BAB II KAJIAN TEORI
1.1
Kajian Teoritis
1.1.1 Zakat Menurut (Qudamah dalam Wijayanti, 2008: 31-32) menjelaskan bahwa makna zakat menurut kaidah bahasa Arab adalah berasal dari kata Adz-dzaka yang berarti suci, An-nama yang berarti tumbuh (mengalami pertumbuhan), dan Adz-dziyadah yang berarti berkembang atau bertambah (mengalami pertambahan). Sedangkan zakat menurut etimologi berarti, berkat, bersih, berkembang dan baik. Dinamakan zakat karena, dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari bahaya. Menurut Nasution, dkk, (2010: 44), dalam istilah fikih, zakat adalah sebutan atau nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT. Supaya diserahkan kepada orang-orang yang berhak (mustahiq). Menurut (Ibnu Taimiah dalam Wijayanti, 2008: 32) hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi. Firman Allah dalam al-Qur’an Surat As-Syamsi ayat 9:
﴾٩﴿ﻗﺩﺃﻓﻠﺢﻤﻥﺯﻛﺎﻫﺎ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa. Bagi orang yang mengeluarkan zakat, hati dan jiwanya akan menjadi bersih.”
Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat At-Taubah ayat 103:
ﺧﺫ ﻤﻥ ﺃﻤﻮ ﺍﻠﻬﻡ ﺻﺩﻗﺔ ﺗﻃﻬﺮ ﻫﻡ ﻭ ﺗﺯ ﻛﻳﻬﻡ ﺑﻬﺎ ﻭ ﺻﻝ ﻋﻠﻴﻬﻡ ﺇ ﻥ ﺻﻠﺎ )١٠٣( ﺗﻚ ﺴﻛﻥ ﻠﻬﻡ ﻭ ﷲ ﺴﻣﻳﻊ ﻋﻠﻳﻡ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa zakat yang dikelurakan oleh para muzakki akan membersihkan dan menyucikan penyakit hati manusia, seperti rakus dan kikir terhadap harta. Dalam al-Qur’an diperkirakan terdapat 30 ayat yang berkaitan dengan perintah mengeluarkan zakat. Printah berzakat sering muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kegiatan berzakat dalam Islam. (Nasution, 2010: 210) Berdasarkan pengertian dan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa zakat merupakan suatu kewajiban bagi setiap umat muslim yang telah memiliki kelebihan untuk dapat membantu masyarakat yang kurang mampu sebagai bentuk rasa solidaritas sesama kaum muslim dan juga untuk membantu pemerintah dalam memberantas kemiskinan.
2.1.1.1 Hukum dan Hikma Zakat Nasution, dkk (2010: 46-51) menyatakan bahwa zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam yang merupakan pilar agama. Dikatakan pilar karena agama tidak dapat berdiri tanpa pilar ini. Orang yang enggan membayarnya boleh diperangi, orang yang menolak kewajibannya dianggap kafir. Zakat ini diwajibkan pada tahun kedua hijriah. Legitimasinya diperoleh lewat beberapa ayat dalam al-Qur’an, salah satu firman Allah SWT yakni terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 43: Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukunlah beserta orang-orang yang rukuk.” “Hadis nabi SAW menyebutkan posisi zakat seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi semua orang yang sampai mengakui bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mereka melakukan shalat, bayarkan zakat dan saling memberi nasihat sesama warga muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Diantara hikmah zakat, tercermin dari urgensinya yang dapat memperbaiki kondisi masyarakat baik moril maupun materil. Satu komunitas dapat menyatukan anggotanya bagaikan sebuah batang tubuh, juga dapat membersihkan jiwa dari kikir dan pelit sekaligus merupakan benteng pengaman dalam ekonomi Islam yang dapat menjamin kelanjutan dan kestabilannya. Zakat ini adalah sebuah ibadah materil yang merupakan penyebab memperoleh rahmat dari Allah SWT.sesuai dengan firman-Nya yang berarti “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, Saya akan memberikannya kepada orang-orang yang bertaqwa dan yang membayar zakat.” Zakat pertama kali diwajibkan telah ditentukan kadar dan jumlahnya, tetapi hanya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan fakir dan miskin. Namun setelah Nabi hijrah ke Madinah, diberlakukan beberapa ketentuan dengan syarat yang harus dipenuhi dalam zakat (Marthon dalam Nasution, 2010: 49). 1. Islam Zakat hanya diwajibkan untuk umat Islam dan merupakan rukun Islam. Hal tersebut hal tersebut berlandaskan pada hadis, ketika Muadz bin Jabal diutus ke daerah Yaman (Al-Bukhari). Zakat tidak diwajibkan kepada selain muslim, karena zakat merupakan taklif maali (kewajiban harta) dalam Islam yang diambil dari orang kaya dan diberikan kepada fakir, miskin, ibnu sabil dan yang membutuhkan lainnya. (delapan asnaf) 2. Sempurna ahliyah-nya Sebagian ulama berpendapat, zakat diwajibkan atas harta anak kecil dan orang gila. Namun Hanafiyah berpendapat bahwa zakat tidak wajib atas harta mereka kecuali atas hasil pertanian dan perkebunan. Perbedaan tersebut muncul karena
karakteristik zakat itu sendiri, sebagian berpendapat zakat termasuk ibadah mahdlah dan sebagian berpendapat zakat merupakan taklif maali (kewajiban atas harta) dan yang terakhir inilah menurut sebagian, ulama merupakan pendapat yang rajih (terpilih). 3. Sesempurnanya kepemilikan Kepemilikan muzakki (orang yang wajib zakat) atas harta yang mau dizakatkan merupakan kepemilikan yang sempurna, dalam arti harta tersebut tidak terdapat kepemilikan dan hak orang lain. 4. Berkembang Harta yang merupakan objek zakat harus berkembang artinya harta tersebut mendatangkan pendapatan atau tambahan kepada pemiliknya, seperti hasil pertanian, pertambangan dan lain-lain. 5. Nisab Harta yang wajib dizakati harus sampai pada kadar tertentu, yang disebut dengan nisab. Hikmah dari penentuan nisab adalah menunjukkan zakat hanya diwajibkan kepada orang-orang yang mampu untuk diberikan kepada orangorang yang membutuhkan. Rasulullah bersabda “Tidak ada zakat kecuali bagi orang-orang yang kaya”. 6. Haul Harta zakat yang telah mencapai nisab harus ada dalam kepemilikan ahlinya sampai waktu 12 bulan qamariyah, kecuali hasil pertanian, perkebunan barang tambang, madu dan sejenisnya.
Beberapa aspek pembiayaan dalam Islam cukup bervariasi, jika dalam ekonomi modern pemerintah memperoleh pendapatan dari sumber pajak, bea cukai
dan pungutan, maka Islam lebih memperkayanya dengan zakat. Meskipun nilai nominal zakat lebih kecil dari pajak dalam ekonomi modern tetapi pemberlakuan distribusinya lebih efektif. Sebagai contoh pada masa depresi di Amerika tahun 1929 (jatuhnya bursa saham di New York), ahli makro ekonomi Keynes, menyarankan agar masyarakat Amerika yang berduit melakukan konsumsi tinggi. Latar belakang pemikiran Keynes adalah salah satu penyebab terjadinya depresi ekonomi adalah akibat terkonsentrasinya modal pada segelintir orang. Maka diharapkan dengan konsumsi tinggi akan terjadi aliran dana sehingga menimbulkan efek rembes ke masyarakat. Akan tetapi efek rembes dana dari orang kaya biasanya mengalir lambat pada orang miskin.
2.1.1.2 Tujuan zakat
(Djuanda dkk, dalam Imran, 2009: 18) menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diwajibkan oleh Allah SWT pasti mempunyai tujuan dan kemanfaatan, demikian pula halnya dengan pelaksanaan ibadah zakat. Yang dimaksud tujuan zakat dalam hubungan ini adalah sasaran praktisnya. Adapun tujuan tersebut adalah: 1. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta penderitaan. 2. Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh para mustahiq (penerima zakat). 3. Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu masyarakat. 4. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang punya harta.
5. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya. 6. Sebagai sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.
2.1.1.3 Klasifikasi zakat
Menurut Rasjid (2004: 193-207) zakat terdiri dari beberapa macam, diantaranya: 1. Zakat fitrah Zakat fitrah adalah sunnah yang diwajibkan terhadap setiap individu kaum muslimin, karena Abdullah bin Umar r.a berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah pada bulan ramadhan sebanyak satu sha’kurma terhadap budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin.” (Muttafaqun Alaih). 2. Zakat mall Zakat mall adalah zakat yang dikeluarkan oleh orang yang mempunyai kelebihan dari segi harta ketika sudah mencapai haul (1 tahun) dan nisab (jumlah yang harus dizakatkan). Berikut ini yang termasuk dalam zakat mall. a. Emas, perak, barang-barang dagangan yang sejenis dengannya, barang tambang dan harta terpendam yang sejenis dengannya, serta uang, karena dail-dalil berikut: Firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak menafkahkannya dijalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah ayat 34).
Sabda Rasulullah SAW,
“Hewan, lukanya itu tidak ada kewajiban mengganti, sumur itu tidak ada kewajiban mengganti (jika ada orang jatuh ke dalamnya), barang tambang itu tidak ada kewajiban mengganti (jika ada orang yang jatuh ke dalamnya), dan zakat harta terpendam adalah seperlima.” (Al-Bukhari)
b. Hewan ternak, yaitu unta, lembu, dan kambing, karena dalil-dalil berikut: Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik.” (Al-Baqarah: 267). Sabda Rasulullah SAW kepada orang yang bertanya tentang hijrah kepada beliau, “Celaka engkau, sesungguhnya hijrah itu amat berat, apakah engkau mempunyai unta yang bisa engkau keluarkan zakatnya?” Orang tersebut berkata, “Ya punya, “Rasulullah SAW bersabda, “bekerjalah dibelakang laut, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengurangi sedikit pun dari amal perbuatanmu.” (Al-Bukhari). c.
Buah-buahan dan biji-bijian Biji-bijian ialah apa saja yang bisa disimpan dan dimakan, misalnya gandum, kacang tanah, padi dan lain sebagainya. Sedang buah-buahan ialah kurma, zaitun dan anggur kering, karena dalil-dalil berikut: Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian.” (Al-Baqarah: 267).
Sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada zakat pada harta dibawah lima uqiyah (satu uqiyah sama dengan 28 gram). (Al-Bukhari).
3. Zakat profesi Sebagian ulama menqiyaskannya dengan zakat naqdain (emas dan perak) dan zakat dihitung atas dasar 2,5% dari pendapatan bersih setelah dikurangi pembiayaan untuk memperoleh pendapatan dan nafkah kebutuhan pokok hidup,
jika mencapai nisab pada dua sisi haul (awal dan akhir haul). Semua harta tunai yang belum dizakati bisa digabungkan dengan pendapatan bersih tersebut.
2.1.1.4 Golongan Yang Berhak Menerima Zakat Orang-orang yang berhak menerima zakat telah Allah tentukan
sendiri
pembagiannya sebagiamana dalam firman-Nya: “Sesungguhnya sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah lagi Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. AtTaubah: 60). 1. Fakir yaitu orang yang tidak mempunyai harta dan usaha yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya dan dia tidak memiliki keluarga yang mampu menafkahinya. 2. Miskin yaitu orang yang mampu bekerja, namun hasil yang diperolehnya hanya sedikit sekali sehingga tidak memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan untuk penyediaan makanan, pakaian maupun tempat tinggal. 3. Amil yaitu semua orang yang bekerja mengurus zakat sedang dia tidak mendapat upah selain dari zakat itu. 4. Mualaf adalah orang yang hatinya perlu dilunakkan terhadap ajaran Islam (dengan diberikannya zakat/sedekah), agar berkeinginan untuk memeluk dan menjalankan syariat Islam dengan mantap. 5. Hamba yaitu seorang budak yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya, hamba itu diberi zakat sekedar untuk penebus dirinya. 6. Gharim yaitu orang yang menanggung hutang, termasuk juga beberapa perkara yang berhutang dengannya baik hutangnya karena menanggung biaya
mendamaikan antara orang-orang bersengketa ataupun menanggung hutang orang lain sehingga menghabiskan hartanya. 7. Fisabilillah yaitu orang (baik kaya maupun miskin) yang berjuang dijalan Allah sesuai dengan keahlian dan kerelaanya. 8. Ibnu Sabil yaitu orang yang bepergian jauh (musafir), terutama yang mengalami kehabisan bekal untuk kembali ke tempat asalnya atau orang yang hendak bepergian jauh, tetapi tidak memiliki bekal.
2.1.2 Pengelolaan Zakat 2.1.2.1 Lembaga Pengelola Zakat
Lembaga pengelola zakat perlu dibentuk sebagai badan yang khusus perencanaan,
pengorganisasian,
pelaksanaan,
dan
pengawasan
terhadap
pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Dalam UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999, disebutkan bahwa lembaga pengelola zakat ada 2 macam. (1) Badan Amil Zakat (BAZ), yaitu organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. (2) Lembaga Amil Zakat (LAZ), yaitu institusi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat yang bergerak dibidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam. Lembaga ini harus dikukuhkan dan dibina oleh pemerintah. Dalam pertimbangan,
susunan
organisasi
Badan
komisi
pengawas
dan
Amil
badan
Zakat,
terdiri
pelaksana
atas
dewan
(bapel).
Dewan
pertimbangan dan komisi pengawasan meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota,
sedangkan badan pelaksana terdiri dari ketua, sekretaris, bagian keuangan, bagian pengumpulan, bagian pendistribusian, dan pendayagunaan. (Wijayanti, 2008: 123)
2.1.2.2 Cara Pembagian Zakat
Wijayanti (2008: 119-120) menyatakan bahwa para ulama berselisih pendapat mengenai cara pembagian zakat, apakah harus dibagi rata antara orangorang yang menerima zakat atau boleh untuk diberikan pada sebagian diantara mereka. Walaupun demikian, menurut pendapat yang paling shahih (benar) dan rajih (kuat) adalah yang mengatakan, “Tidak diwajibkan membagi rata suatu zakat pada semua golongan yang berhak menerima zakat.” Dari masalah ini, sesungguhnya Allah telah menjadikan zakat khusus hanya dibagi pada delapan golongan dan tidak boleh bagi yang lainnya. Walaupun demikian, pengkhususan bagi mereka (ke 8 golongan yang berhak menerima zakat) tidak berarti harus dibagi pada mereka semua dengan porsi yang sama dan tidak pula berarti harus dibagikan zakat tersebut pada semua golongannya, baik sedikit maupun banyak. Akan tetapi, maknanya adalah bahwa zakat itu dapat dibagi kepada delapan golongan tersebut. Pembagian zakat dilakukan hanya oleh panitia/bendahara (badan amil) zakat yang telah ditetapkan (disahkan) oleh pemimpin umat Islam (pemerintah). Pemberian zakat juga disunnahkan untuk memberikannya sendiri kepada salah satu atau beberapa golongan yang berhak menerima zakat sesuai dengan kadar prioritas kebutuhannya. Barangsiapa yang wajib menunaikan zakat harta tertentu, lalu dia sudah memberikannya kepada salah satu golongan tersebut, berarti dia telah menjalankan yang diperintahkan Allah dan telah gugur kewajibannya.
2.1.2.3 Pendayagunaan Zakat Produktif Zakat yang diberikan kepada mustahiq akan berperan sebagai pendukung peningkatan ekonomi mereka apabila dikonsumsikan pada kegiatan produktif. Pendayagunaan zakat produktif sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja, dengan adanya masalah tersebut maka perlu adanya perencanaan yang dapat mengembangkan zakat bersifat produktif tersebut. Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin dapat mengembangkan usaha serta menyisihkan penghasilannya untuk menabung. (Sartika: 2008). (Qadir dalam Putra, 2010) menyatakan bahwa zakat produktif yaitu zakat yang diberikan kepada mustahiq sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi yaitu untuk menumbuh kembangkan tingkat ekonomi dan potensi produktifitas mustahiq. Pendayagunaan zakat harus berdampak positif bagi mustahiq, baik secara ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, mustahiq dituntut benar-benar dapat mandiri dan hidup secara layak sedangkan dari sisi sosial, mustahiq dituntut dapat hidup sejajar dengan masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak hanya didistribusikan untuk hal-hal yang konsumtif saja tetapi lebih untuk kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif. Pada surat At-Taubah: 60 telah ditegaskan bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat diantaranya adalah fakir miskin. Begitu juga diantara tujuan zakat adalah menghapuskan kefakiran, kemiskinan dan kemelaratan. Hal ini pula dijelaskna dalam QS (Al-Baqarah: 215)
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
Sekiranya orang dapat memahami dengan baik ayat tersebut, maka akan berdiri bulu romanya, bila dia tidak mau membayar zakat dan menginfaqkan sebagian hartanya untuk kepentingan orang yang tidak punya itu. Jalan yang ditempuh ada 2 cara yaitu: pertama menyantuni mereka dengan memberikan dana (zakat) yang sifatnya konsumtif atau dengan cara kedua, memberikan modal yang sifatnya produktif, untuk diolah dan dikembangkan. Sebenarnya, bila kita memperhatikan keadaan fakir miskin, maka tetap ada zakat konsumtif, walaupun ada kemungkinan melaksanakan zakat produktif. Anak-anak yatim yang belum bisa berusaha (mandiri), orang jompo, atau orang dewasa yang tidak bisa bekerja karena sakit atau cacat, maka zakat konsumtif tidak bisa dihindari, mereka wajib disantuni dari sumber-sumber zakat dan infaq lainnya. Kemudian bagi mereka yang masih kuat bekerja dan bisa mandiri dalam menjalankan usaha, maka dapat ditempuh dengan cara kedua yaitu memberi modal kepada perorangan (individu) atau kepada perusahaan yang dikekola secara kolektif. Pemberian modal kepada perorangan harus dipertimbangkan dengan matang oleh Amil. Apakah mampu orang tersebut mengelola dana yang diberikan itu, sehingga pada suatu saat dia tidak lagi menggantungkan hidupnya kepada orang lain, termasuk mengharapkan zakat. Apabila hal ini dapat dikelola dengan baik atas pengawasan dari Amil (bila memungkinkan) maka secara berangsur-angsur, orang yang tidak punya (melarat) akan terus berkurang dan tidak menutup kemungkinan,
dia pun bisa menjadi muzakki (pemberi zakat), bukan lagi sebagai penerima. (Ali: 2003) Dalam pendayagunaan dana zakat untuk aktivitas-aktivitas produktif memiliki beberapa prosedur. Aturan tersebut terdapat dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelola zakat, Bab III pasal 27 yaitu sebagai berikut: 1. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. 2. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahiq telah terpenuhi. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan
zakat untuk usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
2.1.3 Pendapatan Usaha Kieso (2007: 515) menyatakan bahwa pendapatan merupakan arus masuk aktiva atau penyelesaian kewajiban akibat penyerahan atau produksi barang, pemberian jasa, atau kegiatan menghasilkan laba lainnya yang membentuk operasi utama atau inti perusahaan yang berkelanjutan selama satu periode. Sedangkan menurut Financial Accounting Standard Board (dalam Harahap, 1999: 58) menyatakan bahwa definisi pendapatan adalah arus masuk atau peningkatan nilai aset dari suatu entity atau penyelesaian kewajiban dari entity atau gabungan dari keduanya selama periode tertentu yang berasal dari penyerahan/produksi barang, pemberian jasa atas pelaksana kegiatan lainnya yang merupakan kegiatan utama perusahaan yang sedang berjalan. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendapatan usaha merupakan hasil yang diperoleh setelah dikurangi biaya-biaya
dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh para mustahiq dalam satu periode. Kemudian pendapatan usaha tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yang pertama digunakan untuk menambah modal usaha dan yang kedua digunakan untuk memenuhi keperluan rumah tangga sehingga tercapai tujuan dari zakat itu sendiri yakni meningkatkan kesejahteraan kaum duafa.
2.1.3.1 Pengakuan Pendapatan Suwardjono (2011: 362) menyatakan bahwa pengakuan pendapatan tidak boleh menyimpang dari landasan konseptual. Oleh karena itu, secara konseptual pendapatan hanya dapat diakui kalau memenuhi kualitas keterukuran dan keterandalan. Kualitas tersebut harus dioperasionalkan dalam bentuk kriteria pengakuan pendapatan. Kriteria keterukuran berkaitan dengan masalah berapa jumlah rupiah produk tersebut dan kriteria keterandalan berkaitan dengan masalah apakah jumlah tersebut objektif serta dapat diuji kebenarannya. Kedua kriteria harus terpenuhi untuk pengakuan pendapatan. Pendapatan yang diukur dengan jumlah penghargaan sepakatan produk yang terjual baru akan menjadi pendapatan yang sepenuhnya setelah produk selesai diproduksi dan penjualan benar-benar telah terjadi. Dengan kata lain, pendapatan belum terrealisasi sebelum terjadinya penjualan yang nyata ke pihak lain. Sebaliknya, terjadinya kontrak penjualan belum cukup untuk menandai eksistensi pendapatan sebelum barang/jasa sudah cukup selesai dikerjakan atau diserahkan kepada pelanggan. Dengan kata lain, pendapatan belum terbentuk sebelum perusahaan melakukan upaya produktif. Untuk
menjabarkan
pendapatan.
kriteria
kualitas
informasi
menjadi
kriteria
pengakuan
Menurut Kieso (2007: 515), prinsip pengakuan pendapatan menetapkan bahwa pendapatan diakui pada saat (1) direalisasi atau dapat direalisasi dan (2) dihasilkan. Oleh karena itu pendapatan yang tepat meliputi tiga hal: 1.
Pendapatan direalisasi apabila barang dan jasa ditukar dengan kas atau klaim atas kas (piutang).
2.
Pendapatan dapat direalisasi apabila aktiva yang diterima dalam pertukaran segera dapat dikonversi menjadi kas atau klaim atas kas dengan jumlah yang diketahui.
3.
Pendapatan dihasilkan (earned) apabila entitas bersangkutan pada hakikatnya telah menyelesaikan apa yang seharusnya dilakukan untuk mendapat hak atas manfaat yang dimiliki oleh pendapatan itu, yakni apabila proses menghasilkan laba telah selesai.
2.1.3.2 Pembentukan Pendapatan Suwardjono (2011: 363), menyatakan bahwa pembentukan pendapatan adalah suatu konsep yang berkaitan dengan masalah kapan dan bagaimana sesungguhnya pendaptan itu timbul atau menjadi ada. Dengan kata lain, apakah pendaptan itu timbul karena kegiatan produktif atau karena kejadian tertentu (misalnya penjualan). Konsep pembentukan pendapatan menyatakan bahwa pendapatan terbentuk, terhimpun atau terhak bersamaan dengan dan melekat pada seluruh atau totalitas proses berlangsungnya operasi perusahaan dan bukan sebagai hasil transaksi tertentu. Dengan kata lain, sebelum penjualan terjadi, pendapatan dianggap sudah terbentuk seiring dengan berjalannya operasi perusahaan. Operasi perusahaan meliputi kegiatan produksi, penjualan dan
pengumpulan piutang. Konsep pembentukan ini seiring pendekatan proses pembentukan pendapatan atau pendekatan kegiatan. Pendekatan ini dilandasi oleh konsep dasar upaya dan hasil/capaian serta kontinuitas usaha. Biaya merepresentasi upaya dan pendapatan merepresentasi capaian. Karena tujuan perusahaan adalah menciptakan laba, manajemen atau pengusaha paling tidak mengaharapkan bahwa pendapatan lebih besar dari biaya. Tanpa harapan adanya kelebihan tersebut (berupa laba) orang tidak bersedia melakukan usaha secara sengaja dan senang hati. Laba merupakan imbalan untuk tenaga, pikiran, serta risiko yang ditanggung pengusaha atau perusahaan.
2.2
Kajian Penelitian Yang Relevan Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian terdahulu. 1). Pengentasan
Kemiskinan Melalui Zakat (Studi pada Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Cabang Malang)”, Hutriya (2007) Permasalahan pada penelitian ini difokuskan pada 2 hal, yakni; tentang penghimpunan, penyaluran dan pendayagunaan dana zakat, dan tingkat keberhasilan YDSF cabang Malang dalam pengelolaan dana zakat untuk perwujudan program pengentasan kemiskinan dengan menggunakan metode pendekatan secara kualitatif. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa YDSF telah mengoptimalisasikan pendayagunaan dana zakat khususnya untuk menanggapi permasalahan dan peningkatan kualitas pendidikan; PUSDA (Pusat Dakwah) merupakan Direktorat yang didirikan YDSF untuk mendayagunakan dana di sektor dakwah, masjid, pelajar dan mahasiswa; dan PLASMA (Pusat Layanan Sosial Masyarakat) adalah Direktorat yang didirikan YDSF untuk mengoptimalisasi pendayagunaan dana di sektor kesehatan, sosial, yatim, dan kemanusiaan yang bertujuan
melayani
dan
memberdayakan
kaum
dhuafa'
sehingga
mampu
mengangkat kesejahteraan mereka. 2). “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif Terhadap Pemberdayaan Mustahik pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta”, Sartika (2008). Penelitian ini dilakukan dengan metode regresi sederhana. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara jumlah dana yang disalurkan terhadap pendapatan mustahiq. Ini berarti bahwa jumlah dana (zakat) yang disalurkan benar-benar mempengaruhi pendapatan mustahiq, dengan kata lain semakin tinggi dana yang disalurkan maka akan semakin tinggi pula pendapatan mustahiq. variabel jumlah dana (zakat) yang disalurkan dan variabel pendapatan mustahiq ditemukan besarnya pengaruh variabel jumlah dana (zakat) yang disalurkan terhadap pendapatan mustahiq sebesar 10,2 %. yang berarti sebesar 89, 8% dari pendapatan mustahiq dipengaruhi oleh faktor lain. Selain itu dari hasil uji parsial yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa koefisien konstanta (b) dan koefisien variabel X (dana yang disalurkan) sama-sama mempunyai pengaruh terhadap
pendapatan
mustahik.
3)
“Model
pendayagunaan
zakat
untuk
Kesejahteraan mustahiq (studi di lazis masjid sabilillah kec. Blimbing kodya malang)”, Imran (2009). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Model pendayagunaan zakat yang
dilakukan
oleh
LAZIS
Sabilillah
ada
dua
model:
Pertama
model
pendayagunaan produktif tradisional, dana zakat yang disalurkan berbentuk barang produktif yang diperuntukkan memberdaykaan tukang becak berupa alat transportasi becak. Kedua adalah model pendayagunaan zakat produktif kreatif, yaitu yang disalurkan berbentuk modal usaha yang dialokasiakn untuk pemberdayaan ekonmi dalam memberdayakan mustahiq selain tukang becak yang diberikan dalam bentuk pinjaman uang tunai sebagai tambahan permodalan untuk menambah modal usaha atau berwirausaha seperti penambahan modal bagi tukang jahit dan membuka toko
pracangan. 4) “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif Terhadap Pemberdayaan Mustahiq
Pada
Badan
Pelaksana
Urusan
Zakat
Amwal
Muhammadiyah
(BAPELURZAM) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Weleri Kabupaten Kendal”, Putra (2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
variabel pendayagunaan zakat produktif (X) mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap pemberdayaan mustahiq pada Badan Pelaksana Urusan Zakat Amwal Muhammadiyah (Bapelurzam) Cabang Weleri Kabupaten Kendal. 5) “Pengaruh dana zakat produktif terhadap keuntungan usaha mustahiq (studi kasus BAZ Kota Semarang)”, Winoto (2011). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui sumber dan penggunaan dana zakat serta mekanisme pemberian dana zakat produktif pada Badan Amil Zakat Kota Semarang. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pada tingkat signifikansi 5% menunjukan variabel modal usaha berpengaruh positif dan signifikan terhadap keuntungan usaha setelah menerima bantuan modal usaha. Untuk lebih jelasnya, tergambar pada tabel berikut ini: