50 BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN RUMAH SUSUN Dalam Bab II ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran yang terkait dengan perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah bersama yang dibebankan hak tanggungan. Keterkaitan antara kerangka teori pada Bab I dengan pemikiran-pemikiran pada Bab II ini adalah untuk menambah, dan memperjelas serta mempertajam teori dan konsep dalam penelitian ini. Fungsi pemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi atau pembenaran mengenai teori dan konsep untuk melengkapi kerangka teori dan kerangka konsep pada Bab I terkait dengan perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah bersama yang dibebankan hak tanggungan. Pembahasan dalam penulisan Bab II ini meliputi 2 (dua) sub bahasan. Adapun pemaparannya dalam bab ini yaitu: 1. Konsep Perlindungan Hukum; dan 2. Konsep Rumah Susun. 1.1. Konsep Perlindungan Hukum Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian negara menjamin hak-hak hukum warga negaranya dengan memberikan perlindungan hukum dan perlindungan hukum akan menjadi hak bagi setiap warga negara. Ada beberapa pengertian terkait perlindungan hukum menurut para ahli, antara lain:
51 1. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.1 2. Menurut CST Kansil perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. 3. Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.2 Dari pemaparan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum dalam melindungi hak asasi manusia serta hak dan kewajiban yang timbul karena hubungan hukum antar sesama manusia sebagai subyek hukum. Teori dan konsep mengenai perlindungan hukum adalah sangat relevan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini yang membahas perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah bersama yang dibebankan hak tanggungan. Philipus M. Hadjon merumuskan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia dengan cara menggabungkan ideologi Pancasila dengan konsepsi perlindungan hukum rakyat barat. Konsep perlindungan hukum bagi rakyat barat bersumber pada konsep-konsep pengakuan, perlindungan terhadap hak-hak asasi
1
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Kompas, Jakarta, hal. 121. 2 Tesis Hukum, “Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli” (Cited 2014 Dec 11), available from : URL : http://tesishukum.com/pengertianperlindungan-hukum-menurut-para-ahli/
52 manusia, konsep-konsep rechtsstaat3, dan the rule of law4. Ia menerapkan konsepsi barat sebagai kerangka berpikir dengan Pancasila sebagai Ideologi dan dasar falsafah. Sehingga prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara hukum yang berdasarkan Pancasila.5 Pendapat tersebut menurut penulis layak dijadikan sumber dalam penerapan perlindungan hukum di Indonesia, agar penerapan perlindungan hukum di Indonesia tidak melenceng dari ground norm yakni Pancasila yang merupakan dasar ideologi bangsa Indonesia. 1.1.1. Sarana Perlindungan Hukum Sebagaimana yang sudah di paparkan pada halaman 25 penelitian ini, Philipus M. Hadjon membedakan 2 (dua) sarana perlindungan hukum yakni
3
Rechtsstaat dalam perjalan waktu, telah mengalami perkembangan konsep dari konsep klasik ke konsep modern. Sesuai dengan sifat dasarnya, konsep klasik disebut klassiek liberale en democratische rechtsstaat yang sering disingkat saja dengan democratische rechtsstaat. Konsep modern lazimnya disebut (terutama di Belanda) sociale rechtsstaat atau juga disebut socialedemocratische rechtsstaat. (Lihat Philipus M. Hadjon, op.cit., hal. 74.) 4 The Rule of Law menurut A.V. Dicey ada tiga arti yaitu pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau discrecionary authority yang luas dari pemerintahan; kedua, persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsipprinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya. (Lihat Philipus M. Hadjon, op.cit., hal. 80-81.) 5 Philipus M. Hadjon, op.cit, hal. 20.
53 perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Adapun yang menjadi dasar adanya kedua perlidungan hukum tersebut, yakni:
1. Perlindungan Hukum Preventif Berdasarkan penelitian sebuah tim dari Council of Europe tentang The Protection of the individual in relation in Acts of Administrative Authorities yang membahas the right to be heard sebagai sarana perlindungan hukum yang preventif. Penelitian tersebut merumuskan dua arti penting dari the right to be heard, yaitu: a. Individu yang terkena tindak pemerintahan dapat mengemukakan hak-haknya dan kepentingannya; b. Cara demikian menunjang suatu pemerintahan yang baik (good administration) dan dapat ditumbuhkan suasana saling percaya antara yang memerintah dan yang diperintah.6 Dengan demikian tujuan dari the right to be heard (hak untuk didengar) adalah menjamin keadilan dan menjamin suatu pemerintahan yang baik. Hak untuk didengar ini lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan hak untuk banding karena hak untuk banding tentunya muncul belakangan sehingga sulit untuk mengumpulkan kembali bukti-bukti dan saksi-saksi yang relevan. Selain itu kemungkinan terjadinya sengketa dapat dikurangi dengan adanya hak untuk didengar yang dimiliki rakyat. 2. Perlindungan Hukum Represif Sarana perlindungan hukum represif pada negara-negara yang menganut civil law system ada dua set pengadilan, yaitu pengadilan umum (di Indonesia
6
Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 4.
54 disebut Pengadilan Negeri) dan pengadilan administrasi (di Indonesia disebut Pengadilan Tata Usaha Negara). Sedangkan pada negara-negara yang menganut common law system hanya mengenal satu set pengadilan yaitu ordinary court. Selain dari dua sistem hukum tersebut, negara-negara Skandivania telah mengembangkan suatu lembaga perlindungan hukum yang disebut ombudsman.7 Dengan demikian perlindungan hukum represif di masing-masing negara tergantung pada sistem hukum suatu negara apakah menganut civil law system, common law system, atau negara tersebut tergabung dalam negara-negara Skandivania. Sehingga sarana perlindungan hukum represif di masing-masing negara menjadi berbeda. Justice Ombudsman pada hakikatnya bukanlah badan peradilan, namun badan tersebut mempunyai tugas utama menerima laporan/keluhan dari penduduk mengenai tindak pemerintahan.8 Dengan demikian walaupun bukan badan peradilan, ombudsman juga tergolong sebagai sarana perlindungan hukum yang represif karena menerima laporan/keluhan dari masyarkat terkait tindak pemerintahan yang notabene laporan/keluhan tersebut diterima setelah terjadi permasalahan sehingga peran ombudsman sebagai sarana perlindungan hukum yang represif. Dari kedua sarana perlindungan hukum di atas, penulis berpendapat bahwa perlindungan hukum preventif lebih relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini karena kekosongan norma yang dibahas terletak pada tata cara atau prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi 7 8
Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 5. Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 8.
55 rumah susun yang notabene berada dalam tahap awal penyelenggaraan rumah susun, sehingga dapat mencegah terjadinya ketidakadilan dengan sarana perlindungan hukum preventif. Dalam hal ini penyelenggara rumah susun dan calon pembeli sarusun harus menerapkan asas good administration dalam melakukan transaksi. Penerapan asas tersebut dapat disarankan oleh seorang notaris sebagai pejabat umum yang berwenang salah satunya untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta sesuai Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN-P). Penyuluhan hukum yang dimaksud yakni terkait tata cara atau prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun agar pihak penyelenggara rumah susun, calon pembeli sarusun, dan kreditur sama-sama mendapatkan perlindungan hukum. Mengenai tata cara atau prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku maka dalam hal ini dapat dilakukan penemuan hukum. 1.1.2. Penemuan Hukum (rechtvinding) Perbuatan manusia sangat banyak hingga tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak semua perbuatan manusia tersebut tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan. Maka tentunya tidak ada peraturan perundangundangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka hukumnya harus dicari dan diketemukan.
56 Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret tertentu.9 Sehingga dalam penemuan hukum, hal yang paling penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret. Relevansi dengan penelitian ini yakni peristiwa konkret yang dibahas adalah prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun. Peraturan hukum terkait peristiwa konkret tersebut sebelumnya sudah diatur secara jelas dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 UURS 16/1985, namun aturan tersebut dihapus dengan terbitnya UURS 20/2011. Sehingga terjadi kekosongan norma, maka diperlukan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum seperti pendapat Sudikno Mertokusumo di atas untuk diterapkan dalam peristiwa konkret yang dibahas dalam penelitian ini. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengatakan bahwa setiap peraturan bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena bersifat umum dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret.10 Dengan demikan peraturan hukum yang bersifat abstrak tersebut tidak akan berlaku apabila tidak dikaitkan dengan peristiwa konkret. Permasalahan dihapusnya UURS 16/1985 yang mengatur lebih detil mengenai prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun sebetulnya dapat dilakukan dengan penemuan hukum dari peraturan perundang-undangan 9
Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 49. 10 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2013, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12.
57 lainnya, namun peraturan perundang-undangan lain tentu tidak akan diketemukan suatu keharusan untuk mengikuti atau tidak prosedur pembebanan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun. Menurut Bambang Sutiyoso, hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya.11 Pendapat tersebut memang betul karena pada hakekatnya peraturan perundang-undangan tidak ada yang sempurna, di dalamnya selalu ada kekurangan dan keterbatasan. Tidak ada aturan yang lengkap selengkaplengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh perbuatan manusia yang begitu luas. Penemuan hukum dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu), ilmuan/peneliti hukum, para penegak dan praktisi hukum (hakim, jaksa, polisi, pengacara,
dan
notaris),
bahkan
direktur
perusahaan
swasta
maupun
BUMN/BUMD sekalipun dapat melakukan penemuan hukum. Walaupun penemuan hukum dapat dilakukan oleh siapa saja, namun hasil dari penemuan hukum tersebut berbeda-beda, ada yang menjadi sumber hukum sekaligus menjadi hukum yang berlaku dan ada yang hanya berlaku sebagai sumber hukum atau doktrin saja. Hakim melakukan penemuan hukum dalam menangani peristiwa konkret yang harus diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan keberlakuan sebagai hukum yang dalam bentuk putusan.
11
Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 104.
58 Jadi penemuan hukum oleh hakim bersifat konfliktif. Penemuan hukum oleh hakim tersebut sekaligus merupakan sumber hukum juga. Para pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan hukum walau tanpa menghadapi
peristiwa
konkret
seperti
hakim, namun
bertujuan
untuk
menyelesaikan peristiwa abstrak tertentu yang mungkin terjadi. Jadi sifat penemuan hukum oleh pembentuk Undang-Undang adalah preventif. Hasil penemuan hukum oleh pembentuk Undang-Undang merupakan hukum karena dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan sekaligus juga menjadi sumber hukum. Para ilmuan atau peneliti hukum melakukan penemuan hukum yang bersifat teoritis, maka hasil penemuan hukumnya bukan merupakan hukum, melainkan hanya sebagai sumber hukum atau doktrin saja. Menurut Sudikno Mertokusumo, hasil penemuan hukum oleh notaris adalah hukum, karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum.12 Artinya Notaris dapat melakukan penemuan hukum yang bernilai sebagai hukum bagi para pihak. Notaris melakukan penemuan hukum dalam mengkonstatir13 akta yang mempunyai kekuatan mengikat, namun kekuatan mengikat dalam akta notaris hanya sebatas mengikat bagi para pihak. Kekuatan mengikat akta notaris masih dapat dibantah oleh salah satu pihak dengan pembuktian di pengadilan karena walaupun mengikat kekuatan akta notaris tidaklah final seperti putusan
12
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 51. Mengkonstatir adalah memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala; mengambil kesimpulan setelah ada bukti-bukti nyata. (Lihat W.J.S. Poerwadarminta, 2011, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 612.) 13
59 Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final and binding (final dan mengikat). Notaris dihadapkan dengan masalah hukum yang disampaikan oleh kliennya untuk dibuatkan akta. Dengan demikian Notaris melakukan penemuan hukum dari peristiwa konkret yang diajukan oleh para klien-nya agar akta yang dibuat dapat menjabarkan segala kehendak dan melindungi hak dan kewajiban para klien. Pada umumnya problematik yang berkaitan dengan penemuan hukum dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang, namun dalam realitanya problematik penemuan hukum ini tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan pembentuk undang-undang saja. Seperti pendapat Sudikno Mertokusumo sebelumnya, Hasil penemuan hukum oleh notaris adalah hukum karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum. Notaris melakukan penemuan
hukum
dalam
mengkonstatir
akta
yang
dibuatnya.
Dalam
mengkonstatir suatu akta, notaris menentukan peristiwa hukum berdasarkan peristiwa konkret yang dialami oleh para penghadap atau kliennya. Tentunya perbuatan konkret atau perbuatan nyata yang dilakukan si klien tidak terbatas perbuatan-perbuatan hukum yang sudah diatur saja, sehingga bisa saja perbuatan konkret yang dimaksud tersebut tidak ada atau tidak jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal tersebut notaris dapat melakukan penemuan hukum terhadap akta yang akan dibuatnya, dengan tujuan agar para penghadap yang hadir di hadapan notaris mendapatkan perlindungan hukum atas hak dan kewajibannya.
60 Hal penting dalam penemuan hukum oleh Notaris adalah bagaimana mengkonstatir peristiwa konkret menjadi peristiwa hukum. Setiap peristiwa konkret harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan, atau melengkapi peraturan perundang-undangannya agar hukumnya tidak kosong. Dalam penemuan hukum diperlukan ilmu bantu berupa metode penemuan hukum. Adapun metode penemuan hukum yang sudah ada yaitu interpretasi (penafsiran), argumentasi (penalaran), dan eksposisi (konstruksi hukum). Metode interpretasi digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas. Metode argumentasi digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak ada. Metode eksposisi digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak ada mengatur atau kekosongan hukum (rechts vacuum). A. Metode Interpretasi (penafsiran) Tidak semua kata, istilah, dan kalimat yang tertulis maupun lisan untuk menyatakan suatu kaidah hukum itu sudah jelas dan mudah dipahami. Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret. Dikenal beberapa macam metode interpretasi dalam ilmu hukum dan praktek peradilan yaitu metode gramatikal, otentik, teoleologis, sistematis, historis, komparatif, futuristis, restriktif, ekstensif, interdisipliner, multidisipliner, dan kontrak.14 Dari macam-macam metode interpretasi tersebut tidak ada yang dapat diterapkan dalam penemuan hukum dalam penelitian ini karena metode interpretasi hanya dapat digunakan ketika terjadi norma kabur.
14
Bambang Sutiyoso, op.cit., hal. 132-133.
61 Walaupun demikian tetap perlu disebutkan secara singkat untuk mengetahui keberadaan metode interpretasi dalam penemuan hukum. Menurut Soedjono Dirdjosisworo penafsiran atau interpretasi hukum adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya.15 Dari pendapat tersebut penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari serta menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Menurut Ahmad Rifai, teknik interpretasi memberikan penjelasan tentang teks yang dipakai dalam undangundang, agar ruang lingkup dari adanya undang-undang dapat diterapkan pada suatu peristiwa hukum tertentu.16 Walaupun demikian isi undang-undang terkadang tidak jelas susunan katanya, juga tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran atau interpreatsi hukum terhadap undangundang itu sangat diperlukan. B. Metode Argumentasi (penalaran) Metode argumentasi sering juga disebut dengan metode penalaran hukum, redenering atau reasoning. Metode ini digunakan apabila undang-undangnya tidak lengkap. Menurut Bambang Sutiyoso, proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi atau penalaran hukum dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1. Metode Analogi (Argumentum Per Analogiam) 15
Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 157. 16 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 61.
62 Mengabstraksikan prisnsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan seolah-olah memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. 2. Metode A Contrario (Argumentum a Contrario) Mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. 3. Metode Penyempitan Hukum (Rechtsvervijning) Mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan seolah-olah mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. Biasanya, jika diterapkan sepenuhnya akan memunculkan ketidakadilan. 4. Metode Fiksi Hukum Sesuatu yang khayal yang digunakan di dalam ilmu hukum dalam bentuk katakata, istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian hukum.17 Penemuan hukum dengan metode argumentasi diterapkan apabila undangundangnya tidak lengkap sehingga tepat jika diterapkan ke permasalahan dalam penelitian ini, yakni UURS 20/2011 tidak lengkap dalam hal tata cara atau prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun. Dari keempat metode argumentasi di atas, yang paling tepat diterapkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah metode analogi (Argumentum Per Analogiam), karena metode tersebut memperluas makna dari suatu peraturan. C. Metode Eksposisi (konstruksi hukum) Metode eksposisi akan digunakan apabila ada kekosongan hukum atau kekosongan undang-undang. Metode ini adalah metode konstruksi hukum, yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian hukum, bukan untuk menjelaskan barang. Pengertian hukum yang dimaksud adalah konstruksi hukum yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum 17
Bambang Sutiyoso, op.cit., hal. 144-145.
63 yang dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Pada metode eksposisi ini dibagi menjadi dua, yaitu metode eksposisi verbal dan yang tidak verbal. Metode eksposisi verbal dibagi menjadi lebih lanjut menjadi verbal prinsipal dan verbal melengkapi. Sedangkan metode eksposisi yang tidak verbal adalah metode representasi. Metode eksposisi digunakan apabila ada kekosongan hukum. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara kekosongan hukum dengan peraturan perundangundangan tidak lengkap. Kekosongan hukum menggambarkan suatu kondisi tidak ada satu peraturan perundangan-undangan pun baik di dalam maupun di luar negeri yang mengatur sesuatu hal. Berbeda dengan peraturan perundangundangan tidak lengkap menggambarkan suatu undang-undang tidak lengkap dalam mengatur suatu hal namun masih bisa diketemukan dengan mengkaitkaitkan dengan peraturan perundang-undangan lain, misalnya UURS 20/2011 yang tidak lengkap karena tidak mengatur tata cara atau prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun, namun prosedurnya dapat dikaitkan dengan Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional Nomor 600-1610-DIV Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial (sebagian) (Selanjutnya disebut SE-BPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial) yang terbit berdasarkan penjelasan Pasal 16 UURS 16/1985. Sehingga dari keseluruhan metode penemuan hukum di atas, maka yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analogi karena dapat diterapkan apabila undang-undangnya tidak lengkap. Begitu pula dengan permasalahan dalam penelitian ini, yakni UURS 20/2011 tidak lengkap dalam hal
64 tata cara atau prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun. Kemudian metode argumentum per analogiam dapat mengartikan suatu klausla dalam Akta Jual Beli (selanjutnya disebut AJB) yang menyatakan bahwa ”penjual menjamin objek jual beli tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang” dapat dikonkretkan menjadi penyelenggara rumah susun yang membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi wajib membebaskan sarusun yang akan dijual dari hak tanggungan sebelum menjual ke calon pembeli. Lalu timbul lagi pertanyaan bagaimana cara membebaskan hanya 1 unit sarusun dari beban hak tanggungan padahal yang dibebankan adalah hak atas tanah bersama, yang berarti keseluruhan rumah susun. Dikaitkan kembali ke SEBPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial, maka penyelenggara rumah susun wajib melakukan roya partial sebelum menjual sarusun. Dengan demmikian penjual dapat menjamin bahwa objek jual beli tidak terikat sebagai jaminan untuk suatu utang.
1.2. Konsep Rumah Susun Ridwan Halim menyatakan bahwa dengan pembangunan rumah susun sebidang tanah dapat digunakan secara optimal untuk menjadi tempat tinggal bertingkat yang dapat menampung sekian dan sebanyak mungkin orang.18 Sehingga melalui pembangunan rumah susun yang dapat menampung 18
Ridwan Halim, 1990, Hak Milik, Kondominium, dan Rumah Susun, Puncak Karma, Jakarta, hal 299.
65 menampung orang dalam kapasitas yang banyak, maka optimalisasi penggunaan tanah secara vertikal sampai beberapa tingkat akan lebih efektif daripada optimalisasi penggunaan tanah secara horizontal. Sejalan dengan pendapat Ridwan Halim, Siswono Judohusodo menyatakan bahwa membangun rumah susun di kota besar adalah kecenderungan masa depan yang tidak dapat dihindari, yang memang perlu di masyarakatkan, dan perlu ada penyesuaian pada budaya-budaya yang ada pada masyarakat Indonesia.19 Yang dimaksud “dimasyarakatkan” pada pendapat Siswono adalah dalam artian peraturan-peraturan yang terkait pelaksaan rumah susun perlu disosialisasikan lebih luas agar masyarakat mengerti dan memahami maksud dan tujuan pelaksanaan rumah susun. Sistem kepemilikan atas bangunan bertingkat sudah dikenal di Indonesia, namun sistem kepemilikan atas gedung bertingkat tersebut berupa sistem kepemilikan tunggal dimana pemilik seluruh gedung dan pemegang hak atas tanahnya merupakan pihak yang sama. Jika ada pihak lain yang ingin menggunakan bagian dari gedung tersebut, maka ia harus melakukan hubungan sewa-menyewa dengan pemilik gedung. Sejak terbitnya UURS 16/1985, penghuni dan pengguna bagian gedung tersebut menjadi dimungkinkan untuk memiliki sebagian dari gedung tersebut dan juga sebagian atas tanah tempat gedung tersebut berdiri secara proporsional. Pemilikan bagian-bagian gedung secara individual dimungkinkan dalam bentuk Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sedangkan bagian-bagian lainnya 19
Siswono Judohusodo, 1991, Rumah Untuk Seluruh Rakyat, INKOPPOL Unit Percetakan Bharakerta, Jakarta, hal 27.
66 yang dimiliki secara bersama. Demikian juga dengan tanahnya, menjadi milik bersama yang tidak terpisah dari semua pemilik sarusun yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemilikan sarusun yang bersangkutan. Dari pengertian rumah susun yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 UURS 20/2011 menunjukkan unsur-unsur rumah susun adalah sebagai berikut: 1. Rumah susun dari segi fisiknya merupakan bangunan yang berlantai lebih dari satu; 2. Dalam fungsinya rumah susun dapat digunakan secara vertikal ataupun horizontal; 3. Pada rumah susun ada bagian yang dapat digunakan dan dimiliki secara terpisah oleh pemiliknya yang disebut sarusun; 4. Pada rumah susun terdapat hak bersama dari seluruh pemilik sarusun yang terdiri atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama; 5. Tujuan utama pembangunan rumah susun adalah diutamakan untuk tempat hunian atau rumah tinggal. Dilihat dari tujuan utama pembangunan rumah susun adalah untuk tempat hunian atau rumah tinggal, maka Imam Kuswahyono memiliki pendapat yang lebih spesifik terkait tempat hunian atau rumah tinggal sebagai tujuan utama pembangunan rumah susun, yaitu: 1. Sebagai upaya pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak di suatu lingkungan yang sehat; 2. Sebagai upaya untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras, dan seimbang; 3. Sebagai upaya untuk meremajakan daerah-daerah kumuh (slums);
67 4. Sebagai upaya untuk mengoptimalkan sumber daya yang berupa tanah di perkotaan; 5. Sebagai upaya untuk mendorong pembangunan pemukiman yang berkepadatan tinggi.20 Walaupun tujuan utama pembangunan rumah susun adalah untuk tempat hunian atau tempat tinggal, dalam prakteknya konsep rumah susun ini banyak digunakan untuk kondotel yang memiliki tujuan utama bukan sebagai tempat hunian atau rumah tinggal, melainkan sebagai hotel yang tidak dapat dihuni oleh pemilik SHMSRS. Kepemilikan unit kondotel dibuktikan dengan SHMSRS, namun pemilik tidak dapat tinggal di kondotel tersebut. Ia hanya mendapatkan keuntungan hasil pengelolaan dari pengurus hotel berupa uang. Jadi pembelian unit kondotel mirip dengan membeli saham kepemilikan hotel yang sama-sama mendapat keuntungan hasil pengelolaan dari pengurus hotel. Hanya saja pada kondotel kepemilikannya dibuktikan dengan SHMSRS.
1.2.1. Pertelaan dalam Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah yang diakui oleh negara. Sertifikat dalam terminologi atau bahasa resmi hukum-hukum keagrariaan ditulis ”sertipikat”, dengan huruf p bukan f.21 Walaupun demikian dalam penelitian ini akan tetap menggunakan kata ”Sertifikat” dengan huruf ”f” karena di dalam peraturan
perundang-undangan
menggunakan
kata
”Sertifikat”
bukan
”Sertipikat”.
20
Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, Bayumedia, Malang, hal. 22. 21 Herman Hermit, 2004, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, Mandar Maju, Bandung, hal. 29.
68 Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah) menjelaskan bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Dengan demikan maka sudah jelas pembuktian kepemilikan sarusun adalah dengan SHMSRS. Dalam hal mengurus administrasi pertanahan, ditunjuk instansi pemerintah yang diberikan kewenangan yaitu Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut BPN) sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut Perpres No. 10 Tahun 2006).22 BPN adalah Lembaga pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Perpres No. 10 Tahun 2006. BPN bertugas melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Tujuan dan fungsi dilakukannya pendaftaran peralihan hak atas tanah menurut Adrian Sutedi adalah untuk memberikan kepastian hukum pemegang hak atas suatu bidang tanah. Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek, dan kepastian objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertipikat
22
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Predana Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso II), hal. 213.
69 sebagai tanda bukti haknya.23 Demikian pula dengan pendaftaran sarusun menjadi SHMSRS bertujuan dan berfungsi untuk memberikan kepastian hukum kepada pemilik sarusun. Menurut Herman Hermit, hak milik atas satuan rumah susun bukanlah macam hak atas tanah, melainkan hak milik atas fisik satuan rumah susun, namun tetap merupakan obyek pendaftaran tanah yang wajib disertifikatkan.24 Pendapat ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 20 PP Pendaftaran Tanah yang sudah dijabarkan di atas. Pensertifikatan hak milik satuan rumah susun tersebut diperlukan untuk pembuktian hak yang dimiliki pemegang SHMSRS, sehingga pemilik sarusun mendapat perlindungan hukum. Pensertifikatan satuan rumah susun tidak hanya untuk bangunan rumah susun saja, melainkan juga untuk bangunan bertingkat lainnya seperti kondominium/flat, ataupun gedung-gedung bertingkat untuk bukan hunian seperti pertokoan dan gedung perkantoran berlaku aturan-aturan seperti pada rumah susun.25 Hal ini menjelaskan bahwa pembahasan perlindungan hukum pemilik sarusun dalam penelitian ini bukan hanya sarusun yang bertujuan sebagai tempat hunian atau tempat tinggal saja seperti yang diatur dalam UURS 20/2011, melainkan juga gedung pertokoan, gedung perkantoran, dan kodominium seperti yang dikatakan Herman Hermit. Terdapat 2 bagian utama yang ada pada sertifikat tanah hak milik yaitu Buku Tanah dan Surat Ukur. Sedangakan pada SHMSRS ada 4 bagian utama yang harus tertera didalamnya sesuai Pasal 47 ayat (3) UURS 20/2011 yaitu 23
Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adrian Sutedi III), hal. 278. 24 Herman Hermit, op.cit., hal 30. 25 Ibid., hal. 31.
70 salinan buku tanah, salinan surat ukur atas hak tanah bersama, gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki, dan pertelaan/uraian mengenai besarnya hak pemilik atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang bersangkutan. Hak milik satuan rumah susun adalah hak milik yang bersifat perseorangan dan terpisah, yang termasuk juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan gedung rumah susun. Menurut Imam Kuswahyono sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Pemilikan tunggal (single ownership); Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung bertingkat itu berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan pemilik gedung. 2. Pemilikan bersama (joint ownership). Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat ada atau tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik gedung bertingkat itu, yaitu sebagai berikut: a. Pemilik bersama yang terikat, yaitu adanya ikatan hukum lebih dahulu antara pemilik. Dasar pengaturannya yaitu Permendagri No. 14 Tahun 1975. b. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik untuk dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan bersama yang bebas inilah yang dikenal sebagai condominium.26 Sejalan dengan pemikian Imam Kuswahyono, Eman Ramelan berpendapat bahwa jika seseorang memiliki hak atas bagian dari bangunan bertingkat yang dinamakan hak milik satuan rumah susun, maka ia memiliki dua jenis hak, yaitu: 1. Hak yang bersifat perorangan, yaitu hak milik atas bagian dari gedung itu atau yang dinamakan sarusun; dan 26
Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 12.
71 2. Hak yang bersifat kolektif, yaitu hak atas benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama.27 Dengan adanya dua jenis hak sebagaimana pendapat dari Imam Kuswahyono dan Eman Ramelan tersebut tentu ada bagian-bagian yang perlu diperhitungkan atau diatur secara tegas, perhitungan tersebut disebut dengan pertelaan. Menurut Eman Ramelan, dari pertelaan tersebut akan muncul satuansatuan rumah susun yang terpisah secara hukum dengan rumah susun dan hak atas tanah bersamanya melalui proses pembuatan akta pemisahan. 28 Dengan demikian pertelaan sangat penting dalam sistem rumah susun karena disini titik awal dimulainya proses terbitnya SHMSRS. Baik UURS 16/1985, UURS 20/2011, maupun Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun tidak memberikan definisi dari pertelaan secara jelas, namun ada beberapa pasal yang menyebut istilah pertelaan, antara lain: 1. Pasal 9 ayat (2) huruf c UURS 16/1985 mengatur bahwa SHMSRS sebagai tanda bukti hak milik atas sarusun terdiri atas pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah-bersama yang bersangkutan; kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. 2. Pasal 30 UURS 20/2011 mengatur bahwa pelaku pembangunan setelah mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) wajib meminta pengesahan dari pemerintah daerah tentang pertelaan yang 27
Eman Ramelan, et. al., 2014, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pembeli Satuan Rumah Susun / Strata Title / Apartemen, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, hal 1-2. 28 Ibid. hal 10.
72 menunjukkan batas yang jelas dari setiap sarusun, bagian-bersama, bendabersama, dan tanah bersama beserta uraian NPP. 3. Pasal 31 ayat (4) UURS 20/2011 mengatur bahwa dalam hal pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan pengubahan NPP, pertelaannya harus mendapatkan pengesahan kembali dari bupati/walikota. 4. Pasal 47 ayat (3) huruf c UURS 20/2011 mengatur bahwa SHMSRS sebagai tanda bukti hak milik atas sarusun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama bagi yang bersangkutan. (Pasal ini merupakan terusan dari Pasal 9 UURS 16/1985) 5. Pasal 48 ayat (2) huruf d UURS 20/2011 mengatur bahwa SKGB sarusun sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan sewa terdiri atas pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda bersama yang bersangkutan. 6. Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun menerangkan bahwa akta pemisahan adalah tanda bukti pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal yang mengandung nilai perbandingan proporsional.
73 Dari pasal-pasal di atas maka dapat disimpukan bahwa pertelaan adalah uraian dalam bentuk gambar terhadap besarnya hak bersama yang termasuk di dalamnya batas-batas dalam arah vertikal dan horizontal masing-masing sarusun yang diterbitkan dan disahkan oleh bupati/walikota. Maka pertelaan harus dibuat dengan benar, jelas, dan tidak saling tumpang tindih hak-hak nya agar mengurangi kemungkinan terjadinya masalah dikemudian hari. 2.2.2. Hak Tanggungan dalam Rumah Susun Hak tanggungan merupakan lembaga jaminan yang dibentuk berdasarkan Pasal 51 UUPA yang menyatakan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang. Maka diterbitkanlah UUHT pada tahun 1996 sehingga menghapus ketentuan pasal 57 UUPA yang menyatakan bahwa selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut
dalam Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata
Indonesia dan
Credietverband tersebut dalam Saatsblad 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Dengan demikian maka Pasal 12 sampai dengan 17 UURS 16/1985 yang mengatur tentang pembebanan dengan hipotik dan fidusia memang sudah layak untuk diganti mengikuti UUHT, namun UURS 20/2011 tidak mengganti, melainkan menghapus pasal-pasal tersebut sehingga tidak ada pengaturan mengenai pembebanan tanah rumah susun. Menurut Sutan Remy Sjahdeini sebagaimana dalam buku yang ditulis oleh Adrian
Sutedi
menyatakan
bahwa
ketentuan
tentang
Hypotheek
dan
74 Credietverband itu tidak sesuai lagi dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dan kemajuan pembanguan ekonomi.29 Pendapat tersebut berkaitan dengan Hypotheek dan Credietverband berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum berlakunya UUPA sehingga tidak sesuai lagi dengan asas-asas hukum tanah di Indonesia. Begitu pula dengan UURS 16/1985 dalam rangka penjaminan tanah rumah susun guna mendapatkan kredit konstruksi, karena terbit sebelum adanya UUHT maka masih menggunakan hipotik jika tanahnya merupakan tanah hak milik atau HGB dan fidusia jika tanahnya merupakan tanah hak pakai atas tanah negara. Hak tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan suatu utang tertentu memiliki beberapa asas, yaitu: 1. Kedudukan yang diutamakan (Pasal 1 angka 1 UUHT) Yang dimaksud pada asas ini adalah memerikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada krediturnya. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan dalam pelunasan piutangnya daripada kreditor-kreditor lain atas hasil penjualan objek hak tanggungan. 2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) UUHT) Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali diperjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT). Hak Tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi
29
Adrian Sutedi II, op.cit., hal 2.
75 objeknya dan setiap bagian daripadanya. Dengan demikian, jika debitur membayar sebagian dari utangnya, maka pembayaran itu tidak serta merta membebaskan sebagian dari benda yang dibebani Hak Tanggungan. 3. Hak Tanggunan adalah perjanjian tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) UUHT) Hak Tanggunan adalah perjanjian tambahan atau ikutan pada perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokok. Dengan demikian, hapusnya Hak Tanggunan tergantung pada perjanjian pokoknya. Jika perjanjian utang piutang sudah lunas maka berakhir pula perjanjian pokok tersebut, sehingga Hak Tanggunan juga berakhir. 4. Asas selalu mengikuti objeknya (Pasal 7 UUHT) Artinya walaupun pemilik objek Hak Tanggungan telah beralih kepada orang lain, Hak Tanggungan yang ada tetep melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat. 5. Asas spesialitas dan publisitas (Pasal 13 UUHT) Asas spesialitas maksudnya objek Hak Tanggungan harus disebutkan secara tegas dan jelas mengenai letak, luas, batas-batas, dan bukti kepemilikkan benda yang dibebani tersebut. Asas publisitas artinya pembebanan Hak Tanggungan harus dapat diketahui umum, oleh karena itu APHT harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan. 6. Asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya Artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.
76 Terdapat pengecualian pada asas hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yakni apabila diperjanjikan lain dalam APHT. Diperjanjikan lain dalam hal ini adalah memungkinkan dilakukannya roya partial sebagaimana diatur dalam SEBPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial. Surat Edaran tersebut terbit berdasarkan penjelasan Pasal 16 UURS 16/1985 yakni penyesuaian dari ketentuan Pasal 1163 KUHPdt yang berisi prinsip bahwa hipotik tidak dapat dibagi-bagi. Roya partial merupakan kelembagaan hukum baru, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang memungkinkan penyelesaian secara praktis terhadap bagian benda apabila telah dilunasi sebagaian, sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan lainnya. Dengan demikian apabila utang telah dilunasi sebagian, maka dapat dilakukan roya partial, sepanjang objek jaminan terdiri dari beberapa bidang tanah. Dalam rumah susun dapat pula dilakukan roya partial sesuai Pasal 16 UURS 16/1985. Pembebanan yang semula pada tanah dipindahkan ke masingmasing SHMSRS, kemudian dilakukan roya partial untuk salah satu sarusun sehingga sarusun tersebut bebas dari beban jaminan dan bisa dijual. Suatu kemunduran hukum terjadi ketika UURS 20/2011 terbit, karena tidak lagi mengatur hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UURS 16/1985 sehingga menghapus dasar hukum terbitnya SE-BPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial. Hak tanggungan lahir karena adanya perjanjian utang piutang sebagai perjanjian tambahan (accessoir). Tentunya hak tanggungan yang lahir tidaklah
77 abadi, karena itu hak tanggungan dapat berakhir. Pasal 18 ayat (1) UUHT menjelaskan ada 4 (empat) sebab berakhirnya Hak Tanggungan, yaitu: 1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; Hal ini terkait dengan kedudukan Hak Tanggungan adalah sebagai perjanjian tambahan (accessoir) untuk menjamin terlaksananya perjanjian pokok yakni perjanjian kredit. Maka logika-nya apabila perjanjian pokoknya berakhir maka secara otomatis perjanjian tambahannya juga berakhir. Berakhirnya Hak Tanggungan yang disebabkan oleh berakhirnya perjanjian pokoknya perlu dipertegas lagi dengan pemeberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. 2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; Hal ini diatur untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT. Pelepasan Hak Tanggungan dibuat dalam pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. 3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; Berakhirnya
Hak
Tanggungan
karena
adanya
pembersihan
Hak
Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, hal ini terjadi karena permohonan dari pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela
78 dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian. Pembersihan tersebut dilakukan dengan pernyataan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan yang berisi dilepaskannya Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian. Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan para kreditur tidak menemukan suatu kesepakatan mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi hak pembelian, maka pembelian benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya melihat letak objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang di antara para kreditur. 4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Dengan hapusnya hak atas tanah sebagai objek Hak Tanggungan, maka tanah tersebut kembali dalam kekuasaan negara. Adapun sebab-sebab yang memungkinkan hapusnya hak atas tanah, yaitu: a. b. c. d. e. f.
Jangka waktu hak atas tanah berakhir; Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir; Karena suatu syarat batal dipenuhi; Dicabut untuk kepentingan umum; Tanahnya musnah; dan Dilepaskan dengan sukarela oleh yang mempunyai hak atas tanah.30
Adapun hak-hak atas tanah yang memiliki jangka waktu adalah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Penghentian sebelum jangka waktu disini dapat disebabkan oleh pemegang hak atas tanah melakukan wanprestasi selama
30
Adrian Sutedi II, op.cit., hal. 82.
79 diberikannya hak atas tanah oleh pemilik hak yang utama. Pemilik hak yang utama dalam hal ini yaitu pemegang Hak Milik, Hak Pengelolaan, atau Negara. Dengan hapusnya hak atas tanah sehingga menyebabkan hapusnya Hak Tanggungan tidak serta merta menghapuskan perjanjian pokoknya yakni perjanjian kredit. Yang membedakan hanya kreditur yang semula sebagai kreditur preferen menjadi kreditur konkuren. Pelaksanaan penghapusan Hak Tanggunan dilakukan dengan pencoretan catatan atau roya Hak Tanggungan. Hal ini dilakukan demi peningkatan tertib administrasi. Mengenai prosedur pencoretan Hak Tanggungan secara tegas diatur dalam Bab VI Pasal 22 UUHT. Roya hak tanggungan juga dapat dilakukan secara partial atau sebagian sebagaimana diatur dalam SE-BPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial.
2.3. Asas-asas Pokok Hukum Kontrak Menurut Peter Mahmud Marzuki aturan-aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum yang secara umum.31 Dari pendapat tersebut maka asas-asas hukum merupakan suatu landasan berfikir yang bersifat sangat umum menjadi dasar ideologis dalam aturan-aturan hukum. Beberapa asas hukum bersifat abstrak atau samar-samar sehingga memerlukan upaya yang lebih besar untuk dapat dipahami dan diuraikan secara jelas. Asas hukum merupakan sumber dari
31
Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Surabaya, hal. 196. (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki III)
80 sistem hukum yang memberi inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakat. Menurut Agus Yudha Hernoko asas hukum sebagai landasan norma seperti alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya.32 Sehingga apabila ada aturan-aturan yang dianggap bertentangan dengan asas-asas hukum maka norma tersebut harus diperbaiki. Dalam sub bab ini khusus membahas asas-asas hukum yang lebih spesifik pada asas-asas pokok hukum kontrak, karena penelitian ini lebih membahas mengenai peralihan hak dengan perjanjian jual-beli maka harus mengedepankan asas-asas pokok hukum kontrak. Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah. Menurut Urip Santoso dalam bukunya “Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah”, beralihnya hak milik atas tanah artinya berpindahnya hak milik atas tanah dikarenakan suatu peristiwa hukum, yaitu peralihan hak milik atas tanah berdasarkan pewarisan. Sedangkan dialihkannya hak atas tanah artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilik kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum misalnya jual beli.
33
Dengan demikian dapat dianalisis bahwa peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena beralih ataupun dialihkan.
32
Agus Yudha Hernoko, 2013, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, hal. 103. 33 Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Predana Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso III), hal. 91-92
81 Peralihak hak karena hak tersebut dialihkan terjadi karenan adanya suatu perjanjian atau kontrak. Adapun yang menjadi asas-asas pokok hukum kontrak sudah tersirat dalam KUHPerdata, antara lain: 1. Asas Kebebasan Berkontrak; 2. Asas Konsesualisme; 3. Asas Proporsionalitas; 4. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda); 5. Asas Itikad Baik. Asas-asas tersebut di atas diurutkan sesuai dengan tahap pembuatan perjanjian dari menentukan hal yang diperjanjikan secara bebas, kemudian ada kata sepakat, lalu disusun perjanjian dengan seimbang atau tidak memberatkan salah satu pihak, sampai dengan daya mengikatnya suatu kontrak. Asas itikad baik penulis tempatkan dipaling akhir bukan karena yang paling tidak penting, justru malah asas itikad baik-lah yang paling penting untuk dilakukan sejak sebelum terjadinya kontrak sampai pelaksanaan kontrak. Itikad baik menurut penulis merupakan asas yang paling mendasar untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum. 1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak adalah suatu tindakan awal dalam kontrak yang menentukan hal-hal yang akan diperjanjikan dalam klausul-klausul kontrak. Meskipun asas ini tidak dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, namun mempunyai pengaruh yang kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
82 Pasal tersebut disimpulkan Subekti sebagai asas kebebasan berkontrak dengan menekankan pada kata “semua” yang ada sebelum kata “perjanjian”. Ia mengatakan bahwa Pasal 1338 KUHPerdata seolah-olah kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat sebagaimana UndangUndang.34 Dari pendapat tersebut terlihat bahwa asas kebebasan berkontrak tersirat dalam peraturan perundang-undangan. Asas kebeabsan berkontrak memperbolehkan para pihak menentukan secara bebas kehendaknya untuk diperjanjikan asalkan tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak adalah bebas bersyarat, sehingga tidaklah bebas sebebas-bebasnya karena masih ada hal-hal yang dilarang. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan untuk membuat kontrak sebagaimana diatur dalam KUHPerdata antara lain sebagai berikut: -
Pasal 1320, mengenai syarat sahnya perjanjian;
-
Pasal 1335, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa sebab atau dibuat berdasrkan sebab yang palsu;
-
Pasal 1337, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila terlarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum;
-
Pasal 1338, yang menekankan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik;
-
Pasal 1339, mengenai terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud pasal ini bukanlah kebiasaan 34
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5.
83 setempat, melainkan ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu (kalangan hukum adat) selalu diperhatikan. Dengan adanya pengaturan tersebut maka asas kebebasan berkontrak ada ramburambu yang perlu diperhatikan yaitu syarat-syarat sahnya kontrak; menentukan sebab berkontrak untuk mencapai tujuan para pihak; suatu sebab bukan merupakan sebab palsu atau sebab yang dilarang; tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan ketertiban umum; dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 2. Asas Konsensualisme Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Istilah secara sah artinya perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga perjanjian tersebut mengikat. Dengan demikian, suatu perjanjian agar dapat mengikat para pihak harus memenuhi syarat-syarat pada Pasal 1320 KUHPerdata yakni: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; dan 4. Suatu sebeb yang halal. Dalam syarat-syarat tersebut tercantum syarat sepakat yang merupakan perwujudan dari asas konsensualisme. Asas ini mengandung kehendak para pihak yang disimpulkan dengan kata sepakat untuk saling mengikatkan dirinya dan
84 menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak dalam pemenuhan perjanjian. Asas konsensualisme mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat sehingga dapat dianalisis bahwa Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUHPerdata merupakan perwujudan dari asas konsensualisme.
Sehingga
pelanggaran
terhadap
ketentuan
ini
akan
mengakibatkan perjanjian menjadi tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang. Menurut Rutten sebagaimana dikutip oleh Agus Yudha Hernoko menyatakan bahwa perjanjian itu dibuat pada umumnya bukan secara formal tetapi secara konsensual.35 Maka perjanjian adalah mengikat setelah ada kata sepakat karena persesuaian kehendak atau konsensus. 3. Asas Proporsionalitas Asas Proporsionalitas sering disamakan dengan asas keseimbangan, namun menurut Agus Yudha Hernoko pengertian asas keseimbangan lebih abstrak pemahamannya dibandingkan asas proporsionalitas.36 Ia merangkum beberapa pendapat sarjana tentang asas keseimbangan antara lain Sutan Remy Sjahdeini, Mariam Darus Badrulzaman, Sri Gambir Melati Hatta, dan Ahmadi Miru yakni secara umum memberi makna asas keseimbangan sebagai keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak. Dengan demikian, apabila terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak diperlukan intervensi dari pemerintah.37 Dari pemikiran tersebut maka daya kerja asas keseimbangan
35
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 121. Agus Yudha Hernoko, op.cit. hal. 79. 37 Agus Yudha Hernoko, loc.cit. 36
85 yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa dominan dalam kaitannya dengan kontrak konsumen. Mengingat dalam perspektif perlindungan konsumen terdapat ketidaksamaan posisi tawar antara pihak konsumen dan produsen. Sehingga konsumen berada pada posisi lemah dalam proses pembentukan kontrak. Berkaitan dengan penelitian ini, calon pembeli sarusun adalah sebagai konsumen dalam perjanjian jual beli perlu diberdayakan dan diseimbangkan posisi tawarnya. Maka dalam asas keseiumbangan yang bermakna equal equilibrium akan memberikan keseimbangan apabila terjadi posisi tawar yang tidak seimbang dalam menentukan kehendak. Dengan demikian diperlukan peran pemerintah sebagai pemegang otoritas negara dalam membentuk peraturan yang dapat mensejajarkan posisi tawar konsumen dan produsen terutama dalam bidang rumah susun. Sebagaimana pendapat Agus Yudha Hernoko pada awal sub bab ini menyatakan asas keseimbangan lebih abstrak dengan asas proporsionalitas. Hal tersebut karena yang dimaksud asas proporsionalitas menurutnya asumsi kesetaraan posisi para pihak yakni dengan terbukanya peluang negosisasi serta aturan main yang fair atau adil menunjukkan bekerjanya mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional.38 Sehingga pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan dari keadilan berkontrak
yang
mendominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan.
38
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 95.
86 4. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda) Daya mengikat kontrak dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yaitu bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang. Walaupun demikian terdapat batas tertentu antara kontrak dan undang-undang, yaitu terkait pada daya berlakunya. Undang-undang dengan segala proses dan prosedurnya berlaku dan mengikat untuk semua orang secara abstrak. Sedangkan daya berlaku kontrak terbatas pada para pihak yang mengikatkan diri, selain itu kontrak bermaksud untuk mengatur hal-hal konkret. Para pihak yang saling mengikat diri dalam suatu perjanjian dapat secara mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum diantara mereka. Perjanjian yang dibuat secara sah (vide Pasal 1320 KUHPerdata) berlaku seperti halnya undangundang yang dibuat oleh legislator, maka harus ditaati oleh para pihak, bahkan jika perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana penegakan hukum. Daya mengikat suatu kontrak sebagaimana dijelaskan diatas tidaklah mengikat sepenuhnya tanpa ada batas-batas dalam situasi tertentu. Menurut Niewenhuis sebagaimana dikutip oleh Agus Yudha Hernoko, menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada para pihak, namun pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi oleh 2 (dua) hal, yaitu:
87 1. Daya mengikat perjanjian itu dibatasi oleh itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik; 2. Adanya force majeure atau overmacht (keadaan memaksa) juga membatasi daya mengikatnya perjanjian terhadap para pihak saling mengikatkan diri tersebut. Pada dasarnya suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak, apabila tidak dipenuhi makan akan timbul wanprestasi dan bagi kreditor memiliki hak untuk mengajukan gugatan, baik ganti rugi atau pembatalan perjanjian. Dengan adanya force majeure atau overmacht, maka gugatan kreditor akan dikesampingkan mengingat ketiadaan prestasi tersebut terjadi di luar kesalahan debitur (vide Pasal 1444 KUHPerdata). 5. Asas Itikad Baik Asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas proporsionalitas, dan asas daya mengikatnya perjanjian sebagaimana diuraikan di atas tidaklah berdiri dalam kesendiriannya, asas-asas tersebut berada dalam suatu sistem yang terpadu dan ketentuan-ketentuan lainnya. Mengenai daya mengikatnya perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sunt servanda), pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi, salah satunya dengan itikad baik. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Sedangkan mengenai apa yang dimaksud dengan itikad baik (goede trouw; good faith) tidak ada suatu definisi yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan ‘itikad’ adalah kepercayaan, keyakinan yang
88 teguh, maksud, kemauan (yang baik). Dalam Black’s Law Dictionary merumuskan: “Good faith is an intangible and abstract quality with no technical meaning or statutory definition, and compasses, among other things, an honest belief, the absence of malice and the absence of design to defraud or to seek an unconscionable advantage, and an individual’s personal good faith is concept of his own mind and inner spirit and, therefore, may not conclusively be determinded by his protestation alone…… In common usage this term is ordinarily used to describe that state of mind denoting honestly of purpose, freedom from intentioan to defraud, and generally speaking, means being faithful to one’s duty or obligation.” Dari pengertian tersebut itikad baik merupakan sesuatu yang menjiwai para pihak untuk tidak memanfaatkan suatu kondisi yang menguntungkannya dengan merugikan pihak lain, melainkan mencari keuntungan yang wajar tanpa ada pihak lain yang merasa dirugikan. Asas itikad baik ini tidak terlihat tetapi dapat dirasakan, sehingga tidak bisa dirumuskan secara konkret dalam suatu peraturan perundang-undangan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, itikad baik dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 1. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik dalam hal ini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk memulai hubungan hukum sudah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedangkan bagi pihak yang beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus menanggung jawab dan menanggung resiko. Itikad baik semacam ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1977 dan Pasal 1963 KUHPerdata, yaitu terkait dengan salah satu syarat untuk
89 memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subyektif dan statis. 2. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah sifat obyektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat itikad baik dalam hal ini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan suatu hal.39 Beranjak dari pendapat tersebut maka pengertian itikad baik menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dengan ketentuan Pasal 1963 dan Pasal 1977 KUHPerdata hendaknya dibedakan. Pengertian itikad baik menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata diberikan batasan dalam arti obyektif – dinamis, sedangkan pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 dan Pasal 1977 KUHPerdata diberikan batasan arti subyektif – statis. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah asas itikad baik yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata karena lebih mengkhusus pada itikad baik dalam suatu perjanjian. Mengingat permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum pemilik sarusun yang berada di atas tanah bersama yang dibebankan hak tanggungan, maka asas itikad baik penulis pandang perlu diterapkan dalam tahap pembuatan hingga pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli. 39
Wirjono Prodjodikoro, 1992, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, hal. 56-62.
90 Itikad baik dalam Pasal tersebut bersifat dinamis artinya dalam melaksanakan hak dan kewajiban dalam perjanjian, kejujuran harus dalam hati sanubari seorang manusia. Sehingga selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat tidak boleh merugikan pihak lain apalagi menuangkannya dalam suatu perjanjian. Kedua belah pihak juga tidak boleh memanfaatkan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri. Begitu juga dengan pengembang rumah susun dalam menjual sarusun yang dibuatnya dilarang untuk memanfaatkan ketidaktahuan calon pembeli untuk mencari keuntungan. Walaupun sebenarnya ia tidak melanggar suatu peraturan, namun ia tidak mengindahkan asas itikad baik yang berlaku.