BAB II
DATA DAN ANALISA
2.1
Sumber Data Data data dan informasi yang digunakan untuk mendukung proyek tugas akhir ini
akan diambil dari berbagai sumber, diantaranya : 1.
Literatur : buku dan artikel dari media elektronik maupun non elektronik.
2.
Wawancara / Interview dengan pihak pihak terkait.
3.
Kuesioner.
2.2
Data Umum
Apa itu pelecehan seksual? Pelecehan seksual adalah suatu keadaan yang tidak bisa diterima, baik secara lisan, fisik atau isyarat seksual, pernyataan yang bersifat menghina secara tegas, atau keterangan secara seksual bersifat membedakan dibuat oleh seseorang yang menyerang pada pekerja yang terlibat, dimana menyebabkan pekerja tersebut merasa terancam, dipermalukan,dibodohi, dilecehkan, atau melemahkan kondisi keamanan kerja atau menciptakan ancaman atau intimidasi lingkungan kerja. Pelecehan seksual meliputi cakupan yang luas atas kejadian seksual yang tidak dikehendaki, yang meliputi: •
kontak fisik yang tak perlu, menyentuh atau menepuk
•
kata-kata yang tidak bisa diterima dan sugestif, lelucon, komentar mengenai penampilan dan ucapan lisan yang disengaja
•
mengerling dan undangan yang mencurigakan
•
mengunakan gambar-gambar porno ditempat kerja
•
ajakan seksual
•
serangan fisik dan perkosaan
Pelecehan seksual di tempat kerja seringkali disertai dengan janji imbalan pekerjaan atau kenaikan jabatan. Bahkan bisa disertai ancaman, baik secara terang-terangan ataupun tidak. Kalau janji atau ajakan tidak diterima bisa kehilangan pekerjaan, tidak dipromosikan, dimutasikan, dsb. Pelecehan seksual bisa juga terjadi tanpa ada janji atau ancaman, namun dapat membuat tempat kerja menjadi tidak tenang, ada permusuhan, penuh tekanan, dsb.
Mengapa korban pelecehan seksual adalah perempuan?
Disebutkan pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja telah tercatat sejak pertama kali perempuan memasuki pasar tenaga kerja (Sumber dari Sexual Shakedown: the Sexual Harassment of Women on the job, Lin Farley (1978)) . Ini berarti bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja bukanlah suatu persoalan yang baru, tetapi sudah setua umur sejarah perempuan memasuki dunia kerja (publik) yaitu sejak kapitalisme berkembang. Farley mengatakan bahwa pelecehan seksual merupakan metode baru yang dikembangkan oleh kapitalisme dalam mengontrol tenaga kerja perempuan.
Data mengatakan bahwa sebagian besar korban pelecehan seksual adalah perempuan. Seperti kita ketahui bahwa “men have power over women in society”. Karena kondisi kekuasaan sosial yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi (dibaca: berkuasa) dari perempuan, maka laki-laki (termasuk rekan kerja laki-laki kita) menyalah gunakan “kekuasaannya” untuk mendapatkan manfaat keuntungan seksual terhadap perempuan.
Ada 3 teori dalam menganalisa pelecehan seksual seperti yang dikatakan oleh Sandra S. Tangri, Martha R. Burt and Leanor B. Johnson:
•
Teori Biologis. bahwa perilaku pelecehan seksual merupakan suatu ekspresi dari kerja hormon-hormon seksual laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki dipandang memiliki dorongan seksual yang lebih besar sehingga seringkali laki-laki menjahili perempuan secara seksual, walaupun di tempat kerja.
•
Teori Sosiokultural. Mengasumsikan bahwa laki-laki dan perempuan secara sosiokultural dibesarkan oleh suatu sistem yang menempatkan mereka sebagai dua pihak yang tidak setara;
•
Teori Organisasional. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa dengan adanya perbedaan struktur dalam dunia kerja (ada atasan dan bawahan), maka ada peluang bagi mereka yang punya posisi atau hierarki lebih tinggi untuk memperlakukan mereka yang menjadi bawahannya secara sewenang-wenang.
Sering teman kerja dan atasan (laki-laki) memberikan pernyataan bahwa ketertarikan seksual adalah hal yang alamiah dan dialami oleh manusia, TAPI ingat tindakan seksual yang tidak bisa diterima dan dikehendaki adalah yang disebut dengan pelecehan seksual.
Banyak dari kita merasa tidak peduli (atau acuh) atas tindakan-tindakan seksual yang sering terjadi di tempat kerja kita contohkan seperti lelucon porno, memegang atau menyentuh tubuh kita. Karena kita mengganggapnya sebagai hal yang “normal atau biasa terjadi”. Tetapi ingat tindakan pembiaran tadi akan mengakibatkan suasana tempat kerja menjadi tidak aman baik bagi diri kita atau rekan kerja kita, suasana tempat kerja menjadi tidak sehat: •
Perilaku yang bersifat seksual, atau perilaku secara seksual yang mempengaruhi martabat pekerja laki-laki dan perempuan di tempat kerja
•
Menyakitkan atau membahayakan bagi orang yang mengalami pelecehan seksual
Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja, seperti pembedaan upah, karier, dan segregasi jenis pekerjaan.
Pelecehan seksual dalam industri transportasi
Pelecahan seksual bukanlah masalah seks, pelecehan seksual adalah masalah penyalahgunaan kekuasaan (abusing power), jadi bisa terjadi dimana saja dan bisa dialami oleh siapa saja.
Pekerja perempuan dalam indusri transportasi dapat dikatakan kelompok yang rentan atas tindakan pelecehan seksual. ITF melaporkan dalam survey dan laporan dari serikat pekerjanya dikatakan bahwa pelecehan seksual telah menyebar di semua lini indusri transportas: •
Pelecehan seksual adalah permasalahan yang serius di industri penerbangan sipil. Iklan mereka sungguh sangat melecehkan yang menggambarkan awak kabin lebih sebagai obyek seks.
•
Serikat pekerja di Inggeris menemukan bahwa masinis perempuan mengalami secara terus menerus pelecehan seksual, dan ini membuat hidup mereka “sengsara”;
•
Pekerja perempuan transportasi darat di Amerika Latin sering berhadapan dengan majikan mereka yang menginginkan hubungan seksual. Bila mereka menolak akan dikenakan shift malam, atau shift sangat pagi, atau dipekerjakan jauh dari lokasi rumah mereka;
•
Di Afrika Selatan dan Meksiko, perkosaan terhadap pekerja perempuan transportasi darat adalah suatu hal yang sering terjadi.
Pelecehan seksual sering terjadi di tempat kerja khususnya dimana pekerja perempuan adalah minoritas. Di industri pelayaran, hanya 9% perempuan di dunia yang bekerja dalam industri ini. Secara tradisional pekerjaan ini adalah “milik” laki-laki, mereka mencoba untuk menghalangi perempuan masuk dalam pekerjaan ini. Pelecehan seksual juga merupakan permasalahan yang serius di industri pelayaran. Sebuah studi terhadap pelaut perempuan di Eropa menunjukan bahwa mereka sering merasa dipaksa untuk masuk ke kabin mereka dan menguncinya sebagai salah satu cara untuk menghindari dari peleceha. Artinya bahwa mereka terisolasi. Mereka mengasingkan diri dari rekan kerja pelaut laki-laki. Banyak dari mereka menyerah dan keluar dari pekerjaannya.
Bayangkan situasi diatas, mereka berada disuatu tempat ditengah laut dan tidak kita ketahui dimana lokasinya, tidak ada polisi ataupun telepon bantuan! Maka ITF untuk Industri Pelayaran telah mengesahkan garis panduan kebijakan tentang ras dan pelecehan seksual untuk dimasukan dalam semua ITF-approved collective agreement for flag of convenient and national flag vessel. Model klausal telah dikembangkan: “setiap pelaut berhak untuk bekerja, mendapat pelatihan dan hidup dalam lingkungan yang bebas dari pelanggaran dan gangguan: baik itu secara seksual, rasial ataupun hal-hal yang menimbulkan motivasi tersebut, sesuai dengan ITF policy guideline”
Pelecehan seksual adalah isu serikat pekerja!
Pelecehan seksual bukan hanya isu pekerja perempuan tetapi semua pekerja dan serikat pekerja. Serikat pekerja harus memastikan bahwa tempat kerja adalah aman bagi semua pekerja, dan menjamin bahwa manajemen memiliki kebijakan bebas dari tindakan pelecehan seksual. Serikat pekerja perlu melakukan “tekanan” kepada manajemen bahwa kebijakan tersebut adalah ada dan dijalankan.
Pelecehan seksual adalah juga bentuk dari diskriminasi, serikat pekerja memiliki tugas untuk memastikan bahwa tempat kerja tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun. Perlu Anda ketahui bahwa pelecehan seksual adalah merupakan isu keamanan dan kesehatan kerja, mengapa? Karena tindakan itu merugikan korban pelecehan seksual dan semua pihak termasuk rekan kerja, pengusaha ataupun pelaku pelecehan: •
Korban pelecehan seksual: hilang kepercayaan diri, harga diri dan kehormatan diri; tempat kerja tidak aman maupun tidak menerima mereka; keamanan pekerjaan terancam; penurunan prestasi kerja (stress dan sakit, dan terganggu hubungan antarpersonal);
•
Rekan kerja: akan terjadi penurunan moral, meningkatnya tekanan dan konflik. Dan juga mengakibatkan stress akibat situasi itu mungkin bisa terjadi dengan mudah bagi mereka (rasa takut dan cemas);
•
Pelaku pelecehan seksual: hilangnya rasa hormat dari rekan kerja dan atasan; mendapatkan sanksi disiplin dan juga mungkin pemecatan, membahayakan kesempatan peningkatan karier. Dan bila dilaporkan ke pihak yang berwenang (polisi) dan ada tuntutan hokum maka ia bisa mendapatkan sanksi pidana hukum;
•
Atasan/Pengusaha: produktifitas menurun karena penyebaran iklim kerja yang tidak nyaman dan aman di tempat kerja; pekerja berhenti kerja atau minta dipindahkan; meningkatnya ketidakhadiran pekerja di tempat kerja karena sakit akibat stress; “iklan” buruk perusahaan atas citra tindakan tidak bermoral; menghadapi kasus tuntutan hukum karena mereka melanggar hukum anti-diskriminasi atau hukum K3, hal ini menyita waktu dan membutuhkan biaya yang besar (membayar kuasa hukum ataupun konpensasi yang harus dibayarkan kepada penuntut. Dan juga biaya untuk mengembalikan citra perusahaan atas kerusakan yang diakibatkan)
Pelecehan seksual tidak bisa diterima dan kita semua harus dengan berani meyuarakan STOP pelecehan seksual di tempat kerja. Banyak rekan kerja kita dan kita sendiri masih ragu untuk melaporkan tindakan pelecehan seksual yang dialami. Takut akibatnya malah kita kena sanksi, diasingkan atau dipecat. Seperti yang dimaksud diatas pelecehan seksual adalah permasalah serius di industri transportasi, keberanian kita mengatakan tidak bersama serikat pekerja dibutuhkan, tetapi bagaimana caranya? Caranya adalah LAPORKAN! Jangan diam!
Ingat! JIka anda menjadi korban pelecehan seksual, jangan diam saja!. Pikirkanlah langkah-langkah yang bisa anda ambil. Selalu tanamkan dalam diri anda bahwa pelecehan yang terjadi sama sekali buka kesalahan anda. Langkah-langkah yang bisa anda lakukan adalah •
Membuat catatan tentang kejadian pelecehan seksual yang anda alami. Catat dengan teliti identitas pelaku, tempat kejadian, waktu, saksi dan yang dilakukan oleh pelaku serta ucapan-ucapan pelaku.
•
Bicara pada orang lain tentang pelecehan seksual yang anda alami. Ceritakan kepada teman sekerja, atasan, pengurus serikat pekerja atau siapa saja yang anda percayai dan mau mengerti situasi yang anda hadapi;
•
Memberi pelajaran kepada pelaku. Apabila anda sanggup melakukannya katakan kepada pelaku bahwa tindakannya tidak dapat anda terima. Anda dapat melakukannya dengan ucapan verbal dengan kata-kata, melalui telepon atau surat. Ajak seorang teman untuk menjadi saksi.
•
Melaporkan pelecehan seksual tersebut, karena pelecehan seksual melanggar hukum. Maka, sangat tepat jika pelecehan seksual yang anda alami segera anda laporkan ke polisi.
Ini adalah perangkat hukum nasional yang relevan dengan pelecehan seksual. Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat menjerat seseorang pelaku pelecehan seksual: •
Pencabulan pasal 289-296;
•
Penghubungan pencabulan pasal 295-298 dan pasal 506
•
Persetubuhan dengan wanita di bawah umur pasal 286-288
Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39/1999 yang menyatakan dengan tegas bahwa setiap manusia memiliki hak dan martabat yang sama dan sederajat, berhak atas jaminan dan perlindungan hak asasi manusia tanpa diskriminasi.
Konvensi tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW: Convention on Elimination Discrimination Against Women), 1979. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional yang paling komprehensif dan menetapkan keajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini juga menetapkan persamaan kesempatan perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Indonesia telah meratifikasi (mengesahkan) konvensi ini melalui UU No. 7/1984.
Perjanjian Kerja bersama. Masukkan klausal tentang stop pelecehan seksual dalam perjanjian kerja bersama and adi tempat kerja, pastikan bahwa itu dijalankan dengan benar, dan ada sanksi bila melanggarnya.
Citra Relasi Seksual Pada dasarnya, setiap manusia, baik laki -laki maupun perempuan, keduanya sama sama memiliki kapasitas untuk memberikan respons seksual. Melalui analisis gender bisa dikaji negosiasi antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung dalam tindakan seksual.
Dalam hal ini, perilaku seksual masing-masing dikendalikan oleh konstruksi sosial nilai -nilai budaya yang dianut. Masyarakat sering menentukan bahwa laki -laki memiliki dorongan seksual yang kuat dan perempuan berkewajiban untuk melayani hasrat seksual laki-laki. Atas dasar ini tampak bahwa tindakan seksual di antara laki -laki dan perempuan tidaklah egaliter. Respons seksual perempuan tidaklah ditanggapi oleh laki -laki dan diamnya perempuan atas perlakuan pelecehan seksual yang diterimanya, dianggap sebagai undangan atau pernyataan setuju. Perlu juga dicermati bahwa perbedaan atau persamaan status antar -pasangan merupakan peran dalam distribusi atau akumulasi kekuasaan.
Seseorang yang superior (biasanya laki -laki) akan menentukan dan mempengaruhi tindakan seksual sebuah pasangan. Hal inilah yang kemudian semakin menunjukkan bahwa hegemoni ideologi patriarkat mengendalikan segala aspek kehidupan masyarakat. Untuk mengetahui hal ini lebih lanjut, akan dilacak terlebih dahulu pengertian hegemo ni itu sendiri. Hegemoni adalah dominasi dan subordinasi pada bidang hubungan yang distrukturkan oleh kekuasaan, tetapi hegemoni lebih dari sekadar kekuasaan itu sendiri. Hegemoni merupakan metode untuk menbisakan dan mempertahankan kekuasaan. Menurut Anto nio Gramsi sebagai pencetus istilah hegemoni, “bangunan atas” (super structure) dari masyarakat (baca: negara) merupakan lembaga yang memproduksi ideologinya dalam perjuangan atas makna dan kekuasaan. Ideologi “versi” negara ini dibenarkan dan diperkuat o leh sebuah sistem keagenan yang saling terkait dan efektif dalam mendistribusikan informasi dan praktik praktik sosial yang sudah dianggap seharusnya yang merembesi segala aspek realitas sosial dan budaya. Pesan -pesan yang mendukung status quo dipancarkan dari sekolah, keluarga, kelompok keagamaan, militer, dan media; yang saling menyesuaikan secara ideologis.
Proses pengaruh ideologis yang saling mengartikulasikan dan saling memperkuat ini merupakan esensi hegemoni. Hegemoni bukanlah suatu stimulasi pikira n atau aksi yang langsung melainkan merupakan suatu susunan (dari) semua definisi yang saling bersaing mengenai realitas ke dalam jangkauan (kelas dominan) dengan membawa semua alternatif ke dalam horison pemikiran mereka. Kelas dominan menetapkan batas -batas mental dan struktural ketika kelas bawahan “hidup” dan memahami subordinasi mereka sedemikian rupa sehingga mendukung dominasi orang –orang yang berkuasa atas mereka.
Dalam relasi laki-laki dan perempuan, hegemoni yang terjadi bisa dianalisis pada dua arus utama, yaitu ideologi patriarkat dan ideologi pallocentrist. Dalam masyarakat patriarkat, perempuan selalu berada pada posisi yang tersubordinasi dalam kehidupan seksual. Perempuan harus memenuhi segala macam standar yang ditentukan oleh laki -laki (atau oleh struktur yang menguntungkan laki-laki). Nilai standar itu merupakan realitas objektif yang meminta kepatuhan - kepatuhan sosial perempuan tidak terlepas dari ideologi nature dan culture atau objek dan subjek, dan perempuan ditempatkan sebagai objek da lam dunia lakilaki (culture) (Rosaldo, 1983: 27-57).
Dari sini, bisa diinterpretasikan bahwa laki -laki telah menegaskan dan melestarikan kekuasaan melalui berbagai instrumen, termasuk melalui seks. Jika dikaji, seks merupakan sarana reproduksi sekaligus sumber kesenangan dan sesungguhnya juga merupakan pusat keberadaan manusia karena seks menegaskan hubunganhubungan kekuasaan si pelakunya. Seks tidak hanya untuk fungsi prokreatif, tetapi juga rekreatif yang memenuhi fungsi kesenangan dan kenikmatan yang merupakan gaya hidup hedonistik.
Gaya ini, melalui kelas menengah, mampu memberikan inspirasi kepada kelompok masyarakat lain dalam membentuk suatu etos konsumeristik yang berorientasi pada pemuasan kesenangan, mengejar kepen-tingan dan kepuasan pribadi, dan mentransformasikan masya -rakat yang berorientasi pada pasar. Di dalam gerakan kebudayaan leisure class semacam ini, perempuan merupakan suatu produk yang dikonsumsi dan merupakan pemuas kebutuhan (laki -laki). Dalam produk media, perempuan dicitrakan un tuk menjadi pihak yang kalah atau selalu harus melayani dan memenuhi kebutuhan laki -laki dalam relasi. Laki-laki dicitrakan memiliki control terhadap seksualitas kaum perempuan. Perempuan, menurut Amrin Tamagola, hanya memenuhi citra peraduan, yaitu menjadi objek-objek pasif dari hasrathasrat seksual dan erotis laki -laki.
Seksualitas yang bias laki -laki ini merupakan cerminan dari ideologi pallocentrist, yang kadang dikenal dengan nama androsentris. Phailo atau Phallus yang berarti penis dipandang sebagai simbol kekuasaan dan dipercayai bahwa atribut -atribut maskulinitas merupakan norma bagi rumusan-rumusan kultural. Pallocentrisme yang merupakan sumber dari penindasan perempuan adalah dasar dari patriarkat yang mewarnai tatanan politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Seksualitas yang berakar pada phallocentrisme inilah yang ditentang oleh kelompok feminis.
Dari kaca mata media massa, kepu -tusan pemuatan produk media acap kali memang lebih didasari kepentingan kapital. Terutama bagi pengelola med ia, masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana media massanya bisa diterima oleh khalayak. Media massa sejenis bersaing dengan sesama dan media jenis lain, dan juga dengan berbagai situasi sosial
lain yang mengambil perhatian khalayak. Selain kondisi sos ial itu, pengelola media bekerja dengan strategi berlandaskan daya dukung ekonomis ( niche). Pandangan ini mendorong proses komodifikasi media.
Dalam mendiseminasikan informasi yang terkandung dalam iklan agar bisa meraih partisipasi dan pemahaman pembacanya, iklan dan kelompok sasarannya dipertautkan oleh sejumlah cultural nations yang socially shared dalam suatu masyarakat tertentu. Dengan meneliti sejumlah iklan akan bisa diketahui berbagai cultural nations yang dominan dalam suatu masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan media di tengah masyarakat tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial yang melingkupinya. Media tidak berada di ruang hampa yang sepenuhnya bisa dijalankan atas dasar strategi komunikasi penyelen ggaranya.
Media berada dalam kondisi budaya yang merupakan tarik -menarik berbagai orientasi social (normatif, instrumental, kognitif, dan ekspresif). Kecenderungan untuk membisakan satisfikasi dari konsumen akan menempatkan media pada karakteristik dan fungsi yang khas sehingga bisa dibedakan antara media massa yang mengutamakan produk fiksional dan faktual. Pembedaan ini tidak bersifat absolut, tetapi setidaknya konsumen akan menempatkan media sesuai dengan motifnya yang mendasar.
Tabel 1. Informasi Media dan Konsumen Bagi konsumen, satisfikasi yang diharapkan dari informasi media bisa bersifat ke dalam dan sepenuhnya menjadi ranah psikologis berupa pengalaman imajinatif. Atau, bisa bersifat ke luar berupa kemanfaatan sosial bagi konsumen. Media memiliki fungsi sebagai media massa rekreatif atau informatif. Media massa rekreatif dijalankan dengan positioning
dasar sebagai penyedia informasi fiksional yang berfungsi untuk memenuhi kecenderungan subjektif atau imajinatif. Begitu pula media massa inf ormatif dengan positioning dasar sebagai penyedia informasi faktual untuk keperluan objektif yang berfungsi sosial bagi khalayaknya.
Terkadang pengelola media menjalankan fungsi yang menyimpang secara taktis. Seperti ketika informasi faktual disampa -ikan hanya untuk menghibur atau informasi fiksional dimaksudkan untuk membawa konsumen ke dunia objektif. Dalam iklan stimulan seksual, misalnya, kedua hal ini bisa terjadi. Artinya, media yang biasa memuat iklan jenis ini hanya menjadikan informasi faktual yang disampaikannya (kriminal, politik, sosial, atau perklenikan) bertujuan untuk menghibur khalayaknya (hanya sebagai selingan). Informasi tentang kemanfaatan stimulan seksual yang belum bisa dibuktikan kebenarannya secara medis diarahkan untuk dipercayai oleh pembaca sebagai informasi yang benar (objektif). Terutama sebagai representasi dari budaya yang diwakilinya, yakni kebudayaan sebagai sistem tanda, produk media tentunya mewakili suatu makna dan realitas tertentu yang ingin disampaikan oleh kreatornya (pekerja media) kepada khalayak sasaran. Tidak jarang, pemaknaan yang dilakukan melalui produk media telah menempatkan posisi produk media sebagai bagian dari realitas sosial itu sendiri. Artinya, realitas dengan seperangkat nilai yang terbangun melalui produk media akan dimaknai oleh alam pikiran khalayaknya sebagai sesuatuyang nyata ( real) terjadi, yang oleh Baudrillard (Piliang, 1998: 228) disebut sebagai hiperrealitas.
Dalam posisi semacam ini, citra relasi laki -laki dan perempuan dalam produk media, berada pada posisi konformiti, yaitu mendukung nilai atau norma yang telah ada di masyarakat.
Khalayak kemungkinan tidak akan mempersoalkan “kepalsuan” realitas makna produk media itu. Namun yang penting adalah “kepalsuan” makna produk media itu telah men dukung realitas social normatif yang benar-benar nyata di masyarakat. Di sisi lain, posisi makna produk media bisa menjadi medium legitimasi untuk sebuah perubahan tata nilai dan norma dalam masyarakat.
Dengan kata lain, citra relasi laki -laki dan perempuan dalam produk media yang bermuatan pelecehan seksual bisa jadi masih mengusung nilai -nilai lama yang konservatif dan berlaku pada masyarakat Indonesia yang sangat patriarkat dengan posisi subordinat di pihak perempuan. Atau, produk media bisa saja men-dekonstruksikan nilai-nilai lama dengan citra relasi yang lebih egaliter dan berkeadilan gender.
2.3
Data Khusus
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sejarah Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Sebagai institusi nasional hak asasi manusia di Indonesia, Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Keterlibatan Komnas Perempuan dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) telah dimulai sejak tahun 2003. Dalam kampanye 16 HAKTP ini, Komnas Perempuan selain menjadi inisiator juga sebagai fasilitator pelaksanaan kampanye di wilayah-wilayah yang menjadi mitra Komnas Perempuan. Hal ini sejalan dengan prinsip kerja dan mandat Komnas Perempuan yakni untuk bermitra dengan pihak masyarakat serta berperan memfasilitasi upaya terkait pencegahan dan penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Mengapa 16 Hari ? Penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, Pemerintah, maupun masyarakat secara umum. Dalam rentang 16 hari, para aktivis HAM perempuan mempunyai waktu yang cukup guna membangun strategi pengorganisiran agenda bersama yakni untuk:
menggalang gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM,
mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para survivor (korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan),
mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Strategi yang diterapkan dalam kegiatan kampanye ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh temuan tim kampanye di masing-masing daerah
atas kondisi ekonomi, sosial, dan budaya, serta situasi politik setempat. Apapun strategi kegiatan, yang pasti strategis ini diarahkan untuk:
meningkatkan pemahaman mengenai kekerasan berbasis jender sebagai isu Hak Asasi Manusia di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional
memperkuat kerja-kerja di tingkat lokal dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
membangun kerjasama yang lebih solid untuk mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di tingkat lokal dan internasional
mengembangkan metode-metode yang efektif dalam upaya peningkatan pemahaman publik sebagai strategi perlawanan dalam gerakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
menunjukkan solidaritas kelompok perempuan sedunia dalam melakukan upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
membangun gerakan anti kekerasan terhadap perempuan untuk memperkuat tekanan terhadap pemerintah agar melaksanakan dan mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Apa yang terjadi dalam rentang waktu 25 November - 10 Desember?
25 November : Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva & Maria Teresa) pada tanggal yang sama di tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan pengusasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi
simbol perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu itu. Berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut. Tanggal ini sekaligus juga menandai ada dan diakuinya kekerasan berbasis jender. Tanggal ini dideklarasikan pertama kalinya sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama.
6 Desember : Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan. Pada hari ini di tahun 1989, terjadi pembunuhan massal di Universitas Montreal Kanada yang menewaskan 14 mahasiswi dan melukai 13 lainnya (13 diantaranya perempuan) dengan menggunakan senapan semi otomatis kaliber 223. Pelaku melakukan tindakan tersebut karena percaya bahwa kehadiran para mahasiswi itulah yang menyebabkan dirinya tidak diterima di universitas tersebut. Sebelum pada akhirnya bunuh diri, lelaki ini meninggalkan sepucuk surat yang berisikan kemarahan amat sangat pada para feminis dan juga daftar 19 perempuan terkemuka yang sangat dibencinya.
10 Desember : Hari HAM Internasional. Hari HAM Internasional bagi organisasi-organisasi di dunia merupakan perayaan akan ditetapkannya dokumen bersejarah, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh PBB di tahun 1948, dan sekaligus merupakan momen untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip HAM yang secara detil terkandung di dalam deklarasi tersebut
2.4
Data Penyelenggara
Kalyanamitra didirikan oleh 5 perempuan dari berbagai kalangan yang konsen dengan isu-isu perempuan pada 28 Maret 1985, di Jakarta. Lahir sebagai organisasi perempuan yang independen. Awalnya mengangkat isu buruh perempuan dengan mengolah informasi menjadi bahan-bahan diskusi bagi perempuan kelas bawah. Kalyanamitra berstatus Yayasan yang disahkan oleh Akte Notaris nomor 05/CN/PDT/P/1985 dan dicatatkan pada Direktorat Sosial Politik. Dengan demikian, Kalyanamitra mempunyai kekuatan badan hukum yang jelas.
Tahun 1994, Kalyanamitra mengangkat isu kekerasan negara dalam kasus pembredelan majalah Tempo dan buruh perempuan Marsinah. Kalyanamitra mengekspos wacana kekerasan terhadap perempuan dengan menggelar dialog publik kasus perkosaan keluarga Acan pada tahun 1995.
Pada peristiwa Mei 1998, Kalyanamitra terlibat aktif dalam penanganan korban perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa. Sejak itu Kalyanamitra melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan lintas kelas.
Dalam menjalankan perannya sebagai bagian dari gerakan perempuan, Kalyanamitra menjalankan nilai-nilai atau prinsip-prinsip untuk menjunjung tinggi hak perempuan dalam mencapai hidup yang bermartabat. Dengan menegakkan sikap anti kekerasan, anti diskriminasi berbasis suku, ras, agama, gender, golongan dan menghargai perbedaan pendapat serta pandangan hidup sebagai individu dan golongan, juga mengembangkan tindakan tolong menolong sesama manusia yang mengalami penderitaan dan keberpihakan pada perempuan korban kekerasan. Kalyanamitra menjadi dikenal dengan dwiperannya, yakni sebagai organisasi pendamping perempuan korban kekerasan dan sebagai pusat komunikasi dan informasi perempuan.
Dalam perjalanannya, terdapat tarik menarik di antara kedua peran yang bersinergi secara harmonis itu, namun menjadi pisau yang bermata dua. Dengan melihat perubahan ekonomi, sosial dan politik baik di dalam maupun luar negeri akhirnya Kalyanamitra harus melakukan perubahan ke dalam agar tetap lincah bergerak dan memiliki peranan yang cukup penting dalam gerakan perempuan khususnya dan gerakan sosial umumnya.
Perubahan dilakukan mulai tahun 2003 melalui pada 24-29 Maret 2003 di Wisma Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jakarta. Hasil Pertemuan Rencana Strategis tersebut telah merubah visi, misi dan program kerja Kalyanamitra dengan terbentuknya 2 Program Kerja, yakni Program Riset, Informasi dan Dokumentasi (Risdok) dan Program Advokasi.
Visi :
1. Berusaha memahami kondisi perempuan dalam keragamannya termasuk di dalamnya kelas, ras, budaya dan agama 2. Ikut dalam upaya penyadaran hak-hak kaum perempuan agar terbebas dari segala bentuk kekerasan demi terwujudnya masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial
Misi :
1. Membangun jaringan untuk melakukan pemahaman kondisi perempuan dalam keragamannya termasuk di dalamnya kelas, ras, budaya dan agama
2. Membangun jaringan untuk melakukan penyadaran hak-hak perempuan kepada masyarakat bersama-sama kelompok lainnya melalui pendidikan dan diseminasi informasi 3. Mengadakan dan menyediakan program peningkatan kapasitas bagi perempuan agar kelompok-kelompok perempuan mampu mengorganisir diri dan ikut membangun masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial 4. Ikut serta dalam upaya mengadvokasi perbaikan dan perubahan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan perempuan dan melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan
Dalam bekerja Kalyanamitra mempunyai 2 macam jenis program yaitu :
Program Risdok Program Riset, Informasi dan Dokumentasi (Risdok) berpijak pada pernyataan misi, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip organisasi yang tertuang dalam dokumen Rencana Strategis.
Tujuan Program Riset, Informasi dan Dokumentasi (Risdok) Kalyanamitra bertujuan untuk melakukan riset-riset penyadaran, pengolahan dan analisis data-data yang relevan untuk kemudian dikemas menjadi informasi-informasi siap saji, melakukan dokumentasi yang berkaitan dengan isu-isu perempuan marjinal (perempuan miskin kota, buruh perempuan, petani perempuan dan nelayan perempuan) dalam berbagai dimensinya bagi kepentingan publik umum dan internal Kalyanamitra guna mendorong lahir dan tumbuhnya gerakan emansipasi perempuan di Indonesia.
Arah Kebijakan :
1. Penataan arus informasi dan dokumentasi di dalam Kalyanamitra sendiri 2. Pembangunan sistem Risdok yang efisiensi, efektif, mandiri dan berkelanjutan 3. Peningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia Program Risdok 4. Pembangunan, peningkatan dan perluasan jaringan kerja dengan individu-individu maupun kelompok-kelompok risdok yang relevan 5. Meningkatkan kualitas produk layanan Risdok
Problem Program Riset, Informasi dan Dokumentasi Kalyanamitra pada dasarnya hendak menjawab persoalan publik akan ketersediaan informasi siap saji dan dokumentasi yang relevan dengan isu-isu perempuan atau persoalan integrasi perempuan dalam sosial.
Strategi Guna menjawab kebutuhan publik akan ketersediaan informasi siap saji dan dokumentasi yang relevan dengan isu-isu perempuan, maka Program Riset, Informasi dan Dokumentasi melakukan optimalisasi sumber daya Risdok dan fasilitasi individu-individu maupun kelompok-kelompok di dalam dan di luar Kalyanamitra untuk melaksanakan risetriset, di samping pembangunan dan peningkatan jaringan kerja Risdok.
Program : 1. Publikasi buku 2. Analisa data 3. Penerbitan buletin 4. Pengelolaan website 5. Informasi dan dokumentasi
6. Video profil lembaga 7. Pelatihan 8. Riset
Output : 1. Produk publikasi (buku, buletin, poster, newsletter, kalender, indeks, laporan penelitian) 2. Produk audio-visual (VCD, film) 3. Jasa layanan informasi dan dokumentasi (kliping, website, perpustakaan) 4. Jasa layanan riset
Monitoring dan Evaluasi Program Riset, Informasi dan Dokumentasi Kalyanamitra akan dimonitor setiap 3 bulanan dan dievaluasi setahun sekali untuk melihat kendala-kendala yang dihadapi di tingkat kegiatan maupun sumber daya manusia yang membutuhkan penyelesaian atau penyesuaian segera serta mengukur kekuatan dan kelemahan kinerja untuk menjadi masukan bagi perancangan program selanjutnya.
Tingkatan Manajemen : 1. Pengelolaan sumber daya manusia melalui peningkatan kapasitas, efisiensi waktu dan efektifitas kerja 2. Pengelolaan alokasi dana dan peralatan pendukung yang mengoptimalkan kerja-kerja guna menghasilkan produk Risdok yang berkualitas 3. Perencanaan program yang sistematis dan realistik sesuai dengan kecenderungan kebutuhan internal dan publik
4. Pengorganisasian kegiatan-kegiatan internal dan jaringan kerja yang sistematik yang sesuai dengan perencanaan program 5. Pengarahan kinerja sumber daya manusia untuk mencapai target yang telah ditentukan bersama-sama 6. Pengawasan kinerja sumber daya manusia dan peralatan pendukung untuk memenuhi capaian yang telah disepakati sebelumnya Program Advokasi Sejak tahun 1991 Kalyanamitra menaruh perhatian pada isu kekerasan terhadap perempuan melalui kegiatan kampanye anti perkosaaan. Kegiatan kampanye ini menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat khususnya kaum perempuan untuk berani melaporkan kekerasan yang dialami atau yang terjadi di sekitarnya. Kegiatan ini membuat Kalyanamitra menerima banyak pengaduan kasus-kasus kekerasan. Sejak peristiwa kerusuhan Mei 1998 di mana terdapat banyak kasus perkosaan massal yang menimpa perempuan Tionghoa di Jabotabek, Kalyanamitra membentuk sebuah divisi khusus pendampingan korban kekerasan hingga tahun 2003. Sejak itu juga Kalyanamitra turut aktif membangun jaringan dalam upaya advokasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan hingga kini.
Kekerasan juga dialami oleh perempuan di wilayah konflik. Kalyanamitra mulai bersentuhan dengan persoalan perempuan di wilayah konflik melalui kegiatan penelitian di Timor Timur, kegiatan-kegiatan pendidikan di Aceh dan Ambon (Maluku) tahun 2001-2002, kegiatan pendampingan perempuan Aceh korban kekerasan militer tahun 2003, dan kegiatan need assessment kondisi perempuan pengungsi di Poso tahun 2004.
Berangkat dari keprihatinan dan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan Kalyanamitra tersebut, maka dalam upaya menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan pada
tahun 2004 Kalyanamitra mulai menyusun program advokasi untuk wilayah konflik maupun non-konflik dalam bentuk kegiatan pendidikan dan kampanye serta kerja berjaringan dengan organisasi, individu, dan lembaga-lembaga lain dan melakukan monitoring kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Tujuan : 1. Membangun kesadaran public akan persoalan kekerasan terhadap perempuan 2. Membangun opini publik dan tekanan publik untuk mempengaruhi kebijakan agar lebih berpihak pada perempuan (korban kekerasan) 3. Menukar informasi dan membuat agenda bersama dengan individu-individu, organisasi-organisasi, badan-badan yang memiliki perhatian terhadap isu kekerasan terhadap perempuan
Wilayah Kerja : 1. Wilayah konflik 2. Wilayah non-konflik Sasaran : 1. Terbangunnya kesadaran publik dan terbentuknya opini publik akan persoalan kekerasan terhadap perempuan 2. Adanya jaringan-jaringan untuk memungkinkan terjadinya kerja advokasi yang menyeluruh untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik maupun non-konflik 3. Adanya perubahan sikap dan kebijakan di tingkat pembuat kebijakan
Kelompok Sasaran : 1. Perempuan di wilayah konflik Kelompok perempuan yang menjadi korban kekerasan militer maupun sipil di wilayah yang sedang berkonflik.
2. Perempuan di wilayah non-konflik Perempuan yang menjadi korban kekerasan atau bukan korban di wilayah normal khususnya Jabotabek. 3. Aparat penegak hukum Aparat hukum yang berkaitan langsung dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan seperti polisi, jaksa dan hakim 4. Pembuat kebijakan 5. Masyarakat umu
Bentuk Kegiatan : 1. Pendidikan dan Kampanye a. Pendidikan publik, menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pelatihan-pelatihan dan diskusi-diskusi. b. Tekanan publik, membangun tekanan publik dan opini publik melalui media massa (tulisan, konferensi pers), dialog atau diskusi publik, seminar, aksi massa, dan lobi. 2. Membangun jaringan melalui forum-forum diskusi atau lokakarya dengan mengundang pihak-pihak (individu, ornop, ormas, akademisi, pemerintah, konstituen) yang memiliki potensi untuk menjadi jaringan atau koalisi. 3. Monitoring kasus, melakukan monitoring perkembangan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadvokasi organisasi jaringan Kalyanamitra. Bentukbentuk monitoring seperti surat dukungan, surat desakan, pernyataan sikap, serta komunikasi dengan jaringan.
Pendekatan : 1. Data kasus Melakukan Advokasi melalui hasil data-data kasus kekerasan terhadap perempuan yang diperoleh dari data yang dikumpulkan Kalyanamitra atau data dari kasuskasus yang ditangani organisasi jaringan.
2. Fasilitasi Memfasilitasi kelompok atau organisasi jaringan (misalnya organisasi daerah atau kelompok korban) dalam kegiatan pendidikan dan kampanye. 3. Jaringan Memperkuat dan mengandalkan jaringan yang berasal dari berbagai unsurmasyarakat (individu, ornop, kelompok profesi, kelompok/komunitas korban) dalam upaya advokasi isu/kasus kekerasan terhadap perempuan.
Monitoring dan Evaluasi : Monitoring dan evaluasi kegiatan dilakukan periodik tiap bulan untuk melihat perkembangan kemajuan atau kendala-kendala yang dihadapi dalam menjalankan program.
2.5
Faktor Pendukung 2.5.1
Data Pendukung Ketika persoalan perempuan sudah menjadi persoalan semua orang. Ketika
korban tidak malu dan takut meneriakkan hak-haknya, Dan ketika semua orang lebih proposional dengan tidak menghukum perempuan, Maka saat itulah kita berhak tersenyum atas perjuangan kita. (Muji Kartika Rahayu-Aktivis perempuan). Perkembangan Politik dan hukum di negara kita dalam 5 tahun belakangan ini dapat dianggap luar biasa bagi perempuan. Pencapaian terbesar ialah ketika UU Pemilu No.12 Tahun 2003 mencantumkan pesan bahwa partai politik sebaiknya membuka kesempatan bagi perempuan agar menjadi calon Legislatif setidaknya dalam jumlah 30 persen. UU ini kemudian diganti dengan UU Pemilu yang baru dengan konsep keterwakian yang sama. Peningkatan keterwakilan perempuan ini juga didukung oleh UU Penyelenggara Pemilu No.22 Tahun 2007.
UU ini mengamanatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dalam berbagai tingkatan pemerintahan. Memang masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pencantuman ini akan menjadi jaminan bagi politik yang berkeadilan gender, namun tak dapat dipungkiri gemenya telah memberikan banyak inspirasi bagi perempuan diseluruh pelosok nusantara yang selama ini giat berpolitik. Keterwakilan Perempuan di ruang public memang sedikit banyak telah mengalami kemajuan. Namun itu hanya kemajuan dalam hak berpolitik saja, bagi perempuan-perempuan yang dianggap layak untuk duduk di kursi legislative. Bagaimana dengan perempuan lainnya? apa yang mereka nikmati dari produk UU kita? Para feminis menyakini bahwa hukum tidak lahir dari sebuah ruang hampa. Hukum adalah hasil pergulatan kepentingan dan mencerminkan standar nilai dan idiologi yang dianut masyarakat dan kekuasaan dalam proses pembuatannya. Katherine Barlett dalam artikelanya Feminist Legal method mengatakan bahwa dalam hukum mempersoalkan perempuan berarti menguji apakah hukum telah gagal memperhitungkan pengalaman, dan apakah konsep hukum itu telah merugikan perempuan. Permasalahan tersebut mengasumsikan bahwa hukum bukan saja tidak netral dalam pengertiannya yang umum tetapi juga sangat laki-laki dalam pengertiannya yang spesifik.
Bagi para feminist doing law pada dasarnya berarti mengidentifikasi implikasi gender terhadap peraturan peraturan yang mendasarinya serta menuntut penerapan peraturan-peraturan tersebut supaya tidak lagi melanggengkan subordinasi perempuan. Perjuangan memperjuangkan payung hukum bagi perampuan ini mulai memanas sejak adanya Prolegnas (Program legislasi nasional). Prolegnas lahir sebagai anak Propenas atau Program Pembangunan nasional. Penyelenggaraan Propenas
tersebut merupakan amanat dari garis-garis besar haluan negara (GBHN) Tahun 19992004.
Prolegnas merupakan penjabaran lebih lanjut program pemerintahan di bidang hukum, khususnya legislasi. Prolegnas ditegaskan dalam UU Pembentukan Peraturan perundang-undangan pasal 15 yang menyatakan bahwa ,”Perencanaan penyusunan undang- undang dilaukan dalam suatu Program Legislasi Nasional”. Prolegnas yang bentuknya berupa daftar kebutuhan UU, menjadi pedoman baik bagi DPR maupun Pemerintah dalam menyusun dan memprioritaskan RUU dalam 5 tahun kedepan. Melihat keseluruhan daaftar rancangan perundang-undangan yang masuk dalam prolegnas, jelas ada banyak RUU yang bersinggungan dan menentukan nasib perempuan. Berdasarkan Prolegnas 2005-2009, tujuh RUU yang berkaitan dengan perempuan adalah jumlah yang tidak sedik dan memerlukan energi yang luar biasa.
Berikut adalah beberap isu penting yang menjadi dasar pemikiran dan usulan perubahan dalam RUU yang sampai sekarang diadvokasi oleh kelompok perempuanyang tergabung dalam Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan yang sebagian telah disahkan menjadiUU.
UU Pornografi dan Pornoaksi. Pornografi dalam perspektif kepentingan perempuan harus dilihat sebagai isu kekerasan. Kebutuhan akan aturan mengenai Pornografi sangat besar, banyak kasuskasus kekerasan terjadi karena akses yang sangat terbuka terhadap produk pornografi., terutama bagi anak-anak. Serta produk-produk pornografi yang mengandung kekerasan dan perendahan martabat perempuan. Dampaknya muncul kekerasan
seksual terhadap perempuan dan anak seperti penyerangan seksual, pelecehan seksual dan perkosaan, Selain itu, permasalahan pornografi
Amandemen UU Kesehatan. UU kesehatan No.23 Tahun 1992 belum mengatur pelyanan kesehatan reproduksi perempuan dan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan. Hal ini berdampak pada rasio kematian ibu yang masih besar. Perundang-undangan yang ada juga belum melindungi hak reproduksi perempuan misalnya perempuan yang tertular HIV/AIDS karena tertular dari suami atau pasangannya.
Dalam UU No.23/1992 tentang kesehatan, masalah kesehatan perempuan seudah disebut yakni dalam pasal 14 yang berbunyi, ”Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa pra kehamilan, kehamilan, persalinan, pasca persalinan dan masa di luar kehamilan dan persalinan”. Konsep yang sesuai dengan konsep kesehatan reproduksi sudah nampak tetapi pasal ini hanya mengatur kesehatan perempuan setelah ia menikah. Perempuan yang belum menikah, sudah menikah, dan janda tidak tercakup dalam pasa tersebut, terutama karena pasal sebelumnya yakni pasal 12,13 memang menempatkan perempuan sebagai bagian dari keluarga dan disebut isteri. UU ini menempatkan perempuan tidak sebagai individu manusia yang mempunyai hak untuk mencapai tingkat kesehatan yang setinggi-tingginya, yang setara dengan hak warga negara lainnya. Perempuan baru mendapatkan haknya ketika ia sudah menjadi isteri, itupun tidak secara jelas menjamin apakah seorang isteri mempunyai hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk menentukan apakah ia siap hamil atau tidak. Dengan mencantumkan masalah kesehatan perempuan secara khusus
dalam UU kesehatan, diharapkan perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap hal itu juga lebih baik.
RUU KUHP Substansi KUHP yang berlaku saat ini masih terlalu umum. Belum mengatur aspek pidana, hukum acara, pencegahan, perlindungand dan kompensasi korban yang secara spesifik berlaku terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, mereduksi masalah kekerasan terhadap perempuan sebatas persoalan kesusilaan, sehingga tidak mencakup semua bentuk kekerasan yang dialami perempuan diluar yang dirumuskan. Sederhananya, pendekatan lex generalis RUU pada umumnya ini sudah tidak dapat lagi menjwab kebutuhan masyarakat. Misalnya kriminaisasi Hubunga seksual di luar perkawinan, padahal mereka yang melakukannya suka-sama suka. Filosofi hal ini ialah perbuatan tersebut merupakan perbuatan maksiat sehingga harus dipidana. Kriminalisasi ini merupakan crimes without victims yakni bentuk kriminalisasi tanpa adanya korban. Atau kriminalisasi prostitusi jalanan, yang dimuat dalam pasal 488 RUU KUHP. Semangat dari pasal ini tidak jauh berbeda dengan perda-perda anti pelacuran dan perbuatan maksiat yang dalam implementasinya merugikan perempuan. Perempuan harus membatasi gerakgerik, cara busana dan kemana perginya pada malam hari hanya agar terhindar dari anggapan bahwa mereka pelacur. Untuk memperbaikinya dibutuhnkan pendekatan lex specialis atau yang lebih spesifik. Kenyataan bahwa “rasa susila masyarakat” akan bergeser tidak dapat dicegah. Ciuman bibir yang dulu dianggap tabu, namun sekarang telah dianggap sebagai ekspresi cinta yang sangat manusiawi. Begitupun tarian erotis yang mempunyai
sejarah tersendiri dalam negeri ini yang sangat berlebihan bila hal itu kemudian dikriminalkan. Selain itu perkembangan wacana HAM yang menjamin kebebasan pers dan ekspresi individu sebagai hak asasinya juga turut mempengaruhi pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat yang semakin menghargai pilihan-pilihan individu dalam berekspresi.
Hal ini sesuai dengan Konferensi Dunia di Kairo tentang Kependudukan (ICPD)- 1994. Pemerintah Indonesia turut menandatangani hasilnya, telah menyepakati untuk mewujudkan hak-hak seksual dan kesehatan reproduksi setiap individu. Dalam paragraph 7.2,ICPD menekankan hak-hak dari individu terhadap “kehidupan seksual yang aman dan memuaskan”(satisfying and safe sex life).Individu mempunyai hak yang sama untuk memilih dan menjalani kehidupan seksualnya dan tentunya tidak patut diancam sebagai pelaku criminal.
2.6
Faktor Penghambat
1. Tidak adanya batasan yang jelas mengenai masalah pelecehan seksual, sehingga membuat sebagian orang kesulitan untuk tau apa saja yang masih termasuk dalam kategori pelecehan seksual.
2. Tidak adanya kepastian hukum yang pasti dalam menangani kasuss-kasus pelecehan seksual saat ini, karena secara resmi tidak ada Undang-undang yang menangani secara khusus kasus-kasus pelecehan seksual terhadap wanita.
3. Masih kentalnya paradigma di dalam masyarakat kita akan menomorduakan status social wanita. Hal ini sungguh memprihatinkan, sehingga sangat sulit untuk
menekan tingkat kasus pelecehan seksual terhadap wanita itu sendiri, selama paradigm itu masih ada didalam pemikiran masyarakat kita.
2.7
TARGET SASARAN
Demografi Sex
:
Wanita
Usia
:
20-25
Pendidikan
:
Lulus / kuliah
Kelas
:
B , B+
:
Kota-kota besar
Geografi Tempat Tinggal
Psikografi Terbuka ,imajinatif ,kritis ,menyukai hal-hal baru dan yang bersifat pengetahuan , berani tampil , suka ke perpustakaan , tetapi juga suka ketempat-tempat seperti coffeshop dan café , penikmat film dan music. Mencoba hal-hal baru , tau akan kondisi dunia hiburan saat ini . suka browsing internet , dan dan ikut dalam komunitas (komunitas film , komunitas music , komunitas desain , dll).
POSITIONING Kampanye Pelecehan Terhadap Wanita ini, adalah sebuah campaign yang ingin menyadarakan sebagian besar masayarakat bahwa Pelecehan terhadap wanita itu
seringkali terjadi terjadi namun kurang diberikan perhatian, atau malah kurang sadarnya mereka akan hal ini.
2.5
SWOT
STRENGTH -
Tema Pelecehan Terhadap Wanita merupakan tema yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, jadi mudah untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat itu sendiri.
-
Dengan tehnik komunikasi ambient media, akan memudahkan orang untuk mengerti dan mengingat pesan apa yang ingin disampaikan (memorable experience) dalam komunikasi kampanye ini.
WEAKNESS -
Tidak adanya Undang-undang yang jelas akan Pelecehan Terhadap Wanita..
-
Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat, mengenai apa saja yang termasuk/batasan dalam kategori Pelecehan seksual.
OPPORTUNITY -
Banyaknya Badan-Badan yang bermuculan atas nama wanita, yang memperjuangkan Hak-Hak wanita, dan selalu mengangkat tema Pelecehan Terhadap Wanita sebagai topic utama mereka.
THREAT -
Masih kurangnya kesadaran Masyarakat dalam mengambil tindakan akan kasus-kasus Pelecehan Terhadap wanita yang terjadi.
-
Paradigma lama tentang menomorduakan status wanita masih melekat disebagian masyarakat kita, sehingga sulit dirubah.