32
BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT PARA KONSUMEN APARTEMEN TERHADAP DEVELOPER PT. GRAHA PERMATA PROPERINDO KE PENGADILAN NIAGA
A. Prosedur Pengajuan Permohonan Pailit 1.
Pengertian Kepailitan Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata pailit.Selanjutnya istilah
pailit berasal dari kata Belanda faillet yang mempunyai arti kata ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah faillet sendiri berasal dari Perancis yaitu Faillete yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut Le failli. Kata kerja failir berarti gagal; dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail yang mempunyai arti sama dalam bahasa latin yaitu failure. Di negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy.46 Apabila dilihat dari segi tata bahasanya kata pailit merupakan kata sifat yang ditambah imbuhan ke-an, sehingga mempunyai fungsi membedakan. Kata dasar pailit ditambah imbuhan ke-an menjadi kepailitan. Jadi secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Di samping itu istilah pailit sudah acap atau terbiasa dipergunakan dalam masyarakat, sehingga istilah tersebut tidak asing
46
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm 18.
32
Universitas Sumatera Utara
33
lagi bagi masyarakat. Dalam Black’s Law Dictionary pengertian pailit atau bankrupt adalah : “The state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filled, or who has filled a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt ”. 47 Jika membaca pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan.Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan azas “publisitas”.48 Dalam Undang-Undang kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, Pasal 1 butir 1 menyebutkan definisi dari kepailitan yaitu : “Sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.” Diantara beberapa sarjana ditemukan adanya pendapat yang berbeda tentang pengertian kepailitan. Kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan
47 48
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Op. Cit., hlm. 11. Ibid., hlm. 11-12.
Universitas Sumatera Utara
34
pembayaran semua piutang secara adil. Adapula yang menyebutkan bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya bersama-sama, yang pada waktu kreditor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditor miliki pada saat itu. Menurut M. Hadi Shubhan pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dan usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh hutang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kredit.49 Sedangkan Munir Fuady menyatakan bahwa yang dimaksud pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta Debitor agar dicapainya
49
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma Dan Praktik Di Pengadilan,Op. Cit,
hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
35
perdamaian antara Debitor dan para Kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagibagi secara adil di antara para Kreditor.50 Pendapat lain menyatakan Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.51 Berdasarkan beberapa definisi atau pengertian yang diberikan oleh beberapa sarjana tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepailitan mempunyai unsurunsur : 1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor. 2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan. 3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya secara bersama-sama.
2.
Persyaratan Mengajukan Kepailitan Dalam mengajukan permohonan kepailitan tidaklah sedemikian mudahnya,
harus ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Bila tidak, maka semua orang dapat dengan mudahnya mengajukan permohonan pailit.
50
51
Fuady Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Citra Aditya, 2005), hlm.1. J. Djohansah. “ Pengadilan Niaga” di dalam Rudy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Melalui
Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,(Bandung : Alumni, 2001), hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
36
Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 menyebutkan bahwa suatu pernyataan pailit dapat diajukan, jika syarat – syarat pernyataan kepailitan tersebut dibawah ini telah terpenuhi : 1. Debitor tersebut mempunyai paling sedikit dua kreditor (concursus creditorum). Hal ini merupakan persyaratan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor 37 Tahun 2004, yang merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”. Dari ketentuan Pasal 1132 tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya setiap kebendaan yang merupaka harta kekayaan seseorang harus di bagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yang disebut dengan nama kreditor.Yang dimaksud dengan adil disini adalah bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagi secara : a. Pari passu, dengan pengertian bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagikan secara bersama-sama diantara para kreditornya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
37
b. Prorata, sesuai dengan besarnya imbangan piutang masing-masing kreditor terhadap utang debitor secara keseluruhan. Jika hanya ada satu Kreditor, walaupan banyak tagihannya, bukan jalan proses kepailitan terhadap Debitor yang harus ditempuh, tetapi gugatan biasa, dengan atau tanpa sitaan serta eksekusi biasa yang spesifik terhadap Debitor. Jadi yang dititik beratkan dalam kepailitan bukan berapa banyak piutang/tagihan yang dipunyai satu Kreditor terhadap satu Debitor, tetapi berapa banyak jumlah Kreditur dari Debitor yang bersangkutan. Dan juga Apabila debitor hanya memiliki satu kreditor, maka eksistensi dari Undang – Undang Kepailitan dan PKPU kehilangan raison d’eternya, yaitu berkaitan dengan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan jaminan utangnya tidak perlu diatur, mengenai pembagian hasil penjualan harta kekayaan pastilah merupakan sumber satu-satunya pelunasan bagi kreditor satu-satunya tersebut, tidak akan ada perlombaan dan perebutan harta kekayaan debitor karena hanya ada satu orang kreditor saja. Menurut Sutan Remy harus dibedakan antara pengertian kreditor dalam kalimat “...mempunyai dua atau lebih kreditor...” dan kreditor dalam kalimat “...atas permintaan seorang kreditor atau lebih kreditornya...” yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Kepailitan dan PKPU. Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu kreditor saja. Dengan demikian, pengertian kreditor disini adalah menunjuk pada sembarang kreditor, yaitu baik kreditor konkuren maupun kreditor preferen. Yang
Universitas Sumatera Utara
38
ditekankan disini adalah bahwa keuangan debitor bukan bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang-utang.52 Sedangkan yang dimaksud kalimat kedua adalah untuk menentukan bahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh debitor sendiri tetapi juga oleh kreditor. Kreditor yang dimaksud disini adalah kreditor konkuren. Timbul pertanyaan mengapa harus kreditor konkuren adalah karena seorang kreditor preferen atau separatis pemegang hak-hak jaminan tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat kreditor separatis telah terjamin sumber perlunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang telah dibebani dengan hak jaminan. 53 2. Syarat kedua Debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu atau jatuh tempo dan dapat ditagih. Jadi keadaan Debitor adalah dalam keadaan insolvensi yaitu tak mampu lagi membayar utangnya; dan “utang tersebut telah jatuh waktunya”, berarti hal ini menyangkut soal ingebreke stelling (penagihan). “ Penagihan” disini diartikan suatu pemberitahuan oleh pihak Kreditor bahwa pihak Kreditor ingin supaya Debitor melaksanakan janjinya, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu yang disebut dalam pemberitahuan itu. Faktor “waktu” adalah penting dalam hal perjanjian, terutama dikalangan bisnis. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa dalam suatu perjanjian kedua belah pihak
52 53
Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit., hlm. 66. Ibid., hlm. 67.
Universitas Sumatera Utara
39
ada keinginan supaya selekas mungkin tujuan dari perjanjian terlaksana, yaitu pihak Kreditor supaya lekas merasakan kenikmatan yang terletak pada pelaksanaan janji, sedang pihak Debitor supaya lekas terlepas dari suatu ikatan, yang dampaknya akan sedikit menekan jiwanya.54 3.
Mekanisme Pengajuan Permohonan Pailit Kepailitan pada hakekatnya akan menyangkut status hukum dari subjek
hukum yang bersangkutan (baik subjek hukum pribadi maupun subjek hukum badan hukum/bukan badan hukum) maka harus mengikuti syarat dan prosedur tertentu sehingga dapat dinyatakan pailit dengan berdasarkan suatu keputusan Hakim. Berdasarkan Pasal 6 dan pasal 7 UUK & PKPU No. 37 Tahun 2004 Mekanisme mengajukan permohonan pailit pada Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut: a. Surat permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004); b. Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor sendiri atau oleh kreditor, dilakukan oleh seorang Advokat (Pasal 7 ayat (1) Undang - Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004);
54
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, (Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
40
c. Panitera mendaftar permohonan pernyataan pailit tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004); d. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004); e. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari permohonan tersebut dan menetapkan hari sidang (Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004); f. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004); g. Persidangan terhadap permohonan kepailitan itu dapat ditunda paling lambat 25 hari apabila ada permohonan dari debitor dan adanya alas an-alasan yang cukup mendasar. Pada siding itulah hakim akan mendengar keterangan pemohon, termohon, saksi-saksi dan memeriksa alat-alat bukti yang relevan (Pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004); h. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
Universitas Sumatera Utara
41
pailit telah dipenuhi (Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004); i. Putusan permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004).
B. Kedudukan Para Konsumen Apartemen Sebagai Kreditur Dalam Kepailitan Secara tata bahasa dalam kamus Bahasa Indonesia kreditor berarti “yang berpiutang” atau “penagih orang kepada siapa seseorang berutang”.Kreditor adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan hutang piutang tertentu.55 Selanjutnya Jerry Hoff 56 dalam bukunya Indonesian Bankruptcy Law menyatakan bahwa hukum kepailitan tidak dapat membatasi kreditor untuk mengajukan permohonan pailit, yang mana definisi kreditor berdasarkan KUH Perdata adalah yang berhak terhadap pelaksanaan kewajiban oleh debitor.57 Kreditor dalam kepailitan sesuai Pasal 1 Angka 2 UUK dan PKPU adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.58
55
Satrio, J,Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000), hlm 99-100. 56 Jerry, Hoff, Op. cit., hal 26 57 Ibid. 58 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Universitas Sumatera Utara
42
Dengan memperhatikan pengertian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 UUK dan PKPU tersebut, dapat dijabarkan unsur-unsur kreditor sebagai berikut : a. Orang; b. Yang mempunyai piutang; c. Piutang yang dapat ditagih di muka pengadilan; d. Piutang timbul dari perjanjian; atau e. Piutang timbul dari undang-undang. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang mengatur mengenai syarat pailit telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kreditor” adalah baik Kreditor Konkuren, Kreditor Separatis, maupun Kreditor Preferen.59 Menurut Sutan Remy Sjahdeini dengan adanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU tersebut, maka yang dimaksudkan dengan kreditor sebagai pemohon pernyataan pailit adalah sembarang kreditor.60 Jika dilihat lagi pada pengertian kreditor dalam Pasal 1 Angka 2 UUK dan PKPU sebagaimana unsur-unsurnya telah diuraikan diatas, dapat diketahui bahwa suatu piutang yang diakui dalam kepailitan adalah piutang yang timbul dari perjanjian dan undang-undang.Pengertian piutang dalam pengertian kreditor tersebut sinkron dengan pengertian utang dalam Pasal 1 angka 6 UUK dan PKPU sebagai berikut : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik 59 60
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 4443. Sutan Remy, Sjahdeini, Op.cit, hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
43
secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor”. Definisi Kreditor sudah dijelaskan di atas. Untuk memahami lebih dalam tentang kreditor, terutama kreditor dalam Kepailitan, maka perlu diketahui jenis-jenis kreditor. Terdapat beberapa jenis atau penggolongan kreditur dalam kepailitan, yaitu: 1. Kreditur Konkuren Dalam lingkup kepailitan yang dapat digolongkan sebagai kreditur konkuren (unsecured creditor) adalah kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan hak kebendaan (security right in rem) dan sifat piutangnya tidak dijamin sebagai piutang yang diistimewakan oleh Undang-Undang.61 Kreditor ini harus berbagi dengan para kreditor lainnya secara proporsional atau disebut juga pari passu, yaitu menurut perbandingan besarnya tagihan masing-masing dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Pembayaran terhadap kreditur konkuren adalah ditentukan oleh kurator.62 2. Kreditur Preferen Kreditur preferen termasuk dalam golongan secured creditors karena sematamata sifat piutangnya oleh Undang-Undang diistimewakan untuk didahulukan pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada 61 62
Ibid. Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Op. Cit, hlm. 103.
Universitas Sumatera Utara
44
diurutan atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya. Utang debitur pada kreditur preferen memang tidak diikat dengan jaminan kebendaaan
tapi
Undang-Undang
mendahulukan
mereka
dalam
hal
pembayaran. 63 3. Kreditur Separatis Menurut Munir Fuady: Dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditur tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti ia dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit yang umumnya.64 Menurut Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan bahwa sebagai kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak preferen dan kedudukannya sebagai kreditur separatis.Kreditor separatis dapat menjual dan mengambil sendiri hasil dari penjualan objek jaminan. Bahkan jika diperkirakan hasil penjualan atas jaminan utang itu tidak menutupi seluruh utangnya maka kreditor separatis dapat memintakan agar terhadap kekurangan tersebut dia diperhitungkan sebagai kreditor konkuren.Sebaliknya apabila hasil dari
63
Dalam kepailitan, ongkos kepailitan dan upah kurator dimasukkan sebagai tagihan preferen yang didahulukan pembayarannya atas tagihan kreditur konkuren. Lihat Pasal 18 ayat 5 UndangUndang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004. 64 Munir Fuady 1,Op.cit., hlm. 105.
Universitas Sumatera Utara
45
penjualan jaminan utang melebihi utang-utangnya maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada debitor.65 Ketiga kreditur ini tidak kehilangan kewenangannya untuk mengajukan permohonan kepailitan atas debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar.66 Ketiga kreditur tersebut diakui eksistensinya. Dalam UndangUndang kepailitan Belanda tidak terdapat keraguan terhadap hak kreditur separatis dan preferen untuk mengajukan kepailitan, hal ini juga dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyambung pendapat dari Polak bahwa kreditur-kreditur tersebut tidak kehilangan kewenangannya untuk mengajukan permohonan kepailitan atas debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar. 67 4. Kreditur pemegang hak istimewa Kreditur pemegang hak istimewa (privilege) yang oleh Undang-Undang diberi kedudukan didahulukan semata-mata karena sifat piutangnya, baik dari kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Lebih lanjut pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata menyatakan bahwa hak agunan kebendaan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi terhadap hak istimewa (privilege) kecuali tidak dengan tegas ditentukan lain oleh Undang-Undang.68 artinya
65
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 17. 66 J. Djohansjah dalam Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), hlm. 138. 67 Ibid . 68 Undang-Undang membedakan 2 kelompok hak istimewa yaitu piutang yang diistimewakan atas benda-benda tertentu (benda yang ditentukan secara khusus) seperti biaya perkara, upah tukang,
Universitas Sumatera Utara
46
dalam mengambil pelunasan dari hasil penjualan benda-benda milik debitor yang diletakkan hak jaminan, dan ada kreditor pemegang hak istimewa dan sisanya diambil oleh kreditor konkuren. Berdasarkan uraian diatas dapat kita ketahui bahwa Para Konsumen Apartemen masuk kepada penggolongan Kreditur Kreditur Konkuren karena dalam lingkup kepailitan yang dapat digolongkan sebagai kreditur konkuren (unsecured creditor) adalah kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan hak kebendaan (security right in rem) dan sifat piutangnya tidak dijamin sebagai piutang yang diistimewakan oleh Undang-Undang.
C. Momentum Terjadinya Utang Antara Developer PT. Graha Permata Properindo Dengan Para Konsumen Apartemen 1.
Kegagalan Developer Melakukan Penyerahan Apartemen Pada Waktu Yang Telah Diperjanjikan Seperti yang kita ketahui bahwa Undang-Undang Kepailitan kita menganut
pengertian utang dalam arti luas, di mana sumber utang tidak hanya dari perjanjian utang piutang saja, melainkan bersumber dari perjanjian lain yang dibuat oleh kedua belah pihak dan menimbulkan satu hubungan hukum yang mengikat di antara mereka. Serta dalam suatu hubungan hukum khususnya hukum perjanjian setidaktidaknya melibatkan 2 (dua) pihak yang terikat oleh hubungan tersebut, yaitu kreditor (schuldeiser) dan debitor (schuldenaar). biaya menyelamatkan barang-barang dan lain-lain, dan piutang yang diistimewakan atas semua benda milik debitur (benda debitur pada umumnya) seperti biaya penguburan, biaya pengobatan, tagihan sekolah, dan lain-lain sehingga 2 kelompok itu disebut juga dengan istilah privilege khusus dan privilege umum.
Universitas Sumatera Utara
47
Hubungan Hukum antara Developer dengan para konsumen apartemen berawal dari hubungan jual beli yang dinyatakan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Sebelum bangunan apartemen selesai dibangun, biasanya pihak Developer mengadakan kegiatan yang disebut pemasaran pendahuluan dengan membuat satu atau beberapa unit percontohan, kemudian pendaftaran pemesanan. Untuk menjamin hak para pihak maka dibuatlah suatu perjanjian yang akan menimbulkan suatu perikatan diantara para pihak yang membuatnya. Perikatan pendahuluan atau perikatan jual beli ini dikenal dengan sebutan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Lebih lanjut, dasar hukum yang berkaitan dengan perjanjian pengikatan jual beli adalah Pasal 1457 KUHPerdata yang menyebutkan “jual beli adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah ditetapkan”. Perjanjian jual beli yang dianut KUHPerdata tersebut juga dikatakan bersifat obligatoir, karena perjanjian itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan. Dengan demikian, maka dalam sistem KUH Perdata tersebut “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (“transfer of ownership”).69 Yang dimaksud dengan “levering” atau “transfer of ownership” adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut dalam hal ini adalah satuan 69
Subekti, Hukum Perjanjian, Log. Cit.
Universitas Sumatera Utara
48
(unit) rumah susun. Levering atau transfer of ownership ini mengikuti perjanjian obligator, karena menurut sistem KUHPerdata kita, perjanjian obligator itu baru dalam taraf melahirkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik, supaya hak milik berpindah, perlu diikuti dengan penyerahan barangnya.70 Penyerahan yang dimaksud meliputi pemindahan penguasaan dan pemindahan hak atas barang berdasarkan perikatan dasar yaitu perjanjian. Dalam setiap perjanjian yang mengandung tujuan memindahkan penguasaan dan hak milik, perlu dilakukan dengan penyerahan barang tersebut (delivery, transfer, levering). Penyerahan tersebut dilakukan baik secara nyata, maupun secara yuridis. Penyerahan yuridis dapat dilihat dengan jelas pada barang tidak bergerak, karena tata caranya diatur dalam Undang – Undang.71 Mengenai sifat jual beli obligatoir ini terlihat jelas dalam Pasal 1459 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan (menurut ketentuan-ketentuan yang bersangkutan). 72 Adapun pengertian jual beli yang dimaksud dalam Pasal 1457 KUHPerdata apabila dikaitkan dengan jual beli rumah susun atau dalam hal ini apartemen adalah bahwa jual beli rumah susun atau apartemen merupakan sesuatu perjanjian dengan mana penjual, yaitu Developer mengikat dirinya untuk menyerahkan hak atas rumah susun atau apartemen yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan 70
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Log. Cit. Ibid., hlm. 106. 72 Subekti, Op. Cit. , hal 80. 71
Universitas Sumatera Utara
49
dirinya untuk membayar kepada penjual atau Developer sesuai dengan harga yang telah disetujui.73 Hal ini karena suatu hubungan hukum dalam lalu lintas hukum khususnya hukum perjanjian setidak-tidaknya melibatkan 2 (dua) pihak yang terikat oleh hubungan tersebut, yaitu kreditor (schuldeiser) dan debitor (schuldenaar). ”Masingmasing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum itu berupa prestasi dan kontra prestasi yang dapat berbentuk memberi, berbuat, dan tidak berbuat sesuatu”.74 selalu ada hak dan kewajiban di satu pihak yang saling berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain.75 Ini sejalan dengan landasan hukum kepailitan di Indonesia, yaitu KUHPerdata, maka perlu dilihat apakah konsep utang itu dalam KUHPerdata. Di dalam KUHPerdata kata utang diambil dari kata Gotisch “skulan” atau “sollen”
76
,
yang pada mulanya berarti harus dikerjakan menurut hukum. Pada dasarnya, utang adalah kewajiban yang harus dilakukan terhadap pihak lain, sehingga utang dalam pengertian ini merupakan hal yang dapat timbul pada kedua belah pihak. Kewajiban ini lahir dari perikatan yang dilakukan antara para subjek hukum.
73
R. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Log.
Cit. 74
Roberto Mangabeira Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Log. Cit. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas – Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 239. 75
76
Bagus Irawan, Op. Cit., hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
50
Dengan melihat kewajiban utama Developer selaku penjual apartemen maupun kewajiban utama konsumen selaku pembeli apartemen, dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban utama Developer menyerahkan apartemen sebagai obyek perjanjian jual beli pada dasarnya hak utama dari konsumen selaku pembeli. Demikian pula sebaliknya, kewajiban utama pembeli membayar harga apartemen sesuai dengan perjanjian jual beli adalah merupakan hak utama dari Developer selaku penjual . Hal ini berarti ada hubungan timbal balik antara kewajiban Developer selaku penjual apartemen dan kewajiban konsumen selaku pembeli apartemen dengan hakhak dari masing-masing pihak. Perikatan secara umum diartikan sebagai hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana orang yang satu terhadap yang lainnya berhak atas suatu penuaian/prestasi dan orang lain ini terhadap orang itu berkewajiban atas penuaian prestasi itu, sehingga perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi di antara para pihak terhadap suatu obyek tertentu yang melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Pada dasarnya “utang” atau kewajiban yang timbul dari perikatan adalah prestasi yang harus dilaksanakan oleh para pihak dalam perikatan tersebut. Para subjek perikatan disebut berpiutang atau kreditor (schuldeiser) sebagai pihak yang berhak atas prestasi dan si berhutang atau debitor (schuldenaar) sebagai pihak yang wajib memenuhi prestasi. Prestasi sebagai objek perjanjian harus tertentu atau dapat ditentukan (pasal 1320 KUHPerdata).
Universitas Sumatera Utara
51
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa jual beli apartemen antara Developer dengan konsumen merupakan suatu perjanjian yang mengikat salah satu pihak untuk menyerahkan apartemen dan mengikat pihak lain untuk membayar harga satuan apartemen sesuai kesepakatan. Inilah yang terjadi pada kasus kepailitan antara Developer Apartemen (PT. GRAHA PERMATA PROPERINDO) dengan para konsumennya. Developer gagal untuk melakukan penyerahan unit Apartemen yang telah dipesan dan dibayar secara angsuran oleh konsumen atau pembeli, padahal mereka telah memesan dan mencicil pembayaran atas unit Apartemen yang direncanakan untuk dibangun oleh Developer. Pembeli pertama telah membayar secara angsuran dengan jumlah cicilan yaitu Rp.58.100.000,-,. Pembeli kedua juga telah mengeluarkan uang sejumlah Rp. 37.400.000,-,. Pembeli ketiga juga telah membayar secara angsuran sejumlah Rp.64.695.000,-. Bahwa berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Developer dengan para pembeli maka pihak Developer seharusnya melakukan penyerahan fisik dari unit Apartemen yang dibeli oleh Para Pembeli pada bulan Desember 2008. Akan tetapi sampai batas waktu yang telah disepakati sesuai dengan PPJB yang mengikat secara hukum antara Developer dengan pembeli, pihak Developer telah lalai dalam melaksanakan kewajiban penyerahan fisik dari unit Apartemen kepada para Pembeli sesuai tenggang waktu yakni, Bulan Desember 2008.Karena mereka masih tetap belum menerima penyerahan atas unit Apartemen yang mereka pesan dan beli itu dari Developer maka ketiga orang Pembeli ini kemudian mengirimkan beberapa kali Surat
Universitas Sumatera Utara
52
Peringatan atau Somasi kepada pihak Developer bahkan menaruh pengumuman di koran atau surat kabar akan tetapi pihak Developer sama sekali tidak menanggapi Surat Somasi tersebut. Undang-Undang hendak menegaskan bahwa setiap kewajiban perdata terjadi karena memang dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan, yang dengan secara sengaja dibuat oleh mereka maupun karena ditentukan oleh peraturan perUndang-Undangan yang berlaku untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Maka, dapat dilihat bahwa setiap perikatan, baik yang berwujud dalam prestasi untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, atau untuk tidak melakukan sesuatu, membawa pada kewajiban untuk mengganti dalam bentuk biaya, rugi dan bunga adalah merupakan suatu bentuk kualifikasi prestasi dalam jumlah tertentu yang mana dapat dinilai dengan uang. 77 Yang artinya dalam perikatan kewajiban (pemenuhan prestasi) yang harus dijalankan menurut hukum dan merupakan tagihannya yang dapat dimintakan ganti rugi bila tidak dipenuhi oleh si debitor, sehingga si berpiutang atau kreditor memiliki piutang (inschuld) dan hak atas tuntutan ganti rugi, sementara pada pihak si berutang atau debitor memiliki utang (uitschuld) dan tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi (haftung).78 Hal ini terjadi karena adanya kegagalan Developer dalam melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan unit Apartemen yang telah dipesan oleh para 77
Kartini Mulajadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Op. Cit, hlm. 6 juncto hlm. 10. 78 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
53
pembeli, maka Developer dikatakan gagal melakukan prestasinya.Developer telah berutang kepada para konsumennya yang merupakan kreditor (schuldeiser).Sebagai debitor
(schuldenaar),
Developer
wajib
melaksanakan
“prestasinya”,
yaitu
menyelesaikan pembangunan Apartemen dan melakukan penyerahan unit Apartemen kepada pembeli atau kreditor (schuldeiser). Adanya utang disini bukan saja menunjuk kepada kewajiban Developer selaku debitor dalam hal pembangunan dan penyerahan unit Apartemen kepada para pembeli atau kreditor tapi juga mengacu kepada adanya sejumlah uang pembayaran dari para pembeli atau konsumen yang telah melaksanakan kewajibannya dalam membayar secara angsuran unit Apartemen yang telah mereka pesan tersebut. 2.
Pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen Antara Developer PT. Graha Permata Properindo Dengan Para Konsumen
Apabila seorang debitur (dalam hal ini Developer), mengabaikan atau mengalpakan kewajiban dan karena itu ia melakukan cacat prestasi, maka krediturnya dapat menuntut : a. Pemenuhan prestasi; b. Ganti rugi pengganti kedua-duanya ditambahkan dengan kemungkinan penggantian kerugian selanjutnya. Jika menghadapi suatu persetujuan timbal balik, maka sebagai gantinya kreditur dapat menuntut : c. Pembatalan persetujuan plus ganti rugi.79
79
F. Tengker, Hukum Suatu pendekatan Elementer, Log. Cit.
Universitas Sumatera Utara
54
Meskipun ternyata pihak Developer, yaitu PT. GRAHA PERMATA PROPERINDO telah menyelesaikan pembangunan Apartemen namun para konsumen atau pembeli Apartemen telah terlebih dahulu membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara mereka. Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang mereka buat dengan pihak Developer disebutkan bahwa Pihak Developer akan mengembalikan seluruh uang pembayaran atas unit Apartemen yang dibeli itu tanpa bunga dan potongan – potongan apapun dalam hal jika perjanjian itu dibatalkan. Ketiga pembeli Apartemen ini pun akhirnya memutuskan untuk membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang mereka buat dengan pihak Developer karena mereka menganggap pihak Developer telah wanprestasi. Kemudian mereka meminta uang mereka untuk dikembalikan oleh pihak Developer tanpa bunga dan potongan apapun, karena tidak adanya itikad baik dari pihak Developer untuk mengembalikan seluruh uang pembayaran mereka, maka ketiga pembeli tersebut memasukkan gugatan permohonan Kepailitan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan berlandaskan keyakinan bahwa pihak Developer telah berhutang kepada mereka dikarenakan pihak Developer tidak mengembalikan seluruh uang pembayaran mereka padahal Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara mereka dengan pihak Developer telah batal. Khusus mengenai pembatalan PPJB atas Rumah Susun, di dalam Kepmenpera No.11/1994 tidak diatur secara khusus mengenai syarat-syarat batalnya suatu PPJB.
Universitas Sumatera Utara
55
Namun di dalam Peraturan tersebut di atur bahwa PPJB dapat menjadi batal akibat adanya kelalaian dari pihak Pengusaha Pembangunan Perumahan dan Permukiman untuk menyerahkan satuan rumah susun, termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial secara sempurna pada tanggal yang ditetapkan. Hal ini tercantum di dalam Bab III angka 5.3 Poin ke-10 Lampiran Kepmenpera No.11/1994, seperti yang terkutip berikut ini: “kewajiban developer adalah menyerahkan satuan rumah susun termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosialsecara sempurna pada tanggal yang ditetapkan, dan jika pengusaha belum dapat menyelesaikan pada waktu tersebut diberi kesempatan menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari kalender, dihitung sejak tanggal rencana penyerahan rumah susun tersebut. Apabila ternyata masih tidak terlaksana sama sekali, maka perikatan jual beli batal demi hukum, dan kebatalan ini tidak perlu dibuktikan atau dimintakan Keputusan Pengadilan atau Badan Arbitrase,kepada perusahaan pembangunan perumahan dan permukiman diwajibkan mengembalikan pembayaran uang yang telah diterima dari pembeli ditambah dengan denda dan bunga setiap bulannya sesuai dengan suku bunga bank yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dilihat bahwa terdapat konsekuensi atas terjadinya pembatalan tersebut adalah pengenaan denda dan bunga terhadap Pengembang setiap bulan sesuai dengan suku bunga bank yang berlaku, serta konsekuensi selanjutnya adalah pengembalian uang para konsumen atau pembeli Apartemen yang telah dibayarkan kepada Developer. Dalam khasanah hukum perjanjian yang dimaksud dengan pembatalan perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu hubungan kontraktual itu dianggap tidak pernah ada. Dengan pembatalan perjanjian, maka eksistensi perjanjian dengan sendiri menjadi hapus. Akibat hukum kebatalan
Universitas Sumatera Utara
56
yang menghapus eksistensi perjanjian selalu dianggap berlaku surut sejak dibuatnya perjanjian. Pembatalan
ialah
suatu
cara
untuk
memulihkan
(keadaan
atau
keseimbangan).Pendekatan ini sejalan dengan asas keseimbangan, yakni yang ditujukan untuk menjaga kepentingan para pihak dan sekaligus membatasi dan mencegah kemungkinan kebatalan (demi hukum) atau pembatalan suatu keadaan dan situasi tidak seimbang di dalam perjanjian. Pembatalan perjanjian bukanlah sematamata “hak dari seseorang”, melainkan juga “kepentingan para pihak”. Kewenangan untuk membatalkan perjanjian dengan cara itu dibatasi atau bahkan ditiadakan. Jika bagi pihak kreditor terbuka upaya hukum lainnya di luar pembatalan, sedangkan bagi debitor pada saat sama ditimbulkan kerugian yang tidak perlu atau sangat tidak patut sebagai akibat pembatalan tersebut.Dengan demikian makna pembatalan lebih mengarah pada proses pembentukan perjanjian (penutupan perjanjian). Akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah ”pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan perjanjian”. Misal: dalam perjanjian jual beli yang dibatalkan, maka barang dan harga harus dikembalikan kepada masing-masing pihak, dan apabila pengembalian barang tidak lagi dimungkinkan dapat diganti dengan obyek yang sejenis atau senilai.Konsekuensi lanjutan dari efek atau daya kerja pembatalan, apabila setelah pembatalan salah satu pihak
tidak
melaksanakan
kewajibannya
(mengembalikan
apa
yang
telah
diperolehnya), maka pihak yang lain dapat mengajukan gugat revindikasi (vide Pasal
Universitas Sumatera Utara
57
574 KUH Perdata) untuk pengembalian barang miliknya, atau gugat perorangan atas dasar pembayaran yang tidak terutang (vide Pasal 1359 KUH Perdata). Pengikatan jual beli Apartemen juga dapat digolongkan ke dalam perikatan bersyarat. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 1253 KUHPerdata yang menyebutkan : Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa
yang
masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan murni yaitu perikatan yang tidak mengandung suatu syarat.Pasal 1265 KUH Perdata menyebutkan bahwa apabila suatu syarat batal dipenuhi, maka syarat tersebut menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, seolah-oleh tidak pernah ada suatu perikatan. Dalam perikatan dengan syarat batal, perjanjian itu sudah melahirkan perikatan, hanya perikatan itu akan batal apabila terjadi suatu peristiwa yang disebutkan dalam perjanjian sebagai suatu conditional clause.80Dengan demikian si kreditur yang telah menerima prestasi yang diperjanjikan harus mengembalikan apa yang telah diterimanya. Selanjutnya Pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata menjelaskan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian yang bertimbal balik, manakala
80
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa kasus Ed. 1. Cetakan ke. 5, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
58
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi.Dengan demikian menurut ketentuan dalam ayat (1), wanprestasi adalah merupakan syarat batal.Akan tetapi, dalam Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata disebutkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, maka perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Ada beberapa alasan yang mendukung klausul melepaskan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata dalam perjanjian, misalnya berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga pencantuman klausul yang melepaskan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata harus ditaati oleh para pihak. Selain itu jalan yang ditempuh melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama, sehingga hal itu tidak efisien bagi pelaku bisnis. Pencantuman klausul mengenai syarat-syarat batal merupakan salah satu klausul yang sangat penting bagi perlindungan kepentingan Pengembang.Demikian pentingnya klausul itu bagi Pengembang, sehingga seandainya klausul itu tidak ada di dalam PPJB, maka berakibat pelaksanaan pembatalan perjanjian hanya dapat terjadi berdasarkan putusan pengadilan atau hakim melalui proses litigasi yang panjang dan lama, sehingga Pengembang dalam hal ini pihak Developer akan sangat enggan untuk melakukan penjualan unit Apartemen dengan sistem angsuran. Pada sisi lain, beberapa ahli hukum maupun praktisi hukum berpendapat bahwa wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi harus memintakan pembatalan terlebih dahulu kepada hakim. Hal ini didukung oleh
Universitas Sumatera Utara
59
alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi, maka kreditur masih berhak mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1266 ayat (4) KUH Perdata, hakim berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian dalam jangka waktu paling lama satu bulan meskipun sebenarnya debitur sudah wanprestasi atau cidera janji. Dalam hal ini hakim memiliki penilaian untuk menimbang berat ringannya kelalaian debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian dibatalkan. Mengenai Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, berikut ini ada dua pendapat yang saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht), sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht), sehingga dapat disimpangi oleh para pihak.81 1. Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht).Pandangan ini beranjak dari rumusan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa: a. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam kontrak-kontrak yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya; b. Dalam hal yang demikian kontrak tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga
81
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 271.
Universitas Sumatera Utara
60
harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam kontrak; c. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam kontrak, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan. Rumusan Pasal 1266 KUH Perdata tersebut menentukan 3 (tiga) syarat untuk berhasilnya pemutusan kontrak, yaitu: 1) harus ada persetujuan timbal balik 2) harus ada wanprestasi, untuk itu pada umumnya sebelum kreditor menuntut pemutusan kontrak, debitor harus dinyatakan lalai (pernyataan lalai, in mora stelling, ingebrekestelling) 3) putusan hakim. Dengan menekankan pada rumusan … pemutusan harus dimintakan kepada Pengadilan …, kata ”harus” pada ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht)82 dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui (klausul) kontrak mereka. putusan hakim dalam hal ini bersifat konstitutif, artinya putusannya kontrak itu diakibatkan oleh putusan hakim, bukan bersifat deklaratif (kontrak putus karena adanya wanprestasi, sedang putusan 82
Menurut Pitlo, untuk mengetahui suatu undang-undang bersifat memaksa atau melengkapi kadang-kadang tidak mudah. Namun demikian, dengan rumusan kata-kata ”memerintahkan”, ”melarang”, ”tidak boleh”, ”tidak dapat” menunjukkan sifat memaksanya.Begitu juga apabila menyangkut kepentingan umum menunjukkan karakter memaksanya suatu aturan. Periksa A. Pitlo, Het Systeem van Het Nederlandse Privaaterecht, (terjemahan D. Saragih), (Bandung: Alumni, 1973). hal.13-20. Dalam Agus Yudha Hernoko. Ibid. hal. 272.
Universitas Sumatera Utara
61
hakim sekedar menyatakan saja bahwa kontrak telah putus). Pendapat yang menyatakan bahwa putusan hakim adalah konstitutif berdasarkan:83 a) Alasan historis (sejarah), bahwa menurut Pasal 1266 KUH Perdata, putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim; b) Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata, menyatakan dengan tegas bahwa wanprestasi tidak demi hukum membatalkan kontrak; c) Hakim berwenang untuk memberikan terme de grace (tenggang waktu bagi debitor untuk memenuhi prestasi kepada kreditor), dan ini berarti bahwa kontrak belum putus; d) Kreditor masih mungkin untuk menuntut pemenuhan. 2. Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht).Pendapat ini didasarkan pada argumentasi, sebagai berikut: a. Pasal 1266 KUH Perdata, terletak pada sistematika Buku III dengan karakteristiknya yang bersifat mengatur b. Para pihak dapat menentukan bahwa untuk pemutusan kontrak tidak diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan secara positif dalam kontrak
83
Periksa Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. IV (Jakarta: Binacipta, 1987), hal. 66-67. Bahkan menurut Subekti, selain putusan itu bersifat konstitutif, hakim juga mempunyai kekuasaan ‘descretionair’ , artinya ia mempunyai wewenang untuk menilai kadar wanprestasinya debitor. Apabila kelalaian itu dinilai terlalu kecil Hakim berwenang menolak permintaan pemutusan kontrak, meskipun tuntutan ganti ruginya dikabulkan. Periksa Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1982), hal. 148. Dalam Agus Yudha Hernoko. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
62
c. Praktik penyusunan kontrak komersial pada umumnya mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, sehingga hal ini dianggap
sebagai
”syarat
yang
biasa
diperjanjikan”
(bestandig
geberukikelijk beding) dan merupakan faktor otonom yang disepakati para pihak. Dengan demikian kedudukan klausul ini dianggap mempunyai daya kerja yang mengikat para pihak lebih kuat dibanding daya kerja Pasal 1266 KUH Perdata yang bersifat mengatur. Dan para konsumen atau kreditor ini menuntut pengembalian uang mereka, bahkan tanpa ada potongan apapun.Mengingat Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara Developer dengan para konsumen telah dibatalkan, maka seharusnya pihak Developer mengembalikan uang pembayaran yang telah dibayarkan secara angsuran oleh para konsumen.
D. Yang Masuk Kategori Pailit Nilai-nilai utama yang dapat menjadi titik awal pengaturan kepailitan pada dasarnya dapat ditemukan pada Buku I, II, III dan IV KUHPerdata dan pada Buku I KUH Dagang. Diawali dengan pertanyaan siapa yang dapat dinyatakan pailit. Apa sajakah yang dapat dijadikan jaminan dan transaksi yang bagaimana yang terjamin. Ketiga hal utama tersebut merupakan konsep dasar menuju pada proses pernyataan
Universitas Sumatera Utara
63
dan keputusan pailit. Konsep dasar tersebut kemudian secara jelas diatur dengan lebih rinci pada ketentuan kepailitan.84 Pengaturan suatu kepailitan selain khusus diatur dengan Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, juga terdapat dalam beberapa Undang - Undang yaitu sebagai berikut: KUH Perdata, misalnya Pasal 1139, 1149, 1134 dan lain-lain; KUH Pidana, misalnya Pasal 396, 397, 398, 399, 400, 520 dan lain-lain; Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996; PerUndang-Undangan di bidang Pasar Modal , Perbankan, BUMN, dan lainlain. 1. Subjek Hukum Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit Mengenai subjek pemohon pernyataan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 sebagai berikut: a. Debitor sendiri, dengan syarat bahwa debitor tersebut mempunyai minimal 2 kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. b. Kreditor yang mempunyai piutang kepada debitor yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih; 84
Sri Redjeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 7, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
64
c. Kejaksaan untuk kepentingan Umum; d. Dalam hal Debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia sebelum tanggal 31 Desember tahun 2013 ini, dan setelah tanggal 31 Desember 2013 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan atau OJK (berdasarkan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 66 ayat (1) poin a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan); e. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, serta Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengganti Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), berdasarkan berdasarkan Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 67 ayat (2), serta Pasal 68 UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan; f. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, atau Dana Pensiun yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengganti dari Menteri Keuangan, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 67 ayat (2), serta Pasal 68 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Universitas Sumatera Utara
65
Sedikit membahas tentang Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang berdiri dan terbentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan).Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. 2. Pihak Yang Dapat Dinyatakan Pailit Setiap orang dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. Debitor yang secara sumir terbukti memenuhi syarat yang tersebut dapat dinyatakan pailit, Debitor bisa merupakan orang perseorangan, badan hukum atau persekutuan-persekutuan yang bukan merupakan badan hukum, yang selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut : a. Orang Perorangan Baik laki-laki maupun perempuan, menjalankan perusahaan atau tidak, yang telah menikah maupun yang belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitor perorangan yang telah menikah, permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isterinya, kecuali antara suami isteri tersebut tidak ada percampuran harta.
Universitas Sumatera Utara
66
b. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum Selain orang perorangan, badan hukum juga dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan. Pernyataan pailit tersebut mengakibatkan pengurusan harta kekayaan badan hukum serta merta beralih pada kurator. Kurator inilah yang bertugas melakukan pengurusan dan / atau pemberesan harta pailit. Dengan sendirinya, setiap gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan debitor pailit harus diajukan terhadap atau oleh kurator. Dalam hal ini berlaku pula ketentuan mengenai kewenangan masing-masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya.85 c. Peserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan yang tidak berbadan hukum lainnya Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat seluruh utang firma.86 Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 18 Kitab Undangundang Hukum Dagang yang menyatakan dalam persekutuan firma adalah tiap-tiap pesero secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan perikatan dari perseroan.
85 86
Pasal 3 ayat 5 UUK & PKPU. Pasal 5 UUK & PKPU.
Universitas Sumatera Utara
67
d. Penjamin (Guarantor) Penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan di mana pihak ketiga guna kepentingan kreditor, mengikatkan dirinya untuk memnuhi kewajiban debitor apabila debitor bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajiban (Pasal 1820 KUH Perdata). Penaggungan ini sifatnya accessoir atau merupakan “suatu Perjanjian Tambahan” disamping perjanjian pokok (perjanjian kredit). Ini mempunyai akibat bahwa kalau perjanjian pokoknya batal atau berakhir, perjanjian tambahannya pun menjadi batal atau berakhir dengan sendirinya e. Harta Peninggalan Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti mebayar utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya. Dengan demikian, debitor yang telah meninggal dunia masih saja dinyatakan pailit atas harta kekayaannya apabila ada kreditor yang mengajukan permohonan tersebut. Akan tetapi permohonan pailit tidak ditujukan bagi para ahli waris. Pernyataan pailit harta peninggalan berakibat demi hukum dipisahkan harta kekayaan pihak yang meninggal dari harta kekayaan para ahli waris dengan cara yang dijelaskan dalam pasal 1107 KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua orang yang mengutangkan kepada si meninggal dan semua penerima hibah wasiat dapat menuntut dari orang-orang yang mengutangkan
Universitas Sumatera Utara
68
kepada si waris, supaya harta peninggalan dipisahkan dari harta kekayaan si waris tersebut”.
3. Utang Dalam Kepailitan Utang merupakan unsur penting karena merupakan salah satu syarat pernyataan pailit yang harus dibuktikan secara sederhana dalam sidang pemeriksaan yang diselenggarakan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 sendiri menyebutkan definisi mengenai utang : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk dapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor”.87 Penjabaran definisi utang dalam Undang Undang Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004 ini merupakan perbaikan yang cukup signifikan dari UndangUndang Kepailitan sebelumnya. Pada Undang-Undang Kepailitan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 juncto Peraturan Kepailitan tidak dijelaskan mengenai batasan utang tersebut.Hal ini terlihat pada Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 yang menyatakan :
87
Pasal 1 angka (6) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Universitas Sumatera Utara
69
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya ”. Dalam Undang-Undang Kepailitan yang lama ini tidak memberikan pengertian utang secara jelas dan hanya disebutkan bahwa utang yang tidak dibayar oleh debitor. Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 ini adalah utang pokok atau bunganya , sedangkan pengertian utang itu sendiri tidak dijelaskan. Dalam proses acara kepailitan prinsip utang tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa.Walaupun telah ada kepastian mengenai penafsiran utang tersebut dalam revisi Undang-Undang Kepailitan, yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bahwa utang yang dianut oleh Hukum Kepailitan kita adalah utang dalam arti luas yang berarti telah pararel dengan konsep utang dalam KUH Perdata, namun masih banyak terdapat perbedaan pendapat atau penafsiran akan utang oleh para hakim di Lembaga Peradilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga dan hakim Mahkamah Agung. Berdasarkan penelitian atas perkara-perkara kepailitan pada Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung telah terjadi dualisme penafsiran atas pengertian utang. Akibatnya dalam praktek pengertian utang telah diartikan secara sempit dan luas. Hakim memberikan penafsiran utang yang berbeda baik di Pengadilan Niaga maupun pada tingkat kasasi.
Universitas Sumatera Utara
70
Perbedaan penafsiran tentang pengertian utang ini dapat menimbulkan akibat berupa perbedaan keputusan hakim yaitu apakah permohonan pernyataan pailit akan dikabulkan, ditolak ataukah tidak dapat diterima. Selain itu juga perbedaan penafsiran tentang utang berakibat terhadap kewenangan pengadilan untuk mengadili, apakah perkara yang sedang diperiksa itu termasuk dalam kewenangan Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Niaga. Bahkan bukan hanya hakim, tetapi kalangan praktisi hukum lain seperti pengacara, jaksa dan juga dari kalangan akademis memiliki perbedaan penafsiran mengenai pengertian utang.Sehingga terdapat terdapat 2 (dua) interprestasi baik dari kalangan akademisi maupun praktisi. Satu kelompok menyatakan bahwa utang disini berarti utang yang timbul dari perjanjian
utang
piutang
yang
berupa
sejumlah
uang.
Kelompok
ini
menginterpretasikan utang dalam arti sempit, sehingga tidak mencakup prestasi yang timbul sebagai akibat adanya perjanjian di luar perjanjian utang piutang. 88 Sedangkan sebagian kelompok berpendapat bahwa yang dimaksud utang dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Kepailitan & PKPU Nomor 37 Tahun 2004 adalah prestasi yang harus dibayar yang timbul sebagai akibat perikatan. Utang disini dalam arti yang luas. Istilah utang tersebut menunjuk pada hukum kewajiban hukum perdata. Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari kontrak atau dari Undang-
88
M. Hadi Shubhan, Log. Cit. , hal 88 - 89.
Universitas Sumatera Utara
71
Undang (Pasal 1233 KUHPerdata). Prestasi tersebut terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.89 Berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang pernah berkembang dalam dunia hukum dapat disimpulkan terdapat 3 (tiga) pengertian utang. Ketiga pengertian tersebut yaitu; a. Utang dalam arti sempit, piutang yang tibul dari perjanjian pinjam meminjam. Hal ini merupakan pendapat yang sempit karena perikatan yang melandasi piutang tersebut hanyalah perjanjian pinjam meminjam saja, artinya pijammeminjam uang dan tidak semua jenis perjanjian. Dengan demikian, prestasi pihak lain seperti kewajiban pembeli menyerahkan uang tidak termasuk sebagai piutang bagi penjual. Demikian pula prestasi dalam perjanjian jasa dan perjanjian lainnya juga tidak termasuk sebagai utang. b. Utang dalam arti luas. Menurut pegertian yang luas, utang itu diartikan setiap tagihan untuk menyerahkan uang yang didasarkan kepada setiap perjanjian tidak hanya perjanjian pinjam-meminjam uang saja. Dengan demikian suatu Perseroan Terbatas yang tidak menyerahkan deviden kepada pemegang saham, termasuk kategori piutang bagi pemegang saham yang bersangkutan. Demikian pula pembeli yang tidak menyerahkan uang pembeliannya, bagi penjual merupakan suatu utang. Contoh lain penumpang yang tidak membayar ongkos perjanjian angkutnya kepada sopir taksi, bagi sopir taksi
89
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
72
tersebut merupakan suatu piutang. Tenaga kerja yang tidak dibayar oleh pelaku usahanya, mempunyai piutang terhadap pengusaha bersangkutan. c. Utang dalam arti yang sangat luas. Menurut pengertian yang sangat luas piutang itu ialah setiap tagihan yang baik didasarkan kepada perjanjian maupun kepada Undang-Undang yang tidak merupakan tagihan sejumlah uang saja. Pendeknya menurut pengertian yang sangat luas piutang yang berupa tuntutan atas suatu prestasi yang didasarkan baik perjanjian maupun Undang-Undang. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata prestasi tersebut dapat berupa : 1) Memberi sesuatu; 2) Berbuat sesuatu; 3) Tidak berbuat sesuatu. Dalam pengertian yang sangat luas perjanjian dimaksud tidak dibatasi kepada perjanjian pinjam meminjam saja tetapi semua jenis perjanjian. Demikian pula hak yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum juga dapat diartikan sebagai piutang. Jadi, sebagai contoh seorang yang ditabrak kendaraan mempunyai piutang untuk menagih sejumlah uang kepada penabraknya berdasar Pasal 1365 KUHPerdata. Demikian pula mengadakan perjanjian membuat rumah kepada seorang pemborong, mempunyai piutang kepada pemborong untuk menagih pemborong menyelesaikan bangunan rumah tersebut. Dari 3 (tiga) pendapat tersebut mengenai utang, maka yang tepat adalah pendapat yang kedua dan atau pun yang ketiga, yaitu kelompok pendapat yang
Universitas Sumatera Utara
73
menyatakan bahwa utang dalam arti luas, karena Undang – Undang Kepailitan merupakan penjabaran lebih khusus dari KUH Perdata, maka utang dalam Undang – Undang Kepailitan & PKPU adalah prestasi sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Utang dalam kaitan dengan perikatan bisa timbul karena perjanjian dan bisa pula timbul karena Undang-Undang. Utang dalam perikatan yang timbul karena Undang-Undang bisa timbul dari Undang-Undang saja dan bisa pula timbul dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang. Perikatan yang lahir dari UndangUndang sebagai akibat perbuatan orang bisa berupa perbuatan yang sesuai dengan Undang-Undang bisa pula perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad).90 Menurut Jerry Hoff dalam bukunya berjudul "Indonesian Bankcruptcy Law", bahwa definisi utang adalah utang dalam arti luas, yaitu utang meliputi pula kewajiban Debitor dalam kontrak,yang merujuk pada KUH Perdata Pasal 1233, secara lengkapnya sebagai berikut : Obligation or debts can arise either out of contract or out of law (article 1233 CC). There are obligation to give something, or obligation to do or not to do something (article 1234 CC). The creditor is entitled to the performance of the obligation by the debtor. The debtor is obliged to perform. Some examples of obligations which arise out of contract are : The obligation of a borrower to pay interest and to repay the principal of the loan to a lender ; The obligation of a seller to deliver a car to a purchaser pursuant to a sale and purchase agreement ; The obligation of a builder to construct a house and to deliver it to purchaser; The obligation of a guarantor to guarantee to a lender the repayment of a loan by a borrower. From the debtor’s perspective these obligations are his debts. From the creditor’s perspective, these obligations are his claim.91 90 91
Ibid. ,hal 90. Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, Log. Cit.
Universitas Sumatera Utara
74
Jerry Hoff juga menyatakan ketidaksetujuannya atas Putusan Mahkamah Agung yang mengartikan utang secara sempit yaitu hanya pada hubungan pinjam meminjam uang. Menurut Jerry Hoff, jika utang hanya diartikan loan apa artinya ada klaim, dimana klaim ini tidak terbatas pada klaim yang muncul dari loan. Selanjutnya juga pakar hukum Drs. Paripurna P.Sugarda, SH.M.Hum berpendapat bahwa pengertian utang di dalam Undang-Undang Kepailitan tidak seyogianya diberi arti yang sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitur yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditor, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun juga (tidak terbatas hanya kepada perjanjian utang piutang saja), maupun timbul karena ketentuan Undang-Undang, dan timbul karena keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.Dilihat dari perspektif kreditor kewajiban membayar debitor tersebut merupakan“ hak untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang ” atau “ right to payment ”. Menurut beliau, utang debitor yang merupakan hak untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang atau right to payment bagi kreditor harus telah ada ketika debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan.Apabila hak kreditor itu belum muncul, maka tidaklah hak kreditur itu dapat dikatakan utang debitor yang dapat didaftarkan untuk pencocokan (verifikasi) utang-utang dalam rangka kepailitan debitur tersebut.Apabila terjadi ketidaksepakatan mengenai adanya utang tersebut, maka adanya utang itu harus terlebih dahulu diputuskan oleh pengadilan. Bahkan
Universitas Sumatera Utara
75
pengadilan harus pula memutuskan kepastian mengenai besarnya utang itu. Pengadilan dalam hal ini adalah pengadilan Niaga. Dengan demikian maka utang dalam UUK dan PKPU merupakan utang dalam pengertian luas yang tidak hanya terbatas pada hubungan pinjam meminjam uang saja tetapi sampai pada kewajiban Debitor dalam kontrak. Selain kewajiban dalam kontrak, utang juga termasuk kewajiban Debitor yang timbul dari Undang-Undang.
Universitas Sumatera Utara