dalam hal Debitor adalah Bak, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia”. Pada kasus ini, tidak ada dissenting opinion dari hakim. Pada pemaparan kedua kasus tersebut di atas mengenai permohonan pailit yang ditolak oleh Pengadilan adalah untuk menunjukkan bahwa hanya Bank Indonesia yang berhak memohonkan pailit terhadap Bank. Permohonan pailit oleh Bank Indonesia tersebut terkait dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia sebagai Bank Sentral untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) agar tidak terjadi rush yang menyebabkan bank gagal sistemik. Apabila terjadi bank gagal sistemik maka yang menanggung akibatnya adalah Bank Indonesia (Pemerintah) karena tugas Bank Indonesia adalah sebagai intermediary institution juga sebagai pengawas perbankan (self regulatory body) dan terkait dengan Bank sebagai tempat Nasabah menyimpan dananya. Hal ini dapat membebankan APBN apabila permohonan pailit oleh Kreditor Lain selain Bank Indonesia dikabulkan.
129
Ibid.
Universitas Sumatera Utara