BAB I PENDAHULUAN Kondrosarkoma merupakan bentukan tumor ganas dari kartilago hialin dengan pembesaran yang lambat 1,2. Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif yang membentuk mesenkim, memproduksi kartilago hialin dan menghasilkan pertumbuhan yang abnormal dari tulang atau kartilago2. Kondrosarkoma merupakan tumor ganas primer ke-3 pada tulang setelah multiple myeloma dan osteosarkoma. Kejadian kondrosakoma 20% - 27% dari semua neoplasma primer ganas pada tulang dan 3,5 % dari semua tumor primer pada tulang yang perlu biopsi3. Kondrosarkoma ini biasa terjadi pada dewasa dekade 3-6 dengan laki-laki lebih banyak daripada perempuan3. Istilah kondrosarkoma menggambarkan kelompok lesi heterogen dengan ciri morfologi dan perilaku klinis yang bermacam-macam1. Kondrosarkoma dapat terjadi sebagai tumor primer maupun tumor sekunder dari perubahan lesi di kartilago sebelumnya4. Kondrosarkoma primer terdiri atas konvensional intramedular, clear cell, mesenkimal, juxtakortikal, dedifferentiated, mixoid
dan ekstraskeletal.
Kondrosarkoma konvensional intrameduler merupakan tipe yang paling sering (sampai 65% kasus)3. Berdasar lokasi, kondrosarkoma di kategorikan sebagai sentral dan perifer. Kondrosarkoma sentral berasal dari intrameduler, meskipun tumornya besar, mengerosi kortex dan menginvasi jaringan lunak di sekitarnya. Kondrosarkoma perifer
termasuk
kondrosarkoma
sekunder
yang
sebelumnya
berupa
lesi
osteokondroma dengan lesi yang berkembang dari permukaan tulang (jukstakortikal). 1
Kebanyakan lokasi skeletal yang sering terjadi kondrosarkoma adalah tulang panjang tubuler, kira-kira 45%. Femur merupakan tempat yang paling sering diikuti oleh tibia dan humerus. Tulang aksial juga merupakan tempat yang sering terjadi kondrosarkoma, dengan tempat yang paling sering adalah tulang inominata (os ilium, os ischium dan os pubis) kira-kira 25 %. Pernah dilaporkan juga kejadian kondrosarkoma di tulang iga, tulang vertebra, tulang scapula dan sternum3. Diagnosis kondrosarkoma sering kali ditegakkan berdasarkan temuan pada foto polos adanya lesi dengan tipikal matriks kondroit ring and arc pattern dengan ciri pertumbuhan yang agresif. Tambahan modal pencitraan lainnya meliputi CT, MR, dan bone scintigraphy diperlukan untuk evaluasi, staging dan sebagai guiding reseksi bedah. Alasan pemilihan kasus ini adalah karena kasus kondrosarkoma pada pelvis merupakan kasus yang sangat sering, namun selama penulis stase di CT scan maupun di stase polos, penulis hanya menemui sedikit kasus kondrosarkoma. Selain itu kondrosarkoma pada kasus ini
merupakan tumor yang besar dan unresektabel
sehingga kasus ini pernah didiskusikan bersama antara bagian ortopedi, patologi dan radiologi untuk membahas diagnosis dan terapi yang tepat untuk pasien ini. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui gambaran dari kondrosarkoma dan membedakan kondrosarkoma dengan lesi lain yang merupakan diagnosis pembandingnya.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kondrosarkoma merupakan tumor tulang ganas yang terdiri atas kondrosit anaplastik yang dapat tumbuh sebagai tumor tulang perifer atau sentral. Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif yang membentuk mesenkim, memproduksi kartilago hialin dan menghasilkan pertumbuhan yang abnormal dari tulang atau kartilago2,5. Kondrosarkoma dapat dibagi menjadi kondrosarkoma primer dan sekunder. Untuk keganasan yang berasal dari kartilago itu sendiri (de novo) disebut kondrosarkoma primer. Sedangkan apabila merupakan bentuk degenerasi keganasan dari penyakit lain seperti enkondroma, osteokondroma dan kondroblastoma disebut kondrosarkoma sekunder. Kondrosarkoma sekunder kurang ganas dibandingkan kondrosarkoma primer. Berdasar lokasi kondrosarkoma dapat diklasifikasi menjadi tumor sentral atau perifer6. Sarkoma primer pada tulang pelvis dianggap mempunyai prognosis lebih jelek dibandingkan lokasi lain di tulang panjang7. B. Anatomi pelvis Pelvis adalah sebuah tulang bentuk cincin yang terdiri dari sepasang tulang innominata, sakrum dan tulang ekor (gambar 1). Tulang-tulang inominata bersendi dengan sakrum di posterior pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan tulang inominata lainnya di anterior di simfisis pubis. Setiap tulang innominata terdiri dari 3
tiga bagian yaitu ilium, iskium dan pubis. Ketiganya bergabung di acetabulum (gambar 2 dan 3). Ilium adalah tulang datar melengkung dan menahan krista iliaka di superior. Anterior dan posterior spina iliaka superior berada di kedua ujung krista iliaka, dengan anterior dan posterior spina iliaka inferior di bawahnya. Permukaan bagian dalam tulang halus dan memiliki garis iliopectineal yang berjalan dari depan ke belakang, yang merupakan garis demarkasi pelvis8. Tulang pubis terdiri dari corpus, ramus superior dan inferior. Tulang pubis bergabung satu sama lain di simfisis pubis. Tulang pubis menahan rongga di aspek superomedialnya. Permukaan artikular simfisis pubis terdiri dari kartilago hialin dengan diskus fibrokartilago di antaranya. Tulang pubis diperkuat oleh ligamen. Ischium terdiri dari corpus dan ramus inferior yang bergabung dengan ramus inferior tulang pubis. Foramen obturatorium dikelilingi oleh corpus dan ramus tulang pubis dan corpus dan ramus tulang ischium8. Sendi-sendi sakroiliaca merupakan sendi kartilaginosa tipe simfisis. Sendi ini mempunyai hubungan fibrokartilago dan ujung-ujung tulangnya dibungkus oleh tulang rawan / kartilago hialin, dilapisi oleh sinovium dan di sokong oleh ligament dan
hanya
sedikit
bergerak.
Permukaan
sendi
datar
dan
tidak
merata.
Ketidakteraturan ini membantu mengunci sakrum ke tulang iliaka 5,8. Kartilago tersusun dari sel (kondrosit dan kondroblast) dan matriks. Kondroblas dan kondrosit memproduksi dan mempertahankan matriks. Matriks terdiri dari elemen fibrosa dan substansi dasar. Matriks ini kuat dan padat tetapi lentur. Matriks organik terdiri dari serat-serat kolagen dalam gel semi padat yang 4
kaya mukopolisakarida yang disebut juga substansi dasar. Kartilago memegang peranan penting dalam pertumbuhan panjang tulang dan membagi beban tubuh. Tulang bertambah panjang akibat proliferasi sel kartilago di lempeng epifisis. Selama pertumbuhan dihasilkan sel-sel tulang rawan (kondrosit) baru melalui pembelahan sel di batas luar lempeng yang berdekatan dengan epifisis. Saat kondrosit baru sedang dibentuk di batas epifisis, sel-sel kartilago lama ke arah batas diafisis membesar. Kombinasi proliferasi sel kartilago baru dan hipertrofi kondrosit matang menyebabkan peningkatan ketebalan (lebar) tulang untuk sementara. Penebalan lempeng tulang ini menyebabkan epifisis terdorong menjauhi diafisis. Matriks yang mengelilingi kartilago tua yang hipertrofi dengan segera mengalami kalsifikasi5. Pada orang dewasa, kartilago tidak mendapat aliran darah, limfe atau persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme dibawa oleh cairan sendi yang membasahi kartilago. Proses ini dihambat dengan adanya endapan garam-garam kalsium. Akibatnya sel-sel kartilago tua yang terletak di batas diafisis mengalami kekurangan nutrien dan mati. Osteoklas kemudian membersihkan kondrosit yang mati dan matriks terkalsifikasi yang mengelilinginya, daerah ini kemudian diinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang berkerumun ke atas dari diafisis, sambil menarik jaringan kapiler bersama mereka. Penghuni baru ini meletakkan tulang di sekitar bekas sisa-sisa kartilago yang terpisah-pisah sampai bagian dalam kartilago di sisi diafisis lempeng seluruhnya diganti oleh tulang. Apabila proses osifikasi telah selesai, tulang di sisi diafisis telah bertambah panjang dan lempeng epifisis telah kembali ke ketebalan semula. Kartilago yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng 5
memiliki ketebalan yang setara dengan pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis lempeng5. C. Epidemiologi Kondrosarkoma bisa mengenai semua orang dengan berbagai umur, meskipun sering terjadi pada dekade 5 atau 6 dengan perbandingan laki-laki : perempuan (1,5-2: 1).
Kondrosaroma jarang terjadi pada anak, dan seandainya terjadi kejadiannya
agresif. Meskipun semua tulang bisa terkena namun lokasi paling sering terkena adalah pelvis (40-50% dari semua kondrosarkoma)7, pergelangan bahu, tulang panjang bagian proksimal, iga, scapula, dan sternum. Kondrosarkoma primer jarang terjadi di tulang punggung (<1%) dan tulang kraniofasial dan juga jarang terjadi di tulang kecil tangan dan kaki (kira-kira 1%) 6. Kejadian kondrosarkoma di femur kirakira 20%-35% diikuti di tibia 5%. Ekstremitas atas kejadiannya sekitar 10%-20% dengan humerus bagian proksimal merupakan tempat yang paling sering terjadi. Kerangka aksial juga paling sering terkena dengan kejadian pada tulang innominata 25% kasus dan kejadian pada tulang iga 8%. Lokasi yang jarang terjadi antara lain di scapula (5%) dan di sternum (2%)3. Pada tulang panjang lesi umumnya terletak di metafisis (49%) diikuti di diafisis (36%). Kondrosarkoma konvensional yang terpusat di diafisis tidak banyak terjadi, hanya 16% kasus3. D. Gejala klinis Gejala klinis kondrosarkoma tergantung derajat tumor. Pada kebanyakan kasus, gejalanya ringan dengan waktu yang lama, berkisar dari beberapa bulan 6
sampai tahun, dan biasanya nyeri tumpul dengan teraba adanya masa. Pada derajat yang tinggi tumor dapat tumbuh cepat dengan nyeri yang menyiksa. Tumor di pelvis biasanya disertai dengan keluhan kencing yang sering atau sumbatan kencing6. Fraktur patologis terkadang menjadi gejala yang tampak lebih dulu (3-17 % kasus) pada pasien dengan kondrosaroma konvensional3. E. Klasifikasi Kondrosarkoma di klasifikasikan menjadi kondrosarkoma primer (90%) jika lesi denovo dan kondrosarkoma sekunder (10%) jika berasal dari defek kartilago jinak, seperti osteokondroma atau enkondroma. Selanjutnya diklasifikasikan sebagai kondrosarkoma sentral (jika letak lesi di kanal intramedular), kondrosarkoma perifer (jika letak lesi di permukaan tulang) dan kondrosarkoma jukstakortikal atau periosteal dengan kejadian jarang (2%). Secara patologi kondrosarkoma diklasifikasikan menjadi kondrosarkoma konvensional (80-85%), dan kondrosarkoma dengan subtipe tergantung lokasi, tampilan, terapi dan prognosis. Subtipe tersebut antara lain kondrosarkoma
clear
cell
(1%-2%),
kondrosarkoma
miksoid
(8%-10%),
kondrosarkoma mesenkimal (3%-10%) dan kondrosarkoma dedifferentiated (5%10%)6. Secara histologi berdasar ukuran lesi dan staining inti (hiperkromasia) dan seluleritasnya derajat kondrosarkoma dibagi dalam skala 1-3 (gambar 3). Derajat kondrosarkoma tersebut mencerminkan agresifitas lesi, derajat 1 merupakan tumor derajat rendah, derajat 2 merupakan derajat sedang dan derajat 3 merupakan derajat tinggi6. Tumor derajat 1 mempunyai kondrosit dengan inti tebal, meskipun beberapa 7
inti membesar (ukuran > 8 mikro) dan sedikit sel dengan multinucleated (kebanyakan binucleated). Stroma lebih dominan dengan area miksoid sedikit atau bahkan tidak ada.
Kondrosarkoma
derajat
1
ini
sulit
dibedakan
dengan
enkondroma.
Kondrosarkoma derajat 2 mempunyai matriks kondroid yang sedikit dan lebih banyak mengandung sel. Peningkatan sel lebih dominan di tumor perifer dengan matriks kondroit yang hampir tidak ada dan jarang ditemukan gambaran mitosis. Kondrosarkoma derajat 3, menampilkan sel-sel yang lebih besar dan inti lebih pleomorfisme dibandingkan derajat 2. Matriks kondroit jarang bahkan hampir tidak ada dengan material interseluler sedikit dan sering berupa mixoid. Selnya umumya bentuk stellat atau ireguler. Fokus nekrosis sering tampak dan sering meluas. Inti sel sering berbentuk spindle dengan ukuran bisa lebih besar 5-10 kali dibandingkan dengan ukuran normal3. F. Etiologi Etiologi kondrosarkoma masih belum diketahui secara pasti. Informasi etiologi kondrosarkoma masih sangat minimal. Beberapa zat-zat fisika dan kimia, seperti radiasi, beryllium, dan isotop radioaktif, telah menunjukkan faktor resiko potensial terhadap perkembangan tumor kondroid. Namun berdasarkan penelitian yang terus berkembang didapatkan bahwa kondrosarkoma berhubungan dengan tumor-tumor tulang jinak seperti enkondroma atau osteokondroma sangat besar kemungkinannya untuk berkembang menjadi kondrosarkoma. Tumor ini dapat juga terjadi akibat efek samping dari terapi radiasi untuk terapi kanker selain bentuk
8
kanker primer. Selain itu, pasien dengan sindrom enkondromatosis seperti Ollier disease dan Maffucci syndrom, beresiko tinggi untuk terkena kondrosarkoma9. G. Patogenesis Patogenesis kondrosarkoma primer maupun sekunder adalah terbentuknya kartilago oleh sel-sel tumor tanpa disertai osteogenesis. Sel tumor hanya memproduksi kartilago hialin yang mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan tulang dan kartilago. Secara fisiologis, kondrosit yang mati dibersihkan oleh osteoklas kemudian daerah yang kosong itu, diinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang melakukan proses osifikasi. Proses osifikasi ini menyebabkan diafisis bertambah panjang dan lempeng epifisis kembali ke ketebalan semula. Seharusnya kartilago yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis lempeng. Namun pada kondrosarkoma proses osteogenesis tidak terjadi, sel-sel kartilago menjadi ganas dan menyebabkan abnormalitas penonjolan tulang, dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi5. Proses keganasan kondrosit dapat berasal dari perifer atau sentral. Apabila lesi awal dari kanalis intramedular, di dalam tulang itu sendiri dinamakan kondrosarkoma sentral sedangkan kondrosarkoma perifer apabila lesi dari permukaan tulang seperti kortikal dan periosteal. Tumor kemudian tumbuh membesar dan mengikis korteks sehingga menimbulkan reaksi periosteal pada formasi tulang baru dan soft tissue. Penelitian baru-baru ini berkesimpulan patogenesis dari kondrosarkoma bisa melibatkan inaktifasi mutasional dari gen supresor tumor terdahulu. Telah dilaporkan terjadinya inaktifasi mutasional tumor supresor p16, Rb, dan p53 pada contoh 9
kondrosarkoma. Lebih lanjut lagi, inaktifasi p53 berhubungan dengan tumor tingkat yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih jelek10. H. Diagnosis Diagnosis kondrosarkoma dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi. Pemeriksaan radiologi meliputi pemeriksaan foto polos, CT scan, MRI dan PET scan. Foto polos atau foto konvensional merupakan pemeriksaan penting yang dilakukan untuk diagnosis awal kondrosarkoma. Foto polos bisa menggambaran lokasi lesi, identifikasi sifat kartilago dan agresifitasnya. Tampilan khas dari lesi tulang rawan pada radiografi polos adalah kalsifikasi diskrit. Lesi dapat berupa radiolusen atau sklerotik pada foto polos, dengan disertai adanya kalsifikas.
Tampilan
lesi
tergantung
jumlah
mineralisasi
yang
terjadi15.
Kondrosarkoma dimulai di metafisis dan meluas ke diafisis10. Baik kondrosarkoma primer atau sentral memberikan gambaran radiolusen pada area dekstruksi korteks dan muncul scallop erosion pada kortex endosteal atau disebut endosteal scalloping, dan penipisan atau penebalan korteks. Endosteal scalloping terjadi akibat pertumbuhan tumor yang lambat dan permukaan tumor yang licin. Pada kondrosarkoma, endosteal scalloping kedalamannya lebih dari 2/3 korteks, hal ini dapat membedakan kondrosarkoma dengan enkondroma9. Ketika tumor meluas ke jaringan lunak massa sering besar dan teraba. Bentuk destruksi biasanya berupa pengikisan dan reaksi eksternal periosteal pada formasi tulang baru. Karena ekspansi tumor, terjadi penipisan korteks di sekitar tumor yang 10
dapat mengakibatkan fraktur patologis. Gambaran kondrosarkoma lebih agresif disertai destruksi tulang, erosi korteks dan reaksi periosteal, jika dibandingkan dengan enkondroma9. Tumor high grade menunjukkan tepi yang tidak teratur. Kalsifikasi dari matriks tumor bisa berupa stippled, punctata, flocculent, atau ring and arc like pattern. Kalsifikasi bisa kecil, tersebar, padat maupun halus. Tidak ada kriteria absolut untuk penentuan malignansi. Namun, pada lesi maligna, terdapat kecenderungan penetrasi korteks tampak lebih jelas dan tampak massa jaringan dengan kalsifikasi yang ireguler. Namun, sering pula tampak area yang luas dengan sedikit kalsifikasi bahkan tanpa kalsifikasi sama sekali3,10,11,12. Destruksi korteks dan soft tissue di sekitarnya juga menunjukkan tanda malignansi tumor. Jika terjadi destruksi dari kalsifikasi matriks yang sebelumnya terlihat sebagai enkondroma, hal tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan ke arah keganasan menjadi kondrosarkoma10. Komponen radiolusen dari kondrosarkoma biasanya menunjukkan adanya lisis tulang tipe geografik dan lesi multilobulated berhubungan langsung dengan pola pertumbuhan lesi kartilago hialin. Pola lisis tulang yang lebih agresif (moth eaten dan permeative) bisa terlihat pada kondrosarkoma derajat tinggi tetapi lebih sering berhubungan dengan kondrosarkoma tipe mesenkimal, miksoid, dan dedifferentiated3. CT scan memiliki peran diagnostik untuk menunjukkan destruksi tulang, kalsifikasi kecil, dan batas ditemukan gambaran
intra dan ekstra tulang. Pada CT scan, 90% kasus
radiolusen
yang
berisi kalsifikasi
matriks kartilago.
Pemeriksaan CT scan memberikan hasil lebih sensitif untuk penilaian distribusi 11
kalsifikasi matriks dan integritas korteks. Endosteal scalloping pada tumor intramedullar juga terlihat lebih jelas pada CT scan dibandingkan dengan foto konvensional. CT scan ini juga dapat digunakan untuk memandu biopsi perkutan dan melihat adanya proses metastase di tempat lain9. MRI dapat menunjukkan lesi lobulated dengan sinyal rendah atau menengah pada T1W1 dan intensitas sinyal tinggi pada T2W1. MRI bisa menunjukkan staging yang tepat terhadap adanya keterlibatan meduler dan massa jaringan lunak. Kondrosarkoma derajat rendah menunjukkan lesi dengan pola lobulated dan adanya peningkatan septasi setelah dilakukan injeksi media kontras intravena. Tumor derajat tinggi tidak memiliki septasi dan menunjukkan peningkatan penyangatan heterogen yang difus. Tumor jinak dan kondrosakoma derajat rendah tidak dapat dibedakan dengan MRI dari matriks saja10. Kondrosarkoma
secara
khas
menunjukkan
peningkatan
penyerapan
radioisotop pada bone scan, namun belum bisa digunakan untuk membedakan antara osteokondroma dan enkondroma. Peningkatan penyerapan menunjukkan adanya aktifitas metabolik pada kondroma atau pada tranformasi ke ganas. Namun demikian tidak adanya peningkatan penyerapan, curiga keganasan bisa disingkirkan6. I. Diagnosis Banding 1. Enkondroma Enkondroma merupakan tumor intrameduler yang dikarakteristikkan oleh adanya bentukan kartilago hialin yang berbatas tegas. Enkondrama sebagai diagnosis banding terutama jika dibandingkan dengan kondrosarkoma derajat rendah9. 12
Enkondroma biasanya mempunyai gejala berupa nyeri ringan karena pertumbuhan yang lambat. Terdapat reaksi peritumoral minimal, dan avaskuler. Tumor ini sering ditemukan eksidental karena fraktur patologis. Pada foto polos, enkondroma tampak lesi bentuk panjang atau oval dengan tepi yang berbatas tegas. Pada lesi yang besar, tampak defek lusen yang merupakan endosteal scalloping dan korteks yang meluas dan tipis. Kalsifikasi pada lesi bisa berupa bercak atau cincin. CT berguna untuk mendeteksi
mineralisasi
matriks
dan
integritas
korteks.
MRI
membantu
mendeskripsikan bagian non mineral dari lesi dan dapat memvisualisasikan agresifitas dan destruksi di sekitar lesi. Gambaran radiologi enkondroma perlu di waspadai karena mempunyai potensial menjadi ganas diantaranya ukuran yang besar, komponen bukan mineral yang besar, korteks menipis secara signifikan, dan jika pada bone scan aktifitas lesi lebih besar dibanding spina iliaca anterior superior. Gambaran enkondroma yang sangat kuat mengarah ke transformasi ganas antara lain adanya destruksi yang progresif dari matriks kondroit, komponen non mineralisasi, dan lesi yang membesar yang menyebabkan nyeri atau massa jaringan lunak yang ekspansil13. 2. Osteosarkoma Osteosarkoma merupakan tumor tulang primer paling banyak dengan kejadian sekitar 25% dari semua tumor tulang primer. Osteosarkoma mempunyai karakteristik histologi pleomorfik, namun ada dua ciri untuk penegakan diagnostik secara histologi yaitu adanya kemampuan menghasilkan jaringan osteoid tanpa adanya perkembangan dari kartilago dan adanya alkalin phospatase didalam sel tumor. Berdasar derajat ossifikasi jaringan osteoid, osteosarkoma dibagi menjadi beberapa jenis: osteoblastik, 13
kondroblastik, fibroblastik, anaplastik atau telangiektasis. Masing-masing tipe ini mempunyai sedikit perbedaan secara radiologis11. Diferensial diagnosis dari kondrosarkoma adalah osteosarkoma tipe kondroblastik.
Insiden terjadinya
osteosarkoma pada umur 10-25 tahun dengan predileksi di sekitar lutut. Biasanya mengenai metadiafisis dari bagian distal tulang femur dan bagian proksimal dari tulang tibia. Osteosarkoma jarang terjadi di pelvis, tulang belakang, clavicula, scapula, iga, dan tulang-tulang kecil. Sepuluh persen terjadi di diafisis. Terlibatnya epifisis biasanya terjadi pada kasus yang sangat kronis. Kartilago di metafisis barlaku sebagai barrier sementara bagi perluasan tumor11.
Gambaran khas foto polos
osteosarkoma adalah adanya area eksentrik dengan destruksi tulang tipe permeatif di metadiafisis sekitar lutut disertai adanya erosi korteks dan adanya massa jaringan lunak yang berbatas tegas. Tampak adanya elevasi periosteum yang disebabkan adanya bentukan baru dari tulang yang dikenal sebagai codman’s triangle. Epifisis biasanya tampak normal. Tampak adanya kalsifikasi bentuk spikula amorf di massa jaringan lunak. Sklerosis dan destruksi tulang biasanya tampak didalam lesi tulang, namun kadang-kadang lesi berupa lesi litik11. 3. Fibrous Displasia Fibrous displasia adalah lesi jinak di skeletal yang sering terjadi dengan melibatkan satu tulang (monostotic) atau banyak tulang (polyostotic) dengan predileksi di tulang panjang, tulang iga, dan tulang kraniofasial, tulang belakang, pelvis dan biasanya unilateral. Bentuk monoostotik kira-kira 70-80% dari kasus fibrous displasia, selebihnya adalah tipe poliostotik. Derajat deformitas tulang relatif 14
lebih banyak pada tipe poliostotik. Tipe poliostotik paling banyak mengenai kepala, tulang fasial, pelvis dan tulang belakang dan biasanya mempunyai sifat unilateral. Kejadian fibrous displasia ini mirip proses kongenital. Fibrous displasia banyak mengenai anak dan dewasa muda, 75 % pasien berumur kurang dari 30 tahun dengan insiden tertinggi pada usia 3-15 tahun. Gejala awal fibrous displasia adalah nyeri disekitar lesi diikuti pincang dan fraktur spontan. Lesi pada pelvis sering menunjukkan tanda sheperd’s crook deformity dan deformitas coxa vara jika kasusnya sudah berat14. Secara klasik fibrous displasia berupa lesi di intrameduler, ekspansil, dan berbatas tegas. Meskipun terdapat endosteal scalloping, namun masih tampak kontur korteks yag halus. Lesi menunjukkan berbagai macam derajat densitas opasitas dengan tampak gambaran ground glass appearance, meskipun beberapa kasus hanya tampak hanya rodiolusen atau sklerotik. Lesi biasa menunjukkan peningkatan yang tidak spesifik terhadap radiotracer pada bone scan. CT dan MRI berguna membantu mengevaluasi komponen jaringan lunak dan perluasan lesi14.
15
BAB III LAPORAN KASUS Dilaporkan sebuah kasus pasien wanita 24 tahun dengan keluhan utama nyeri dan bengkak di pinggul kanan. Empat tahun sebelumnya masuk rumah sakit pasien mulai merasakan nyei di pinggul kanan. Nyeri dirasakan hilang timbul namun sering. Pasien tidak merasakan ada benjolan. Tidak ada keluhan lain selain rasa nyeri. Dua tahun kemudian pasien merasakan nyeri bertambah berat sehingga jalan pasien pincang. Pasien harus menggunakan tongkat untuk menyeimbangkan dan menahan rasa sakit saat berjalan. Pasien mulai merasakan adanya benjolan di pinggul kanan. Pasien juga merasakan berat badan sangat menurun, kira-kira berat badan turun 25 kg. Dua tahun kemudian, kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan menstruasi tidak teratur. Buang air kecil dan buang air besar kadangkadang tidak lancar. Nyeri di pinggul dirasakan bertambah, khususnya saat berbaring sehingga pasien tidak bisa berbaring dengan nyaman. Pasien juga tidak bisa menggerakkan paha kanan dengan bebas karena nyeri. Tidak ada anggota keluarga lain yang terkena keluhan serupa. Pada pemeriksaan saat masuk rumah sakit (16 februari 2011) keadaan umum pasien baik, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 92 x/mnt, rata-rata respirasi 20 x/mnt dan suhu tubuh 36oC. Pemeriksaan kepala dan leher normal, tak teraba pembesaran limfonodi. Pemeriksaan dada dan perut dalam batas normal. Status lokalis region hip kanan, inspeksi tampak bengkak di regio pelvis kanan, tak tampak tanda radang. Palpasi di regio pelvis kanan teraba masa dengan konsistensi kenyal, 16
keras dan berbatas tegas, dirasakan nyeri tekan (+), tak tampak adanya neurovascular disturbance. Fleksi dan ekstensi hip joint kanan terbatas karena nyeri. Foto polos dada dan pelvis (saat masuk rumah sakit, 16-2-2011) didapatkan kesan foto dada: thorax dan jantung dalam batas normal, tak tampak gambaran metastase ke paru maupun tulang di regio dada (gambar 8-9), sedangkan kesan pada foto pelvis tampak masa jaringan lunak di regio pelvis dextra dengan lesi densitas campuran yang berasal dari os ischium dan os ilium dextra batas tidak dengan kalsifikasi (+) menyebar, tak tampak adanya periostel reaction dengan hip joint dextra lebih sempit dibanding sinistra dan dikesankan suspek kondrosaroma DD osteosarkoma, saran CT scan untuk melihat perluasan lesi dan memastikan diagnosis. Satu hari setelah masuk rumah sakit (17 februari 2013) dilakukan USG perut atas dan bawah untuk melihat apakah ada penyebaran ke organ lain dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Hasil USG perut didapatkan tak tampak kelainan maupun metastasis pada organ hepar, vesica felea, lien, pankreas, kedua ren, vesica urianaria dan tak tampak adanya limfadenopati di para aorta bilateral dan di para iliaka bilateral (gambar 12). Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin rendah 8,3 g/dl. Sedangkan yang lain dalam batas normal. Pasien menjalani aspirasi jarum halus (AJH) dua hari setelah masuk rumah sakit (182-2011) dan diambil di 2 tempat, pinggul kanan dan kiri dengan hasil: ditemukan beberapa sel agak besar, polimorfi, inti bulat atau ovoid hiperkromatis, didapatkan pula fragmen-fragmen kecil tulang, dikesankan adanya sel atipi curiga keganasan dengan jenis sel tidak dapat ditetapkan. Karena tidak dapat ditentukan jenis selnya 17
maka direncanakan AJH ulang dengan panduan USG. AJH ulang (10 maret 2011) didapatkan hasil adanya sel-sel berkelompok yang tersebar dengan ukuran besar dan sitoplasma sedikit disertai inti yang besar, oval dan spindel, kromatin inti kasar, sebagian anak inti terlihat jelas. Didapatkan massa amorf miksoid (matriks kondroid). Latar belakang eritrosit merata, lekosit polimorfonuklear, limfosit, debris sel nekrotik dengan didapatkan sel ganas. Kesan dari sitologi AJH regio gluteus dextra menyokong kondrosarkoma dengan didapatkan sel ganas. Sepuluh hari setelah masuk rumah sakit (26 februari 2011) dilakukan pemeriksaan CT scan untuk melihat perluasan lesi (gambar 10-11), didapatkan hasil tampak massa di os ischium dextra yang meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra, dan sampai ke os sacrum aspek dextra batas tegas, bentuk amorf cenderung oval, dengan kalsifikasi tersebar bentuk flokulen, ukuran terbesar 15 cm x 13 cm yang mendestruksi os ilium dextra dan os sacrum dextra serta mendesak rectum ke sinistra dan VU ke anterosinistra. Tampak lesi hipodens dengan tepi ireguler di m. gluteus minimus dan medius dextra, m. obturator internus dextra dan m. iliopsoas dextra. Kesan dari CT scan massa dengan kalsifikasi tersebar di os ischium dextra meluas ke os pubis dan os ilium dexta yang menginfiltrasi m. gluteus minimus dan medius dextra, m. obturator internus dextra, dan m. iliopsoas dextra dengan ukuran terbesar 15 cm x 13 cm dengan destruksi os ilium dextra dan os sacrum aspek dextra dextra serta mendesak rektum ke sinistra dan kandung kencing ke anterosinistra sangat mungkin kondrosarkoma.
18
Diagnosis kerja pada pasien ini adalah kondrosarkoma regio pelvis kanan yang telah meluas ke jaringan sekitarnya dengan anemia. Pasien direncanakan kemoterapi.
19
BAB IV PEMBAHASAN Kondrosarkoma di pelvis merupakan kasus yang paling sering di banding kondrosarkoma ditempat lain. Kira-kira kejadiannya 40-50% dari semua kasus kondrosarkoma. Sarkoma tulang primer di pelvis dianggap mempunyai prognosis yang lebih jelek di banding sarkoma di lokasi lain di tulang panjang. Hal itu disebabkan karena secara anatomi tidak ada barier di pelvis yang bisa melawan tumor sehingga sebagian besar sarkoma di pelvis menghasilkan massa yang besar sehingga bisa menyebabkan ekstrakompartemental. Kondrosarkoma pelvis sering mengenai ilium dengan predileksi yang sering adalah daerah sekitar kartilago tri radiata. Meskipun lesi kondrosarkoma sering merupakan lesi yang besar, namun secara klinis sering kali terdapat keterlambatan munculnya gejala. Selain itu pemeriksaan radiografi sering kali menemukan kelainan yang minimal karena kompleknya anatomi pelvis. CT dan MR dapat menampilkan ciri agresif, destruksi kortek dan pembesaran massa jaringanya. Daerah mineralisasi matriksnya sering hanya bisa terdeteksi dengan CT scan, hal itu juga disebabkan karena anatomi pelvis sangat komplek. Beberapa kasus kondrosarkoma di pelvis sering invasi ke hip joint dan terjadi adenopati di daerah iliaca3,15,16,17,18. Tampilan
radiografi kondrosarkoma mempunyai karakteristik berupa lesi
campuran litik dan sklerotik. Lesi sklerotik merupakan matrik mineral berupa kalsifikasi bentuk ring arc, flokulen, stippled, punctata maupun popcorn. Adanya matrik mineral yang luas cenderung menunjukkan kondrosarkoma tipe agresif. 20
Namun pada kondrosarkoma mesenkimal dan kondrosarkoma terdiferensiasi, daerah matrik mineral sering menunjukkan kondroit yang relatif kurang luas dibanding kondrosarkoma konvensional, dan biasanya batasnya tidak tegas. Komponen radiolusen biasanya menunjukkan adanya lesi litik tipe geografik dengan bentuk multi lobuler. Lesi litik pada tulang tipe geografik ini menunjukkan pola pertumbuhan lesi pada kartilago hialin. Pada yang agresif atau tipe high grade, menunjukkan pola moth eaten dan permeatif. Pola moth eaten dan permeatif sering terdapat pada kondrosarkoma tipe mesenkimal dan tipe differentiated. Tanda kondrosarkoma yang lain adalah jika kedalaman endosteal scalloping, yaitu resorbsi fokal di tepi kortek tulang (khususnya tulang panjang), lebih dari 2/3 tebal kortek tulang panjang normal atau jika perluasan lesinya longitudinal lebih dari 2/3 panjang lesi. Hal ini yang membedakan antara kondrosarkoma tipe low grade dengan enkondroma. Endosteal scalloping menyebabkan pertumbuhan tulang melambat sehingga kortek merespon dengan memelihara tumor dikanal intrameduler. Usaha untuk memelihara tumor di kanal intrameduler pada kondrosarkoma menyebabkan remodeling korteks, penebalan korteks dan reaksi periosteal3,15,16,17,19,20. Ukuran jaringan lunak dan komponen yang terkena berhubungan dengan histologi. Semakin besar ukuran jaringan lunak cenderung pada kondrosarkoma tipe high grade. CT scan lebih baik dibanding radiografi konvensional terutama untuk menampilkan adanya kalsifikasi yang halus yang tidak terlihat pada radiografi konvensional. Selain itu pada lokasi dengan anatomi yang komplek seperti pada pelvis, CT scan dapat lebih menampilkan lesi dimana pada radiografi konvensional 21
hanya menemukan lesi abnormal yang minimal. CT scan dapat mengevaluasi kedalaman dan perluasan endosteal scalloping, destruksi dan penebalan korteks serta reaksi periosteal lebih baik dibanding radiografi konvensional18. Pada pasien ini penderita adalah wanita dengan usia 24 tahun. Berdasar beberapa kepustakaan, kondrosakoma sering mengenai laki-laki dibanding wanita dengan usia paling sering terjadi pada dekade 5-6. Kejadian kondrosarkoma pada pasien ini terjadi di pelvis. Kejadian kondrosarkoma di pelvis paling sering dari tulang inominata (os pubis, os ilium dan os ischium). Pasien mengeluh ada benjolan sudah 4 tahun dengan rasa nyeri dan terasa adanya masa. Pada pasien ini tumor sangat besar ukuran 15 cm x 13 dan menekan VU, colon rektosigmoid. Ukuran tumor kondrosarkoma lebih dari 11 cm cenderung tipe high grade. Pada foto polos pasien ini, tampak adanya lesi litik sklerotik dengan kalsifikasi menyebar, dan pada CT scan tampak kalsifikasi tipe arc dan ring yang menyatu membentuk flokulen. Pada CT tampak lebih jelas adanya destruksi kortek, endosteal scalloping, reaksi periosteal berupa multilobuler dan juga tepi soft tissue mass ireguler. Terdapat destruksi korteks tipe permeatif yang tampak jelas pada gambara
CT
scan.
Tanda-tanda
tersebut
mendukung
adanya
gambaran
kondrosarkoma tipe high grade. Pada pemeriksaan patologi didapatkan sel-sel berkelompok tersebar, ukuran besar, sitoplasma sedikit, inti besar, oval, spindle, kromatin inti kasar, sebagian anak inti terlihat jelas. Didapatkan massa amorf miksoid (matrix kondroid). Latar belakang eritrosit merata, lekosit PMN, limfosit, debris sel nekrotik. Didapatkan sel ganas. Hasil tersebut sesuai dengan gambaran histologi 22
kondrosarkoma tipe high grade (tipe 3). Lesi kondrosarkoma pada pasien ini merupakan lesi yang besar dan unresektabel. Dan tumor telah infiltrasi ke daerah sekitarnya. Namun tumor belum metastase ke organ-organ lain seperti paru, hepar dan otak. Stadium kondrosarkoma didasarkan pada Enneking staging system yang merupakan sistem pembagian yang biasa di terapkan pada sarkoma muskuloskeletal, dan bisa diterapkan pada kasus kondrosarkoma. Sistem tingkat menurut Enneking ini membagi tumor menjadi : Stadium 1 (tumor low grade) dengan IA tumor intrakompartmental dan IB tumor ekstrakompartmental, stadium II (tumor high grade) dengan IIA tumor intrakompartmental dan IIB tumor ekstrakompartmental, dan stadium III (tumor sudah metastasi jauh)15. Metastasis jauh pada kasus kondrosarkoma paling sering ke paru, limfonodi regional, dan hepar. Pada kasus ini masuk dalam stadium III. Sebagian besar kondrosarkoma tumbuh lambat dan jarang bermetastasis. Kondrosarkoma memiliki prognosis baik setelah operasi yang adekuat. Eksisi bedah secara luas tetap merupakan terapi terbaik pada tumor derajat sedang sampai tinggi. Namun, sebagian kecil pasien mengalami kekambuhan dengan metastasis sampai 13% kasus. Kasus yang sering mengalami kekambuhan adalah kondrosarkoma tipe high grade dan tipe primer19. Menurut Murphey et al, ada dua pilihan terapi pembedahan pada kondrosarkoma tipe low grade, yaitu pertama kuretase intra lesi, dengan ablasi termal atau kimia dan diberikan semen atau bone graft pada defeknya. Pilihan kedua yaitu 23
pembedahan dengan eksisi luas disertai rekonstruksi metal atau struktur graft. Kondrosarkoma konvensional yang menunjukkan adanya fokus destruksi kortek dan endosteal scalloping yang dalam atau lesi dengan histologi derajat 2-3 pada spesimen biopsi dianjurkan untuk dilakukan eksisi luas sampai mencapai daerah bebas tumor. Pembedahan secara agresif diperlukan untuk mengontrol tumor lokal secara optimal dan mengurangi frekuensi penyebaran tumor3. Kondrosarkoma relatif resisten terhadap kemo dan radioterapi. Penyebabnya antara lain karena kondrosarkoma banyak mengandung matriks ekstraselular, prosentase sel dalam membelah diri rendah, dan miskinnya vaskularisasi19. Sedang menurut Schrage YM et al, mekanisme resisten kondrosarkoma karena adanya ekspresi P-glykoprotein pada kondrosarkoma yang merupakan penyebab resisten kemoterapi. P-glycoprotein merupakan produk gen yang resisten terhadap multiple drug1. Tantangan bagi klinisi untuk mencegah terulangnya kekambuhan dan menemukan pilihan pengobatan yang lebih baik untuk kondrosarkoma yang tidak dapat dioperasi atau yang telah mengalami metastasis. Klasifikasi secara radiologi dan histopatologi yang berhubungan dengan gejala klinis, riwayat penyakit penting untuk mengambil keputusan terapi yang harus dilakukan oleh tim yang terdiri ahli patologi yang berpengalaman, ahli radiologi, medis onkologi, radioterapi, dan ahli bedah ortopedi19.
24
KESIMPULAN Dilaporkan kasus wanita 24 tahun dengan keluhan keluhan nyeri dan bengkak di pinggul kanan selama empat tahun sebelumnya masuk rumah sakit, perlahan dan memberat sampai terjadi gangguan BAK, BAB dan menstruasi serta gangguan gerak. Pada pemeriksaan didapatkan benjolan di regio pelvis kanan dengan konsistensi kenyal dan keras. Pasien mengalami anemia. Diagnosis ditegakkan dengan foto polos, CT scan dan diperkuat dengan PA sebagai kondrosarkoma. Foto thoraks dan USG perut atas dan bawah tidak didapatkan metastasis. Gambaran foto polos pelvis dikesankan suspek kondrosaroma dengan diagnosis banding osteosarkoma. Gambaran CT scan dikesankan sangat mungkin kondrosarkoma di os ischium dextra yang meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra, dan sampai ke os sacrum yang telah mengalami infiltrasi ke m. gluteus minimus dan medius dextra, m. obturator internus dextra dan m. iliopsoas dextra. Hasil pemeriksaan USG tak tampak metastasis ke organ hepar, vesica felea, lien, pankreas, kedua ren, vesica urianaria dan tak tampak adanya limfadenopati di para aorta bilateral dan di para iliaka bilateral. Pemeriksan patologi anatomi dengan AJH I tidak dapat menyimpulkan adanya sel ganas sedang AJH ke 2 didapatkan hasil menyokong kondrosarkoma dengan didapatkan sel ganas.
Pasien didiagnosis kerja dengan
kondrosarkoma dan diterapi dengan adjuvant kemoterapi.
25
LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR Gambar 1
www.doctorline.com
Gambar 2
http://teachmeanatomy.info/pelvis/bones/the-hipGb.2. Diagram tulang inominata (kiri) dan skema oblik menampilkan kartilago triradiata (kiri). Kartilago acetabulum terdiri atas kartilago hemisfer (HC) dan kartilgo triradiata (TC)
26
Gambar 3 Gb 3. Histologi kondrosarcoma. Seluleritas rendah pada grade I chondrosarcoma (A) dg matrik kondroit dan absennya mitosis. Grade II chondrosarcoma (B) mitoses ditemukan (inset). Grade III chondrosarcoma (C) seluleritas tinggi dengan matrik mucomiksoid yg berubah terlihat cytonuclear yg atypia (hematoxylin and eosin staining). www.TheOncologist.com
Gambar 4
Gambar 4. Kondrosarkoma di tibia AP/lateral: menunjukkan lesi dominan litik didiafisis yang meluas. Area mineralisasi matrik kondroit terlihat di superior (panah besar) dan fokus deep scalloping (panah kecil), remodeling kortek dan reaksi periosteal (kepala panah) posisi lateral (RadioGraphics 2003; 23:1245– 1278).
Gambar 5 Gambar 5. Axial CT menunjukkan deep endosteal Scalloping, destruksi kortek, perluasan soft tissue (M) dan kalsifikasi bentuk flocculent (C). Komponen non mineralisasi tampak area dengan atenuasi redah (RadioGraphics 2003; 23:1245–1278).
Gambar 6
27
Gambar 6. Radiografi shoulder AP, tampak di proksimal humerus, lesi campuran litik sklerotik dengan remodeling ekspansil. Komponen sklerotik menampilkan tipikal kondroit berupa kalsifikasi bentuk ring and arc (panah putih). Fokus litik terlihat di inferior (panah hitam) menunjukkan tipikal endosteal scalloping pada kondrosarkoma (RadioGraphics 2003; 23:1245–1278).
Gambar 7
Gb.7. Pasien wanita 24 tahun dengan benjolan di pelvis kanan
Gambar 8
28
Gb.8. Foto pelvis AP tanggal 16-22011. Lesi dengan densitas campuran yang berasal dari os ischium dan os pubis dextra dengan destruksi os ischium, dan os pubis dextra, batas tak tegas, dengan kalsifikasi berbentuk popcorn. Susp chondrosarcoma, DD osteosarcoma Saran : CT Scan
Gambar 9
Foto thorax tanggal 16-2-2011 Pulmo dan besar cor dalam batas normal
29
Gambar 10
30
31
32
33
Gb. 10.CT scan tanggal 26-2-2011. Tampak Massa dengan kalsifikasi tersebar di os iscium dextra meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra yang menginfiltrasi ke M. Gluteus minimus dextra, M. Gluteus medius dextra, M. Obturator internus dextra dan M. Ilipsoas dextra, ukuran terbesar 15 x 13 cm dengan destruksi os ilium dextra dan os sacrum dextra serta mendesak rectum ke sinistra dan VU ke anterosinistra sangat mungkin chondrosarcoma
34
Gambar 11
35
Gb. 11.CT scan 3D tanggal 26-2-2011. Tampak Massa dengan kalsifikasi tersebar di os iscium dextra meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra yang menginfiltrasi ke M. Gluteus minimus dextra, M. Gluteus medius dextra, M. Obturator internus dextra dan M. Ilipsoas dextra, ukuran terbesar 15 x 13 cm dengan destruksi os ilium dextra dan os sacrum dextra serta mendesak rectum ke sinistra dan VU ke anterosinistra sangat mungkin chondrosarcoma
Gambar 12
Gb 12. Foto USG tanggal 17-2-2011 Tak tampak kelainan maupun metastasis pada : hepar, vesica felea, lien, pancreas, kedua ren, vesica urinaria. Tak tampak limfadenopati paraaortici
36
TINJAUAN PUSTAKA 1. Schrage YM, Bovee JVMG, Hogendoorn PCW. Towards new therapeutic strategies in chondrosarcoma. Netherlands Organisation for Scientific Research; 2009. 2. Kundu S, Mousumi P, Ranjan R, Paul. Clinicopathologic correlation of chondrosarcoma of mandible with a case report. Contemporary Clinical Dentistry. Oct-Dec 2011;2: 390-93. 3. Murphey MD, Walker EA, Wilson AJ, Kransdorf MJ, Temple TH, Gannon FH. Imaging of primary chondrosaroma : Radiologic-pathologic correlation. Radiographics. 2003; 23: 1245-78. 4. Solomon L, editor, Apley’s system of orthopedics and fractures. 8 th ed. New York. Oxford University Press Inc; 2011. 5. Wijaya C, editor. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 4. Jakarta EGC; 1995 6. Mavrogenis AF, Gambarotti M, Angelini A, Palmerini E, Staals EL, Ruggieri P, et al. Chondrosarcomas Revisited. Orthopedics; 2012 March (35);2. Available from http://www.ORTHOSuperSite.com.Search:20120222-30 7. Wirbel RJ, Schulte M, Maier B, Koschnik M, Mutschler W. Chondrosarcoma of the pelvis: oncologic and functional outcome. Sarcoma. 2000; 4: 161-68. 8. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for diagnostic imaging. 2 nd ed. Elsivier limited; 2004. 9. Murphey MD, Flemming DJ, Boyea SR, Bojescul JA, Sweet D, Temple HT. Enchondroma
versus chondrosarcoma in the appendicular skeleton:
differentiating feature. Radiographics. 1998; 18:1213-37. 10. Ollivier L, Vanel D,
Lecl`ere J. Imaging of chondrosarcomas. Cancer
imaging. Paris; International Cancer Imaging Society; 2003; 4. Available from: http://www.e-med.org.uk 37
11. Sutton D, editor. Text book of radiology and imaging. 7th ed. Churchill livingstones. Elsevier science Ltd; 2003. 12. Riddle NMD, Yamauchi H, Caracciolo JT, Johnson D, Letson GD, Hakam A, et al. Dedifferentiated chondrosarcoma arising in fibrous dysplasia: A case report and re iew of the current literature. Pathology and Laboratory Medicine International 2009; (1):1–6. 13. Muller PE, Durr HR, Nerlich A, Pellengahr C, Maier M, Jansson V. Malignant transformation of benign enchondroma of the hand to secondary chondrosarcoma with isolated pulmonary metastasis. Acta chir belg, 2004; 104: 341-344 14. Fitzpatrick1 KA, Taljanovic1 MS, Speer DP, Graham AR, Jacobson JA, Barnes GR, Hunter TB. Imaging findings of fibrous dysplasia with histopathologic and intraoperative correlation. American Journal Radiology. 2004;
182:
1389-98.
Available
from
http://www.ajronline.org
by175.111.89.175 on 08/22/13 from IP address 175.111.89.175. 15. Gelmann H, editor. Chondrosarcoma. eMedicine world medical library. 1994 (update
2013
july
15).
Available
from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1258236-overview. 16. Hong P, Trites JR, Taylor M, Nasser JG, Hart RD. Chondrosarcoma of the head and neck: Report of 11 cases and literature review. Journal of Otolaryngology Head & Neck Surgery. 2009; 38(2): 279-85. 17. Hide G. Chondrosarcoma. Diunduh dari http://www.flyingpig.ws, tanggal 8 Oktober 2011. 18. Bergh P, Gunterberg B, Kindblom JM, Kindblom LG. Prognostic factor and outcome of pelvic sacral and spinal chondrosarcoma : a center-based study of 69 cases. American cancer society. 2001; 91(7): 1201-12. 19. Gelderblom H, Hagendoorn PCW, Dijkstra SD, Rijswijk CS, Krol AD, Taminiau AHM, et al. The clinical approach towards chondrosarcoma. The
38
oncologist: sarcoma research series. 2008; 13: 320-329. Available from www.TheOncologist.com. 20. Akpolat N, Yildirim H, Poyraz K. Sacral chondroblastic osteosarcoma misdiagnosed as chondrosarcoma and cordoma. Turk J Med Sci. 2007; 37(4): 243-49. A
39