KONSEP DIRI ANAK JALANAN (Kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
YUNDA PRAMUCHTIA A14204050
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN YUNDA PRAMUCHTIA. KONSEP DIRI ANAK JALANAN. Kasus Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan NURMALA K. PANJAITAN). Penelitian ini mengenai konsep diri anak jalanan untuk dapat memahami tingkah laku mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Karakteristik sosial ekonomi anak jalanan, (2) Konsep diri anak jalanan, (3) Perbedaan konsep diri berdasarkan karakteristik anak jalanan. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja yaitu di Kecamatan Tanah Sareal, Jalan Soleh Iskandar, dan perempatan lampu merah Hotel Pangrango. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni hingga bulan Juli 2008. Pengumpulan data dilakukan melalui metode survei dengan didukung data kualitatif. Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan penyebaran kuesioner kepada 30 responden, wawancara mendalam dan pengamatan selama penelitian berjalan sedangkan data sekunder mengenai Rumah Singgah diperoleh dari dokumen Yayasan Titian Mandiri. Mayoritas anak jalanan di ketiga lokasi penelitian adalah laki-laki dengan tingkat pendidikan rendah (rata-rata hanya tamat Sekolah Dasar). Sebagian besar anak jalanan bekerja sebagai pengamen. Alasan anak jalanan bekerja sebagian adalah karena kesulitan ekonomi dan sebagian lagi untuk mencari uang tambahan dan untuk rekreasi. Pendidikan orang tua anak jalanan rata-rata hanya tamat Sekolah Dasar dan bekerja di sektor marjinal seperti buruh dan pada bidang jasa seperti tukang ojek dan membuka bengkel. Konsep diri anak jalanan menyangkut karakter pribadi, penampilan fisik, hubungan dengan orang tua, umum, sikap jujur dan percaya dan hubungan dengan
Tuhan ternyata cenderung positif. Artinya sebagian besar anak jalanan melihat dirinya cenderung positif. Namun konsep diri menyangkut kestabilan emosi yang dimiliki anak jalanan cenderung sedang, anak jalanan mengakui kondisi mereka sering labil. Kondisi ini nampak dari masih seringnya mereka berkelahi dengan teman sesama pengamen, minum minuman keras dan mengkonsumsi narkoba. Ada perbedaan antara konsep diri anak jalanan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi yang mereka miliki seperti usia, jenis kelamin dan alasan turun ke jalan, namun tidak ada perbedaan konsep diri berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Konsep diri anak jalanan yang berusia 13 sampai 15 tahun cenderung positif dibandingkan dengan yang berusia 16 sampai 18 tahun. Anak jalanan perempuan cenderung memiliki konsep diri yang positif dibandingkan anak laki-laki. Hal ini mengindikasikan bahwa anak jalanan perempuan lebih menghargai pekerjaannya sebagai anak jalanan dari pada anak jalanan laki-laki. Berdasarkan alasan anak jalanan turun ke jalan yaitu anak jalanan yang turun ke jalan untuk tambahan uang saku dan rekreasi yang sebagaian besar berusia 13 sampai 15 tahun cenderung positif dibandingkan anak jalanan yang turun ke jalan karena kesulitan ekonomi yang sebagian besar berusia 16 sampai 18 tahun. Konsep diri anak jalanan cenderung positif ternyata belum muncul dalam usaha mereka untuk memperbaiki diri dalam memilih pekerjaan dan berhubungan dengan orang lain yang tidak bekerja sebagai anak jalanan ataupun orang lain yang tidak senasib dengan mereka. Dengan konsep diri yang cenderung positif itu mereka juga masih melakukan tindakan-tindakan yang negatif. Maka dapat dikatakan konsep diri anak jalanan tidak selalu berhubungan dengan dengan tingkah laku dan ada faktor lain yang mempengaruhi konsep diri anak jalanan
seperti keterbatasan ekonomi, budaya jalanan dan rasa malas yang dimiliki oleh anak jalanan.
KONSEP DIRI ANAK JALANAN (Kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Oleh YUNDA PRAMUCHTIA A14204050
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Yunda Pramuchtia
No. Pokok
: A14204050
Judul
: Konsep Diri Anak Jalanan (Kasus Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Nurmala K. Panjaitan NIP. 131 803 654
Menyetujui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian:_____________
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KONSEP DIRI ANAK JALANAN (KASUS ANAK JALANAN DI KOTA BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI DINYATAKAN
YANG
DIGUNAKAN
DENGAN
JELAS
DALAM DAN
TULISAN DAPAT
TELAH
DIPERIKSA
KEBENARANNYA.
Bogor, September 2008
Yunda Pramuchtia NRP. A14204050
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta, 27 April 1986 sebagai anak dari pasangan suami istri Muchlisin dan Prayetni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, memiliki dua orang adik Dinda Pramuchtia dan Nanda Pramuchtia. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Islam As’syafi’iyah 02, Jakarta pada tahun 1997. Pada awal tahun 1998, penulis melanjutkan lagi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 109 Jakarta. Selanjutnya pertengahan tahun 2001, penulis melanjutkan lagi ke SMU Negri 91 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Semasa kuliah, Penulis pernah aktif dalam beberapa organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai staf Departemen Minat dan Bakat di Himpunan Profesi MISETA 2006-2007 dan menjabat sebagai sekertaris departemen Himpunan Profesi MISETA 2007-2008.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmannirrohim. Alhamdulliah segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robbi atas ridho, kasih sayang, izin dan hidayah-Nya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul Konsep Diri Anak Jalanan dengan kasus Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat merupakan karya ilmiah yang bertujuan untuk memahami sekaligus mengkaji kaitan antara karakteristik anak jalanan dengan konsep diri yang dimiliki oleh anak jalanan. Penulisan skripsi terselesaikan dengan bimbingan, saran dan sumbangan pemikiran yang menarik dari berbagai pihak. Dengan rasa kekaguman dan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Said Rusli, MA sebagai pembimbing akademik dan Ibu Dr. Nurmala K. Panjaitan sebagai pembimbing studi pustaka sekaligus pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati Penulis menerima kritikan dan saran yang membangun untuk penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi dikemudian hari. Akhirnya, Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Bogor, September 2008 Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Segala Puji dan Syukur hanya dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada: 1. Keluarga besarku tercinta, Papa dan Mama yang telah memberikan kasih dan doanya, adik-adikku (Dinda, Nanda), serta saudara-saudara, yang senantiasa memberikan aku semangat. Karya kecil ini kupersembahkan bagi kalian. Selamanya kalian hal yang paling indah yang pernah kumiliki. 2. Ibu Dr. Nurmala K. Panjaitan, selaku pembimbing utama yang telah mengarahkan dan memberi masukan sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam prilaku dan ucapan selama masa bimbingan yang kurang berkenan di hati Ibu. 3. Bapak Dr. Ir. Pudji Muljono, MSi sebagai dosen penguji utama yang telah bersedia meluangkan waktu dan kritikan untuk memperbaiki skripsi ini. Penulis juga mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam prilaku dan ucapan yang kurang berkenan. 4. Ibu Ratri Virianita S.Sos, MSi., selaku penguji dari Departemen KPM yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak Ir. Said Rusli, MA., selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan bimbingan dan nasehat.
6. Teman seperjuangku Tina Suhartini, terima kasih atas bantuan yang diberikan selama penelitian ini. 7. Misbahul Munir yang selalu mendukung, mendoakan, dan memberikan semangat selama penelitian. 8. Teman-temanku tercinta DR’es: Mira, Ami, Oline, Yoyo, Wulan, Mei, Elin, Anyu, Dewi, Dhini, Coy, Marisa, Resty. Terima kasih untuk semangat, kegilaan, kesabaran dan doa-doanya. 9. D’bencongsku: Ajeng, Ade, Intan, Asti, Oline, Mira, Momot. Terima kasih atas kegilaan dan dukungan pada masa-masa asrama. 10. Ilham, Ucie, Leonard, Adi, Nceq, Sani, Ani, Bayu, Uby, Tutc, Ina, Qori, Yudie, Lala, Hadim dan semua teman-teman KPM 41 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. 11. Mba Fera dan Mas Iqbal terima kasih atas masukan dan bantuan yang diberikan selama penulisan skripsi. 12. Bang Deden dan pihak dari Rumah Singgah Yayasan Titian Mandiri, terima kasih atas bantuan selama di lapangan. 13. Syahrul, Eneng, Erlan, Andre, Peloy dan semua teman-teman jalananku, terima kasih atas cerita dan pengalaman yang kalian berikan padaku selama penelitian. 14. Semua rekan yang telah memberikan sumbangsih sekecil apapun dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, September 2008 Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................... DAFTAR GAMBAR ......................................................................... DAFTAR TABEL.............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN......................................................................
ii iv v vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian ..................................................................
1 4 4 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Jalanan .............................................................................. 2.1.1 Karakteristik Anak Jalanan ............................................... 2.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi Anak Jalanan ............................. 2.1.3 Kekerasan Pada Anak Jalanan .......................................... 2.2 Konsep Diri ................................................................................ 2.2.1 Pengertian Konsep Diri ..................................................... 2.2.2 Faktor Pembentuk Konsep Diri......................................... 2.3 Kerangka Pemikiran Operasional .............................................. 2.4 Hipotesis Penelitian.................................................................... 2.5 Definisi Operasional....................................................................
6 6 14 15 19 20 22 26 28 29
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 3.2 Teknik Pemilihan Responden .................................................... 3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................................ 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .......................................
35 35 36 37
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Lokasi Penelitian.............................................................. 4.2 Yayasan Titian Mandiri .............................................................
38 41
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Anak Jalanan ........................................................ 5.2 Alasan Anak Turun ke Jalan ...................................................... 5.3 Faktor Eksternal ......................................................................... 5.4 Ikhtisar .......................................................................................
43 47 50 54
BAB VI KONSEP DIRI ANAK JALANAN 6.1 Konsep Diri Karakter ................................................................. 6.2 Konsep Diri Penampilan Fisik ................................................... 6.3 Konsep Diri Terhadap Hubungan dengan Orang Tua................ 6.4 Konsep Diri Kestabilan Emosi................................................... 6.5 Konsep Diri Umum .................................................................... 6.6 Konsep Diri Terhadap Sikap Jujur dan Percaya ........................ 6.7 Konsep Diri Hubungan Dengan Tuhan...................................... 6.8 Ikhtisar .......................................................................................
56 57 59 60 61 62 64 65
BAB VII TIPOLOGI KONSEP DIRI ANAK JALANAN 7.1 Konsep Diri Berdasarkan Karakteristik Anak Jalanan .............. 7.2 Ikhtisar ....................................................................................... 7.3 Konsep Diri Berdasarkan Alasan Turun ke Jalan ...................... 7.4 Ikhtisar .......................................................................................
68 73 73 76
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ................................................................................ 8.2 Saran...........................................................................................
77 78
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ LAMPIRAN.......................................................................................
80 83
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................................ 28
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman Teks
1. Frekuensi Tingkat Kekerasan yang Sering Dialami oleh Anak Jalanan .... 2. Jumlah Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin.......................... 3. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Pekerjaan 4. Jumlah Responden Berdasarkan Alasan Turun ke Jalan............................ 5. Jumlah Responden Berdasarkan Alasan Turun ke Jalan dan Usia ............ 6. Jumlah Responden Berdasarkan Keinginan Bekerja ................................. 7. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Akhir Orang Tua ... 8. Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua ............................. 9. Jumlah Responden Berdasarkan Penghasilan Orang Tua per bulan.......... 10. Jumlah Responden Berdasarkan Bentuk dan Pelaku Kekerasan ............... 11. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Karakter Pribadi ................ 12. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Penampilan Fisik............... 13. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Hubungan dengan Orang Tua ............................................................................................................. 14. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Kestabilan Emosi .............. 15. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Umum................................ 16. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Sikap Jujur dan Percaya .... 17. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Hubungan Dengan Tuhan . 18. Jumlah Responden Berdasarkan Usia dan Konsep Diri Anak Jalanan ...... 19. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Konsep Diri Anak Jalanan ........................................................................................................ 20 Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Konsep Diri Anak Jalanan .............................................................................................. 21 Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Konsep Diri Anak Jalanan .............................................................................................. 22 Jumlah Responden Berdasarkan Alasan Turun ke Jalan dan Konsep Diri Anak Jalanan ..............................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN
16 44 45 48 49 50 51 52 53 54 56 58 59 60 62 63 64 68 69 70 71 74
Lampiran Halaman 1. Gambar Kegiatan Belajar di Rumah Singgah Titian Mandiri.......................................................................................... 84 2. Gambar Responden ....................................................................... 85 3. Gambar Lokasi Penelitian ............................................................. 86 4. Peta Kota Bogor ............................................................................ 87 5. Kasus Anak Jalanan ...................................................................... 88
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Isu kesejahteraan anak terus mendapat perhatian masyarakat dunia. Mulai dari permasalahan buruh anak, peradilan anak, pelecehan seksual pada anak, dan anak jalanan. Hal tersebut juga dicerminkan dari banyaknya dokumen Internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak seperti Resolusi MU-PBB 1988; Convention On The Right Of The Child, Resolusi Komisi HAM PBB 1991;The Special Rapporteur On The Sale Of Children, Child Prostitution And Child Pornography dan lainnya (Tauran, 2000). Salah satu isu kesejahteraan anak yang terus berkembang menjadi perhatian dunia adalah masalah anak jalanan. Laporan Dunia tentang Situasi Anak, menyebutkan bahwa terdapat 30 juta anak tinggal dan menjaga diri mereka sendiri di jalan. Di Asia, saat ini paling tidak terdapat sekitar 20 juta anak jalanan. Jumlah tersebut diramalkan akan meningkat dua kali lipat pada 30 tahun mendatang (Childhope, 1991 dalam Tauran, 2000). Laporan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1994) memberitakan bahwa fenomena anak jalanan semakin meningkat dari segi kualitas maupun kuantitas. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4 persen, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Data Yayasan Gerbong Rakyat, anak jalanan di kota Bogor pada tahun
2003 berjumlah 400 jiwa. Jumlah ini meningkat kurang lebih sebesar 50 persen dari tahun sebelumnya (Anonim, 2003). Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan jumlah anak jalanan pada tahun 2008 di wilayah Jabodetabek mencapai 80 ribu anak dengan 30 ribu anak berada di wilayah Jakarta (Moeko, 2008). Hal ini memperlihatkan jumlah anak jalanan yang terus meningkat tiap tahunnya. Fenomena ini merupakan persoalan sosial yang kompleks. Fenomena ini terjadi di masyarakat akibat terganggunya social functioning, dikatakan terganggu social functioningnya karena seharusnya anak berada pada suatu situasi rumah, sekolah atau lingkungan bermain yang di dalamnya terdapat interaksi yang mendukung perkembangan anak tersebut, baik itu fisik, motorik, sosial, psikologis maupun moralnya (Hartini dkk, 2001). Kondisi demikianlah yang tidak dapat dipenuhi oleh anak jalanan. Anak jalanan adalah anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah lepas dari keluarganya, sekolah, lingkungan masyarakat terdekatnya larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya (UNICEF). Keberadaan anak jalanan memang bervariasi. Menurut Tauran (2000), anak jalanan dikelompokkan menjadi tiga tipologi berdasarkan penyebab anak jalanan turun ke jalan, yaitu (1) anak yang bekerja di jalanan karena alasan ekonomi, (2) anak yang hidup di jalanan karena kurang perhatian keluarga, dan (3) anak yang turun ke jalan untuk mencari tambahan uang saku. Di mata masyarakat, keberadaan anak jalanan dianggap ”limbah kota” yang harus dibersihkan. Bahkan tidak sedikit anak-anak jalanan yang menganggap
dirinya sampah masyarakat 1 . Anak jalanan tersebut dipandang sebagai warga masyarakat marjinal yang membebani masyarakat umum dan negara. Oleh karena itu, ada sebagian anak jalanan yang melakukan hal-hal kurang sopan seperti meminta dengan cara yang kasar dan agak memaksa. Situasi ini merupakan permasalahan yang kompleks dan rumit yang terjadi di masyarakat pada saat ini. Hingga saat ini penanganan masalah anak jalanan masih terbatas. Tinjauan terhadap berbagai kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa secara konseptual penanganan anak jalanan dijamin oleh kebijakan yang ada, namun hasil survei Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia terhadap 100 anak, menunjukkan hanya 10 persen anak jalanan yang terjangkau oleh program penanganan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat (Publikasi YKAI, 1994 dalam Tauran, 2000). Untuk itu, perlu dilakukan kegiatan pemberdayaan anak jalanan yang tepat sasaran. Sebagai penunjang kegiatan pemberdayaan anak jalanan tersebut, perlu diketahui konsep diri anak jalanan karena konsep diri mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan seseorang (Muslim dan Mardiyati, 2004). Dengan adanya konsep diri yang baik dan positif akan membawa seseorang berperilaku yang positif, begitu juga sebaliknya, jika seorang mempunyai konsep diri negatif maka akan membawa seseorang untuk berperilaku negatif.
1
Diambil dari situs internet www.kksp.or.id dengan judul Anak Jalanan. Diakses tanggal 17 November 2007
1.2 Perumusan Masalah Jumlah anak jalanan menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun namun penanganannya masih terbatas. Studi-studi yang ada sebelumnya masih terbatas pada pembahasan mengenai karakteristik sosial ekonomi, pembinaan rumah singgah dan tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan saja dan belum melihat anak jalanan dari sudut psikologi sosial yaitu dengan memahami konsep diri anak jalanan. Dengan memahami konsep diri anak jalanan maka pembinaan anak jalanan akan tepat sasaran sesuai dengan konsep diri anak jalanan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik sosial dan ekonomi Anak Jalanan? 2. Bagaimana konsep diri yang terbentuk pada anak jalanan? 3. Bagaimana perbedaan konsep diri anak jalanan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi anak jalanan?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi anak jalanan. 2. Mengidentifikasi konsep diri yang ada pada anak jalanan. 3. Mengidentifikasi perbedaan konsep diri berdasarkan karakteristik sosial ekonomi anak jalanan.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan dan informasi mengenai anak jalanan dan dapat digunakan sebagai bahan penulisan yang berkaitan dengan konsep diri anak jalanan. Bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan anak jalanan diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membuat suatu solusi dalam melakukan upaya pemberdayaan untuk mengatasi bertambahnya jumlah anak jalanan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak Jalanan 2.1.1 Karakteristik Anak Jalanan Anak jalanan adalah anak berusia kurang dari 16 tahun, berada di jalan untuk hidup maupun bekerja dengan memasuki kegiatan ekonomi di jalan, seperti pedagang asongan, semir sepatu, pedagang koran, pengamen, mengelap kaca mobil, menyewakan payung di waktu hujan, dan sebagainya (Anonim, 2004). Menurut Anonim (2006) indikasi anak jalanan adalah anak yang berusia di bawah 18 tahun, orientasi hubungan dengan keluarganya adalah hubungan yang sekedarnya, tidak ada komunikasi yang rutin diantara mereka, tidak mempunyai orientasi waktu mendatang, waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari empat jam setiap harinya dan biasanya aktivitas yang mereka kerjakan adalah aktivitas yang berorientasi pada kemudahan mendapatkan uang sekedarnya untuk menyambung hidup seperti, menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran/majalah, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, mengamen, menjadi kuli angkut, dan menjadi penghubung atau penjual jasa. Adapun jenis pekerjaan anak jalanan oleh Anonim (1998) dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu : 1. Usaha dagang yang terdiri dari pedagang asongan, penjual koran, majalah serta menjual sapu atau lap kaca mobil.
2. Usaha di bidang jasa yang terdiri dari pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu, dan kenek atau calo. 3. Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke, dan lain-lain. 4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan tidak mempunyai pekerjaan tetap, dalam arti dapat berubah-ubah sesuai keinginan mereka. Studi yang dilakukan Sugiharto (2001) pada dua rumah singgah yang berada di Kotamadya Bandung, menyimpulkan bahwa rentang usia anak jalanan berkisar antara 13 sampai 18 tahun. Menurut Irwanto dalam Sutinah (2001) rasio anak jalanan laki-laki di Indonesia kurang lebih 7:3. Hal ini juga didukung oleh Farid dalam Sutinah (2001) yang mengatakan jumlah anak jalanan perempuan berkisar 10 persen dari seluruh anak jalanan di Indonesia. Garliah (2004) menuliskan bahwa anak jalanan bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya mereka bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua. Hal ini lebih diperinci oleh Anonim (2004) dengan membedakan ciri-ciri anak jalanan berdasarkan dua kategori kelompok tersebut sebagai berikut:
•
Anak yang hidup di jalanan: 1. Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu. 2. Berada di jalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja, sisanya untuk menggelandang atau tidur. 3. Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper toko, kolong jembatan, taman, terminal, stasiun, dll. 4. Tidak bersekolah lagi. 5. Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung, dan serabutan yang hasilnya untuk diri sendiri. 6. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
•
Anak jalanan yang bekerja di jalanan, cirinya adalah: 1. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka umumnya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan. 2. Berada di jalanan sekitar 8-12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16 jam. 3. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, dengan orang tua/saudaranya, atau di tempat kerjanya di jalan. Tempat tinggal umumnya kumuh yang terdiri orang-orang sedaerah. 4. Pekerjaannya menjual koran, mengasong, pengasong, pencuci bis, pemulung sampah, penyemir sepatu, dan sebagainya. Bekerja merupakan bagian utama setelah putus sekolah terlebih di antara
mereka harus membantu orang tuanya karena miskin, cacat, dan tidak mampu lagi. 5. Rata-rata usianya dibawah 16 tahun. Anonim (2006) merumuskan ciri-ciri anak jalanan kedalam dua kategori yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri fisik anak jalanan adalah anak jalanan mempunyai kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, dan pakaian kotor. Ciri psikis adalah mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, masa bodoh, mempunyai rasa penuh curiga, sangat sensitif, sulit diatur, berwatak keras, kreatif, semangat hidup yang tinggi, tidak berpikir panjang (berani menanggung resiko), dan mandiri. Menurut Garliah (2004) di kalangan anak-anak jalanan berkembang satu trend cara berpakaian yang cukup khas, yakni gaya berpakaian yang kotor dan kumal, karena dengan memakai pakaian kotor, justru banyak orang yang mau menyemirkan sepatu atau memberi uang. Dengan memakai pakaian bersih tak banyak orang yang mau menyemirkan sepatunya atau memberikan uangnya. Hal ini menunjukkan adanya satu pertentangan, disatu sisi, masyarakat umum menginginkan mereka tampil secara "bersih", namun bila tampil dengan cara semacam ini maka ia tidak mendapatkan uang yang cukup. Berbeda dengan bila ia menggunakan pakaian kumal, orang tidak menyukai tetapi menghasilkan uang yang cukup. Hasil penelitian Syahril dkk. (2000) merumuskan bahwa sebagian besar anak jalanan berjenis kelamin laki-laki. Anak jalanan tersebut pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi dan termasuk anak yang kurang beruntung (disadvantage children). Yelon dalam Syahril (2000)
membatasi definisi anak-anak kurang beruntung sebagai anak yang berasal dari keluarga dengan penghasilan rendah, keluarga yang tidak mempunyai orientasi terhadap bahasa, keluarga yang terlalu sibuk untuk mempertahankan hidup secara ekonomi dan tidak menunjukkan minat terhadap pendidikan. Amal (2002) dalam Yudi (2006) menemukan kenyataan bahwa sebagian besar anak jalanan tidak bersekolah lagi atau tidak melanjutkan pendidikannya. Namun masih ada juga yang masih sekolah meskipun tidak banyak jumlahnya. Kategori tidak bersekolah dapat dibagi menjadi : 1. Anak yang tidak pernah bersekolah 2. Sekolah sampai kelas 2 SD (Sekolah Dasar) 3. Bersekolah lebih dari kelas 3 SD namun tidak mampu menyelesaikan sekolahnya 4. Hanya lulus SD 5. Lulus SD dan melanjutkan SMP. Sedangkan untuk kategori yang melanjutkan pendidikan terbagi atas : 1. Anak pada tingkat pendidikan kelas 2 SD 2. Lebih dari kelas 2 SD 3. Pada tingkat pendidikan SLTP Faktor-faktor Penyebab Anak Turun ke Jalan Secara umum beberapa penyebab anak-anak hidup di jalanan, dapat terbagi dalam tiga tingkatan (Anonim, 2006), yaitu:
1. Tingkat mikro Pada tingkat ini, biasanya anak menjadi anak jalanan disebabkan faktor internal dalam keluarga. Faktor penyebab timbulnya anak jalanan ini juga sesuai dengan apa yang ditulis oleh Mulandar dalam Anonim (2004) yaitu faktor kemiskinan keluarga. Kemiskinan ini diperparah oleh rendahnya pendidikan keluarga itu sendiri, sehingga kedua orang tua tidak mempunyai pandangan yang tepat terhadap masa depan anak. 2. Tingkat messo Pada tingkat messo, faktor sebab dapat diidentifikasi sebagai berikut (a) masyarakat atau komunitas miskin mempunyai pola hidup dan budaya miskinnya sendiri. Pola hidup yang tidak teratur dan memandang anak sebagai aset untuk menunjang hidup keluarga yang menyebabkan hilangnya kebutuhan-kebutuhan anak sesuai tugas perkembangannya; (b) ada pola urbanisasi ke kota-kota besar tanpa perbekalan yang memadai. Menurut Suparlan (1993), sekali kebudayaan kemiskinan tersebut tumbuh, ia cenderung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melalui pengaruhnya terhadap anak-anak. Ketika anak-anak di wilayah slum berumur enam atau tujuh tahun, mereka biasanya menyerap nilai-nilai dasar dan sikapsikap dari sub-kebudayaan mereka dan secara kejiwaan tidak sanggup memanfaatkan
kondisi-kondisi
perubahan
dan
memberikan
kesempatan-
kesempatan yang mungkin terjadi dalam hidup mereka. Hal ini terlihat dari penelitian Handoyo dkk (2004) bahwa anak jalanan yang turun ke jalan pada usia dini (3 sampai 10 tahun) adalah mereka yang mengikuti aktivitas orang tuanya mencari nafkah.
3. Tingkat makro Pada tingkat makro, faktor sebab dapat diidentifikasi sebagai berikut (a) kebijakan pembangunan yang kurang menyentuh azas pemerataan antara pusat dengan daerah, sehingga pusat-pusat keramaian hanya muncul di daerah perkotaan (P.Jawa); (b) kondisi ekonomi masyarakat (Negara) yang tidak stabil, kenaikan harga barang-barang tiap tahun terjadi mengharuskan keluarga untuk beradaptasi dengan pengeluaran sedangkan penghasilan tidak bertambah; (c) tidak semua keluarga miskin dapat atau memperoleh akses pelayanan sosial (gratis) yang menjadi haknya, baik pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun pelayanan publik lainnya; (d) kebijakan penanganan masalah anak jalanan kurang bersifat sinergis, koordinatif dan berkelanjutan. Rata-rata anak jalanan di lokasi penelitian mengaku pergi ke jalan merupakan keinginan sendiri. Namun motif ini bukanlah semata-mata timbul dari dalam diri mereka melainkan juga didorong oleh faktor lingkungan. Dari hasil penelitian Tauran (2000), penyebab anak jalanan turun ke jalan sebagai berikut: a. Semata-mata menopang kehidupan ekonomi keluarga b. Mencari kompensasi dari kurangnya perhatian keluarga c. Sekedar mencari tambahan uang saku. Penyebab tipe pertama, anak jalanan pergi ke jalan karena kondisi keluarga yang tidak stabil dan mereka diposisikan sebagai tulang punggung keluarga. Umumnya ini terjadi pada anak jalanan dengan keluarga yang mengalami disharmoni dan tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang dapat mendukung. Anak jalanan dengan motif seperti ini umumnya membelanjakan penghasilannya hanya untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga. Mereka
seringkali diidentikkan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingga sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya. Penyebab tipe kedua, anak pergi ke jalan sebagai kompensasi dari tidak terpenuhinya kesejahteraan anak di rumah. Biasanya anak jalanan pada motif ini berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup stabil tetapi terabaikannya fungsi yang seharusnya diperankan oleh orang tua (perhatian, kasih sayang dan bimbingan) mereka kurang mendapat kesejahteraannya, terutama dari aspek emosional secara baik. Pada keluarga yang pecah atau tidak utuh, baik yang disebabkan oleh perceraian atau meninggalnya salah satu atau kedua orang tua akan memberikan akibat bagi anak berupa: a. Kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan orangtua. b. Kebutuhan dan harapan tidak terpenuhi c. Tidak mendapat latihan fisik dan mental Sebagai akibat ketiga bentuk pengabaian tersebut anak dapat menjadi bingung, risau, sedih, atau malu. Bahkan kadang diliputi rasa dendam dan benci sehingga kemudian mereka menjadi liar dan mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga. Mereka mulai sering menghilang dari rumah dan lebih suka menggelandang mencari kesenangan hidup imaginer di tempat-tempat lain. Penyebab tipe yang ketiga, yaitu sekedar mencari tambahan uang saku. Pada kondisi ini, secara relatif kebutuhan primer anak telah terpenuhi. Namun
demikian mereka memiliki inisiatif sendiri untuk mencari tambahan uang saku di jalan. Umumnya mereka berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah. Mayoritas anak jalanan dengan motif seperti ini memilih pekerjaan sebagai pedagang koran.
2.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Jalanan Keluarga memiliki fungsi-fungsi dasar menurut Berns (1997) dalam Purwaningsih (2003), yaitu : a. Fungsi reproduksi yaitu keluarga berfungsi untuk mempertahankan keturunan dengan cara berkembangbiak, melahirkan generasi penerus. b. Fungsi sosialisasi yaitu keluarga merupakan tempat penanaman nilai-nilai, kepercayaan, sikap, keterampilan, dan teknik-teknik. c. Penentuan peran sosial yaitu keluarga merupakan tempat pembagian pekerjaan, peran sebagai ayah, ibu, dan anak dengan tugas masing-masing. d. Dukungan ekonomi yaitu keluarga merupakan tempat perputaran uang. e. Dukungan emosi yaitu keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial pertama, interaksi pengasuhan, keakraban, keabadian, dan rasa aman bagi anak. Keluarga merupakan tempat berbagi sakit, sedih, terluka, dan saat usia senja. Menurut Soe’oed (1999), agen sosialisasi merupakan significant others (orang yang paling dekat) dengan anak jalanan, seperti orang tua, kakak-adik, saudara, teman sebaya, guru atau instruktur dan lainnya. Pada anak jalanan yang masih kanak-kanak yang menjadi agen sosialisasi pada umumnya adalah orang
tua dan anggota keluarga lainnya yang merupakan significant other bagi anak, dan orang tualah yang menjadi role model bagi seorang anak dalam membentuk perilakunya, sehingga apabila orang tua atau significant other bekerja di jalanan maka secara otomatis anak akan mencontoh hal tersebut dari orang tua atau significant other. Akan tetapi, agen sosialisasi berubah bagi anak jalanan beranjak masa remaja, dimana sosialisasi yang dilakukan oleh peer group menjadi sangat bahkan lebih penting. Pada keadaan anak jalanan, salah satu permasalahan yang dihadapi mereka adalah telah bergesernya fungsi keluarga, salah satu contohnya fungsi ayah sebagai pencari nafkah yang digantikan oleh anak-anak mereka. Menurut Purwaningsih (2003), orang tua sangat mempengaruhi keputusan anak dalam rangka mencari nafkah. Dukungan ini dapat berupa langsung maupun tidak langsung. Dukungan ini ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang meminta uang ’setoran’ pada anak jalanan. Keadaan sosial ekonomi keluarga yang serba kekurangan mendorong anak jalanan untuk mencari penghasilan lebih. Keadaan sosial ekonomi keluarga dapat dilihat salah satunya melalui pekerjaan orang tua.
2.1.3 Kekerasan pada Anak Jalanan Kekerasan dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, paksaan. Dinas Sosial Jawa Barat (dalam Marliana, 2006) mendefinisikan anak yang menjadi korban kekerasan atau diperlakukan salah yaitu anak yang berusia 5-18 tahun, anak yang terancam secara fisik maupun non fisik karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam
lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Ciri-ciri anak yang menjadi korban kekerasan menurut Dinas Sosial Jawa Barat (dalam Marliana, 2006) adalah: 1. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, berusia 5-18 tahun. 2. Sering mendapat perlakuan kasar, kejam, dan tindakan yang berakibat menderita secara psikologis. 3. Pernah dianiaya atau diperkosa. 4. Dipaksa bekerja, tidak atas kemauannya. Tabel 1. Frekuensi Tingkat Kekerasan yang Sering Dialami oleh Anak Jalanan di Kota Bogor, Jawa Barat. No. Jenis Kekerasan 1. Dikeroyok teman karena melanggar wilayah kerja 2. Dijewer orang tua karena tidak bekerja 3. Ditendang teman 4. Dipalak teman 5. Dipukul orang tua karena tidak memberi uang 6. Digebukin teman karena melanggar wilayah kerja 7. Dihajar teman 8. Dihajar preman karena tidak membayar uang keamanan 9. Pelecehan seksual 10. Dimarahi orang tua karena bekerja 11. Diejek teman 12. Dicemooh teman 13. Dimarahi teman karena melewati batas wilaya kerja 14. Dipaksa oleh teman untuk menurutinya 15. Diancam orang tua untuk bekerja 16. Dipaksa orang tua untuk bekerja 17. Diancam teman agar mau memberinya uang Sumber : Data Penelitian Marliana (2006).
Frekuensi (n) 5
Persentase (%) 12,5
10 9 2 5
25 22,5 5 12,5
7
17,5
3 5
7,5 12,5
0 5 10 1 2
0 12,5 25 2,5 5
7 3 12 1
17,5 7,5 30 2,5
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa bentuk kekerasan yang sering dialami oleh anak jalanan menurut hasil survey yaitu dipaksa orang tua untuk bekerja. Dari 40 anak jalanan terdapat 12 anak (30%) yang sering dipaksa oleh orang tuanya untuk bekerja. Bentuk kekerasan lain yang sering dialami oleh anak jalanan adalah dijewer orang tua karena tidak bekerja dan diejek oleh teman seprofesi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Marliana (2006), kekerasan yang dialami oleh anak jalanan biasanya dilakukan oleh orang dewasa yang berkuasa atas mereka, seperti orang tua, preman maupun anak jalanan yang lebih tua dari mereka. Keterbatasan ekonomi keluarga menjadi faktor yang menyebabkan orang tua memaksa anaknya untuk bekerja di jalan. Kekerasan yang dilakukan oleh preman terhadap anak jalanan dilakukan agar anak jalanan lebih menuruti perkataan mereka, sehingga preman dapat terus berkuasa. Kekerasan yang dilakukan oleh anak jalanan yang lebih tua dilakukan untuk memanfaatkan dan menunjukkan kekuasaan mereka agar lebih dihormati oleh anak jalanan yang lebih muda. Hartini dkk (2001) menyatakan bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang dialami anak jalanan ke dalam empat jenis yaitu: 1. Kekerasan ekonomi Kekerasan ekonomi cenderung dilakukan oleh anak jalanan laki-laki yang lebih besar/tua usianya dan atau oleh aparat keamanan. Bahkan secara tidak langsung kekerasan ekonomi juga dilakukan oleh orang tua mereka. Kekerasan ekonomi yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri dapat berupa pemaksaan terhadap anak-anaknya yang masih dibawah umur untuk ikut
serta memberi sumbangan secara ekonomi bagi keluarganya. Kekerasan orang tua biasanya dilakukan dengan memarahi anak mereka jika beristirahat atau harus cepat-cepat berlari mendekati mobil bila lampu merah menyala agar mendapat uang yang lebih banyak. Kekerasan ekonomi juga dilakukan oleh aparat yang sering melakukan cakupan pada anak jalanan. Menurut anak jalanan, cakupan dilakukan oleh petugas keamanan seperti Polisi Kotamadya (maksud satpol PP) dan Hansip. Penangkapan yang dilakukan oleh petugas sebagai wujud upaya pemerintah kota untuk menjaga ketertiban dan salah satu solusi yang dapat memecahkan permasalahan di kota besar, sebaliknya justru dianggap sebagai tindak kekerasan ekonomi dan psikis bagi anak jalanan karena jika mereka sampai tertangkap, anak jalanan akan dimintai uang. Jika tidak diberi uang, anak jalanan tersebut diancam akan dimasukkan ke tempat penampungan-penampungan yang ada di daerah tersebut. 2. Kekerasan psikis Bentuk kekerasan ini adalah berupa ancaman tidak diperbolehkan beroperasi/mengamen/mengemis di tempat/perempatan jalan tertentu, dimakimaki dengan kata kasar sampai ancaman dengan menggunakan senjata tajam seperti clurit dan sebagainya. Ancaman yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis ini sering terjadi dan selalu bersamaan dengan kekerasan ekonomi. Kekerasan psikis yang dilakukan baik oleh sesama anak jalanan atau aparat, cenderung memberikan dampak yang sangat traumatik.
3. Kekerasan fisik Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang sangat mudah diketahui dengan melihat akibat yang ditimbulkannya. Kekerasan fisik ini biasanya berupa tamparan, tendangan, pukulan, gigitan, benturan dengan benda keras, sampai luka sebagai akibat terkena senjata tajam. Kekerasan fisik yang dialami anak jalanan perempuan tersebut ternyata bukan hanya di tempat kegiatan sehari-hari tetapi juga di tempat penampungan bila anak jalanan tersebut terkena cakupan oleh petugas. Misalnya: anak jalanan harus mengepel penampungan, pemberian makanan dan tempat tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga menimbulkan penyakit dan sebagainya,. 4. Kekerasan seksual Studi ini menemukan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada anak jalanan perempuan di Surabaya lebih sering dilakukan pada anak jalanan perempuan yang telah menginjak remaja (12 tahun ke atas). Kekerasan seksual yang pernah dialami oleh anak jalanan ini mulai yang sangat ”sederhana” seperti mencolek pantat, pegang-pegang payudara sampai diajak pergi ke tempat-tempat yang biasa digunakan untuk melakukan perbuatan seksual (losmen dan hotel-hotel kecil). Secara keseluruhan, temuan tentang kekerasan yang dialami anak jalanan tersebut menunjukkan hidup di jalanan bagi anak-anak berlaku ”hukum jalanan”. Artinya siapa yang kuat dan berkuasa itulah pemenangnya. Kondisi sepeti itu kiranya dapat menunjukkan begitu kehidupan anak jalanan itu sangat keras.
2.2 Konsep Diri 2.2.1. Pengertian Konsep Diri Konsep diri merupakan bagian penting dalam kepribadian manusia. Pemahaman mengenai konsep diri merupakan hasil dari bagaimana kita melakukan proses mengenali diri sendiri. Perkembangan selanjutnya, proses pengenalan itu sendiri akan sangat beraneka ragam. Dimulai dari penilaian fisik, seperti cantiknya wajah seseorang, maupun bentuk tubuh yang kemudian berkembang kepada pengenalan diri nonfisik seperti sejauh mana kepandaian saya, sudah sebaik apakah tingkah laku saya (Puspasari, 2007). Konsep diri secara umum dapat didefinisikan sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Baron (2003) bahwa konsep diri adalah kumpulan keyakinan dan persepsi diri terhadap diri sendiri yang terorganisir . Konsep diri memberikan sebuah kerangka berpikir yang menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri kita sendiri, termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan, dan banyak hal lainnya (Klein dkk dalam Baron, 2004). Brooks (dalam Mardiyati dan Mudaris, 2004) mengatakan, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita sendiri. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat psikis, sosial dan psikologis. Persepsi tentang diri diperoleh dari pengalaman-pengalaman dan hubungan dengan orang lain. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita sendiri. Selain itu, Taylor (dalam Mardiyati dan Mudaris, 2004) juga mendefinisikan konsep diri meliputi apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita rasakan tentang diri kita.
Di dalam konsep diri, diri kita menjadi suatu subjek dan objek sekaligus. Cooley (dalam Rakhmat, 1994) menyebut gejala ini looking-glass self (diri cermin), seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pemikiran ini mengatakan konsep diri seseorang dipengaruhi oleh apa yang diyakini individuindividu bahwa orang-orang berpendapat mengenai dia (Cooley dalam Burns, 1993). Kronologisnya adalah sebagai berikut, pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain, kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa, orang mungkin merasa sedih atau malu (Zanden dalam Rakhmat, 1994). Misalnya individu mengganggap dirinya jelek, lalu dia berpikir bahwa orang lain menganggap dirinya tidak menarik dan pada akhirnya individu tersebut merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Melalui proses pengalaman yang panjang, pada akhirnya konsep diri seseorang terbentuk, yakni bahwa konsep diri seseorang bisa positif (tinggi) bisa pula negatif (rendah) (Hasbiansyah, 1997). Konsep diri yang positif dapat diperoleh, jika seseorang memandang dirinya sebagai seorang yang mampu. Konsep diri yang positif memungkinkan seseorang untuk menatap hidup dengan penuh antusiasme, berkemauan untuk menjelajahi minat-minat baru, mencari tantangan baru bagi diri dan hidupnya, serta sebagai individu yang bahagia. Sebaliknya, individu yang memiliki konsep yang negatif, merasa tidak mampu, tidak berdaya, menolak untuk mencoba tugas atau hal-hal baru, dan mudah menyerah sebelum mencoba sesuatu karena selalu merasa dirinya akan mengalami kegagalan.
2.2.2 Faktor Pembentuk Konsep Diri Pembentukan konsep diri pada manusia sesungguhnya melalui proses yang panjang dan terus-menerus sejak lahir hingga dewasa. Proses itu dimulai dari pola asuh orang tua, bentukan bahasa yang digunakan, imitasi, permainan peran, sehingga mulai muncul identitas diri yang diterimanya yang menghubungkan dirinya dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung dalam keluarga dan kelompok-kelompok lain, dan akhirnya dalam komunitas itu secara keseluruhan (Hasbiansyah, 1997) Konsep diri terbentuk oleh kesadaran akan diri dengan melakukan penilaian langsung terhadap dirinya sendiri, juga terbentuk karena kesadaran akan kehadiran orang lain yang menilainya atau diduga menilainya. Komentar orang lain tentang seseorang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menilai dirinya. Komentar atau perlakuan orang lain tersebut dapat digunakannya untuk memperkuat, melegitimasi, atau mengubah persepsi tentang dirinya. Tidak semua orang lain memiliki pengaruh yang sama terhadap seseorang, ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengannya. George Herbert Mead (Rakhmat, 1993) menyebutnya significant others. Significant others meliputi orang tua, saudara-saudara, famili, dan sebagainya, yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang secara intens. Semakin luas pergaulan, semakin banyak pula ia mengumpulkan penilaian orang lain tentang dirinya. Seluruh penilaian dari significant others dan lain-lainnya itu kemudian dihimpun menjadi satu kesatuan penilaian. Keseluruhan pandangan orang lain tersebut dinamakan generalized others.
Selain identitas unik yang sering disebut dengan konsep diri personal, juga ada aspek sosial dari diri yang kita bagi dengan orang lain (Brewer & Gardner, 1996 dalam Baron, 2004). Bagian dari siapa kita dan bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri ditentukan oleh identitas kolektif yang disebut sebagai diri sosial (social self). Diri sosial, juga terdiri dari dua komponen: (1) berasal dari hubungan interpersonal dan (2) berasal dari keanggotaan pada kelompok yang lebih besar dan kurang pribadi seperti ras, etnis, dan budaya. Berdasarkan hasil penelitian dalam mempelajari tiga kelompok (pra remaja, remaja awal, dan remaja akhir), konsep diri sosial menjadi semakin terdiferensiasi dan didefinisikan dengan baik seiring dengan bertambahnya usia. Menurut Pikunas (dalam Mudaris dan Mardiyati, 2004), pada pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, teman sebaya (peer group), dan kelompok acuan (reference group) mulai memegang peranan penting dalam menggantikan kedudukan orang tuanya, sebagai pembentuk utama konsep diri anak. Anak mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok seusia mereka dan mengadopsi tingkah laku kelompok sebayanya dari jenis kelamin yang sama dengan dirinya. Pada akhir masa anak-anak keadaan konsep diri anak akan stabil. Puspasari (2007) merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yaitu: a) Pengaruh keterbatasan ekonomi Pada lingkungan dengan keterbatasan ekonomi akan menghasilkan permasalahan perkembangan yang berkaitan dengan proses pertumbuhan aktualisasi diri. Kesulitan hidup secara finansial maupun ekonomi, akan menghasilkan konsep diri yang rendah. Salah satu contohnya adalah dimana
beberapa anak menunjukkan tanda-tanda depresi akibat pada usia mereka adanya tuntutan untuk mencari nafkah keluarga. b) Pengaruh kelas sosial Contohnya adalah pada ras-ras tertentu terdapat karakteristik konsep diri yang unik satu sama lain. Ras kulit hitam yang dianggap kaum minoritas cenderung untuk bersifat defensif terhadap kritik, agresif dan mempunyai nilai konsep diri yang rendah. c) Pengaruh usia terhadap konsep diri. Pada beberapa individu, konsep diri dapat meningkat atau menurun sesuai kondisi atau pengalaman dari individu itu sendiri. Konsep diri menurut Puspasari (2007) dapat dilihat dari aspek-aspek berikut ini: •
Konsep diri skala kemampuan fisik Konsep diri skala kemampuan fisik didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mendeskripsikan dirinya dalam melakukan kegiatan yang bersifat menguji kemampuan fisik.
•
Konsep diri skala penampilan fisik Konsep diri yang berkaitan dengan penampilan fisik merupakan deskripsi seseorang terhadap penampilan fisiknya. Proses deskripsi bisa dilakukan dengan membandingkan diri sendiri, penilaian yang dilakukan dengan membandingkan diri dengan orang lain, ataupun penilaian yang berasal dari penilaian orang lain mengenai diri kita.
•
Konsep diri skala hubungan dengan lawan jenis Konsep diri yang menyangkut deskripsi diri yang berkaitan dengan proses sosial dengan lawan jenis.
•
Konsep diri skala hubungan dengan teman yang berjenis kelamin sama Deskripsi diri remaja yang terbentuk sebagai akibat proses dengan teman yang memiliki jenis kelamin yang sama.
•
Konsep diri hubungan dengan orang tua Gambaran mengenai bagaimana anak mendeskripsikan dirinya terhadap hubungan antara anak dengan orang tuanya sendiri.
•
Konsep diri terhadap sikap jujur dan percaya Konsep
diri
yang
berkaitan
dengan
bagaimana
seorang
anak
mendeskripsikan dirinya terhadap sikap jujur dan percaya terhadap orang lain. ketidakjujuran akan menyebabkan seseorang salah memahami deskripsi diri yang ada pada dirinya, sedangkan anak yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap hubungannya dengan orang lain akan memiliki keterbukaan dalam mengungkapkan deskripsi dirinya. Seorang anak yang menghadapi tekanan cenderung untuk mempertahankan diri dengan cara berbohong ataupun lari dari masalah. •
Konsep diri kestabilan emosi Konsep diri yang berkitan dengan proses pengendalian emosi pada diri individu. Individu yang cenderung sulit untuk mengendalikan emosinya akan mudah marah, selalu merasa khawatir dan terancam ataupun mudah resah. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang dapat mengendalikan emosinya
umumnya jarang menunjukkan emosi negatif kepada orang lain ataupun terlalu terbawa emosi pada kegiatan sehari-harinya. •
Konsep diri akademis umum Alat ukur ini mencoba untuk melihat konsep diri seseorang terhadap kemampuan akademisnya. Pada anak dengan usia sekolah, konsep diri akan kemampuan akademis atau keberhasilan dirinya di sekolah dapat digunakan untuk mengembangkan konsep diri yang dimiliki.
•
Konsep diri umum Konsep diri umum merupakan generalisasi pemahaman konsep diri, tanpa spesifik melihat deskripsi apa yang dilihat secara khusus. Konsep diri ini digunakan untuk melihat kemampuan menghargai diri sendiri dan membangun rasa percaya diri.
2.3 Kerangka Pemikiran Penjelasan-penjelasan di atas dapat dirangkai menjadi sebuah kerangka pemikiran yang selanjutnya dapat dirangkai lagi menjadi satu permasalahan baru yang mengangkat tema tentang konsep diri anak jalanan terkait dengan faktorfaktor yang mempengaruhi konsep diri tersebut. Konsep diri merupakan faktor yang penting bagi pembentukan tingkah laku manusia. Manfaat individu mengetahui konsep diri adalah mereka dapat menampilkan perilaku yang diterima dari respon-respon dan pandanganpandangan yang diberikan oleh orang lain. Terkait dengan anak jalanan, konsep diri adalah gambaran yang dimiliki oleh seorang anak jalanan tentang dirinya. Hal
ini merupakan apa yang diyakini anak jalanan pada dirinya, meliputi karakteristik fisik, psikologi, sosial, dan emosional serta aspirasi-aspirasi dan prestasinya. Gambaran yang dimiliki anak jalanan ini adalah penilaian dari segala hal yang mereka ketahui, rasakan dan mereka yakini ada pada diri mereka, meliputi karakteristik diri dan bagaimana mereka berhubungan dengan dunia luar, yang berkembang berdasarkan hasil persepsi dari orang lain dan diri mereka sendiri. Cara seseorang memandang dan menilai dirinya, menurut para ahli psikologi memiliki kaitan dengan perilaku dengan yang ditampilkannya. Orang yang menilai dirinya sebagai tidak baik (konsep diri negatif), cenderung menarik diri dalam berhubungan dengan orang lain, atau bertindak agresif secara tidak wajar. Jika seorang anak jalanan berpikir bahwa dirinya bodoh, ia akan merasa tak sanggup melaksanakan tugas-tugas yang dipandangnya tugas “orang-orang pintar”. Bila seorang anak jalanan merasa dirinya memiliki kemampuan mengatasi masalah, maka persoalan apapun yang dihadapinya pada akhirnya cenderung dapat diatasi. Bila seorang anak jalanan merasa dirinya tampan dan ketampanan itu merupakan bagian penting dalam melaksanakan pekerjaannya, ia akan tampil percaya diri dan bertindak positif. Burns, seorang ahli psikologi yang secara khusus mempelajari ihwal konsep diri dengan perilaku, mengisyaratkan bahwa konsep diri secara potensial memiliki kaitan dengan bagian-bagian yang amat luas dari perilaku manusia (Burns, 1993). Karakteristik anak jalanan yang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal diduga dapat mempengaruhi konsep diri anak jalanan. Faktor internal dalam karakteristik sosial ekonomi anak jalanan ini terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan alasan turun ke jalan. Faktor internal anak
jalanan ini akan dilihat hubungannya dengan konsep diri yang terbentuk pada anak jalanan. Hal ini dapat disederhanakan melalui gambar kerangka pemikiran (Gambar 1).
Karakteristik Sosial Ekonomi Anak Jalanan Faktor Internal: • Usia • Jenis Kelamin • Tingkat Pendidikan • Jenis Pekerjaan • Alasan Turun ke Jalan
Faktor Eksternal: • Tingkat Kekerasan yang Diterima Anak Jalanan • Tingkat Sosial Ekonomi Anak Jalanan
Konsep Diri Anak Jalanan
Tingkah Laku Anak Jalanan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
Keterangan: : mempengaruhi : mempengaruhi tetapi tidak diteliti
2.4 Hipotesis Penelitian 1. Diduga konsep diri anak jalanan berbeda berdasarkan karakteristik sosial ekonomi anak jalanan.
2. Diduga konsep diri anak jalanan berbeda berdasarkan alasan anak turun ke jalan.
2.5 Definisi Operasional 1. Anak jalanan adalah anak berusia 13 sampai 18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dan tempat umum lainnya (pasar, terminal, stasiun dan lainnya). 2. Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai ketika diwawancarai, kategori yang digunakan adalah: 1. Antara 13 hingga 15 tahun, kode =1 2. Antara 16 hingga 18 tahun, kode = 2 3. Jenis kelamin adalah struktur biologis yang ada pada diri anak jalanan. Kategorinya adalah: 1. Laki-laki, kode =1 2. Perempuan, kode = 2 4. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang diperoleh anak jalanan. Kategorinya adalah: 1. Tidak pernah sekolah, kode = 1 2. Sekolah Dasar (SD) dan sederajat, kode = 2 3. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat, kode = 3 4. Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, kode = 4
5. Jenis Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah uang dalam satu bulan terakhir. 1. Usaha dagang terdiri dari pedagang asongan, penjual koran, majalah serta menjual sapu atau lap kaca mobil, kode = 1 2. Usaha di bidang jasa terdiri dari pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut di pasar, ojek payung, tukang semir sepatu, dan kenek atau calo, kode = 2 3. Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke, dan lain-lain, kode = 3 4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan tidak mempunyai pekerjaan tetap, dalam arti dapat berubah-ubah sesuai keinginan mereka, kode = 4 6. Alasan turun ke jalan adalah alasan yang menyebabkan anak memilih untuk turun ke jalan. Kategori yang digunakan adalah: (1) Tipe pertama: turun ke jalan karena alasan ekonomi/ mencari nafkah untuk keluarga, kode = 1 (2) Tipe kedua : turun ke jalan karena kurang kasih sayang keluarga/ disharmoni keluarga, kode = 2 (3) Tipe ketiga : turun ke jalan karena iseng/ menambah uang saku, kode = 3 (4). Lainnya, kode = 4
7. Keadaan sosial ekonomi keluarga adalah suatu gambaran kehidupan keluarga
yang
menitikberatkan
pada
tingkat
pendidikan,
tingkat
pendapatan dan jenis pekerjaan orang tua. 8. Tingkat pendapatan orang tua adalah penghasilan yang dimiliki oleh ayah dan ibu. Kategori yang digunakan adalah: 1. Tidak tahu, kode = 1 2. Tidak berpenghasilan, kode = 2 3. Kurang dari atau sama dengan Rp 200.000,00, kode = 3 4. Lebih dari Rp 200.000,00 - Rp 500.000,00, kode = 4 5. Lebih dari Rp 500.000,00 - Rp 830.000,00, kode = 5 6. Lebih dari Rp 830.000,00 kode = 6 9. Tingkat pendidikan orang tua adalah pendidikan formal yang pernah dijalani oleh ayah atau ibu anak jalanan. Kategori: 1. Tidak tahu, kode = 1 2. Tidak pernah sekolah, kode = 2 3. Sekolah Dasar (SD), kode = 3 4. Sekolah Menengah Pertama (SMP), kode = 4 5. Sekolah Menengah Atas (SMA), kode = 5 6. Perguruan Tinggi, kode = 6 10. Pekerjaan orang tua adalah kegiatan yang dilakukan ayah atau ibu anak jalanan untuk membiayai hidup keluarga. Kategori yang digunakan adalah: 1. Tidak tahu, kode = 1
2. Tidak bekerja atau Ibu rumah tangga, kode = 2 3. Buruh terdiri dari tukang batu, kuli angkut, dan buruh cuci atau pembantu rumah tangga, kode = 3 4. Bidang jasa (terdiri dari tukang sepatu, tukang kebun, penarik becak, penggali sumur, supir, penjahit, pramuniaga, dan satpam) dan usaha dagang, kode = 4 5. Petani, kode = 5 6. Pemulung dan pengemis, kode = 6 7. Lainnya, kode = 7. 11. Tingkat kekerasan yang diterima anak jalanan adalah intensitas tindak kejahatan yang dilakukan pihak lain (aparat keamanan, keluarga, anak jalanan lain dll) yang merugikan anak jalanan Untuk kekerasan yang diterima anak jalanan kategorinya adalah: (1). Dipaksa bekerja, kode = 1 (2). Dipukuli, kode = 2 (3). Dipaksa memberikan uang, kode = 3 (4). Pelecehan seksual, kode = 4 (5). Lainnya, kode = 5 12. Konsep diri adalah cara anak jalanan memandang dan menilai dirinya sendiri. Kategori yang digunakan adalah: (1) Konsep diri karakter pribadi: konsep diri mengenai karakter diri anak jalanan •
Tinggi: 8-18
•
Sedang: 19-29
•
Rendah: 30-40 (2) Konsep diri penampilan fisik: deskripsi anak jalanan mengenai penampilan fisiknya.
•
Tinggi: 5-9
•
Sedang: 10-14
•
Rendah: 15-20 (3) Konsep diri hubungan dengan orang tua: deskripsi anak jalanan terhadap hubungan dengan orang tua mereka
•
Tinggi: 8-18
•
Sedang: 19-29
•
Rendah: 30-40 (4) Konsep diri kestabilan emosi: deskripsi anak jalanan terhadap pengendalian emosi pada diri individu.
•
Tinggi: 6-13
•
Sedang: 14-21
•
Rendah: 22-30 (5) Konsep diri umum: deskripsi anak jalanan mengenai kemampuan menghargai dirinya sendiri
•
Tinggi: 6-13
•
Sedang: 14-21
•
Rendah: 22-30
(6) Konsep diri sikap jujur dan percaya: deskripsi anak jalanan terhadap sikap jujur dan percaya •
Tinggi: 5-9
•
Sedang: 10-14
•
Rendah: 15-20 (7) Konsep diri hubungan dengan Tuhan: deskripsi anak jalanan terhadap hubungan dengan Tuhan.
•
Tinggi: 4-8
•
Sedang: 9-13
•
Rendah:14-20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat tepatnya di Jl. Sholeh Iskandar di depan pusat perbelanjaan Hypermart, pertigaan rel kereta api di Kebon Pedes, di pertigaan lampu merah Jl. Baru dan perempatan lampu merah Hotel Pangrango 2. Lokasi-lokasi ini didapatkan dari informan yang bekerja di Rumah Singgah Yayasan Titian Mandiri. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan kemudahan akses penelitian, keterbatasan tenaga, biaya, serta waktu dari peneliti. Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan, yaitu pada bulan Juni 2008 sampai dengan bulan Juli 2008. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan selanjutnya dilakukan selama satu bulan, yaitu pada bulan Juli 2008 sampai dengan bulan Agustus 2008.
3.2 Teknik Pemilihan Responden Populasi dari penelitian ini adalah anak jalanan Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat tepatnya di Jl. Sholeh Iskandar di depan pusat perbelanjaan Hypermart, pertigaan rel kereta api di Kebon Pedes, di pertigaan lampu merah Jl. Baru dan perempatan lampu merah Hotel Pangrango 2. Jumlah responden yang diambil adalah minimal 30 orang. Angka 30 diambil dari standar minimal penelitian survei (Singarimbun dan Effendi, 1989).
Responden sejumlah 30 orang diambil dengan menggunakan teknik accidential sampling dengan pertimbangan bahwa pada waktu penelitian, anak jalanan yang dijadikan responden adalah mereka yang datang ke wilayah-wilayah yang dijadikan lokasi penelitian (Ruslan, 2006). Untuk mendapatkan data lain dipilih pekerja sosial dari rumah singgah dan pihak-pihak dari Dinas Sosial Kota Bogor sebagai informan.
3.3 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode penelitian survai dengan bentuk penelitian eksploratif. Penelitian eksploratif adalah penelitian penjajakan yang sering dilakukan sebagai langkah pertama untuk penelitian yang lebih mendalam, baik itu penelitian penjelasan maupun penelitian deskriptif. Melalui penelitian eksploratif ini masalah penelitian dapat dirumuskan dengan jelas dan lebih terperinci dan hipotesa dapat dikembangkan dalam penelitian selanjutnya (Singarimbun dan Effendi, 1989). Hal ini dikarenakan belum banyak penelitian mengenai topik seperti ini sebelumnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif, hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Data kuantitatif diperoleh melalui hasil kuesioner sebagai instrumen utama yang terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup. Data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dan pengamatan di lapangan. Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali informasi yang lebih mendalam dari para responden. Responden tersebut didapatkan dari para responden yang hasil kuesionernya mendekati tujuan penelitian.
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data pada penelitian ini menggunakan tabulasi silang untuk memperoleh presentase dan memberikan interpretasi terhadap data tersebut sehingga dapat dipahami maknanya. Data kualitatif didapat dengan cara menginterpretasikan fenomena yang ada di lapangan. Data kualitatif yang diperoleh dari wawancara digunakan untuk mendukung data-data dari pengisian kuesioner yang disajikan, diintegrasikan dengan hasil kuesioner lalu ditarik suatu kesimpulan. Pertanyaan kuesioner konsep diri akan dihitung dengan menggunakan skala Likert yang terdiri dari lima kategori jawaban. Setiap alternatif diberikan jawaban skor 5 sebagai skor tertinggi sampai dengan skor 1 sebagai nilai terendah. Skor 5 berarti sangat setuju, sedangkan skor terendah adalah sangat tidak setuju. Maka skor total tertinggi dari konsep diri adalah 5 x 42 = 210 dan skor total terendah adalah 42. Guna kepentingan analisis, untuk mengetahui jawaban responden dari kuesioner per variabel dilakukan dengan membagi skor total ke dalam tiga range yaitu positif, sedang dan negatif.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Profil Lokasi Penelitian Berdasarkan kedudukan geografis, Kota Bogor terletak di tengah-tengah
wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, hal ini merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Secara administratif, Kota Bogor terdiri dari 6 kecamatan, 31 kelurahan, dan 37 desa. Keenam kecamatan tersebut antara lain, Kecamatan Bogor Timur, Bogor Utara, Bogor Barat, Bogor Selatan, Bogor Tengah, dan Tanah Sareal. Wilayah yang dijadikan lokasi penelitian salah satunya adalah Kecamatan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal memiliki luas 1884 Ha, dengan 11 kelurahan, 715 RT, dan 116 RW. Berdasarkan laporan administrasi kependudukan, jumlah penduduk kecamatan Tanah Sareal sampai akhir tahun 2007 adalah 143.189 jiwa, yang diantaranya berstatus sebagai anak jalanan. Lokasi yang dipilih adalah beberapa titik konsentrasi yang menjadi tempat mangkal atau pun tempat bekerja mereka. Tempat-tempat tersebut adalah Jl. Sholeh Iskandar di depan pusat perbelanjaan Hypermart, pertigaan rel kereta api di Kebon Pedes, di pertigaan lampu merah Jl. Baru dan perempatan lampu merah Hotel Pangrango 2. Lokasi pertama adalah jalan utama di depan pusat perbelanjaan Hypermart. Lokasi ini selalu mengalami kemacetan walaupun tingkat
kemacetannya berbeda-beda setiap jam. Tingkat kemacetan yang paling tinggi terjadi pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 09.00 WIB dan sore hari pada pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. Kendaraan yang biasa lewat di wilayah ini adalah angkutan umum nomor 32 dan 07, bis Pusaka jurusan Ciputat-Sukabumi dan jurusan Tangerang-Bogor. Lokasi-lokasi selanjutnya didapatkan dari informasi yang diberikan oleh seorang informan yaitu preman yang juga bekerja di Yayasan Titian Mandiri. Lokasi yang pertama adalah Kelurahan Kebon Pedes. Pada lokasi pertama ini terdapat dua titik yang merupakan tempat mangkal anak jalanan. Pertama adalah warung tempat menjual kebutuhan sehari-hari yang dekat dengan pertigaan rel kereta api dan yang kedua adalah pintu rel kereta Kebon Pedes. Pada lokasi pertama sering mengalami kemacetan karena adanya rel kereta api pada pertigaan jalan sehingga kendaraan-kendaraan yang melewatinya harus bergantian. Keadaan ruas jalan yang sempit dan sedikit rusak menyebabkan keadaan di pertigaan tersebut menjadi macet. Daerah di sekitar rel kereta api tersebut terdapat warung atau toko kecil yang menjual makanan kecil hingga kebutuhan sehari-hari yang dijadikan tempat anak jalanan beristirahat atau berkumpul bersama anak-anak jalanan yang lainnya. Selain itu, terdapat juga warung yang sudah ditutup atau tidak digunakan oleh pemiliknya yang digunakan sebagai tempat calo beristirahat atau untuk menunggu pergantian orang yang bekerja sebagai calo berikutnya. Lokasi ini ternyata sangat dekat dengan tempat tinggal anak-anak jalanan yang ’bekerja’ di wilayah ini. Rata-rata anak jalanan yang ada disini melakukan aktivitas sebagai tukang parkir atau dikenal dengan istilah calo. Lokasi kedua di Kebon Pedes yaitu pintu rel kereta api. Di lokasi ini
terdapat warung nasi dan jajanan tempat pengamen beristirahat dan menunggu angkutan umum yang ramai. Angkutan umum yang melewati lokasi ini adalah trayek 06A Salabenda-Pasar Anyar Lokasi penelitian selanjutnya adalah di pertigaan lampu merah Jl. Baru. Lokasi ini merupakan ruas jalan penghubung Kota Bogor dengan kota-kota besar seperti Kota Jakarta dan Depok tanpa melewati jalan tol. Hal ini menyebabkan jalan ini banyak dilewati bis-bis antar kota seperti bis Jakarta-Depok ataupun bisbis ke daerah luar Jawa. Selain itu di pertigaan ini banyak angkutan jurusan Cibinong seperti angkutan nomor 32 dan 08 yang ngetem untuk mencari penumpang. Tepat disebelah kiri tempat angkutan 32 menunggu penumpang, terdapat warung nasi dan warung kopi yang digunakan anak jalanan yang berada di wilayah tersebut beristirahat ataupun makan siang. Kedua tempat ini berlokasi agak menurun dibandingkan posisi jalan dan bangunan yang lain sehingga tempatnya menjadi agak gelap. Selain kedua tempat tersebut, lampu lalu lintas yang berada di tengah taman kecil pun menjadi tempat anak-anak jalanan di wilayah ini bermain dan bercengkerama dengan teman-teman sesama pengamen lainnya sambil menunggu angkutan dan bis yang lewat untuk bergiliran melakukan kegiatan mengamen. Lokasi terakhir adalah perempatan lampu merah Hotel Pangrango 2. Lokasi terakhir ini berbeda dengan lokasi sebelumnya karena sudah tidak termasuk dalam wilayah Tanah Sareal. Lokasi ini menjadi tempat mangkal anak jalanan
karena
banyaknya
lampu
merah
di
perempatan
ini
sehingga
memungkinkan bagi anak jalanan beraktivitas sebagai pengamen. Keramaian di lokasi ini didukung oleh beberapa tempat penting yang berlokasi di area ini seperti
Kantor Kecamatan Bogor Tengah, Lembaga Les Privat Bintang Pelajar, Kantor Garda Oto, Restoran cepat saji Mc Donald dan Hotel Pangrango 2. Adapun kondisi lalu lintas yang ada umumnya berjalan normal dan cukup terkendali walaupun arus lalu lintas yang ada umumnya berjalan cukup padat.
4.2 Yayasan Titian Mandiri Sekolah untuk anak jalanan yang dimiliki oleh Yayasan Titian Mandiri terletak di wilayah Jl Sholeh Iskandar seberang pusat perbelanjaan Hypermart terdapat Yayasan Titian Mandiri berlokasi di Kelurahan Kalimurni, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat. Pada tanggal 3 September 2000 yayasan ini mendirikan Rumah Singgah di Jalan Sholeh Iskandar, Bogor, Jawa Barat. Rumah singgah Yayasan Titian Mandiri merupakan sebuah rumah yang digunakan sebagai tempat istirahat bagi anak jalanan. Selain itu rumah singgah tersebut juga digunakan sebagai tempat melaksanakan kegiatan kejar Paket A dan B serta kegiatan keterampilan. Pertama kali didirikan, Rumah Singgah Yayasan Titian Mandiri bertempat di Kedung Badak, di depan sebuah mall (pusat perbelanjaan). Rumah Singgah Yayasan Titian Mandiri tersebut terletak di pinggir jalan raya. Namun, karena ada pembangunan jalan underpass di daerah ini maka pada tahun 2007 Rumah Singgah Yayasan Titian Mandiri ini ditutup dan dirubuhkan. Rumah singgah ini kemudian tidak dibangun kembali namun masih menjalankan program Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, B dan C yang dilaksanakan pada setiap hari Senin dan Sabtu pukul 14.00 WIB-16.00 WIB dengan menggunakan tenda yang bisa di bongkar-pasang. Berdasarkan Data Anak Jalanan Rumah Singgah Yayasan Titian
Mandiri (2002) Jumlah anak jalanan yang ikut dalam kegiatan belajar ini pada waktu masih terdapat bangunan Rumah Singgah berjumlah 170 anak. Namun, sejak tidak ada lagi bangunan tetap Rumah Singgah tersebut anak-anak jalanan yang mengikuti kegiatan belajar semakin berkurang. Hal ini disebabkan sudah tidak ada lagi tempat untuk mereka beristirahat dan berkumpul. Akibatnya anakanak jalanan tersebut menyebar di berbagai lokasi-lokasi yang rawan kemacetan dan dengan tingkat keramaian yang tinggi.
BAB V KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI ANAK JALANAN
5.1 Karakteristik Anak Jalanan Karakteristik anak jalanan yang akan dibahas pada subbab ini meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan lama bekerja di jalanan. Alasan anak turun ke jalan akan dibahas secara terpisah pada subbab berikutnya. Selain itu akan dibahas juga faktor eksternal anak jalanan mencakup tingkat sosial ekonomi keluarga dan kekerasan yang dialami anak jalanan. Usia dan Jenis Kelamin Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak jalanan yang menjadi responden adalah anak laki-laki. Pada saat pemilihan responden sulit menemukan anak jalanan perempuan yang berusia 13 sampai 18 tahun. Sebagian besar anak jalanan perempuan berusia dibawah 13 tahun. Hal ini seperti informasi yang dikatakan BDN (40 tahun) bahwa dulu memang banyak anak jalanan perempuan. Namun, sekarang anak jalanan perempuan sudah jarang ditemukan di jalanan karena mereka sudah besar sehingga mereka sudah merasa malu bekerja sebagai anak jalanan lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa anak jalanan perempuan mempunyai faktor rasa malu yang lebih besar dibandingkan anak jalanan laki-laki.
Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
Usia 13 sampai 15 tahun 16 sampai 18 tahun (%) (%) 11 (40.74) 16 (59.26) 3 (100.00) 0 (00.00) 14 (46.67) 16 (53.33)
Jumlah (%) 27 (100.00) 3 (100.00) 30 (100.00)
Anak jalanan yang dijadikan responden dibagi menjadi dua kategori usia yaitu 13 sampai 15 tahun dan 16 sampai 18 tahun. Jumlah anak jalanan yang berusia 16 sampai 18 tahun lebih besar daripada yang berusia 13 sampai 15 tahun. Namun jumlah anak perempuan lebih banyak pada anak jalanan yang berusia 13 sampai 15 tahun. Anak jalanan yang sudah tergolong usia dewasa (di atas 19 tahun) kelihatannya berada di jalan karena pekerjaan mereka sebagai anak jalanan dijadikan mata pencaharian utama untuk mencari nafkah. Tingkat pendidikan dan Jenis Pekerjaan Anak Jalanan Tingkat pendidikan anak jalanan ternyata sebagian besar di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, diantara yang berpendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama tersebut ada yang tidak menamatkan sekolahnya (Tabel 3). Pada umumnya mereka tidak melanjutkan sekolah karena keterbatasan ekonomi. Selain itu ada juga anak jalanan yang tidak ingin melanjutkan sekolah karena malu. MHG (10 tahun) tidak mau bersekolah karena tidak bisa membaca walaupun sudah belajar berkali-kali. Padahal MHG tidak perlu memikirkan biaya untuk sekolahnya lagi karena ia mendapat bantuan dari seorang donatur dari salah satu sekolah islam yang berlokasi di daerah Budi Agung. Dulu MHG sering diberi bantuan oleh donatur tersebut berupa sembako maupun dalam bentuk uang,
namun sekarang sudah tidak lagi karena MHG malu jika terlihat di jalan sedang mengamen. Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Jenis Pekerjaan Tingkat pendidikan
Tidak pernah sekolah SD dan sederajat SMP dan sederajat SMA dan sederajat Total
usaha di bidang jasa (%) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (7.69) 0 (0.00) 1 (3.33)
Pengamen (%) 1 (100.00) 13 (100.00) 12 (92.31) 2 (66.67) 28 (93.33)
kerja serabutan (%) 0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (33.33) 1 (3.33)
Jumlah (%) 1 (100.00) 13 (100.00) 13 (100.00) 3 (100.00) 30 (100.00)
Diantara yang tidak tamat SD, terdapat responden perempuan berinisial ENG (13 tahun). ENG tidak sekolah lagi karena tidak ada biaya, akhirnya ia diajak oleh ketua Yayasan Titian Mandiri untuk mengikuti Paket A di yayasan yang dekat dengan lokasi mengamen ENG. Pada awalnya ENG mau mengikuti kegiatan tersebut, namun pada akhirnya ia berhenti karena malu. Anak-anak yang mengikuti Paket A usianya lebih muda dari ENG dan ENG hanya ingin mengikuti ujian akhir untuk mendapatkan ijazah saja. ENG berpikir daripada bersekolah pada hari Senin dan Sabtu lebih baik ia mengamen untuk membantu orang tuanya yang sering sakit. Responden yang telah lulus Sekolah Menengah Atas hanya satu orang (3.33%) yaitu MWN (18 tahun). MWN berasal dari keluarga yang sederhana, Ayahnya bekerja sebagai staf Tata Usaha di sebuah universitas swasta di daerah Bogor dan kakaknya kini sedang berkuliah di tempat ayahnya bekerja. Ia tidak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena ingin belajar mandiri dengan bekerja (tidak membebani orang tua) dalam hal uang saku. Selain
itu MWN juga mempunyai kelompok musik atau band yang diberi nama ’The Hero’. Kelompok band ini sudah melakukan rekaman walaupun hasilnya belum banyak. MWN mengatakan bahwa jika dia tidak tinggal di rumah maka dia menginap di rumah teman atau di studio musik milik temannya. MWN mempunyai cita-cita bahwa nanti bandnya akan menjadi terkenal sehingga ia bisa mencari uang tambahan untuk dirinya sendiri. Ketiga kasus di atas memperlihatkan bahwa tidak berlanjutnya pendidikan anak jalanan bukan hanya faktor biaya tetapi juga faktor lainnya seperti usia, kesulitan ekonomi, dan ketidaktertarikan terhadap pendidikan. Jenis pekerjaan yang dominan dilakukan anak jalanan adalah pengamen (93,33%). Responden yang bekerja di bidang jasa (3.33%) adalah responden yang bekerja sebagai calo angkutan umum nomor 32 setelah pulang sekolah. Sedangkan responden yang mempunyai jenis pekerjaan serabutan (3.33%) adalah responden yang tidak memiliki pekerjaan yang pasti atau bisa disebut bekerja secara musiman. Hasil wawancara dengan SYF (17 tahun) yaitu ketika ada yang mengajaknya bekerja sebagai kuli bangunan, ia akan ikut. Namun, ketika pekerjaan tersebut telah selesai, ia akan menganggur, kadangkala jika ingin sekedar merokok maka ia akan mengamen. Pengamen ini pada umumnya berpendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Responden yang melakukan pekerjaan di bidang jasa dan pekerjaan serabutan mempunyai pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Usia mereka rata-rata 17 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa responden yang bekerja sebagai pengamen umumnya masih muda dan masih ingin bersenang-senang dalam melakukan pekerjaan
tersebut. Mereka berpikir dengan bekerja sebagai pengamen mereka bisa istirahat semaunya. Lain halnya dengan responden yang bekerja sebagai calo atau buruh bangunan pada umumnya harus mempunyai kekuatan fisik yang relatif besar.
5.2 Alasan Anak Turun ke Jalan Keberadaan anak di jalanan mempunyai berbagai macam alasan. Alasan yang pertama adalah anak jalanan turun ke jalan karena kesulitan ekonomi. Dalam hal ini mereka bekerja di jalanan untuk membantu keluarga mereka mencari nafkah. Dari 30 responden hampir 50 persen anak jalanan turun ke jalan karena alasan kesulitan ekonomi (Tabel 4). Sebagai contoh, IQL (13 tahun) yang kini tinggal dengan kakek dan neneknya terpaksa harus berhenti sekolah karena tidak bisa lagi membayar uang sekolah. Dulu ayah IQL bekerja di kantoran, akan tetapi karena malas dia dikeluarkan dari kantornya. Setelah itu ayah IQL bekerja sebagai tukang ojek, namun tidak berlangsung lama karena malas. Ibu IQL dipaksa bekerja untuk menghidupi keluarganya. Akhirnya ibu IQL kabur dari rumah karena tidak sanggup menerima perlakuan dari ayah IQL yang kasar. Adik dan kakak IQL tinggal bersama ayahnya. Ironisnya kakak-kakak IQL sudah bekerja dan adiknya pun masih sekolah sedangkan IQL putus sekolah. Setelah IQL putus sekolah, kakaknya sering mengunjunginya dan berjanji ingin menyekolahkan IQL kembali, tetapi sampai saat ini belum terlaksana juga. Kini ibu IQL tinggal bersama uanya di daerah Citayeum tetapi IQL tidak boleh memberitahu siapapun mengenai keberadaan ibunya tersebut. Ibu IQL sering mengunjungi IQL di tempat dia mengamen. Walaupun sudah dibujuk berulang kali ibunya tetap tidak mau pulang
padahal IQL dan adiknya sangat membutuhkan dan merindukan sosok sang ibu. IQL terpaksa mengamen menggantikan neneknya yang sudah tidak bekerja karena sudah tua (60 tahun) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Alasan anak turun ke jalan yang kedua adalah untuk mencari tambahan uang saku. Anak jalanan yang turun ke jalan dengan alasan kedua ini biasanya turun ke jalan jika mereka perlu uang untuk membeli sesuatu. Hal ini seperti hasil wawancara dengan KDR (18 tahun) bahwa dia mengamen jika ingin merokok saja. Namun, ketika malas maka ia di rumah saja atau berkumpul dengan temantemannya. Alasan yang ketiga adalah rekreasi. Alasan rekreasi adalah anak jalanan turun ke jalan karena hanya ingin bermain dengan teman-temannya saja dan untuk menyalurkan kegemaran mereka terhadap musik. Sedangkan alasan anak turun ke jalan karena kurang perhatian keluarga tidak ditemukan pada 30 responden tersebut. Tabel 4. Jumlah Responden Berdasarkan Alasan Turun ke Jalan. Penyebab Turun ke Jalan Kesulitan Ekonomi Tambahan uang saku Kurang perhatian Keluarga Rekreasi Total
Jumlah (%) 14 (46.66) 11 (36.66) 0 (00.00) 5 (16.66) 30 (100.00)
Anak jalanan yang turun ke jalan karena alasan kesulitan ekonomi lebih banyak berusia 16 sampai 18 tahun. Berbeda halnya dengan anak jalanan yang turun ke jalan karena alasan tambahan uang saku dan rekreasi lebih banyak pada umur 13 sampai 15 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa anak jalanan yang
sudah berumur di bawah 16 tahun masih menggunakan uang yang mereka dapatkan dari hasil bekerja di jalanan untuk jajan. “ uang yang saya dapet di jalanan mah buat jajan ma arisan doang kak, kalo ada lebih aja baru dikasih ke orang tua. Lagian kan lumayan kalo dapet (arisan)…” GRN (13 tahun). Tabel 5. Sebaran Responden Berdasarkan Alasan Turun ke Jalan dan Usia Anak Jalanan
Usia 13 - 15 tahun 16 - 18 tahun Total
Penyebab Turun ke Jalan Kesulitan Tambahan Ekonomi uang saku Rekreasi (%) (%) (%) 4 (28.57) 7 (50.00) 3 (21.43) 10 (62.50) 4 (25.00) 2 (12.50) 14 (46.67) 11 (36.67) 5 (16.67)
Jumlah (%) 14 (100.00) 16 (100.00) 30 (100.00)
Keinginan anak untuk bekerja di jalanan paling banyak adalah keinginan sendiri (Tabel 6). Mereka mengatakan bahwa orang tua tidak menyuruh ataupun melarang mereka untuk bekerja di jalanan. Namun pada kenyataannya walaupun mereka mengatakan bekerja karena keinginan sendiri tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain. “Gimana lagi atuh neng, ibu juga ga bisa ngelarang, anaknya pengen sendiri, pengen bantu-bantu orang tua katanya. Pesen ibu mah yang penting bisa jaga diri aja. Abis ibu sama bapak udah ga kuat lagi kerja, kalo ibu sama bapak kerja suka kambuh (penyakitnya). Dulu sih ibu ada yang bantuin, Aanya ENG, cuma sekarang lagi di penjara, belum divonis udah 2 bulan…” (Ibu dari ENG, 50 tahun). ENG (13 tahun) merupakan salah satu pencari nafkah satu-satunya di keluarga karena kedua orang tuanya tidak bekerja. Pada saat mengobrol dengan ibu ENG tersebut, ia mengatakan bahwa ia menderita kanker rahim. Ketika ia masih bekerja menjadi tukang cuci, penyakitnya pernah kambuh sehingga ia mengalami pendarahan. Suaminya pun tidak kuat lagi bekerja karena menderita
penyakit paru-paru sehingga kondisi fisiknya memprihatinkan. Kakak laki-lakinya yang pertama sudah menikah tetapi tidak mempunyai pekerjaan tetap. Dua kakak laki-lakinya yang lain bekerja sebagai pengamen, namun NNG (19 tahun) sedang menunggu vonis untuk dipenjara karena kasus narkoba, sedangkan KIK (14 tahun) mengamen tetapi uangnya habis di jalanan sehingga tidak bisa membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu ENG tidak ada pilihan selain menjadi tulang punggung keluarga. Tabel 6. Jumlah Responden Berdasarkan Keinginan Bekerja. Keinginan bekerja Sendiri Lainnya Total
Jumlah (%) 29 (96.67) 1 (3.33) 30 (100.00)
Kasus lainnya yaitu responden yang bekerja karena keinginan orang lain (3,33%) yaitu IQL (13 tahun). IQL tinggal bersama nenek dan kakeknya yang sudah tua dan tidak bekerja. Karena putus sekolah dan tidak bekerja apa-apa, neneknya menyarankan IQL untuk mengamen untuk membantu keuangan keluarganya tersebut. IQL bercerita walaupun neneknya yang menyuruh dia bekerja sebagai pengamen namun dia tidak merasa terpaksa untuk bekerja karena kasihan kepada nenek dan kakeknya yang sudah tua.
5.3 Faktor Eksternal Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga Anak Jalanan. Tingkat sosial ekonomi keluarga anak jalanan dilihat berdasarkan tingkat pendidikan akhir orang tua, pekerjaan orang tua dan tingkat pendapatan orang tua.
Pada Tabel 7 dapat dilihat pendidikan orang tua anak jalanan. Rata-rata pendidikan terakhir orang tua anak jalanan hanya tamat Sekolah Dasar. Bahkan untuk pendidikan Ayah, sebanyak 43.33 persen responden tidak mengetahui pendidikan terakhir Ayah mereka. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mengherankan anak jalanan juga tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi atau hanya sebatas Sekolah Dasar saja. Selain dikarenakan faktor kesulitan ekonomi, orang tua mereka juga tidak menyadari pentingnya arti pendidikan. Tabel 7. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Akhir Orang Tua. Pendidikan Terakhir Orang Tua Pendidikan Tidak tahu Tidak Pernah Sekolah SD dan sederajat SMP dan sederajat SMA dan sederajat Lainnya Total
Ayah (%) 13 (43.33) 0 (0.00) 11 (36.67) 1 (3.33) 4 (13.33) 1 (3.33) 30 (100.00)
Ibu (%) 8 (26.67) 3 (10.00) 15 (50.00) 2 (6.67) 2 (6.67) 0 (0.00) 30 (100.00)
Seperti umumnya pendidikan orang tua yang tidak mampu yaitu sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar, tidak mengherankan pekerjaan orang tua mereka di sektor marjinal. Pada Tabel 8 dapat dilihat jenis pekerjaan orang tua anak jalanan yang paling banyak untuk Ayah (26.67%) adalah bidang jasa dan usaha dagang seperti berdagang sate, tukang ojek, membuka bengkel dan membuka usaha meubel. Sedangkan untuk pekerjaan Ibu, kebanyakan (50%) dari Ibu anak jalanan tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga. Namun, ada juga orang tua anak jalanan yang bekerja di sektor formal seperti (lainnya) seperti dosen dan pegawai swasta.
Rata-rata jumlah anggota keluarga anak jalanan lebih dari 5 orang (73.33%). Banyaknya jumlah anggota keluarga yang harus dinafkahi, tidak sesuai dengan pekerjaan dan penghasilan orang tua. Hal tersebut mengakibatkan orang tua anak jalanan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dan anak-anak mereka, sehingga tidak mengherankan anak-anak mereka banyak yang menjadi korban putus sekolah dan ikut bekerja demi melanjutkan keberlangsungan hidup keluarga mereka. Tabel 8. Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua. Pekerjaan Orang Tua Tidak tahu Buruh Bidang Jasa dan usaha dagang Petani Pemulung dan pengemis Tidak bekerja Lainnya Total
Ayah (%) 6 (20.00) 6 (20.00) 8 (26.67) 1 (3.33) 0 (0.00) 4 (13.33) 5 (16.67) 30 (100.00)
Ibu (%) 3 (10.00) 1 (3.33) 8 (26.67) 1 (3.33) 1 (3.33) 15 (50.00) 1 (3.33) 30 (100.00)
Penghasilan orang tua seringkali dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan suatu keluarga. Sayangnya sebesar 60 persen responden tidak mengetahui jumlah penghasilan ayah mereka dan sebagian besar (50%) ibu responden tidak mempunyai penghasilan atau sebagai ibu rumah tangga. Dari Tabel 7, 8, 9 dapat disimpulkan rata-rata anak jalanan tergolong miskin dengan kiteria menurut BPS yaitu pendapatan di bawah Rp. 600.000,00 per bulan dan pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya sampai Sekolah Dasar 2 .
2
Ahmat Sarwat .2007. Kriteria miskin. http://eramuslim.com. [Di akses pada tanggal 4 Maret 2008]
Tabel 9. Jumlah Responden Berdasarkan Penghasilan Orang Tua. Penghasilan Orang Tua per bulan Tidak tahu Tidak berpenghasilan ≤ Rp.200.000,00 > Rp.200.000,00 - Rp.500.000,00 > Rp.500.000,00 - Rp. 830.000,00 >Rp.830.000,00 Total
Ayah (%) 18 (60.00) 3 (10.00) 0 (0.00) 4 (13.33) 3 (10.00) 2 (6.67) 30 (100.00)
Ibu (%) 9 (30.00) 15 (50.00) 3 (10.00) 1 (3.33) 0 (0.00) 2 (6.67) 30 (100.00)
Tingkat Kekerasan pada Anak Jalanan Kehidupan anak jalanan sering diidentikkan dengan kehidupan yang keras. Namun pada kenyataannya berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat sebagian besar anak jalanan (60%) tidak pernah mengalami tingkat kekerasan. Walaupun beberapa dari mereka pernah dimintai uang atau rokok oleh pengamen lain yang lebih dewasa, tetapi mereka tidak menganggap itu pemalakan melainkan hanya sekedar memperkuat solidaritas pertemanan antar sesama pengamen dan memperluas pergaulan. Pelaku kekerasan yang dialami anak jalanan merupakan orang-orang terdekat mereka sendiri. Selain pengamen yang lebih dewasa, orang tua anak jalanan juga melakukan kekerasan khususnya ibu mereka. Alasan anak jalanan menerima kekerasan tersebut bermacam-macam. Namun sebagian besar mengatakan kekerasan tersebut dikarenakan kesalahan mereka sendiri. JYD (17 tahun) mengatakan bahwa dia dipukuli ibunya jika dia telat pulang ke rumah. Begitu juga dengan ARF (13 tahun) dia mengatakan dia dipukuli ibunya jika dia bandel. Untuk pengamen yang lebih dewasa biasanya mereka melakukam pemalakan sebesar Rp. 1.000,00 atau pun meminta rokok.
Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Bentuk Kekerasan yang Dialami Anak Jalanan dan Pelaku Kekerasan Pelaku kekerasan Bentuk kekerasan
Tidak pernah mengalami kekerasan Dipaksa bekerja Dipukuli "Dipalak" (dipaksa dimintai uang) Lainnya Total
Tidak mengalami kekerasan (%) 18 (100)
Ayah (%)
Preman (%)
Lainnya (%)
Jumlah (%)
0
(0)
0
(0) 0
(0)
0
(0)
0
(0)
18 (60)
(0)
0
(0) 0
(0) 0
(0)
1 (100)
1 (3.33)
0
(0)
0
0
(0)
1 (16.67)
0
(0)
0
0 (0) 18 (60)
Ibu (%)
Pengamen yang lebih dewasa (%)
2 (33.33)
(0) 0
0 (0) 1 1 (3.33) 3
(0)
2 (33.33)
1 (16.67)
0
(0)
6
(20)
1 (33.33)
2 (66.67)
0
(0)
3
(10)
(50) 0 (10) 3
(0) 1 (50) (10) 4 (13.33)
0 (0) 1 (3.33)
2 (6.67) 30 (100)
5.4 Ikhtisar Jumlah responden anak jalanan laki-laki berdasarkan usia memiliki persentase yang lebih besar pada usia 16 sampai 18 tahun dibandingkan anak jalanan yang berusia 13 sampai 15 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah anak perempuan lebih sedikit dari jumlah anak laki-laki. Pendidikan rata-rata responden yang bekerja hanya sebatas Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang sebagian besar bekerja sebagai pengamen. Kebanyakan alasan responden turun ke jalan pada usia 16 sampai 18 tahun adalah karena kesulitan ekonomi dan pada usia 13 sampai 15 tahun lebih banyak karena tambahan uang saku. Sebagian besar responden bekerja atas keinginan sendiri walaupun pada kenyataannya terpaksa karena kondisi ekonomi. Tingkat
sosial ekonomi keluarga responden secara keseluruhan menunjukkan mereka tergolong dalam keluarga miskin menurut kriteria BPS yaitu pendapatan di bawah Rp 600.000,00 per bulan dan pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya sampai Sekolah Dasar. Sebagian besar responden anak jalanan tidak pernah mengalami kekerasan. Kekerasan yang dialami responden biasanya dilakukan oleh pengamen yang lebih besar dan lebih tua usianya. Bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh anak jalanan adalah dipukuli, namun menurut responden kekerasan tersebut akibat kesalahan mereka sendiri.
BAB VI KONSEP DIRI ANAK JALANAN
6.1 Konsep Diri Terhadap Karakter Pribadi
Konsep diri terhadap karakter diri adalah konsep diri yang berkaitan
dengan cara pandang anak jalanan terhadap karakter dirinya sendiri. Berdasarkan hasil penelitian rataan skor mengenai konsep diri terhadap karakter pribadi responden sebesar 34.3 yaitu cenderung positif (Tabel 11). Tabel 11. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Karakter Pribadi Konsep Diri Karakter Pribadi Negatif Sedang Positif Total
Jumlah (%) 0 (0.00) 3 (10.00) 27 (90.00) 30 (100.00)
Responden yang mempunyai konsep diri yang cenderung positif menganggap diri mereka pekerja keras, mandiri, kreatif dan tegar. SYF (17 tahun) mengatakan bahwa dengan bekerja sebagai pengamen, mereka sama saja dengan orang lain yang bekerja di kantor. Bahkan menurutnya, orang yang bekerja di kantor lebih nyaman karena tidak perlu terkena panas matahari ketika bekerja, berbeda halnya dengan pekerjaan sebagai pengamen. Dalam hal kreatif, SYR (18 tahun) mengatakan bahwa dia kreatif karena jika dia sedang bosan dia bisa mendapat inspirasi untuk membuat lagu. “Saya pernah denger penumpang ngomong pas diangkot, katanya males banget ya tu anak, masih muda tapi ngamen doang kerjanya. Saya mah mikirnya bodo amat, emangnya mereka pikir ngamen ga capek apa?!bolak-balik naek angkot trus nyanyiin dua
lagu. Udah gitu siang-siang lagi. Coba teh bayangin!? Emangnya ga capek…” (SYR, 17 tahun) Responden
merasa
mandiri
karena
mereka
merasa
sudah
bisa
menghasilkan uang untuk hidup mereka. Mereka tidak perlu lagi meminta uang kepada orang tua untuk jajan atau makan sehari-hari. Bahkan ada diantara mereka yang memberikan uang yang didapat dari hasil mengamen kepada keluarga mereka. Hal ini seperti yang dikatakan MWN (17 tahun) bahwa dia mengamen agar lebih mandiri dan tidak hanya menerima uang yang diberikan orang tuanya saja. Dengan hidup mandiri tersebut MWN merasa tidak lagi terbebani dengan uang pemberian orang tuanya. Responden yang memiliki konsep diri cenderung sedang, walaupun mereka menganggap diri mereka pekerja keras, mandiri dan tegar tetapi mereka tidak kreatif. Selain itu menurut PLY (17 tahun), dia merasa bahwa dirinya adalah pemberontak. Dia mengatakan demikian karena dia ikut bergabung dalam kelompok punk dengan alasan bahwa kelompok ini mengkritik pemerintah Indonesia yang sering korupsi. Menurutnya, pemerintah Indonesia saja korupsi berarti rakyatnya juga tidak apa-apa jika melakukan hal-hal curang lainnya.
6.2 Konsep Diri Penampilan Fisik Berdasarkan hasil penelitian rataan skor mengenai konsep diri terhadap karakter responden
sebesar 17.13 yaitu cenderung positif (Tabel 12). Anak
jalanan menganggap penampilan fisik mereka menarik dan tidak membenci penampilan mereka sebagai anak jalanan. Dilihat dari pengamatan, walaupun badan atau fisik mereka kotor atau dekil tetapi mereka masih memakai pakaian
yang layak. Bahkan ada juga anak jalanan yang termasuk ke dalam kelompok punk yang menambahkan aksesoris, seperti kalung, anting dan gelang pada penampilan mereka. Tidak jarang juga responden yang mengamen dengan memakai sepatu. “Kalo jadi pengamen mah penampilan harus bagus teh, kalo ngga rapi (dan) bersih malu diliat ma penumpang takutnya malah penumpangnya ngga nyaman. Lagian juga jangan sampe bikin malu pengamen-pengamen yang laen juga…” (SYR, 18 tahun) Tabel 12. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Penampilan Fisik Konsep Diri Fisik
Jumlah (%)
Negatif
0
Sedang Positif Total
(0.00)
4 (13.33) 26 (86.66) 30 (100.00)
Responden yang bekerja sebagai pengamen pun merasa bahwa suara mereka bagus. Suara merupakan hal penting bagi mereka, karena jika mereka sedang batuk atau salah menyanyi maka mereka merasa malu pada saat mengamen. Berdasarkan hasil wawancara dengan SYR (17 tahun) yaitu dia pernah merasa malu ketika mengamen karena pada saat dia bernyanyi tiba-tiba dia terbatuk dan suaranya tidak keluar karena tenggorokannya gatal. Responden yang memiliki konsep diri penampilan fisik cenderung sedang merasa bahwa penampilan mereka lebih baik dari teman mereka yang lain. Berdasarkan wawancara dengan END (18 tahun) yaitu dia merasa minder ketika berkenalan dengan teman-teman yang bukan pengamen khususnya perempuan ketika dia sedang berkumpul dengan teman-temannya di depan supermarket Circle K di Jl. Ahmad Yani. Hal ini disebabkan dia merasa bahwa wajahnya tidak
menarik. Selain itu, ENG (13 tahun) juga mengatakan bahwa dirinya jelek karena kulitnya yang berwarna hitam akibat bekerja di jalanan.
6.3 Konsep Diri Terhadap Hubungan dengan Orang Tua Hubungan responden dengan orang tua, sebanyak 63,33 persen (Tabel 13) responden mempunyai konsep diri hubungan dengan orang tua yang cenderung positif.
Walaupun
responden
ikut
mencari
nafkah
di
jalanan
karena
ketidakmampuan orang tua mereka dalam segi ekonomi tetapi mereka masih mencintai dan merasa dicintai oleh orang tua mereka. Hal ini seperti yang dikatakan oleh AGS (17 tahun) bahwa pada waktu pertama kali turun ke jalan, orang tuanya melarang dia turun ke jalan karena takut kehidupan di jalanan yang keras. Namun, keadaan ekonomi keluarganya memaksa orang tua AGS untuk mengijinkan anaknya bekerja di jalanan. SYR (17 tahun) mengatakan bahwa dia tidak merasa sulit ketika mengobrol dengan kedua orang tuanya. Biasanya dia bersama kedua orang tuanya mengobrol setelah dia pulang mengamen pada waktu malam hari. Hal-hal yang dibicarakan pun bermacam-macam, dari masalah keluarga sampai keadaan di jalanan ketika dia sedang mengamen. Tabel 13. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Hubungan dengan Orang Tua Konsep Diri Orang tua Negatif Sedang Positif Total
Jumlah (%) 0 (0.00) 11 (36.66) 19 (63.33) 30 (100.00)
Responden yang memiliki konsep diri cenderung sedang merasa bahwa orang tua mereka seringkali merasa kecewa dengan yang mereka kerjakan di jalanan. Hal ini dikarenakan kebanyakan dari anak jalanan mengatakan bahwa mereka tidak diijinkan bekerja di jalanan oleh orang tua mereka. Salah satu responden ARF (13 tahun) mengatakan bahwa orang tuanya pernah memukulnya karena pulang terlalu malam setelah bekerja di jalanan. Ibunya tidak suka jika dia bekerja di jalanan hingga larut malam karena berbahaya bagi anak-anak seusia mereka.
6.4 Konsep Diri Kestabilan Emosi Berdasarkan Tabel 14 sebanyak 76.66 persen responden mempunyai konsep diri kestabilan emosi cenderung sedang dengan skor 19.73. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak bisa mengelola emosi mereka dengan baik. Hal ini ditunjukkan dari beberapa responden yang sering berkelahi dengan teman sesama pengamen yang lain. “Berantem mah sering teh, yaa biasa itu mah sama temen-temen, paling gara-gara hal sepele doang…” (AGS, 17 tahun). Tabel 14. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Kestabilan Emosi Konsep Diri Kestabilan Emosi Negatif Sedang Positif Total
Jumlah (%) 0 (0.00) 23 (76.67) 7 (23.33) 30 (100.00)
Anak jalanan sering merasa depresi dan putus asa. Hal ini dilihat dari beberapa alasan anak jalanan yang meminum-minuman keras untuk melupakan
masalah. Sebagai contoh adalah PLY (17 tahun) yang mengatakan bahwa dia pernah meminum Baygon yang dicampur dengan air karena sedang pusing karena banyak masalah khususnya masalah keuangan. Hal ini memperlihatkan bahwa anak jalanan sering merasa depresi dan mencoba melupakan masalah ke hal-hal negatif seperti narkoba dan minuman keras. Ketidakstabilan emosi yang dialami anak jalanan juga merupakan akibat dari faktor lain yaitu konsumsi mereka terhadap narkoba. Hal ini seperti yang dikatakan oleh SYF (17 tahun) yaitu dia mengkonsumsi pil Leksotan ketika ingin mengamen. Dia mengkonsumsi pil tersebut agar dia bisa tetap semangat dan tidak malu ketika mengamen di angkutan umum. Perkelahian yang timbul dengan supir angkutan umumpun terjadi ketika dia tidak sadar akibat mengkonsumsi pil leksotan tersebut. Dia mengatakan ketika mengkonsumsi pil tersebut dia menjadi lebih berani kepada orang lain.
6.5 Konsep Diri Umum Berdasarkan tabel 15 sebesar 53.33 persen responden mempunyai konsep diri umum yang cenderung positif dengan skor 21.8. Namun perbedaan jumlah antara responden yang mempunyai konsep diri umum yang cenderung tinggi dan sedang hanya sedikit berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa anak jalanan menghargai diri mereka sendiri dan bisa membangun rasa percaya diri. Namun, walaupun rata-rata anak jalanan merasa bangga pada diri mereka, masih ada juga yang sedikit merasa bahwa dia tidak mempunyai hal yang pantas untuk dibanggakan. Berdasarkan wawancara dengan responden MWN (17 tahun), dia merasa bangga jika turun ke jalan dan bisa menghasilkan uang untuk dirinya
sendiri tanpa harus meminta uang dari orang tua. Hal ini juga seperti yang dikatakan oleh ENG (13 tahun) yang mengatakan bahwa dia merasa hidupnya berguna karena bisa menghidupi keluarganya. Responden yang merasa bahwa dirinya tidak mempunyai suatu hal yang pantas dibanggakan (SYR, 17 tahun) mengatakan bahwa dia tidak mempunyai cita-cita. Dia merasa dirinya tidak pantas untuk mempunyai cita-cita yang tinggi. Dia hanya ingin bekerja dengan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membuat keluarganya bahagia. Namun demikian ada juga responden yang mempunyai cita-cita tinggi seperti penyanyi, tentara dan guru. Hal ini memperlihatkan bahwa anak jalanan mempunyai motivasi yang bagus terhadap diri mereka sendiri. Berbeda dalam hal hubungan dengan orang lain, responden merasa mereka tidak mempunyai apa-apa untuk dibanggakan sehingga merasa malu jika bertemu atau berkenalan dengan orang lain. “saya mah ngga pernah kenal-kenalan ma cewe teh kalo nongkrong di aer mancur, mana mau mereka ma anak jalanan. kita ga punya apa-apaan…” (END, 18 tahun) Tabel 15. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Umum Konsep Diri Umum Negatif Sedang Positif Total
Jumlah (%) 0 (0.00) 14 (46.67) 16 (53.33) 30 (100.00)
6.6 Konsep Diri terhadap Sikap Jujur dan Percaya Berdasarkan Tabel 16 sebanyak 96.66 persen responden mempunyai konsep diri terhadap sikap jujur yang cenderung positif dengan skor 18.6.
Respoden menganggap kejujuran merupakan hal yang penting dan mereka jujur dalam memahami kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Hal ini terlihat ketika melakukan wawancara, mereka tidak malu untuk menceritakan hal-hal negatif atau kekurangan pada dirinya seperti pemakaian narkoba, seks bebas dan minuman keras. Tabel 16. Jumlah Responden terhadap Konsep Diri Sikap Jujur dan Percaya Konsep Diri Jujur dan Percaya Negatif Sedang Positif Total
Jumlah (%) 0 (0.00) 1 (3.33) 29 (96.66) 30 (100.00)
Salah satu kasus menarik yaitu salah satu responden laki-laki yang masih bersekolah di Sekolah Teknik Mesin yaitu PLY (17 tahun) yang mendatangi sekolah Yayasan Titian Mandiri. Dia mengatakan bahwa dia tidak sanggup membayar uang sekolahnya sehingga untuk mengatasi masalah tersebut dia ingin ikut juga sistem belajar paket yang ada di Yayasan Titian Mandiri. Hal ini dia lakukan karena jika nanti ternyata dia tidak bisa membayar uang sekolah di sekolah formal yang ia jalani, maka ia bisa mendapat ijazah dengan cara lain yaitu dengan mengikuti kegiatan belajar Paket di Yayasan Titian Mandiri. Menurut PLY, sayang sekali jika dia berhenti sekolah, karena dia mengatakan bahwa dia pintar dan mendapat ranking di sekolahnya. Selain itu dia sudah mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di sekolahnya dan merasa senang dengan bekerja di perbengkelan atau mesin. Hal ini memperlihatkan bahwa anak jalanan tidak cenderung mempertahankan diri dengan berbohong atau pun lari dari masalah
ketika mendapat tekanan. Anak jalanan juga mempercayai orang lain untuk menceritakan masalah yang mereka alami dan tidak tertutup terhadap orang lain.
6.7 Konsep Diri Hubungan dengan Tuhan Berdasarkan tabel 17 sebanyak sebanyak 70 persen responden mempunyai konsep diri terhadap hubungan dengan Tuhan yang cenderung positif dengan skor 14.53. Anak jalanan merasa bahwa Tuhan masih mencintai mereka walaupun hidup mereka tidak mampu. Mereka juga tidak menganggap diri mereka hina dan menganggap pekerjaan mereka sebagai anak jalanan adalah pekerjaan yang halal. Namun dalam mengerjakan ibadah, mereka jarang melaksanakannya. Tabel 17. Jumlah Responden Berdasarkan Konsep Diri Hubungan dengan Tuhan Konsep Diri Hubungan dengan Tuhan Negatif Sedang Positif Total
Jumlah (%) 0 (0.00) 9 (30.00) 21 (70.00) 30 (100.00)
Seorang anak jalanan perempuan UPH (14 tahun) mengatakan bahwa dia mengikuti pengajian di mesjid dekat rumahnya. Namun dalam kesehariannya dia jarang melaksanakan ibadah sholat karena tempat dia mengamen dan beristirahat pada waktu siang hari jauh dari tempat peribadatan. Lain halnya dengan SYR (17 tahun) yang juga mengatakan bahwa dia malas menjalankan ibadah. Hal ini bukan dikarenakan tidak adanya tempat peribadatan tetapi dia merasa ribet jika harus mengerjakan ibadah di saat bekerja. “ waktu saya ditangkep satpol PP saya pernah disangka cuma maen-maen doang di jalan teh, trus saya ajak aja ke rumah saya, saya bilang saya cari duit buat makan keluarga. Lagian jadi anak
jalanan halal kok teh, ngapain malu, emangnya kita nyuri ato ngerampok?! sama kayak orang kerja di kantoran aja nyari duit…” ( ENG, 13 tahun)
6.8 Ikhtisar Secara keseluruhan responden cenderung memiliki konsep diri yang positif. Responden yang mempunyai konsep diri menyangkut karakter pribadi cenderung positif menganggap dirinya kreatif, pekerja keras, mandiri dan tegar. Sedangkan responden yang mempunyai konsep diri menyangkut karakter diri cenderung sedang menganggap dirinya pemberontak dan nakal. Responden yang mempunyai konsep diri penampilan fisik yang cenderung positif menganggap dirinya menarik dan tidak jelek. Dalam hal ini responden juga merasa bahwa suara mereka bagus. Namun responden yang memiliki konsep diri penampilan fisik yang cenderung sedang menganggap bahwa teman-teman mereka mempunyai penampilan yang lebih menarik dibandingkan dirinya sendiri. Konsep diri menyangkut hubungan dengan orang tua yang dimiliki anak jalanan cenderung positif. Hal ini dikarenakan responden menganggap bahwa mereka merasa dicintai oleh kedua orang tua mereka dan mereka tidak merasa sulit berbicara dengan kedua orang tua mereka sedangkan responden yang memiliki konsep diri menyangkut hubungan dengan orang tua yang sedang menganggap bahwa kedua orang tua mereka merasa kecewa dengan apa yang mereka kerjakan. Konsep diri kestabilan emosi yang dimiliki oleh responden cenderung sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa anak jalanan masih sulit mengendalikan emosi mereka. Selain itu hal ini dipicu dengan minuman keras dan narkoba yang
mereka konsumsi. Anak jalanan yang menjadi responden juga memiliki konsep diri umum yang cenderung positif. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun mereka bekerja sebagai anak jalanan, mereka merasa bangga karena mereka bisa mendapatkan uang dari pekerjaan tersebut. Sedangkan responden yang memiliki konsep diri umum cenderung sedang merasa bahwa dirinya tidak mempunyai sesuatu yang patut dibanggakan sehingga mereka merasa tidak pantas untuk mempunyai cita-cita. Berkaitan dengan konsep diri menyangkut sikap jujur dan percaya, kebanyakan responden memiliki konsep diri yang cenderung tinggi. Mereka tidak merasa malu untuk mengatakan kekurangan dan kelemahan mereka kepada orang lain.
Hal
ini
memperlihatkan
bahwa
anak
jalanan
tidak
cenderung
mempertahankan diri dengan berbohong atau pun lari dari masalah ketika mendapat tekanan. Anak jalanan juga mempercayai orang lain untuk menceritakan masalah yang mereka alami dan tidak tertutup terhadap orang lain Anak jalanan yang menjadi responden juga memiliki konsep diri menyangkut hubungan dengan Tuhan yang positif. Walaupun mereka bekerja di jalanan, mereka masih merasa dicintai oleh Tuhan mereka dan tidak merasa bahwa mereka adalah makhluk Tuhan yang paling hina. Sedangkan respoden yang memiliki konsep diri menyangkut hubungan dengan Tuhan yang cenderung sedang mengatakan walaupun mereka merasa dicintai oleh Tuhan mereka, mereka jarang menjalankan ibadah. Responden mengatakan mereka malas mengerjakan ibadah karena tempat ibadah yang jauh dari tempat mereka bekerja. Dengan banyaknya responden yang memiliki konsep diri cenderung positif menunjukkan bahwa mereka menggambarkan dan melihat dirinya secara positif
dan memiliki kepuasan serta penerimaan diri. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka memiliki rasa hubungan dengan Tuhan, masih memegang nilai-nilai moral dan etis, dan merasa memiliki harga diri. Secara garis besar mereka memiliki harga diri yang tinggi, dimana mereka menyukai dirinya, menerima dirinya, dan merasa dirinya berharga serta mempunyai rasa percaya diri.
BAB VII KARAKTERISTIK DAN KONSEP DIRI ANAK JALANAN
7.1 Konsep Diri Berdasarkan Karakteristik Anak Jalanan Usia Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat terdapat perbedaan konsep diri berdasarkan usia responden. Konsep diri positif lebih menonjol pada yang berusia 13 sampai 15 tahun (85.71%) daripada yang berusia 16 sampai 18 tahun (43.75%). Hal ini mengindikasikan bahwa responden yang berusia di bawah 16 tahun bangga terhadap dirinya sendiri. Mereka tidak merasa rendah diri dengan pekerjaan mereka sebagai pengamen karena kebanyakan anak jalanan usia 13 sampai 15 tahun turun ke jalan hanya untuk tambahan uang saku ataupun rekreasi dengan teman-teman mereka. Mereka merasa bangga karena pada usia ini mereka sudah tidak perlu lagi meminta uang saku dari orang tuanya. Tabel 18. Jumlah Responden berdasarkan Usia dan Konsep Diri Anak Jalanan
Usia 13 - 15 tahun 16 - 18 tahun Total
Konsep Diri Anak Jalanan Negatif Sedang Positif (%) (%) (%) 0 (0.00) 2 (14.29) 12 (85.71) 0 (0.00) 7 (43.75) 9 (56.25) 0 (0.00) 9 (30.00) 21 (70.00)
Jumlah (%) 14 (100.00) 16 (100.00) 30 (100.00)
Perbedaan konsep diri anak jalanan menurut usia ini berkaitan dengan alasan mereka turun ke jalan. kebanyakan responden yang berusia 16 sampai 18 tahun turun ke jalan karena kesulitan ekonomi, sedangkan responden yang berusia 13 sampai 15 tahun turun ke jalan adalah untuk mencari tambahan uang saku dan rekreasi. Hal ini memperlihatkan bahwa anak jalanan yang berusia 13 sampai 15
tahun tidak merasa rendah diri karena pekerjaan mereka di jalanan sedangkan pada responden yang berusia 16 sampai 18 tahun merasa rendah diri terhadap pekerjaan mereka di jalanan dan ingin mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. Namun konsep diri responden berusia 13 sampai 15 tahun yang cenderung positif ternyata tidak tampak pada kasus AND (15 tahun) yang mengamen hanya sampai siang karena takut bertemu teman sekolah ketika dia masih sekolah dulu. Ia mengatakan bahwa ia malu karena berhenti sekolah dan jika teman-teman sekolahnya dulu melihat dia bekerja sebagai pengamen untuk membantu keluarga. “cita-cita sih ga ada teh, cuma pengennya kerja di kantoran, soalnya jadi pengamen teh capek. Trus kalo dikantorankan lebih keren trus masa depan kejamin...” (SYR, 17 tahun). Jenis Kelamin Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin, konsep diri anak jalanan secara keseluruhan cenderung positif. Konsep diri positif lebih menonjol pada responden perempuan (100%) daripada responden laki-laki (85.71%). Ketika diwawancarai, responden perempuan langsung mau bercerita mengenai kegiatan dan kehidupan mereka di jalanan berbeda halnya dengan responden laki-laki yang pada awalnya merasa malu ketika bercerita mengenai kehidupan mereka. Tabel 19. Jumlah Responden berdasarkan Jenis Kelamin dan Konsep Diri Anak Jalanan
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
Konsep Diri Anak Jalanan Negatif Sedang Positif (%) (%) (%) 0 (0.00) 9 (33.33) 18 (66.67) 0 (0.00) 0 (0.00) 3 (100.00) 0 (0.00) 9 (30.00) 21 (70.00)
Jumlah (%) 27 (100.00) 3 (100.00) 30 (100.00)
Responden perempuan lebih menghargai pekerjaan mereka sebagai anak jalanan dibandingkan anak jalanan laki-laki. Hal ini disebabkan responden perempuan merasa bangga walaupun mereka seorang perempuan, mereka juga bisa bekerja mencari uang untuk keluarganya. Namun pada kenyataannya konsep diri cenderung positif yang dimiliki oleh anak jalanan perempuan ternyata berbeda dengan kenyataan bahwa anak jalanan perempuan pada usia diatas 15 tahun jarang ditemukan di jalanan karena faktor rasa malu ketika usia mereka beranjak dewasa. Tingkat Pendidikan Berdasarkan Tabel 20 dapat dilihat bahwa responden mempunyai konsep diri secara keseluruhan yang tinggi walaupun tingkat pendidikan mereka berbedabeda. Responden yang tidak sekolah pun mempunyai konsep diri cenderung positif sama dengan responden yang pernah menerima pendidikan. Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan tidak menyebabkan perbedaan konsep diri anak jalanan.
Tabel 20. Jumlah Responden berdasarkan Jenis Tingkat Pendidikan dan Konsep Diri Anak Jalanan
Tingkat pendidikan Tidak pernah sekolah SD dan sederajat SMP dan sederajat SMA dan sederajat Total
Konsep Diri Anak Jalanan Negatif Sedang Positif (%) (%) (%) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (100.00) 0 (0.00) 4 (30.77) 9 (69.23) 0 (0.00) 4 (30.77) 9 (69.23) 0 (0.00) 1 (33.33) 2 (66.67) 0 (0.00) 9 (30.00) 21 (70.00)
Jumlah (%) 1 (100.00) 13 (100.00) 13 (100.00) 3 (100.00) 30 (100.00)
Berdasarkan wawancara dengan siswa STM Yapis, AWL (17 tahun) mengatakan bahwa dia turun ke jalan hanya untuk mencari tambahan uang saku.
Walaupun dia sudah sekolah hingga tingkat Sekolah Menengah Atas, dia tetap turun ke jalan dan bekerja sebagai pengamen. Hal ini juga terlihat dari ARS (13 tahun), seorang responden yang hanya sekolah hingga tingkat Sekolah Dasar yang juga bekerja di jalanan sebagai pengamen. Dia mengatakan bahwa dia turun ke jalan karena diajak dengan teman-temannya (rekreasi). Dari kedua kasus tersebut dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden tidak mempunyai pengaruh terhadap konsep diri mereka. Jenis Pekerjaan Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa konsep diri anak jalanan berdasarkan pekerjaan mereka cenderung positif untuk masing-masing pekerjaan. Hal ini memperlihatkan bahwa jenis pekerjaan mereka sebagai anak jalanan tidak menyebabkan perbedaan pada konsep diri yang mereka miliki. Responden yang bekerja sebagai pengamen mempunyai konsep diri cenderung tinggi, walaupun demikian responden yang bekerja sebagai pengamen pun masih ada yang kurang menghargai pekerjaan mereka sebagai pengamen. Tabel 21. Jumlah Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Konsep Diri Anak Jalanan
Jenis Pekerjaan usaha di bidang jasa Pengamen kerja serabutan Total
Konsep Diri Anak Jalanan Negatif Sedang Positif (%) (%) (%) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (100.00) 0 (0.00) 9 (32.14) 19 (67.86) 0 (0.00) 0 (0.00) 1 (100.00) 0 (0.00) 9 (30.00) 21 (70.00)
Jumlah (%) 1 (100.00) 28 (100.00) 1 (100.00) 30 (100.00)
Konsep diri cenderung positif dari responden adalah seperti menganggap pekerjaan yang mereka jalani di jalanan tidak hina dan halal. Pada kenyataannya, walaupun responden yang bekerja serabutan yaitu SYF (17 tahun) mempunyai
konsep diri positif, dia pernah menjadi bandar dan pemakai narkoba. Pada saat wawancara berlangsung, dia mengatakan bahwa dia baru saja berhenti mengedarkan dan mengkonsumsi pil leksotan empat bulan yang lalu karena sudah menjadi buronan polisi. Begitu juga halnya dengan dengan seks bebas, PLY (17 tahun) mengatakan bahwa AWL (17 tahun) temannya sesama pengamen sering melakukan seks bebas dengan pacarnya. Walaupun melakukan hal tersebut, tetap saja AWL hanya ingin melakukan hal tersebut dengan perempuan yang sudah bekerja atau mapan karena AWL bepikir jika perempuan tersebut sudah bekerja segala kebutuhan AWL akan terpenuhi. Salah satu kasus menarik adalah ketika SYF (17 tahun) dan BRQ (17 tahun) diajak bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik bangunan di Cirebon oleh Bapak AGN (41 tahun) selaku ketua Yayasan Rumah Singgah Titian Mandiri. Setelah mereka bekerja disana tiga hari, mereka tidak betah dan kembali ke Bogor dan bekerja sebagai anak jalanan lagi. Alasan mereka tidak betah bekerja adalah mereka ternyata disuruh menarik besi sebesar kontainer. Mereka menganggap hal tersebut melelahkan. Padahal berdasarkan wawancara dengan salah satu pengurus Yayasan Titian Mandiri yaitu Bapak MDE (39 tahun), memang pada awalnya pekerjaan mereka seperti karena mereka belum dibekali dengan keterampilan membentuk besi, namun pada akhirnya nanti mereka pasti akan diajarkan caranya dan akan bekerja sebagai buruh lainnya. “ya ampun teh, bayangin aja kita disuruh narik besi pake tambang, besinya teh?! Segede-gede kontainer deh. Bayangin aja! Saya mah ga betah diperintah-perintah gitu ma mandornya, mendingan ngamen deh.. bisa seenaknya aja, gampang lagi…” SYF (17 tahun).
7.2 Ikhtisar Konsep diri anak jalanan yang menjadi responden berbeda berdasarkan usia, jenis kelamin dan alasan turun ke jalan. Namun tidak berbeda pada tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang mereka miliki. Berdasarkan usia, responden yang berusia 13 sampai 15 tahun cenderung mempunyai konsep diri yang positif dibandingkan dengan responden yang berusia 16 sampai 18 tahun. pada kenyataannya anak jalanan yang berusia di bawah 16 tahun masih ada yang merasa malu bertemu dengan temannya yang tidak bekerja sebagai pengamen atau tidak bernasib sama dengannya. Berdasarkan jenis kelamin, responden perempuan cenderung memiliki konsep diri yang positif dibandingkan responden laki-laki. Namun pada kenyataannya pada usia di atas 15 tahun anak jalanan perempuan sudah sulit ditemukan di jalanan karena faktor rasa malu mereka yang lebih besar dari pada anak jalanan laki-laki. Pada tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan anak jalanan tidak menyebabkan perbedaan pada konsep diri mereka. Namun konsep diri cenderung positif yang mereka miliki tidak tampak pada saat pemilihan pekerjaan dan dalam hubungan anak jalanan dengan orang lain yang tidak bernasib menjadi anak jalanan. Dari pernyataan-pernyataan tersebut maka hipotesis yang menyatakan bahwa konsep diri anak jalanan berbeda berdasarkan karakteristik sosial ekonomi anak jalanan tersebut ternyata dapat diterima.
7.3 Konsep Diri Berdasarkan Alasan Turun ke Jalan Berdasarkan Tabel 22 dapat dilihat bahwa konsep diri anak jalanan berdasarkan alasan mereka turun ke jalan cenderung positif. Ada perbedaan
konsep diri antara responden yang turun ke jalan karena alasan kesulitan ekonomi dengan responden yang turun ke jalan karena tambahan uang saku dan rekreasi. Sebagian besar alasan responden turun ke jalan karena tambahan uang saku dan rekreasi sehingga konsep diri mereka cenderung tinggi dibandingkan dengan responden yang turun ke jalan karena kesulitan ekonomi. Tabel 22. Jumlah Responden berdasarkan Alasan Turun ke Jalan dan Konsep Diri Anak Jalanan Alasan turun ke jalan
Negatif (%)
Konsep Diri Anak Jalanan Sedang Positif (%) (%)
Jumlah (%)
Kesulitan Ekonomi
0 (0.00)
4 (28.57)
10 (71.43)
14 (100.00)
Tambahan uang saku rekreasi Total
0 (0.00) 0 (0.00) 0 (0.00)
3 (27.27) 2 (40.00) 9 (30.00)
8 (72.73) 3 (61.00) 21 (70.00)
11 (100.00) 5 (100.00) 30 (100.00)
Responden yang turun ke jalan karena kesulitan ekonomi lebih merasa rendah diri karena pekerjaan yang mereka lakukan di jalanan adalah untuk mencari uang. Berbeda halnya dengan responden yang turun ke jalan karena tambahan uang saku atau rekreasi, mereka tidak merasa rendah diri dengan pekerjaannya karena turun ke jalan karena pilihan mereka sendiri, bukan karena dituntut oleh keadaan ekonomi. Dari pengamatan di lapangan, walaupun mereka mengatakan bahwa penampilan mereka menarik, responden yang turun ke jalan karena alasan ekonomi mempunyai penampilan yang lebih dekil dan kotor. Hal ini dikarenakan mereka bekerja hampir seharian penuh dan terkena debu di jalanan dan sinar matahari. Berbeda halnya dengan responden yang turun ke jalan karena tambahan uang saku dan rekreasi. Penampilan mereka terlihat lebih bersih dan biasanya
memakai aksesoris seperti kalung, anting maupun sepatu. Hal ini memperlihatkan bahwa responden yang alasan turun ke jalan untuk rekreasi dan mencari tambahan uang saku lebih memperhatikan penampilan fisik mereka karena mereka turun ke jalanan hanya untuk bersenang-senang. Salah satu contoh kasus adalah dua orang responden yang bekerja sebagai pengamen dan bersekolah di sekolah yang sama yaitu PLY (17 tahun) dan AWL (17 tahun). PLY mengatakan bahwa ia menjadi pengamen karena kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya sehingga ia harus membayar biaya sekolahnya sendiri. Lain halnya dengan AWL yang bekerja sebagai pengamen karena dia memang menyukai kebebasan sebagai anak jalanan dan mempunyai banyak teman di jalanan (rekreasi). PLY mengatakan bahwa dibandingkan dengan dirinya dia merasa lebih tidak menarik dibandingkan dengan AWL. Sebagai sesama lakilakipun PLY mengatakan bahwa AWL itu keren. Menurut PLY, walaupun AWL orang yang mampu membiayai kehidupan sehari-harinya tetapi dia masih mau mengamen dan bergaul dengan teman-temannya yang bekerja sebagai pengamen. Hal ini menunjukkan bahwa alasan anak jalanan turun ke jalan bisa menyebabkan perbedaan pada konsep diri anak jalanan. Perbedaan konsep diri responden berdasarkan alasan mereka turun ke jalan memperlihatkan bahwa keterbatasan ekonomi mempengaruhi konsep diri anak jalanan. Kesulitan hidup secara finansial maupun ekonomi, akan menghasilkan konsep diri rendah. Salah satu contohnya adalah dimana beberapa responden menunjukkan tanda-tanda depresi akibat pada usia mereka dituntut untuk mencari nafkah keluarga.
“…saya dulu pernah minum air putih campur Baygon teh, serius, gara-gara pusing aja mikirin duit, buat sekolahlah, buat makan…stress aja saya…” (PLY, 17 tahun).
7.4 Ikhtisar Berdasarkan alasan turun ke jalan, responden yang turun ke jalan untuk mencari tambahan uang saku dan rekreasi memiliki konsep diri yang cenderung positif dibandingkan responden yang turun ke jalan karena alasan ekonomi. Hal ini menunjukkan konsep diri dapat dipengaruhi oleh faktor keterbatasan ekonomi. Dari pernyataan tersebut maka hipotesis yang menyatakan konsep diri anak jalanan berbeda berdasarkan alasan mereka turun ke jalan ternyata dapat diterima. Konsep diri cenderung positif yang dimiliki oleh responden ternyata tidak mendukung mereka untuk memperbaiki diri. Padahal, sudah ada beberapa yang diberi kesempatan untuk bekerja di sektor yang lebih menjanjikan seperti menjadi buruh. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak mau berusaha untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik dari pengamen untuk memperbaiki kehidupan mereka. Sebagai contoh yaitu NVL (15 tahun) yang tidak mau lagi sekolah karena lebih bebas hidup di jalanan. Contoh lainnya yaitu SYF (17 tahun) dan BRQ (17 tahun) yang tidak mau bekerja di pabrik besi. Hal ini disebabkan mereka merasa pekerjaan tersebut terlalu berat dan tidak bisa bebas karena harus bekerja sesuai jadwal yang telah ditentukan. Mereka lebih memilih kembali ke jalanan karena mereka merasa bisa bebas melakukan apa saja sesuai keinginan mereka. Selain itu masih banyak anak jalanan yang mengkonsumsi minuman keras dan narkoba menunjukkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh responden tidak sama dengan realitas atau kondisi fisik dan psikis anak jalanan yang sebenarnya.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan 1. Pada umumnya anak jalanan adalah laki-laki dengan sebagian besar berusia 16 sampai 18 tahun dengan sebagian lainnya berusia 13 sampai 15 tahun. Pekerjaan yang banyak dilakukan anak jalanan adalah pengamen. Tingkat pendidikan responden sebagian besar hanya sampai Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Tingkat sosial ekonomi keluarga responden secara keseluruhan menunjukkan mereka tergolong dalam keluarga miskin menurut kriteria BPS yaitu pendapatan di bawah Rp 600.000,00 per bulan dan pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya sampai Sekolah Dasar. Sebagian besar anak jalanan tidak pernah mengalami kekerasan di lingkungan kerjanya. 2. Anak jalanan memiliki konsep diri cenderung positif kecuali konsep diri kestabilan emosi yang cenderung sedang. 3. Ada perbedaan antara konsep diri anak jalanan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi anak jalanan seperti usia, jenis kelamin dan alasan turun ke jalan. Semakin bertambah usia maka konsep diri anak jalanan cenderung negatif, anak jalanan perempuan memiliki konsep diri cenderung positif dibandingkan dengan anak laki-laki, dan anak jalanan yang turun ke jalan untuk tambahan uang saku dan rekreasi mempunyai konsep diri cenderung positif dibandingkan karena alasan ekonomi. Namun perbedaan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan tidak menyebabkan perbedaan pada konsep
diri anak jalanan karena konsep diri anak jalananan cenderung tinggi pada setiap pendidikan dan jenis pekerjaan anak jalanan cenderung sama yaitu pengamen. 4. Konsep diri anak jalanan yang cenderung positif belum nampak dalam tingkah laku keseharian mereka seperti pada saat pemilihan pekerjaan dan ketika berhubungan dengan orang lain yang tidak bekerja sebagai anak jalanan atau tidak senasib dengan mereka. Konsep diri anak jalanan ternyata tidak selalu berhubungan dengan tingkah laku dan ada faktor lainnya yang mempengaruhi seperti keterbatasan ekonomi, budaya jalanan dan rasa malas.
8.2 Saran Saran yang dapat direkomendasikan sebagai berikut ini: 1. Penelitian lanjutan diharapkan lebih mempertajam kuesioner agar lebih terlihat konsep diri anak jalanan yang lebih terperinci dan dikaitkan dengan hubungannya dengan tingkah laku sehingga bisa dibuat suatu bentuk pemberdayaan anak jalanan yang tepat sasaran sesuai dengan konsep diri yang mempengaruhi tingkah laku anak jalanan. Secara metodologis dalam mengukur konsep diri tidak dapat hanya dengan metode kuantitatif tetapi perlu pengamatan dan metode kualitatif agar dapat dilihat keadaan anak jalanan yang sebenarnya. 2. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui apakah fenomena anak jalanan diakibatkan oleh rasa malas atau karena adanya budaya jalanan sehingga anak jalanan tetap kembali ke jalanan walaupun sudah
diberi kesempatan yang lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan mereka di jalanan. 3. Penelitian selanjutnya diharapkan menambah jumlah responden dengan jenis pekerjaan yang lebih bervariasi agar dapat dilihat perbedaan konsep diri yang lebih beragam berdasarkan karakteristik anak jalanan. 4. Pembinaan untuk memberdayakan anak jalanan yang tepat sasaran perlu dilakukan. Pemberdayaan tersebut perlu melihat kondisi anak jalanan yang sebenarnya, tidak hanya melihat fenomena anak jalanan secara makro dimana anak jalanan turun ke jalan karena kesulitan ekonomi tetapi juga adanya faktor lain seperti tidak adanya kesempatan yang mereka miliki ataupun adanya kebudayaan jalanan yang bebas sehingga menyebabkan mereka kembali turun ke jalanan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Pada Hari Anak: Mari Dengar Suara Anak Jalanan. www.kompascetak.com. [diakses tanggal 26 Agustus 2008]. Anonim. 2004. Model Pemberdayaan Anak Jalanan Berbasis Keluarga dengan Pendekatan Multisystem.Departemen Sosial. Jakarta: UMJ Press. Anonim. 2006. Modul Pelayanan Sosial Anak Jalanan. Jakarta: Departemen Sosial. Anonim. 2007. Anak Jalanan. http://www.kksp.or.id [diakses tanggal 17 November 2007]. Baron, Robert A. 2004. Psikologi Sosial. Penerjemah Ratna Djuwita dkk. Jakarta: Erlangga. Burns, R.B. 1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Perilaku. Penerjemah Eddy. Jakarta: Arcan. Handoyo dkk. 2004. Profil Anak Jalanan Perempuan di Kota Semarang (Kebutuhan, Motivasi dan Aspirasinya). Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Hartini dkk. 2001. Profil IQ dan EQ Anak Rentan Jalanan dalam Jurnal Penelitian Dinamika Sosial volume 2 nomor 3. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Hasbiansyah, O. 1997. Konsep Diri dan Kepemimpinan KB Dalam Pembinaan Institusi Masyarakat Pedesaan (Kasus di kabupaten DT II Sumedang Propinsi Jawa Barat). Tesis. Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Karnaji dkk. 2001. Studi Tentang Penyusunan Model Pembinaan dan Pemberdayaan Anak Jalanan dalam Jurnal Penelitian Dinamika Sosial volume 2 nomor 3. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Airlangga. Marliana, Wina. 2006. Analisis Tingkat Kekerasan pada Anak Jalanan (Kasus Anak Jalanan Binaan RPA Gessang Ghosyaari, Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. IPB.
Moeko, Norman. 2008. Anak Jalanan, Negara Kok Tiba-tiba Lupa?. www.sinarharapan.com. [diakses tanggal 26 Agustus 2008]. Muslim, Mudaris dan Siti Mardiyati.2004. Identifikasi Problem Pribadi dan Konsep Diri Anak Jalanan yang Belajar di SD dan SMP. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Purwaningsih. 2003. Keadaan Lingkungan Keluarga dan Sosial serta Perilaku Anak Jalanan di Kota Bogor. Skripsi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. IPB. Puspasari, Amaryllia. 2007. Mengukur Konsep Diri Anak. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Rakhmat, Jalaludin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ruslan, Rosady. 2006. Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Singarimbun, masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Soe’oed, R. Diniarti. F.1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga dalam T.O Ihromi (Penyunting). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sugiharto, Sri Tjahjorini. 2001. Persepsi Anak Jalanan Terhadap Bimbingan Sosial Melalui Rumah Singgah di Kotamadya Bandung. Tesis. Bogor: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. IPB. Suparlan, Supardi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sutinah. 2001. Anak Jalanan Perempuan:Studi Kualitatif tentang Strategi Bertahan Hidup dan Tindak Kekerasan Seksual yang Dialami Anak Jalanan Perempuan di Kota Surabaya dalam Jurnal Penelitian Dinamika Sosial volume 2 nomor 3. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Airlangga. Syahril dkk. 2000. Kajian Terhadap Kehidupan dan Perilaku Anak-anak Jalanan Serta Dampak Sosial yang Ditimbulkannya. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu.
Tauran. 2000. Studi Profil Anak Jalanan Sebagai Upaya Perumusan Model Kebijakan dalam Jurnal Administrasi Negara volume 1 nomor 1. Yudi, Kespa Krismituhu. 2006. Analisis Peran Rumah Singgah dalam Upaya Perlindungan Anak Jalanan (kasus Rumah Singgah Rumah Kita, Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. IPB.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kegiatan Belajar di Rumah Singgah Yayasan Titian Mandiri
Kegiatan Belajar Paket B (Kejar Paket B)
Kegiatan Belajar Paket B (Kejar Paket B)
Kegiatan Belajar Paket A
Lampiran 2. Responden Anak Jalanan di beberapa Lokasi Penelitian
Pintu rel kereta Kebon Pedes
Di depan Pusat Perbelanjaan Jogja
Di depan Pusat Perbelanjaan Hypermart
Warung Nasi di lampu merah Jl. Baru
Lampiran 3. Lokasi Penelitian
Jl. Sholeh Iskandar di depan Pusat Perbelanjaan Hypermart
Lampu merah Jl. Baru
Pintu Rel Kereta Kebon Pedes
Lampiran 4. Peta Kota Bogor
Lampiran 5. Kasus Anak Jalanan. Kasus 1 Syahrul adalah anak jalanan laki-laki yang berusia 18 tahun. Dia turun ke jalan sejak umur 13 tahun. Dari awal dia turun ke jalan dia bekerja sebagai pengamen. Pada awalnya dia hanya memakai alat kecrekan saja pada saat mengamen sedangkan sekarang dia sudah memakai gitar. Syahrul masih tinggal dengan kedua orang tuanya. Walaupun dia tidak sekolah formal, Syahrul mengikuti kegiatan belajar di Yayasan Titian Mandiri. Dia mengikuti kegiatan belajar tersebut untuk mendapatkan ijazah. Ijazah ini akan digunakan untuk melamar kerja ditempat lain. Dia mempunyai adik yang juga bekerja sebagai pengamen yang bernama Syaiful (17 tahun). Syaiful dulunya adalah seorang bandar narkoba khususnya pil leksotan. Namun dalam melaksanakan aktivitasnya sebagai penjual pil leksotan, Syahrul tidak pernah mengadukan pekerjaan adiknya kepada kedua orang tua mereka. Selain itu, Syahrul mempunyai grup band yang namanya masih sering berganti-ganti. Grup ini terbentuk bersama temannya yang juga bekerja sebagai anak jalanan yaitu Barok (17 tahun). Walaupun adiknya, Syaiful dan temannya Barok pernah terlibat dengan kasus narkoba, tetapi Syahrul tetap tidak terpengaruh dengan ikut-ikutan mengkonsumsi narkoba. Syahrul mengatakan sebagai anak jalanan haruslah berpakaian rapi dan bersih. Menurutnya, sebisa mungkin sebagai pengamen penampilan harus menarik. Hal ini agar tidak mempermalukan sesama pengamen lainnya. Dia beranggapan dengan berpakaian rapi dan bersih penumpang tidak akan merasa risih dengan keberadaan pengamen di angkutan tempat mereka berada. Oleh karena itu dilihat dari pengamatan, penampilan Syahrul cukup rapi dan bersih bahkan dia terkadang menggunakan sepatu pada saat mengamen. Syahrul pernah mendengar penumpang mengatakan bahwa anak muda yang mengamen itu malas. Namun dalam hal ini dia tidak setuju karena menurutnya bekerja sebagai pengamen merupakan kerja keras. Menurutnya menjadi pengamen sangat melelahkan karena harus bolak-balik turun angkutan umum dari pagi hingga siang dan harus menyanyikan minimal dua lagu tiap sekali naik angkutan umum. Selain itu hubungan Syahrul dengan orang tuanya pun cukup baik. Sehabis mengamen dia sering berkumpul bersama kedua orang tuanya dan bercerita tentang saat-saat dia mengamen pada siang harinya. Orang tua Syahrul juga sering menanyakan kejadian-kejadian yang dialami Syahrul pada saat dia mengamen dan sering berpesan bahwa Syahrul harus berhati-hati ketika mengamen. Dalam hal cita-cita, Syahrul ingin bekerja di sektor formal. Dia ingin bekerja di kantor karena menurutnya bekerja di kantor tidak perlu merasakan panasnya sinar matahari. Kasus 2 Responden yang kedua bernama Eneng (13 tahun). Eneng adalah satusatunya anak perempuan di keluarganya. Kedua orang tuanya tidak bekerja. Ibunya menderita penyakit kanker rahim yang sering kambuh jika dia bekerja terlalu keras. Sedangkan ayahnya menderita penyakit paru-paru. Eneng mempunyai tiga kakak laki-laki. Kakaknya yang pertama sudah menikah dan
mempunyai satu orang anak namun tidak bekerja. Kakaknya yang kedua juga bekerja sebagai pengamen dan masuk penjara karena kasus narkoba. Sedangkan kakaknya yang ketiga juga bekerja sebagai pengamen namun hasil yang diperolehnya lebih banyak digunakan untuk membeli rokok dan jajan dibandingkan untuk keluarganya. Eneng mengamen dari pagi hingga sore untuk keperluan keluarganya. Eneng mengikuti kegiatan belajar di Yayasan Titian Mandiri sejak umur enam tahun, namun ketika berumur 12 tahun, dia berhenti karena malu dengan ukuran tubuhnya yang lebih besar dari teman-temannya. Penampilan fisik Eneng dekil dan kotor. Dia merasa dirinya jelek karena kulitnya hitam akibat terkena sinar matahari ketika sedang mengamen. Eneng beranggapan bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang berkulit putih. Eneng tidak merasa malu berteman dengan teman-temannya. Eneng merasa bangga dengan dirinya sendiri sebagai pengamen. Hal ini dikarenakan dia bisa menghasilkan uang untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Dia tidak merasa bahwa pekerjaan sebagai pengamen adalah suatu hal yang hina karena mengamen merupakan pekerjaan yang halal dan tidak merugikan orang lain. Dia juga merasa bahwa Tuhan masih mencintainya walaupun hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, dia jarang menjalankan ibadah karena sering melupakan waktu solat.