BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1
Data dan Literatur Data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari beberapa sumber, antara lain : 1. Website, buku, majalah, koran www.wikipedia.org www.budaya-betawi.blogspot.com www.kampungbetawi.com The World Book Encyclopedia Profil Etnik Jakarta – Lance Castles Folklor Indonesia ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain – James Danandjaja Beberapa Kumpulan Ceritera Epos Betawi – Dinas Museum & Sejarah 1979 Telaah Susastra Melayu Betawi – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1991 Making and Breaking the Grid What is Graphic Design? - Quentin Newark
Wawancara dengan narasumber : Bang Indra, pengelola Cagar Budaya Setu Babakan.
2.1.1 PT Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Grasindo adalah salah satu anak usaha dari Kelompok Kompas Gramedia. Grasindo didirikan pada tahun 1990 seiring dengan diluncurkannya Undangundang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut membuka cakrawala baru di bidang pengembangan jasa peningkatan mutu pendidikan. Banyak pengusaha yang kemudia beralih ke industri penerbitan.
Awalnya, Grasindo bergerak pada bidang penerbitan buku-buku teks atau pelajaran untuk taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah menengah umum, dan perguruan tinggi. Tahun 1990, sebuah majalah pendidikan yang bernama ARIF terbit perdana. ARIF diterbitkan untuk mengisi kebutuhan anak-anak terutama di usia sekolah dasar, dalam mempersiapkan diri ke tingkat pendidikan selanjutnya.
Seiring dengan kebutuhan dari berbagai kalangan, maka Grasindo juga mengembangkan sayapnya ke buku-buku di luar buku teks atau buku pelajaran. Diawali dengan diterbitkannya buku cerita-cerita rakyat, lagu anak-anak karya komposisi Indonesia yang diakui handal seperti bapak AT Mahmud dan ibu Kasur, permainan anak-anak yang menunjang kepiawaian anak dalam bidang matematik yaitu Polydron, dan buku-buku "Bagaimana" atau "How To" untuk orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Alasan lain pengembangan beberapa produk ini adalah mengantisipasi lajunya media elektronika yang menampilkan film-film ataupun cerita-cerita yang sebenarnya kurang sesuai dengan usia anakanak terutama anak-anak di tingkat taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Terlebih lagi, kurangnya pendampingan para orang tua ketika mereka mengkonsumsi tayangan-tayangan atau permainan-permainan tersebut.
Dalam kerangka pengembangan produk PT Grasindo mengadakan jalinan kerja sama dengan beberapa penerbit negara asing seperti Inggris, Belanda, Jerman, Australia, Jepang, Singapura, Malaysia, dan Amerika. Grasindo juga telah melakukan kolaborasi dengan kedutaan besar Australia untuk Indonesia dengan menerbitkan buku Geografi Australia. Seperti mendistribusikan ke banyak sekolah di Indonesia dan menciptakan "workshop" bagi para guru terutama guru-guru di daerah. Pada awal Oktober 2000, UNTAET (United Nations Transition Administration in East Timor) membeli beberapa judul buku dari Grasindo untuk anak-anak di Timor Timur. Jalinan hubungan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan juga diadakan dengan lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan lokal.
2.1.2 Visi dan Misi
Untuk berpartisipasi dan mengantisipasi derasnya jasa pendidikan yang tidak jarang bergeser dari misi semula. Mengembangkan sumber daya manusia Indonesia yang mayoritas berada pada umur produktif.
2.2.1
Sedikit Uraian Tentang Folklore
Yang dimaksud dengan folklore adalah sebenarnya cerita rakyat, yang berasal dari kata rakyat; lore (bahasa latin) – cerita, dalam pengertian sempit yang sudah dianggap pengertian umum.
Folklore ini merupakan satu aspek dari kebudayaan, yaitu bagian kesenian atau unsur bahasa dan termasuk dalam unsur seni sastra. Tapi kalau kita perhatikan lebih mendalam tentang folklore ini secara perkembangan ilmiah dari ilmu antropologi budaya maka pengertiannya adalah lebih luas, karena seluruh unsur kebudayaan masyarakat dapat dimasukkan kedalam folklore. Seperti upacara-upacara pada pesta tradisi-tradisi lisan, kepercayaan rakyat, permainan dan hiburan rakyat, sistim pengetahuan tradisionil dan bahasay isyarat, ilmu pengetahuan
obat-obatan
tradisional,
ilmu
masak-memasak
tradisional.
Kemudian ada pula pengertian folklore yang merupakan cerita rakyat sematamata seperti, dongeng rakyat, epos rakyat, cerita tahayul, mythe, legenda dan sebagianya. Ini sebenarnya pengertian folklore dari pengaruh Eropa terutama negara Skandinavia yang sudah maju dalam bidang folklorenya (ingat tokoh dongeng dunia Hans Christian).
Dan bagi kita di Indonesia pengetahuan folklore ini merupakan ilmu baru dari perluasan antropologi budaya. Saat-saat sekarang mulai diadakan pengumpulan
dalam
menjajagi
kemnungkinan
pengumpulan
koleksi,
inventarisasi dan dokumentasinya. Untuk itu telah pernah diadakan seminar mengenai Folklore di Jakarta. Dan oleh pemerintah melalui Departemen P & K
serta LIPI telah disetejui untuk membentuk suatu lembaga Pusat Folklore Indonesia yang berstatus pemerintah dan berfungsi sebagai pusat kordinasi segala kegiatan mengenai kegiatan koleksi, inventarisasi dokumentasi dan penelitian Folklore.
Kita
kembali
pada
perkembangan
folklore
di
Indonesia
yang
kemungkinan merupakan negara yang terkaya di dunia akan folklore, karena Indonesia masyarakatnya beraneka ragam yang tentunya bermacam-macam pula kebudayaan daerah.
Tentunya masih banyak folklore Indonesia yang bisa digali dari daerahdaerah
yang
beratus-ratus
tahun
yang
lalu
dan
perlu
dikumpulkan,
diinventarisasikan sebagai dokumentasi. Koleksi inventaris folklore Indonesia itu akan bermanfaat sekali sebagai sumber inspirasi yang selalu segar untuk membina kebudayaan baru Indonesia.
Kekayaan folklore Indonesia sebagaimana juga kekayaan bumi Indonesia masih tetap terpendam. Apabila digali dan dimanfaatkan maka folklore Indonesia akan dapat menghasilkan faedah yang amat besar bagi bangsa kita bukan saja di bidang seni budaya, tapi juga di bidang ekonomi.
Memang kalau kita lihat perkembangan folklore ini pada mulanya dicetuskan sebagai sub ilmu antropologi, karena pada perkembangan pertama dari ilmu antropologi adalah dari ethnologi dimana unsur yang aneh-aneh dari bangsa-bangsa dicatat dan kebanyakan adalah berbentuk cerita-cerita ataupun dongeng-dongeng rakyat.
2.2.2
Bentuk-bentuk Folklor Indonesia
Apabila kebudayaan pada umumnya, menurut Clark Wissler, Ralph Linton, dan kawan-kawan, mempunyai unsur-unsur yang disebut cultur universals, yang kemudian diperinci lagi menjadi aktivitas-aktivitas kebudayaan (cultural activities, kompleks unsur-unsur (trait complexes), unsur-unsur (traits), unsur-unsur kecil (items), maka folklor juga mempunyai unsur-unsur yang semacam itu yang disebut dengan istilah Prancis genre, atau dapat diterjemahkan menjadi bentuk dalam bahasa Indonesia.
Jika kebudayaan mempunyai tujuh unsur kebudayaan universal, yakni sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi, maka folklor menurut Jans Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari AS, dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan, (2) folklor sebagian lisan, dan (3) folklor bukan lisan.
Folklor lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk bentuk folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa
rakyat
seperti
logat,
julukan,
pangkat
tradisional,
dan
titel
kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongengl dan (f) nyanyian rakyat.
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan juga unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang “modern” seringkali disebut takhyul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang meterial dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong material antara lain : arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita di Afrika), dan musik rakyat.
2.2.3 Folklore Betawi dan Pendukungnya
Sebutan “Betawi” untuk ciri-ciri seni budaya tradisional yang hidup di kalangan kelompok-kelompok masyarakat Jakarta telah umum misalnya : Lenong Betawi, Topeng Betawi, Pantun Betawi dan sebagainya.
Bagaimanakah lahirnya tradisi seni – budaya yang berciri khas Betawi kiranya tidak mudah dipastikan. Tapi yang jelas tradisi itu lahir dan terus hidup karena ada kelompok masyarakat yang mendukungnya turun menurun dan sebagian masih berlangsung hidup sampai sekarang. Dan untuk mengetahui sejarah perkembangan kelompok masyarakat pendukung seni budaya tradisional Betawi itu diperlukan studi historis.
Sebutan “Betawi” sebagai perubahan bunyi dari nama kota “Batavia” yang diresmikan sebagai pengganti yang lama “Jayakarta” pada masa kekuasaan Jan Pieterzoon Coon pada awal abad XVII kiranya sudah jelas cukup tua pemakainnya, walaupun tidak harus disimpulkan bahwa sebutan “Betawi” itu semua nama kota “Batavia” itu sendiri. Jadi jelasnya orang Betawi itu adalah penduduk pribumi sejak Jakarta bernama “Batavia” bahwa lama sebelum masa itu, yang kemudian berkembang hingga sekarang sebagai penduduk wilayah DKI Jakarta, dan sebagian yang besar terdesak ke daerah pinggiran sampai perbatasan Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Merekalah yang merupakan penduduk Betawi yang khas tradisional dan merupakan kelompok seni budaya yang berbeda dengan penduduk lainnya yang menghuni daerah Jakarta dan sekitarnya.
2.3.1 Sejarah Betawi
Mahbub Djunaidi seorang kolomnis ternama asli Betawi pernah mencoba menjawabnya; walaupun akhirnya menyerah. “Bukan apa-apa bagaimana bisa menjelaskan sedangkan topangan literaur saja tidak ada. Mana ada nenek moyang orang Betawi meninggalkan tulisan? Babad, hikayat—tiada itu. Ada memang kisah sultan Zainul Abidin atau Siti Zubaedah yang saban-saban dipaparkan sahibul hikayat saat pesta sunatan atau perkawinan. Tetapi, isinya penuh rupa-rupa petualangan dan tingkah jin dalam berbagai kaliber.” Begitu alasannya di majalah Tempo, 20 Oktober 1984.
Sudah tiga buku ditulis Ridwan Saidi untuk menjelaskan pertanyaan itu yaitu Profil Orang Betawi (1997), Warisan Budaya Betawi (2000) dan Babad Tanah Betawi (2002). Menurut Ridwan orang Betawi bukanlah orang “kemarin sore”. Menurutnya orang Betawi telah ada jauh sebelum J.P. Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan mendirikan di atas reruntuknya kota Batavia.
2.3.2
Studi Ridwan Saidi Cikal bakal sejarah orang Betawi dikaitkan Ridwan dengan tokoh bernama Aki Tirem yang hidup di daerah kampung Warakas (Jakarta Utara) pada abad 2. Aki Tirem hidup dari membuat priuk dan bajak laut sering menyatroni tempatnya untuk merampok priuk. Lantaran keteteran sendiri melawan bajak laut maka dia memutuskan untuk mencari perlindungan dari sebuah kerajaan. Saat itulah Dewawarman seorang berilmu dari India yang menjadi menantunya dimintanya mendirikan kerajaan dan raja. Pada tahun 130 berdirilah kerajaan
pertama di Jawa yang namanya Salakanagara, yang artinya perak dari bahasa Kawi salaka.
Secara etimologis Salakanagara itu dikaitkan Ridwan dengan laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun 160 dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou (Jawa) bernama Argyre yang artinya perak. Didukung pula dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han pada tahun 132 yang menggambarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao Pien. Ye Tiau ditafsirkan sebagai Jawa dan Tiau Pien sebagai Dewawarman. Dari itu dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Holotan merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara seperti yang disebut Slamet Mulyana dalam bukunya “Dari Holotan sampai Jayakarta“.
Soal letak Salakanagara, Ridwan menunjuk kepada daerah Condet. Bukan hanya karena salak banyak tumbuh di Condet karena ada banyak namanama tempat yang bermakna sejarah, seperti Bale Kambang dan Batu Ampar. Bale Kambang adalah pasangrahan raja dan Batu Ampar adalah batu besar tempat sesaji diletakkan. Di Condet terdapat pula sebuah makam kuno yang disebut Kramat Growak dan makam Ki Balung Tunggal yang ditafsirkan yang merupakan tokoh dari zaman kerajaan pelanjut Salakanagara yaitu Kerajaan Kalapa.
Setelah menunjuk bukti-bukti geografis, Ridwan melengkapi teorinya tentang cikal bakal sejarah orang Betawi dengan sejarah perkembangan bahasa dan budaya Melayu agar sehingga semakin terlihat batas antara orang Betawi dan
Sunda. Pada abad ke 10 terjadi persaingan antara wong Melayu (Kerajaan Sriwijaya) dengan wong Jawa (Kerajaan Kediri). Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Setelah perdamaian tercapai kendali lautan dibagi dua, sebelah timur mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Yang artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta mitranya Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi karena Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa dikarenakan gelombang imigrasi yang lebih besar
ketimbang
pemukim
awal,
kemudian
bahasa
Melayu
akhirnya
mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. 2.3.3
Studi Lance Castles Agar timbangan tidak berat sebelah maka perlulah disini dikemukakan pula sosial-origin orang Betawi yang ditulis Lance Castles, peneliti asal Australia yang telaahnya kurang disukai oleh orang Betawi, namun memberikan jawaban yang sampai sekarang dianggap sebagai yang terbaik oleh banyak pihak, terutama dari sisi akademisi.
Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang
Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari, pertama daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia. Kedua, Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815. Keriga, catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893 dan keempat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan.
Dari perbandingan dapatlah diketahui bahwa selama sekitar satu abad, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makasar, Sumbawa, dan sebagainya tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat, yang berarti migrasi cukup besar di dari Jawa, dan mungkin estimasi kelompok etnis Sunda di masa lalu di daerah sekitar Batavia terlalu rendah. Sebaliknya muncul kelompok etnis baru yang disebut
“Batavians” (Betawi) dalam jumlah besar yaitu 418.900 orang. Jadi secara umum dapatlah dikatakan bahwa kehadiran orang Betawi merupakan buah dari kebijakan kependudukan yang secara sengaja dan sistematis diterapkan oleh VOC.
2.4.1
Definisi Buku Buku adalah kumpulan dari kertas atau material lainnya yang dicetak atau ditulis; dan digabung bersama disatu sisi sehingga dapat dibuka dari sisi lainnya. Kebanyakan buku memiliki sampul penutup. Manusia telah menggunakan buku dalam sekitar 5,000 tahun. Di jaman peradaban lampau, manusia menulis di lempengan lempung, potongan kayu tipis, atau material-material lainya. Kata book berasal dari kata inggris boc, yang berarti tablet atau written sheets. Buku dicetak pertama kali di Eropa pada pertengahan 1400’an.
2.4.2
Bagian Dalam Buku Halaman-halaman pada buku disatukan dengan lem atau jaitan di satu sisi, disebut punggung atau back. Dua cover di sambung oleh hinges dari punggung buku. Buku bisa jadi softbound atau hardbound, tergantung dari kovernya. Kebanyakan buku hardbound mempunyai kover dari kain, plastik atau kulit diatas karton. Sampul dari kertas biasanya ditambah untuk memproteksi kover buku hardbound. Kebanyakan dari buku softbound, disebut paperbacks, mempunyai kover dari kertas. Biasanya, judul buku dan informasi lainnya muncul di punggung buku dan kover depan demikian pula di sampul buku.
Di dalam kover depan di buku umumnya ada beberapa halaman yang disebut preliminary material. Material dimulai dengan end pape kosong, kemudian diikuti dengan half-title page. Judul buku ditaruh di halaman Recto (bagian depan). Sedangkan verso (bagian belakang halaman) bisa dikosongkan atau ditaruh ilustrasi, disebut frontispiece. Verso juga dapat mengandung daftar dari buku-buku lain oleh penulis yang sama. Sejalannya buku, verso selalu ditaruh di halaman genap, dan recto di halaman ganjil. Halaman berikutnya, disebut title-page, mengandung judul penuh buku di recto, dan juga nama pengarang dan penerbit. Verso dari title page menunjukan tanggal resmi publikasi dan dimana itu diterbitkan. Sebuah pernyataan copyright muncul, menjelaskan isi dan properti pengarang atau penerbit. Di buku-buku terbitan pertama, semua informasi sekarang ditaruh di halaman judul yang muncul di bagian akhir buku yang disebuah pernyataan yang disebut colophon. Material pendukung lainnya adalah foreword, yang memperkenalkan buku dan pengarangnya, dan biasanya ditulis oleh orang lain; sebuah preface, dimana penulis mendiskusikan aspek penciptaan buku; daftar isi, yang mendaftarkan urutan topik utama dalam buku atau heading dari bagian-bagian individual dari buku dan nomer halamannya; daftar ilustrasi (bila buku mempunyai ilustrasi); dan daftar pengakuan. Teks merupakan isi utama dari sebuah buku. Isi teks biasanya dibagi-bagi menjadi bagian terpisah disebut bab. Teks juga dapat mengandung ilustrasi. Beberapa buku mempunya catatan kaki yang memberikan informasi terpisah dari teks utama.
Buku juga banyak yang mempunyai bagian mengikuti teks. Appendix berisi catatan, tabel, daftar, dan skema. Buku juga dapat mempunyai index, yaitu daftar isi secara alfabetikal dari nama-nama penting, tempat dan topik yang disebutkan diteks. Buku juga dapat mempunyai bibliography, yaitu daftar sumber informasi yang digunakan penulis dalam menulis buku tersebut.
2.5.1. Struktur Buku Judul Buku Daftar Isi Kata Pengantar Penyusun Cerita Daftar Kata Dialek Betawi Biografi Singkat Rahmat Ali
2.5.2. Format Buku Kertas
: Garda Kiara, 115 gsm
Ukuran
: 26 cm x 25 cm
Cover
: hardcover
Binding
: perfect binding
2.5.3. Konten Buku 1. Si Pitung Si Pitung adalah anak Bang Piun dan Pok Pinah yang taat dan patuh kepada guru mengajinya Haji Naipin. Suatu hari ketika si Pitung disuruh menjual kambing ayahnya si Pitung di Tanah Abang dicopet oleh berandalan pasar. Si Pitung kemudian mendapatkan uangnya kembali dengan ketangkasannya bersilat. Ketika si Pitung diajak bergabung untuk menjadi berandalan si Pitung menolak dan malah mengajak mereka merampok orang kaya untuk menolong yang miskin. Si Pitung berhasil ditangkap oleh Schout Heyne dengan menembaknya dan setelah rahasia kekebalan si Pitung dibuka oleh Haji Naipin setelah dia ditodong senapan. 2. Si Panjang Para tauke pada jaman dahulu mempunyai jaringan yang rapih dan tidak kentara, terutama dalam bidang perdagangan. Mereka mulai mendatangkan guru silat dari seberang laut dan berlatih secara tersemunyi di malam hari. Si Panjang adalah salah seorang tauke yang sudah lama mengikuti latihan silat di Gading Melati, sampai akhirnya diangkat menjadi guru. Pada akhirnya dia melakukan perlawanan terhadap Belanda dan akhirnya tewas oleh peluru Belanda. 3. Si Jampang Si Jampang jatuh cinta dengan janda teman dekatnya bernama Mayangsari. Ketika Mayangsari tidak mau menikah dengannya si Jampang
malah memilih untuk menggunakan pertolongan dukun untuk menggunagunainya. Akhirnya Abdih, anak Mayangsari menyetujuinya dengan syarat sepasang kerbau sebagai mas kawin. Jampang menyetujuinya lalu dia pergi merampok untuk mendapatkan kerbau dan akhirnya ditangkap dan dihukum mati. 4. Mirah, Singa Betina dari Marunda Mirah adalah seorang pesilat wanita yang tangkas sehingga suatu hari berhasil dikalahkan oleh Asni dan dijadikan istrinya. Asni harus menangkap seorang perampok yang bernama Tirta yang kebetulan masih satu keluarga dengan Mirah. Mereka menggunakan acara pernikahan mereka sebagai pancingan dan akhirnya Tirta meninggal oleh pistolnya sendiri. 5. Bang Melong dari Maruga Bang Melong membuat masalah dengan para mandor yang membuat kehidupan para petani susah. Dia jatuh cinta dengan Saodah, anak seorang janda tua. Cidit seorang mandor musuh bang Melong menfitnahnya dengan merampok rumah Babah Siong sehingga Melong ditangkap oleh Belanda. Namun Melong berhasil kabur dengan bantuan Pak Janih. Mereka akhirnya berhasil mengalahkan Cidit dan musuh-musuh lainnya. Bang Melong berhasil ditangkap Belanda, namun sebelum ia dihukum mati Babah Siong datang dan bersaksi ke Belanda bahwa Melong tidak bersalah, bang Melongpun akhirnya tidak dihukum mati.
2.6.1. Pengamatan
Cerita rakyat Betawi pada umumnya dikenal tapi tidak benar-benar diketahui ceritanya secara penuh, kecuali untuk orang-orang Betawi asli yang tinggal di daerah pinggiran. Itu karena mereka mendapati cerita itu secara turun menurun, yang juga ceritanya sudah mengalami perubahan dari cerita aslinya dan makin lama makin tidak sejelas aslinya.
Sementara penduduk Jakarta yang sekarang belum tentu tahu secara penuh cerita rakyat Betawi kecuali dari film-film layar lebar dahulu kala seperti Si Pitung (1975), dan Macan Kemayoran (1965).
Perkembangan jaman dan bombardir media akan makin melunturkan budaya lokal, sebagai penduduk Jakarta bahkan sudah susah untuk melihat sebuah rumah gaya arsitektur Betawi dan menikmati tradisi-tradisinya secara langsung kecuali di daerah-daerah pinggiran dan cagar budaya seperti Babakan Setu. Demikian juga dalam mencari buku cerita rakyat Betawi, terutama dalam kemasan yang apik dan menarik.
Sementara itu masyarakat yang lebih berpendidikan dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi lebih tertarik dengan buku cerita rakyat produksi luar negeri dikarenakan oleh kemasan yang jauh lebih menarik dan visualisasinya yang jauh lebih profesional. Kata “lebih keren”, “nggak kampungan” atau “lebih bagus” sering diutarakan oleh demografi berusia produktif (20-25 tahun) Bahkan ada beberapa yang menganggap dongeng-dongeng luar negeri mempunyai nilai moral yang lebih bagus. Sudah serendah itukah citra cerita rakyat Indonesia?
Memang cerita rakyat dan tradisi lokal telah mempunyai market mereka sendiri yang tetap akan mencari tahu dan berusaha menjaga.Tetapi market itu terus dan tidak akan berhenti mengecil dan tergerus oleh masyarakat yang lebih memilih buku dengan packaging yang indah, menarik, dan dikerjakan dengan penuh profesionalisme baik dari segi layout maupun ilustrasi.
2.6.2. Target
Target yang baru itu ditujukan untuk orang-orang ber-Social Economy Status A & B, dan untuk khayalak yang berpendidikan dari sekitar kelas 3 - 6 SD, bisa untuk pembantu pendidikan serta orang tua yang tertarik untuk membelikan bagi anak-anak mereka. Ataupun orang-orang yang tertarik dengan kebudayaan Betawi serta ingin mempelajarinya, terutama bagi yang bukan Betawi asli.
2.6.3
Analisis SWOT
Strength
1. Cerita rakyat Betawi mempunyai keunikan tersendiri karena mengandung banyak unsur moral dan kemulti-etnisan Jakarta. 2. Beberapa cerita rakyat sudah dikenal karena pernah diekspos sebagai film sehingga beberapa tokoh sudah dikenal. 3. Mengungkap kehidupan orang Betawi pada jaman Belanda, terutama dengan keadaan Jakarta dijaman lampau, sehingga menarik rasa ingin tahu bagi penduduk kota jakarta modern.
4. Buku cerita rakyat lainnya belum mengalami perubahan yang terlalu berarti dalam segi packaging maupun visual.
Weakness
1. Harga produksi yang mahal sehingga mengurangi daya beli masyarakat 2. Penduduk kota Jakarta kurang peka terhadap budaya Betawi. 3. Mayoritas masyarakat Betawi sendiri memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih rendah dibanding suku-suku lainnya.
Opportunity
5. Buku cerita rakyat lokal lainnya masih belum berkembang juga secara visual 6. Pameran kebudayaan Indonesia di luar negeri, penduduk luar negeri seringkali lebih menghargai tradisi Indonesia daripada penduduk aslinya 7. Masyarakat yang masih muda mempunyai selera yang masih bisa dibentuk cita rasanya.
8. Tantangan untuk menyajikan cerita-cerita tersebut ke dalam dunia anak yang hidup pada kekinian.
9. Threat
11. Masyarakat luar negeri yang mampu menghidupkan kembali cerita rakyat mereka dengan jauh lebih indah dan menarik baik dalam bentuk buku maupun film 12. Media elektronik seperti acara televisi dan internet