BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN MENTAL
A. Anak Jalanan 1. Pengertian dan klasifikasi anak jalanan Istilah anak jalanan bukanlah istilah yang baru di kalangan masyarakat. Asumsi umum dari istilah anak jalanan adalah seluruh anak yang berada dan berkehidupan di jalanan. 1 Terbentuknya asumsi ini dipengaruhi oleh rutinitas dan aktifitas dari anak-anak yang masuk dalam kategori tersebut (anak jalanan). Pengertian umum tentang anak jalanan yang terbangun dalam pandangan masyarakat itu memang ada benarnya namun masih bersifat kabur. Hal ini dikarenakan belum adanya batasan usia bagi seseorang yang dikatakan sebagai “anak jalanan”. Batasan usia untuk “kategori” anak hingga saat ini memang masih menjadi “perdebatan” klasik di kalangan para pakar maupun pekerja sosial. Perbedaan dalam perumusan usia bagi anak jalanan dapat terlihat dengan adanya ragam pendapat berikut :2 a. Departemen Sosial memberikan batasan seseorang dikatakan sebagai anak antara dalam rentang usia 6 – 15 tahun. b. UNICEF (salah satu organisasi PBB untuk permasalahan anak) memberikan rentang waktu di bawah 16 tahun bagi seseorang yang masuk dalam kategori “anak”.
1
Pengertian ini penulis dapatkan dari wawancara dengan masyarakat secara acak yang penulis temui di sela-sela kegiatan penelitian di lapangan. 2 Dua batasan pertama dapat dilihat pada Supartono, Bacaan Dasar Pendamping Anak Jalanan, Semarang, Yayasan Setara, 2004, hlm. 10. Sedangkan satu batasan mengenai anak yang terakhir (ketiga) dapat dilacak pada Odi Shalahuddin, Di Bawah Bayang-Bayang Ancaman, Semarang, Yayasan Setara, 2004, hlm. 15.
20
c. Konvensi Hak Anak yang dilaksanakan oleh lembaga maupun yayasan sosial di bidang permasalahan anak di Jenewa menetapkan limit maksimal (maximum limit) 18 tahun bagi seseorang untuk disebut sebagai anak. Perbedaan pendapat terkait dengan batasan usia anak di atas sebenarnya dapat dirumuskan ke dalam satu kesimpulan umum bahwasanya batas usia anak dalam ruang lingkup pekerja sosial anak tidak lebih dari usia 18 tahun. Terlepas dari adanya beda pendapat tentang batasan usia, para pekerja sosial anak juga mengelompokkan anak jalanan ke dalam beberapa klasifikasi yang berbeda. Konsorsium Anak Jalanan Indonesia sebagaimana dikutip oleh Supartono3 mengelompokkan anak jalanan ke dalam tiga kelompok yakni : a. Anak perantauan (mandiri). Anak jalanan pada kategori ini bukan merupakan penduduk asli daerah dan biasanya suka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Anak perantauan menjadikan jalanan sebagai tempat hidup dan bekerja. b. Anak bekerja di jalanan. Kategori ini meliputi anak yang masih memiliki hubungan dengan orang tuanya dan hanya menjadikan jalanan sebagai lahan bekerja. Terkadang anak jalanan yang bertipe ini masih duduk di bangku sekolah. c. Anak jalanan asli. Kualifikasi anak jalanan asli antara lain adalah berasal dari keluarga gelandangan (yang hidup di jalanan dan terkadang tidak menetap) serta anak yang sengaja lepas dari ikatan orang tua dan bekerja apa saja di jalanan untuk mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidup.
3
Lih. Supartono, op. cit., hlm. 10-11.
21
Klasifikasi yang hampir sama dengan di atas juga diberikan oleh Odi Solahuddin, salah seorang aktifis sosial anak dan penulis buku tentang kehidupan anak jalanan, yang membedakan anak jalanan ke dalam tiga kelompok yakni :4 a. Anak jalanan yang memiliki kegiatan ekonomi di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan keluarga yang juga disebut dengan istilah Children on The Street. b. Children of the Street yaitu anak jalanan yang memutuskan hubungan dengan orang tua dan menghabiskan seluruh waktunya di jalanan. c. Anak jalanan yang berasal dari keluarga jalanan asli (gelandangan) atau disebut juga Children in The Street. Sedangkan Departemen Sosial RI hanya menetapkan dua kelompok anak jalanan yakni : a. Anak jalanan yang hidup di jalanan yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan dan menjadikan jalanan sebagai tempat tinggalnya. Kelompok ini identik dengan hidup mandiri yang memutuskan dan atau lama tidak bertemu dengan orang tua serta tidak mengenyam pendidikan formal (sekolah). b. Anak jalanan yang bekerja di jalanan. Anak jalanan tipe ini hanya menghabiskan sebagian waktunya di jalanan untuk bekerja dan setelah selesai mereka akan pulang kembali ke rumah masing-masing dan tidak memiliki hubungan yang teratur dengan orang tuanya.5
4 5
Odi Shalahuddin, op. cit., hlm. 14-15. Supartono, op. cit., hlm. 11-12.
22
Dari tiga pendapat di atas, anak jalanan dapat dikelompokkan lagi ke dalam klasifikasi yang didasarkan pada ragam tinjauan sebagai berikut:6 a. Asal keluarga Berdasarkan asal keluarga, anak jalanan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : 1) Anak jalanan dari keluarga asli jalanan. Tipe ini memang sejak kecil sudah biasa dan secara tidak langsung juga diperkenalkan dengan kehidupan
jalanan
sehingga
dalam
berkehidupan
dan
berpenghidupan mereka juga tidak jauh dari jalanan sebagai pusat kehidupan. 2) Anak jalanan bukan dari keluarga asli jalanan. Kelompok ini bukan berasal dari keluarga asli jalanan dan biasanya terjun (bekerja) di jalanan karena faktor ekonomi dan faktor lingkungan (ajakan teman maupun pengaruh lingkungan). b. Asal wilayah tempat tinggal Ditinjau dari asal tempat tinggal, maka anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. 1) Anak jalanan yang asli berasal dari wilayah jalanan tempat bekerja maupun hidup. 2) Anak jalanan yang berasal dari luar wilayah jalanan tempat hidup dan bekerja (perantauan).
6
Klasifikasi ini merupakan hasil usaha penulis setelah membaca berbagai klasifikasi anak jalanan dari beberapa yang telah melakukan studi mengenai keberadaan anak jalanan. Klasifikasi ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan pada wawancara dengan pendamping anak jalanan serta pengamatan penulis sendiri di lapangan.
23
c. Hubungan dengan orang tua Ada tiga kelompok anak jalanan ditinjau dari pola hubungan dengan orang tua, yaitu : 1) Anak jalanan yang masih melakukan hubungan rutin dengan orang tua. Kelompok anak jalanan ini biasanya masih memiliki keluarga dan hanya menjadikan jalanan sebagai tempat bekerja untuk membantu mengurangi beban keluarga. 2) Anak jalanan yang jarang melakukan hubungan dengan orang tua. Kelompok ini meskipun bekerja dan atau hidup di jalanan masih melakukan hubungan dengan orang tua (keluarga) meski dengan frekuensi yang tidak teratur. 3) Anak jalanan yang telah putus hubungan dengan orang tua. Anak jalanan ini telah benar-benar putus hubungan dengan orang tua dan tidak sama sekali melakukan kunjungan atau pulang ke rumah orang tua (keluarga). d. Fungsi Jalanan 1) Anak jalanan yang bekerja di jalanan. Anak jalanan tipe ini hanya menjadikan jalanan sebagai tempat bekerja dan memiliki rumah, baik rumah asli maupun rumah kontrakan, sebagai tempat tinggal. 2) Anak jalanan yang hidup dan bekerja di jalanan. Kelompok ini telah menjadikan jalanan sebagai tempat hidup dan bekerja. Tipikal anak jalanan pada kelompok ini identik dengan hidup tidak menetap di jalanan.
24
e. Pola hidup Pola hidup ini dipengaruhi oleh pandangan ataupun anggapan anak jalanan terhadap fungsi jalanan. Pengelompokkan anak jalanan menurut pola hidup dapat dibedakan menjadi dua kelompok yakni : 1) Anak jalanan yang menetap. Kehidupan menetap biasanya di jalani oleh anak jalanan yang bertujuan untuk bekerja di jalanan, baik yang berasal dari wilayah asli tempat bekerja maupun dari luar wilayah (perantauan). 7 Anak jalanan jenis ini biasanya menetap di suatu wilayah dan menjalin hubungan persekawanan dengan sesama anak jalanan secara semi permanen.8 2) Anak jalanan yang berpindah-pindah (nomaden). Pola hidup berpindah-pindah seringkali dilakukan oleh anak jalanan yang mandiri (memutuskan hubungan dengan orang tua) dan anak jalanan yang masih menjaga hubungan dengan orang tua dalam frekuensi yang tidak tetap. Biasanya anak jalanan tipe ini hanya menjadikan suatu wilayah kerja sebagai tempat hidup dan bekerja secara temporer.9 2. Sebab-sebab timbulnya anak jalanan Keberadaan anak jalanan tidaklah muncul begitu saja tanpa sebab. Menurut Yuti Sri Ismudiyati dan Thomas Dicky Hastjarjo,
10
pada
7 Para anak jalanan perantauan menetap dengan cara menyewa tempat (kos) sebagai tempat tinggal sementara. Para anak jalanan yang telah menetap biasanya juga telah memiliki tempat yang tetap dalam mencari nafkah di jalanan. Wawancara dengan Yuli BDN, salah satu pendamping anak jalanan Yayasan Setara Semarang, tanggal 12 Juni 2006. 8 Maksud dari semi permanen di sini adalah para anak jalanan hanya menjalin persekawanan berdasarkan pada azas saling membutuhkan dan perasaan senasib. Dalam persekawanan jenis ini, rasa saling percaya antar sesama anak jalanan sangat kurang , terlebih dalam aspek yang menyangkut masalah ekonomi seperti permasalahan pinjam meminjam uang. 9 Kelompok anak jalanan ini juga dikenal dengan sebutan “anak jalanan lintas wilayah/kota”. Wawancara dengan Hana Maria Ulfa, staff Yayasan Setara Semarang, tanggal 24 Juni 2006. 10 Lih. Yuti Sri Ismudiyati dan Thomas Dicky Hastjarjo, “Perilaku Coping dan Depresi Anak Jalanan di Kota Bandung Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Lamanya Mendapatkan Pelayanan di Rumah Singgah”, Journal Sosiohumanika, 2003, hlm. 272.
25
umumnya kemunculan anak jalanan disebabkan oleh dua faktor, mikro dan makro. Faktor yang bersifat mikro timbulnya anak jalanan yaitu bersumber dari lingkungan sosial anak, terutama pengaruh problem keluarga (konflik dengan anggota keluarga), lingkungan dan pengaruh teman sebaya. Sedangkan faktor yang bersifat makro terkait erat dengan kondisi sosio-ekonomi secara struktural yang berhubungan erat dengan pemenuhan dan pola bertahan hidup. Secara lebih detail Odi Solahudin menjelaskan adanya tiga faktor yang menyebabkan timbulnya anak jalanan. Ketiga faktor tersebut adalah:11 a. Faktor keluarga 1) Keluarga miskin Hampir seluruh anak jalanan di Semarang berasal dari keluarga miskin. Sebagian besar dari mereka saat ini berasal dari perkampungan-perkampungan urban yang tidak jarang menduduki lahan-lahan milik negara dengan membangun rumah-rumah petak yang sempit yang sewaktu-waktu dapat digusur. Status keluarga miskin tersebut mengakibatkan anak dari keluarga miskin harus ikut berjuang membantu orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah dengan mencari penghidupan di jalanan. 2) Perceraian dan kehilangan orangtua Perceraian atau berpisahnya orang tua yang kemudian menikah lagi atau memiliki teman hidup baru tanpa ikatan pernikahan seringkali membuat anak menjadi frustasi. Rasa frustasi ini akan semakin bertambah ketika anak dititipkan ke salah satu anggota keluarga orangtua mereka atau ketika anak yang biasanya lebih memilih 11
Disarikan dari Odi Shalahuddin, op. cit., hlm. 72-83.
26
tinggal bersama ibunya merasa tidak mendapatkan perhatian, justru mendapatkan perlakuan buruk dari ayah tiri atau pacar baru ibunya. Situasi semacam ini akan membuat anak merasa tidak betah hidup di lingkungan keluarga dan berusaha mencari ketenangan dan kebahagiaan di tempat lain di mana salah satunya adalah hidup di jalanan. 3) Kekerasan keluarga Kekerasan keluarga merupakan merupakan faktor resiko yang paling banyak dihadapi oleh anak-anak sehingga mereka memutuskan keluar dari rumah dan hidup di jalanan. Kekerasan dalam keluarga tidak hanya bersifat fisik saja, melainkan juga bersifat mental dan seksual. 4) Keterbatasan ruang dalam rumah Adanya rumah-rumah petak yang didirikan secara tidak permanen dan seringkali menggunakan bahan-bahan bekas seadanya dengan ruang yang sangat sempit, kadang hanya berukuran 3 X 4 meter saja. Bentuk dan ukuran bangunan yang tidak layak disebut rumah itu kenyataannya dihuni oleh banyak orang. Situasi semacam ini yang membuat anak-anak, biasanya yang sudah berumur diatas lima tahun memilih atau dibiarkan oleh orangtuanya untuk tidur diluar rumah, seperti di tempat ibadah (mushola atau masjid) yang ada di kampung tersebut, pos ronda, atau ruang-ruang publik yang berdekatan dengan kampung mereka. 5) Eksploitasi ekonomi Anak-anak yang turun ke jalanan karena didorong oleh orangtua atau keluarganya sendiri biasanya bersifat eksploitatif. Anak
27
ditempatkan sebagai sosok yang terlibat di dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. 6) Keluarga homeless Seorang anak menjadi anak jalanan bisa pula disebabkan karena terlahirkan dari sebuah keluarga yang hidup di jalanan tanpa memiliki tempat tinggal tetap. Kecenderungan yang tampak biasanya mereka bukan merupakan keluarga yang utuh, melainkan seorang ibu bersama anak-anaknya. b. Faktor lingkungan 1) Ikut-ikutan teman Teman di sini bisa berarti teman-teman di lingkungan sekitar tempat tinggal anak atau teman-teman di sekolahnya yang telah lebih dahulu melakukan kegiatan di jalanan. Keterpengaruhan akan sangat cepat apabila sebagian besar teman-temannya sudah berada di jalanan. 2) Bermasalah dengan tetangga atau komunitas Anak yang turun ke jalanan karena memiliki masalah dengan tetangga atau komunitasnya, biasanya berawal dari tindakan anak yang melakukan tindakan kriminal seperti pencurian. 3) Ketidakpedulian atau toleransi lingkungan terhadap keberadaan anak di jalanan Ketidakpedulian komunitas di sekitar tempat tinggal anak atau adanya toleransi dari mereka terhadap keberadaan anak-anak di jalanan menjadi situasi yang turut mendukung bertambahnya anak-anak untuk turut ke jalanan. Biasanya ini terjadi pada
28
komunitas-komunitas masyarakat miskin yang sebagian besar warganya bekerja di jalanan terutama sebagai pengemis. c. Faktor lain 1) Korban penculikan Korban penculikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak berada di jalanan. Kasus penculikan yang menimpa anak-anak untuk dijadikan sebagai anak jalanan hampir terjadi setiap tahun. Tampaknya kasus ini luput dari perhatian mengingat jumlah kasusnya memang tidak besar. 2) Dampak program Niat baik tidaklah selalu menghasilkan hal baik. Program-program anak jalanan yang dilakukan oleh berbagai pihak tentunya tidak dimaksudkan untuk mempertahankan anak-anak di jalanan melainkan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan, kesempatan mendapatkan hak-haknya dan yang terpenting adalah untuk mengeluarkan anak dari dunia jalanan yang dinilai sangat tidak layak untuk diarungi oleh mereka. Berbagai program bantuan kepada kelompok masyarakat miskin, termasuk kepada anak jalanan dan keluarganya, di beberapa perkampungan miskin yang menjadi basis tempat tinggal anak jalanan Semarang justru mempengaruhi keluarga-keluarga lainnya untuk mendorong anak turun ke jalanan dengan harapan bisa mendapatkan bantuan serupa. Hal ini bisa dikatakan sebagai respon yang besar kemungkinan dapat terjadi di manapun sehingga pihak-pihak yang terlibat untuk memberikan bantuan seharusnya berhati-hati dan mengembangkan mekanisme pelaksanaan program yang bisa mengantisipasi dampak buruk yang bisa bertolak belakang dari tujuan program.
29
3) Korban bencana Bencana alam seperti banjir, gunung meletus dan sebagainya ataupun bencana yang terjadi karena disebabkan oleh suatu akibat dari kebijakan pembangunan seperti penggusuran perkampungan miskin ataupun bencana yang ditimbulkan karena adanya konflik, yang kesemuanya itu dapat menyebabkan komunitas tersebut harus pindah dari tempat tinggal asalnya dan menjadi pengungsi. Situasi di dalam pengungsian dengan fasilitas dan persediaan bahan pangan yang terbatas menyebabkan anak-anak melakukan kegiatan di jalanan seperti menjadi pengemis. B. Konsep Diri 1. Pengertian konsep diri Sebagai makhluk yang mempunyai dua sisi “status diri”, status sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, secara otomatis manusia pun memiliki dua “jalan” dalam hidupnya. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai hak dan kewajiban terhadap eksistensi diri pribadinya. Pada satu sisi, manusia mempunyai hak untuk mempergunakan organ-organ tubuh dan di sisi lain mereka dituntut kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sebagai sarana menjaga keutuhan dan eksistensi organ-organ penyusun dirinya. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia akan tunduk pada keharusan menjalin hubungan dengan orang lain dalam rangka mempertahankan eksistensi diri pribadinya. Hubungan dengan lingkungan sekitarnya, akan dapat mempermudah manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Terkadang sesuatu hal yang tidak mungkin dikerjakan secara sendiri dapat teratasi manakala dilakukan secara bersama dengan orang atau individu lain. Hubungan antara status makhluk individu dan makhluk sosial dalam diri manusia tidak dapat dipisahkan. Hubungan tersebut sangat bergantung
30
pada status makhluk individu dari manusia. Melalui pengenalan diri sendiri dengan berbagai hal yang terdapat dalam dirinya, baik kelebihan maupun kelemahan, manusia akan mampu melihat, merasakan, dan menilai segala apa yang dilihat, diraba, dirasakan, maupun didengar oleh mereka. Konsepsi orang terhadap dirinya juga merupakan faktor pokok dalam penyesuaian pribadi dan sosial. Pribadi seseorang terbentuk dari pengalaman kognitif dan afektif yang bersumber kepada diri, yang merupakan sumber pengalaman, kelakuan dan fungsi-fungsi. Artinya, pribadi akan terbentuk dari sekumpulan pengenalan orang- orang terhadap dirinya dan penilaiannya terhadap dirinya itu.12 Dengan kata lain jika seseorang memandang dirinya serta didukung oleh anggapan orang lain terhadap dirinya bahwa dirinya tidak mampu, tidak berdaya dan hal-hal negatif lainnya, maka akan berpengaruh juga dalam usaha mereka. Misalnya, seseorang akan jadi malas mengerjakan PR karena merasa pasti gagal, malas belajar menjelang ujian karena merasa yakin akan dapat nilai jelek. Hal itu juga berlaku sebaliknya jika kita merasa diri kita baik, bersahabat, maka perilaku yang kita tunjukkan juga akan menunjukkan sifat itu, misalnya dengan rajin menyapa teman atau menolong orang lain.13 12
Musthafa Fahmi, Penyesuaian Diri, terj. Zakiyah Drajat, Jakarta, Bulan Bintang, 1982, hlm. 111. 13 http://kompas.com/kompas-cetak/0311/07/muda/673004 tanggal 11 Mei 2006; Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain. Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. (Konsep Diri Oleh Jacinta F. Rini Team e-psikologi Jakarta, 16 Mei 2002). Pembahasan mengenai konsep diri positif dan negatif secara lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian lain bab ini.
31
Dasar bagi penyesuaian diri individu adalah kesadaran akan diri dan penilaian, kesadaran akan diri mengacu pada gambaran tentang diri dan penilaian pada diri sendiri yang meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri. Sedangkan kesadaran terhadap lingkungan mengacu pada persepsi individu terhadap lingkungan sosial, non fisik, fisik maupun psikologis. Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Secara lebih luas konsep diri merupakan pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri secara keseluruhan sebagai hasil observasi terhadap dirinya di masa lalu dan di masa sekarang yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Disamping itu juga merupakan kekuatan pendorong dalam perilaku seseorang. Individu akan berusaha untuk memelihara atau mempertahankan konsep diri yang digunakan dalam bertingkah laku, sesuai tujuan, kemampuan, nilai-nilai dan kepercayaan, bahkan untuk mencapai prestasi yang diinginkan dalam karier yang menjadi tujuannya. Individu juga berusaha untuk meningkatkan atau mempertinggi konsep dirinya dengan belajar dan mengembangkan diri menuju diri yang ideal.14 Secara khusus, dalam pengertian konsep diri, ada beberapa ahli yang memberikan penjelasan mengenai hal tersebut yang menyampaikan definisi yang antara lain sebagai berikut: a. William D. Brooks yang dikutip Jalaluddin Rahmad. Menyebut konsep diri sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have drived from experiences and our interaction with others”. Pengertian tersebut memiliki makna bahwa konsep diri merupakan persepsi manusia yang meliputi fisik, sosial, dan psikis yang berasal dari pengalaman dan interaksi manusia dengan dirinya
14
Mei 2006
http://Top/Organization/Statistika/S1/jiptits -gdl-s1-2005-kundiarto-1925, tanggal 12
32
sendiri dan masyarakat (orang lain).15 b. Musthofa Fahmi menyatakan; konsep diri adalah sekumpulan pengenalan orang terhadap dirinya dan penilaiannya terhadap dirinya itu.16 c. Carles Haston Cooley memberikan definisi konsep diri sebagai pengenalan terhadap diri yang merupakan suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. 17 d. Pudjijogyanti menyatakan konsep diri merupakan sikap, pandangan, atau keyakinan seseorang terhadap keseluruhan dirinya.18 Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri merupakan sikap, pandangan, gambaran dan penilaian yang dimiliki oleh seseorang tentang dirinya sendiri yang meliputi karakter fisik, psikis dan sosial yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman dan interaksi dari seseorang dengan orang lain. 2. Perspektif konsep diri Gambaran mental yang dibentuk orang tentang dirinya mempunyai tiga sisi : sisi pertama, khusus tentang ide yang diambilnya dari kemampuan dan kemungkinannya, boleh jadi gambaran tentang dirinya sebagai orang yang mempunyai tempat, yang memiliki kemampuan untuk belajar, dan mempunyai kekuatan jasmani. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa ia mampu untuk mencapai keberhasilan. Dan sebaliknya boleh jadi ada orang yang mempunyai gambaran tentang dirinya, bahwa ia lemah, gagal, atau kurang penting, kurang kemampuan dan bahwa kesempatan untuk berhasil
15
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991, hlm.
99. 16
Musthafa Fahmi, loc. cit. R.B. Burns, Konsep Diri, Teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku, terj. Eddy, Jakarta, Arcan, 1993, hlm. 16. 18 Pudjijogyanti, Konsep Diri dalam Belajar Mengajar, Jakarta, Arcan, 1985, hlm.3 17
33
padanya adalah kecil. Adapun sisi kedua dari pengertian pribadi, berhubungan dengan pikiran orang tentang dirinya dalam hubungannya dengan orang lain. Boleh jadi ia memandang dirinya sebagai orang yang disayangi atau dibenci oleh orang lain. Boleh jadi ia berpendapat bahwa nilai-nilai, sikap, kedudukan, pandangannya, keturunan atau agama yang dianutnya, merupakan sebab dari rendahnya pandangan orang kepadanya, atau tidak percaya kepada hak tersebut dan ia berhati-hati sekali, atau memandangnya dengan penuh penghargaan. Karena yang sangat mempengaruhi
pandangan individu
terhadap dirinya, adalah cara orang lain memandangnya, karena gambaran tiap orang tentang dirinya terbentuk dalam pandangan orang lain terhadapnya. Sisi ketiga adalah pandangan orang yang seharusnya terhadap dirinya. Pandangan ini berbeda dari gambarannya yang sebenarnya terhadap dirinya. Semakin bertambah kematangannya dan semakin dekat tercapainya gambaran tersebut, ketika itu dapat dikatakan bahwa ia menerima dirinya sebagai manusia, dan ia mempunyai kepercayaan terhadap dirinya dan kekuatannya, serta percaya kepada orang yang memberikan bantuan kepadanya sepanjang perjalanannya. disamping ia mempunyai keberanian untuk menghadapi batasan- batasannya, serta ia hidup dalam ruang lingkupnya dan memandang ke hari depan dan tujuan-tujuannya dengan pandangan obyektif.19 Dalam konsep diri terdapat beberapa unsur antara lain: a. Penilaian diri merupakan pandangan diri terhadap: 1) Pengendalian keinginan dan dorongan-dorongan dalam diri. Bagaimana seseorang mengetahui dan mengendalikan dorongan, kebutuhan dan perasaan-perasaan dalam dirinya. 19
Musthafa Fahmi, op. cit., hlm. 112.
34
2) Suasana hati yang sedang dihayati seperti bahagia, sedih atau cemas. Keadaan ini akan mempengaruhi konsep diri kita positif atau negatif. 3) Bayangan subyektif terhadap kondisi tubuh. Konsep diri yang positif akan dimiliki kalau seseorang merasa puas (menerima) keadaan fisiknya. Sebaliknya, kalau seseorang merasa tidak puas dan menilai buruk keadaan fisiknya, maka konsep diri seseorang tersebut akan negatif atau jadi memiliki perasaan rendah diri. b. Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana seseorang menerima penilaian lingkungan sosial pada dirinya. Penilaian sosial terhadap diri seseorang yang cerdas, supel akan mampu meningkatkan konsep diri dan kepercayaan dirinya. Adapun pandangan lingkungan pada seseorang seperti si gendut, si bodoh atau si nakal akan menyebabkan memiliki konsep diri yang buruk terhadap dirinya. c. Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau citra diri, yaitu merupakan gambaran: 1) Siapa saya, yaitu bagaimana seseorang menilai keadaan pribadi seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi keluarga atau peran lingkungan sosialnya. 2) Saya ingin jadi apa, seseorang memiliki harapan-harapan dan cita-cita ideal yang ingin dicapai yang cenderung tidak realistis. Bayang-bayang mengenai ingin jadi apa nantinya, tanpa disadari sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh ideal yang menjadi idola, baik itu ada di lingkungannya atau tokoh fantasinya. Ketiga hal ini akan membentuk bagaimana seseorang memandang dan menerima dirinya serta memposisikan dirinya dalam lingkungan
35
masyarakat sekitarnya.20 Menurut Rogers, diri atau konsep diri adalah bentuk konseptual yang tetap, teratur,dan koheren yang dibentuk oleh persepsi-persepsi tentang kekhasan dari “aku” dan persepsi-persepsi tentang hubungan “aku” dengan yang lain, dengan beberapa aspek hidup bersama dengan nilai-nilai yang dimiliki persepsi-persepsi ini. Rogers juga memandang konsep diri sebagai gambaran mental diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang diri, pengharapan bagi diri dan penilaian terhadap diri sendiri. Pengertian ini menunjukkan bahwa konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu pengetahuan, harapan dan penilaian. Dimensi pengetahuan ,yaitu segala pengetahuan atau informasi yang individu ketahui tentang dirinya, seperti umur, jenis kelamin, penampilan, dan sebagainya. Dimensi harapan, yaitu suatu pandangan tentang kemungkinan menjadi apa individu dimasa mendatang, atau dengan kata lain dimensi harapan ini merupakan gambaran tentang diri ideal. Dimensi penilaian, yaitu penilaian individu tentang gambaran siapa dia, dan gambaran tentang seharusnya menjadi atau menjadi apa dia. Bila kenyataan diri individu (apa yang memang benar tentang dirinya), dan diri ideal individu (apa yang ia rasakan sebagai seharusnya) berbeda sekali, sangat mungkin individu tersebut akan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri. Semakin besar perbedaan tersebut, semakin besar pula ketidakpuasan itu. Berdasarkan dimensi tersebut, Rogers membedakan dua macam konsep diri, yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Konsep diri real, yaitu pandangan tentang diri yang sebenarnya yang kemudian disebut sebagai “ diri yang organismik” yang merupakan dasar realitas psikis dan memiliki “prioritas mutlak”. Konsep diri yang ideal, yaitu suatu pandangan
20
(http://kompas.com/kompascetak/0311/07/muda/673004. htm seperti yang diterima pada 11 Mei 2006)
36
tentang diri sendiri sebagaimana diidam-idamkan atau seperti yang seharusnya. Setiap individu seharusnya tidak sekedar mempunyai gambaran tentang diri nyata dan diri idealnya, namun juga mempunyai kesesuaian diantara keduanya. Penyesuaian antara diri nyata dan diri ideal itulah yang akan menciptakan kondisi kongruen pada individu. Dalam keadaan kongruen, individu benar-benar membuka diri atas semua pengalaman yang dialaminya, baik yang terjadi di dalam maupun diluar dirinya. Keterbukaan terhadap pengalaman membuat individu mampu memandang diri dan dunia luar sebagai realitas yang obyektif, sehingga mampu memanfaatkan seluruh potensinya sekaligus potensi di luar dirinya secara maksimal. Dalam kondisi
seperti
ini,
individu
lebih
mampu
mengarahkan
dan
mengorganisasikan kehidupannya dengan sebaik-baiknya.21 Menurut banyak penelitian, tiap individu memiliki lebih dari pada satu konsep diri. Atwater membedakannya menjadi empat,yaitu sebagai berikut: a. Subjective self (diri subyektif), yaitu cara sesorang memandang dirinya sendiri. Konsep diri ini terdiri atas persepsi diri yang diperoleh selama hidup, terutama saat tumbuh menjadi dewasa yang banyak dipengaruhi oleh bagaimana seseorang dilihat dan diperlakukan oleh significant others, dalam hal ini orang tua b. Body image (citra tubuh),yaitu cara seseorang memandang tubuhnya. Selain meliputi pantulan dari cermin, konsep ini juga merupakan cara seseorang menyelami tubuhnya. Penerimaan seseorang terhadap keadaan tubuhnya yang dipengaruhi faktor sosial dan budaya. Semakin dekat bentuk tubuh seseorang dengan bentuk tubuh yang diidealkan,
21
Juriana, Keseuaian antara Konsep Diri Nyata dan Ideal dengan Kemampuan Manajemen Diri Pada Mahasiswa Pelaku Organisasi, Jurnal Psikologi, No. 9 tahun V, 2000, hlm. 69.
37
semakin siap ia menerima bentuk tubuhnya. Pemahaman citra tubuh berbeda pada pria dan wanita.Wanita umumnya lebih mempedulikan daya tarik fisik atau sosial dari penampilan mereka; sementara pria lebih memusatkan perhatian pada kompetensi fisik atau apa yang dapat dilakukan oleh tubuh mereka dalam mempengaruhi lingkungan. c. Ideal self (diri ideal), yaitu diri yang diinginkan seseorang, termasuk aspirasi, moral ideal, dan nilai. Biasanya seorang akan berfikir untuk mengubah citra diri dan prilaku agar bisa sesuai dengan diri idealnya. Bukti penelitian menyatakan bahwa diri ideal seseorang relatif lebih konsisten seiring berjalannya waktu dibandingkan diri subyektif. d. Social self (diri sosial), yaitu persepsi diri berkaitan dengan pengaruh sosial yang ada. Tidak konsistennya konsep diri seseorang banyak disebabkan oleh adanya pengalaman manusia sebagai makhluk sosial. Sikap dan perilaku orang lain berpengaruh terhadap diri seseorang yang mengakibatkan orang tersebut mengubah perilaku agar dapat diterima, dan dalam proses tersebut,orang tersebut mengubah pula persepsi dirinya .dengan demikian yang diubah bukan diri keseluruhan, melainkan hanya social self-nya.22 Menurut Carl Rogers, konsep diri seseorang dalam kehidupan secara bertahap berkembang. Seseorang berusaha menjadi dirinya sendiri (diri aktual / real self) dengan patokan yang disebut ideal self, yaitu diri ideal yang ingin dicapai seseorang. Keseimbangan atau ketidakseimbangan antara diri aktual dan diri ideal inilah yang menentukan kedewasaan (maturity), penyesuaian (adjustment), dan kesehatan mental seseorang.23 Rustell membedakan konsep diri menjadi:
22
B.S. Devina Alfarani, “Sikap Wanita terhadap Kosmetik dan Kaitannya dengan Diskrepansi Konsep Diri dan Citra Produk”, dalam Pengembangan Kualitas SDM dari Perspektif PIO, ed. Bertina S. dkk, Jakarta, Bag. PIO Fak. Psikologi UI, 2001, hlm. 537. 23 Ibid., hlm. 538.
38
a. The real self (diri aktual) yaitu persepsi seseorang tentang keadaan dirinya yang sebenarnya b. The ideal self (diri ideal), yaitu persepsi seseorang tentang bagaimana keadaan ideal dirinya yang diinginkan. c. The real other self / social self (diri sosial), yaitu persepsi seseorang tentang bagaimana orang lain memandang / mempersepsi dirinya, yang tidak ada hubungannya dengan bagaimana sebenarnya orang lain memandang diri orang tersebut. Ia hanya menerjemahkan persepsi orang lain terhadap dirinya dengan melihat perilaku orang itu pada dirinya. d. The ideal other/social ideal self (diri sosial ideal), yaitu persepsi seseorang tentang bagaimana ia menginginkan orang lain memandang dirinya.24 3. Aspek-aspek Hardy dan Heyes mengatakan bahwa konsep diri terdiri dari dua aspek, yaitu:25 a. Aspek citra diri (self image). misalnya “saya seorang pelajar”, “saya seorang pemain bulu tangkis”. b. Aspek harga diri (self esteem). meliputi suatu penilaian, perkiraan mengenai pengetahuan atas diri “self worth”, misalnya : “saya pemarah”, “saya pemalu”. Sedangkan menurut Berzonsky, konsep diri itu terbagi dari beberapa aspek yaitu:
24 25
hlm. 137.
Ibid., hlm. 543-544. M. Hardy dan Heyes, Beginning Psychology, terj. Soenardji, Jakarta, Erlangga, 1988,
39
a. Aspek fisik, yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya tentang penampilannya, arti penting tubuh dalam hubungannya dengan perilaku dan gengsi yang diberikan yg berhubungan dengan penilaian di mata orang lain. b. Aspek psikis, yaitu meliputi pikiran, perasaan dan sikap individu terhadap dirinya tentang kemampuan dan ketidak mempunyai harga dirinya dan hubungan dengan orang lain. c. Aspek sosial, yaitu bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh individu dan penilaian individu terhadap peran tersebut. d. Aspek moral, yaitu meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah yang positif bagi kehidupan, misalnya menegakkan kebenaran adalah kewajiban manusia Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri tidak terlepas dari masalah gambaran diri mengenai citra diri, harga diri, fisik, psikis, sosial dan moral, selanjutnya jika ia mempunyai penilaian bahwa ia puas dengan keadaannya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut menilai dirinya baik dalam menerima dirinya dan mempunyai konsep diri yang positif. 4. Faktor pembentuk Konsep diri tidak langsung ada pada diri manusia tanpa melalui proses. Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk membentuk konsep dirinya sangat lama dan sudah dimulai sejak ia dilahirkan di dunia. Berdasarkan pengertian tentang konsep diri, secara garis besar faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri dapat dikelompokkan menjadi dua. Faktor pertama berasal dari dalam diri seseorang tersebut atau disebut juga faktor internal. Pandangan seseorang terhadap kondisi diri sendiri (pribadi) baik yang menyangkut struktur tubuh maupun kemampuan yang dimilikinya akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap diri dan
40
lingkungan sekitar. Sedangkan faktor kedua adalah faktor yang berasal dari luar diri pribadi seseorang (eksternal). Konsep diri juga terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orang-orang disekitarnya, segala sesuatu yang menjadi persepsi orang lain mengenai diri individu tersebut tidak terlepas dari struktur, peran dan status sosial. Konsep diri juga terbentuk berdasarkan persepsi seseorang mengenai sikap-sikap orang lain terhadap dirinya. Lebih lanjut diuraikan bahwa terbentuknya konsep diri merupakan gejala yang dihasilkan dari adanya interaksi antara individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Secara detail R.B. Burns menyatakan ada lima hal yang menjadi sumber pokok pembentuk konsep diri yakni :26 a. Citra tubuh; evaluasi terhadap diri fisik sebagai suatu obyek yang jelas-jelas berbeda. b. Bahasa;
kemampuan
untuk
mengkonseptualisasikan
dan
memverbalisasikan diri dan orang-orang lainnya. c. Umpan balik yang ditafsirkan dari lingkungannya tentang bagaimana orang-orang lain yang dihormatinya memandang pribadi tersebut dan tentang bagaimana pribadi tadi secara relatif ada keselarasan dengan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang bermacam-macam. d. Identifikasi dengan model peranan seks yang stereotip yang sesuai. e. Praktek-praktek membesarkan anak. Ada beberapa ciri yang dapat terlihat manakala seseorang telah menemukan bentuk konsep diri. Menurut G.W Allport dalam Sarlito
26
R.B. Burns, op.cit, hlm. 189.
41
Wirawan Sarwono27 ciri-ciri telah terbentuknya konsep diri adalah: a. Penerimaan diri sendiri (extension of the self), pemekaran diri sendiri ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya. b. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara obyektif (self objectification) ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight) dan kemampuan untuk menangkap humor (sense of humor) termasuk yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran. c. Memiliki filsafat hidup tertentu (unifying philosophy of life). Orang tersebut tidak mudah terpengaruh dan pendapat-pendapatnya serta sikap jelas dan tegar. 5. Faktor yang mempengaruhi Berbagai permasalahan mengenai diri selama masa remaja ini, tidak dapat disangkal, dipengaruhi juga oleh lingkungan sosial, sejauh kemampuan aktifitas nyata seseorang. Menurut M. Argyle, sebagaimana dikutip oleh M. Hardy dan Heyes, 28 terdapat empat hal yang sangat berkaitan yang berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri yang meliputi: reaksi terhadap aksi dari orang lain, 29 pembandingan dengan orang lain,30 peranan seseorang,31 dan identifikasi terhadap orang lain.32
27 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 71-72. 28 Malcolm Hardy and Heyes, op. cit., hlm. 138 dst 29 Dalam hal ini (respon orang lain) seseorang dapat mempelajari diri sendiri, segala sanjungan, senyuman, pujian dan penghargaan akan menyebabkan penilaian positif terhadap diri remaja. Selain itu ejekan dan cemoohan dan hardikan akan menyebabkan penilaian negatif terhadap diri seseorang. 30 Konsep diri sangat tergantung kepada cara bagaimana seseorang membandingkan dirinya dengan orang-orang yang hampir memliki kesamaan dengan dirinya. 31 Peranan seseorang dalam konsep diri sangat penting karena melalui kedekatan-kedekatan seseorang akan dapat merasakan bagaimana besarnya peranan orang lain terhadap keberadaan dirinya. 32 Efek dari penilaian orang lain terhadap diri seseorang adalah adanya penilaian balik kepada orang lain.
42
Menurut George Herbert Mead, seperti yang dikutip dalam Jalaluddin Rahmat, tidak semua orang di sekitar dapat memberikan pengaruh dalam konsep diri kita. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat memberikan pengaruh. George Herbert Mead menyebut orang-orang itu sebagai significant other- orang lain yang sangat penting. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orangtua kita, saudara- saudara kita dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Sedangkan Richard Dewey dan W.J. Humber, sebagaimana dikutip dalam buku yang sama, menamainya affective others- orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah , secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Senyuman, pujian, penghargaan, pelukan mereka, menyebabkan kita menilai diri kita secara positif. Ejekan, cemoohan, dan hardikan, membuat kita memandang diri kita secara negatif. Dalam perkembangannya, significant others atau affective others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang. Mereka mengarahkan tindakan, membentuk pikiran dan menyentuh seseorang secara emosional. Pengaruh yang diberikan oleh individu lain tidak hanya dilakukan secara personal, melainkan dapat terjadi dalam dan dengan adanya kelompok rujukan (reference group). Dalam pergaulan bermasyarakat, kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok : RT, Persatuan Bulutangkis, ikatan warga Bojongkaso atau Ikatan Sarjana Komunikasi. Setiap kelompok mempunyai norma-norma tertentu. ada kelompok yang secara emosional mengikat seseorang, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri nya. ini disebut kelompok rujukan, kalau seseorang memilih kelompok rujukannya Ikatan Dokter Indonesia, dia menjadikan norma-norma dalam ikatan ini sebagai ukuran perilakunya, dia juga merasa diri sebagai bagian dari kelompok ini, lengkap dengan seluruh sifat-sifat dokter menurut
43
persepsinya.33 Elizabeth B. Hurlock menyebutkan faktor-faktor lain yang berkaitan erat dan memberi pengaruh terhadap konsep diri yang antara lain adalah: a. Usia kematangan. Remaja yang matang lebih awal biasanya mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga akan dapat menyesuaikan diri yang baik. b. Penampilan diri. Daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial. c. Kepatuhan seks. Meliputi dari penampilan diri, minat dan perilaku. d. Nama julukan. Peka dan malu bicara nama remaja dicemooh atau dikatakan buruk. Nama-nama atau panggilan tertentu yang akhirnya menjadi bahan tertawaan akan membawa seorang remaja kepada pembentukan yang lebih negatif. Sebaliknya, nama dan julukan yang bernada lebih positif dapat merubah konsep diri seseorang ke arah yang lebih positif, dapat mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan konsep diri seorang remaja. e. Hubungan keluarga. Hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan menyebabkan remaja mengidentifikasikan dirinya dan mengembangkan pola kepribadian yang sama. f. Teman sebaya. Konsep diri remaja merupakan cerminan konsepsi teman-teman tentang dirinya. Remaja biasanya dalam tekanan untuk membedakan ciri-ciri kepribadian yang diakui kelompok. g. Kreativitas. Dalam hal ini remaja 33
Jalaluddin Rahmat, op. cit., hlm. 114-117.
mengembangkan perasaan
44
individualitas dan identitas h. Cita-cita yang realistis, akan menyebabkan remaja percaya diri dan puas terhadap dirinya sendiri. 34 Selain faktor-faktor di atas, ada beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap konsep diri seseorang yang meliputi :35 a. Kegagalan. Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna. b. Depresi. Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. c. Kritik internal. Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik. d. Pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai, dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang. 34
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Tentang Kehidupan, terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Jakarta, Erlangga, 1999, hlm. 235 35 http://konseling.atmajaya.ac.id/p=47, tanggal 16 Mei 2006
45
Dari beberapa faktor di atas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah citra diri, jenis kelamin, peran perilaku orang tua, lingkungan keluarga serta peran faktor sosial. 6. Konsep diri positif dan negatif Cara pandang terhadap diri dari segala sisi (real, sosial, dan ideal) sebagaimana tersebut di atas akan menimbulkan dua kemungkinan yang melekat pada diri seseorang. Keberhasilan dalam mengolah dan mengelola kematangan jiwa dan fisik dalam perkembangan hidupnya akan membuat manusia lebih mengerti akan dirinya baik secara diri real, sosial maupun ideal. Begitu pula sebaliknya manakala seseorang tidak dapat mengolah dan mengelola kematangan jiwa dan fisiknya akan menimbulkan hal-hal yang memiliki nilai negatif terhadap keberadaan dirinya sendiri baik dalam skala diri real, sosial, maupun ideal. Kedua hal inilah kemudian yang dikenal dengan konsep diri positif dan negatif. Individu dengan konsep diri positif cenderung lebih mudah menerima dan menghargai individu lain. Sedangkan individu dengan konsep diri negatif akan berpandangan dan berperilaku sebaliknya. Pembentukan konsep diri (positif maupun negatif) sangat bergantung pada pengalaman yang melekat dan diterima oleh seseorang. Semakin banyak pengalaman positif yang diterima dan dimiliki maka akan semakin besar peluang terbentuknya konsep diri positif dan sebaliknya. Adapun ciri-ciri konsep diri yang positif menurut William D. Broke yang dikutip Jalaluddin Rakhmad adalah sebagai berikut:36 a. Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah b. Ia merasa setara dengan orang lain
36
Jalaluddin Rahmat, op. cit., hlm. 131
46
c. Ia menerima pujian tanpa merasa malu d. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat e. Mampu memperbaiki dirinya, karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek
kepribadian
yang
tidak
disenangi
dan
berusaha
merubahnya. Sedangkan Burns mengemukakan bahwa seseorang yang merasa dirinya termasuk orang yang memiliki konsep diri positif berarti dia memiliki konsep diri yang sehat, mempunyai harga diri, orang yang berkompetensi, dirinya cukup memadai dan dirinya cukup mempunyai rasa percaya diri. Secara lebih spesifik, D.E Hamachek menyebutkan sebelas karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif: a. Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia
mempertahankannya,
walaupun
menghadapi
pendapat
kelompok yang kuat. Tetapi ia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti- bukti baru menunjukkan ia salah b. Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya c. Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi esok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang d. Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia mengalami kegagalan atau kemunduran
47
e. Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya f. Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya g. Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah h. Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya i. Ia sanggup mengakui pada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula j. Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi
pekerjaan,
perrmainan,
ungkapan
diri
yang
kreatif,
persahabatan, atau sekedar mengisi waktu k. Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.37 Dengan kata lain bahwa orang yang memiliki konsep diri positif akan menunjukkan karakteristik bersikap konsisten, berperilaku di dalam cara-cara konsisten dan mengesampingkan pengalaman yang merugikan. Sebaliknya, ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri yang negatif menurut William D. Brooke yang dikutip Jalaluddin Rakhmat adalah: Pertama. peka terhadap kritik, orang tersebut sangat tidak tahan terhadap 37
Ibid., hlm. 119-120.
48
kritik yang diterimanya, mudah marah dan naik pitam. Bagi individu ini koreksi cenderung dipersepsikan sebagai ancaman untuk menjatuhkan harga dirinya. Kedua. responsif terhadap pujian, segala macam yang menunjang harga dirinya akan menjadi perhatian utamanya. Ketiga. hiperkritik terhadap orang lain. Seseorang selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun dan siapapun, mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau kelebihan pada orang lain. Keempat. cenderung tidak disenangi orang lain. Dalam hal ini seseorang merasa tidak diperhatikan oleh orang lain. Hal tersebut disebabkan karena aksi orang lain dianggap sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Kelima. bersikap pesimis terhadap kompetisi. Menganggap tidak berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya 38 7. Konsep diri remaja awal (usia 12-15 tahun) Masa remaja merupakan suatu masa di mana seseorang berada dalam masa peralihan. Peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa remaja, seseorang mulai berkembang dan mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak hanya pada bentuk fisik semata (bertambah tinggi dan atau besar) namun juga meliputi perubahan pada kondisi psikis. Pada prinsipnya masa remaja dimulai dan ditandai dengan pubertas seseorang. Masa ini biasanya terjadi pada saat seseorang berada pada jenjang usia 11/12 tahun dan berakhir pada saat seseorang berusia 21/22 tahun. 39 Rentang waktu sepuluh tahun dalam masa remaja memiliki klasifikasi sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada diri seseorang. 38
Ibid., hlm. 131 Selain rentang usia 11/12 – 21/22 tahun ada beberapa sumber yang menyatakan pendapat berbeda mengenai batas usia remaja. Sarlito Wirawan Sarwono menyebutkan batas usia remaja berada antara usia 11-24 tahun. Lih, Sarlito Wirawan Sarwono, “Masalah Psikologis dan Kesehatan Reproduksi Remaja” dalam Abdul Mukti dkk, Ibid.; Dalam buku yang sama (hlm. 32), Soemardi memaparkan rentang usia remaja berdasar pada pernyataan Departemen Kesehatan RI yang menyebut usia 10-19 tahun sebagai usia remaja dan juga WHO yang membatasi usia remaja pada rentang waktu antara 10-24 tahun. 39
49
Mengenai klasifikasi masa remaja tersebut, paling tidak ada dua pendapat yang berbeda. Satu sisi Andi Mappiare membagi masa remaja ke dalam dua klasifikasi yakni masa remaja awal dan akhir. Menurut Mappiare masa remaja awal dimulai sejak seseorang berada pada usia 12/13 tahun dan berakhir pada usia 17/18 tahun. Sedangkan masa remaja akhir berada dalam rentang usia 17/18 tahun hingga 21/22 tahun.40 Sedangkan pada sisi yang berbeda, F.J. Monks dkk membagi masa remaja menjadi tiga masa, yakni masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. Masa remaja awal menurut F.J. Monks dkk berkisar pada usia 12 hingga 15 tahun, masa remaja pertengahan berada pada rentang usia 15-18 tahun dan masa remaja akhir berada pada batas usia 18-21 tahun.41 Meski terdapat perbedaan mengenai klasifikasi masa remaja, dua pendapat tersebut secara garis besar (dan tidak langsung) sepakat bahwa batas usia remaja akhir dimulai sejak seseorang memasuki usia 17/18-21/22 tahun. Sedangkan penilaian dan klasifikasi yang berbeda dalam rentang usia 11/12 – 17/18 tahun lebih dikarenakan perbedaan pandangan mengenai kematangan jiwa manusia.42 Masa remaja juga merupakan suatu masa di mana manusia mulai berkenalan dengan permasalahan hidup. Peralihan dari dunia imajinasi (anak-anak) menuju dunia realitas secara tidak langsung akan membuat seseorang merasakan adanya tekanan emosi, sosial, dan seksualitas. 43 40
Lih. Andi Mappiare, Psikologi Remaja, Surabaya, Usaha Nasional, 1982, hlm. 31 dan
36. 41
Lih. F.J. Monks dkk, Psikologi Perkembangan, Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta, Gajahmada University Press, 2002, hlm. 262. 42 Perbedaan pendapat tersebut tidak akan penulis perpanjang masalahnya, karena : pertama, akan melenceng dari pembahasan pokok permasalahan dan malah mengerucut pada perbedaan semata; kedua, obyek kajian penelitian yang penulis lakukan dalam kacamata dua pendapat di atas berada dalam “wilayah” yang sama yakni masa remaja awal. 43 Abdul Mukti dkk, Perlu Kita Ketahui: Kesehatan Reproduksi Remaja, Telaah Kritis Realitas, Kudus, Program Studi Psikologi Universitas Muria, 2005, hlm. 32.
50
Selain persoalan tersebut, pertumbuhan fisik yang pesat tanpa diimbangi kematangan jiwa juga menjadi persoalan rumit dalam kehidupan masa remaja.44 Masalah seputar masa remaja awal juga disinggung oleh Elizabeth B. Hurlock 45 yang menyatakan bahwa ada dua kelompok masalah yang timbul pada masa remaja. Masalah pertama timbul akibat dari perubahan keadaan fisik. Kondisi perubahan tubuh yang cenderung disertai kelelahan, kelesuan, dan gejala-gejala buruk lainnya akan berlawanan dan tidak mendukung dari tanggung jawab dan beban yang semakin bertambah pada masa remaja. Kondisi tersebut membuat seseorang yang berada pada masa puber (remaja awal) tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tugasnya dengan baik sehingga akan mempengaruhi kehidupannya.46 Masalah kedua yang muncul pada periode remaja awal tercermin pada sikap dan perilaku. Lebih lanjut Hurlock menyebutkan tujuh sikap dan perilaku yang menjadi ciri masa remaja awal, yaitu : a. Ingin menyendiri; Pada masa remaja awal, individu seringkali menarik diri dari keramaian dan merenungkan tentang ketidakmengertian dan perlakuan yang kurang baik dari orang lain terhadap dirinya. Selain itu, pada masa ini, seseorang juga menyendiri karena adanya dorongan seksualitas yang menyebabkan dia ingin melakukan fantasi seks sendiri (masturbasi). b. Bosan; Peralihan dari masa anak-anak membuat seorang yang berada 44
Ibid., hlm. 24. Lih. Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 190-192. 46 Masalah fisik sebagai pangkal dari masalah yang timbul pada masa remaja awal juga diakui oleh Erikson, seperti dikutip oleh Pudjijogyanti, yang menyatakan bahwa keadaan fisik merupakan sumber pembentukan identitas diri dan konsep diri. perkembangan kepribadian dan pembentukan identitas diri merupakan perpaduan komponen psikologik dan sosiologik dalam diri manusia. adanya perubahan fisik dan mental yang maksimal mengakibatkan adanya peningkatan tuntutan lingkungan terhadap remaja. remaja dituntut untuk menunjukkan keremajaannya karena dianggap bukan anak kecil lagi. Tuntutan lingkungan ini menimbulkan kegelisahan dan ketegangan dalam remaja berperilaku. Salah satu usaha remaja untuk mengatasi masalah status atau identitas yang tidak jelas adalah mencoba berbagai peran. Percobaan ini menimbulkan harapan pada remaja untuk mempunyai kesempatan mengembangkan seluruh ideologi dan minatnya. Perbedaan ideologi dan minat merupakan arah pengembangan konsep diri. Pudjijogyanti, op. cit., hlm. 231. 45
51
pada fase remaja awal akan mulai bosan untuk bermain lagi layaknya ketika masih anak-anak. Akibat dari timbulnya rasa bosan ini seseorang cenderung akan mengalami penurunan prestasi dalam hidupnya. c. Inkoordinasi; Pertumbuhan dan perkembangan fisik yang berbeda daripada masa anak-anak akan membuat seseorang pada masa remaja awal terlihat serta merasa kikuk, kaku, dan janggal dalam bergerak dan bertingkah laku. d. Antagonisme sosial; Pada masa puber, seseorang lebih sering tidak mau bekerjasama dengan orang lain dan cenderung menganggap remeh orang lain. e. Emosi yang meninggi; Pada masa ini seseorang akan lebih mudah untuk merasa gelisah dan marah. Hal ini tidak terlepas dari suasana hati yang negatif (akibat perlakuan orang lain terhadapnya). f. Hilangnya kepercayaan diri; Akibat dari turunnya daya tahan tubuh dan pandangan (yang lebih sering berupa kritik) akan mengakibatkan pada turunnya kepercayaan diri seseorang pada masa ini. g. Terlalu sederhana; Akibat perubahan fisik, seringkali anak-anak berpenampilan sederhana karena ketakutan perubahan fisiknya akan diketahui oleh orang lain. 47 Selain ciri yang diungkapkan oleh Elizabeth B. Hurlock di atas, ada beberapa ciri lain yang melekat pada masa remaja awal yang antara lain:48 a. Ketidakstabilan keadaan perasaan atau emosi. Tidak aneh lagi bagi orang yang mengerti kalau sikap remaja yang sesekali bergairah dalam bekerja tiba-tiba berganti lesu, kegembiraan yang meledak bertukar rasa sedih yang sangat, rasa yakin diri berganti rasa ragu diri yang 47 48
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 192 Disarikan dari Andi Mappiare, op. cit., hlm. 32-35
52
berlebihan. b. Hal sikap dan moral, terutama menonjol menjelang akhir masa remaja awal (15-17 tahun). Organ-organ seks yang telah mulai matang mendorong
untuk
mendekati
remaja
lawan
jenis.
Ada
dorongan-dorongan seks dan kesenjangan untuk itu, sehingga kadang-kadang dinilai oleh masyarakat tidak sopan. c. Hal kecerdasan atau kemampuan mental. Kemampuan mental dan kemampuan berpikir remaja awal mulai sempurna. Keadaan ini terjadi dalam usia antara 12-16 tahun. d. Hal status remaja awal sangat sulit ditentukan. Status remaja awal tidak saja sangat sulit ditentukan, bahkan membingungkan. Perlakuan yang diberikan
oleh
orang
dewasa
terhadap
remaja
awal
sering
berganti-ganti. Ada keraguan orang dewasa untuk memberi tanggung jawab kepada remaja dengan dalih mereka masih kanak-kanak. e. Remaja awal banyak masalah yang dihadapi, antara lain disebabkan ciri-ciri tersebut diatas, menjadikan remaja awal sebagai individu yang banyak masalah yang dihadapinya. Sebab-sebab lain adalah sifat emosional remaja awal. Kemampuan berpikir lebih dikuasai oleh emosionalitasnya sehingga kurang mampu mengadakan konsensus dengan pendapat orang lain yang bertentangan dengan pendapatnya. Akibatnya masalah yang menonjol adalah pertentangan sosial. f. Masa remaja awal adalah masa yang sangat kritis. Dikatakan kritis sebab pada masa ini remaja dihadapkan pada pertanyaan apakah ia akan dapat menghadapi atau memecahkan masalahnya atau tidak. Kadang mereka bisa menghadapi masalahnya dengan baik, menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah-masalah selanjutnya, sampai ia dewasa. Melihat ciri-ciri yang melekat pada masa remaja awal terlihat jelas
53
bahwa masa ini memang penuh dengan permasalahan. Baik yang timbul dari dirinya sendiri maupun permasalahan yang muncul dari luar dirinya sebagai akibat dari pandangan pihak luar terhadap dirinya. Suryabrata mengemukakan bahwa konflik dan ketegangan yang terjadi pada masa transisi bukanlah suatu hal yang buruk, sebab dengan adanya konflik dan ketegangan tersebut, remaja akan meneliti sikap hidup lama dan mencoba-coba yang baru dalam rangka menemukan dirinya sendiri untuk menjadi pribadi yang dewasa. Lebih lanjut dikatakan bahwa masalah yang muncul pada masa transisi akan membuat remaja mampu berfikir konkrit sehingga dapat membantu dirinya dalam mengembangkan kepribadian dan pembentukan identitas diri.49 Konflik dan ketegangan yang dialami remaja merupakan situasi yang memungkinkan remaja menunjukkan kemampuannya. 50 Hal ini mengandung arti bahwa kegagalan dan keberhasilan dalam mengatasi konflik tersebut merupakan situasi yang mempengaruhi seluruh aspek kepribadian termasuk konsep diri. Konsep diri pada remaja berbeda dengan konsep diri pada masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak konsep diri yang dimiliki seseorang biasanya belum bersifat realistis, tetapi hanya berdasarkan atas imajinasi-imajinasi tertentu dalam dirinya dan - yang diambil sebagai identifikasi hanya ada dalam cerita-cerita. Sejalan dengan perkembangan kepribadian secara normal pada seseorang maka konsep diri juga mengalami perubahan. Hal tersebut diatas disebabkan pengalaman yang diperoleh pada usia sebelumnya. Konsep diri pada seseorang akan berubah menjadi lebih realistis pada masa remaja. Dalam memasuki tahap masa remaja, seseorang mengalami banyak perubahan dalam diri dan sangat berpengaruh terhadap sikap serta tingkah laku yang tertampil.Akibat
49 50
Suryabrata, Pembimbing ke Psikodiagnostik, Yogyakarta, Rake Press, 1984, hlm. 57. Pudjijogyanti, op. cit., hlm. 24.
54
perubahan dan sikap dan tingkah laku remaja maka sikap orang lain terhadap diri remaja juga mengalami perubahan. Oleh sebab itu konsep diri pada remaja cenderung tidak konsisten. Hal tersebut disebabkan oleh sikap orang lain yang dipersepsikan oleh remaja berubah. Akan tetapi melalui cara ini konsep diri pada remaja berkembang menjadi konsep diri yang konsisten.51 Pendapat di atas mengindikasikan bahwa jika individu diterima orang lain, disenangi orang lain, karena keadaannya maka individu akan bersikap menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya bila orang lain selalu menyalahkan dan menolaknya maka individu tidak akan menyenangi dirinya sendiri. Pengaruh buruk yang diberikan orang lain kepada remaja awal akan berdampak pada pembentukan perilaku dan pandangan yang buruk remaja awal terhadap dirinya sendiri. Apabila remaja gagal dalam mencapai harga diri, maka remaja akan merasa kecewa terhadap keadaan dirinya dan lingkungannya. Akibatnya remaja memandang dirinya dengan negatif. Sebaliknya bila remaja berhasil mencapai harga diri, maka remaja akan puas terhadap dirinya dan lingkungannya. Konsep diri yang negatif dapat menghancurkan kehidupan remaja, karena setiap remaja cenderung untuk memilih apa yang dirasa pantas. Hal ini berlaku dalam memilih teman, pasangan hidup, karir, dan lain-lain. Selain hal tersebut diatas, konsep diri yang negatif dapat menimbulkan sikap “masa bodoh” yang akan tercermin dalam hasil belajarnya yang buruk dan dapat menimbulkan lingkaran setan. Dalam hal ini anak terus mengalami kegagalan, dan oleh karena itu terus menerus mendapat kritik yang merusak konsep dirinya. Hal ini menyebabkan lebih banyak kegagalan dan kritik, sampai akhirnya remaja menyerah sama sekali.
51
Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta, Gunung Mulia, 1983, hlm. 238-239.
55
Argumen-argumen di atas bila disimpulkan akan memberikan gambaran dan penjelasan bahwasanya masa remaja awal sangat identik dengan masalah-masalah yang timbul akibat perubahan fisik dan psikis. Perubahan-perubahan tersebut jika dikaji dalam ruang lingkup konsep diri sangat rentan terhadap terbentuknya konsep diri negatif pada sosok remaja awal. Hal itu bisa terjadi manakala remaja awal tidak mampu menguasai dan mengendalikan diri akibat perubahan yang ia alami. Akan tetapi pembentukan konsep diri negatif tersebut dapat dicegah manakala seorang yang berada pada fase remaja awal mampu mengolah dan mengendalikan diri serta didorong oleh lingkungan yang positif yang selalu mendukung dan memberikan motivasi kepada remaja awal dalam menjalani masa pubertas. Memang ada perbedaan pendapat diantara para ahli di atas dalam memaparkan konsep diri yang sekilas dapat saja membentuk opini berbeda di kalangan orang awam mengenai konsep diri. Namun jika diperhatikan secara mendalam pendapat para ahli di atas merupakan satu kesatuan teori konsep diri yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Menurut penulis, dengan berdasar pada pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwasanya konsep diri adalah sebuah cara pandang seseorang terhadap kehidupannya yang meliputi dirinya dalam konteks diri real, ideal, dan sosial sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ukuran penilaian terhadap konsep diri seseorang tidak dapat diukur berdasarkan ruang lingkupnya (diri real, ideal, dan sosial) secara terpisah akan tetapi dinilai secara keseluruhan di mana ruang lingkup tersebut hanya menjadi indikasi-indikasi dan ruang lingkup esensi pertanyaan yang bermuara pada kondisi kesehatan mental sebagai hasil penilaian konsep diri seseorang : positif atau negatif. Pendapat ini didasarkan pada pendapat R. B. Burns yang menyatakan bahwa konsep diri seseorang dengan ruang lingkupnya akan membentuk sebuah tatanan mental seseorang. Sedangkan penilaian yang diukur dari konsep diri positif atau negative juga didasarkan dari pendapat para ahli, yang telah disebutkan di atas, berkaitan dengan
56
teori-teori konsep diri positif dan negatif. Rangkaian argument yang berkaitan dengan ruang lingkup dan penilaian konsep diri di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Diri real Konsep diri Diri ideal Kesehatan mental Diri sosial Konsep diri positif
Konsep diri negatif
C. Pembinaan Mental 1. Pengertian dan tujuan pembinaan mental Pembicaraan yang berkaitan dengan mental selalu identik dengan istilah-istilah seperti “pembinaan mental”, “bimbingan”, “penyuluhan”, dan “psikoterapi” yang terkadang membuat orang awam sulit untuk memberikan definisi. Bahkan tidak jarang pula menganggap sama istilah-istilah tersebut. Sebelum melangkah pada pembahasan selanjutnya, alangkah baiknya dijelaskan terlebih dahulu keempat istilah tersebut agar diketahui letak perbedaannya. Bimbingan secara terminology sama dengan istilah guidance (bahasa Inggris) yang memiliki arti bantuan atau tuntunan. Secara umum bimbingan dapat dimaknai sebagai suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan dilakukan secara sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan dari proses tersebut adalah tercapainya kemampuan seseorang (klien) untuk menerima dirinya (self acceptance), mengarahkan dirinya (self direction), dan merealisasikan
57
dirinya (self realization) sesuai dengan potensi dan kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan.52 Aspek terminology pengertian istilah “penyuluhan” diambil dari terjemahan kata counseling (bahasa Inggris). Definisi umum penyuluhan dapat diartikan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan masalah kehidupannya dengan cara wawancara atau cara-cara yang disesuaikan dengan keadaan individu untuk mencapai kesejahteraan hidup.
53
Konseling atau penyuluhan lebih bersifat sebagai proses
pemecahan masalah.54 Selanjutnya pengertian psikoterapi dalam term kebahasaan berasal dari dua kata psyche yang secara umum memiliki arti jiwa dan therapy yang diartikan sebagai penyembuhan.
55
Pengertian secara struktur bahasa
tersebut dapat memberikan gambaran pengertian secara umum psikoterapi sebagai proses formal antara dua pihak atau lebih yang terdiri dari profesional (penolong) dan petolong (orang yang ditolong) yang cenderung bersifat sebagai proses koreksi.56 Sedangkan pembinaan mental sebagaimana diungkapkan oleh M. Solihin memiliki pengertian sebagai suatu proses perbaikan, pemeliharaan, pembangunan, pengembangan guna mengembalikan kondisi seseorang pada mental yang sehat.57 Dari pengertian keempat istilah tersebut di atas dapat diketahui bahwa ketiga pengertian pertama (bimbingan, penyuluhan, dan psikoterapi)
52 M. Solihin, Terapi Sufistik, Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm. 14-15. 53 Ibid., hlm. 15-16. 54 Psikoterapi, Pendekatan Konvensional dan Kontemporer, M.A. Subandi (ed), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 2. 55 Dalam metodologi Yunani psyche dilambangkan dan diartikan sebagai gadis cantik yang bersayap kupu-kupu. Gadis cantik merupakan perlambang dari jiwa dan kupu-kupu adalah lambang dari keabadian. Lih. M. Solihin, op. cit., hlm. 32. 56 Psikoterapi, Pendekatan Konvensional dan Kontemporer, loc. cit. 57 M. Solihin, op. cit., hlm. 70-71.
58
adalah metode atau teknik yang digunakan dan berkaitan dengan permasalahan
kejiwaan
seseorang.
Sedangkan
pembinaan
mental
merupakan satu kesatuan proses usaha untuk mengembalikan seseorang pada kondisi mental yang sehat. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan pada pengertian bahwasanya pembinaan mental merupakan proses pengembalian seseorang pada kondisi mental yang sehat yang dapat ditempuh dengan menggunakan metode-metode seperti tersebut di atas (bimbingan, penyuluhan, dan psikoterapi). Ditinjau dari pengertian tentang pembinaan mental dapat diketahui bahwa tujuan utama pembinaan mental adalah mengembalikan mental seseorang pada kondisi mental yang sehat. Pribadi normal dengan diiringi mental yang sehat akan memiliki integritas jasmaniah-rohaniah yang ideal. Keadaan pada kehidupan psikisnya stabil dan tidak ada konflik internal, suasana hatinya tenang, seimbang dan jasmaninya selalu sehat dan segar. Berkenaan dengan mental yang sehat, Maslow and Mittleman dalam karangannya yang berjudul Principles of Abnormal Psychology, sebagaimana dikutip oleh Yusak Burhanuddin, memberikan ciri mental yang sehat sebagai berikut: a. Memiliki rasa aman (sense of security) yang tepat, mampu berhubungan dengan orang lain dalam bidang kerja, pergaulan dan dalam lingkungan keluarga b. Memiliki penilaian (self evaluation) dan wawasan diri yang rasional dengan harga diri tidak berlebihan, memiliki kesehatan secara moral, tidak dihinggapi rasa bersalah. Selain itu, juga dapat menilai perilaku orang lain yang asosial dan tidak manusiawi sebagai gejala perilaku yang menyimpang
59
c. Mempunyai spontanitas dan emosional yang tepat. Dia mampu menjalin relasi yang erat, kuat, dan lama, seperti persahabatan, komunikasi sosial, dan menguasai diri sendiri. Penuh tenggang rasa terhadap orang lain. Dia bisa tertawa dan bergembira secara bebas dan mampu menghayati penderitaan tanpa lupa diri. d. Mempunyai kontak dengan realitas secara efisien, tanpa ada fantasi dan angan-angan berlebihan. Pandangan hidupnya realitas dan cukup luas. Dia sanggup menerima segala cobaan hidup, kejutan-kejutan mental, serta nasib buruk lainnya dengan besar hati. Dia memiliki kontak yang riil dan efisien dengan diri sendiri, dan mudah melakukan adaptasi, atau mengasimilasikan diri jika lingkungan sosial atau dunia luar memang tidak bisa diubah oleh dirinya. e. Memiliki dorongan dan nafsu- nafsu jasmaniah yang sehat dan mampu memuaskannya dengan cara yang sehat, namun tidak diperbudak oleh nafsunya sendiri, dia mampu menikmati kesenangan hidup ( makan, minum, dan rekreasi ), dan bisa cepat pulih dari kelelahan. Nafsu seksnya cukup sehat, bisa memenuhi kebutuhan seks secara wajar, tanpa dibebani rasa takut dan berdosa, dia bergairah untuk bekerja, dan dengan tabah menghadapi segala kegagalan. f. Mempunyai pengetahuan diri yang cukup dengan memiliki motif hidup yang sehat dan kesadaran tinggi. Dia dapat membatasi ambisi-ambisi dalam batas kenormalan. Juga patuh terhadap pantangan-pantangan pribadi dan yang bersifat sosial, dan bisa melakukan kompensasi yang positif, mampu menghindari mekanisme pembelaan diri yang negatif sejauh mungkin, dan bisa menyalurkan rasa interiornya. g. Memiliki tujuan hidup yang tepat, wajar, dan realistis sehingga bisa dicapai dengan kemampuan sendiri serta memiliki keuletan dalam mengejar tujuan hidupnya agar bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya.
60
h. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidup dalam mengolah dan menerima pengalamannya dengan sikap yang luwes, dia bisa menilai batas kekuatan sendiri dalam situasi yang dihadapi, untuk meraih sukses. i. Memiliki kesanggupan untuk mengekang tuntutan-tintutan dan kebutuhan kebutuhan dari kelompoknya, sebab dia memiliki kesamaan kebutuhan dengan yang lain ( tidak terlalu berbeda, dan tidak menyimpang ). Dia tetap teguh memperlihatkan rasa persahabatan, tanggung jawab, loyalitas, dan melakukan aktifitas rekreasi yang sehat dengan anggota lainnya. j. Memiliki sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompok dan kebudayaan. Namun, dia tetap memiliki originalitas dan individualitas yang khas, sebab dia mampu membedakan sikap yang baik dan yang buruk. Dia menyadari adanya kebebasan yang terbatas dalam kelompoknya, tanpa didasari oleh kesombongan, kemunafikan dan usaha mencari muka, dan tanpa hasrat untuk menonjolkan diri dihadapan orang lain. Selain itu, dia memiliki derajat apresiasi dan toleransi yang cukup tinggi terhadap kebudayaan bangsanya dan terhadap perubahan-perubahan sosial. k. Memiliki integritas dalam kepribadiannya, yaitu kebulatan jasmaniah dan rohaniahnya. Dia mudah mengadakan asimilasi dan adaptasi terhadap perubahan yang cepat, dan memiliki minat pada berbagai aktifitas, moralitas dan kesadaran yang tidak kaku, namun dia tetap memiliki konsentrasi terhadap usaha yang diminatinya. Juga tidak ada konflik- konflik yang serius dalam dalam dirinya, dan dissosiasi terhadap lingkungan sosialnya.58 Sedangkan Kartini Kartono memberikan kriteria mental yang sehat
58
Yusak Burhanuddin, Kesehatan Mental, Bandung, Pustaka Setia, 1999, hlm. 13-15.
61
(hygiene mental) yang meliputi :59 a. Mental hygiene dan adjustment itu bergantung pada harmoni hubungan dan integritas dari organisme manusia dengan sesama manusia, dengan dunia lingkungan, dan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Juga keserasian harmoni antara jasmani dengan rohaninya sendiri b. Untuk mencapai taraf kesehatan mental, orang harus bisa conform dengan tuntutan-tuntutan moral, intelektual, sosial dan religius c. Mental yang sehat itu ditandai dengan adanya integrasi diri, regulasi-diri dan pengontrolan-diri ; yaitu control terhadap pikiran, angan-angan,
keinginan-keinginan,
dorongan-dorongan,
emosi-emosi, sentimen, dan segenap tingkah laku d. Pribadi perlu memiliki pemawasan diri (pengetahuan diri, mandiri pribadi, self insight). Dia harus bisa mengenali segala kemampuan sendiri beserta batas-batasnya. Jadi bisa menghayati segi kekuatan dan kelemahannya, sehingga dia dapat mengadakan perbaikan, serta eliminasi/ menyingkirkan kekurangan sendiri. Juga mengenali kelebihannya, memanfaatkan, serta mengeksploitirnya sejauh mungkin demi kebaikan orang banyak. e. Mental yang sehat itu memiliki konsep diri yang sehat. Yaitu ada pengakuan diri (mengakui segala kelebihan dan kekurangan sendiri), dan menerima ketentuan hidup atau nasib dengan sikap yang rasional. Juga ada taksasi realitas terhadap status dan nilai diri (dalam bahasa jawanya “nerima ing pandum”). Ini bukan berarti mengabaikan atau tidak mau melihat kelemahan diri dan kekurangan diri, akan tetapi penaksiran diri secara riil selalu mencakup usaha untuk memperbaiki diri. 59
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Bandung, Mandar Maju, 1989, hlm. 284-288.
62
f. Mental yang stabil dan adjustment yang baik itu meliputi pengembangan diri, dengan berpedomankan kebajikan, kejujuran, keadilan, kebijaksanaan, kemurnian, keberanian, pengingkaran-diri dalam arti mengemilinir egoisme, integrasi pribadi, kejujuran moral, rendah hati, kemurnian, dan lain-lain. Semua elemen ini menjadi sumbangan yang berharga bagi kesehatan mental manusia. g. Perlu adanya penanaman dan pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Yaitu kebiasaan yang efisien, tepat dalam menanggapi setiap situasi, cepat mengambil keputusan, dan bisa berpikir kritis. Juga bersikap objektif dalam menilai orang lain dan dunia luar, di samping hidup secara teratur dan disiplin tinggi. h. Mental yang stabil dan adjustment yang baik menuntut adanya kemampuan mengadakan adaptasi yang supel terhadap setiap perubahan sosial dan perubahan diri sendiri. Untuk ini diperlukan fleksibelitas dan daya-lenting, agar bisa menanggapi setiap perubahan dalam hidup manusia. Dan tidak terjadi rotasi yang “fixed” (kaku). i. Kesehatan mental dan adjustment memerlukan daya upaya yang kontinu guna pematangan diri. Dalam pengertian: matang fikirannya, matang emosi, dan matang setiap tingkah lakunya. Tidak berperangai kekanak-kanakan atau infantile, tetapi bisa menghayati cita-cita luhur, tujuan yang cukup bernilai, dan ideologi yang sehat. j. Kesehatan mental dan adjustment terutama sekali bergantung pada relasi interpersonal yang sehat, khususnya relasi di tengah keluarga. k. Adjustment dan ketenangan batin itu bergantung pula pada pemilihan pekerjaan yang tepat dan memuaskan. Sebab lapangan kerja merupakan aspek realitas hidup yang penting pula. Kepuasan kerja bagi seorang dewasa sama nilainya dengan rekreasi dan
63
permainan bagi anak-anak, di mana kedua-duanya (baik anak maupun orang dewasa) bisa menikmati kepuasan sejati. l. Kesehatan mental dan adjustment dalam pengertian: memiliki kemampuan untuk bersikap sehat, objektif, efektif, tepat, dan realistis terhadap realita hidup; tanpa disertai pandangan yang keliru atau “ verwrongen inzicht” mengenai diri sendiri dan dunia sekitar. Tanpa memilki rasa superieur atau merasa serba lengkap. Sebab superieuriteits-complex ini menjadi persemaian yang subur bagi tumbuhnya penyakit jiwa paranoia. m. Stabilitas mental dapat dicapai dengan hadirnya kesadaran manusia akan ketergantungan dirinya pada satu kekuasaan yang maha besar, yang ada di atas dirinya. Yaitu ia meyakini adanya tuhan, dan menghayati hubungannya dengan tuhan-nya. Tanpa kesadaran ini, manuisa akan selalu merasakan ketakutan atau insecurity yang kronis, dan kegoncangan jiwa. Marie Johanda seperti dikutip oleh M. Solihin, memberikan batasan yang luas tentang kesehatan mental. Menurutnya, pengertian kesehatan mental tidak hanya terbatas pada terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, akan tetapi orang yang bersangkutan juga memiliki karakter utama sebagai berikut: a. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, dalam arti ia dapat mengenal dirinya dengan baik. b. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik c. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan sabar terhadap tekanan- tekanan yang terjadi d. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan diri atau kelakuan-kelakuan bebas
64
e. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta memiliki empati dan kepekaan sosial f. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya secara baik. 60 Mentalitas yang sehat memiliki gejala: posisi pribadinya harmonis atau seimbang, baik kedalam, terhadap diri sendiri, maupun keluar, terhadap lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, ciri-ciri khas pribadi yang bermental sehat, antara lain sebagai berikut ini: a. Ada koordinasi dari segenap usaha dan potensinya sehingga mudah mengadakan adaptasi terhadap tuntutan lingkungan, standar dan norma sosial, serta perubahan-perubahan sosial yang serba cepat b. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadian sendiri sehingga mampu memberikan partisipasi aktif kepada masyarakat c. Senantiasa
giat
melaksanakan
mengembangkan secara riil
proses
realisasi
diri
(yaitu
segenap bakat dan potensi), memiliki
tujuan hidup, dan selalu mengarah pada transendensi diri, berusaha untuk melebihi kondisinya yang sekarang. d. Bergairah, sehat lahir dan batin, tenang dan harmonis kepribadiannya, efisien dalam setiap tindakannya, serta mampu menghayati kenikmatan dan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhannya.61 Di pihak lain, Organisasi kesehatan sedunia (WHO) memberikan kriteria jiwa atau mental yang sehat, yaitu sebagai berikut: a. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyatan meskipun kenyatan itu buruk baginya.
60 61
M. Solihin, op. cit., hlm. 54 Ibid., hlm. 55.
65
b. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya c. Merasa lebih puas memberi daripada menerima d. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas e. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan f. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di kemudian hari g. Menjuruskan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif h. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.62 2. Aspek-aspek pembinaan mental Aspek-aspek dalam pembinaan mental memiliki hubungan dan kaitan yang erat dengan ciri-ciri mental yang sehat. Jika mengacu pada ciri mental yang sehat di atas maka seseorang dikatakan bermental sehat manakala ia mampu membawa dirinya dengan segala kondisi yang ada pada dirinya untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini berawal dan dimulai dari terbentuknya penerimaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Kemudian berlanjut pada realisasi diri manusia pada realitas hidup di mana dia harus memposisikan dan bergaul dengan orang lain. M. Solihin menyebutkan bahwa aspek dalam pembinaan mental meliputi empat aspek dalam diri manusia yaitu : a. Mental; Aspek ini meliputi pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan pikiran, akal, dan ingatan.
62
Ibid., hlm. 56-57.
66
b. Spiritual; Aspek manusia yang berhubungan dengan semangat dan jiwa religius. c. Moral; Aspek ini berhubungan dengan akhlak yang merupakan sumber dari perbuatan-perbuatan manusia yang tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. d. Fisik; Aspek ini dimasukkan dengan alasan bahwa tidak semua penyakit fisik dapat disembuhkan dengan terapi medis atau kedokteran akan tetapi melalui terapi mental juga akan dapat menyembuhkan penyakit itu. Hal ini akan berkaitan dengan bagaimana kekuatan mental juga akan mendorong lahirnya kekuatan fisik manusia. Sedangkan jika mengacu pada jenis pendekatan terapi, maka aspek dari terapi (pembinaan mental) dapat dikelompokkan ke dalam kriteria : a. Aspek kognitif yang berhubungan dengan emosi seseorang dan keyakinan yang menjadi dasar interpretasi terhadap suatu peristiwa. b. Aspek perilaku yang berkaitan dengan perilaku-perilaku individu dalam kehidupannya
sehari-hari
baik
secara
individu
(memandang,
memahami, dan merealisasikan diri) maupun sebagai makhluk sosial yang harus menciptakan dan melakukan interaksi positif kepada orang lain. c. Aspek humanistik yang berhubungan dengan unsur kepribadian seseorang yang membantu manusia untuk memahami dan menyadari fenomenologi kepribadiannya sehingga mampu menyelesaikan masalah secara mandiri. Jika disimpulkan maka aspek pembinaan mental meliputi pembinaan terhadap segi kejiwaan (rohani) dan segi perilaku. 3. Tahapan pembinaan mental Proses terapi pembinaan mental tidak dilakukan begitu saja tanpa
67
adanya pedoman maupun langkah-langkah yang tersistematis. Dalam proses pembinaan mental diperlukan tahapan-tahapan sebagai acuan sekaligus pengukuran seberapa perlu dan seberapa jauh seseorang dibina mentalnya. Johana E. Prawitasari menyebutkan bahwasanya dalam sebuah proses terapi ada empat tahap yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Keempat tahap tersebut meliputi :63 a. Wawancara awal Wawancara awal merupakan suatu proses masuk (perkenalan) antara seorang petolong dengan seorang klien. Melalui proses wawancara
awal
ini,
seorang
petolong
dapat
mengetahui
permasalahan-permasalahan yang dialami oleh klien. Dalam proses wawancara harus ada keterbukaan antara klien – terkait dengan apa yang menjadi masalahnya dan apa yang akan diharapkan – dan terapis (petolong) yang terkait dengan apa yang akan dilakukan untuk klien. Selain itu, wawancara memiliki nilai penting karena melalui proses tersebut terjadi persekutuan antara klien dengan petolong dalam jalinan hubungan yang baik (rapport). b. Proses terapi Proses ini ditandai dengan intervensi dari terapis yang dominan. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan komunikasi yang baik dalam mengkaji pengalaman klien. Intervensi yang dilakukan terapis juga bertujuan untuk mengadakan pengenalan, penjelasan, dan pengartian perasaan dan arti-arti pribadi pengalaman klien. c. Pengertian ke tindakan Pada tahap ini terapis bersama klien mengkaji tentang apa yang telah dipelajari selama masa terapi. Dalam penerapan ini, harus sering 63
Psikoterapi, Pendekatan Konvensional dan Kontemporer, op. cit., hlm. 10-13.
68
ada diskusi antara terapis dan klien untuk menjaga dan mengawal tercapainya tujuan dari terapi itu sendiri. d. Mengakhiri terapi Ada beberapa sebab berakhirnya sebuah terapi. Pertama, terapi dapat berakhir manakala klien tidak lagi melanjutkan terapinya. Kedua, terapi akan berakhir ketika terapis merasa sudah tidak mampu lagi menangani masalah klien. Ketiga, terapi berakhir jika sudah tercapai tujuan dari terapi tersebut. Di lain pihak apabila pembinaan mental disetarakan dengan proses pendampingan, Supartono memberikan lima tahapan dalam rangka melakukan pembinaan terhadap anak jalanan yang meliputi :64 a. Mendatangi orang yang menderita (klien) Langkah pro aktif ini mengindikasikan bahwa melakukan pembinaan mental tanpa harus menunggu adanya dana, fasilitas maupun program atau proyek. Tahap awal ini lebih bersifat sosial dan tidak didasarkan pada sebuah program atau rencana. Akan tetapi dalam tahap ini, bukan berarti seorang pendamping (terapis) dapat berbuat seenaknya saja. Tahap ini merupakan tahap vital dari proses pembinaan di mana melalui tahap ini seorang pembina dapat mengetahui obyek binaan. b. Hiduplah di antara mereka Tahap kedua ini erat hubungannya dengan menjalin harmonisasi hubungan atau perkenalan antara terapis dan klien. Manfaat dari tahapan ini adalah akan semakin menyatunya terapis dengan klien dan akan memudahkan terapis memperoleh informasi secara langsung dan 64
Supartono, Bacaan Dasar Pendamping Anak Jalanan, Semarang, Yayasan Setara, 2004, hlm. 79-81.
69
beragam dari obyek. c. Belajarlah dari mereka Tahapan ketiga ini memiliki makna seorang terapis harus mampu mengolah data dan mempelajarinya secara seksama. Selain itu, pembelajaran tersebut juga dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan studi terhadap budaya-budaya yang berkembang, pola-pola perilaku dan hubungan (kelompok) hingga ke sistem yang berlaku dalam kelompok mereka. d. Kasihanilah mereka Tahap ini didasari pada nilai kasih sayang. Kasih yang diberikan bukan berupa rasa simpati yang cenderung melahirkan dan menimbulkan bantuan yang bersifat material semata. Apabila hal ini dilakukan maka secara tidak langsung akan “membunuh” kreatifitas dari klien itu sendiri dan mereka akan cenderung manja. Kasih yang diberikan dalam tahap ini merupakan bentuk dari rasa empati terapis kepada klien sehingga akan memunculkan keinginan untuk menggali dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri klien sebagai modal menyelesaikan masalah mereka. e. Layanilah mereka Melayani klien memiliki makna bahwasanya seorang terapis harus siap untuk selalu dimintai bantuan oleh klien kapanpun dan dimanapun. Pada tahap ini seorang terapis berperan sebagai fasilitator, mediator, dan motivator. Kedua tahapan yang terpapar di atas secara tekstual dan langkah yang disebutkan memang berbeda. Akan tetapi dalam kaitannya dengan tahapan pembinaan mental, kedua gambaran tahapan tersebut di atas secara esensial memiliki kesamaan yakni dalam melakukan pembinaan mental
70
perlu adanya langkah pendekatan dan penggalian masalah yang berhubungan dengan klien serta langkah pengolahan masalah (terapis) yang diperuntukkan bagi klien untuk dapat mengatasi masalah dan kembali pada kondisi jiwa yang sehat.
Berdasarkan pemaparan teori-teori tentang konsep diri dan pembinaan mental di atas, khususnya yang berkaitan dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya, maka dapat ditarik kesimpulan awal bahwasanya ada kemiripan unsur yang terdapat dalam konsep diri dan pembinaan mental. Unsur-unsur tersebut secara garis besar meliputi segi fisik (kondisi fisik, kemampuan dan ketrampilan) dan segi batin (mentalitas) yang mana keduanya saling berkaitan dan memberikan pengaruh. Menurut penulis, hubungan konsep diri dan pembinaan mental dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :
Psikis
Fisik
Sosial
Konsep Diri
Konsep Diri Positif
Konsep Diri Negatif
Mentalitas Positif
Mentalitas Negatif
Pembinaan Mental
Psikis
Fisik
Sosial
71
Skema tersebut di atas memberikan gambaran bahwasanya konsep diri positif dibentuk dari tiga komponen yang dimiliki oleh manusia. Apabila ketiga komponen tersebut baik dan saling mendukung, maka akan tercipta sebuah konsep diri positif yang tentunya juga akan membentuk mentalitas yang positif pula. Begitu juga sebaliknya, apabila tiga komponen tersebut tidak dalam keadaan baik maka konsep diri yang muncul adalah konsep diri negatif yang mana juga akan berdampak pada pembentukan mentalitas yang negatif pada diri manusia. Jika telah terjadi hal semacam itu (terbentuknya konsep diri negatif), maka pembinaan mental berfungsi untuk memperbaiki mentalitas manusia yang meliputi segala aspek yang membentuknya, baik aspek dari dalam diri manusia itu sendiri (fisik, psikis, dan kemampuan) maupun aspek di luar diri manusia (lingkungan sosial). Sehingga dengan perbaikan mentalitas yang negatif dan dengan hasil yang baik, maka bukan tidak mungkin akan terbentuk sebuah konsep diri yang positif pula. Oleh
karenanya,
dalam
melaksanakan
penelitian
ini,
penulis
beranggapan bahwasanya ada hubungan yang signifikan antara pembinaan mental dengan konsep diri anak jalanan usia 12-15 tahun di Yayasan Setara Semarang. Sedangkan batasan ruang lingkup ukuran konsep diri pada penelitian ini adalah konsep diri secara utuh yang memiliki nilai (konsep diri) positif atau negatif dan tidak diukur secara terpisah sebagai diri real, ideal, dan sosial. Hal ini berdasarkan pada asumsi penulis dengan memperhatikan beberapa pendapat para pakar psikologi, sebagaimana tersebut di atas, yang menyatakan bahwa ukuran nilai konsep diri seseorang tidaklah didasarkan pada ukuran ruang lingkup konsep diri secara terpisah (diri real, ideal, dan sosial) melainkan sebagai satu kesatuan yang bermuara pada penilaian konsep diri positif maupun negatif secara utuh.