BAB II DATA DAN ANALISA
2.1
Sumber Data Data data dan informasi yang digunakan untuk mendukung proyek TA ini akan diambil dari berbagai sumber, diantaranya : 1. Literatur : buku dan artikel dari media elektronik maupun non elektronik. 2. Wawancara / Interview dengan pihak pihak terkait 3. Pengamatan langsung di lapangan.
2.2
Wacana dan Semiotika Wacana-wacana mengenai semiotika di Indonesia sangat sedikit, Apalagi yang membahas dari segi Desain Komunikasi Visual. Bahkan masih sedikit desainerdesainer non profesional (student) maupun profesional di Indonesia yang memahami apa semiotika itu, hanya desainer-desainer yang benar-benar mempelajari bidangnya yang benar-benar memahami semiotika. Pertanyaanpertanyaan yang dilontarkan mengenai semiotika akan dipertanyakan kembali “Apakah semiotika itu?”. Dari survey Penulis menemukan sangat sedikit bukubuku yang membahas semiotika di toko-toko buku terkemuka Jakarta seperti Gramedia, Gunung Agung, QB, Aksara, Kharisma, Spectra, Basheer, Kinokunia. Ketika memasuki toko buku dan bertanya kepada mereka di mana untuk temukan buku-buku mengenai semiotika dan mereka menjawabnya dengan suatu wajah
5
yang kosong. Bahkan lebih buruk, mereka menanyakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan semiotika. Hal ini adalah hal yang sulit karena kebanyakan orang yang ingin membaca buku semiotika ingin mengetahui lebih dalam tenteng semiotika namun mereka dihadapkan dengan pertanyaanpertanyaan definisi semiotika itu sendiri. Hal ini membuat calon pembeli buku tersebut merasa pilihan bijaksana untuk tidak bertanya. Sebenarnya kita telah mengenal semiotika dari sekitar kita Penemuan semiotika lebih mirip dengan penemuan teori grafitasi, fenomenanya sudah ada secara alami, penemunya hanya mengamati fenomena itu dan merumuskannya. Ketika Newton menemukan teori grafitasi, bukan berarti bahwa sebelum ia menemukan teori itu, semua mahluk mengambang tanpa bobot. Singkatnya, semiotika itu sudah ada sejak manusia hadir di muka bumi. Semua orang dengan sendirinya sudah tahu dan mahir menggunakannya, tanpa perlu mahir di dalam teori semiotika. tanpa membaca buku orang mengetahui bahwa janur itu artinya ada orang yang sedang menikah, bendera kuning artinya ada orang yang telah yang meninggal, orang akan senang jika ada yang memberi bunga mawar, dan orang pasti tidak senang terhadap orang yang berbohong atau menjelek-jelekkan orang lain, dsb.
Lantas apa perlunya belajar teori semiotika Kita mungkin tidak akan mati jika tidak mempelajarinya, tapi manusia akan sangat dipermudah dalam melakukan pekerjaan sebagai desainer, seniman, komunikator dan orang-orang advertising. jika kita bisa menguasainya. Pemahaman akan semiotika dan ilmu-ilmu lainnya akan menentukan kekuatan consciousness, semakin tinggi consciousness
6
seseorang, semakin sadar ia akan seluruh aspek pekerjaannya, semakin tinggi pula kemampuannya mengkontrol dan mengintegrasikan aspek-aspek tersebut, sehingga hampir tidak ada lagi keputusan yang dibuat secara 'tidak sengaja' dan tidak selaras dengan konsep dan idea. Hal ini yang membedakan orang-orang awam dengan orang-orang seperti Brody, Paul Rand atau Bill Bernbach, betapa consciousness mereka sudah sedemikian tinggi sehingga semua elemen dalam desain mereka tak lebih adalah artikulasi dari idea/gagasan yang akan dikomunikasikan. Bahwa penerapan semiotika bukan selalu perkara keseragaman visual seperti warna, font, dsb tapi lebih dari itu, semiotika menentukan konsistensi tone&manner sehingga desain bisa membuat pesan di benak dan hati audience, sehingga apresiasi audiens bisa mencapai taraf empati. Bahkan seniman pun akan mebutuhkan kesadaran akan semiotika itu sendiri untuk pencapaiannya pada proses berkarya agar orang-orang dapat menerima setidaknya gagasan atau idea mereka secara garis besar dan ikut merasakan gagasan atau idea tersebut. Bahkan semiotika dapat bersifat dekonstruktif dan rekonstruktif suatu pemikiran sehingga akan lahirnya gagasan-gagasan baru dan bukan hanya mepelajari pengulangan visual, seperti simbol swastika yang dipakai lagi oleh partai fasis jerman, Nazi. Arti, impact, tone dan manner dari simbol yang sama akan jauh berbeda terhadap masyarakat.
Namun wacana-wacana semiotika yang dapat diperoleh di Indonesia sangat sedikit, pada khususnya wacana-wacana pada bidang Desain Komunikasi Visual ditemukan hampir tidak ada. Berikut judul buku semiotika di Indonesia dengan
7
author Indonesia yang berkaitan dengan dunia Desain Komunikasi Visual yang didapat dari survey di toko-toko buku terkemuka di Jakarta seperti Gramedia, Gunung Agung, QB, Aksara, Kharisma, Spectra, Basheer, Kinokunia.:
SEMIOTIKA KOMUNIKASI Pengarang "Drs. Alex Sobur, M.Si" Penerbit REMAJA ROSDAKARYA Tahun terbit 2003 Jumlah Halaman xxix+333 halaman ISBN 979-692-238-X Kertas HVS 70 gr. Ukuran 16 x 24 cm. (cm) Keterangan
"Sinopsis : Buku ini memfokuskan diri pada semiotika
komunikasi, yang berkaitan dengan penggunaan dan produksi tanda secara sosial di dalam proses komunikasi. Di dalamnya diuraikan secara komprehensif sistem-sistem tanda, penggunaan tanda secara sosial
TEORI DASAR DESAIN KOMUNIKASI VISUAL Pengarang Artini Kusmiati R, Sri Pidjiastuti, J. Pamuadji Suptandar Penerbit DJAMBATAN, PT Tahun terbit 1999 Jumlah Halaman halaman ISBN 979-428-362-2
8
Kertas HVO Ukuran 15,5 x 23,5 (cm)
SEMANTIK I (PENGANTAR KE ARAH ILMU MAKNA) Pengarang Prof. Dr. Fatimah Djaja Sudarma Penerbit REFIKA ADITAMA Cetakan III Tahun terbit 2002 Jumlah Halaman 68 halaman ISBN 979-8020-74-X Kertas HVS 70 gr. Ukuran 15 x 21 cm. (cm)
SEMANTIK II (PEMAHAMAN ILMU MAKNA) Pengarang Prof. Dr. Fatimah Djaja Sudarma Penerbit REFIKA ADITAMA Cetakan III Tahun terbit 2002 Jumlah Halaman 96 halaman ISBN 979-8020-72-X Kertas HVS 70 gr. Ukuran 15 x 21 cm. (cm)
9
ANALISIS TEKS MEDIA, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing Pengarang "Drs. Alex Sobur, M.Si" Penerbit REMAJA ROSDAKARYA Cetakan II Tahun terbit 2002 Jumlah Halaman xii+200 halaman ISBN 979-692-142-1 Kertas HVS 70 gr. Ukuran 16 x 24 cm. (cm) Harga Rp 20000 Keterangan "Sinopsis : Berita yang diterbitkan media massa tidaklah identik dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Berita lebih merupakan upaya rekonstruksi tertulis terhadap suatu realitas. Sebagai hasil, rekonstruksi, peritiwa yang sama dapat mempunyai wujud.
Jumlah buku-buku tersebut tidak banyak dan sulit didapat bahkan buku-buku impor mengenai semiotika pun sangat sulit didapat di Jakarta.
2.3
Semiotika Semiotika memiliki sifat dasar interdisiplioner. Dan menurut filsuf Amerika yang juga penemu semiotika moderen, Charles Saunders Peirce – semiotika
10
memperhatikan logika relasi…apapun jenis relasi yang diperhatikan…Nadin mengeluarkan pernyataan bahwa semiotika merupakan logika yang tidak berbentuk.
Dalam sudut pandang yang luas ini, semiotika dilihat sebagai suatu
bentuk perluasan persepsi kita terhadap dunia.
2.3.1 Sejarah singkat semiotika Dalam sejarahnya, semiotika berumur setidaknya setua pengobatan dan filosofi Yunani. Kata ‘semiotika’ itu sendiri berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ yang berarti ‘tanda’ atau ‘simbol’, dan dari kata ‘semeiotikos’ yang berarti ‘pengamat simbol’. Dalam pengobatan Yunani semiotika ataupun minat dalam simbolsimbol yang bersifat diagnosa, menjadi salah satu dari tiga cabang obat-obatan.
Para filsuf terus menyibukkan diri dengan semiotika. Pada abad pertengahan, sejumlah pelajar menspesifikasikan sebuah teori komprehensif tentang simbolsimbol yang dikenal sebagai 'scientia sermocinalis', yang mencakup tata bahasa, logika, dan retorik. Pada akhir abad ke-17 John Locke, salah satu empiris dari Inggris yang juga merupakan ahli fisika, kembali memperkenalkan 'semeiotike' didalam filsafat, menyatakan 'doctrine of signs' untuk dijadikan cabang divisi ilmu pengetahuannya (logika, fisika, dan etika) sebagai ‘bisnis untuk memperhatikan sifat simbol yang dipergunakan pikiran untuk pemahaman hal-hal tertentu atau untuk mentransfer pengetahuannya mengenai hal-hal lainnya’. Jean Henri Lambert, di abad ke-18, mengambil 'semeiotike' Locke dan menulis sepuluh bab
11
mengenai prinsip-prinsip komunikasi dan implikasi didalam pandangan semiotika.
Namun baru pada permulaan abad inilah komponen-komponen teoritis lebih dikembangkan, pada prinsipnya oleh dua figure penting : ahli bahasa dari Ferdinand de Saussure, dan filsuf/ ahli matematika/ ahli logika Saunders Peirce. Mereka mewakili dua sekolah pemikiran : de Saussure menyebutnya Semiology, dan Peirce menyebutnya Semiotic. (Sekolah pemikiran yang ketiga - the Prague School – diwakili oleh figur seperti Jan Mukarovsky dan Roman Jackobson).
2.3.2 Mengenai Semiotika Menurut Thomas Ockerse, kunci semiotika adalah konsep unit yang disebut ‘sign’. Sign berpartisipasi didalam hubungan simbiotik dengan bahasa, tetapi juga merupakan priori terhadap bahasa. Secara kasar dinyatakan, sebuah sign merupakan suatu unit yang mengijinkan seseorang menginterpretasikan sesuatu yang mewakili makna yang mengacu ke hal lain. Dengan kata lain sign sebenarnya merupakan sebuah proses. Melalui sign kita dapat merepresentasikan dan
menginterpretasikan,
dan
juga
mengembangkan
pengetahuan
dan
pemahaman.
Meskipun semua hal bisa digunakan sebagai sign, tidak semua hal merupakan sign. Sebuah sign dihasilkan dari sebuah proses yang jelas yang disebut Peirce semiosis. Semiosis merupakan interaksi kooperatif antara tiga komponen: 1)
12
kondisi interpretasi ; 2) yang mewakili ; dan 3) yang diwakili. Hanya pada saat ketiga bagian ini diselesaikan saja, suatu informasi dimungkinkan, - termasuk persepsi terhadap unit yang kita kenal sebagai sign. Kita juga memerlukan penggunaan sign sebagai penengah antara sign dan sign systems. Maka itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan informasi, terlepas dari level atau kualitasnya, melibatkan persepsi terhadap sign. Sesungguhnya, sign merupakan unit yang menengahi segala sesuatu yang kita lakukan : beraksi, bereaksi, mengidentifikasi, mewakili,
mengasosiasi,
mengasimilasi,
mengekspresikan,
mengevaluasi,
menghasilkan, dll. Bahkan untuk Peirce, tidak ada pemikiran tanpa sign.
Untuk benar-benar memahamai dan menghargai persepsi mediasi ini, seseorang harus mengetahui model konseptual dari sign. Mediasi ini berada diantara tiga komponen yang disebutkan sebelumnya yang dinamai oleh Peirce: Interpretant, Representamen, dan Object.
Object adalah segala sesuatu yang akan diwakilkan, seperti sebuah perusahaan, acara, informasi, relasi, komoditi, objek, ide, sistem, fungsi, dll. Object merupakan objektif utama dari sign, yang ditandai atau dikomunikasikan. Object terbuat dari ikon, simbol, dan indeks.
Representamen adalah yang berfungsi sebagai sebuah sign. Meskipun dalam praktek biasanya kita cenderung menyebutnya ‘sign ‘, sebenarnya representamen bukanlah sign. Representamen menggantikan dan mewakili object, sebagai alat
13
hingga akhir, komponen sebuah bahasa yang digunakan untuk menstimulasi apa yang tidak terlihat (object), bermanifestasi dalam sejumlah bentuk bahasa: lisan atau tertulis, gambar-gambar, grafik, poster, produk, alat-alat, lingkungan, gerak tubuh, suara, perilaku, dan seterusnya.
Pada poin ini, penulis mengelaborasikan secara singkat mengenai representasi. Satu hal yang juda dilakukan Peirce adalah mengembangkan konsep tipologi sign, sebuah pengelompokan terhadap enampuluh enam aspek.
Icons adalah representasi secara langsung berdasarkan kesukaan (seperti gambar, peta). Dikarenakan sebuah representasi yang bersifat ikon hanya memberikan satu sudut pandang, maka hal tersebut menjadi jenis yang paling lemah. Orang yang ingin menginterpretasi tidak perlu diinformasikan. Namun, barangkali untuk tiga alasan inilah representasi yang bersifat ikon cenderung menjadi yang paling sering digunakan.
Symbols merupakan representasi ‘abstrak’ yang berdasarkan pada satu kesepakatan (contohnya warna merah untuk bahaya, angka satu untuk pertama, salib untuk Kristianitas, bendera untuk negara, dll). Beberapa lebih mudah diterima daripada yang lainnya. Di lingkungan yang berbeda dengan satu kesepakatan yang berbeda akan diperlukan symbols yang berbeda.
14
Representasi indexical bersifat tidak langsung. Mereka menunjuk pada atau merupakan tanda-tanda fisik yang ditinggalkan objek (seperti asap untuk api, sidik jari, daun yang diwarnai, dll). are 'indirect'. They point to or are the physical mark left by the object (seperti asap untuk kebakaran, sebuah sidik jari, daun-daun berwarna). Indexical signs, merupakan bentuk yang paling menarik karena lompatan konseptual yang harus dilakukan pikiran untuk dapat menjadi lebih terlibat secara aktif dengan sign.
Tentu saja, cara kita mengelompokkan suatu representasi benar-benar tergantung pada fungsi atau konteks (yaitu tergantung pada Interpretant). Untuk penggunaan lebih jauhnya, semua representasi dan signs lebih disesuaikan dengan konteksnya.
Ketidak konsistenan ini merupakan perhatian utama dari komponen yang ketiga, yang mungkin juga merupakan komponen yang paling kompleks: Interpretant. Disini, pengguna/ konsumen, atau pasar, turut dipertimbangkan; dan fungsi sign benar-benar dijelaskan. Disini kondisi konteks dan nilai direalisasikan. Dalam proses desain, komponen Interpretant bertindak sebagai semacam filter dimana komponen sign yang lain diuji dan dikualifikasi, melalui proses dimana Representamen maupun Object terus menerus dijelaskan, dievaluasi ulang, dan diklarifikasi. Dalam tugas desain, sangatlah penting untuk benar-benar memahami apa yang terlibat didalam Interpretant, Object dan Representamen. Semakin rumit sebuah sign, maka tugas desain pun menjadi semakin berhubungan terutama dalam aspek meditasi.
15
Melalui komponen Interpretant dari sign, seseorang dapat melihat logistik representasi dan menegosiasikan sebuah solusi desain.
Dalam model Peirce's mengenai semiosis, gagasan Interpretant - atau, yang kita sebut sebagai konteks, atau kondisi, atau fungsi – memiliki nilai yang sangat penting. Disinilah perbedaan antara dua sekolah pemikiran yang disebutkan sebelumnya, yaitu semiotika Peirce versus semiologi Saussure.
Dalam versi De Saussure, perspektif linguistik semiologi memandang sign dari tingkat beku – kata didalam teks dimana ia ditempatkan, sign sebagaimana ditetapkan dan diungkapkan oleh urutan linear dari teks. Semiologi pada dasarnya merupakan sebuah perspektif didaktik (dua bagian) mengenai sign, yaitu 'signifier' dan 'signified' . Hal ini pada dasarnya merupakan perilaku reduktif, yang mungkin sesuai untuk sebuah sign linguistik namun menjadi bermasalah untuk sign visual. Sign visual pada umumnya tidak berada didalam konstruksi linear yang telah diberikan, dan maka itu memiliki kecenderungan bersifat mandiri dalam konteksnya. Elemen-elemen waktu dan tempat yang berubah-ubah dapat mempengaruhi – dan merombak – representasi. Menyadari hal ini, Peirce menambahkan Interpretant. Sejak para semiologis memandang linguistik sebagai sistem yang dominan untuk semua sign, kesulitannya menjadi semakin terbukti ketika perilaku reduktifnya diterapkan pada sign selain sign systems. Meski demikian, Peirce menampakkan semua sign systems yang setara nilainya - bukan
16
untuk mendominasi atau mensubjekkan yang lainnya. Bahkan ia melihat keseluruhan alam semesta seperti mengandung signs – atau terdiri dari signs.
Dengan pemikiran ini, dan sejak pekerjaan Peirce sejauh ini menjadi usaha yang paling spesifik dan teguh untuk memberikan sejumlah signs beserta maknanya, pekerjaan
Peirce
meminjamkan
dirinya
sendiri
sumber
terbaik
untuk
mengembangkan sebuah desain atau teori komunikasi visual mengenai semiotic.
Bahasa, sebagai sebuah sistem, mengkorelasikan signs dalam satu kelompok dan mengkoordinasikan aturan-aturan yang mengijinkan pemakaian yang berarti beserta penggunaan signs. Korelasi semacam ini dapat dipecah menjadi tiga jenis yang dalam bahasa kita dikenal: syntax, relasi formal/ struktural antara signs – kita dapat menyebutnya tata bentuk, atau cara segala sesuatunya dibentuk; semantik, relasi antara yang mewakili dan objek yang diwakili –cara segala sesuatu dikenali dalam proses interpretasi (maka itu mengacu pada sistem yang kita kenal sebagai sign); dan pragmatik, atau relasi fungsional dari signs didalam bahasa untuk para pengguna. Model semiotika sign memungkinkan kita meletakkan tiga komponen ini didalam perspektif yang logis: ketiganya sebenarnya tidak terpisah namun berdiri sendiri sambil saling mendukung didalam gaya yang hirarkis. Ketika kita menyadari relasinya yang benar kita mencapai apa yang kita sebut didalam desain sebagai 'appropriateness'. Level sintaktik adalah yang termudah untuk mengidentifikasi dan mengontrol, sedangkan level pragmatik adalah yang tersulit.
17
Mempelajari sebuah bahasa berarti menjadi mampu mengidentifikasi suatu logika sistematik
tertentu,
mendeskripsikan
beserta
strukturnya,
dan
menjadi
mampu
untuk
logika didalam bagian-bagian yang berhubungan secara
keseluruhan, bagian-bagian yang berhubungan dengan bagian-bagian lainnya, dan keseluruhan yang berhubungan dengan bagian-bagiannya. Hal ini hanya dapat dicapai melalui prinsip-prinsip mediasi signs. Bila kita sudah dapat membedakan relasi logis dari komponen-komponen sistem, barulah kita dapat memahami bahasanya.
Memahami prinsip-prinsip mediasi ini, sebagaimana digambarkan oleh semiotika, sangatlah penting bagi desainer. Bahasa-bahasa yang mengelilingi kita harus setidaknya didefinisikan dengan beberapa dasar logis yang mencerminkan suatu tujuan dalam beberapa relasi yang nyata.
Komponen semantik dalam bahasa menunjuk kepada sebuah aktivitas semiotik sistem. Disadari atau tidak, dan tanpa mempertimbangkan sifat tugas desainnya (lingkungan, produk, atau pesan; atau masalah teknis/ konseptual), sebagai desainer kita terus menerus terlibat dalam mediasi ini. Ini mencakup semua tingkatan dan fase desain: antara target dan nontarget; antar klien, objektif pasar, dan pasar sesungguhnya; antara bentuk dan lawan bentuknya; antar bentuk, fungsi, dan representasi. Perhatian terhadap detail berarti mempertimbangkan konsep ‘sign’ semiotik.
18
Yang diperlukan desainer untuk memahami adalah bahwa produk biasanya eksis dalam bentuk satu set kompleks yang terdiri dari signs. Hal ini mengacu pada alam semesta sistemik yang disebutkan sebelumnya, atau konsep bahasa. Kerumitannya menjadi jelas ketika sebuah desain visual dianalisa karena kita cenderung menemukan variasi elemen-elemen yang pada saat dipisahkan dan keluar dari konteks, tidak akan terlihat harmonis sama sekali; namun entah bagaimana akan terlihat harmonis ketika dibawa bersama dengan harmoni tertentu, seperti didalam bahasa corporate. Bentuk-bentuk verbal dan elemenelemen visual seperti ruang – relasi waktu, hanyalah beberapa contoh yang tersedia. Secara lebih luas, yang disebut sebagai bahasa dapat melibatkan jenisjenis representasi yang berbeda yang berkooperasi menuju objektif yang sama (contohnya: sebuah judul, teks yang lebih terperinci, sebuah gambar, dan sebuah simbol, - masing-masing mengacu pada objek yang sama namun dari perspektif yang berbeda – suatu pandangan 'parallax' yang memiliki lapisan-lapisan informasi.
Sebuah pencarian desain terhadap sudut pandang alternatif dapat dipertimbangkan dengan menerapkan operasi tiga sign Peirce: substitution - insertion - omission – sebagai sebuah jalan yang generatif. Tiga operasi ini dapat diaplikasikan ke semua tiga elemen sign, yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Level sintaktik adalah yang termudah, sedangkan level pragmatik menjadi jauh lebih sulit. Seleksi dari
19
hal-hal ini dapat dikombinasikan
untuk mengekspresikan informasi secara
optimal.
Menurut model ini, sangatlah jelas bahwa dapat ditemukan beberapa Representamen dalam korelasi dengan beberapa Interpretants, dengan masingmasing set mengacu pada Object yang sama. Hal ini menciptakan sebuah ‘SUPERsign’ dalam realita, sebagaimana pengaruh sebuah ‘kata’ terhadap sebuah ‘teks’, sebuah ‘sign’ terhadap sebuah ‘supersign’. Maka itu, sebuah supersign dimaksudkan dengan cara yang sama kita menyederhanakan kata ‘bahasa’, namun juga merupakan sebuah istilah yang lebih tepat daripada bahasa karena merefleksikan prinsip-prinsip semiotika terhadap mediasi dan relasi. Semiotika adalah alat yang menggabungkan untuk perkembangan supersign. Contohnya, sebagai sebuah ‘bahasa corporate’, yang mencakup konsistensi-konsistensi untuk elemen-elemen seperti identitas, produk grafis, kemasan, periklanan, dan bahkan perilaku corporate. Atau contoh lainnya, integrasi dari konsistensi-konsistensi untuk sebuah komputer, kemampuannya membatasi, nama perusahaan, kualitas fungsi mesin dan outputnya.
Segala sesuatu yang dicantumkan dalam prinsip 'supersign' menjadi sistem dan model untuk tugas desain kita. Masalah desain apapun dapat mengikuti prinsipprinsip
ini
sebagai
sebuah
metodologi
untuk
proses
desain
mediasi.
(Interpretant/Expression Matrix) Dalam proses mediasi ini, tiap-tiap komponen harmoni sign bertindak sebagai elemen penyaring melalui apa yang terus menerus
20
dimodifikasi oleh yang lainnya. Melalui sign atau disiplin semiotika, kita terikat untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tepat – dari klien dan dari kita sendiri – yang dapat mengacaukan. Semakin komplek masalahnya, semakin desainer memerlukan perspektif semiotik.
Pada akhirnya, dimana desainer bermediasi antara semua aspek aktivitas desain dan mengakhirinya dengan perkembangan Representamen, maka seharusnya dimengerti bahwa pengguna memulai proses identifikasi melalui pragmatik Representamen dan melibatkan proses pembalikan atau retrosemiosis – ‘akses’ yang disebutkan sebelumnya. Apa yang disaring oleh desainer melalui interpretant harus dimanifestasikan didalam desain supersign. Desainer mesti menyadari atau memperkirakan karakteristik asosiatif yang potensial dari signs didalam sistem, sebagaimana juga keseluruhan supersign – fungsi-fungsi istimewa Interpretant.
Semiotika, sebagai sebuah alat penggabungan, mempertahankan sebuah alat yang tepat untuk evaluasi dan analisa. Namun, semiotika juga memanifestasikan dirinya sendiri menjadi alat generatif dan sebuah bantuan yang signifikan didalam perkembangan
kreatif
strategi
desain.
Karena
semiotika
menstimulasi
penyelidikan dan membantu penemuan, deainer dapat bersikap individualis dan tetap pantas. Kontribusi desain menjadi semakin baik, dan berkurangnya stereotip. Di masa depan hal ini akan menjadi lebih lebih penting, karena bagaimanapun, ia akan berkembang untuk meletakkan solusi-solusi stereotip didalam komputer
21
2.3.3 Metodologi-metodologi Semiotika Sejauh semiosis sebagai proses biasa untuk semua bentuk hidup, semiosis dapat digunakan untuk mengembangkan metodologi-metodologi untuk mempelajari kompleksitas eksistensi (hidup, pengalaman, evolusi). Kita menyebut metodologimetodologi ini semiotika.
Metodologi-metodologi semiotika mengarah pada penemuan atau penciptaan relasi antara kejadian-kejadian, fenomena, dan proses-proses eksistensi. Metodologi-metodologi semiotika mengungkap integritas dan keseluruhan hidup pada skala-skala yang berbeda dari manifestasinya di alam semesta. Metodologimetodologi semiotika merupakan alat yang berguna dalam mempelajari sistemsistem
manusia
pada
level
individual
(intrapersonal)
maupun
social
(interpersonal). Keduanya membantu mengeksplorasi struktur-struktur fraktal dari sistem kehidupan yang kompleks (alami ataupun buatan) untuk mengungkap penarik didalam dinamikanya, untuk menemukan cara-cara untuk memulai properti-properti yang muncul yang mampu untuk meningkatkan vitalitas, yaitu kemampuan adaptasi, evolusi, dan pertumbuhan dari sistem-sistem ini.
2.4
Gambaran umum buku “Semiotika” Dalam Buku Ini penulis akan mem-visualkan “semiotika” itu sendiri, membuatnya dalam suatu bentuk essai visual dari semiotika dan penggunaan semiotika di dalam buku yang bertemakan semiotika, sebuah persuasif visual
22
dengan penggunaan pengeksplorasian bentuk esai visual yang juga sangat dekat dengan tema yang diangkat itu sendiri, yakni semiotika. Mempelajari fungsi dari simbol dan tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial yang merupakan salah satu bagian dari desain komunikasi visual. Mempelajari sebuah bidang dari sebuah studi yang melibatkan banyak pernyataan teori-teori dan banyak metodologi.
2.4.1 Sejarah Singkat Semiotika Sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari peran tanda/isyarat sebagai bagian dari kehidupan sosial. Itu dapat membentuk bagian dari sosial, dan kemudian bagian dari psikologi umum. Kita akan menyebutnya semiologi (dari bahasa Yunani semeion, tanda) Ilmu itu akan menyelidiki sifat dari tanda-tanda dan hukum-hukum yang melingkupinya. Karena ilmu itu belum eksis, seseorang tidak dapat secara yakin menyatakan bahwa itu akan eksis. Tapi ilmu itu berhak untuk eksis, mempunyai tempat yang siap untuknya terlebih dahulu. Linguistik hanyalah satu cabang dari ilmu pengetahuan yang umum ini. Hukum-hukum semiologi akan menemukan berupa hukum-hukum yang berlaku dalam linguistik, dan karenanya linguistik akan ditempatkan pada tempat yang benar-benar jelas dalam bidang pengetahuan manusia (Saussure 1983, 15-16; Saussure 1974, 16) Begitulah yang ditulis oleh ahli bahasa berkebangsaan Swiss Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang penggagas bukan hanya linguistik tapi juga apa yang sekarang biasanya lebih disebut sebagai semiotik (dalam
23
karyanya “Pengajaran dalam Linguistik Umum”,1916). Selain Saussure (sebagaimana disingkat), sosok-sosok kunci dalam perkembangan awal dari semiotik adalah seorang filsuf berkebangsaan Amerika, Charles Sanders Peirce (kira-kira diucapkan “purse”) (1839-1914) dan kemudain Charles William Morris (1901-1979) yang mengembangkan semiotik behaviorist. Ahli-ahli teori semiotik modern terkemuka termasuk Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (19221993), Christian Metz (1931-1993), Umbero Eco (lahir 1932) dan Julia Kristeva (lahir 1941). Sejumlah ahli bahasa selain Saussure telah bekerja dalam kerangka kerja semiotik sperti Louis Hjelmslev (1899-1966) dan Roman Jakobson (1896-1982) sulit unutk melepaskan semiotik Eropa dari strukturalisme dalam bentuk asalnya; sebagian besar ahli strukturalisme termasuk bukan saja Saussure tapi juga Claude Levi-Strauss (lahir 1908) dalam antropologi (yg melihat bidangnya sebagai bagian dari semiotik) dan Jacques Lacan
(1901-1981) dalam psikoanalisis. Strukturalisme
adalah sebuah metode analitikal yang sudah digunakan oleh banyak ahli semiotik dan yang berdasar pada model linguisik Saussure. Ahli-ahli strukturalisme mencari untuk menerangkan keseluruhan organisasi dari sistem tanda seperti “bahasa” – sebagaimana dilakukan oleh Levi-Straus tentang mitos, aturan kekerabatan dan toteisme, Lacan tentang yang tidak sadar, dan Barthez dan Greimas tentang “tata bahasa” dari naratif. Mereka menyatu dalam sebuah pencarian bagi “struktur dalam” yang mendasari fenomena fitur-fitur permukaan”. Namun semiotik sooial kontemporer
24
telah bergerak melampaui perhatian ahli strukturalisme dengan hubungan internal dan dari bagian-bagian di dalam sebuah sistem yang terpenuhi sendiri, yang mencari untuk mengeksplor penggunann tanda-tanda/isyarat dalam situasi-situasi sosial spesifik. Teori semiotik modern kaang-kadang digabungkan dengan pendekatan Marxist yang menekankan pada peranan ideologi. Semiotik mulai menjadi pendekatan utama terhadap ilmu-ilmu kultural di akhir
1960-an,sebagian
merupakan
hasil
ekrja
Roland
Barthes.
Penerjemahan ke dalam bahasa Inggris atas essai-essainya yang terkenal dalam sebuah koleksi berjudul “Mythologies” (Barthes 1957), diikuti oleh banyak dari tulisan-tulisannya yang lain pada tahun 1970-an dan 1980-an, menyatakan bahwa semiologi bertujuan menyerap sistem apa saja tentang tanda/isyarat. Apapun sunstansi dan keterbatasannya; citra, gerak, bunyi, musikal, obyek-obyek dan penyatuan kompleks dari semua itu yang dapat membentuk isi ritual, aturan atau hiburan publik ini semua menciptakan, bila bukan bahasa, setidaknya “sistem penandaan” (Barthes 1967, 9). Pengadopsian semiotik di Inggris dipengaruhi oleh keutamaannya dalam karya Pusat Ilmu-ilmu Kebudayaan Kontempore (PIKK/CCCS) pada Universitas Birmingham ketika lembaga itu berada di bawah pimpinan Stuart hall (direktur 1969-1979) seorang ahli sosiologi neo Marxist. Walaupun sekarang semiotik mungkin kurang berperan dalam ilmu-ilmu kebudayaan dan media (setidaknya dalam masa-masa awalnya, lebih pada bentuk structuralis), ilmu itu tetap berguna dalam menyibak tabir dari
25
aspek apa saja yang menajdi perhatian mereka. Cata bahwa istilah Saussure, “Semiologi kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada tradisi Saussurean, sementara semiotik kadang-kadang merujuk pada tradisi Peircean, tapi bahwa sekarang ini istilah semiotik lebih cenderung digunakan sebagai sebuah istilah payung untuk merangkul semua bidang (Nöth 1990, 14). Semiotik tidak di institusikan secara luas sebagai sebuah disiplin akademis. Ia adalah sebuah bidang ilmu yang melibatkan banyak bangunan teoritis dan alat-alat metodologis yang berbeda. Salah satu definisi terluas disampaikan oleh Umberto Eco yang menyatakan bahwa “semiotik berhubungan dengan segala sesuatu yang dapat dianggap ebagai tanda/isyarat.” (Eco, 196, 7). Semiotik melibatkan ilmu yang bukan saja apa yang kita anggap sebagai isyarat/tanda dalam perkataan sehari-hari tapi juga apa saja “yang mewakili” sesuatu yang lain. Dalam sebuah arti semiotik isyarat/tanda mengambil bentuk kata, citra, bunyi, gerak isyarat dan benda. Semsntara bagi sang ahli bahasa Sausure, semiologi “pernah” merupakan
sebuah
ilmu
pengetahuan
yang
mempelajari
peran
tanda/isyarat sebagai bagian dari kehidupan sosial, dan bagi sang filsuf Charles Peirce
“semiotic” pernah menjadi “doktrin formal dari
tanda/isyarat” yang sangat erat hubungannya dengan logika (Peirce 193158, 2227). Bagi dia, “sebuah tanda/isyarat adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu dalam suatu bentuk atau kapasitas” (Peirce 1931-58, 2228). Dia menyatakan bahwa “setiap pikiran adalh sebuah
26
tanda/isyarat” (Peirce 1931-58, 21.538; cf. 5.250ff, 5.283ff). ahli-ahli semiotik
kontemporer
terpisah
dari,
tapi
mempelajari sebagai
tanda-tanda/isyarat-isyarat
bagian
dari
semiotik
bukan
“sistem-sistem
tanda/isyarat (misalnya medium atau genre). Mereka mempelajari bagian arti dibuat: Sebagaimana yang ditunjukkan, yang berhubungan bukan hanya dengan komunikasi tapi juga dengan konstruksi dan pemeliharaan realitas. Semiotik dan cabang dari linguistik yang dikenal sebagai semantik
mempunyai
sebuah
persamaan
perhatian
terhadap
arti
tanda/isyarat, tapi John Sturrock berpendapat bahwa sementara semantik fokus pada apa arti dari kata, semiotik menaruh perhatian pada bagaimana tanda/isyarat berarti (Sturrock 1968, 22). Bagi CW Morris (menjabarkan klasifikasi tiga lapis ini adri Peirce), semiotik merangkul semantik, bersama cabang-cabang tradisional dari linguistik:
·Semantik: hubungan tanda-tanda dengan apa yang diwakilinya. ·Sintatik (sintaksis): hubungan formal atau struktural dimana tanda/isyarat ·Pragmatik: hubungan tanda/isyarat dengan interpreternya (Morris 1938, 6-7) Semiotik sering digunakan dalam teks analisis (walaupun dia jauh lebih dari sekedar mode analisis tekstual). Dalam hal ini mungkin sebaiknya dianggap bahwa teks dapat eksis dalam medium apa saja dan dapat
27
menjadi verbal, non-verbal, atau keduanya walaupun ada bias logosentrik dari perbedaan ini. Istilah teks biasanya merujuk pada pesan yang telah direkam dalam suatu cara (contoh:penulisan, rekaman audio dan video) sehingga ia terpisah secara fisik dari pengirimnya atau penerimanya. Sebuah teks adalah pembentukan tanda/isyarat (seperti kata, citra, bunyi dan/atau gerak isyarat) yang tersusun (dan terinterpretasi)sesuai dengan aturan yang berhubungan dengan sebuah genre dan dalam sebuah medium tertentu dari komunikasi. Istilah “medium” digunakan dalam berbagai cara oleh teoritikus-teoritikus yang berbeda;dan dapat termasuk dalam kategori-kategori luas seperti bicara dan menulis atau cetakan dan penyiaran atau berhubungan dengan bentuk teknikal khusus di dalam media massa (radio, televisi, koran, majalah,
buku,
foto,
film
dan
rekaman)
atau
media
komunikasi
interpersonal (telepon, surat, fax, e-mail, konferensi video, sistem percakapan berbasis komputer). Beberapa teoritikus mengklasifikasikan media seturut dengan “kanal-kanal” yang terlibat (Noth 1995, 175). Setiap medium dibatasi oleh kanal-kanal yang ia gunakan. Contoh, bahkan pada medium bahasa yang sangat fleksibel “kata-kata mengecewakan kita” dalam mencoba untuk mewakili beberapa pengalaman, dan kita sama sekali tidak punya cara untuk mewakili bau atau sentuhan dengan memakai
media
konvensional,.
Media
dan
genre
yang
berbeda
memberikan kerangka kerja yang berbeda untuk mewakili pengalaman, memfasilitasi bentuk ekspresi dan menjauhi yang lain. Perbedaan di antara
28
media menuntuk Emile Benveniste pada pendapat bahwa “prinsip pertama” sistem-sistem semiotik adalah bahwa mereka “tidak sama”: kita tidak dapat mengatakan “hal yang sama” dalam sistem-sistem yang berdasar pada unit-unit yang berbeda (dalam Innis 1986, 235) berbeda dengan Hjelmslev yang menyatakan bahwa secara praktek, bahasa adalah sebuah semiotik kemana semua semiotik yang lain dapat diterjemahkan (dikutip dari Genosko 1994, 62) Penggunan medium sehari-hari oleh seseorang yang memahaminya biasa berjalan tanpa meragukan sebagaimana tanpa masalah dan “netral”: suatu hal yang hampir tanpa kejutan karena media berevolusi sebagai alat pencapaian tujuan dimana media biasanya dimaksudkan sebagai hal insidental. Semakin sering dan lancar sebuah medium digunakan medium cenderung semakin “transparan” atau “tidak kasat mata” bagi pemakainya. Bagi sebagian besar tujuan rutin, kesadaran akan adanya medium dapat menghambat efektifitasnya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir. Tentu saja hal ini biasa pada saat medium memperoleh transparansi maka potensinya untuk memenuhi fungsi utamanya menjadi sangat besar. Kepemilikan atas medium apa saja mengarah pada penggunaannya yang mendapat pengaruh yang mana mungkin tidak disadari penggunanya dan mungkin tidak pernah menjadi bagian dari tujuan dalam penggunaanya. Begitu kenalnya kita pada medium itu sehingga kita ”terbius” pada mediasi yang dilibatkannya. Akibatnya, kita tidak tahu apa kerugian kita.
29
Sampai sedemikian jauh manakala kita dilumpuhkan oleh proses-proses yang ada kita tidak bisa bilang bahwa kita melakukan ”pilihan” dalam penggunaannya.
Dalam
hal
ini
cara
yang
kita
tempuh
dapat
memodifikasitujuan akhir kita. Alasan menggunakan medium untuk memperoleh tujuan akhir adalah salah satu denomena yang diperkuat atau diperlemah oleh kepemilihan media. Dalam beberapa kasus, ”tujuan” kita dapat didefinisi ulang secara halus (dan mungkin tak terlihat) oleh penggunaan kita atas sebuah medium tertentu. Hal ini berlawanan dengan pendirian prakmatis dan rasionalistis, yang menurutnya cara ditentukan untuk menyesuaikan tujuan akhir pengguna, dan secara penuh berada di bawah pengaruh pengguna. Kesadaran akan fenomena transformasi oleh media ini sudah sering menuntun teoritikus media untuk teguh berpendapat bahwa cara dan sistem teknis kita selalu dan tak terhindarkan menjadi “tujuan akhir di dalam mereka” (sebuah interpretasi aforisme yang umum yang terkenal dilakukan oleh Marshall McLuhan, “medium adalah pesan”), dan bahkan sudah menuntun beberapa dari mereka untuk menyatakan media sebagai entitas-entitas
yang
mandiri
secara
utuh
dengan
“tujuan-tujuan”
(berlawanan dengan fungsi-fungsi) mereka sendiri. Namun Seseorang tidak perlu mengadopsi pendirian ekstrim seperti ini dalam memaklumi transformasi-transformasi yang terlibat dalam prosesproses mediasi,. Ketika kita menggunakan sebuah medium utk tujuan apa
30
saja, penggunaannya menjadi bagian dari tujuan itu. Perjalanan adalah bagian tak terhindarkan dari tiba pada suatu tempat; itu bahkan dapat menjaditujuan utama. Melakukan perjalanan memakai salah satu metode transportasi ketimbang yang lain adalah bagian dari pengalaman. Begitu juga dengan memilih penulisan ketimbang berbicara, atau menggunakan sebuah prosesor kata ketimbang sebuah pena. Dalam menggunakan medium apa saja, sampai paa satu titik kita melayani tujuannya sebagaimana medium itu melayani tujuan kita. Ketika kita berhubungan dengan media kita bertindak maupun mendapat tindakan, menggunakan dan digunakan. Manakala sebuah medium mempunyai beragam fungsi, mustahil untuk menggunakannya hanya untuk satu dari fungsi-fungsi ini secara terpisah. Pemaknaan dengan media seperti itu harus melibatkan kompromi beberapa tingkat. Kecocokan penuh antara tujuan spesifik apapun dengan fungsionalitas sebuah medium cenderung jarang terjadi walaupun tingkat kecocokan pada banyak peristiwa dapat diterima sebagai hal yang pantas. Saya teringat pada observasi yang dilakukan oleh sang ahli antropologi Claude Levi-Strauss bahwa pada kasus yang dia sebut bricolage (proses pembuatan atau penyusunan sesuatu dari beragam material yang ada), proses penciptaan sesuatu bukanlah mengenai pilihan yang sudah diperhitungkan dan material apapun yang secara teknis dapat paling bisa disesuaikan dengantujuan yang direncanakan denganjelas, tapi lebih kepada keterlibatan sebuah ”perundingan dengan material dan cara
31
pelaksanaan” (Levi-Strauss 1974, 29). Dalam perundingan seperti ini, material yang ada dapat sebagaimana kita sebut ”mengsugestikan” rangkaian aksi yang adaptif, dan sasaran awal dapat dimodifikasi. Akibatnya,
tindakan-tindakan
penciptaan
seperti
itu
tidak
murni
instrumental: bricoluer ”bicara” bukan hanya dengan benda-benda tapi juga
melalui
medium
benda-benda
(Levi-Strauss
1974,
21)
jadi
penggunaan medium itu dapat menjadi ekspresif. Konteks dari pendapat Levi-Strauss adalah sebuah diskusi dari ”pikiran mitikal:, tapi menurut saya bricolage dapat dilibatkan dalamnpenggunaan medium apa saja untuk tujuan apa saja. Tindakan menulis, contohnya, dapat dibentuk tidak hanya oleh tujuan-tujuan penulis yang disadari tapi juga oleh fitur-fitur media yang terlibat - seperti misal jenis bahasa dan alat tulis yang digunakan juga oleh proses mediasi sosial dan psikologis yang terlibat. ”hambatan” apapun yang diberikan oleh bahan-bahan si penulis dapat menjadi bagian intrinsik dari proses menulis.. Namun, tidak semua penulis bertindak atau berperasaan seperti sebuah bricoleur. Individu-individu secara menyolok berbeda dalam responnya terhadap ide transformasi media. Perbedaan terlihat mulai dari mereka yang memaksa adanya kontrol total mereka terhadap media yang mereka gunakan sampai pada mereka yang mengalami
perasaan
yang
luar
biasa
”menggunakan” mereka (Chandler 1995).
32
diubah
oleh
media
yang
Norman Fairclough berkomentar atas pentingnya perbedaan diantara beragam media di dalam kanal-kanal dan teknologi-teknologi yang mereka andalkan. Pers menggunakan kanal visual, bahasanya tertulis, dan mengendalikan teknologi reproduksi fotografi, desain grafis dan percetakan. Sebaliknya radio menggunakan kanal oral dan bahasa lisan dan mengandalkan teknologi-teknologi perekaman suara dan penyiaran. Sementara televisi mengkombinasikan teknologi-teknologi perekaman suara dan citra, dan penyiaran. Perbedaan-perbedaan dalam kanal dan teknologi ini mempunyai implikasiimplikasi lebih luas yang jelas dalam artian potensi dimaksud pada media berbeda. Contoh, cetakan kurang bersifat pribadi dibanding radio and televisi dalam artian penting. Radio mengawali dengan memberi tempat pada individualitas dan personalitas untuk diperjelas melalui pengiriman kualitas individual suara. Televisi membawa proses ini lebih jauh lagi dengan membuat orang-orang tampil secara visual, dan tidak didalam foto-foto tak bergerak didalam koran, tetapi dalam aksi dan pergerakan. (Fairclough 1995, 38-9) Ketika kebutuhan akan tehnologi berkembang, ekologi-ekologi semiotik dipengaruhi oleh fitur-fitur disain yang mendasar dari media-media yang berbeda, penting bagi kita untuk mengenali arti pentingnya dari budaya sosial and faktor-faktor sejarah dalam pembentukan bagaimana media-
33
media yang berbeda digunakan dan status kekal mereka didalam kontekskonteks utama budaya. Contohnya banyak teori-teori budaya yang ada pada saat itu menandai pada perkembangan dari arti pentingnya media visual
dibandingkan
dengan
media
linguistic
didalam
kehidupan
masyarakat pada saat itu dan bantuan gabungan didalam fungsi-fungsi komunikasi seperti media. Berpikir dengan batas ekologi tentang interaksi dari struktur-struktur semiotik yang berbeda dan bahasa-bahasa membawa ahli
semiotik
budaya
asal
Rusia
Yuri
Lotman
mengubah
batas
‘semiosphere’ menjadi ‘the whole semiotic space of the culture in question (Lotman 1990, 124-125). Konsepnya berkaitan dengan referensireferensi ahli-ahli ekologi tentang ‘biosphere’ dan munkin mengacu pada referensi-referensi ahli-ahli budaya tentang ‘public and private spheres, tapi kebanyakan mengingatkan pada faham Teilhard de Chardin (dating back to 1949) tentang ‘noosphere’ – tempat dilatihnya pikiran. Ketika Yuri Lotman mengarah pada beberapa semiosphere sebagai pengatur fingsi
bahasa-bahasa
didalam
berbagai
kebudayaan,
John
Hartly
mengomentari bahwa ‘ada lebih dari satu tingkat di yang mana yang bisa mengindentifikasi semiosphere – dalam tingkatan a single national atau linguistic culture, contohnya, atau sebuah kesatuan yang lebih luas seperti “the West”, langsung ke “the species”’; kita bisa juga mengkarakterkan semiosphere dalam periode sejarah tertentu (Hartley 1996, 106). Konsep sebuah semiosphere ini bisa membuat pengikut faham semiotic terlihat mendominasi, mempertahankan kritik-kritik mereka, tapi ini menawarkan
34
visi-visi yang lebih menyatu dan dinamis dari semiosis dari pada pelajaran sebuah media spesifikasi yang masing-masing telah ada didalam sebuah kekosongan. Tentu saja ada beberapa pendekatan lain untuk textual analysis terpisah dari semiotik-semiotik – tercatat rhetorical analysis, discourse analysis dan ‘content analysis’. Di dalam bidang media dan pelajaran komunikasi berisi analisa adalah sebuah lawan utama dari semiotik-semiotik sebagai metode dari textual analisis. Dimana semiotik saat ini berhubungan dekat dengan pelajaran-pelajaran budaya, kepuasan analisa berdiri dengan baik didalam tradisi yang berperan penting dalam penelitian ilmu pengetahuan sosial. Ketika kepuasan analisa menimbulkan pendekatan yang berkualitas kepada pembuktian analisa ‘content’ dari media teks, semiotk-semiotik mencoba untuk menganalisa media teks kesatuan yang tersusun
dan
menyelidiki yang tersembunyi, arti-arti konotasi. Semiotik-semiotik jarang sekali berkualitas, sering kali meninbulkan sebuah penolakan dari beberapa pendekatan-pendekatan. Pendekatan kuantitatif terhadap analisi dan manifestasi “isi” teks-teks media, semiotik meneliti teks-teks media sebagaikeseluruhan yang terstruktur dan menyelidiki arti-arti laten, konotatif. Semiotik jarang bersifat kuantitatif, dan sering melibatkan sebuah penolakan terhadap pendekatan-pendekatan seperti itu. Hanya karena satu hal sering muncul dalam sebuah teks bukan berarti hal itu penting. Seorang ahli semiotik
35
struktural lebih memperhatikan hubungan antar elemen. Seorang ahli semiotik sosial juga akan menekankan pada pentingnya suatu keutamaan yang para pembaca rekatkan pada tanda-tanda/isyarat-isyarat di dalam sebuah teks. Sementara analisis isi berfokus pada isi eksplisit dan cenderung mengemukakan bahwa hal ini adalah sebuah arti tunggal dan baku, pengetahuan semiotik berfokus pada sistem dari aturan yang mengatur “diskursus yang terlibat dalam teks-teks media, dan yang menekankan pada peran konteks semiotik dengan analisis isi (seperti misalnya Grup media Universitas Glasgow 1980; Leiss et al 1990; McQuarrie & Mick 1992). Beberapa komentator mengadopsi definisi semiotik dari CW. Morris (dalam semangat Saussure) sebagai ‘ilmu tentang tanda-tanda/isyaratisyarat’ (Morris 1938, 1-2). Istilah ‘ilmu’ menyesatkan. Karena semiotik tidak melibatkan asumsi-asumsi teoritis, model-model atau metodologimetodologi yang disepakati secara luas. Semiotik teloah cenderung menjadi sebagian besar teoritis, banyak ahli-ahli teorinya mencari untuk menetapkan cakupan dan prinsip-prinsip umunya. Peirce dan Saussure, sebagai contoh, memperhatikan definisi mendasar dari tanda/isyarat. Peirce
membangun
taksonomi
logis
yang
jelas
dari
jenis-jenis
tanda/isyarat. Ahli-ahli semiotik sesudah mereka telah mencari untuk mengenali dan mengelompokkan kode-kode atau aturan-aturan yang mengorganisasikan tanda-tanda/isyarat-isyarat. Jelas ada kebutuhan untuk menetapkan fondasi teoritis yang sedang berlomba. Untuk metodologi,
36
teori-teori
Saussure
menetapkan
sebuah
awal
bagi
perkembangan
metodologi-metodologi strukturalis untuk menganalisis teks dan praktekpraktek sosial. Hal-hal ini telah digunakan secara luas sekali dalam menganalisis fenomena kultural yang sangat banyak. Namun, metodemetode seperti ini tidak diterima secara universal: ahli-ahli teori yang berorientasi sosial telah mengkritik fokus eksklusif mereka terhadap struktur, dan belum ada metodologi-metodologi alternatif yang sudah diadopsi secara luas. Beberapa riset semiotik berorientasi secara empiris, yang menerapkan dan menguji prinsip-prinsip semiotik. Bob Hodge dan David Tripp menggunakan metode-metode empiris dalam studi mereka yang klasik tentang Anak-anak and Televisi (Children and Television) (Hodge & Tripp 1986). Tapi sekarang ini ada sedikit pandangan tentang semiotik
sebagai
sebuah
bangunan
usaha
yang
seragam terhadap
penemuan-penemuan riset kumulatif. Semiotik mewakili beragam studi dalam seni, kesusastraan, antropologi dan media massa ketimbang sebuah disiplin akademis yang independen. Mereka yang terlibat dalam semiotik termasuk ahli-ahli bahasa, filsuf, psikolog, ahli-ahli sosial, antropolog, teoritikus-teoritikus sastra, estetika dan media, psikoanalis dan ahli-ahli pendidikan. Lebih dari sebagian ebsar definisi dasar, ada variasi yang begitu banyak diantara para ahli semiotik mengenai apa yang semiotik libatkan. Bukan hanya memperhatikan komunikasi (intensional) tapi juga askripsi kita tentang keutamaan terhadap segala sesuatu di dunia. Semiotik telah berubah sepanjang waktu
37
karena ahli-ahli semiotik telah mencari untuk memperbaiki kelemahankelemahan dalam pendekatan semiotik. Bahkan dengan istilah-istilah semiotik yang paling mendasarpun ada banyak definisi. Akibatnya, siapapun yang mencoba analisis semiosis sebaiknya bijaksana untuk memberikan penjelasan definisi apa yang diterapkan, dan memberi tahu sumbernya bila ada pendekatan dari ahli semiotik tertentu yang diadopsi. Ada dua tradisi yang berbeda dalam semiotik yang beraras secara berurut dari Saussure dan Peirce. Karya Louis Hjelmslev, Roland Barthes, Claude Levi-Strauss, Julia Kristeva, Christian Metz dan Jean Baudrillard (lahir 1929) mengikuti tradisi’semiologis’ Saussure, sementara karya dari Charles W Morris, Ivor A Richards (1892-1979), Charles K Ogden (18891957) dan Thomas Sebeok (lahir 1920) mengikuti tradisi ‘semiotik’ Peirce. Ahli semiotik terkemuka yang menjembatani kedua tradisi ini adalah sang pengarang terkenal berkebangsaan Italia, Umberto Eco, seorang pengarang daril cerita terlaris The Name of the Rose (novel 1980, film 1986), yang mungkin satu-satunya ahli semiotik yang hak filmnya punya nilai (Eco, 1980) Saussure berpendapat bahwa ‘tidak ada yang lebih tepat dibanding studi tentang bahasa dalam menerangkan sifat dari problem semiologis’ (Saussure 1983, 16; Saussure 1974, 16). Semiotik melakukan pendekatan penuh pada konsep-konsep linguistik, sebagian karena pengaruh dari Saussure dan karena linguistik adalah sebuah ilmu yang lebih mapan dibanding
ilmu-ilmu
lain
tentang
38
sistem
tanda/isyarat.
Ahli-ahli
strukturalis mengadopsi bahasa sebagai model mereka dalam menjelajahi fenomena sosial yang lebih luas: Levi-Strauss untuk mitos, aturan kekerabatan, dan totemisme; Lacan untuk yang tidak sadar; Barthes dan Greimas untuk ‘tata bahasa’ dari naratif. Julia Kristeva menyatakan bahwa ‘apa yang semiotik sudah temukan…..adalah bahwa hukum yang mengatur atau, bila orang menginginkan, hambatan utama yang mempengaruhi praktek sosial apapun terletak pada fakta bahwa ia menandai; misalnya bahwa ia diartikulasikan seperti sebuah bahasa’ (dikutip dalam Hawkes 1977, 125). Saussure menganggap bahasa (modelnya adalah perkataan) sebagai ‘yang paling penting’ dari semua sistem tanda/isyarat (Saussure 1983, 15; Saussure 1974, 16). Bahasa hampir seragam sangat dianggap sebagai sistem komunikasi yang paling bertenaga. Sebagai contoh, Marvin Harris mengamati bahwa ‘bahasa-bahasa manusia unik diantara sistemsistem komunikasi yang memiliki universalitas semantik….. Sebuah sistem
komunikasi
yang
mempunyai
universalitas
semantik
dapat
membawa informasi tentang semua aspek, domain, properti, tempat, atau kejadian-kejadian dimasa lampau, sekarang atau masa depan, apakah aktual atau mungkin, nyata atau imajiner’ (dikutip dalam Wilden 1987, 138). Mungkin bahasa adalah sesungguhnya mendasar: Emile Benveniste mengamati bahwa ‘bahasa adalah sistem penginterpretasian dari semua sistem lainnya, linguistik ataupun bukan linguistik’ (dalam Innis 1986, 239), sementara Claude Levi-Strauss mencatat bahwa ‘bahasa adalah
39
sistem semiotik yang sangat hebat; ia hanya dapat menandai, dan eksis hanya melalui penandaan’ (Levi-Strauss 1972, 48). Saussure melihat linguistik sebagai sebuah cabang dari ‘semiologi’: Linguistik hanya satu cabang dari ilmu pengetahuan umum (semiologi) ini. Hukum-hukum yang semiologi akan temukan akan menjadi hukumhukum yang dapat diterapkan dalam linguistik….. Sejauh yang kita ketahui…… problem linguistik adalah semiologis yang pertama dan yang utama… Bila orang ingin menemukan sifat alami dari sistem-sistem bahasa, ia harus pertama-tama mempertimbangkan apa persamaan mereka dengan sistem-sistem yang lain dari jenis yang sama…. Dengan cara ini, titik terang dapat di temui bukan hanya dalam problem linguistik. Dengan mempertimbangkan ritus, adat-istiadat dan lain-lain sebagai tandatanda/isyarat-isyarat, akan mungkin, kita yakin, untuk dapat melihat sistem-sistem itu dalam sebuah perspektif yang baru. Kebutuhan akan dapat dirasakan untuk mempertimbangkan mereka sebagai fenomena semiologis
dan
menerangkan
mereka
dalam
istilah-istilah
hukum
semiologi.
2.4.2.Cabang-Cabang Semiotika Cabang-cabang semiotika sangat banyak ini dikarenakan semiotika dapat mewakili beragam studi dalam seni, kesusastraan, antropologi dan media massa ketimbang sebuah disiplin akademis yang independen. Mereka yang
40
terlibat dalam semiotik termasuk ahli-ahli bahasa, filsuf, psikolog, ahliahli sosial, antropolog, teoritikus-teoritikus sastra, estetika dan media, psikoanalis dan ahli-ahli pendidikan. Lebih dari sebagian besar definisi dasar, ada variasi yang begitu banyak diantara para ahli semiotik mengenai apa yang semiotik libatkan. Bukan hanya memperhatikan komunikasi (intensional) tapi juga askripsi kita tentang keutamaan terhadap segala sesuatu di dunia. Beberapa orang menaruh semiotika dan diimplementasikan ke dalam beberapa bidang namun hal ini hanya mewakili sebagian dalam ilmu pengetahuan semiotika ini; Seperti dalam: •
Cultural Semiotics
•
Visual Media
•
Komunikasi Massa
•
Media Berita
•
Advertising
•
Cinema Semiotics
•
Semiotika pada Televisi
•
Computer Semiotics
Namun hal ini tidak menutup bahwa masih banyak bidang dalam menerapkan semiotika.
2.5
Data Gambaran Pembuatan Buku 2.5.1 Isi buku
41
Menurut struktur penulisan buku semiotika oleh Göran Sonesson,Daniel Chandler, Dan J. L. Lemke: •
Pengenalan Semiotika : Penjelasan mengenai semiotika itu sendiri
•
Sign: >Mengenai tanda, fraktal, dan dinamika
•
Semantik, Sintaktik, Dan Pragmatik Penjelasan mengenai bagian dari semiotika itu sendiri
•
Sensasi, Paradigma dan sintaktik: Pengalaman yang disadari atau perasaan bahwa nampaknya mengkomunikasikan kesadaran dunia eksternal. Para penganut empiris biasanya menganggap bahwa sensasi
merupakan
dasar
untuk
pengetahuan
posteriori
kita
mengenai dunia •
Denotasi Dan Konotasi
•
Kekuatan Analisis Semiotik: Penjelasan mengenai pencapaian analisis semiotika, Kode <> de-kode <> kode, Logika abduktif, Manipulasi & doktrinasi
•
Hyper Semiotika: Pemahaman-pemahaman baru mengenai semiotika, Hyper semiotika, Semiotika kompleks
2.5.2 Tokoh-tokoh yang diambil pembahasannya menngenai semiotika Ferdinand de Saussure. Charles S Peirce. John Fiske. Claude Lévi-Strauss. Paul Bouissac. Daniel Chandler. Göran sanisson. Roland Barthes. Jean Baudrillard. 42
Umberto Eco. PaulCobley. Litza Jansz. Rosalind Coward. John Ellis. Marcel Danesi. John Deely. Pierre Guiraud. Hodge Gunther Kress.Jørgen Dines Johansen. Svend Erik Larsen. Winfried Nöth. David Sless. Jonathan Culler. Roy Harris. David Holdcroft. Paul J Thibault. Marshall Blonsky. Algirdas Greimas. Gary Genosko. Robert E Innis. Charles W Morris. Thomas A Sebeok. Jacques Derrida. Michel Foucault. Gary Genosko. David M Halperin. Fredric Jameson. Jacques Lacan. Michael Lane. Christopher Norris.Rajnath. John Sturrock. Marcel Danesi. Edmund Leach. Yuri Lotman.Tim O'Sullivan. John Hartley .Danny Saunders. Martin Montgomery. Jack Solomon. Dominic Strinati. Tony Thwaites. Lloyd Davies. Warwick Mules. Graeme Turner.Jean-Marie Floch. Ernst H Gombrich. Nelson Goodman. Gunther Kress. Theo van Leeuwen. Paul Messaris. John Tagg. Jonathan Bignell. Olivier Burgelin.Marcel Danesi. Stuart Hall. Klaus Bruhn Jensen. Winfried Nöth. Andrew Tolson. Howard Davis. Paul Walton. John Hartley. Guy Cook. Howard Davis. Paul Walton. Gillian Dyer. Varda Langholz Leymore. William Leiss. Stephen Kline. Sut Jhally. Trevor Millum. Kathy Myers. Barbara B Stern. Jean Umiker-Sebeok. Judith Williamson. Peter Bogh Andersen
2.6
Target Sasaran •
Demografi Sex
: Laki-laki dan perempuan.
Usia
: 21- 35 tahun.
Pendidikan
: Lulus kuliah/sedang kuliah bidang Desain Komunikasi
Visual/Hal-hal yang berkaitan dengan seni dan desain, Komunikasi, Kultural.
43
Kelas Sosial
•
: b,b+,A Keatas.
Geografi Tempat tinggal : kota-kota besar (ibu kota propinsi).
•
Psikografi Terbuka, imajinatif, menyukai hal-hal yang bersifat pengetahuan atau kultur, jenis humor satire, high couriousity, berani tampil, memiliki jiwa eksperimental (di dalam benaknya selalu timbul pertanyaan “bagaimana jika…”). Suka ke rumah budaya, museum, perpustakaan, namun suka hangout ke café dan coffeshop. Menyukai musik-musik experimental, dan elektronik pada umumnya namun tidak menutup diri dengan musik lainnya. Menyenangi hal-hal yang baru, selalu ingin mencoba sesuatu. Membeli barang di mall ataupun butik-butik. Sering membeli sesuatu yang berjenis collectible item. Kadang suka keramaian namun selalu ada moment untuk pribadi. Jam tidur tidak teratur. Menghabiskan minimal 10% dari waktu pada tiap harinya di depan monitor computer / laptop. Sering online dan browsing internet. Biasanya ikut dalam suatu komunitas tertentu seperti komunitas film, komunitas desain, komunitas musik,dll.
2.7
Kompetitor 2.7.1 Kompetitor langsung Buku-buku mengenai desain atau semiotika produksi lokal.
44
2.7.2 Kompetitor tak langsung Buku-buku mengenai desain atau semiotika produksi internasional. Buku-buku desain komunikasi visual yang membahas teknis seperti pengoprasian program computer dll.
2.8
Positioning Buku dalam bentuk esai visual bertemakan semiotika dengan hubungannya dengan desain komunaikasi visual.
2.9
Analisa SWOT 2.9.1 Strength (kekuatan) Buku ini sangat specific dan content-nya sangat jarang ditemukan di Indonesia sehingga buku ini menjadi suatu wacana yang baru di Indonesia dan dunia desain komunikasi visual. Peminat buku ini adalah orang-orang yang khusus dan mereka akan menyambut dengan baik dan mengkoleksi buku ini. Kehadiran bentuk buku yang menampilkan visual esai yang masih jarang sehingga kehadirannya akan menyegarkan para peminat.
2.9.2 Weakness (kendala) •
Buku ini cenderung kepada target sasaran remaja – dewasa yang khusus sehingga target lebih sempit.
•
Peminat membaca buku mengenai hal ini di Indonesia sangat sedikit.
45
•
Masih jarang peminat yang mengetahui hal mengenai semiotika itu sendiri.
2.9.3 Opportunities (peluang) Dengan tema yang baru, segar dan menambah pengetahuan baru diharapkan menjadi daya tarik pembaca buku. Serta desain buku yang unik, kuat, dan berkarakter menjadi salah satu nilai jual terpenting untuk menarik hati pasar.
2.9.4 Threat (ancaman) Peminat buku pengetahuan seperti ini masih sedikit, bahkan tema semiotika sangat sedikit diketahui oleh masyarakat. Buku-buku desain komunikasi visual yang membahas teknis pengoprasian program computer (seperti TIP & TRIK DESAIN WEB DINAMIS DENGAN CSS DAN JAVASCRIPT + DISKET Abdullah ELEX MEDIA KOMPUTINDO TIP & TRIK MEMBUAT EFEK SPESIAL DESAIN GRAFIS DENGAN FIREWORKS MX + CD Gregorius Agung ELEX MEDIA KOMPUTINDO) terkadang membuat masyarakat merasa lebih perlu untuk membeli buku seperti itu daripada buku-buku yang berkontekstual konsep dan apresiasi dari idea.
46