BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pajak merupakan iuran kepada negara. Sebuah iuran yang wajar, mengingat negara dan mereka yang membayar iuran sesungguhnya saling membutuhkan. Kontraprestasi yang diterima pembayar pajak bersifat tidak langsung, sebab pajak yang disetor kepada negara itu digunakan untuk menjalankan berbagai kewajiban negara, seperti pelayanan publik, menjaga pertahan dan keamanan, serta menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Indonesia hingga saat ini merupakan penyumbang terbesar di dalam membiayai anggaran dan belanja negara (APBN). Tercatat sampai dengan akhir bulan Oktober 2007, penerimaan pajak mencapai 76,8% atau senilai Rp.377,8 triliun dari target yang dipatok dalam APBN-P 2007 sebesar Rp.492 triliun.(sumber http://www.pajak.go.id: tgl.18 November 2007). Penerimaan negara dari sektor pajak telah menempati suatu posisi yang sangat strategis bagi keuangan negara, sehingga pemungutan maupun pengelolaannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A perubahan ketiga, yang berbunyi : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Hal demikian juga tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 8 yang berbunyi :
1
2
“ Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut : ...... h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.” Untuk dapat mewujudkan keteraturan dan kepastian hukum yang memenuhi rasa keadilan dan kesamaan maka sistem pemajakan beserta ketentuan-ketentuan perpajakan harus selalu ditinjau dan disempurnakan. Indonesia telah melakukan beberapa kali reformasi (pembaruan) di bidang perpajakan, yaitu : 1. Reformasi Perpajakan Tahun 1983. Undang-Undang yang dikeluarkan dalam reformasi perpajakan tahun 1983 adalah : a. UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; b. UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; c. UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; d. UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan; e. UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. 2. Reformasi Perpajakan Tahun 1994. Dalam tahun 1991, terdapat revisi kecil atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terutama menyangkut perluasan pengecualian pemajakan atas deviden. Selanjutnya perubahan undang-undang yang termasuk dalam reformasi perpajakan tahun 1994 adalah:
3
a. UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Pertama UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; b. UU Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; c. UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Pertama UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; d. UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan; 3. Reformasi Perpajakan Tahun 1997. Beberapa undang-undang yang dihasilkan dalam reformasi perpajakan tahun 1997 adalah sebagai berikut : a. UU Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak; b. UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah; c. UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (sebagai pengganti UU Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa); d. UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 4. Reformasi Perpajakan Tahun 2000. Berikut ini merupakan produk-produk perubahan peraturan pada reformasi perpajakan Tahun 2000 :
4
a. UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; b. UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; c. UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; d. UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; e. UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh seseorang atau badan usaha dalam Tahun Pajak. Pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan ada yang dikenakan tarif pajak yang bersifat masa (PPh Masa) maupun bersifat final (PPh Final). Pajak Penghasilan yang bersifat masa merupakan pembayaran angsuran pajak setiap bulan yang dilakukan oleh wajib pajak, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan melalui : 1. Pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal wajib pajak memperoleh penghasilan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan. Sebagaimana PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23. 2. Pembayaran oleh wajib pajak sendiri, seperti PPh Pasal 25.
5
PPh Masa tersebut di atas merupakan kredit pajak dalam hal menghitung Pajak Penghasilan Tahunan. Pembayaran tahunan dilakukan apabila jumlah pajak yang terhutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari jumlah kredit pajaknya, pajak dibayar dimuka (prepaid tax). Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan, Pemerintah diberi wewenang menerbitkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilanpenghasilan tertentu secara final. Diantara penghasilan yang dikenai PPh Final adalah jasa pengangkutan orang dan/atau barang bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dalam negeri. Pengertian pajak penghasilan yang bersifat final menurut Gunadi (2002:58) dalam Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan sebagai berikut : Dalam sistem pemajakan agar sederhana pengenaan pajak dilakukan dengan pemotongan pada sumbernya, berdasar penghasilan bruto (gross base), dengan tarif sepadan (flate rate) dan bersifat final.. Gross base artinya bahwa pajak dihitung berdasar penerimaan bruto tanpa memperhatikan jumlah biaya dan keadaan diri pembayar pajak. Tarif sepadan dimaksudkan untuk mengimplementasikan prinsip pengenaan pajak sama rata kepada semua Wajib Pajak. Sedangkan final (rampung) bertujuan untuk menyederhanakan pengenaan pajak dengan memperlakukan pembayaran pajak tersebut sebagai pelunasan rampung kewajiban pajak atas objek pajak tersebut tidak ada kewajiban tambahan lainnya lagi.
Karakteristik penghasilan tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan Final adalah : 1. Penghasilan yang dikenai PPh Final tidak perlu digabung dengan penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
6
2. Jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain sehubungan dengan penghasilan tersebut tidak dapat menjadi kredit pajak. 3. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan. Perusahaan pelayaran di dalam menentukan penghasilan kena pajak telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan menggunakan norma penghitungan khusus. Ketetapan ini dilakukan menurut penjelasan Pasal 15 UU No.10 Tahun 1994 Tentang Pajak Penghasilan karena adanya kesukaran dalam menghitung besarnya penghasilan
kena
pajak
netto
bagi
perusahaan
pelayaran,
berdasarkan
pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang usaha tersebut. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa implementasi atas pemotongan maupun pemungutan pajak penghasilan atas jasa yang bersifat final beserta kebijakan pembukuan berkaitan dengan norma penghitungan khusus pada perusahaan pelayaran dalam negeri. Sehingga penulis menyajikan penelitian ini dengan judul “EVALUASI PEMUNGUTAN PPH FINAL PERUSAHAAN PELAYARAN PADA PT. RIMBA SEGARA LINES”.
A. Perumusan Masalah Dengan terdapatnya masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis melakukan perumusan permasalahan tersebut sebagai berikut : 1. Bagaimana perlakuan akuntansi terhadap pemungutan PPh Final atas jasa perusahaan pelayaran ?
7
2. Bagaimana cara penghitungan penghasilan kena pajak pada perusahaan pelayaran berkaitan dengan penerapan norma penghitungan khusus? 3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kesukaran pada perusahaan pelayaran didalam menghitung penghasilan kena pajak netto?
B. Tujuan Penelitian Tujuan penulis melakukan penelitian atas PPh Final pada perusahaan pelayaran beserta implementasinya adalah : 1. Untuk mengetahui perlakuan akuntansi terhadap pemungutan PPh Final atas jasa perusahaan pelayaran. 2. Untuk
mengetahui
penerapan
norma
penghitungan
khusus
terhadap
penghitungan penghasilan kena pajak pada perusahaan pelayaran. 3. Untuk mengetahui serta menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan kesukaran pada perusahaan pelayaran didalam menghitung penghasilan kena pajak netto.
C. Kegunaan Penelitian Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak, diantaranya : 1. Bagi Peneliti Menambah wawasan keilmuan, teori dan konsep serta aplikasi di bidang akuntansi dan perpajakan. 2. Bagi Perusahaan
8
Dapat dijadikan sebagai pedoman maupun masukkan dalam perlakuan akuntansi atas jasa perusahaan pelayaran dan menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan kesukaran didalam menghitung penghasilan kena pajak netto. 3. Bagi Pembaca Untuk kalangan yang dalam kegiatannya berkaitan dengan jasa perusahaan pelayaran dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan rujukan seperti : Auditor yang hendak melakukan pemeriksaan perusahaan pelayaran atau mahasiswa yang sedang melakukan penelitian dengan obyek yang sama.