BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Ada beberapa penelitian tentang bahasa iklan yang diketengahkan di bawah ini untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pembahasan bahasa iklan itu dilakukan oleh para peneliti bahasa. Tinjauan pustaka sangat penting dilakukan untuk melihat ruang lingkup penelitian, perbedaan, dan relevansinya dengan penelitian yang dilakukan ini. Berikut adalah kajian-kajian penelitian, baik berupa tesis, disertasi maupun artikel, baik nasional maupun internasional, yang memberikan kontribusi bermanfaat bagi penelitian ini. Wandia (1997) dalam tesisnya membandingkan iklan berbahasa Indonesia dengan iklan berbahasa Inggris dalam tiga tatanan: (a) bagaimana eksploitasi penggunaan bahasa dalam sebuah iklan; (b) berapa besar pengaruh informasi dan bujukan yang ada dalam sebuah iklan kepada konsumen; dan (c) berapa besar pengaruh perbedaan budaya dalam pembentukan sebuah iklan.
Dalam
simpulannya, dinyatakan bahwa: secara umum, tampilan kebahasaan kedua iklan adalah sama dan dari segi isi dan tingkat kepersuasifan, iklan berbahasa Indonesia memberikan lebih banyak informasi dan evaluasi serta bersifat tidak langsung, sedangkan iklan berbahasa Inggris lebih cenderung bersifat langsung dan menukik pada pokok permasalahan serta lebih sederhana dalam penggunaan bahasa. Penelitian yang dilakukan oleh Wandia (1997) tidak membahas lebih jauh tentang unsur nonverbal yang terdapat dalam iklan tersebut dan tidak menggali
lebih dalam tentang latar belakang atau ide pokok serta pesan yang ada di balik iklan. Sementara itu, disertasi ini menganalisis gaya bahasa iklan komersial pada media elektronik dan juga berupaya untuk mengungkap makna atau pesan di balik iklan dengan menganalisis makna denotatif dan makna konotatif yang terdapat di dalam iklan tersebut. Hardjatno (1998) dalam disertasinya yang berjudul ―Analsis Bahasa Iklan Rusia: Iklan Sebagai Fenomena Baru Informasi Massa dalam Masyarakat Rusia‖ mengangkat dua permasalahan dalam penelitiannya, yaitu: (1) bagaimana wujud dan ciri perkembangan bahasa iklan Rusia; dan (2) bagaimana bahasa iklan Rusia mencerminkan gambaran sosial ekonomi yang berbeda dari masa komunisme. Kedua masalah tersebut dianalisis dengan menggunakan beberapa teori, seperti: teori tanda dari Peirce, teori mitos dari Barthes, teori wacana dari Cook, teori sintaksis dari Svedova dan teori pragmatik dari Jakobson.
Khusus untuk
menjawab masalah yang kedua, Hardjatno juga melakukan wawancara terhadap 100 orang responden, yaitu orang-orang Rusia yang tinggal di Moskow. Untuk menganalisis hasil wawancara tersebut Hardjatno menggunakan grounded theory dari Strauss. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa iklan Rusia (dari tahun 1991-1996) memiliki ciri-ciri yang khusus setiap tahun dan menggambarkan situasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang terjadi pada masyarakat Rusia. Hardjatno menyebutkan bahwa iklan mencerminkan suatu proses perubahan, yaitu suatu perubahan yang tercermin dalam sistem nilai karena pada masa komunis semua diatur oleh negara, sedangkan sekarang menjadi kewenangan sendiri. Iklan
juga membentuk persepsi baru pada masyarakat Rusia yang berakibat pada perubahan pola-pola hidup atau pergaulan masyarakat. Iklan mencerminkan suatu proses transformasi budaya. Hasil penelitian Hardjatno memiliki relevansi terhadap penelitian ini karena sama-sama menganalisis wacana iklan.
Perbedaannya adalah bahwa
dalam penelitiannya Hardjatno meneliti bagaimana bahasa iklan Rusia yang mencerminkan gambaran sosial ekonomi yang berbeda dari masa komunisme dan melakukan wawancara terhadap 100 orang responden. Sementara itu, penelitian ini menganalisis makna serta ideologi iklan komersial pada media elektronik. Berbeda dengan penelitian Hardjatno penelitian ini tidak melibatkan pihak ketiga (tidak melakukan wawancara baik terhadap produser/penulis iklan maupun pemirsa televisi). Dengan demikian, dalam penelitian ini diharapkan ada hasil temuan yang baru dan berbeda. Welaga (2000) dalam tesisnya yang berjudul ―Wacana Iklan Komersial‖ menganalisis, antara lain: (1) bagaimana unsur-unsur bahasa yang persuasif digunakan dalam struktur tajuk, badan iklan, dan penjelasan tambahan iklan; (2) bagaimana metode dan teknik komposisi yang persuasif pada wacana iklan komersial; (3) bagaimana alat-alat kohesi dalam wacana iklan komersial; dan (4) bagaimana peranan konteks wacana iklan komersial yang persuasif. Sumber data yang berupa iklan komersial diambil dari majalah dan surat kabar. Data tersebut dianalisis secara kualitatif dan deskriptif berdasarkan pada teori fungsi persuasif bahasa oleh Jakobson dan Leech serta didukung dengan beberapa teori yang berkaitan dengan keempat permasalahan penelitiannya. Welaga menggunakan
teori Advertising Discourse dari Cook untuk menganalisis konteks iklan komersial. Teori wacana dari Halliday dan Hasan juga digunakan untuk mengkaji alat-alat kohesi wacana; serta teori komposisi dari D‘angelo untuk mengkaji metode dan teknik komposisi yang persuasif pada wacana iklan komersial. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara aspek verbal dan visual dalam mendukung fungsi persuasif bahasa pada wacana iklan komersial. Penggunaan unsur bahasa seperti tema menunjukkan hubungan yang erat dengan diksi dan referen pada iklan barang, tetapi hanya berhubungan asosiasif pada iklan perusahaan jasa. Beberapa metode dan teknik komposisi pada kedua jenis iklan itu digunakan untuk mendukung daya persuasif, seperti induksi dan deduksi, rasionalisasi, analogi, testimoni, silogisme, dan beberapa teknik lain. Beberapa alat kohesi yang dominan digunakan dalam wacana iklan komersial yang persuasif adalah elipsis, referensi, konjungsi, dan repetisi. Beberapa unsur konteks wacana dari Cook pada media cetak diketengahkan untuk mendukung fungsi persuasif, seperti parabahasa, substansi, dan fungsi, baik pada iklan barang maupun jasa. Secara garis besar, walaupun penelitian Welaga dan penelitian ini samasama menganalisis iklan, konsentrasi analisisnya berbeda.
Penelitian Welaga
berkonsetrasi pada fungsi persuasif bahasa dengan menggunakan teori fungsi bahasa dari Jakobson (1963) dan Leech (1974) sebagai landasan untuk memecahkan dan menjawab permasalahan dalam penelitiannya, sedangkan penelitian ini menganalisis gaya bahasa dengan menggunakan teori dari Keraf
(1998). Penelitian Welaga tidak menganalisis gaya bahasa dan tidak menelaah makna dari iklan-iklan tersebut ataupun ideologi yang melatarbelakanginya. Faturochman (2004) yang menulis sebuah artikel berjudul ―Analisis Gender pada Iklan Televisi dengan Metode Semiotika‖ memilih dua buah iklan yang dianggap representatif, yaitu iklan ―Pond‘s White Beauty Baru‖ dan ―Rinso‖.
Kedua iklan tersebut dipilah berdasarkan adegan-adegan yang
merepresentasikan ideologi gender. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa pertamatama adegan tersebut dimaknai secara denotatif (signifikasi tahap I), yaitu makna yang tersurat dalam suatu adegan. Selanjutnya, adegan dimaknai secara konotatif (signifikasi tahap II), yaitu makna yang tersirat dalam suatu adegan. Adegan tersebut dikaitkan dengan aspek kultural untuk mendapatkan makna ideologisnya (signifikasi tahap III). Hasil penelitian Faturochman menunjukkan bahwa representasi gender dalam iklan ―Pond‘s White Beauty Baru‖ sangat kental dengan muatan seksismenya. Perempuan dalam iklan tersebut dilihat sebagai sebuah citra pigura, perempuan diharuskan untuk selalu tampil memesona bagi laki-laki.
Dalam
artikelnya dikatakan bahwa iklan tersebut berupaya memanfaatkan kesan stereotip yang ada dalam masyarakat, yaitu bahwa perempuan memiliki kebutuhan untuk diterima oleh laki-laki.
Ketergantungan perempuan terhadap laki-laki ini
direspons oleh produsen sebagai kebutuhan eksistensi perempuan (sebagai konsumen) yang akan tercukupi oleh produknya. Lebih lanjut, dalam analisisnya Faturochman menjelaskan bahwa ―kebutuhan‖ ini dipoles produsen agar menjadi ―keinginan‖ melalui representasi dalam iklannya, yaitu melalui pembentukan citra
kecantikan idealnya. Sosialisasi citra kecantikan ideal tersebut disuguhkan melalui usaha persuasif dalam iklan sehingga menumbuhkan keinginan bagi konsumen perempuan untuk memiliki wajah putih sebagaimana yang dimodelkan oleh iklan ini.
Pada akhirnya, iklan berlanjut pada perilaku pembelian oleh konsumen
perempuan. Berbeda halnya dengan iklan ―Rinso‖, Faturochman menyebutkan bahwa iklan ini merepresentasikan relasi gender yang setara, yaitu saat sepasang suami istri digambarkan bersama-sama melakukan pekerjaan domestik. Dalam iklan tersebut digambarkan bahwa sang istri menegur suaminya yang menuang Rinso berlebihan. Namun, bukan berarti iklan tersebut setuju bahwa perempuanlah si ahli mencuci karena si suami digambarkan segera tanggap dengan teguran sang istri. Dengan demikian, adegan ini hanya ingin merepresentasikan realitas yang ada, yaitu bahwa sudah sejak lama perempuanlah yang telah melakukan pekerjaan domestik itu sehingga mereka pun terkondisi menjadi ―lebih peka‖ perihal pemakaian detergen dibanding dengan laki-laki. Berdasarkan hasil penelitiannya, Faturochman menyimpulkan bahwa kedua iklan tersebut telah menjalankan fungsi ekonomi dan fungsi sosial dengan caranya
sendiri-sendiri.
Fungsi
ekonomi
dijalankan
dengan
cara
mengintegrasikan representasi gender dalam masing-masing iklan sehingga representasi-representasi tersebut dapat membangun fungsi persuasif iklan secara keseluruhan.
Representasi
gender
dalam
iklan-iklan
tersebut
juga
merepresentasikan realitas yang ada dalam masyarakat. Untuk iklan ―Pond‘s White Beauty Baru‖ representasi gendernya mengacu pada fungsi cerminan dari
kondisi dalam masyarakat yang seksis. Sementara itu, iklan ―Rinso‖ merespons (secara positif) proses perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat, mengacu pada fungsinya sebagai agen perubahan. Walaupun demikian, representasi itu menjadi
bias
saat
dicampurkan
dengan
kepentingan
ekonomi
yang
menungganginya. Penelitian Faturochman memiliki relevansi terhadap penelitian ini karena, baik penelitian Faturochman maupun penelitian ini, sama-sama menggunakan iklan televisi sebagai sumber data.
Dengan demikian, peneliti dapat melihat
bagaimana tahap-tahap pengumpulan data serta cara menganalisis data-data tersebut.
Selain itu, dalam penelitian Faturochman iklan ―Pond‘s White Beauty
Baru‖ dan iklan ―Rinso‖ juga dimaknai secara denotatif (signifikasi tahap I), konotatif (signifikasi tahap II), dan selanjutnya adegan dalam iklan tersebut dikaitkan dengan aspek kultural untuk mendapatkan makna ideologisnya (signifikasi tahap III).
Namun, penelitian ini memiliki perbedaan yang sangat
signifikan dengan penelitian Faturochman sebab, sesuai dengan judul artikelnya penelitian Faturochman menganalisis gender pada iklan televisi, sedangkan penelitian ini sama sekali tidak menyentuh ataupun menganalisis unsur-unsur gender pada iklan televisi. Mulyawan (2005) dalam tesisnya yang berjudul ―Wacana Iklan Komersial Media Cetak: Kajian Hipersemiotika‖ menganalisis komposisi struktur iklan komersial media cetak, termasuk struktur gramatikal dan leksikalnya, makna dan pesan yang ingin disampaikan, serta ideologi yang melatarbelakangi iklan tersebut. Mulyawan menggunakan dua teori utama, yaitu teori Struktur Wacana
dari van Dijk dan teori Hipersemiotika oleh Yasraf Amir Piliang. Hasil analisis Mulyawan menunjukkan bahwa iklan komersial pada media cetak memiliki delapan pola perpaduan struktur pembentuk iklan. Dalam hal eksploitasi unsur verbal, setiap iklan melibatkan pemanfaatan kohesi gramatikal dan leksikal secara maksimal dan efektif.
Terkait dengan makna dan pesan yang ingin
dikomunikasikan, setiap iklan mengeksploitasi tanda nonverbal hingga melebihi batas realitas, sedangkan ideologi iklan lebih dipengaruhi oleh visi dan misi pihak produsen. Penelitian Mulyawan memiliki kesamaan dengan penelitian ini sebab sama-sama menganalisis makna iklan. Namun, terdapat perbedaan pada analisis makna tanda. Dalam penelitiannya Mulyawan menggunakan teori hipersemiotik dari Piliang (2003) sebagai dasar teorinya untuk mengungkap makna dalam iklan, sedangkan penelitian ini menggunakan teori semiotik dari Barthes (1998). Pada dasarnya semiotik dan hipersemiotik sama-sama mempelajari pesan dan makna tanda dalam kehidupan sosial mayarakat.
Perbedaan mendasar di antara
keduanya, yaitu kajian hipersemiotika mempelajari hubungan antartanda (yang bersifat hiper) dengan representasinya di dalam kehidupan sosial masyarakat yang maknanya melampaui batas realitas (hiperealitas). Tinarbuko (2006) juga menggunakan semiotik sebagai metode pembacaan ILM dalam disertasiya yang berjudul ―Tanda Verbal dan Tanda Visual Iklan Layanan Masyarakat (Sebuah Kajian Semiotika pada Iklan Layanan Masyarakat yang Dimuat di Harian Kompas Periode 1994–2006)‘‘. Sesuai dengan judulnya, penelitian tersebut mengkaji tanda verbal dan tanda visual. Penelitian tersebut
mencakup analisis tanda verbal yang meliputi headline, teks body copy dan closing words yang kemudian diikuti analisis tanda visual serta analisis semiotik terkait dengan kedua tanda tersebut. Dari analisis tanda verbal dan tanda visual yang terkandung dalam ILM tersebut Tinarbuko menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara tanda verbal dan tanda visual.
Keduanya saling melengkapi.
Parodi dan
personifikasi yang merupakan idiom estetik tanda visual menjadi kuat keberadaannya sebagai visualisasi dari tanda verbal. Berdasarkan tanda verbal dan tanda visual tersebut maka bisa dicermati pesan ILM tersebut dengan bantuan kode hermeneutik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan. Disertasi Tinarbuko itu cukup relevan dengan penelitian ini sebab penelitian ini juga memanfaatkan tanda verbal dan nonverbal untuk mengungkap makna di balik iklan. Namun, penelitian Tinarbuko tidak memperhatikan lebih jauh mengenai gaya bahasa yang digunakan oleh pembuat iklan dalam menyampaikan pesan, ataupun idelogi di balik iklan tersebut. Di samping itu, iklan yang dijadikan sumber data dalam penelitiannya adalah Iklan Layanan Masyarakat (ILM) yang tentu saja memiliki gaya bahasa yang berbeda dengan iklan komersial televisi.
Hal tersebut membuat penelitian ini berbeda dari
penelitian Tinarbuko. Sufanti dan Sabardila (2007) menulis sebuah artikel yang berjudul ―Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal: Kasus pada Iklan Cetak Obat-Obatan dan Kosmetik‖. Ada dua hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian tersebut, yaitu (1) Apa saja penanda kohesi yang dikembangkan dalam iklan obat-
obatan dan kosmetik di media cetak, dan (2) Bagaimana wujud kalimat pengisi wacana iklan obat-obatan dan iklan kosmetik di media cetak. Penelitian tersebut menetapkan 15 wacana iklan obat-obatan dan kosmetik yang dimuat di majalah berbahasa Indonesia sebagai data. Analisis pemakaian penanda kohesi gramatikal dan leksikal pada masing-masing wacana dalam penelitian tersebut dimulai dengan menunjukkan jumlah kalimat pengisi wacana. Setelah itu, analisis berlanjut ke pengisian struktur fungsional. Berdasarkan hasil analisis terhadap 15 wacana iklan obat-obatan dan kosmetik di atas ditemukan bahwa penanda kohesi gramatikal berupa elipsis dan substitusi. Penanda kohesi leksikal berupa repetisi merupakan penanda kohesi yang dominan dalam iklan obat-obatan dan kosmetik di media massa cetak. Elipsis memiliki persentase terbesar sebagai penanda kohesi dalam iklan cetak. Sufanti dan Sabardila menyimpulkan bahwa elipsis dipilih oleh penulis iklan jika wacana dibentuk dengan kalimat-kalimat pendek dan penyampaian iklan menggunakan ruang yang sempit. Adapun penanda kohesi leksikal, khususnya pengulangan, dipilih penulis iklan jika ruang penyampaiannya longgar. Sementara itu, mengenai wujud kalimat pengisi wacana iklan obat-obatan dan iklan kosmetik di media cetak, Sufanti dan Sabardila menyebutkan bahwa jumlah kalimat pengisi wacana iklan obat-obatan dan kosmetik berdasarkan kasus data 1-15 berkisar antara 1 hingga 14 kalimat. Dari karakteristik kalimatnya, hal tersebut selaras dengan medianya, yakni majalah yang menyajikan pesan memerlukan waktu untuk dapat membacanya hingga selesai.
Penelitian Sufanti dan Sabardila juga memberikan kontribusi untuk penelitian ini khususnya dalam analisis struktur kalimat. Hal ini dapat dilihat dari rumusan permasalahan yang diangkat dalam artikel di atas, yang menganalisis penanda kohesi gramatikal dan leksikal yang dikembangkan dalam iklan obatobatan dan kosmetik di media cetak serta wujud kalimat pengisi wacana iklan tersebut. Namun, penelitian Sufanti dan Sabardila terhenti sampai di sana tanpa lebih lanjut menganalisis makna ataupun ideologi di balik iklan-iklan tersebut. Selain itu, penanda kohesi gramatikal dan leksikal yang digunakan dalam iklan media cetak tentu juga berbeda dengan penanda kohesi gramatikal dan leksikal yang digunakan dalam media elektronik. Dengan demikian, hasil penelitian ini juga akan sangat berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sufanti dan Sabardila. Kusumawati (2010) menganalisis iklan televisi dalam artikelnya yang berjudul ―Analisis Pemakaian Gaya Bahasa pada Iklan Produk Kecantikan Perawatan Kulit Wajah di Televisi‖. Ada dua rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut, yaitu (1) Gaya bahasa apa saja yang terdapat dalam iklan produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi, dan (2) Bagaimanakah tanggapan masyarakat terhadap bahasa yang digunakan pada tayangan iklan produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi. Hasil penelitian Kusumawati menunjukkan bahwa pemakaian gaya bahasa yang digunakan dalam iklan produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi dengan memberdayakan: a) personifikasi; b) pertanyaan retoris; c) mesodiplosis; d) anafora; e) klimaks; f) koreksio; g) aliterasi; h) asindenton; i) epistrofa; j)
antiklimaks; k) repetisi; l) asonansi; m) anadiplosis; dan n) erotesis. Gaya bahasa yang paling banyak digunakan dalam penayangan iklan tersebut adalah gaya bahasa anafora. Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Kusumawati menjelaskan bahwa penggunaan gaya bahasa anafora bermaksud menekankan produk yang ditawarkan sehingga dapat memudahkan masyarakat untuk mengingatnya, hingga akhirnya membeli produk tersebut. Kusumawati juga melakukan wawancara untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap pemakaian bahasa pada iklan produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi.
Hasil pengumpulan data melalui wawancara tersebut
menunjukkan masyarakat berpendapat bahwa bahasa pada iklan produk kecantikan sangat provokatif dan membujuk, seolah-olah kecantikan yang dimiliki model adalah berkat pemakaian produk iklan kecantikan yang dibintanginya. Hal tersebut sangat memengaruhi masyarakat untuk membeli produk yang diiklankan agar memiliki kulit wajah seperti model di iklan tersebut. Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa penelitian tersebut hanya berfokus pada pemakaian gaya bahasa, khususnya majas, yang digunakan dalam iklan produk kecantikan perawatan kulit wajah di televisi serta tanggapan masyarakat terhadap pemakaian gaya bahasa tersebut.
Sama halnya dengan
penelitian Sufanti dan Sabardila, penelitian Kusumawati juga hanya memberikan kontribusi sebatas apa yang ada pada tataran analisis struktur mikro saja. Namun, hal ini sangat bermanfaat untuk penelitian yang dilakukan ini melihat tidak sedikit iklan televisi yang menggunakan majas untuk membujuk calon pembelinya. Hasil
penelitian Kusumawati dapat memperluas wawasan peneliti khususnya tentang majas. Mahayani (2011) dalam tesisnya yang berjudul ―Teks Iklan Layanan Kesehatan Masyarakat: Kajian Semiotik‖ menganalisis: (1) struktur teks verbal yang terdapat pada ILKM; (2) makna yang terdapat pada ILKM, baik makna denotatif maupun konotatif; serta (3) ideologi yang melatarbelakanginya. Penelitiannya menggunakan model analisis wacana van Dijk (1997) yang menganalisis struktur mikro dan makro. Teori utama yang digunakannya adalah teori semiotik oleh Barthes (1997). Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada struktur mikro, secara gramatikal, pada teks verbal terdapat pelesapan dan perangkaian, dan secara leksikal, terdapat bentuk pengulangan. Pada analisis struktur makro diperoleh bahwa makna konotatif pada iklan merupakan perkembangan dari makna denotatifnya. Ideologi yang terdapat pada masingmasing iklan berbeda tergantung pada maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing produsen. Penelitian yang dilakukan oleh Mahayani relevan dengan penelitian ini karena dalam analisisnya Mahayani juga menggunakan teori semiotik dari Barthes (1997) untuk menganalisis makna tanda yang muncul dalam Iklan Layanan Masyarakat (ILM) sehingga dapat ditemukan ideologi yang melatarbelakanginya. Adapun perbedaan disertasi ini dengan penelitian Mahayani, di antaranya, adalah penelitian Mahayani menganalisis struktur wacana iklan, sedangkan penelitian ini menganalisis gaya bahasa. Perbedaan yang lain dapat dilihat dari jenis iklan yang digunakan, Mahayani menganalisis Iklan Layanan Kesehatan Masyarakat
(ILKM), sedangkan penelitian ini menganalisis iklan komersial. Iklan layanan kesehatan masyarakat cenderung bertujuan untuk memberikan informasi, mengingatkan, menambah nilai, memengaruhi, dan bahkan mengubah sikap masyarakat untuk hidup sehat.
Sebaliknya, tujuan utama dari sebuah iklan
komersial lebih pada ―menjual‖, di samping juga memberi informasi dan memengaruhi masyarakat yang sudah merupakan sifat dasar iklan itu sendiri. Selain jenis iklan, medianya pun berbeda. Media iklan yang digunakan oleh Mahayani adalah media cetak, sedangkan dalam penelitian ini data diambil dari media elektronik (televisi).
Iklan televisi memiliki beberapa kelebihan yang
meliputi tampilan visual, seperti penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, sasmita (gesture), ekspresi, suara, dan lain-lain. Level ini yang disebut level pertama masih bersifat permukaan. Level kedua adalah ―representasi‖ yang melibatkan penggunaan kamera, pencahayaan, pengeditan, musik, dan suara yang dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, latar (seting), dan sebagainya. Sukarini (2012) dalam disertasinya yang berjudul ―Teks Iklan Layanan Masyarakat: Kajian Semiotik‖ mengangkat tiga masalah, yaitu (1) struktur gramatikal dan leksikal teks ILM kesehatan, (2) keterhubungan tiga trikotomi tanda (representamen, objek, dan interpretan) dengan tiga komponen tanda dalam unsur nonverbal ILM kesehatan, dan (3) ideologi dan pesan yang ada di balik unsur verbal dan nonverbal ILM kesehatan. Penelitiannya menggunakan metode deskriptif kualitatif dan interpretatif. Data penelitian berupa data tulis dari media cetak dalam bentuk poster dan brosur.
Sejumlah teori digunakan untuk
menganalis unsur-unsur bahasa dalam ILM.
Teori utama dalam penelitian
tersebut adalah teori semiotik dari Peirce yang menyebut proses semiosis sebagai proses triadik karena mencakup tiga unsur secara bersama, yakni tanda (disingkat T), hal yang diwakilinya disebut objek (disingkat O), dan kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda itu disebut interpretan (disingkat I).
Hasil analisis menunjukkan bahwa unsur-unsur bahasa yang
digunakan dalam ILM kesehatan adalah bentuk-bentuk persuasif yang direalisasikan dengan pemakaian verba yang mengekspresikan makna imperatif. Maksud dari pemakaian bentuk-bentuk seperti itu adalah agar khalayak sasaran melakukan tindakan sesuai dengan pesan dan informasi yang disampaikan dalam ILM kesehatan.
Dari pemakaian simbol dan tanda realisasi makna yang
mendominasi adalah makna yang mendekati kewaspadaan dan bahaya, seperti warna kuning dan merah, di samping juga ada warna-warna lain serta simbolsimbol HIV/AIDS dan KB.
Sementara itu, dalam aspek ideologi Sukarini
menemukan bahwa hampir semua ILM berkenaan dengan kebersihan, kesehatan, kewaspadaan,
kehati-hatian,
kepedulian,
kebersamaan,
perencanaan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan. Penelitian Sukarini tersebut cukup relevan dengan penelitian ini karena sama halnya dengan penelitian Mahayani (2011), penelitian Sukarini (2012) juga menggali pesan dan ideologi yang ada di balik unsur verbal dan nonverbal dari ILM. Perbedaannya adalah penelitian Sukarini menganalisis keterhubungan tiga trikotomi tanda (representamen, objek, dan interpretan) dengan tiga komponen tanda dalam unsur nonverbal yang menggunakan teori trikotomi dari Peirce.
Sementara itu, penelitian ini menganalisis makna tanda dan makna tuturan dengan menggunakan teori dikotomi dari Barthes, yang mengemukakan tentang makna berlapis, yaitu makna denotatif dan makna konotatif. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan sumber data yang berbeda, yaitu iklan komersial (bukan ILM) yang diambil dari media elektronik, yaitu televisi (bukan dari media cetak). Dengan adanya perbedaan teori serta sumber data diharapkan penelitian yang dilakukan ini dapat sampai pada sebuah temuan baru di bidang semiotik. Ada beberapa artikel yang dimuat dalam jurnal internasional yang juga menginspirasi dan memberi kontribusi yang cukup besar dalam penelitian ini. Artikel pertama berjudul “Truthfulness as a Factor in the Language of Advertising” oleh Kehinde (2005). Artikel ini menelaah kebenaran atau kejujuran dalam bahasa iklan, tujuan, konteks, isi, dan implikasinya untuk menciptakan iklan yang baik di dunia bisnis yang selalu penuh dengan kompetisi. Artikel ini menganalisis keburukan yang ditimbulkan oleh bahasa iklan yang penuh tipuan bagi konsumen, penjual, dan perusahaan bisnis.
Lebih lanjut, artikel ini
merekomendasikan beberapa cara untuk mengurangi iklan yang menipu melalui usaha bersama antara pemerintah, pers, badan-badan keagamaan, dan organisasi nonpemerintahan. Dalam
artikel
tersebut
dijelaskan
bahwa
truthfulness
‗kebenaran/kejujuran‘ secara sederhana berarti memberikan informasi atau fakta yang memang benar adanya tentang sesuatu. Oleh sebab itu, pernyataan yang benar adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan fakta, bukan imajinasi. Sementara itu, bahasa iklan adalah bahasa yang samar-samar, tidak dapat
diprediksi, ambigu, membingungkan, mengelak, tidak jelas, ragu-ragu, dan tidak tepat. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan akan kebenaran dalam sebuah iklan. Oleh sebab itu, perlu diteliti hubungan moral antara kebenaran dan bahasa iklan. Kehinde (2005) mengatakan bahwa iklan dapat dinilai salah atau benar secara moral tergantung pada pesan yang disampaikan oleh iklan tersebut, apakah sesuai dengan kenyataan atau kualitas dari produk yang diiklankan ketika pembeli membeli dan menggunakannya. Ketika seseorang membeli sebuah produk dan ternyata produk tersebut tidak sesuai dengan apa yang dipromosikan dalam iklan maka hal ini dapat menimbulkan complaint ‗keluhan‘ dari pembeli. Keluhan terhadap sebuah produk dari pembeli menunjukkan adanya tuntutan akan kebenaran dalam sebuah iklan. Penelitian Kehinde (2005) tersebut menunjukkan apa yang diperlukan untuk membuat iklan yang jujur.
Iklan yang jujur meliputi iklan yang
memberikan informasi yang tepat dan akurat tentang komoditas yang diiklankan. Informasinya harus faktual sebab pada prinsipnya masyarakat yang merupakan target pasar memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya. Informasi yang efektif dan jujur diharapkan dapat meningkatkan kepuasan konsumen. Semakin jujur informasi yang disampaikan oleh sebuah iklan semakin bagus pasaran dan penjualan yang diraih. Faktanya adalah bahwa iklan yang jujur dapat meningkatkan penjualan dan dapat memberikan kontribusi yang dinamis untuk meningkatkan taraf perekonomian.
Ia menambahkan bahwa sebuah iklan dianggap mengelabui masyarakat jika iklan tersebut berbohong tentang kualitas dan kuantitas produk yang diiklankan.
Iklan yang menipu memuat: (1) pernyataan yang salah dan
menyesatkan atau gambar dan kata-kata yang berlebih-lebihan; (2) kesaksian yang tidak merefleksikan pilihan yang nyata dari saksi yang kompeten; (3) klaim harga yang menyesatkan; (4) perbandingan, yang meremehkan produk pesaing dengan tidak adil; (5) klaim yang tidak cukup mendukung atau yang memutarbalikkan makna yang sebenarnya atau pernyataan yang dibuat oleh orang-orang profesional atau otoritas ilmiah; dan (6) pernyataan, saran, atau gambar yang menyerang atau menghina norma-norma dalam masyarakat. Menurut Kehinde (2005), berbohong adalah sebuah tindakan yang tidak bermoral karena tindakan itu setara dengan penipuan. Oleh sebab itu, setiap bentuk iklan yang mengandung paksaan, manipulasi, dan melebih-lebihkan sesuatu adalah tindakan yang tidak bermoral sebab tindakan itu menghilangkan konsep kebenaran. Menipu publik melalui iklan adalah sebuah kejahatan moral karena tindakan itu menunjukkan bahwa pengiklan tidak menghormati publik, pada titik ini penipuan adalah sama dengan bentuk penghinaan terhadap sesama. Artikel tersebut menunjukkan langkah-langkah menuju pada iklan yang berorientasi moral.
Kehinde (2005) menyatakan bahwa untuk meningkatkan
iklan yang jujur harus diambil langkah-langkah tertentu, misalnya, memberikan tanggung jawab lebih pada masing-masing pemangku kepentingan di bidang periklanan, seperti produsen, agen iklan, media, masyarakat, dan yang terakhir adalah pemerintah.
Ketika produsen memutuskan apa yang akan diiklankan, sangat penting bagi mereka untuk membuat slogan-slogan yang jujur dan benar adanya serta mengetahui bahwa mereka memiliki tanggungjawab sosial untuk tidak membohongi publik. Sementara itu, agen iklan perlu tahu bahwa sangat penting untuk jujur, baik dalam hal isi iklan, keakuratan iklan maupun media iklan. Dalam hal, ini agen iklan harus mematuhi kode praktis periklanan. Dari sisi media iklan, segala bentuk media memiliki tanggung jawab sosial atas segala sesuatu yang muncul pada tayangannya atau di halaman publikasinya setelah mereka menerima bahan iklan dari produsen ataupun agen iklan. Di samping itu, masyarakat juga memiliki kewajiban untuk menilai, mengomentari, mengendalikan atau mengeluhkan iklan yang mengandung unsur penipuan.
Hal ini merupakan sebuah kewajiban moral.
Kemudian, untuk
membuat semuanya lebih efektif, pemerintah harus mengambil peranan aktif dalam mengatur dan mengawasi periklanan. Peran utama pemerintah ialah untuk melindungi kepentingan masyarakat. Kehinde (2005) menyimpulkan bahwa jika semua komponen ini menyadari kewajiban moral untuk membuat iklan yang jujur dan benar adanya maka seluruh masyarakat akan memperoleh keuntungan darinya. Artikel Kehinde (2005) itu memberikan kontribusi bagi penelitian ini khususnya di bidang pemaknaan dan ideologi. Namun, artikel tersebut tidak membahas tentang gaya bahasa seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Di samping itu, dari segi makna, artikel tersebut hanya menelaah kejujuran atau ketidakjujuran yang disampaikan oleh tanda verbal ataupun nonverbal dalam
sebuah iklan dan tidak menelaah tentang makna denotatif dan makna konotatif. Dari sisi ideologi, artikel tersebut juga hanya terbatas pada ideologi tentang truthfulness ‗kebenaran‘. Sementara itu, penelitian ini menelaah berbagai macam ideologi yang berbeda-beda yang melatarbelakangi masing-masing iklan. Artikel internasional yang kedua diambil dari prosiding Konferensi Internasional, ―Doing Research in Applied Linguistics‖ (2011), di Bangkok. Artikel tersebut berjudul “Hidden Language of Advertising: A Semiotic Approach” oleh Najafian dan Dabaghi.
Penelitian tersebut berupaya untuk
menelaah ideologi atau bahasa yang tersembunyi dalam dua buah iklan ―Omega watch‖ yang diambil dari majalah Time yang terbit pada bulan Oktober tahun 2002. Artikel itu menggunakan pendekatan semiotik untuk menganalisis iklan tersebut, khususnya teori dari Kress dan Leeuwen (1996). Temuan dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada iklan ―Omega watch‖ yang pertama, pengiklan menggunakan huruf kapital yang tebal dan berukuran lebih besar pada bagian headline. Hal tersebut bertujuan untuk menarik perhatian pembaca dan membuat mereka penasaran akan apa yang sesungguhnya disampaikan oleh iklan ini. Hal ini secara tidak sadar mengarahkan pembaca untuk terus membaca dan meningkatkan rasa ingin tahunya tentang produk tersebut dan akhirnya dapat meraih tujuan utamanya, yaitu untuk membujuk pembaca untuk membeli jam tersebut. Di samping itu, pengiklan berusaha menarik perhatian pembaca dengan meletakkan sebuah gambar jam bagian tengah halaman iklan. Tagline memperkuat ide ini sebab ia diletakkan di bawah gambar tersebut dengan menggunakan huruf hitam kontras. Pengiklan
menggunakan huruf yang lebih kecil dari headline untuk menulis subtitle. Hal ini dilakukan agar iklan lebih memikat, mudah terlihat, dan jelas bagi pembaca. Subtitle ini memberikan lebih banyak informasi tentang produk yang diiklankan. Dalam iklan jam tersebut, pengiklan meletakkan foto seorang pembalap terkenal, Michael Schummacher, di atas produk yang diiklankan.
Hal ini
membangun hubungan antara pria tersebut dengan produk yang diiklankan. Schummacher dalam karirnya tercatat memiliki kemampuan melakukan putaran tercepat pada detik-detik penting di arena balap untuk memacu mobilnya pada batas maksimum. Dalam artikel itu disebutkan bahwa Beasly & Danesi (2002) menyatakan bahwa sebuah iklan yang didukung oleh kehadiran selebritis dapat membuat sebuah produk dipercaya kualitasnya. Hal ini dilakukan dengan cara meletakkan tanda ikonik
(foto
selebritis) dan tanda linguistik
secara
berdampingan. Dalam hal ini, hubungan antara satu tanda dan tanda yang lain sangat penting untuk memaknai iklan. Lebih lanjut, penulis artikel menyebutkan bahwa bukan sebuah kebetulan bila pada iklan tersebut produk yang diiklankan dan foto model iklan sama-sama berwarna merah.
Hal ini didukung oleh
pernyataan Walters (1982) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara warna merah dan rasa kegembiraan. Berbeda dengan iklan yang pertama, iklan ―Omega watch‖ yang kedua menunjukkan gambar seorang supermodel cantik, Cindy Crawford.
Gambar
seorang supermodel merupakan sebuah tanda yang memiliki makna konotatif seperti ‗muda‘, ‗langsing‘, dan lain-lain.
Gambar ini menandakan konsep
kecantikan yang feminim. Konsep kecantikan yang feminim ini, yang disebut
oleh Barthes, sebagai mitos. Makna mitos iklan menghubungkan antara jam, femimisme, dan kenikmatan seks yang eksotik.
Makna konotatif merupakan
bahan baku dari mitos. Iklan jam itu tidak secara literal mengatakan bahwa jam itu akan membuat anda terlihat cantik. Sebaliknya, pesan tersebut disampaikan dengan menggunakan susunan tanda. Dengan demikian, pembaca diminta untuk membaca makna mitos dari sebuah iklan. Simpulan yang dapat ditarik dari artikel tersebut ialah dengan menggunakan warna dan tanda, pengiklan dapat berkomunikasi dengan konsumen dengan lebih baik dan membuat produk menjadi lebih populer. Ada sebuah keteraturan ditemukan dalam fenomena periklanan, yaitu penggunaan serangkaian tanda, pilihan yang terbatas, dan pilihan-pilihan tersebut merupakan bagian dari makna sosial.
Serangkaian tanda tersebut tidak membentuk makna tunggal,
komprehensif, koheren, dan makna dari tanda-tanda tertentu selalu bersifat relatif tergantung pada pembaca dan kesempatan/situasi yang melatarbelakanginya. Artikel yang ditulis oleh Najafian dan Dabaghi (2011) sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan ini khususnya dari sisi teoretis. Artikel tersebut menggunakan teori semiotik khususnya mitologi yang dikemukakan oleh Barthes. Hal ini dapat dipahami, bagaimana teori itu digunakan untuk mengungkap makna konotatif yang menguat menjadi mitos. Di samping itu, artikel tersebut juga memberikan pemahaman terhadap ideologi wacana yang dikemukakan oleh Hodge dan Kress (1993). Namun, artikel tersebut hanya menelaah makna tanda dan tidak menelaah gaya bahasa. Sementara itu, penelitian ini menelaah gaya
bahasa iklan di samping juga menelaah makna tanda verbal dan nonverbal serta ideologi yang melatarbelakangi iklan tersebut. Artikel ketiga yang dijadikan kajian pustaka berjudul “The Language of Advertising: Who Controls Quality?” oleh Wyckham dan Banting (1984). Penelitian yang dilakukan
oleh Wyckham dan Banting dilatarbelakani oleh
fenomena bahwa pengiklan kerap kali membuat keputusan untuk melanggar standar umum bahasa Inggris yang berlaku untuk menciptakan iklan yang ―menjual‖.
Aturan tata bahasa pun dilanggar sebagai alat untuk menarik
perhatian. Artikel ini menganalisis pengaruh iklan terhadap bahasa Inggris. Ada tiga masalah yang menjadi fokus penelitian tersebut, yaitu: (1) Berapa sering ketidakteraturan
linguistik
muncul
dalam
bahasa
iklan;
(2)
Dapatkah
ketidakteraturan ini diklasifikasikan; dan (3) Haruskah ada usaha dari industri iklan untuk mengontrol kualitas bahasa iklan. Untuk melihat tingkat ketidakteraturan linguistik dalam iklan, maka dilakukan analisis terhadap 455 iklan TV yang ditayangkan oleh stasiun TV Seattle. Penelitian tersebut menunjukkan ada tiga jenis iklan yang paling sering ditayangkan, yaitu iklan produk makanan dan minuman (31%), iklan produk perawatan diri (12%), dan promosi program film dan TV (11%). Artikel ini menunjukkan temuan bahwa tiga perempat dari iklan yang diteliti mengandung paling sedikit satu ketidakteraturan sintaksis dan stilistik. Sementara itu, 60% iklan yang melanggar memiliki lebih dari satu ketidakteraturan. Dalam penelitian itu ditemukan lebih banyak ketidateraturan sintaksis daripada penyalahgunaan stilistik. Tiga kesalahan sintaksis yang paling sering terjadi adalah kalimat yang
tidak lengkap, tidak adanya acuan, dan penggunaan kata yang salah. Sementara itu, penyimpangan stilistik yang paling sering ditemukan adalah penggunaan slang, konsep yang kosong, personifikasi yang tidak tepat, dan penyalahgunaan atau kebebasan puitis. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Charles (2001) dalam tesisnya yang berjudul “Rule-Breaking in the Language of Advertising”.
Tesis Charles ini
menganalisis aturan bahasa yang mana yang dilanggar dalam iklan media cetak dan bagaimana pelanggaran ini dijadikan sebuah alat oleh pengiklan untuk membuat produk yang diiklankan menjadi lebih menarik dan membuat iklan itu sendiri menjadi lebih efektif.
Kenyataannya, walaupun terjadi beberapa
penyimpangan dalam bahasa iklan, iklan tersebut masih bisa dibaca, koheren (masuk akal), kohesif (memiliki kesepaduan), dan dapat dimengerti. Dalam penelitiannya, Charles menganalisis sejumlah iklan berbahasa Prancis dan Inggris dari majalah yang memiliki genre yang berbeda-beda. Ia mengklasifikasikan
penyimpangan-penyimpangan
yang
ditemukan,
yaitu
penyimpangan dalam hal penggunaan acuan, peran semantik, sintaksis, pragmatik, dan morfologi. Dari sisi penggunaan acuan, temuan yang paling menarik adalah beberapa kata ganti tidak memiliki acuan, sebagai contoh, sebuah iklan diawali dengan kalimat ―It just looks expensive‖. Kata ganti it muncul di awal kalimat tanpa ada kata atau bagian kalimat yang mendahului kata ganti tersebut sehingga tidak jelas acuan yang dimaksud. Sementara itu, salah satu contoh penyimpangan peran semantik yang ditemukan, yakni peran agen yang tidak pada tempatnya. Sebagai contoh, ―Even
nature can't contain its excitement‖, di sini nature merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak dapat diletakkan pada posisi agen dalam kalimat tersebut. Penyimpangan dari segi sintaksis, salah satunya, dapat dilihat pada kalimat ―Blows curves' minds‖. Di sini terjadi penghilangan subjek pada kalimat tersebut. Dari sisi pragmatik juga ditemukan penyimpangan, yakni banyak iklan menggunakan kalimat yang tidak sesuai dengan konteks. Di samping itu, ditemukan juga penyimpangan secara morfologis. Sebagai contoh, iklan minuman 7-UP, yakni produk yang dipasarkan sebagai minuman uncola. Kaidah morfologi dalam bahasa Inggris tidak membenarkan penambahan prefiks un- pada kata cola sebab cola adalah kata benda. Dalam kaidah morfologi bahasa Inggris un- hanya bisa dirangkaikan dengan verba sehingga membentuk kata yang memiliki arti yang berlawanan dengan kata dasarnya. Banyak contoh penyimpangan lainnya yang dikemukakan oleh Charles dalam tesisnya. Secara garis besar, hasil penelitian Charles menunjukkan bahwa penyimpangan terhadap kaidah-kaidah bahasa yang berlaku sangat berharga dan menguntungkan bagi dunia periklanan sebab penyimpangan-penyimpangan ini justru membantu pengiklan untuk mencapai tujuannya memasarkan sebuah produk. Pada prinsipnya penelitian yang dilakukan oleh Charles (2001) hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wyckham dan Banting (1984), yakni sama-sama meneliti tentang penyimpangan terhadap kaidah bahasa dalam bahasa iklan.
Namun, sumber data dan hasil penelitiannya tidak sama.
Penelitian
Charles menggunakan iklan media cetak yang diambil dari majalah, sedangkan
penelitian Wyckham dan Banting menggunakan iklan TV.
Hasil penelitian
Charles menunjukkan adanya penyimpangan dalam hal penggunaan acuan, peran semantik, sintaksis, pragmatik, dan morfologi. Sementara itu, hasil penelitian Wyckham dan Banting hanya menunjukkan adanya penyimpangan dari segi sintaksis dan stilistik. Perbedaan tersebut justru memperkaya wawasan peneliti tentang penyimpangan-penyimpangan kaidah bahasa yang ditemukan, baik dalam iklan cetak maupun iklan elektronik. Hal ini tentu saja memberikan kontribusi bagi penelitian yang dilakukan ini, khususnya dalam pemaknaan tanda verbal. Dengan mengetahui adanya penyimpangan pada level-level tertentu dapat mempermudah peneliti untuk menelaah makna tanda verbal dalam bahasa iklan. Namun, tulisantulisan tersebut sangat terbatas, hanya menelaah penyimpangan tata bahasa dan tidak melihat gaya bahasa yang digunakan dalam bahasa iklan ataupun makna serta ideologi di baliknya. Dari semua penelitian terdahulu, sepanjang pengamatan peneliti, belum ada artikel, tesis ataupun disertasi yang menganalisis gaya bahasa pada iklan TV. Sementara itu, penelitian ini menganalisis gaya bahasa pada iklan makanan dan minuman yang ditayangkan di televisi. Penelitian yang dilakukan terhadap gaya bahasa ini mencakupi empat tataran, yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata; gaya bahasa berdasarkan nada; gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat; dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Di samping itu, peneliti juga menganalisis makna verbal dan nonverbal dari iklan tersebut, baik secara denotatif maupun konotatif, sehingga dapat terungkap mitos dan ideologi yang ada di balik
penciptaan iklan tersebut. Oleh sebab itu, hasil yang diperoleh tentu akan lebih komprehensif. Hal inilah yang membuat penelitian penulis memiliki nilai novelty tersendiri yang dapat membedakannya dengan penelitian terdahulu dan diharapkan mampu menyediakan informasi yang lebih jika dibandingkan dengan penelitian lainnya.
2.2 Konsep Konsep adalah pemahaman yang lebih luas tentang suatu hal. Dalam paparan konsep berikut dijelaskan beberapa konsep utama yang harus dipahami dalam penelitian ini, yaitu konsep gaya bahasa, iklan, tanda, dan ideologi. Uraian lebih jelas mengenai konsep-konsep yang dimaksud dapat disajikan seperti di bawah ini:
2.2.1
Konsep Gaya Bahasa Gaya bahasa merupakan penggunaan kata-kata dalam berbicara dan
menulis untuk meyakinkan atau memengaruhi penyimak dan pembaca. Penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Pendapat ahli sastra, Sudjiman (1990: 33) menyatakan bahwa yang disebut gaya bahasa adalah cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan katakata dalam bentuk tulisan ataupun lisan.
Sementara itu, Keraf (1991: 113)
menyatakan bahwa gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau penutur.
Berdasarkan pengertian yang diberikan di atas dapat
disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pikiran sehingga dapat menimbulkan efek tertentu.
2.2.2
Konsep Iklan Cook (1992: 9) mendefinisikan iklan sebagai ―promosi penjualan
benda dan layanan melalui media yang tidak bersifat pribadi‖. Sementara itu, Liliweri (2001: 31-32) secara umum membagi iklan menjadi dua jenis. Yang pertama adalah iklan komersial, yaitu iklan yang ditata secara khusus untuk memperkenalkan barang atau jasa pada konsumen melalui sebuah media. Iklan jenis ini bertujuan untuk mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa serta merangsang motif dan minat para pembeli atau para pemakai. Yang kedua adalah Iklan Layanan Masyarakat, yaitu iklan yang bersifat nonprofit.
Iklan ini
tidak mencari keuntungan akibat pemasangannya kepada khalayak. Media
iklan
adalah
segala
sarana
komunikasi
yang
dipakai
untuk mengantarkan dan menyebarluaskan pesan-pesan iklan. Pada prinsipnya, jenis media iklan dalam bentuk fisik dibagi ke dalam dua kategori, yaitu media iklan cetak dan media iklan elektronik. Media cetak adalah media statis dan mengutamakan pesan-pesan visual yang dihasilkan dari proses percetakan. Sementara itu, media elektronik adalah media yang proses bekerjanya berdasar pada prinsip elektronik dan eletromagnetis (misalnya, televisi, radio, internet).
2.2.3 Konsep Tanda Menurut de Saussure (1998), tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana
ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan penanda (signifier) dan aspek lainnya yang disebut petanda (signified). Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi, petanda merupakan konsep atau apa yg dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut, dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda terletak pada tingkatan isi atau gagasan (level of content) dari apa yang diungkapkan melalui tingkat ungkapan.
Hubungan antara kedua unsur ini
melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) suatu hal (benda) yang lain yang disebut referen. Lampu merah mengacu pada ―jalan berhenti‖. Wajah cerah mengacu pada ―kebahagiaan‖. Air mata mengacu pada ―kesedihan‖. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979: 59).
2.2.4 Konsep Ideologi Secara etimologis ideo berarti gagasan-gagasan, dan logos adalah ilmu. Jadi, ideologi berarti ilmu tentang gagasan-gagasan atau ilmu yang mempelajari asal usul ide. Thompson (2003: 17) mendefinisikan istilah ideologi sebagai sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Ideologi secara mendasar berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris, berhubungan dengan proses pembenaran dominasi.
Sepaham dengan Thompson (2003), Storey (2004)
menyatakan bahwa ideologi menunjuk pada kesadaran (keyakinan) atau pendirian tentang pemikiran atau pandangan tertentu.
Ideologi
menyangkut ide-ide,
gagasan, pedoman atau petunjuk-petunjuk produksi tentang makna.
Ideologi
menentukan cara memandang, orientasi memandang atau menyikapi tentang segala sesuatu. Ideologi memengaruhi pikiran, selera, perasaan, dan menuntut tindakan kebudayaan serta tindakan sosial seseorang atau kelompok.
2.3 Landasan Teori Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjawab dan memecahkan permasalahan dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah: teori gaya bahasa dari Keraf (1991), teori semiotik dari Barthes (1998), teori semantik dari Palmer (2001), teori pragmatik dari Yule (1996), teori maksim dari Grice (1975), teori ideologi dari Storey (2004), serta beberapa teori pendukung lainnya. Teori tentang gaya bahasa dari Keraf (1991) digunakan untuk menganalisis jenis-jenis gaya bahasa yang digunakan dalam iklan makanan dan minuman pada media elektronik. Tujuan utama ‖membaca‖ iklan televisi ialah untuk menemukan makna terselubung yang terkait dengan mitos dan muatan ideologi tertentu.
Teori semiotik dari Barthes (1998) digunakan untuk
menganalisis makna tanda yang terselubung di balik iklan komersial pada media elektronik. Teori semantik dari Palmer (2001) dan teori pragmatik dari Yule (1996) digunakan untuk menganalisis makna tuturan di dalam iklan komersial. Sementara itu, teori maksim percakapan digunakan untuk menganalisis pelanggaran
maksim
yang
terdapat
pada
iklan
TV.
Ideologi
yang
melatarbelakangi wacana iklan dianalisis dengan menggunakan teori ideologi dari Storey (2003).
Beberapa teori pendukung lainnya juga digunakan dalam
penelitian ini, yang semuanya dapat dilihat dalam penjelasan di bawah ini.
2.3.1 Teori Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, untuk tujuan tertentu. Penggunaan gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi puitik, yaitu menjadikan pesan lebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran) dapat menarik perhatian penerima. Sebaliknya, bila penggunaannya tidak tepat, maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka. Misalnya, apabila dalam novel remaja masa kini terdapat banyak gaya bahasa dari masa sebelum kemerdekaan, maka pesan tidak sampai dan novel remaja itu tidak akan disukai pembacanya. Menurut Keraf (1991: 113), gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Pemakaian gaya bahasa juga dapat menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan yang penuh makna dengan singkat. Sering kali pemakaian gaya bahasa digunakan untuk penekanan terhadap pesan yang diungkapkan.
2.3.1.1 Jenis-jenis gaya bahasa Keraf (1991: 115) mengelempokkan jenis-jenis gaya bahasa dalam dua segi, yaitu segi nonbahasa dan segi bahasanya sendiri.
Disertasi ini
menitikberatkan analisis terhadap jenis-jenis gaya bahasa iklan yang dilihat dari segi bahasa itu sendiri.
Dilihat dari sudut bahasa, maka gaya bahasa dapat
dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yakni sebagai berikut. 1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapat dibedakan: (1) Gaya Bahasa Resmi: bentuknya lengkap, yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi. (2) Gaya Bahasa Tak Resmi: bentuknya umum dan normal bagi kaum terpelajar, yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan yang tidak formal. (3) Gaya Bahasa Percakapan: pilihan katanya berupa kata-kata populer dan kata-kata percakapan (segi-segi sintaktis dan morfologis tidak terlalu diperhatikan dalam gaya laras percakapan). 2) Gaya bahasa berdasarkan nada Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan. Gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana dapat dibagi atas:
(1) Gaya Bahasa Sederhana, gaya ini biasanya cocok untuk memberi instruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan sejenisnya; (2) Gaya Bahasa Mulia dan Bertenaga, gaya ini penuh dengan vitalitas dan energi, dan biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu; (3) Gaya Bahasa Menengah, gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai. 3) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat Struktur kalimat yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat.
Ada kalimat yang
bersifat kendur bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat. Gaya bahasa yang termasuk ke dalam kategori ini adalah: (1) Klimaks: semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. (2) Antiklimaks: suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang peting.
(3) Paralelisme: gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. (4) Antitesis: gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. (5) Repetisi: perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. 4) Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna dicirikan oleh penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukkan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Dengan demikian, gaya bahasa memiliki bermacam-macam fungsi: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan objek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna dibagi atas dua kelompok, yaitu: (1) Pengungkapan secara retoris Gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, pengungkapannya dilakkukan secara retoris. Yang termasuk ke dalam gaya bahasa ini
adalah: aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron proteron, pleonasme, tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis, zeugma, koreksio atau epanortesis, hiperbol, paradoks, oksimoron. (2) Pengungkapan secara kias Gaya bahasa yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna, pengungkapannya dilakukan secara kias, yang melahirkan gaya bahasa kias. Yang termasuk ke dalam gaya bahasa ini adalah: persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke,
metonimia,
antonomasia,
hipalase,
ironi,
sinisme,
sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, pun atau paronomasia.
2.3.1.2 Sendi-sendi gaya bahasa Keraf (2002: 113-115) mengungkapkan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan santun, dan menarik. 1) Kejujuran Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau penulis tidak menyampaikan isi pikirannya secara terus terang; seolah-olah ia menyembunyikan pikirannya itu di balik rangkaian kata-kata yang kabur
dan jaringan kalimat yang berbelit-belit tidak menentu. Ia hanya mengelabui pendengar atau pembaca dengan mempergunakan kata-kata yang kabur dan ―hebat‖, hanya agar bisa tampak lebih intelek atau lebih dalam pengetahuannya. Di pihak lain, pemakai bahasa yang berbelit-belit menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangannya di balik berondongan kata-kata hampa. Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Oleh sebab itu, bahasa harus digunakan pula tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran. 2) Sopan santun Sopan santun dapat diartikan sebagai pemberian penghargaan atau penghormatan kepada orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan. Penyampaian sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk mencari apa yang ditulis atau dikatakan. Di samping itu, pembaca atau pendengar tidak perlu membuang-buang waktu untuk mendengar atau membaca sesuatu secara panjang lebar jika hal itu diungkapkan dalam beberapa rangkaian kata. Dengan demikian, kejelasan diukur dalam beberapa butir kaidah berikut, yaitu: a) kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat; b) kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui kata-kata atau kalimat tadi;
c) kejelasan dalam pengurutan ide secara logis; d) kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan. Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang berliku-liku. Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim secara longgar, menghindari tautologi; atau mengadakan repertisi yang tidak perlu. 3) Menarik Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi). Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada, struktur, dan pilihan kata. Untuk itu, seorang penulis perlu memiliki kekayaan dalam kosakata, memiliki kemauan untuk mengubah panjang-pendeknya kalimat, dan struktur-struktur morfologis. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman.
2.3.2 Teori Pragmatik Yule (1996: 3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan,
mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Di dalam tayangan iklan televisi tidak jarang iklan-iklan tersebut disajikan dalam bentuk parodi yang menampilkan adegan percakapan antara dua orang bahkan lebih. Di sinilah peranan teori pragmatik, yaitu untuk menganalisis makna tuturan yang ditemukan di dalam data penelitian ini dengan tidak mengabaikan peran partisipan dan konteks ujaran di dalam percakapan tersebut. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini, dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan memengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur. Teori tindak tutur yang dikembangkan oleh Searle dipandang kongkret oleh beberapa ahli. Searle menggunakan ide-ide Austin sebagai dasar mengembangkan teori tindak tuturnya. Bagi Searle (1969:16), semua komunikasi bahasa melibatkan tindak. Unit komunikasi bahasa bukan hanya didukung oleh simbol, kata atau kalimat, tetapi produksi simbol, kata, atau kalimat dalam mewujudkan tindak tutur. Produksi kalimat yang berada pada kondisi-kondisi tertentu merupakan tindak tutur, dan tuturan merupakan unit-unit minimal komunikasi bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut, pada awalnya, Searle membagi tindak tutur menjadi empat jenis, yaitu (a) tindak ujaran (utterance act), yaitu kegiatan menuturkan kata-kata sehingga unsur yang dituturkan berupa kata atau morfem;
(b) tindak proposisional (propositional act), yaitu tindak menuturkan kalimat; (c), tindak ilokusi (ilocutionary act), yaitu tindak menuturkan kalimat, tetapi sudah disertai tanggung jawab penutur untuk melakukan suatu tindakan; dan (d) tindakan perlokusi (perlocutionary act), yaitu tindak tutur yang menuntut mitra tutur untuk melakukan suatu. Dalam perkembangannya, Searle (1975) mengembangkan teori tindak tuturnya terpusat pada ilokusi. Pengembangan jenis tindak tersebut berdasarkan pada tujuan dari tindak. Tindak tutur itu oleh Searle dikategorisasi menjadi lima jenis.
Sama halnya dengan pandangan Searle, Yule (1996: 92-94) juga
mengklasifikasikan tindak tutur menjadi lima jenis. Kelima jenis tindak tutur itu adalah representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. 1) Representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini oleh penutur. Hal ini merupakan jenis tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang dikatakan (misalnya, menyatakan,
menuntut,
memberikan
kesaksian,
melaporkan,
mengabarkan, menunjukan, menyebutkan, berspekulasi). 2) Direktif (impisiotif), yaitu tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Hal ini merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar mitra tutur melakukan apa yang ada dalam ujaran tersebut (misalnya, memaksa, mengajak, menagih, mendesak, memerintah, menyuruh, memohon, meminta, menuntut, menantang, menyarankan).
3) Ekspresif (evaluatif), yaitu tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur.
Hal ini merupakan jenis tindak tutur yang
dilakukan penutur dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan pada tuturan tersebut (misalnya, memuji,
mengkritik,
berterima
kasih,
mengeluh,
menyalahkan,
menyanjung, mengucapkan selamat). 4) Komisif, yaitu tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Hal ini merupakan jenis tindak tutur yang mengikat penutur untuk melakukan seperti apa yang diujarkan (misalnya, bersumpah, mengancam, berjanji, menyatakan kesanggupan, berkaul, menawarkan). 5) Deklarasi (Isbati), yaitu tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Hal ini merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal yang baru (misalnya, memutuskan, melarang, membatalkan, mengesahkan, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni, memaafkan). Teori tindak tutur dari Yule (1996) tersebut tidak kalah pentingnya dari teori-teori yang lain di dalam penelitian ini karena teori tindak tutur itulah yang akan digunakan untuk menganalisis makna tuturan yang ditemukan di dalam data penelitian ini. Teori tindak tutur secara khusus digunakan untuk menganalisis jenis tuturan dan tujuan tuturan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengungkap makna di balik setiap tuturan yang ditemukan di dalam iklan komersial televisi.
2.3.3 Teori Maksim Percakapan
Pengiklan kerap kali menggunakan percakapan dalam menyampaikan pesan iklan. Hal ini bertujuan untuk membuat iklan menjadi lebih menarik dan interaktif untuk disimak. Karena keterbatasan durasi kadang-kadang percakapan dalam iklan dibuat singkat dan padat. Hal ini membuat makna iklan menjadi samar sebab dalam iklan ada percakapan yang mudah dipahami dan ada pula yang sulit dipahami bahkan membingungkan dan sangat provokatif.
Hal yang paling
penting dalam percakapan adalah hubungan percakapan (conversational coherence).
Yang dimaksud dengan hubungan percakapan di sini yaitu
keterkaitan dan kebermaknaan sebuah percakapan.
Sebuah percakapan dapat
dikatakan koheren apabila percakapan tersebut tersusun dengan baik dan masuk akal bagi pelaku percakapan. Penciptaan koherensi dalam sebuah percakapan terlihat mudah namun sesungguhnya dalam praktiknya sangatlah sulit dan tidak dapat dipahami bersamaan antarpelaku percakapan. Maksim-maksim percakapan yang dikembangkan oleh Grice kerap kali digunakan dalam menelaah percakapan untuk memahami hubungan percakapan. Prinsip utama Grice dalam memahami hubungan percakapan adalah kerja sama. Kerja sama adalah sebuah asumsi mendasar dalam membangun sebuah makna atau maksud yang ingin ditunjukkan oleh pembicara dan pendengar. Grice mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerja sama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Empat maksim percakapan (conversational maxim) tersebut adalah:
1) Maksim kualitas (maxim of quality): dalam percakapan, berusahalah menyatakan sesuatu yang benar. 2) Maksim kuantitas (maxim of quantity): berilah keterangan secukupnya dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak diperlukan. 3) Maksim relevansi (maxim of relevance): katakanlah hanya apa yang berguna atau relevan. 4) Maksim cara berbicara (maxim of manner): jangan mengatakan sesuatu yang tidak jelas, jangan mengatakan sesuatu yang ambigu, berbicaralah dengan singkat dan secara khusus. Menurut Grice (1975) dalam bukunya ―Logic and Conversation‖ mengenai prinsip kerja sama (the cooperative principle), pelanggaran prinsip kerja sama dapat terjadi dalam sebuah percakapan ketika informasi yang ingin disampaikan oleh pembicara kepada mitra wicara tidak tersampaikan dengan baik. Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan menimbulkan kesan yang janggal. Kejanggalan itu dapat terjadi jika informasi yang diberikan berlebihan, tidak benar, tidak relevan, atau berbelit-belit. Kejanggalan inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh pengiklan untuk membuat pernyataan-pernyataan yang persuasif, kontroversial, dan bombastis untuk menunjukkan keunggulan produk yang diiklankan. Menurut Grice, ada empat jenis pelanggaran maksim dalam prinsip kerja sama. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pelanggaran maksim kualitas (maxim of quality)
Pelanggaran maksim kualitas ini dapat terjadi ketika seorang pembicara mencoba untuk memberikan informasi yang cenderung tidak benar atau bohong mengenai suatu hal kepada mitra wicara. (2) Pelanggaran maksim kuantitas (maxim of quantity) Pelanggaran
maksim
kuantitas
terjadi
ketika
seorang pembicara
memberikan informasi yang kurang jelas atau berlebihan kepada mitra wicara. (3) Pelanggaran maksim relevansi (maxim of relevance) Pelanggaran maksim relevan dapat terjadi ketika seorang pembicara memberikan
jawaban
yang tidak
bertautan
dengan
pembicaraan
sebelumnya ataupun mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan yang sedang terjadi dalam sebuah percakapan. (4) Pelanggaran maksim cara berbicara (maxim of manner) Pelanggaran maksim cara dapat terjadi ketika pembicara memberikan suatu informasi yang tidak beraturan atau tidak jelas kepada mitra wicara. Teori maksim percakapan digunakan untuk melihat apakah terjadi pelanggaran maksim pada iklan TV. Di samping itu juga untuk melihat karakteristik bahasa iklan. Dengan demikian, dapat dilihat dan dipahami perbedaan antara bahasa iklan dengan bahasa pada umumnya.
2.3.4
Teori Semantik Semantik merupakan sebuah istilah yang mengacu pada ilmu yang
mempelajari tentang makna dan karena makna adalah bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik (Palmer, 2001: 1).
Semantik sendiri
sebagai ilmu turunan dari linguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna suatu kata. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Hal ini sesuai dengan pandangan Saussure (1966) yang mengemukakan bahwa tanda linguistik terdiri atas: (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk. Semantik membicarakan hubungan antara kata dan konsep atau makna dari sebuah kata, serta benda atau hal yang dirujuk oleh makna itu yang berada di luar dunia bahasa, sebagaimana dikemukakan oleh Ogden dan Richards (1923). Hubungan antara ketiganya itu disebut hubungan referensial; biasanya dibagankan dalam bentuk segitiga semantik sebagai berikut. (b) konsep/makna (thought/reference)
(a) kata/leksem (symbol)
(c) sesuatu yang dirujuk (referent)
Bagan 1. Segitiga Semantik (Ogden & Richards, 1923)
Palmer (2001: 24-25) menggunakan konsep makna yang dikemukakan oleh
Ogden dan Richards di atas untuk menjelaskan hubungan antara kata,
makna, dan referen.
Sebuah kata/leksem mengandung makna atau konsep.
Makna atau konsep bersifat umum, sedangkan sesuatu yang dirujuk, yang berada di luar dunia bahasa, bersifat tertentu. Misalnya, kata meja mengandung konsep meja pada umumnya, meja apa saja atau segala macam meja. Jadi, konsep ―meja‖ merupakan abstraksi keseluruhan meja yang ada. Akan tetapi dalam dunia nyata, meja-meja yang dirujuk adalah bersifat tertentu (dalam dunia nyata kita dapati berbagai macam meja yang ukuran, bentuk, dan bahannya tidak sama). Hubungan kata meja dengan maknanya atau konsepnya bersifat langsung. Begitu juga hubungan antara makna itu dengan meja tertentu di dunia nyata juga bersifat langsung. Akan tetapi, hubungan kata meja dengan sebuah meja dalam dunia nyata tidak bersifat langsung.
Oleh karena itu, dalam bagan di atas
hubungan kata dengan referennya (sesuatu yang dirujuk) ditandai dengan garis putus-putus.
Hubungan kata dengan makna bersifat arbitrer, yaitu tidak ada
hubungan wajib antara deretan fonem pembentuk kata itu dengan maknanya. Namun, hubungannya bersifat konvensional, yaitu disepakati oleh setiap anggota masyarakat suatu bahasa untuk mematuhi hubungan itu. Banyak teori tentang makna telah dikemukakan oleh para ahli. Ferdinand de Saussure (1998: 286) mengungkapkan bahwa makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik. Aminuddin (1988: 50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa hal di luar bahasa yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti.
Ada beberapa analogi yang dikemukakan oleh Palmer (2001: 3) untuk memudahkan memahami istilah makna itu sendiri. Misalnya dapat dilihat dalam kalimat ―That cloud means thunder‖ atau ―A red light means stop‖. Kata makna (mean) di sini digunakan untuk memaknai sebuah tanda, baik tanda yang bersifat alami maupun konvensional, yang mengindikasikan bahwa sesuatu sedang terjadi atau yang akan terjadi. Ada perbedaan antara dua contoh kalimat di atas. Lampu lalu lintas (traffic light) sudah jelas merupakan sebuah sistem komunikasi dan sudah menjadi kesepakatatan bahwa merah (red) berarti berhenti (stop). Berbeda halnya dengan awan (cloud) yang walaupun dapat memberikan sebuah informasi, namun bukan merupakan sebuah sistem komunikasi. Kalau tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem; kalau tanda linguistik itu disamakan dengan morfem, maka berarti makna itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang disebut morfem dasar maupun morfem afiks. Makna itu tidak lain daripada sesuatu yang diacu oleh kata atau leksem. Makna dapat ditentukan setelah dalam bentuk kalimat. Misalnya: “Sudah hampir pukul dua belas!” Bila diucapkan oleh seorang ibu asrama putri kepada seorang pemuda maka kalimat itu bermaksud mengusir, sedangkan jika yang mengatakan adalah seorang karyawan kantor berarti menunjukkan waktu makan siang. Makna kata dapat dibangun dalam kaitannya dengan benda atau objek di luar bahasa. Dalam konsepsi ini, kata berperan sebagai label atau pemberi nama pada benda-benda atau objek-objek yang berada di alam semesta. Makna kata
juga dapat dibentuk oleh konsepsi atau pembentukan konsepsi yang terjadi dalam pikiran pengguna bahasa. Proses pembentukannya berkaitan dengan pengetahuan atau persepsi penggunaan bahasa tersebut terhadap fenomena, benda atau peristiwa yang terjadi di luar bahasa. Dalam iklan komersial setiap tanda yang muncul memiliki makna. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa semantik menitikberatkan kajian pada objek studi yang berkaitan dengan makna. Sehubungan dengan itu, peranan teori Semantik di dalam penelitian ini ialah untuk menganalisis makna tanda (khususnya tanda-tanda verbal) yang ditemukan pada setiap data penelitian ini. Semantik berbeda dengan Semiotik. Semiotik mempelajari makna dari berbagai macam tanda mulai dari lambing, gambar, dan lain -lain, sedangkan semantik hanya mempelajari makna tanda bahasa saja, berupa kata atau kalimat. Sebagai contoh, cincin yang dipakai oleh sepasang pria dan wanita menunjukkan kalau mereka adalah sepasang suami istri.
Cincin tersebut
merupakan lambang pernikahan yang dianalisis oleh Semiotik. Sementara itu, apabila diungkapkan dalam kalimat, ―Dia adalah istri saya‖ menjadi kajian Semantik. Berikut adalah pembahasan lebih detil tentang Semiotik.
2.3.5 Teori Semiotik Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari makna dari suatu tanda. Bahasa adalah alat komunikasi dalam masyarakat yang menggunakan sistem tanda yang maknanya dipahami secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Menurut de Saussure (1916), tanda merupakan
kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan petanda (signified).
Dengan kata lain, penanda adalah ―bunyi yang bermakna‖ atau ―coretan yang bermakna‖. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa, yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
Petanda adalah
gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa.
Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang
kongkret, kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa, dan karena itu, tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian, merupakan suatu faktor linguistis. Menurut de Saussure (1998: 147), bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. Sebagai contoh, kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‗pohon‘ merupakan tanda yang terdiri atas dua segi, yakni /arbor/ dan konsep pohon.
Penanda (signified) /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik
yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu), yakni signified. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah konvensi. Para pencipta iklan komersial menggunakan tanda-tanda di dalam iklannya untuk menarik minat khalayak.
Teori tanda dari de Saussure inilah yang akan
digunakan untuk menganalisis seluruh tanda pada data, baik tanda verbal maupun nonverbal. Ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya de Saussure (1857 - 1913).
Ia tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik Modern, tetapi
juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran de Saussure.
Dalam hal ini, de Saussure tertarik pada cara yang kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna. Barthes (1998) meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan ―order of signification‖,
mencakup denotasi (makna sebenarnya) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan de Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap menggunakan istilah signifier-signified yang diusung de Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Misalnya: pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi ―keramat‖ karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi ―keramat‖ ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang
melekat pada simbol pohon beringin. Pada tahap ini, ―pohon beringin yang keramat‖ akhirnya dianggap sebagai sebuah mitos.
1) Denotasi dan Konotasi Menurut Barthes hal yang relevan dalam kaitan dengan semiotik, yaitu konsep denotasi dan konotasi. Sesuai dengan paham strukturalisme, Barthes di sini juga menggunakan model dikotomis.
Barthes mengembangkan model
dikotomis penanda-petanda menjadi lebih dinamis.
Ia mengemukakan bahwa
dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah ―ekspresi‖ (E) tanda, sedangkan petanda adalah ―isi‖ (dalam bahasa Prancis contenu (C)). Jadi, sesuai dengan teori de Saussure, tanda adalah ―relasi‖ (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C. Dalam kehidupan sosial budaya, pemakai tanda tidak hanya memaknainya sebagai denotasi, yakni makna yang dikenal secara umum. Oleh Barthes denotasi disebut sebagai sistem ―pertama‖.
Biasanya pemakai tanda mengembangkan
pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem ―kedua‖. Salah satu arah pengembangan adalah kepada segi E. Hal ini terjadi bila pemakai tanda memberikan bentuk yang berbeda untuk makna yang sama. Jadi, untuk makna ‗tempat para narapidana dikurung‘, selain kata penjara pemakai tanda menggunakan lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau kurungan. Dengan adanya pengembangan itu terjadilah R baru (R2) yang berbeda dengan asalnya. Jadi, E-R1-C menjadi E (E-R2-C)-R-C. Bila pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi adalah makna baru yang
diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Konotasi merupakan segi ―ideologi‖ tanda.
Kalau dalam pengembangan ke arah
metabahasa untuk makna ‗tempat para narapidana dikurung‘, selain kata penjara, pemakai tanda menggunakan lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo, atau kurungan. Dalam hal konotasi setiap kata di atas dapat memiliki makna khusus. Misalnya, penjara dan kurungan mempunyai makna khusus ‗tempat menghukum orang yang bersalah‘, lembaga pemasyarakatan ‗lembaga yang mengubah orang jahat menjadi orang baik agar dapat hidup kembali bermasyarakat‘, sedangkan hotel prodeo diberi makna khusus ‗tempat menginap para pesakitan atas biaya negara‘. Tentu saja ada makna-makna lain yang mungkin timbul pada setiap individu atau kelompok masyarakat. Makna khusus adalah konotasi (Barthes dalam Hoed, 2008: 12). Konotasi diberikan oleh pemakai tanda. Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata merah bermakna ―warna seperti warna darah” (secara lebih objektif, makna dapat digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotasi dimunculkan melalui: majas (metafora, metonimi, hiperbola, eufemisme, ironi, dan sebagainya), presuposisi, implikatur.
Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif, misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung. Konsep konotasi tersebut digunakan oleh Barthes untuk menjelaskan bagaimana gejala budaya—yang dilihat sebagai tanda—memperoleh makna khusus dari masyarakat. Barthes (1957: 74-75) juga menggambarkan konotasi tentang minuman anggur sebagai ―minuman totem‖, yakni minuman yang berkonotasi ―ke-Prancis-an‖. Bagi masyarakat Prancis, minuman anggur bukan sekadar minuman beralkohol, tetapi minuman yang merupakan/dirasakan sebagai pemameran kesenangan, suatu tindakan minum yang berefek jangka panjang dalam kehidupan sosial, sedangkan tindakan minumnya mempunyai nilai retoris. Jadi, konotasi minuman anggur berakar pada kebudayaan Prancis selama berabadabad sehingga menjadi mitos. Barthes menegaskan bahwa semua yang sudah wajar di dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil konotasi. Bila konotasi menjadi tetap, ia menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, ia menjadi ideologi. Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos.
2) Mitos Mitos menurut pemikiran Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya, dari konsep mitos tradisional,
mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu pada suatu hal secara tetap sehingga lama-kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (démontage sémiologique). Ciri-ciri mitos (Barthes, 1957: 122-130) adalah sebagai berikut: (1) Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur tanda dari de Saussure menjadi
form
(signifier),
concept
(signified).
Ia
menambahkan
signification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realitas yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of deformation. Pada mitos, form dan concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form. (2) Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang harus menemukan mitos tersebut. Misalnya: ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara
pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque.
(3) Motivasi. Bahasa bersifat arbitrer, tetapi kearbitreran itu mempunyai batas, misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: bacamembaca- dibaca- terbaca- pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis. Setiap penggunaan teks, penanganan bahasa, perilaku semiosis alias penggunaan tanda umumnya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. ―Membaca‖ iklan televisi, dengan demikian, tidak ubahnya membongkar praktik ideologis yang bekerja secara manipulatif di dalam sebuah situasi sosial tertentu. Pemikiran Barthes tentang mitos, di satu sisi, masih melanjutkan pengandaian de Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Semiotik yang dibangun oleh de Saussure cenderung mengatakan makna sebagai apa yang didenotasikan oleh tanda. Sementara itu,
bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran de Saussure dikembangkaln oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat konotasi tanda. Konotasi, bagi Barthes, justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Skema pemaknaan mitos itu oleh Barthes digambarkan sebagai berikut: 1. Penanda
2. Petanda
3. Tanda I. PENANDA III. TANDA
II. PETANDA
Bagan 2. Skema Pemaknaan Mitos (Barthes, 1998)
Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos a dalah muatannya. Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan makna-makna konotatif tersebut di masyarakat atau makna pada makna tingkat ketiga. Teori Barthes tentang ideologi di balik mitos memungkinkan seorang ‖pembaca‖ atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronis ataupun diakronis. Iklan televisi yang dijejalkan ke ruang pandang masyarakat sehari-hari merupakan dunia kecil yang menjadi ikon dari sebuah raksasa makna: mitos dan ideologi di baliknya. Teori Barthes dipilih sebagai dasar teori dalam penelitian ini karena bisa dikatakan Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca de Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran de Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui de Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi
jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika konvensional yang dahulu pernah berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika a la Barthes memungkinkan kajian semiotika mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan popular culture dan media massa. Bagi Barthes, tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat
berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi de Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ―pembaca‖ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif. Berbagai jenis tanda yang dengan begitu kreatif diciptakan oleh para pencipta iklan untuk berlomba-lomba menarik minat khalayak untuk membeli produknya, tidak hanya memiliki makna denotatif tetapi juga makna konotatif yang kemudian berkembang menjadi mitos. Dari penjabaran teori semiotik di atas dapat disimpulkan bahwa teori semiotik memiliki andil besar di dalam penelitian ini, dan teori inilah yang digunakan untuk menganalisis makna tanda, khususnya seluruh tanda nonverbal yang terdapat di dalam data penelitian ini. Teori semantik dan semiotik saling mendukung satu sama lain dalam penelitian ini sebab teori semantik tidak bisa bekerja dengan sendirinya dalam menelaah makna tanpa diikuti dengan analisis yang menggunakan teori semiotik.
Dalam hal ini, teori yang dikotomis yang dikemukakan oleh de Saussure menelaah makna dari segi bahasa itu sendiri. Sementara itu, teori referensial yang dikemukakan oleh Odgen dan Richards yang mempertimbangkan objek di luar bahasa digunakan untuk menelaah makna.
Keduanya dibutuhkan untuk
menemukan makna tersembunyi di balik iklan sebab iklan memiliki serangkaian tanda yang sangat kompleks, tidak hanya tanda verbal tetapi juga tanda non-verbal dan proses pemaknaan juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa.
2.3.6 Teori Ideologi Dalam analisis iklan, ideologi merupakan salah satu komponen penting yang harus ditelaah.
Storey (2003: 4) mengemukakan lima pengertian yang
terkait dengan ideologi sebab kata ideologi dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang.
Makna yang dibahas hanya yang terkait dengan budaya populer.
Pertama, ideologi dapat mengacu pada suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Kedua, makna ideologi menyiratkan adanya penyembunyian realitas tertentu.
Dalam pengertian ini, ideologi digunakan untuk menunjukkan
bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan berbagai citra tentang realitas yang sudah didistorsi atau diputarbalikkan. Teks-teks dan praktik-praktik tersebutlah yang menghasilkan ―kesadaran palsu‖ (Storey 2003:4). Pengertian ini merujuk pada ideologi kapitalisme. Ideologi digunakan sebagai alat untuk menyembunyikan realitas sebenarnya, yaitu realitas dominasi para pemilik modal. Ada kepentingan-kepentingan tertentu dari kaum kapitalis dalam menggunakan ideologi, contohnya menciptakan image maskulin, yaitu agar
mereka
dapat
terus
memproduksi
kebutuhan-kebutuhan
baru,
dan
―mempropagandakan‖ ideologi tersebut agar pasar mereka juga semakin luas. Tujuan utamanya ialah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Ketiga, ideologi juga dapat mengacu pada ―bentuk-bentuk ideologis‖. Dalam pengertian ini, penggunaan ideologi dimaksudkan untuk menarik perhatian pada
cara-cara
yang
selalu
digunakan
teks
(media
massa)
untuk
mempresentasikan citra tertentu tentang dunia (Storey, 2003:7). Karena teks-teks dalam media massa (film, TV, radio, koran, iklan, dan lain-lain) mengandung cerita tentang dunia, atau dengan kata lain, segala yang muncul pada media massa merupakan refleksi dari kehidupan sehingga pada akhirnya seluruh teks budaya bersifat politis. Keempat, definisi berikut dikembangkan oleh filsuf Marxis Perancis, Louis Althusser (Storey, 2003:8). Pada dasarnya, apa yang dipikirkan oleh Althusser tentang ideologi adalah cara-cara yang berupa kebiasan-kebiasaan tertentu menghasilkan akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan seseorang pada tatanan sosial, yang ditandai dengan adanya kesenjangan sosial dan perbedaan status yang menonjol. Kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang terhadap hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk nyata, misalnya jika kita percaya akan Tuhan dan menjadi penganut agama tertentu. Kelima, definisi ideologi menurut Roland Barthes. Barthes menyatakan bahwa ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna yang sering kali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks dan praktik, atau yang bisa ditampilkan oleh apa pun (Storey, 2003: 8). Teori mitos dikembangkan oleh
Barthes bertujuan untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa atau budaya media. Barthes menyatakan bahwa pada tingkat penandaan kedua (konotasi) inilah mitos diciptakan dan digunakan. Seperti pada mitos, Barthes juga mengartikan ideologi sebagai suatu bentuk ide dan praktik yang mempertahankan status quo dan secara aktif mempromosikan nilai-nilai dan kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat (dalam Storey, 2003:116). Ideologi berusaha untuk menjadikan apa yang pada faktanya parsial dan khusus menjadi universal dan legitimate, sekaligus juga suatu usaha untuk melewatkan hal-hal yang bersifat kultural sebagai hal yang alamiah. Teks-teks yang ada dalam iklan telah didistorsi demikian rupa sehingga yang muncul dalam gambaran orang ketika mendengar kata maskulin adalah lakilaki dengan badan kekar, tinggi, berkulit putih, berwajah mulus tanpa jerawat, berambut hitam tanpa ketombe, berbadan wangi, nafas segar, muda, berpakaian rapi dan tidak ketinggalan zaman. Padahal, dalam kenyataannya, laki-laki yang ditampilkan dalam iklan bisa saja tidak setampan dalam iklan.
Semua
kesempurnaan penampilan yang terlihat di layar kaca bisa diciptakan dengan kecanggihan teknologi digital. Distorsi itu sengaja diciptakan demi tercapainya kepentingan pihak kapitalis. Ideologi dimanfaatkan sebagai topeng bagi para kapitalis untuk terusmenerus menciptakan produk-produk baru dan juga kebutuhan-kebutuhan baru bagi target pasarnya. Misalnya, dahulu orang tidak memerlukan permen penyegar mulut, tetapi iklan telah menciptakan bahwa bau mulut dapat menimbulkan masalah yang besar dan mengakibatkan krisis percaya diri.
Padahal, dahulu
sebelum ada permen penyegar mulut, mereka merasa baik-baik saja dengan kondisi mereka, tetapi sekarang ada semacam ―kewajiban‖ untuk mengonsumsi permen penyegar mulut, misalnya sebelum bertemu klien atau berbicara di depan publik. Konsumen mempunyai kebutuhan baru, yaitu menjaga bau mulut dengan mengonsumsi permen penyegar mulut.
2.3
Model Penelitian Model penelitian berikut menampilkan alur berpikir yang dilakukan di
dalam penelitian ini. Model penelitian yang digambarkan dalam bagan di bawah ini menjelaskan fenomena atau gejala lingual yang akan dikaji, rumusan masalah, dan landasan teori.
Gaya Bahasa Iklan Komersial pada Media Elektronik
Bentuk
Makna
Berdasarkan: - Pilihan kata - Nada - Struktur kalimat - Ketidaklangsungan makna
Teori Gaya Bahasa (Keraf, 1991)
Teori Pragmatik (Yule,1996)
- Jenis tindak tutur - Makna denotatif & konotatif - Pelanggaran maksim percakapan
Teori Semantik (Palmer, 2001)
Ideologi
- Mitos - Ideologi di balik iklan komersial pada TV
Teori Semiotik (Barthes, 1998)
Teori Ideologi (Storey, 2004)
TEMUAN Bagan 3. Model Penelitian
Model penelitian di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama,
penelitian ini menganalisis gaya bahasa iklan makanan dan minuman pada media TV. Gaya bahasa dalam hal ini dapat dibedakan menjadi empat kategori utama, yaitu: (a) berdasarkan pilihan kata (gaya bahasa resmi, tak resmi, percakapan), (b) berdasarkan nada (gaya sederhana, mulia dan bertenaga, menengah), (c)
berdasarkan struktur kalimat (klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi), dan (d) berdasarkan ketidaklangsungan makna (gaya bahas retoris, gaya bahasa kiasan). Teori yang digunakan dalam menganalisis gaya bahasa iklan komersial pada media elektronik adalah teori mengenai diksi dan gaya bahasa yang dikembangkan oleh Keraf (1991). Kedua, penelitian ini menelaah makna tanda verbal dan nonverbal pada iklan makanan dan minuman. Penelitian ini merupakan kajian pragmatik-sematik. Dengan demikian, untuk membedah makna tanda verbal akan dimulai dari telaah tindak tutur.
Teori yang digunakan untuk menelaah jenis tindak tutur yang
digunakan pada iklan makanan dan minuman yaitu teori
pragmatik yang
dikembangkan oleh Yule (1996). Selanjutnya, untuk telaah makna, yaitu tanda verbal dan nonverbal digunakan teori semantik yang dikembangkan oleh Palmer (2001) dan teori semiotik dari Barthes (1998). Meurut pandangan Barthes, setiap tanda memiliki makna denotatif dan makna konotatif. Kemudian, diikuti dengan telaah maksim untuk melihat adanya pelanggaran maksim percakapan pada iklan makanan dan minuman dengan menggunakan teori tentang maksim percakapan yang dikembangkan oleh Grice (1975). Terakhir,
berdasarkan telaah makna yang telah dilakukan maka secara
tidak langsung terjadi pengungkapan ideologi iklan. Hal ini berawal dari analisis makna konotatif yang berkembang menjadi mitos.
Mitos tersebut kemudian
menetap menjadi sebuah ideologi. Analisis ideologi iklan merupakan analisis iklan secara satu kesatuan dan untuk itu digunakan teori mengenai idelogi yang dikembangkan oleh Storey (2003).
Penerapan seluruh teori di atas bertujuan
untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang gaya bahasa serta makna tanda dalam iklan komersial pada media elektronik.