BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Untuk membahas sebuah karya sastra ada dua macam pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik bertolak dari karya itu sendiri. Pendekatan seperti ini disebut sebagai pendekatan struktural. Menurut Luxemburg (1984:36) struktural adalah kaitan-kaitan tetap antar kelompokkelompok gejala. Kaitan tersebut dilakukan oleh peneliti berdasarkan observasinya. Pendekatan kedua adalah pendekatan ekstrinsik. Wellek dan Warren (1989:109) menyatakan bahwa pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sistem sosial, adat istiadat, dan politik. Selanjutnya, Nurgiyantoro (1998:23) menyatakan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan karya sastra. Bagaimanapun juga, karya sastra tidak muncul dari situasi kekosongan budaya. Pendekatan ekstrinsik dilakukan berdasarkan teori sosiosastra. Sosiologi menurut Soekanto (1982:3) adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dalam masyarakat dan proses sosialnya, termasuk perubahan-perubahan sosial yang ada dalam masyarakat. Sedangkan sastra adalah pengungkapan dari apa yang dilihat dan dirasakan oleh manusia tentang kehidupan (Hardjana, 1981:10). Menurut Damono, sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan sastra menggambarkan kehidupan yang merupakan kenyataan sosial. Semi (1988:8) juga menyatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif
18
Universitas Sumatera Utara
yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian, kesamaan permasalahan antara sosiologi dengan sastra adalah sama-sama berurusan dengan manusia dan masyarakat. Namun, seorang sosiolog hanya dapat melihat fakta berdasarkan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Sedangkan sastrawan mampu mengungkapkan kenyataan melalui imajinasinya. Sosiosastra merupakan pendekatan yang mempertimbangkan nilai-nilai sosiologi pada karya sastra. Grebstein (dalam Damono, 1984:4-5) menjelaskan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara menyeluruh dan tuntas jika dipisahkan dari budaya masyarakat yang menghasilkannya.
2.2 Landasan Teori Penelitian ini menerapkan pendekatan intrinsik dengan menggunakan teori struktural dan pendekatan ekstrinsik dengan menggunakan teori sosiosastra. Pendekatan struktural digunakan karena dalam memenuhi sebuah cerita diperlukan analisis struktural sebab pendekatan struktural merupakan tugas prioritas dalam penelitian karya sastra (Teeuw,1983:61). Menurut Abrams (1979:3) dan Teeuw (1988:50) ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu: (1) pendekatan mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) ; (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman sastrawan (penyair); dan (4) pendekatan objektif yang menganggap karya
19
Universitas Sumatera Utara
sastra sebagai suatu yang otonom terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang. Maka, yang penting adalah dalam kritik ini adalah karya sastra itu sendiri, yang dianalisis khusus struktur intrinsiknya. Sesuai dengan pendapat di atas, maka dalam penelitian ini diterapkan pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai suatu yang otonom. Pendekatan objektif disebut juga dengan pendekatan struktural. Pendekatan struktural menurut Luxemburg (1984:38) adalah sebuah karya sastra atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi keseluruhan karena adanya relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan keseluruhannya. Menurut pendapat Goldmann (1971:593), analisis struktural dilakukan oleh peneliti berdasarkan ketentuan bagian mana yang menjadi unsur dominan dalam data empirik sebuah karya sastra. Dari data tersebut akan ditemukan sebuah penjelasan sebagai bagian dari keseluruhan. Selanjutnya, dilakukan analisis sosiosastra. Analisis sosiosastra diaplikasikan pada penelitian ini karena karya sastra dilihat dari hubungannya dengan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Luxemburg (1984:24) menyatakan bahwa yang diteliti adalah hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan suasana masyarakat. Sistem masyarakat serta perubahannya tercermin di dalam masyarakat. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber menganalisis sistem masyarakat. Penelitian sosiosastra lebih banyak memperbincangkan hubungan pengarang dengan kehidupan sosialnya sehingga sosiosastra disebut sebagai konsep cermin atau mirror. Sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan masyarakat), meskipun sastra tidak
20
Universitas Sumatera Utara
semata-mata menyodorkan fakta kehidupan secara mentah, namun sastra merupakan kenyataan yang telah ditafsirkan. Ratna (2003:18) menyatakan bahwa, teori-teori sosiologi yang mendukung analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khusus dalam kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti kelompok sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, dan kesadaran sosial, yang semua berhubungan dengan masyarakat. Wilayah sosiosastra sastra cukup luas. Wellek dan Warren (1989:111) membagi telaah sosiosastra menjadi tiga klasifikasi, yaitu: (1) sosiologi pengarang: yakni mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang ; (2) sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya; (3) sosiologi sastra: yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Meskipun wilayah sosiosastra sangat luas, namun penelitian ini ditekankan pada sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan hal-hal tersirat yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Berdasarkan pengamatan penulis, novel Sang Pemimpi merupakan novel yang mengandung unsur-unsur budaya. Menurut Koentjaraningrat (1974), kebudayaan memiliki tujuh unsur, yaitu:1) sistem religi dan upacara keagamaan; 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; 3) sistem pengetahuan; 4) bahasa; 5) kesenian; 6) sistem mata pencarian hidup; dan 7) sistem teknologi dan peralatan. Jika ditinjau dari unsurunsur kebudayaan di atas, maka dapat dibuktikan bahwa novel ini menitikberatkan pada masalah sistem pengetahuan atau pendidikan. Bagi anak-anak Melayu
21
Universitas Sumatera Utara
pedalaman Belitung, mereka harus berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, masyarakat Belitung memiliki semboyan jangan dak kawa nyusa aok yang artinya, setiap keberhasilan memerlukan kerja keras (www.profilbangkabelitung.com). Kerja keras anak-anak Belitung tampak pada penggalan cerita di bawah ini : Kami berdiri dari pagi sampai malam di depan mesin fotokopi yang panas. Sinarnya yang menyilaukan menusuk mata, membiaskan pengetahuan botani, fisiologi tumbuhan, genetika, statistika, dan matematika di muka kami. Lipatan aksara ilmu pada kertas-kertas yang tajam mengiris jemari kami, menyayat hati kami yang bercita-cita besar ingin melanjutkan sekolah. Kami kelelahan ditumpuki buku-buku tebal dari mahasiswa baru sampai profesor yang akan pensiun dalam euforia akademika yang sedikit pun tak dapat kami sentuh. Pekerjaan fotokopi menimbulkan perasaan sakit nun jauh di dalam hati kami (hal.238). Aku dan Arai untuk pertama kali pulang ke Belitong. Kami telah memenuhi tantangan guru SD-ku, Bu Muslimah dan Pak Mustar, yaitu baru pulang setelah jadi sarjana. Aku bangga mengenang kami mampu menyelesaikan kuliah di Jawa tanpa pernah mendapat kiriman selembar wesel pun (hal. 263). Berdasarkan uraian dari teori-teori di atas, untuk menganalisis novel Sang Pemimpi, maka teori struktural dapat menganalisis unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel tersebut. Teori sosiosastra juga digunakan untuk menelaah novel Sang Pemimpi agar nilai-nilai sosial yang terpusat pada nilai budaya dapat dianalisis dengan mengaitkan antara latar, alur, penokohan, dan tema dengan unsurunsur kebudayaan, seperti: pendidikan, cita-cita, cinta, mata pencarian, sistem kemasyarakatan, teknologi, dan religi. Selanjutnya, hasil penelitian ini akan ditujukan kepada masyarakat pembaca.
22
Universitas Sumatera Utara
2.2 Tinjauan Pustaka Novel Sang Pemimpi memiliki beberapa kelebihan sehingga novel ini banyak diresensi, diteliti, serta diulas dalam beberapa forum diskusi. Menurut pengamatan penulis, novel Sang Pemimpi belum pernah diteliti oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara karena karya ini masih tergolong baru. Sedangkan di lain tempat, novel ini sudah pernah diteliti oleh Sofa dengan judul Penelitian tentang Psikologi Tokoh Utama dalam Novel Sang Pemimpi (www.ilmuonline.com). Sofa mengkaji Sang Pemimpi melalui pendekatan psikologi sastra. Sofa menelaah kejiwaan para tokoh utama novel ini. Kemudian, novel Sang Pemimpi pernah ditelaah oleh Atulasca dengan judul Kajian Bahasa dalam Novel Sang Pemimpi (www.dalammihrabcinta.com). Atulasca mengkaji dari unsur kebahasaan karena karya Andrea Hirata ini penuh dengan kata-kata yang berjiwa. Pada kesempatan ini, penulis mencoba mengkaji novel Sang Pemimpi dari segi sosiologi sastra. Karena karya ini tidak terlepas dari nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat. Nilai-nilai sosial di antaranya adalah nilai pendidikan. Hal ini terbukti pada petikan kalimat berikut: “Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi. Kita akan bertempur habis-habisan demi mimpimimpi itu!!”(hal.153) Namun, sekarang aku memiliki filosofi baru bahwa berbuat yang terbaik pada titik di mana aku berdiri. Maka sekarang aku adalah orang yang paling optimis. Aku terpatri dengan cita-cita agung kami: ingin sekolah ke Perancis, menginjakkan kaki di Sorbone, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. Tak pernah sedikit pun mengkompromikan cita-cita itu (hal.208).
23
Universitas Sumatera Utara
Nilai budaya juga terdapat pada novel Sang Pemimpi. Hal ini tampak pada petikan kalimat di bawah ini: Jika merapat di Dermaga Olivir Magai maka peradaban pertama yang ditemukan orang adalah sebuah gedung bioskop.Hiburan paling top di Magai. Memutar film dua kali seminggu, film India dan film Jakarta, kata orang Melayu. Speaker TOA dari dalam bioskop itu melolongkan suara sampai ke los kontrakan kami. Dari situlah aku tahu kata mutiara:”masa muda adalah masa yang berapi-api”dari Rhoma Irama ketika film Gitar Tua-nya diputar tak henti-henti selama tiga bulan. Orang bersarung berduyun-duyun menontonnya (hal.95-96).
24
Universitas Sumatera Utara