BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Suatu negara mempunyai konstitusi yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi tertinggi yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut merupakan dasar tertinggi mengenai penguasaan dan pengelolaan tanah dan dijadikan acuan dalam pengelolaan kawasan kehutanan di Indonesia. Di Pulau Jawa dan Madura terdapat Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berwenang untuk mengelola lahan seluas 2.446.907,27 Ha kawasan untuk dijadikan kawasan kehutanan. Unit kerja di wilayah Perum Perhutani dulunya dibagi 3 yaitu Divisi Regional Jawa Tengah, Divisi Regional Jawa Timur dan Divisi Regional Jawa Barat dan Banten. Setelah transformasi yang dilakukan aktif pada tahun 2010 Perhutani kini membagi unit organisasinya dalam divisi-divisi diantaranya: Divisi Bisnis (Divisi Komersial Kayu, Divisi Industri Kayu, Divisi Gondorukem Terpentin, Derivat dan Minyak Kayu Putih, Divisi Wisata dan Agribisnis, Divisi Pemanfaatan dan Pengelolaan Aset), serta Divisi Regional (Divisi Regional Jawa Barat dan Banten, Divisi Regional Jawa Timur, Divisi Regional Jawa Tengah) masing-masing divisi regional dipimpin oleh seorang kepala divisi (Perum Perhutani, 2014).
Dasar pembentukan Perum Perhutani tercantum dalam PP No. 72 Tahun 2010 yaitu tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Pada Pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perusahaan menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi, bagi perusahaan dan masyarakat, sejalan dengan tujuan nasional dan daerah. Kemudian, Pasal 7 ayat 6 menyebutkan bahwa pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, perusahaan wajib melibatkan masyarakat sekitar hutan dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Pelibatan masyarakat ini yaitu memberikan ruang kepada masyarakat sebagai mitra kerja dan memberikan ruang kepada masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan sebagai bentuk manfaat hutan secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Masyarakat telah sejak lama memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hasil hutan mulai dari lahan hutan, hasil hutan kayu, hasil hutan non-kayu, dan jasa lingkungan. Pada tahun 1960-an mulai terjadi proses kemerosotan tegakan yang ditandai dengan kegagalan pembuatan tanaman dan pembibrikan hutan dan lahan. Menurut Simon (1990), pada saat itu Pulau Jawa masih melintasi titik keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan minimum lahan pertanian yang dibutuhkan oleh keluarga petani. Seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk intensitas ganguan terhadap hutan juga semakin meningkat. Menurut Awang (2000), sekitar 2,9 juta Ha luas daratan Pulau Jawa berupa hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa hutan yang dihuni 3 juta jiwa. Kondisi tersebut menyebabkan kepemilihan lahan petani desa hutan sempit bahkan tidak memiliki lahan.
Program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) merupakan salah satu terobosan yang dimunculkan Perhutani dalam rangka memberi ruang bagi masyarakat desa hutan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Progam PHBM ini termuat dalam SK Ketua Dewan Pengawas PT. Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001, pedoman pelaksanaan PHBM ini beberapa kali dilakukan pembaharuan dan pembaharuan terakhir dimuat pada S.K No. 436/Kpts/Dir/2011. Di dalam pelaksanaan PHBM, hak dan tanggung jawab pengelolaan hutan tidak dianggap sebagai milik mutlak Perum Perhutani tetapi juga masyarakat, swasta, dan pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya. Tumpangsari merupakan salah satu bentuk dari PHBM yang memberikan ruang terhadap masyarakat untuk melakukan aktivitas menanam tanaman pertanian di lahan Perhutani. Masyarakat yang diberikan hak untuk melakukan tumpangsari mempunyai kewajiban untuk ikut serta dalam menjaga keamanan hutan. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dibentuk sebagai wadah kelembagaan para petani yang melakukan aktivitas di dalam hutan dan memiliki peran serta dalam pengelolaan hutan. Dengan adanya aktivitas tersebut, Perhutani membantu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang pertanian kehutanan. Sharing bagi hasil merupakan salah satu yang paling ditonjolkan pada program PHBM. Namun, sayangnya hingga saat ini bagi hasil PHBM masih belum dikatakan berhasil di semua kawasan KPH Perum Perhutani. Permasalahan muncul ketika nilai sharing yang diterima oleh masyarakat berdasarkan perjanjian belum memberikan hasil yang memuaskan. Secara umum pengelolaan hutan Perhutani masih berbasis timber management dengan tanaman pokok jenis jati, pinus, mahoni yang ditentukan Perhutani. Bagi hasil kayu dari tanaman pokok yang diterima masyarakat sebesar 25% dan untuk
Perhutani sebesar 75 % (Affianto,et.al, 2005). Porsi tersebut dapat dibilang cukup besar apabila keberhasilan tanaman mencapai 90%. Namun pada kenyataan di lapangan, kawasan hutan rentan akan kerusakan seperti pencurian kayu dan akan berpengaruh terhadap rendahnya hasil kayu. Pencurian kayu, perambahan hutan adalah contoh dari masalah sosial yang sering terjadi di kawasan hutan. Kawasan hutan di KPH Pati memiliki kerawanan kerusakan hutan yang cukup tinggi akibat permasalahan sosial. Pertumbuhan penduduk pada tahun 2014 sebesar 0,62% dengan mata pencaharian mayoritas bidang pertanian (Statistik Pati, 2014). Jumlah penduduk yang kian bertambah, kebutuhan akan lahan pertanian, jumlah pengangguran merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan hutan di KPH Pati. Salah satu bagian hutan di KPH Pati yang mengalami kerusakan cukup tinggi ialah bagian hutan Ngarengan. Bagian hutan Ngarengan dulunya mempunyai potensi hutan yang baik. Seiring berjalannya waktu, terutama setelah era reformasi tahun 1998-1998 potensi hutan di bagian hutan Ngarengan kian menurun hingga sekarang. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan terhadap kawasan hutan tersebut agar mampu mencapai hutan normal kembali.
1.2
Rumusan Masalah Ketidakberhasilan pengelolaan hutan dikarenakan adanya aktivitas perusakan hutan. Pencurian, pembibrikan, penambangan liar merupakan beberapa penyebab kerusakan hutan. Sebagian besar perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat yang karena adanya permasalah sosial seperti kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan pengetahuan akan pentingnya fungsi hutan. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dirumuskan untuk memberikan ruang kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kelola hutan dan membantu masyarakat untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. PHBM ini sebenarnya mampu memberikan win-win solution terhadap kedua belah pihak (Perhutani – masyarakat) apabila dilakukan dengan benar. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang identik dengan bagi hasilnya dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat apabila bagi hasil yang dibagikan memuaskan. Nilai sharing pastinya dipengaruhi oleh kondisi tegakan hutan. Bagian Hutan Ngarengan di KPH Pati memiliki kondisi tegakan hutan yang tidak normal yang disebabkan terjadi era reformasi dan diperparah masalah sosial yang ada di masyarakat sekitar hutan. Kondisi kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan bagian hutan Ngarengan belum merata, sebagian masyarakat mengandalkan hasil hutan untuk menambah pendapatan. Kemudian pertanyaan penelitian yang diharapkan mampu dijawab oleh penelitian ini adalah: (1) Apa saja gangguan yang mengakibatkan kerusakan hutan di BH Ngarengan? (2) Bagaimana solusi yang diperlukan untuk membenahi hutan di Bagian Hutan Ngarengan ?.
1.3
Tujuan Penelitian 1. Menganalisis gangguan keamanan hutan di bagian hutan Ngarengan. 2. Merancang pengaturan hasil hutan menggunakan simulasi Monte Carlo di bagian hutan Ngarengan. 3. Merancang strategi pembenahan hutan menggunakan metode Force Field Analysis di bagian hutan Ngarengan.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai: 1. Masukan dan bahan pertimbangan bagi pihak KPH Pati dalam menentukan keputusan pengelolaan hutan di bagian hutan Ngarengan pada khususnya dan KPH Pati pada umumnya. 2. Masukan bagi pihak-pihak lain yang berkaitan dengan pengelolaan hutan 3. Memberikan informasi yang berguna bagi penelitian sejenis