BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Penelitian disertasi ini berjudul “KONSEP KEPASTIAN HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”. Ada beberapa pemikiran terkait dengan penelitian ini, yaitu: Pertama, istilah “pemerintahan” dalam hal ini menekankan pada fungsi atau urusan penyelenggaraan negara. Hal ini sesuai dengan pemikiran teoritis dari Hans Kelsen1 yang menekankan kekuasaan negara pada 2 fungsi yakni legislasi dan eksekusi. Berdasarkan pemikiran ini maka pembentukan undangundang
dan
peraturan
daerah
tidak
dapat
dilepaskan
dalam
penyelenggaraan urusan “Pemerintahan”. Argumentasi tersebut diperkuat bila melihat Bab III Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan Undang-Undang 1
Lihat, Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law and State, Harvard University Press, h.255-256: Legislation (legis latio of Roman Law) is the creation of laws (leges). If we speak of “execution” we must ask what is executed. There is no other answer but the statement that it is the general norms, the constitution and the laws created by the legislative power, which are executed. Execution of laws, however, is also the function of so-called judicial power. This power is not distinguishable from the so-called “executive” power by the fact that only the organs of the latter “execute” norms. In this respect, the function of both is really the same. By the executive well as by the judicial power, general legal norms are executed; the difference is merely that, in the one case, it is courts in the other, so-called “executive” or administrative organs, to which the execution of general norms is entrusted. (Legislasi (legis Latio Hukum Romawi) adalah pembentukan hukum. Jika kita berbicara tentang "eksekusi" kita harus bertanya apa yang dieksekusi (dilaksanakan). Tidak ada jawaban lain selain penerapan norma-norma umum, konstitusi dan undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif, yang dieksekusi. Pelaksanaan undang-undang, terkait juga dengan fungsi yang disebut sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan ini tidak dibedakan dari apa yang disebut kekuasaan "eksekutif" oleh fakta bahwa hanya organ yang terakhir "mengeksekusi" norma. Dalam hal ini, fungsi keduanya benar-benar sama. Oleh eksekutif maupun oleh kekuasaan kehakiman, norma hukum umum dijalankan; perbedaannya hanyalah bahwa, dalam satu kasus, itu adalah pengadilan di organ lain, yang disebut "eksekutif" atau administratif, dimana pelaksanaan norma-norma umum dipercayakan.)
1
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.2 Berdasarkan argumentasi tersebut, istilah “Pemerintahan” disini juga bersentuhan dengan pembentukan undang-undang dan peraturan daerah, sebagai dasar tindakan hukum dalam penyelenggaraan tugas pemerintah (penerapannya). Kedua, judul ini menampakkan dengan jelas adanya kaitan antara penyelenggaraan pemerintahan dengan kepastian hukum. Hal tersebut bila mengedepankan asas legalitas sebagai salah satu unsur dalam konsep negara hukum “Rechtstaat”, yang menekankan penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ketiga, adanya anggapan bahwa kepastian hukum itu seringkali bertentangan dengan rasa keadilan. Hal tersebut, memunculkan perdebatan ketika banyaknya peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar rasa keadilan. Keempat, kepastian merupakan salah satu kajian aksiologi hukum dalam lapisan filsafat hukum yang harus diaktualisasikan melalui peraturan perundangundangan. Kelima, kepastian hukum merupakan elemen penting dalam kajian utama politik hukum3 yakni pembentukan peraturan perundang-undangan (legislasi) yang
2
Bab III Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang berjudul “Kekuasaan Pemerintahan Negara” di dalamnya terdapat beberapa ketentuan yang termasuk kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang. Selain hal tersebut, dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membedakan antara Pemerintah dan Pemerintahan. “Pemerintah” menekankan pada organ pelaksana (eksekutif) sedangkan “Pemerintahan” mendeskripsikan pada penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. 3 Padmo Wahyono mengartikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Ia pun menganggap bahwa masalah politik
2
merupakan telaah ilmu perundang-undangan dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan “Legislative Drafting” Keenam, dari perspektif hukum tata negara kajian ini erat kaitannya dengan pembentukan ius constitutum yang merupakan bagian penting dari politik hukum negara Indonesia, dalam rangka mewujudkan good governance melalui clean government. Ketujuh, peraturan perundang-undangan dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam ruang lingkup undang-undang, peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota yang menekankan pada kajian atau telaah kepastian hukum sesuai Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD NRI 1945). Isi ketentuan ini sebagai berikut “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil4 serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
hukum ialah mengenai nilai-nilai, penentuannya, pengembangannya dan pemberian bentuk hukumnya. (lihat Padmo Wahyono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, h. 160) 4 Penggunaan konsep “kepastian hukum yang adil”, dapat dikatakan bersumber dari Pasal 7 dan Pasal 8 Piagam Hak Asasi Manusia sebagaimana diratifikasi dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 Tentang HAK ASASI MANUSIA (Meskipun TAP MPR ini sudah tidak berlaku, namun esensinya hanya menekankan pada aspek historis saja) Pasal 7 menentukan: “Setiap orang, berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil.” Sedangkan Pasal 8, menentukan : “Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum”. (Lihat Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2008, Buku VIII Warga Negara, Penduduk, Hak Asasi Manusia dan Agama, Penerbit Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, h. 53). Pada frasa “perlakuan hukum yang adil” di Pasal 7 tersirat makna akan hukum yang mengayomi, sedangkan Pasal 8 “kepastian hukum” menekankan pada kepastian norma. Mengingat kedudukan MPR saat itu adalah Lembaga Tertinggi dan pelaksana kedaulatan rakyat, maka eksistensi TAP MPR lebih kuat dari Undang-Undang dan hampir sederajat dengan Undang-Undang Dasar, jika membandingkan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, dengan sebelum amandemen.
3
Ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 ini memberikan makna, bahwa konstitusi5 memahami kepastian hukum dalam artian suatu peraturan perundangundangan yang menjamin perlakuan yang sama, melindungi, mengayomi, mengandung kejelasan norma dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran dalam ketentuan Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI 1945 serta esensi negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 I ayat (5) UUD NRI 1945. Secara harafiah dari rujukan ketentuan diatas, memiliki makna bahwa tidak boleh lagi ada aturan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, namun secara realita itu masih banyak terjadi. Karenanya, sangat dimungkinkan muncul anggapan
bahwa
pemerintah
dan
DPR
telah
melakukan
tindakan
yang
inkonstitusional. Pasal 28 I ayat (5) UUD NRI 1945, yang menyebutkan negara hukum demokratis6, berimplikasi pada hak asasi manusia harus dijamin dan diatur dalam
5
Istilah Konstitusi dalam tulisan ini sebagai kata lain dari Undang-Undang Dasar, dikarenakan penulis merujuk pada pendapat Struycken dan Grurys yang disebut penganut “paham modern”, yang memberi pemahaman konstitusi sama dengan “undang-undang dasar”. selain karena sebagai undang-undang tertinggi, juga memenuhi syarat-syarat, yakni (1) berbentuk tertulis dalam bentuk dokumen yang diterbitkan dalam “Lembaran Negara”; (2) isinya memuat atau mengatur “materi muatan” yang fundamental atau hal-hal yang pokok saja, seperti : hak asasi manusia, bentuk negara, fungsi-fungsi pemerintahan; dan (3) prosedur pembentukan serta perubahannya harus istimewa, serta tidak boleh sama dengan undang-undang “biasa” (lihat I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang, h. 37) 6 Istilah negara hukum demokratis sudah digunakan pada Konstitusi RIS dan UUDS 1950, Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS, menentukan : “Republik Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat jalah suatu negara-hukum jang demokrasi dan berbentuk federasi.” Pasal 1 ayat (1) UUDS, menentukan: Republik Indonesia jang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara-hukum jang demokratis dan berbentuk kesatuan. Padmo Wahyono mengatakan rumusan “negara hukum yang demokratis”, lazimnya digunakan di dunia barat dalam suatu sistem parlementer. Menurutnya inti rumusan tersebut adalah bahwa hukum yang berlaku dalam suatu negara hukum, haruslah yang
4
peraturan perundang-undangan. Akan tetapi secara empirik masih banyak undangundang atau peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi. Karenanya, eksistensi penelitian disertasi ini juga, sebagai upaya mencari suatu pemikiran guna menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik dalam artian menjamin kepastian hukum. Halaman website Mahkamah Konstitusi (MK), diuraikan putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang. Demikian rincian perkara dari Mahkamah Konstitusi ini, diuraikan dalam bentuk tabel dibawah ini: 7 TAHUN 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah
PUTUSAN MK YANG MENGABULKAN PERMOHONAN 0 11 10 8 4 10 17 21 30 22 26 159
terumus secara demokratis, yaitu memang dikehendaki oleh rakyat. Lihat Padmo Wahyono, 1986, op.cit, h. 8. Dari pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa konsep “demokratis” memiliki 2 arti positif dan negatif. Positifnya ketika penafsiran terhadap “kehendak rakyat” menekankan pada perlindungan HAM, sisi negatifnya ketika suatu aturan hanya menekankan keinginan masyarakat banyak, tanpa melihat dari perspektif HAM. Sehinga rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyatakan “kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, memberikan jastifikasi yuridis bahwa UUD menjadi pedoman dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut, sehingga penafsiran “demokratis” menjadi positif. Selain itu, patut dipahami konsep negara hukum demokratis sebagaimana dalam Pasal 28 I ayat (5) UUD NRI 1945, memiliki perbedaan makna dengan istilah yang digunakan dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, sebab lebih menekankan pada perlindungan dan penegakan HAM. Disamping itu, apabila dipandang dari konstruksi aturan, istilah negara hukum demokratis yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (5) Bab XA tentang HAM, tentunya berbeda pemaknaan dengan konsep pada Konstitusi RIS dan UUDS 1950 yang diatur dalam Pasal 1 serta Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945. 7 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU
5
Terdapat 159 putusan yang mengabulkan permohonan pemohon atau memmbatalkan ketentuan undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang yang dihasilkan eksekutif dan legislatif selama ini inskonstitusional sehingga memunculkan ruang bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan permohonan “judicial review8” ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini merupakan bentuk dari ketidakpastian hukum, yang dapat disebabkan dengan adanya konflik norma dan kekaburan norma. Kondisi tersebut akan berdampak negatif dalam menjalankan fungsi pemerintahan, mengingat peraturan perundang-undangan merupakan muara dari tindakan pemerintah, sebagaimana asas legalitas. Permasalahan norma di berbagai undang-undang, dapat ditemukan dalam beberapa rumusan pasal, yang diidentifikasi sebagai berikut: Pertama, Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menentukan “Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.” Frasa “siang hari” secara gramatikal dapat dipahami pada Pukul 12.00 – 15.00 Wita, namun penafsiran tersebut berbeda dengan kondisi aktual, petugas Polisi selalu menghimbau agar setiap pengemudi sepeda motor menyalakan lampu pada pagi, siang dan sore hari. Penafsiran terhadap “siang hari” 8
Judicial review disini dalam artian pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial review on the constitutionality of law) lihat Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan Kedua, Konstitusi Press, Jakarta, h. 2-3, lihat juga I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, h. 248.
6
menurut petugas menunjukkan waktu dari matahari terbit sampai dengan terbenam. Perbedaan interpretasi ini akan berbuntut pada ketidakpastian dalam proses penegakannya. Kedua, Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,9 menentukan: "Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau izin praktik". Kemudian dipertegas dengan ancaman pidana berdasarkan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran yang menegaskan: "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)"; Frasa “kesan seolah-olah” dapat ditafsirkan kepada profesi tukang gigi, padahal pekerjaan sebagai tukang gigi sebelum adanya Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah pekerjaan yang sah. Pasal 27 ayat (2) UndangUndang Dasar NRI 1945, yang menentukan : "Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan",
9
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-X/2012
7
sehingga apabila praktik tukang gigi tersebut dihentikan, maka bertentangan dengan ketentuan Konstitusi. Ketiga, Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional10
yang
menentukan,
“Pemerintah
dan/atau
pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional;” Pembedaan
antara
pendidikan
internasional
dan
nasional
yang
menunjukkan pembedaan mutu anak didik, merupakan ketentuan yang bertentangan dengan Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3), UUD NRI 1945.11 Masalah dalam Undang-Undang
10
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 Pembukaan UUD 1945, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pasal 28C ayat (1), “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;” Pasal 28E ayat (1), “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;” Pasal 28I ayat (2), “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;” Pasal 31 ayat (1), “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;” Pasal 31 ayat (2), “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;” Pasal 31 ayat (3), “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang 11
8
ini menunjukkan adanya bentuk pertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Keempat, Pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,12 menentukan : “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Dengan ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa sepanjang sudah berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin pada hari pemungutan suara, seorang warga negara memiliki hak memilih.” Sedangkan, Pasal 28 yang menentukan, “Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus terdaftar sebagai Pemilih.” Kemudian syarat memilih juga diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden, Pasal 111 ayat (1) yang menentukan, ”Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi: a. Pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap pada TPS yang bersangkutan; dan b. Pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tambahan.” Ketentuan ini mengartikan penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) memiliki kewajiban untuk mendaftar warga negara yang telah memiliki hak memilih sesuai Pasal 27 ayat (2), yakni, “Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam daftar Pemilih.” meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang;” 12 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-VII/2009
9
Tindakan penyelenggara Pemilu yang menyebabkan seorang warga negara kehilangan hak memilihnya karena tidak terdaftar sebagai pemilih atau tidak tercantum dalam DPT adalah tindakan melanggar hukum dan bentuk penghilangan hak konstitusional warga negara untuk memilih. Perbuatan ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI 1945.13 Undang-Undang ini menampakkan aturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap hak pemilih, melalui penyalahgunaan wewenang. Kelima, Pasal 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menentukan : “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi juga merupakan kewenangan Kepolisian. Sama halnya dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf c, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan 13
Pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sedangkan, Pasal 28 D ayat (3) menentukan Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
10
Korupsi. Konflik norma ini merupakan wujud ketidakpastian yang akan menghambat proses penegakan hukum, yang berdampak buruk pada penyelenggaraan pemerintahan. Keenam, Pasal 31 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, menentukan : “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,. (lima puluh juta Rupiah).” Definisi Advokad ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1, yakni Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar Pengadilan…..” Pasal 87 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, memberi hak beracara pada organisasi pekerja dan pengusaha di Pengadilan Hubungan Industrial. Pasal 31 Undang-Undang Advokad ini mirip dengan undang-undang sebelumnya terkait dengan profesi dokter gigi, masalah ini menunjukkan konflik norma. Beberapa contoh ketentuan dalam berbagai undang-undang diatas baik yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi maupun yang tidak, menunjukkan pada beberapa masalah ketidakpastian hukum. Adapun ketidakpastian hukum itu diidentifikasi sebagai berikut: (1) tidak sesuainya hal-hal yang diatur dengan penerapan, (2) adanya konflik norma antara ketentuan dalam undang-undang dengan 11
UUD NRI 1945, (3) adanya konflik norma antara satu ketentuan dengan ketentuan yang lain dalam satu undang-undang sehingga berpotensi pada penyalahgunaan wewenang. Peraturan Daerah yang merupakan salah satu jenis perundang-undangan merupakan aturan yang layak dikedepankan dalam penelitian ini. Peraturan daerah (Perda)
dibentuk
dalam
rangka
penyelenggaraan
otonomi
daerah
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan14. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dengan demikian Perda dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Secara faktual total pembatalan Perda yang telah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sejak 2002 s/d 2009 yakni 2246 Perda, yang dapat diuraikan sebagai berikut: Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008
: 19 Perda : 105 Perda : 236 Perda : 126 Perda : 114 Perda : 173 Perda : 229 Perda
14
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. (lihat Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah)
12
Tahun 2009
: 1244 Perda 15
Klasifikasi peraturan daerah yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri, dikarenakan konflik norma (bertentangan dengan undang-undang) merupakan bentuk aturan yang tidak memenuhi unsur kepastian hukum. Berdasarkan uraian diatas dapat diidentifikasi, pada tahun 2002 adalah 18 Perda Kabupaten/Kota dan 1 Perda Provinsi. Untuk tahun 2003, yakni 4 Perda Provinsi dan 99 Perda Kab/Kota. Di tahun 2004, 17 Perda Provinsi yang dibatalkan dan 217 Perda Kab/Kota. Tahun 2005, sebanyak 18 Perda Provinsi dan 104 Perda Kab/Kota, dibatalkan. Kemudian tahun 2006, Perda Provinsi yang dibatalkan sebanyak 18 dan 91 Perda Kab/Kota. Untuk tahun 2007, dari 170 Perda dibatalkan diantaranya 31 Perda Provinsi dan 139 Perda Kab/Kota. Pada tahun 2008, 5 Perda Provinsi sisanya Perda Kab/Kota yang dibatalkan dari total keseluruhan 227 Perda. Sedangkan untuk tahun 2009, hanya 1 Perda Provinsi yang dibatalkan dari 1243 Perda. Tahun 2012 sebagaimana diberitakan Tribunnews.com16, Mendagri telah membatalkan 173 Perda dari 3000 Perda. Pembatalan peraturan daerah yang selama ini dilakukan oleh Mendagri dilakukan melalui Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Secara normatif peraturan menteri tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang, sehingga layak untuk
15
www.kepmendagri.go.id, Daftar Kepmendagri Pembatalan Perda 2002-2009. Kementerian Dalam Negeri RI 16 Tribunnews.com, Senin, 7 Januari 2013, Mendagri: 173 Perda Dibatalkan Tahun 2012.
13
diperdebatkan17. Terlepas dari hal tersebut, banyaknya peraturan daerah yang bermasalah sebagai akibat ketidakpastian hukum. Eksistensi peraturan daerah tersebut dapat menimbulkan tindakan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenangwenang oleh aparatur pemerintahan daerah sehingga berpotensi pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Permasalahan dalam peraturan daerah, dapat diidentifikasi melalui beberapa ketentuan yang bermasalah, diantaranya : 1. Pasal 22 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota, yang menentukan : Bakal pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota harus memenuhi persyaratan: a. warga negara Republik Indonesia; b. orang Aceh; c. beragama Islam, taat menjalankan syari'at Islam dan mampu membaca Al-Qur'an dengan baik; d. setia pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; e. mampu menjalankan butir-butir yang ada dalam MoU Helsinki; f. pendidikan paling kurang sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat; g. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; h. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter pemerintah di ibukota Pemerintah Aceh; 17
Perdebatan kewenangan Mendagri membatalkan Peraturan Daerah ini dapat dikaji dari 2 sudut pandang pro dan kontra. Perspektif pro menjelaskan jastifikasi yuridis melalui Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 dengan frasa; “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota………..”. Atas dasar ketentuan tersebut maka Mendagri layak membatalkan Peraturan Daerah, karena merupakan wakil Pemerintah Pusat. Berbeda halnya dengan perspektif kontra, Pasal 1 ayat (2) menekankan pada kedaulatan tertinggi itu ditangan rakyat. Mengingat peraturan daerah dibuat oleh kepala daerah dan DPRD, sedangkan Mendagri hanya penerima delegasi dari Presiden. Maka tidak tepat apabila Mendagri membatalkan Perda, apalagi instrument Peraturan Mendagri tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
14
i.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara paling kurang 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi; j. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; k. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; l. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; m. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; n. tidak dalam status sebagai penjabat Gubernur/Bupati/Walikota; dan o. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara. Ketentuan huruf c, merupakan ketentuan yang diskriminatif, sehingga bertentangan dengan HAM politik yakni kebebasan untuk memilih dan dipilih. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD NRI 1945, yakni: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Ketentuan ini mirip dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 jo Undang No. 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua, yang menentukan : “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a. b. c. d. e.
orang asli Papua;18 beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara; berumur sekurang-kurangnya 30 tahun; sehat jasmani dan rohani;
18
Berkaitan dengan Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Otonomi Khusus Papua No. 21 Tahun 2001 yakni MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP, kemudian oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-IX/2011, Pasal 20 ayat (1) tersebut dibatalkan.
15
f. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; g. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasanalasan politik. 2. Pasal 13 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syi’ar Islam (1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya. Pada ketentuan ayat (1) menunjukkan pada orang-orang yang beragama muslim, akan tetapi pada ayat (2) mengaburkan konsepsi pemikiran ayat (1), sehingga dapat dipahami siapapun (termasuk yang bukan beragama muslim) yang berada dalam instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib menggunakan busana Islami. Ketentuan ini tidak mengandung rasa keadilan dan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) 3. Pasal 4 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syi’ar Islam. (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah19 umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat.
19
Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syi’ar Islam, menentukan “Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menggunakan kata (menggunakan huruf K) “Akidah”, yang artinya aki·dah n Islam kepercayaan dasar; keyakinan pokok (lihat www.kbbi.web.id)
16
(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Kata “setiap keluarga” menekankan pada semua keluarga, dengan adanya pengawasan dari pemerintah daerah akan menjadi masalah serius apabila terdapat orang non muslim, berada disana. Pasal 5 ayat (1) Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002, menentukan : “Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh paham atau aliran sesat.” Kata “setiap orang”, menunjukkan pada siapapun sehingga termasuk orang yang bukan beragama muslim. 4. Pasal 8 dan Pasal 46 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum. Pasal 8, menentukan : “Setiap pengendara kendaraan bermotor dilarang membunyikan klakson dan wajib mengurangi kecepatan kendaraannya pada waktu melintasi tempat ibadah selama ibadah berlangsung, dan lembaga pendidikan serta rumah sakit.” Adapun yang menjadi permasalahan dalam ketentuan ini, adalah apabila seorang
pengendara
mobil
membunyikan
klakson
dengan
memberikan informasi pada pengemudi lain agar tidak menabrak. Sedangkan dalam Pasal 46, menentukan :
17
maksud
“Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan, menyimpan dan menjual minuman beralkohol tanpa izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Seharusnya perlu ada pengecualian dalam hal ini, yakni untuk tujuan peribadatan atau ritual agama. Sehingga jangan sampai dengan menggunakan ketentuan ini, terjadi konflik horizontal antar agama. 5. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1), menentukan larangan, yakni: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan – jalan umum, dilapangan –lapangan, dirumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung – warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut – sudut jalan atau di lorong – lorong atau tempat – tempat lain di daerah. Dalam ketentuan ini kekaburan norma terdapat dalam frasa yang dicetak tebal. Sehingga ketentuan ini memberikan peluang terhadap aparat dalam bersikap sewenang-sewenang. 6. Pasal 2 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Al-Qur'an Pendidikan AI-Qur'an dimaksudkan sebagai upaya strategis dan sistematis dalam membangun dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka rnencerdaskan kehidupan bangsa dan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia seutuhnya, sebagai wujud pencapaian cita-cita pendidikan nasional. Pendidikan Al-Quran yang ditujukan kepada peserta didik dalam semua jenjang pendidikan, dengan tujuan seperti yang terurai dalam ketentuan di atas, dirasakan tidak adil. Sebab, bagaimana perhatian terhadap pendidikan
18
Alkitab, Weda, Tripitaka yang sama-sama mewujudkan watak serta peradaban bangsa serta pencapaian cita-cita pendidikan nasional. Beberapa kasus tersebut memberikan pemahaman bahwa ketidak adilan dan pelanggaran HAM juga muncul akibat ketidak pastian hukum baik itu konflik norma atau norma kabur. Norma kabur merupakan norma yang batasannya tidak jelas, sehingga menimbulkan multi tafsir. Konflik norma yang dimaksud bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dengan aturan sederajat serta pertentangan antara satu ketentuan dengan ketentuan lain dalam aturan yang sama. Permasalahan dalam peraturan perundang-undangan menjadi penyebab dari masalah keadilan dan HAM, tentunya merupakan bentuk tindakan yang inkonstitusional sehingga akan menghambat penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan dalam memenuhi, melindungi dan menegakan hak asasi manusia (HAM). Ketidakpastian hukum menampakkan suatu kondisi bahwa aturan tidak dapat diterapkan, aparatur pemerintah tidak memiliki dasar untuk menjalankan tugas dan wewenang. Namun disamping itu, ketidakpastian tidak hanya ditemukan dalam aturan, melainkan apabila masyarakat tidak mendapatkan hak dan kewajiban yang seharusnya didapat sesuai dengan perintah konstitusi juga merupakan bentuk dari ketidakpastian hukum yang adil. Secara faktual terdapat beberapa penyebab timbulnya masalah dalam peraturan perundang-undangan yang baik, diantaranya:
19
1. Sumber daya manusia dalam pembentukan peraturan perundang-undangan masih lemah.20 2. Buruknya mentalitas pembentuk peraturan perundang-undangan (pejabat eksekutif
dan
legislatif).
Rendahnya
moralitas
pembentuk,
ini
dikarenakan: a. mahalnya biaya demokrasi21 b. kurangnya kualitas SDM dari pejabat22. c. Dinamika Recall mengakibatkan kepentingan rakyat terabaikan dalam pembentukan aturan, sebab anggota DPR akan lebih mendahului kepentingan partai, daripada konstituennya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.23
20
Salah satu kelemahan dari lemahnya SDM dalam pembentukan peraturan perundangundangan terlihat pada kualitas produk hukumnya. Dalam salah satu putusan Mahkamah Konstitusi No. 014/PUU-I/2003, terdapat saran majelis hakim bahwa “di masa yang akan datang, pembentuk undang-undang seyogyanya memperhatikan prinsip perancangan undang-undang yang baik”. Pendapat tersebut didasarkan pada adanya multi tafsir terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD. 21 Lihat, buku Pramono Anung Wibowo, 2013, Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi (Potret Komunikasi Politik Legislator-Konstituen), Kompas, Jakarta, h. 171-176, dalam tulisan tersebut dirincikan bahwa modal yang digunakan oleh calon legislator itu variatif dengan kategori Dana besar (pengeluaran diatas 1 milyar rupiah), standar (antara 600 juta hingga 1 milyar rupiah), dan minimal (dibawah 600 juta rupiah). Dari sumber dana tersebut terdapat dana pribadi, dana gabungan (bersumber dari pribadi dan disokong oleh beberapa sumber lain seperti teman, keluarga, perusahaan, partai dan rakyat) dan dana pihak lain (sumber dana tidak berasal dari pribadi, melainkan teman dan partai). 22 Dalam, buku Pramono Anung Wibowo, ibid, h. 36, menunjukkan bahwa latar belakang menjadi Legislator, yakni : (1) Dorongan keluarga, (2) tawaran dari pejabat partai, (3) kesadaran untuk melakukan perubahan, (4) dorongan dari teman satu suku, dan (5) lingkungan, bakat & ketertarikan. Jika melihat poin (1), (2), (4) maka kecenderungan dari Legislator terpilih tidak berdasarkan SDM yang memadai. 23 Lihat Opini Jimmy Z. Usfunan, Antara Suara Nurani dan Suara Partai, Balipost, Senin, 6 Maret 2010, dalam tulisan itu mengkaji tindakan Lili Wahid yang mengambil sikap bertentangan dengan kehendak partainya yakni PKB. Setelah kejadian tersebut Lili Wahid diberhentikan dari anggota DPR dengan mekanisme “recall”.
20
3. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kurang transparan dan terbuka sehingga kurangnya partisipasi masyarakat, dalam pembentukan Peraturan perundang-undangan. Dalam melihat 3 penyebab di atas, tidak menutup kemungkinan terdapat peluang kepentingan
dalam
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
sehingga
menghasilkan kualitas yang buruk. Uraian pada latar belakang ini menunjukkan kelemahan/masalah hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) seperti konflik norma (antinomy) atau norma kabur (unclear norm). Deskripsi tentang permasalahan norma bagi undang-undang dan peraturan daerah tersebut, menunjukkan 2 klasifikasi aturan sebagai berikut : 1. Peraturan yang langsung melanggar HAM (konflik norma) 2. Peraturan yang berpotensi melanggar HAM (norma kabur) Kelemahan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) juga dapat ditemukan dengan kekosongan norma yakni tidak terjangkaunya ketentuan terhadap masalahmasalah kompleks dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karenanya identifikasi terhadap konsep “kepastian hukum” sangat diperlukan dalam penelitian ini, meskipun telah ada beberapa pandangan sebelumnya. Permasalahan dalam peraturan perundang-undangan dalam negara yang menganut sistem hukum eropa kontinenal dengan mengedepankan pola kodifikasi hukum, merupakan hal yang rentan terjadi. Meskipun, esensi perundang-undangan sebagai hal yang prioritas, namun banyak pihak yang meragukan eksistensi hukum tertulis ini dalam penyelenggaraan pemerintahan. 21
Keraguan akan eksistensi peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis menjadi obyek kritikan dari para pemikir hukum, yang berpangkal pada pemikiran aliran Critical Legal Studies (CLS) dan American Legal Realism (ALS). Pemikiran-pemikiran kedua aliran ini memunculkan serangan yang kuat terhadap bentuk formalisme aturan yang dikembangkan oleh aliran postivisme hukum dan menganggap bahwa hukum sudah cacat sejak lahir. Ditambah dengan adanya pemahaman bahwa upaya memformulasikan gagasan atau aturan kedalam bentuk hukum tertulis menekankan pada ajaran legisme semata. Kondisi ini merambah luas sehingga menghadirkan adagium bahwa kepastian hukum
identik
dengan
paham
legisme,
yang
menghasilkan
pemikiran
idienzjurisprudence atau ajaran mekanistis yang mana hakim juga tidak boleh menafsirkan lain isi dari suatu perundang-undangan, meskipun itu akan menghasilkan putusan yang tidak adil sekalipun. Begitu pula dalam penerapan undang-undang dan peraturan daerah. Tidak hanya itu esensi kepastian hukum juga dianggap bertentangan dengan keadilan. Berdasarkan deskripsi dalam latar belakang, menunjukkan Penelitian ini melakukan
kajian
terhadap
teori
tentang
supremasi
undang-undang
(legisme/formalisme), teori tentang cara perumusan undang-undang yang baik, serta teori pelengkap atas kelemahan teori legisme/formalisme yakni teori penafsiran.
22
1.1.2. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari permasalahan sebagaimana dideskripsikan dalam latar belakang, maka permasalahannya dapat diidentifikasi, sebagai berikut: 1. Kajian Filosofis dan Teoritis tentang Konsep Kepastian Hukum 2. Urgensi Konsep Kepastian hukum dalam Pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Daerah 3. Urgensi Konsep Kepastian Hukum Dalam Penerapan Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
1.1.3. Ruang Lingkup Masalah : Adapun ruang lingkup masalah dalam penelitian ini adalah: a. Melakukan pengkajian terhadap pertanyaan tentang makna, hakikat, tujuan, dari konsep kepastian hukum serta urgensi kepastian hukum dalam suatu negara kemudian relevansi konsep kepastian hukum dengan moral. b. Melakukan pengkajian terhadap upaya dalam menjawab pertanyaan “mengapa konsep kepastian hukum itu penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan?”. Serta bagaimana upaya pembentukan undang-undang dan
peraturan
daerah
yang
menjamin
kepastian
hukum
dalam
penyelenggaraan pemerintahan? c. Melakukan pengkajian dalam menjawab pertanyaan konsep kepastian hukum dalam penerapan undang-undang dan peraturan daerah (pelaksanaan tugas pemerintah). Kemudian memberikan analisa tentang “relevansi diskresi dalam 23
konsep kepastian hukum” serta mengapa adanya relevansi kejelasan norma dengan penerapan undang-undang dan peraturan daerah”.
1.2. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan, melakukan analisa dan penemuan terhadap konsep kepastian hukum, serta urgensinya dalam penyelenggaraan pemerintahan. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Melakukan analisa dan penemuan terhadap konsep kepastian hukum dari kajian filosofis dan teoritik. b. Melakukan analisa dan penemuan terhadap urgensi konsep kepastian hukum dalam pembentukan undang-undang dan peraturan daerah c. Melakukan analisa tentang urgensi konsep kepastian hukum dengan penerapan undang-undang dan peraturan daerah.
1.3. Manfaat Penelitian a. Memberikan sumbangan pemikiran akademis bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya pada teori hukum di bidang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. b. Bermanfaat bagi praktek pembentukan undang-undang dan peraturan daerah oleh para pembentuk. 24
c. Merubah paradigma dikalangan hukum, yang menyatakan bahwa ”kepastian hukum” cenderung dengan ketidak adilan.
1.4. Orisinalitas Penelitian Dalam beberapa Disertasi yang ditelusuri terdapat kajian yang mirip tapi esensinya berbeda dengan penelitian ini. Seperti halnya yang ditulis oleh : 1. Anis Ibrahim dalam menyelesaikan Program Doktor di Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik Dan Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah di Jawa Timur. Tulisan Anis Ibrahim lebih menguraikan interaksi politik dan hukum dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, yang berbeda dengan kajian penulis. Penulis lebih menekankan pada aspek “Konsep kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Lebih lanjut Anis Ibrahim, mengkaji proses interaksi politik berlangsung dalam proses pembentukan Peraturan Daerah (legislasi Perda) di Jawa Timur ditinjau dari perspektif demokrasi serta membangun konsep ideal proses pembentukan Peraturan Daerah (legislasi Perda) dalam perspektif demokrasi ke depan. Berbeda dengan penelitian penulis yang hanya melihat interaksi politik sebagai hal pendukung dari permasalahan norma dan tidak melakukan pendalaman pada konteks itu. Penulis lebih tertarik pada bagaimana menciptakan peraturan perundang-undangan menjamin kepastian hukum.
25
2. I Nyoman Suyatna yaitu: Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor pada Universitas Brawijaya, Malang di tahun 2011. Penelitian Suyatna menekankan pada upaya mencari alasan pentingnya asasasas umum pemerintahan yang baik harus dijadikan landasan dalam pembentukan Perda, melihat kondisi pembentukan peraturan daerah selama ini serta pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam konteks pembentukan Perda. Pada dasarnya dalam Disertasi I Nyoman Suyatna ini lebih menekankan pada pengkajian terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik dijadikan sebagai evaluasi serta upaya konstruksi hukum. Berbeda halnya dengan kajian penulis lebih menitik beratkan pada konsep kepastian hukum. Meskipun kepastian hukum merupakan bagian salah satu unsur dari asas-asas umum pemerintahan yang baik, namun itu menunjukkan pada kepastian hukum sebagai asas. Berbeda dengan kajian penulis yang mencoba membangun argumentasi dalam menemukan gagasan tentang konsep kepastian hukum. Disamping itu mengkaji pula relevansi konsep kepastian hukum dalam proses pembentukan dan penerapan undang-undang dan peraturan daerah. 3. Yuliandri, dengan judul Asas-Asas Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Yang Baik Dalam Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan. Disertasi Yuliandri melakukan pengkajian untuk mencari jastifikasi teoritik mengenai banyaknya undang yang tidak berkualitas, penggunaan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik 26
dalam pembuatan undang-undang serta mengidentifikasi persyaratan yang harus dipenuhi agar pembentukan undang-undang memiliki kharakteristik berkelanjutan. Meskipun penulis juga melakukan pengkajian terhadap banyaknya undang-undang yang bermasalah, namun itu dijadikan latar belakang permasalahan undang-undang yang tidak menjamin kepastian hukum. Kemudian dari permasalahan tersebut penulis lebih menemukan konsep kepastian hukum dari perspektif filosofis dan teoritik dan menjadikan konsep tersebut sebagai upaya penyelesaiannya. 4. Disertasi lain yang relevan dikaji dalam rangka originalitas adalah berjudul Hirarki Aturan Hukum di Indonesia yang ditulis oleh Febrian pada program doktor ilmu hukum Universitas Airlangga, Surabaya, tahun 2004. Penelitian Febrian lebih menekankan pada bentuk dari aturan hukum, pemilik wewenang membentuk aturan hukum dan proses pengujian aturan (norma) hukumnya. Penelitian Febrian ini menekankan pada aspek formalisme hukum atau hukum tertulis, yang tidak memperdebatkan dari filosofi hukum tertulis. Tentunya penelitian tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh penulis lebih menekankan pada kajian filosofis dan teoritik tentang eksistensi hukum tertulis. 5. Disertasi
berikutnya
yang
mengkaji
tentang
pembentukan
peraturan
perundang-undangan adalah Bayu Dwi Anggono, dari Ilmu Hukum Universitas Indonesia yang berjudul “Perkembangan Pembentukan UndangUndang di Indonesia”. Disertasi Bayu ini menekankan pada persoalan 27
undang-undang yang materi muatannya tidak sesuai. Dengan menggunakan asas materi muatan dalam pembentukan undang-undang. Berbeda dengan penelitian penulis yang menekankan pada upaya membentuk undang-undang dan peraturan daerah yang menjamin kepastian hukum.
1.5. Metode Penelitian Bagian ini menguraikan metode penelitian yang digunakan untuk menganalisa isu
hukum
tentang
“Konsep
Kepastian
Hukum
Dalam
Penyelenggaraan
Pemerintahan”. Istilah metode penelitian, berasal dari 2 kata, yang diartikan sebagai berikut24 : me·to·de /métodé/ n 1 cara teratur yg digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dng yg dikehendaki; cara kerja yg bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yg ditentukan; 2 Ling sikap sekelompok sarjana thd bahasa atau linguistik, msl metode preskriptif, dan komparatif; 3 prinsip dan praktik pengajaran bahasa, msl metode langsung dan metode terjemahan; pe·ne·li·ti·an n 1 pemeriksaan yg teliti; penyelidikan; 2 kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yg dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum; Definisi tersebut menunjukkan metode penelitian merupakan cara kerja yang bersistem dalam melakukan
kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan
penyajian data untuk memecahkan suatu persoalan. Dalam buku Terry Huchinson, yang menyitir pandangan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), penelitian dipahami sebagai
24
http://bahasa.kemdiknas.go.id
28
kreativitas, originalitas,
dan aktifitas sistematik dalam meningkatkan dunia
pengetahuan.25 Penelitian yang digunakan dalam tulisan adalah penelitian hukum. Peter Mahmud Marzuki, menyatakan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin guna menjawab isu hukum yang di hadapi.26 1.5.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif27. Hal ini dikarenakan dalam mengkaji “Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”, menggunakan
bahan-bahan hukum primer dan sekunder dalam
mencari jastifikasi teoritis dan yuridis. 1.5.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian tentang “Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan” ini dipergunakan Pendekatan undang-undang, pendekatan konsep, pendekatan kasus dan pendekatan historis. Akan diuraikan sebagai berikut ; a. Pendekatan undang-undang (Statute Approach) Dikarenakan penelitian ini adalah penelitian normatif, maka esensi utama dalam penulisan ini menggunakan pendekatan peraturan perundangundangan, dalam rangka memberikan jastifikasi yuridis dan harmonisasi 25
Tery Hutchinson, 2010, Researching and Writing in Law, Third Edition, Thompson Reuters (Proffesional) Australia Limited. p. 6 26 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Surabaya, Cetakan I, h. 35 (selanjutnya disebut dengan Peter Mahmud Marzuki II) 27 Penelitian hukum normatif bercirikan : (1) Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum, (2) Tidak menggunakan hipótesis, (3) Menggunakan landasan teoritis, (4) Menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, lihat Philipus M. Hadjon, 1997, Penelitian Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, h. 1
29
hukum dalam upaya pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan menjamin kepastian hukum. Pendekatan undang-undang ini juga menunjukkan eksistensi asas legalitas baik dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan maupun pembentukan hukum. Tidak hanya ketentuan perundang-undangan menjadi rujukan, melainkan meta norma (nilai-nilai filosofis, sosiologis dan yuridis) tetap menjadi perhatian. b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach) Pendekatan ini digunakan untuk menggali konsep-konsep hukum, teori dan asas-asas hukum serta pemikiran filosofis dalam menelaah “Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”. c. Pendekatan Kasus (Case Approach) Pendekatan kasus ini digunakan dalam penelitian ini, sebab ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian undang-undang yang menjadi kajian. d. Pendekatan historis (Historical approach) Pentingnya pendekatan historis dalam penelitian ini, adalah untuk melihat ide-ide dasar pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan kajian penelitian ini.
30
1.5.3. Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.28 a. Bahan hukum primer29 Dikarenakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, maka eksistensi pendekatan peraturan perundang-undangan sangat diperlukan. Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini, seperti; Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang menjadi rujukan dari semua peraturan
perundang-undangan
dibawahnya,30
Ketetapan
MPR
yang
digunakan untuk melihat sisi historis dari suatu ketentuan, beberapa undangundang yang berkaitan dengan konsep kepastian hukum dan penyelenggaraan pemerintahan serta undang-undang dan peraturan daerah yang bermasalah dalam hal kepastian dan keadilan, kemudian putusan Mahkamah Konstitusi dalam mengkaji yurisprudensi terhadap undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Adapun keseluruhan teks otoritatif ini yang tercantum pada bagian daftar bacaan.
28
Ibid, h. 141 Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, ibid 30 Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan. 29
31
b. Bahan Hukum Sekunder; 31 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa; buku literatur,
hasil-hasil penelitian seperti Disertasi dan Orasi Ilmiah, kamus
hukum dan kamus bahasa, serta bahan-bahan internet. Bahan-bahan ini tercantum pada bagian daftar bacaan. 1.5.4. Teknik pengumpulan bahan hukum Bahan hukum kepustakaan dikumpulkan dengan sistem kartu (card system). Menurut Winarno Surakhmad, sistem kartu tersebut dibagi 3 macam, yakni; 32 1. Kartu Ikhtisar 2. Kartu Kutipan 3. Kartu Analisis/Usulan Kartu ikhtisar memuat nama pengarang, judul buku, nama penerbit, tahun terbitan, halaman, pokok masalah yang dikutip. Kartu kutipan memuat pokok-pokok masalah yang dikutip dan kartu analisis memuat ulasan yang bersifat menambah atau menjelaskan dengan cara mengkritik, menarik kesimpulan, saran maupun komentar. Dalam penelitian ini sistem kartu (card system) yang dimaksud tidak lagi menggunakan kartu, melainkan power poin, agar lebih mudah disimpan dan praktis.
31
Bahan-bahan hukum sekunder terdiri-dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum, internet. Lihat Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, h. 155 32 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Tekhnik, h. 227
32
1.5.5. Tekhnik Analisis Untuk mendapatkan hasil atas permasalahan yang akan diteliti, maka diinventarisasi bahan-bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, teknik analisis bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik “deskripsi, interpretasi, evaluasi, argumentasi, dan sistematisasi”. Teknik deskripsi adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Dalam penelitian ini diuraikan masalah-masalah dari ketidak cermatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berdampak pada ketidakpastian dan ketidak adilan dalam suatu norma. Penggunaan interpretasi, pada penelitian ini sangat penting guna mencari kaidah hukum di balik suatu aturan melalui upaya penafsiran dengan mengedepankan pendekatan hermeneutika. Teknik evaluasi yang merupakan penilaian tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan sekunder. Teknik ini digunakan sebagai upaya untuk membatasi pemikiran penulis tentang tema penelitian ini, agar tidak meluas dikarenakan banyaknya pandangan para sarjana. Disamping itu teknik evaluasi digunakan untuk menentukan posisi penulis terhadap beberapa pandangan sarjana yang diuraikan.
33
Sistematisasi menurut Van Hoecke yang dikutip Arief Sidharta terbagi dalam 3 tingkatan, yakni:33 a. Tataran teknis yaitu kegiatan yang semata-mata menghimpun dan menata materi aturan-aturan hukum berdasarkan hierarki sumber hukum b. Tataran teleologis yang berupa sistematisasi berdasarkan substansi atau isi hukum c. Tataran sistematisasi eksternal yaitu mensistematisasi hukum dalam rangka mengintegrasikannya ke dalam tatanan masyarakat yang selalu berkembang. Upaya sistematisasi digunakan dalam penyusunan penelitian ini, agar lebih memudahkan pengkajian terhadap berbagai permasalahan hukum yang menjadi pembahasan.
33
Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonsesia, CV Mandar Maju, Bandung h. 151
34