95
BAB IV ANALISIS
Proses analisa dalam penelitian ini menggunakan dua teknik analisa, yakni teknik analisa kuantitatif dan teknik analisa kualitatif. Teknik analisa kuantitatif dengan menggunakan rumus product moment bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya signifikansi hubungan pembinaan mental yang dilakukan oleh Yayasan Setara Semarang dengan konsep diri anak jalanan usia 12-15 tahun. Sedangkan teknik analisa kualitatif bertujuan untuk menjawab seputar permasalahan yang berkaitan dengan relevansi antara pembinaan mental yang dilakukan oleh Yayasan Setara Semarang dengan konsep diri anak jalanan usia 12-15 tahun.
A. Hubungan Pembinaan Mental dengan Konsep Diri Anak Jalanan 1. Pembinaan Mental Setelah dilakukan penilaian secara kumulatif, sebagaimana telah termaktub pada bab sebelumnya (Bab III), maka perlu dilakukan pendistribusian dari nilai-nilai yang telah didapat tersebut untuk mencari nilai rata-rata dari pembinaan mental anak jalanan secara kolektif. Berikut penulis paparkan ulang nilai-nilai dari hasil jawaban angket yang berkaitan dengan pembinaan mental anak jalanan.
96
Tabel 6 Distribusi Nilai Variabel X Kegiatan Pembinaan Mental Anak Jalanan Usia 12-15 Tahun di Yayasan Setara Semarang No
Nilai Kegiatan Pembinaan Mental Anak Jalanan Usia 12-15 Tahun Yayasan Setara Semarang X
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
132 121 140 110 136 133 145 101 113 134 Jumlah
Frekuensi Jumlah
F
FX
2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 12
264 121 140 110 136 133 145 101 113 268 1531
Kemudian untuk mengetahui nilai rata-rata dari pembinaan mental anak jalanan di Yayasan Setara Semarang digunakan rumus sebagai berikut: M=
FX N
diketahui jumlah F.x = 1531 N= 12 Maka M = 1531 12 = 127,58 Dengan nilai rata-rata 127,58 maka dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata pembinaan mental anak jalanan Yayasan Setara berada pada
97 kategori nilai baik. Hal ini didasarkan pada kategori nilai yang telah didapat dan dipaparkan pada bab III sebagaimana berikut : Tabel 7 Interval Kategori Nilai Interval Nilai
Kategori Nilai
136.2 – 145.0
Sangat Baik
127.3 – 136.1
Baik
118.4 – 127.2
Cukup
109.5 – 118.3
Kurang Baik
100.6 – 109.4
Tidak Baik
2. Konsep Diri Untuk mengetahui kategori nilai rata-rata konsep diri anak jalanan usia 12-15 tahun penulis akan menggunakan rumusan yang sama dengan penentuan kategori nilai rata-rata aktifitas di atas. Sebagai langkah awal, maka beikut ini akan penulis paparkan nilai yang diperoleh responden berdasarkan hasil jawaban angket yang kemudian akan dimasukkan ke dalam tabel distribusi nilai.
98
Tabel 8 Distribusi Nilai Variabel Y Konsep Diri Anak Jalanan Usia 12-15 Tahun Yayasan Setara Semarang No
Nilai Konsep Diri Anak Jalanan Usia 12-15 Tahun Yayasan Setara Semarang
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Frekuensi Jumlah
Y
F
FY
142 127 133 145 119 143 149 109 141 136 Jumlah
1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 12
142 254 266 145 119 143 149 109 141 136 1604
Setelah diketahui distribusi frekuensi dari data tersebut di atas maka langkah selanjutnya yaitu mencari nilai rata-rata dengan rumus:
M =
FY N
diketahui jumlah F.y =1604 N= 12 Maka
M = 1604 12 = 133,67 Hasil nilai rata-rata tersebut kemudian dibandingkan dengan kategori nilai konsep diri yang telah diperoleh sebelumnya sebagaimana berikut:
99
Tabel 9 Kategori Nilai Variabel Y Konsep Diri Anak Jalanan Usia 12-15 Tahun Yayasan Setara Semarang Interval Nilai
Kategori Nilai
141.0 – 149.0
Sangat Baik
132.9 – 140.9
Baik
124.8 – 132.8
Cukup
116.7 – 124.7
Kurang Baik
108.6 – 116.6
Tidak Baik
Berdasarkan pada tabel kategori nilai di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya nilai rata-rata konsep diri anak jalanan secara kolektif (133,67) berada pada interval nilai 132,9 – 140,9 yang menunjukkan kategori baik. Setelah diketahui nilai dari pembinaan mental dan konsep diri anak jalanan, maka langkah selanjutnya adalah mencari signifikansi hubungan antara pembinaan mental dengan konsep diri anak jalanan. Untuk mencari signifikansi tersebut penulis menggunakan rumusan statistik korelasi
product moment sebagai berikut :
rxy =
N ∑ xy − ( ∑ x )(∑ y ) (N∑ X2 − (∑ X)2 ) (N ∑y 2 − (∑Y)2 )
Keterangan : r xy
: Angka indeks korelasi / Product moment
N
: Number of Cases (responden)
∑x
: Jumlah skor variabel x
∑y
: Jumlah skor variabel y
∑ xy
: Jumlah hasil perkalian antara variabel x dan variabel y
100
Tabel 10 Koefisien Korelasi Pembinaan Mental dengan Konsep Diri Anak Jalanan Usia 12-15 Tahun No Resp
X
Y
X2
Y2
XY
1
132
142
17424
20164
18744
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
121 134 140 110 136 133 145 101 132 113 134 1531
127 133 145 133 119 143 149 109 141 127 136 1604
14641 17956 19600 12100 18496 17689 21025 10201 17424 12769 17956 197281
16129 17689 21025 17689 14161 20449 22201 11881 19881 16129 18496 215894
15367 17822 20300 14630 16184 19019 21605 11009 18612 14351 18224 205867
Dari tabel persiapan tersebut dapat diketahui bahwa : Σx
= 1531
Σy
= 1604
Σx2 = 197281 Σy2 = 215894 Σxy = 205867 (Σx)2 = 2343961 (Σy)2 = 2572816
Angka-angka tersebut di atas kemudian dimasukkan dalam rumusan korelasi product moment sebagai berikut,
101
rxy =
N ∑ xy − ( ∑ x )(∑ y ) (N∑ X2 − (∑ X)2)) (N∑y 2 − (∑Y)2 ))
rxy =
12 . 205867 − 1531. 1604 (12 . 197281 − (1531)2) (12 . 215894 − (1604)2)
rxy =
2470404 − 2455724 (2367372 − 2343961) (2590728 − 2572816) 14680
rxy =
(23411) (17912) 14680 419337832
rxy =
rxy =
14680 20477,74
rxy = 0,71687 Jadi nilai korelasi rxy adalah 0,71687 yang mengalami pembulatan menjadi 0,717 Dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa korelasi antara variabel pengaruh pembinaan mental dalam membentuk konsep diri anak jalanan usia 12-15 tahun Yayasan Setara Semarang yaitu sebesar 0,717. Selanjutnya angka korelasi dari hasil perhitungan korelasi product
moment di atas dibandingkan dengan ketentuan angka korelasi dalam tabel. Suatu hubungan akan dianggap memiliki signifikansi apabila memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Dalam hal ini, dengan jumlah
102 responden 12 anak, batas signifikansi pada table harga kritik r product
moment pada interval kepercayaan 95% adalah 0,576 dan interval kepercayaan 99% adalah 0,708. Maka hasil penghitungan antara pembinaan mental dan konsep diri akan dianggap memiliki hubungan yang signifikan manakala memiliki nilai harga yang lebih tinggi daripada nilai harga table. Dengan hasil ro dalam penelitian ini adalah 0,717 maka secara otomatis ro > dari rt baik dalam taraf interval kepercayaan 95% maupun 99%. Oleh karena memiliki nilai yang lebih besar, maka pembinaan mental yang dilaksanakan oleh Yayasan Setara Semarang memiliki hubungan yang signifikan terhadap konsep diri anak jalanan usia 12-15 tahun di Yayasan Setara Semarang.
B. Relevansi Pembinaan Mental dengan Konsep Diri Konsep diri dan pembinaan mental merupakan dua hal yang memiliki hubungan yang khas. Kecenderungan dalam hubungan tersebut adalah pembinaan mental sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki konsep diri negatif serta membantu seseorang untuk menemukan suatu konsep diri yang positif. Secara terperinci hubungan keduanya akan penulis jelaskan sebagai wacana pembuka analisa sebagai berikut. Seperti diketahui bahwasanya konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Secara lebih luas konsep diri merupakan pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri secara keseluruhan sebagai hasil observasi terhadap dirinya di masa lalu dan di masa sekarang yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Disamping itu juga merupakan kekuatan pendorong dalam perilaku seseorang. Individu akan berusaha untuk memelihara atau mempertahankan konsep diri yang digunakan dalam bertingkah laku, sesuai tujuan, kemampuan, nilai-nilai dan kepercayaan, bahkan untuk mencapai prestasi
103 yang diinginkan dalam karier yang menjadi tujuannya. Individu juga berusaha untuk meningkatkan atau mempertinggi konsep dirinya dengan belajar dan mengembangkan diri menuju diri yang ideal.1 Secara lebih khusus, William D. Brooks, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmad, menyebut konsep diri sebagai “Those physical, social,
and psychological perceptions of ourselves that we have drived from experiences and our interaction with others”. Pengertian tersebut memiliki makna bahwa konsep diri merupakan persepsi manusia yang meliputi fisik, sosial, dan psikis yang berasal dari pengalaman dan interaksi manusia dengan dirinya sendiri dan masyarakat (orang lain).2 Charles Haston Cooley memberikan definisi konsep diri sebagai pengenalan terhadap diri yang merupakan suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. 3 Dari pengertian-pengertian konsep diri di atas, maka paling tidak ada tiga gambaran yang terdapat dalam konsep diri manusia : 4
Pertama, khusus tentang ide yang diambilnya dari kemampuan dan kemungkinannya, boleh jadi gambaran tentang dirinya sebagai orang yang mempunyai tempat, yang memiliki kemampuan untuk belajar, dan mempunyai kekuatan jasmani. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa ia mampu untuk mencapai keberhasilan. Dan sebaliknya boleh jadi ada orang yang mempunyai gambaran tentang dirinya, bahwa ia lemah, gagal, atau kurang penting, kurang kemampuan dan bahwa kesempatan untuk berhasil padanya adalah kecil.
1
http://Top/Organization/Statistika/S1/jiptits -gdl-s1-2005-kundiarto-1925, tanggal 12
Mei 2006
2
99.
3
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991, hlm.
R.B. Burns, Konsep Diri, Teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku, terj. Eddy, Jakarta, Arcan, 1993, hlm. 16 4 Musthafa Fahmi, Penyesuaian Diri, terj. Zakiyah Drajat, Jakarta, Bulan Bintang, 1982, hlm. 112.
104
Kedua, berhubungan dengan pikiran orang tentang dirinya dalam hubungannya dengan orang lain. Boleh jadi ia memandang dirinya sebagai orang yang disayangi atau dibenci oleh orang lain. Boleh jadi ia berpendapat bahwa nilai-nilai, sikap, kedudukan, pandangannya, keturunan atau agama yang dianutnya, merupakan sebab dari rendahnya pandangan orang kepadanya, atau tidak percaya kepada hak tersebut dan ia berhati-hati sekali, atau memandangnya dengan penuh penghargaan. Karena yang sangat mempengaruhi pandangan individu terhadap dirinya, adalah cara orang lain memandangnya, karena gambaran tiap orang tentang dirinya terbentuk dalam pandangan orang lain terhadapnya.
Ketiga,
pandangan
orang
yang
seharusnya
terhadap
dirinya.
Pandangan ini berbeda dari gambarannya yang sebenarnya terhadap dirinya. Semakin bertambah kematangannya dan semakin dekat tercapainya gambaran tersebut, ketika itu dapat dikatakan bahwa ia menerima dirinya sebagai manusia, dan ia mempunyai kepercayaan terhadap dirinya dan kekuatannya, serta percaya kepada orang yang memberikan bantuan kepadanya sepanjang perjalanannya. disamping ia mempunyai keberanian untuk menghadapi batasan- batasannya, serta ia hidup dalam ruang lingkupnya dan memandang ke hari depan dan tujuan-tujuannya dengan pandangan obyektif. Penyesuaian antara diri nyata dan diri ideal itulah yang akan menciptakan kondisi kongruen pada individu. Dalam keadaan kongruen, individu benar-benar membuka diri atas semua pengalaman yang dialaminya, baik yang terjadi di dalam maupun diluar dirinya. Keterbukaan terhadap pengalaman membuat individu mampu memandang diri dan dunia luar sebagai realitas yang obyektif, sehingga mampu memanfaatkan seluruh potensinya sekaligus potensi di luar dirinya secara maksimal. Dalam kondisi
105 seperti ini, individu lebih mampu mengarahkan dan mengorganisasikan kehidupannya dengan sebaik-baiknya.5 Sebaliknya, jika terjadi inkongruensi antara diri real dan ideal dari seseorang, maka yang terjadi kemudian adalah rasa ketidakpuasan seseorang terhadap kondisi dirinya. Sehingga yang muncul nantinya adalah konsep diri negatif6 yang akhirnya akan berpengaruh pada kesehatan mental dan tingkah laku seseorang baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.7 Apabila hal tersebut terjadi, konsep diri negatif yang berdampak pada mentalitas dan perilaku negatif dari seseorang, maka bukan tidak mungkin bagi seseorang untuk memperbaiki ataupun diperbaiki konsep dirinya melalui sebuah proses pembinaan yang berkaitan dengan mentalitas dan perilakunya. Sebab pada dasarnya pembinaan mental sebagaimana diungkapkan oleh M. Solihin memiliki pengertian sebagai suatu proses perbaikan, pemeliharaan, pembangunan, pengembangan guna mengembalikan kondisi seseorang pada mental yang sehat.8
5
Juriana, Kesesuaian antara Konsep Diri Nyata dan Ideal dengan Kemampuan Manajemen Diri Pada Mahasiswa Pelaku Organisasi, Jurnal Psikologi, No. 9 tahun V, 2000, hlm. 69. 6 Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain. Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. (Konsep Diri Oleh Jacinta F. Rini Team e-psikologi Jakarta, 16 Mei 2002). http://kompas.com/kompas-cetak/0311/07/muda/673004 tanggal 11 Mei 2006. 7 Mengenai pengaruh konsep diri terhadap kesehatan mental dan perilaku seseorang dapat dilihat dalam R.B. Burns, Konsep Diri, Teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku, terj. Eddy, Jakarta, Arcan, 1993, hlm. 2 dst. 8 M. Solihin, Terapi Sufistik, Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm. 70-71.
106 Ditinjau dari pengertian tentang pembinaan mental dapat diketahui bahwa tujuan utama pembinaan mental adalah mengembalikan mental seseorang pada kondisi mental yang sehat. Pribadi normal dengan diiringi mental yang sehat akan memiliki integritas jasmaniah-rohaniah yang ideal. Keadaan pada kehidupan psikisnya stabil dan tidak ada konflik internal, suasana hatinya tenang, seimbang dan jasmaninya selalu sehat dan segar. Sehingga dengan hasil dari proses pembinaan mental tersebut seseorang akan kembali menemukan kepercayaan terhadap potensi-potensi dalam dirinya dan mampu menyeimbangkan sekaligus mempertemukan dengan idealisasi dirinya. Proses inilah yang nantinya akan mengembalikan seseorang pada penemuan konsep diri yang positif. Pada dasarnya, pembinaan mental yang dilakukan oleh Yayasan Setara Semarang tidak jauh dari tujuan mengembalikan kondisi mentalitas anak jalanan akibat dari keadaan dan realita hidup yang harus dialami dan dijalani oleh para anak jalanan. Bukan hal baru dan mungkin sudah menjadi pemahaman umum, di manapun tempat dan kapanpun waktunya, istilah anak jalanan selalu mengundang dan menimbulkan suatu persepsi buruk di kalangan masyarakat. Pelabelan sebagai sampah masyarakat_, kelompok yang tidak berguna_, hingga kelompok yang harus diusir dan diperlakukan layaknya hewan_ sudah menjadi kewajaran akibat pola hidup yang berkembang di kalangan anak jalanan itu sendiri. Kehidupan yang keras tentunya bukan dan tidak pernah menjadi pilihan para anak jalanan. Keriangan dan kegembiraan yang dinikmati oleh para anak di usia merekalah yang sebenarnya ada dalam benak mereka.9 Akan tetapi karena keadaan, mereka terpaksa dan bahkan ada juga yang dipaksa 9
Pendapat ini seperti diungkapkan oleh beberapa anak jalanan yang diwawancarai oleh penulis pada proses pencarian data.
107 untuk terjun dan menjadi anak jalanan. Rentang usia yang seharusnya identik dengan permainan dan belajar berganti dengan persaingan dalam mencari penghidupan. Tawa dan keceriaan yang seharusnya muncul pun berganti dengan rengekan penuh mengharap belas kasih orang lain. Belum lagi caci maki dan garukan dari aparat yang tidak layak menghiasi hari-harinya seakan menjadi simbol tak ada kasih sayang untuk mereka_. Hal inilah yang sebenarnya sedikit banyak menimbulkan dampak pada mentalitas dan perilaku para anak jalanan. Kegiatan-kegiatan pembinaan mental anak jalanan yang dilakukan oleh Yayasan Setara Semarang secara substansial terbagi ke dalam dua sub pokok yakni
penggalian
dan
pengembangan
potensi
anak
jalanan;
pembentukan dan penjagaan kesehatan jasmani dan rohani. Secara lebih detailnya, dua kelompok substansi pembinaan mental anak jalanan Yayasan Setara dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Penggalian dan Pengembangan Potensi/Kemampuan Potensi yang digali dan dikembangkan oleh Yayasan Setara Semarang tidak hanya potensi yang bermanfaat terhadap diri pribadi anak jalanan semata, namun juga menyangkut potensi yang berhubungan dengan masyarakat sekitar. Potensi yang bertendensi pada pembentukan pribadi tangguh anak jalanan berhubungan erat dengan kemampuan berpikir dan keahlian para anak jalanan. Pada proses penggalian kemampuan berpikir anak jalanan, Yayasan Setara Semarang menerapkan tiga metode yang memiliki hubungan yang saling mendukung. Pertama, sekolah non formal yang diselenggarakan dan dipusatkan di wilayah dampingan Gunung Brintik. Sekolah non formal yang diberi nama sesuai dengan lokasinya Serabi (Sekolah Rakyat Brintik) berfungsi layaknya sekolah formal meskipun dari segi pengajar dan kurikulum sangat kurang jika dibandingkan dengan sekolah formal. Melalui program sekolah non formal, para anak jalanan
108 dididik dan diajarkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan mata pelajaran di sekolah-sekolah formal dengan basic membaca, menulis, dan berhitung.
Kedua, problem solving (pemecahan masalah). Jika dilihat kegiatan ini seperti kuliah tidak resmi_ para anak jalanan. Sebab dalam kegiatan ini anak jalanan akan diberikan pengetahuan yang berkaitan dengan cara-cara menghadapi permasalahan yang timbul dari dan di lingkungan sekitar anak jalanan. Ruang lingkup pembahasan problem
solving meliputi permasalahan yang menyangkut kehidupan pribadi, penghidupan, dan keadaan sosial di seputar tempat tinggal maupun lokasi bekerja para anak jalanan.
Ketiga, kegiatan diskusi rutin anak jalanan. Kegiatan yang diselenggarakan setiap sekali dalam seminggu dengan mengambil tempat di masing-masing lokasi pendampingan ini merupakan tindak lanjut dari adanya sekolah non formal. Setelah mendapatkan dasar-dasar membaca dan menulis, pada forum diskusi para anak jalanan diajak untuk mengukur_ kemampuannya dalam mengungkapkan pendapat yang berkaitan dengan masalah pokok yang didiskusikan. Seringkali, jauh hari sebelum acara diskusi, seorang anak diharuskan untuk membaca buku yang telah ditentukan dan disediakan oleh Yayasan Setara Semarang. Hasil membaca_ tersebut kemudian akan menjadi senjata_ masing-masing anak dalam acara diskusi dengan pendamping sebagai titik netral pendapat. Tetapi terkadang diskusi berlangsung tanpa berpedoman pada buku bacaan melainkan pembelajaran anak jalanan terhadap kondisi yang sedang terjadi yang tentunya berkaitan dengan permasalahan di seputar anak jalanan. Sedangkan pada penggalian dan pengembangan kemampuan yang berhubungan dengan keahlian (skill) anak jalanan, paling tidak ada dua kegiatan yang mengarah kepada pembentukan skill tersebut, yaitu :
109
Pertama,
pelatihan
ketrampilan
kerja.
Melalui
pelatihan
ketrampilan kerja, para anak jalanan didorong untuk menggali dan memanfaatkan bakat dan minat yang ada dalam diri mereka. Pelatihan ketrampilan kerja yang diterapkan oleh Yayasan Setara Semarang lebih bersifat fleksibel dan tidak kaku. Fleksibilitas tersebut tampak pada adanya usaha pemenuhan kebutuhan pelatihan sesuai dengan bakat dan minat yang murni dari anak jalanan dan tidak berdasarkan pada unsur pemaksaan Yayasan Setara terhadap bakat dan minat yang harus digeluti oleh anak jalanan. Sifat yang fleksibel tersebut tentunya jauh lebih tepat dan akan memberikan hasil yang maksimal. Adanya sifat fleksibel akan memungkinkan seorang anak untuk lebih mengeksplorasi kemampuan ketrampilannya di hadapan pendamping tanpa rasa malu dan sungkan. Terlebih lagi, menurut beberapa ahli psikologi, pada perkembangan masa remaja awal, bakat dan minat seseorang mulai berkembang dan mengalami kemajuan yang signifikan daripada masa pra remaja.10 Selain memberikan sarana pelatihan, Yayasan Setara Semarang juga menjadi perantara sekaligus agen_ yang menyalurkan hasil kerja dari para anak jalanan. Uang dari hasil penjualan itu sendiri mutlak menjadi hak milik para anak jalanan tanpa mengalami perpotongan, karena biaya maupun akomodasi penjualan juga ditanggung oleh Yayasan Setara Semarang.
10 Masalah yang berkaitan dengan perkembangan individual remaja yang berhubungan dengan perubahan kemampuan remaja dapat dilihat pada beberapa buku yaitu Sri Rumini dan Siti Sundari, Perkembangan Anak dan Remaja Buku Pegangan Kuliah, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004); Abdul Aziz el-Qudsy, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/Mental, terj. Zakiah Daradjat, Jakarta, Bulan Bintang, 1974; F.J. Monks dkk., Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, terj. Siti Rahayu H, Yogyakarta, Gajahmada University Press, 1999; Andi Mappiare, Psikologi Remaja, Surabaya, Usaha Nasional, 1982; Winarno Surakhmad, Psikologi Pemuda Sebuah Pengantar dalam Perkembangan Pribadi dan Interaksi Sosialnya, Bandung, Jemmars, 1980; Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan), terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Jakarta, Erlangga, 1999.
110
Kedua,
pelatihan
ketrampilan
bersosialisasi.
Permasalahan-
permasalahan yang berkaitan dengan penyesuaian diri serta tanggap lingkungan menjadi dasar utama pelatihan ini. Materi-materi yang disampaikan dalam pelatihan ini meliputi adab berpakaian sopan, bertingkah laku dengan orang sekitar, serta respon positif terhadap lingkungan sekitar. Usaha-usaha Yayasan Setara Semarang dalam memberikan pelatihan ketrampilan sosial tidak terbatas pada lingkup teori tetapi juga memberikan pendidikan tersebut secara praktikum. Pada tingkatan dasar, untuk membuka wacana tentang lingkungan sosial, di kalangan para anak jalanan setelah menerima teori-teori tentang lingkungan sosial dibentuk kelompok-kelompok tersendiri. Kelompokkelompok yang dibentuk tersebut dibagi ke dalam dua jenis kelompok, yakni kelompok belajar dan kelompok kerja. Pada tingkatan selanjutnya, setelah anak jalanan cukup menguasai materi ketrampilan bersosialisasi, Yayasan Setara Semarang menerjunkan dan melibatkan para anak jalanan ke dalam kegiatan-kegiatan sosial yang secara langsung bersinggungan dengan masyarakat di luar komunitas anak jalanan. Keterlibatan anak jalanan dalam kelompok-kelompok belajar maupun bekerja akan memiliki dampak yang positif dalam perkembangan anak jalanan yang berada pada masa remaja awal. Elizabeth B. Hurlock menjelaskan bahwa anak yang berada pada rentang usia 11-15 tahun yang sering juga disebut dalam masa pubertas cenderung ingin menyendiri, kehilangan kepercayaan diri, dan tidak mau bekerjasama.11 Dengan adanya pelatihan kelompok, tentunya anak jalanan akan terhindar dari keinginan menyendiri dan tidak mau bekerjasama. Terlebih pada kelompok kerja, mereka akan lebih mengutamakan kerjasama karena akan lebih 11
Disebut pubertas karena masa ini merupakan masa seseorang mengalami pematangan alat-alat reproduksi (seksualitas) yang dalam bahasa latin dikenal dengan istilah pubertas (usia kedewasaan). Lih. Elizabeth B. Hurlock, Ibid., hlm. 184. sedangkan mengenai masalah yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perubahan pada remaja dalam masa pubertas dapat dilihat pada halaman 188-192 dalam buku yang sama.
111 memudahkan dalam mencapai tujuan maupun hasil. Di samping hasil yang maksimal, dengan rasa kebersamaan dalam kelompok tersebut akan menjadikan hubungan simbiosis mutualisme antar anak jalanan serta adanya kemampuan yang berbeda bidang dalam satu kelompok akan memupuk rasa percaya diri anak jalanan sekaligus juga rasa kebergunaan mereka dalam kelompok. Selain faktor kerjasama, menurut Abu Ahmadi dalam sebuah kelompok juga terdapat dua hubungan yang dapat terjadi yakni adanya kompetisi (competation) dan opposition (pertentangan) antar anggota kelompok. Kompetisi akan terjadi manakala para anggota kelompok maupun antara sesama kelompok memiliki kesadaran akan kebersamaan dan kesamaan nasib. Sehingga mereka akan lebih menghormati kelompok lain dengan jalan saling berkompetisi secara baik sesuai dengan kaidah tanpa pernah ada unsur ingin menjatuhkan dan menang sendiri. Sebaliknya, jika rasa kebersamaan sebagai satu bagian dalam kesamaan nasib dan tujuan tidak dimiliki, maka pertentanganlah yang akan terjadi.12 Jika melihat dari teknik pembentukan dan perlakuan terhadap proses belajar dan bekerja maupun pengolahan hasil kerja, seluruh hal yang dilaksanakan oleh Yayasan Setara cenderung mengarah pada terciptanya ajang kompetisi antar anak jalanan. Contoh kecil yang mendorong terjadinya kompetisi adalah pada proses pemberian hasil penjualan hasil karya anak jalanan. Pemberian hasil penjualan secara penuh menurut penulis memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mendorong dan memotivasi anak jalanan untuk tetap mengikuti pelatihan dan terus mengembangkan dan memajukan hasil karya sesuai dengan bakat dan minatnya. Keuntungan yang didapat dari pola kelompok belajar adalah anak lebih dapat menerima perbedaan pendapat di antara mereka. Menurut Sri 12
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, hlm. 100-101.
112 Rumini dan Siti Sundari13 seorang anak pada masa remaja awal cenderung memiliki potensi untuk menjadi orang yang merasa paling benar dan tidak jarang pula demi mempertahankan kebenaran pendapatnya mereka bisa dan terbiasa melakukan permusuhan terbuka dengan orang di sekitarnya. Tetapi dengan adanya kelompok belajar tersebut cenderung akan membuat anak terlatih dengan perbedaan dan sikap menghargai dan menerima pendapat orang lain. Dengan memudarnya perasaan menang sendiri, secara tidak langsung juga akan berdampak pada tingkat emosi dari anak jalanan.14 Sedangkan pada tingkat lanjutan, setelah pembelajaran melalui kelompok kerja dan belajar, para anak jalanan diperkenalkan dengan metode pembelajaran yang bersinggungan dengan masyarakat di luar komunitas anak jalanan. Mereka dilibatkan dalam beberapa kegiatan, baik yang diselenggarakan oleh Yayasan Setara Semarang maupun yang diselenggarakan oleh pihak selain Yayasan Setara. Bentuk kegiatan tersebut diantaranya adalah bhakti sosial maupun ikut serta dalam kegiatan-kegiatan masyarakat seperti peringatan hari besar nasional dan kerja bhakti lingkungan. Kegiatan praktikum tersebut menurut penulis memiliki dua manfaat bagi perkembangan dan status_ anak jalanan. Satu sisi anak jalanan akan lebih percaya diri bahwa mereka mampu memiliki rasa kebergunaan bagi orang lain di luar komunitasnya dan di sisi lain kegiatan tersebut akan sedikit banyak mempengaruhi cara pandang masyarakat tentang keberadaan anak jalanan. 2. Membentuk dan menjaga mental yang sehat 13
Sri Rumini dan Siti Sundari, op. cit., hlm. 69. Salah satu permasalahan yang timbul pada masa remaja adalah emosi yang meninggi. Lih. Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 192. Oleh karenanya dengan adanya belajar secara kelompok akan berpengaruh pada penerimaan seseorang terhadap kritik, ide, dan saran dari orang lain sehingga nantinya mereka akan mampu menerima segala bentuk kritik, saran, dan ide tersebut dengan lapang dada dan penuh pengertian. 14
113 Kondisi kehidupan jalanan yang keras, garukan (istilah untuk menyebutkan penertiban), serta pelabelan negatif dari masyarakat terhadap anak jalanan telah mempengaruhi keadaan mental anak jalanan. Perasaan sebagai kelompok yang tidak disenangi dan termarjinalkan oleh lingkungan nampaknya dapat disebut sebagai dampak kompleksitas keadaan tersebut. Lebih jauh lagi, para anak jalanan akan semakin merasa frustasi – yang dikarenakan kasih sayang dan teman dewasa yang mereka butuhkan berganti dengan caci maki dan label negatif – yang akhirnya malah akan menjerumuskan mereka pada hal-hal yang negatif. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, Yayasan Setara Semarang mengadakan beberapa kegiatan yang bertujuan membangun kembali dan menjaga kesehatan mental anak jalanan yang meliputi kegiatan konseling, perlindungan hukum dan hak anak, keteladanan pendamping, dan pelayanan kesehatan fisik. Ketiga kegiatan pertama di atas, menurut penulis sangat relevan dalam membangun dan menjaga kesehatan mental anak. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya sosok anak jalanan telah lama merindukan sosok atau figur yang mau dan mampu menjadi pusat keluh kesah sekaligus bisa memberikan rasa nyaman. Melalui konseling, seorang konselor akan mengetahui secara mendalam dan detail pribadi klien yang sedang dibimbingnya. Terlebih kedekatan emosional yang telah terbangun antara pendamping dan anak jalanan semakin akan mempermudah proses bertutur anak jalanan secara jujur dan terbuka. Proses konseling yang diterapkan Yayasan Setara Semarang bersifat kontinuitas dan baru akan berhenti manakala anak merasa cukup atau telah mampu menyelesaikan masalah. Pelaksanaan konseling bagi anak jalanan juga diselingi dan seiring dengan kegiatan pemberian materi tentang problem solving. Sehingga nantinya, tanpa melakukan konsultasi atau meminta saran dari pendamping, anak jalanan diharapkan mampu
114 menyelesaikan masalah mereka setelah memperoleh wacana tentang kemampuan memecahkan masalah. Mentalitas anak juga sangat tergantung pada kenyamanan yang dirasakan oleh anak. Oleh karenanya pada sisi ini Yayasan Setara Semarang juga memposisikan dirinya sebagai pihak yang akan menjamin rasa nyaman dan aman bagi anak jalanan. Realisasi jaminan tersebut adalah adanya usaha-usaha yang dilaksanakan seperti memberikan perlindungan dari pelecehan seksual, hukum hingga pembelajaran dan sosialisasi tentang hak-hak yang harus diterima anak. Memang perasaan nyaman dan aman sangat berpengaruh pada keadaan mental seseorang. Jangankan anak-anak atau remaja, seseorang yang telah dewasa pun jika terlalu sering mendapat teror dan ancaman akan membuat mental mereka jatuh dan akan mengakibatkan mereka selalu dibayang-bayangi oleh perasaan takut di manapun dan kapanpun mereka berada. Apalagi dalam kasus ini adalah anak jalanan yang belum memiliki kemampuan layaknya orang dewasa. Oleh karenanya seorang pendamping harus senantiasa berusaha untuk dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak jalanan. Perasaan aman dan nyaman sebagai salah satu faktor pendukung kesehatan mental ini juga ditegaskan oleh Yusak Burhanuddin yang menyebutkan bahwa salah satu unsur dari kesehatan mental adalah adanya rasa nyaman dan aman kapan dan dimanapun klien berada, terlebih ketika berada di dekat seorang konselor.15 Peran seorang pendamping dalam rehabilitasi mental ini pada dasarnya sangat vital. Mereka harus mampu menjadi apa saja ketika dibutuhkan oleh para anak jalanan dan kapan saja. Keikhlasan dan kelembutan kasih sayang pendamping serta kegigihan mereka dalam menjaga dan melindungi anak jalanan menurut penulis akan menjadi teladan tersendiri bagi anak jalanan. 15
Yusak Burhanuddin, Kesehatan Mental, Bandung, Pustaka Setia, 1999, hlm. 13-15.
115 Penerimaan terhadap figur yang didambakan tersebut juga tidak terlepas dari salah satu ciri khas remaja yang cenderung akan melakukan imitasi (proses meniru) segala tindakan figur yang didambakan. Penilaian tersebut berkaitan dengan pola tingkah laku pendamping dalam melakukan atau memberikan contoh perbuatan kepada anak didik. Sehingga sedikit saja pendamping membuat kesalahan yang berkaitan dengan tingkah laku, maka hal itu akan berdampak pula pada kepercayaan anak jalanan terhadap pendamping. Hal terparah dari efek ini adalah runtuhnya seluruh bangunan mental yang telah dibangun selama masa pendampingan. Selain membangun mental melalui pendekatan psikis, Yayasan Setara Semarang juga melakukan rehabilitasi mental dengan menggunakan pendekatan fsik. Hal itu terlihat dari usaha pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Yayasan Setara. Pelayanan kesehatan di sini tidak hanya terbatas pada masalah pengobatan dan perawatan kesehatan semata, namun juga dilakukan dalam bentuk penyuluhan kesehatan baik melalui seminar maupun pemutaran film-film tentang kesehatan. Metode pelayanan kesehatan fisik sekilas memang tidak ada kaitannya dengan kondisi pembangunan kesehatan mental. Akan tetapi jika dikaji dari sudut pandang unsur konsep diri, akan tampak hubungan yang selaras antara kesehatan fisik dengan keseharan mental. Sebab salah satu aspek konsep diri adalah bagaimana seseorang atau orang lain melakukan pencitraan terhadap kondisi fisik seseorang (citra diri).
16
Apabila seseorang memiliki kondisi fisik yang sehat atau bagus, maka diapun akan lebih percaya diri ketika tampil atau harus berhadapan dengan orang lain. Sebaliknya jika seseorang memiliki kondisi tubuh yang tidak sehat (kelainan) karena penyakit atau lainnya, termasuk warna kulit maupun struktur indrawi maka dia akan merasa minder ketika harus berhadapan dengan orang lain. Kondisi semacam inilah yang disebut
16
R.B. Burns, op. cit., hlm. 189.
116 dengan mentalitas yang kurang sehat atau lemah akibat ketidakpercayaan diri. Dengan adanya program pelayanan kesehatan maka pengetahuan anak jalanan berkaitan dengan usaha menjaga dan merawat tubuh mereka akan lebih terjamin. Di samping itu, penyuluhan kesehatan akan lebih menguatkan mereka ketika mereka berada pada kondisi fisik yang kurang sehat . Kondisi mentalitas yang sehat memang sangat diperlukan oleh anak jalanan untuk membentuk pribadi yang lebih siap dan matang dalam menerima, menghadapi, dan merespon kembali segala hal yang berkaitan dengan kehidupannya. Terbentuknya mental yang sehat secara tidak langsung juga akan membentuk jiwa yang sehat yang nantinya akan berdampak pula pada setiap dan seluruh pemikiran, tingkah laku, dan perbuatan anak jalanan. Keterkaitan antara jiwa (hati) dengan pikiran dan perbuatan fisik manusia tersebut juga telah dijelaskan dan menjadi salah satu nilai ajaran Islam sebagaimana terungkap dalam salah satu hadits Nabi Muhammad Saw berikut ini,
ﺪ ﺴ ﺕ ﹶﻓ ﺪ ﺴ ﻭِﺇﺫﹶﺍ ﹶﻓ ﻪ ﹸﻛﱠﻠﺴﺪ ﺠ ﺢ ﺍﹾﻟ ﺻﹶﻠ ﺖ ﺤ ﺻﹶﻠ ﻐ ﹰﺔ ِﺇﺫﹶﺍ ﻀ ﺴ ِﺪ ﻣ ﺠ ﹶﺍ ﹶﻻ ِﺇﻥﱠ ﻓِﻰ ﺍﹾﻟ (ﺐ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻲ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ﹾﻠ ﻭ ِﻫ ﻪ ﹶﺃ ﹶﻻ ﹸﻛﱠﻠﺴﺪ ﺠ ﺍﹾﻟ Ingatlah, sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging, bila benda itu bersih maka bersihlah seluruh tubuh dan bila benda itu rusak (kotor) maka rusaklah (kotorlah) seluruh tubuh. Itulah yang disebut hati_ (H.R. Bukhari).17
Pemusatan pembinaan mental pada penggalian potensi dan mentalitas anak jalanan yang diterapkan dan dilaksanakan oleh Yayasan Setara menurut penulis memang sangat relevan dengan kondisi anak jalanan, baik sebagai
17
Imam al-Bukhari, Shahih Bukhari, Semarang, Toha Putra, Juz I, t.th., hlm. 19.
117 komunitas yang sangat kurang serta jauh dari kasih sayang dan sebagai sosok yang berada pada masa remaja awal. Sebagai sosok remaja, satu sisi para anak jalanan cenderung untuk sulit menerima lingkungan sekitarnya dan sangat mengharapkan untuk dimengerti oleh lingkungannya sebagai dampak dari tingginya rasa ke”aku”annya. 18 Belum lagi sederet permasalahan yang timbul dari lingkungan sekitar terkait dengan status sebagai anak jalanan seolah semakin membawa anak jalanan usia 12-15 tahun ke dalam masalah yang kompleks. Akan tetapi di sisi lain, mereka juga memiliki kemampuan secara intelektualitas serta mentalitas yang sedang berkembang menuju kesempurnaan yang apabila tidak mendapat bimbingan akan terbuang sia-sia.19 Adanya pembinaan mental yang berbasis pada potensi dan mentalitas akan banyak membantu anak jalanan dalam memberikan respon terhadap lingkungan sekitar dengan kemampuan menerima dan menganalisa masalah sekaligus menepiskan segala asumsi negatif yang selama ini melekat pada status mereka sebagai anak jalanan dengan berbagai ketrampilan yang dimilikinya. Selain itu, dengan tergalinya potensi diri positif dan terbentuknya mental yang sehat akan memudahkan anak jalanan untuk memposisikan dirinya di dalam lingkungan sekitarnya. Meskipun terpusat pada pembinaan mental anak jalanan, proses tersebut tidak hanya terfokus pada anak jalanan semata sebagai obyek yang harus dirubah. Mereka (Yayasan Setara) juga mendukung proses rehabilitasi dengan menggunakan dan menerapkan pendekatan lingkungan, baik dalam tingkat keluarga maupun masyarakat di luar komunitas anak jalanan. Menurut penulis, pendekatan tersebut semakin menegaskan bahwasanya Yayasan Setara tidak hanya ingin menggali potensi anak jalanan semata tetapi juga siap 18
Lih. Mukhtar dkk., Konsep Diri Remaja Menuju Pribadi Mandiri, Jakarta, Rakasta Samasta, 2003, hlm. 42. 19 Sri Rumini dan Siti Sundari, op. cit., hlm. 70; Lih. juga Andi Mappiare, op. cit., hlm. 33-34.
118 mengembalikan mereka kepada lingkungan masyarakat. Maksud dari mengembalikan anak jalanan pada lingkungan di sini memiliki dua makna.
Pertama, mengembalikan anak jalanan pada lingkungan keluarga. Jika mengacu pada gerak sosial anak, sebagaimana dikelompokkan oleh F.J. Monks ke dalam dua gerak, yang berlawanan yakni meninggalkan keluarga dan dekat dengan teman sebaya, maka keterlibatan keluarga dalam diskusi forum orang tua menurut penulis akan memiliki nilai krusial bagi perkembangan mentalitas anak jalanan. Kondisi perkembangan anak jalanan ketika berada di lingkungan keluarga akan dapat dipantau sehingga akan dapat dirumuskan formula yang tepat agar anak dapat menjadikan orang tua mereka sebagai sosok pelindung sekaligus figur imitasi dalam hidupnya. Kedua, mengembalikan anak jalanan kepada lingkungan masyarakat dalam arti setidaknya masyarakat sekitar mampu merubah cara pandang mereka terhadap status dan keberadaan anak jalanan. Sehingga nantinya juga akan mempengaruhi sikap sosial sekaligus mentalitas anak jalanan terhadap lingkungan sekitarnya. Kondisi atau penerimaan lingkungan terhadap keberadaan anak jalanan memang menjadi suatu hal yang teramat penting. Tanpa adanya penerimaan yang positif, selamanya anak jalanan juga tidak akan pernah bisa merubah dan berubah sikap sosialnya. Sebab perubahan sikap sosial manusia tidak hanya tergantung pada sisi pribadi manusia saja, namun juga dipengaruhi oleh sisi (lingkungan) sosial manusia. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bimo Walgito yang menyebutkan dua unsur yang menjadi faktor perubahan sikap sosial seseorang, yakni faktor internal individu dan faktor eksternal individu. 20 Pendekatan intern dan ekstern yang diterapkan oleh Yayasan Setara secara keseluruhan sangat relevan dengan pengembalian mentalitas anak jalanan sebagai sarana menuju dan mewujudkan konsep diri positif bagi anak jalanan. Pendekatan intern akan lebih bisa memotivasi anak jalanan sekaligus 20
Secara lebih jelas dapat diakses dalam Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM, 1987, hlm. 55-dst.
119 menegaskan
bahwasanya
mereka
sebenarnya
memiliki
potensi
dan
kemampuan layaknya anak lain yang tidak berada di jalanan. Proses tersebut akan berdampak pada adanya kepercayaan diri kembali anak terhadap diri real mereka. Pendekatan ini juga akan semakin melatih mentalitas anak jalanan dalam menerima, menganalisa, dan memutuskan langkah dalam menghadapi permasalahan karena kondisi mentalitasnya telah terbangun kembali. Sedangkan
pendekatan
ekstern
lebih
bertujuan
pada
adanya
penerimaan positif dari lingkungan sekitarnya terhadap keberadaan anak jalanan sebagai anak yang memiliki hak yang sama dengan anak yang sebaya yang tidak berada di jalanan. Dengan adanya penerimaan yang positif, akan mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap keberadaan anak jalanan, tentunya dengan berbagai kemampuan dan potensi serta mentalitas yang sehat yang telah terbangun kembali pada diri anak jalanan. Sehingga nantinya anak jalanan tidak akan lagi dipandang sebagai sesuatu yang harus disingkirkan atau dihilangkan secara tak manusiawi melainkan didekati dengan penuh kasih sayang layaknya menyayangi anak sendiri. Terlebih bagi umat Islam, pendidikan dan pembinaan terhadap generasi muda, termasuk di dalamnya adalah anak jalanan, memang harus dilaksanakan demi keberlangsungan dan eksistensi nilai ajaran Islam. Logisnya, tanpa pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh masyarakat Islam terhadap generasi muda Islam, maka secara tidak langsung akan berdampak negatif bagi Islam itu sendiri. Rasulullah bersabda, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Nashih ‘Ulwan21,
ﻢ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﻕ ﻭ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻫ ﻮ ﺑﻭﹶﺃ ِّﺩ ﺮ ﻴﺨ ﺍﹾﻟﻴﻜﹸﻢﻫِﻠ ﻭﹶﺃ ﻢ ﺩﻛﹸ ﻭ ﹶﻻ ﻮﺍ ﹶﺃﻋِّﻠﻤ (ﻣﻨﺼﻮﺭ Ajarlah anak-anak dan keluargamu kebaikan dan didiklah mereka (H.R. Abdur Rozaq dan Sa’id bin Manshur) 21
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali, Semarang, asy-Syifa’, Jilid II, t.th., hlm. 44.
120
Pada akhirnya keselarasan hasil antara pendekatan intern dan ekstern tersebut di atas akan dapat mengantarkan dan menjadikan anak jalanan sebagai pribadi yang memiliki konsep diri yang positif. Pada satu sisi mereka semakin yakin dengan kemampuan yang melekat pada dirinya yang juga didukung dengan kondisi fisik dan mental yang sehat. Di sisi lain, penerimaan (cara pandang) positif masyarakat terhadap keberadaan anak jalanan akan semakin meningkatkan rasa percaya diri anak jalanan dalam melakukan sikap sosial yang nantinya akan berdampak positif pula pada konsep diri sosial anak yang dapat memunculkan sikap memposisikan diri anak jalanan di tengah lingkungan masyarakat.