BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1
Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat suatu uraian sistematis mengenai teori-teori dasar
dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti. Dengan kajian pustaka peneliti dapat mengetahui sejauh mana keaslian dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Dalam penelitian GSE, adapun beberapa kajian pustaka yang akan diungkapkan yaitu : 1. Titib (1998) dalam buku berjudul Citra Wanita dalam Kakawin Ramayana: Cermin Masyarakat Hindu tentang Wanita. Buku tersebut menggambarkan sosok wanita dalam Kakawin Ramayana sebagai sosok wanita yang tidak patut untuk ditiru. Analisis citra wanita dalam buku tersebut dipaparkan dalam tiga hal, yaitu pengelompokan tipe wanita, potensi dan status wanita, serta peranan wanita. Buku tersebut mengulas mengenai pandangan Hindu terhadap wanita berdasarkan tokoh-tokoh wanita yang terdapat di dalam Kakawin Ramayana. Dalam penelitian terhadap GSE, tokoh wanita digambarkan dalam sifat dalvi sampat dan patut untuk dijadikan teladan. Pembahasan citra wanita yang terdapat di
dalam GSE ini lebih mengarah kepada peranan tokoh Ni Dyah Tantri. Sehingga karya tulis di atas digunakan sebagai inspirasi dalam pembuatan penelitian ini. 2. Sancaya, dkk (1996) dalam laporan penelitian yang berjudul “Citra Wanita dalam Sastra Bali Tradisional dan Modern: Sebuah Tinjauan Berdasarkan Kritik Sastra Feminis.” Citra wanita dalam karya sastra Bali tradisional dilukiskan dalam citra yang menggambarkan inferioritas wanita dalam konteks kebudayaan Bali yang bersifat patrilineal. Antara lain seperti: wanita sebagai pangkal segala segala macam bencana, wanita sebagai isteri yang setia, wanita yang berhati tulus, wanita sebagai ibu yang melahirkan, wanita sebagai yang diperebutkan dan korban kesusahan, wanita sebagai korban penipuan dan objek seks, wanita sebagai orang yang malas, wanita sebagai makhluk bidadari, wanita sebagai makhluk sihir dan wanita yang sakti. Berkaitan dengan hal tersebut, kajian penelitian penulis akan mendeskripsikan citra wanita GSE dalam ruang lingkup masyarakat dan pene;itian ini menjadi referensi dalam penelitian ini. 3. Sutrisnayanti (2011) dalam skripsinya yang berjudul Citra Wanita Dalam Geguritan Dreman. Skripsi ini mendeskripsikan tentang citra wanita yang terkandung dalam geguritan Dreman berdasarkan aspek fisis dan psikologis serta citra sosial wanita berdasarkan aspek keluarga dan masyarakat. Penelitian tersebut mendeskripsikan citra wanita dari dua sisi, yaitu berdasarkan citra diri wanita dan citra sosial wanita. Pencitraan wanita dalam penelitian ini lebih banyak mendeskripsikan mengenai sikapsikap seorang wanita yang berada di tengah masyarakat. Hal tersebutlah
yang membuat perbedaan antara penelitian Sutrisnayanti dengan penelitian mengenai GSE. Penelitian Sutrisnayanti memfokuskan pada citra seorang wanita berdasarkan aspek psikologis dan peranannya tanpa mengaitkan dengan keberadaannya di tengah masyarakat. Penelitian terhadap GSE memberikan sebuah gambaran mengenai hal-hal yang patut untuk ditiru oleh para wanita berdasarkan pencitraan dari tokoh Ni Dyah Tantri. 4. Duija (1991) dalam skripsinya yang berjudul Geguritan Sri Eswaryadala Analisis Penokohan dan Amanat. Dalam skripsi ini beliau membongkar GSE ini salah satunya dengan menggunakan analisis penokohan terhadap tokoh-tokoh yang ada di dalamnya salah satu tokonya adalah Ni Dyah Tantri. Tokoh Ni Dyah Tantri dalam skripsi ini dijelaskan berdasarkan atas beberapa aspek, yaitu: aspek fisiologis, aspek sosiologis dan aspek psikologisnya. Hal tersebutlah yang membuat karya tulis tersebut pantas untuk dijadikan referensi dan membuat penulis mengangkat GSE ini kembali untuk dikaji berdasarkan analisis citra wanita pada tokoh Ni Dyah Tantri dengan memaparkan lebih mendalam mengenai bagaimana sikap, perilaku, serta watak dari tokoh wanita yang bisa ditiru oleh masyarakat luas. 5. Suardiana (2011) dalam buku berjudul Crita Manyarita Sajeroning Kasusastraan Bali Purwa. Buku tersebut berisikan mengenai crita Tantri. Crita Tantri ini dimulai dari bagian Ni Diah Tantri Katur ring Prabhu Eswaryadala sampai pada bagian terakhir dalam buku ini, yaitu Katuturan Sang Arya Dharma Mituhu Pitutur Ipun I Kambing, yang dimana dalam buku ini dibagi menjadi 29 bagian. Sedangkan dalam buku GSE yang
didapatkan dari kantor dokumentasi kebudayaan denpasar didalamnya hanya terdapat empat bagian yang diawali dengan persembahan Ni Dyah Tantri kepada Prabu Eswaryadala sampai pada bagian diceritakannya cerita kedis atat oleh Ki Sembada. Hal tersebutlah yang membuat penulis mengambil buku ini sebagai salah satu pedoman cerita Tantri yang memiliki perbedaan cerita dengan buku GSE yang ditemukan pada kantor pusat dokumentasi kebudayaan denpasar dan menjadikan karya tulis tersebut sebagai inspirasi.
2.2
Konsep Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri
umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu. Sehingga dalam melaksanakan penelitian terhadap GSE ini dapat dibagi menjadi beberapa konsep didalamnya, yaitu :
2.2.1 Geguritan Geguritan berasal dari kata “gurit” yang berarti sajak atau syair. Dalam kamus Bali-Indonesia kata gurit berarti gubah, karang, dan sadur. Sedangkan geguritan mempunyai arti sebagai saduran cerita yang berbentuk tembang (pupuh) (Tinggen, 1993: 254). Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali
tradisional yang dibentuk oleh pupuh-pupuh. Pupuh merupakan bagian dari suatu karangan atau karya sastra yang bisa disamakan dengan suatu bab. Setiap pupuh diikat oleh dengan kaidah hukum yang sering disebut dengan padalingsa. Padalingsa merupakan banyaknya baris dalam tiap bait (pada), banyaknya suku kata dalam tiap baris (carik), dan bunyi akhir di tiap-tiap baris. Pada padalingsa ini terlihatlah kepintaran pengarang dalam memilih kata-kata yang tepat untuk mendukung jalannya sebuah cerita serta untuk memenuhi aturan padalingsa sesuai dengan pupuh yang digunakan dalam geguritan tersebut (Agastia, 1980: 17). Secara etimologi padalingsa dibentuk oleh dua kata, yaitu pada yang artinya kaki dan
lingsa yang artinya bunyi (Warna, 1993: 484). Dalam
kesusastraan Bali pupuh yang sering digunakan didalam masyarakat terdapat 10 pupuh, yaitu: Sinom, Pangkur, Ginanti, Kumambang, Durma, Mijil, Pucung, Semarandana, dan Dangdang (Agastia: 1980: 17-18). Geguritan umumnya melukiskan mengenai kehidupan masyarakat Bali dengan unsur-unsur cerita yang membentuknya seperti plot, penokohan, setting, gaya dan lain sebagainya, disamping terikat oleh unsur puisi seperti diksi berupa pilihan kata, imaji berupa daya bayangan, gaya bahasa, dengan memakai bentuk tembang dalam penyajianya. Geguritan Sri Eswarydala merupakan salah satu karya sastra tradisional yang terdapat di Bali. Geguritan Sri Eswaryadala terdiri dari dua kata, yaitu : sri dan eswaryadala. Pengertian kata sri dalam bahasa kawi memiliki arti sebagai yang mulia dan pengertian kata eswaryadala dalam kawitan tantri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : eswarya dan dala. Dalam bahasa sansekerta kata eswarya berasal dari kata aishwarya yang berarti makmur. Kata
dala dalam kamus bahasa kawi Bali memiliki arti sebagai daun. Berdasarkan uraian di atas mengenai pengertian Sri Eswaryadala, sehingga pengertian Sri Eswaryadala dalam GSE dapat digambarkan sebagai seorang raja yang memiliki wajah yang tampan, perilaku yang baik dan memiliki kepandaian dalam segala ilmu.
2.2.2 Citra Wanita Istilah citra (image) dan pencitraan (imagery) dikenal dalam dunia kesastraan yang keduanya menyaran pada adanya reproduksi mental. Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat katakata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Pencitraan merupakan kumpulan citra, yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias. Kata citra dalam Kamus Istilah Sastra (1991 : 25-26) memiliki pengertian yaitu kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat yang menjadi unsure dasar yang khas dalam karya sastra prosa atau puisi. Citraan didefinisikan sebagai sarana dalam sastra untuk menggambarkan lakuan, orang, benda atau gagasan. Citraan biasanya berupa gambar angan sebuah objek yang tampak oleh mata batin kita, tetapi dapat juga menyaran pada hal-hal yang merangsang panca indra yang lain, seperti pendengaran dan penciuman. 2.2.3 Makna
Makna sebuah karya sastra baru dapat dipahami jika sudah mengetahui asumsi dasar bahwa karya sastra itu berdasarkan konvensi dan aturan tertentu (Teeuw, 2013: 84). Makna karya sastra dalam masyarakat dapat dipahami sepenuhnya hanya melalui proses komunikasi, melalui interaksi antara pengirim dan penerima (Ratna, 2009: 173). Sepintas memang geguritan hanya sebuah nyanyian, tetapi di dalamnya menyimpan makna. Terlebih lagi geguritan adalah salah satu wujud sastra lisan. Tampak jelas bahwa sastra lisan memang karya makna dan menghibur (Endraswarya, 2008: 157). Kemudian dalam hal penelitian ini, makna yang dimaksud adalah hakikat yang terselubung dalam komponenkomponen penyusun karya sstra yang menjadi objek kajian. Oleh karena itu, sebagai pemikiran awal bahwasanya karya sastra sebagai bagian dari pengejawantahan paham filsafat, tentunya dapat diidentifikasi memiliki makna.
2.3
Landasan Teori Landasan teori merupakan bagian dari penelitian yang memuat teori-teori
yang berasal dari studi kepustakaan yang berfungsi sebagai kerangka teori dalam menyelesaikan penelitian dengan cara mengarahkan dan menunjukkan jalan agar suatu penelitian tidak kehilangan arah sehingga masalah dala penelitian dapat ditemukan jawabannya. Teori yang digunakan dalam menganlisis GSE adalah teori struktural, teori feminisme dan teori semiotika.
2.3.1 Teori Struktural
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks (Endraswara,2013:51). Menurut Teeuw (1998: 135), analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua ansir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Menurut Marsono (1996) struktur dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu struktur forma yang meliputi kode bahasa dan sastra, ragam bahasam dan gaya bahasa; dan struktur naratif yang mencakup tema, penokohan, alur dan latar. Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda memiliki unsur-unsur yang berbeda. Atas dasar hakikat otonom karya sastra maka tidak ada aturan yang baku terhadap kegiatan analisis. Menurut Ratna ( 2009: 93-94) artinya, di satu pihak unsur-unsur yang dibicarakan itu tergantung dari dominasi unsur-unsur karya, di pihak lain tergantung dari tujuan analisis.
2.3.2 Teori Feminisme Teori feminisme akan digunakan untuk menganalisis citra wanita dalam objek penelitian penulis. Citra perempuan adalah wujud spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan wajah dan cirri khas perempuan (Turaeni, 2008: 138). Secara leksikal, Moeliono, dkk (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002: 61) menyatakan bahwa feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan
dan laki-laki. Persamaan hak itu meliputi semua aspek kihidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Feminisme merupakan kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan (Sugihastuti dan Suharto, 2002: 61). Jika perempuan sederajat dengan lakilaki,
berarti
mereka mempunyai hak untuk menentukan dirinya sendiri
sebagaimana yang dimiliki oleh kaum laki-laki selama ini. Dengan kata lain, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri (Sugihastuti dan Suharto, 2015:61). Aspek fisis dan psikologis pada dasarnya akan membangun citra wanita sebagai makhluk individu. Aspek fisis tidak dapat dipisahkan dengan aspek psikologis karena keduanya merupakan sebuah komponen kesatuan yang akan membentuk aspek perwujudan citra diri wanitaterbentuknya citra diri wanita bukan karena semata-mata terjadi dalam kehidupannya sebagai individu, namun juga dalam relasinya dengan orang lain sebagai makhluk social. Citra diri wanita tidak hanya terbentuk atas aspek fisis dan psikologisnya, tetapi juga dipengaruhi aspek sosial. Teori pencitraan wanita yang telah dipaparkan di atas selanjutnya yang akan digunakan untuk menganalisis GSE sehingga diharapkan mampu untuk memaparkan mengenai citra wanita yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut , yang digunakan sebagai teori mengenai citra wanita yang diungkapkan oleh Sugihastuti.
2.3.3 Teori Semiotika
Semiotik adalah ilmu tanda yaitu metode analisis untuk mengkaji tanda (Kaelan, 2009: 162). Istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti “tanda”, atau “seme” yang berarti penafsiran tanda. Charles Sander Peirce (dalam Kaelan, 2009: 166) mengemukakan bahwa semiotika didasarkan pada logika, karena logika mempelajari bagaimana seorang bernalar, sedangkan penalaran menurut Peirce dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda terdapat dimanamana, kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Peirce (dalam Kaelan, 2009: 194) mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh unsur pertama, objeknya adalah kedua, dan penafsirannya adalah sebagai unsur pengantar. Ketiga unsur yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain agar bisa ditangkap oleh penafsir. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya. Semiotik adalah salah satu ilmu yang mempelajari mengenai tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda
lain,
pengirimannya,
dan
penerimanya
oleh
mereka
yang
menggunakan. Peirce (dalam Christony dan Untung, 2004: 55) menyatakan bahwa tanda merupakan proses kognitif yang berasal dari apa yang ditangkap oleh panca indra. Semiotik adalah suatu bidang studi yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi melalui semua tanda-tanda dan berdasarkan pada system tanda (Suarka, 2007: 23). Menurut Pradopo (2007: 23-24) dalam rangka perburuan tanda-tanda itu, ada empat pradigma, yaitu : (1) jenis-jenis tanda: ikon, indeks, dan simbol; (2)
satuan-satuan arti; (3) konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda memiliki makna; dan (4) hipogram (hubungan intertektualitas). Analisis makna Geguritan Sri Eswaryadala ini menggunakan teori Charles Sanders Peirce untuk mengungkapkan makna-makna yang terdapat di dalam tanda bahasa yang terdapat di dalam Geguritan Sri Eswaryadala.