BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tradisi dalam kehidupan yang memengaruhi bentukan dari masyarakat yang berorientasi pada masa lalu yang bersifat dinamis adalah mitos. Mitos yang dipaparkan dengan sistem komunikasi yang disajikan dalam bentuk wacana dan direpresentasikan dalam bentuk tulisan (teks) disebut sebagai pesan (Barthes, 1983: 151). Demikian pula yang diungkap dalam pedoman ATL, “Tradisi lisan sebagai sumber pembentukan peradaban dalam berbagai aspek kehidupan yang meliputi cerita, mitos, legenda, dongeng, kearifan lokal, sistem nilai, pergelaran tradisional, permainan anak, sejarah, hukum adat, pengobatan, mantera, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan hasil seni merupakan kekuatan kultural. Kesadaran akan pentingnya tradisi lisan sebagai sumber ilmu pengetahuan mulai terasa ketika sumber-sumber pengetahuan modern yang diperoleh dari sumber tertulis hampir kerap tidak memberi jawaban terhadap keunikan-keunikan lokal yang dihadapi(Pedoman KTL. 2009)”. Kearifan lokal dalam suatu daerah yang merupakan sumber dari tradisi lisan cenderung diabaikan oleh penutur dan semakin berkurang komunitas tradisi lisan. Kurangnya minat generasi saat ini pada budaya tradisi nenek moyang karena dianggap kuno dan tidak modern. Dengan demikian, proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Sementara itu perubahan kebudayaan berkembang cepat karena dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada era globalisasi, manusia berkeinginan melakukan perubahan sesuai dengan zamannya sehingga tidak memperhatikan dampak pada lingkungan yang
1
2
berhubungan dengan alam. Interaksi manusia dengan lingkungannya cenderung dilakukan dengan semena-mena. Sumber alam digunakan dari generasi ke generasi secara terus menerus sesuai dengan perkembangan dan evolusi kebutuhan manusia. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia mengeksploitasi alam. Tanpa disadari manusia telah menimbulkan rusaknya siklus alam. Alam tidak dihormati tetapi dimanipulasi. Seharusnya manusia menghormati alam dengan menyempurnakan lingkungan dan membangun keharmonisan dengan alam. Kurangnya pengetahuan manusia, tentang kesadaran untuk menjaga dan memelihara alam daripada pengetahuannya untuk menyelamatkan lingkungannya (Kleden, 1987: 148). Hal ini sangat berpengaruh pada masyarakat dalam menyikapi keseimbangan lingkungan alam di masyarakat agar terciptanya keharmonisan dan keselarasan antara manusia dan lingkungan alam. Menyikapi keseimbangan lingkungan alam akibat perbuatan manusia dalam memenuhi kehidupan, maka diperlukan kesadaran berbudaya. Budaya dan tradisi yang dianggap kuno dan tidak menarik ternyata mengandung makna, nilainilai moral, dan berfungsi merekonstruksi pola budaya menjadi lebih baik sesuai dengan kaidah dan aturan masyarakat setempat yang dipengaruhi budaya modern. Budaya dan tradisi yang dimiliki dapat membenahi dan memengaruhi kehidupan masyarakat menjadi lebih harmonis dan sejahtera. Dalam konteks tersebut budaya Bali sangat kaya dan unik, salah satunya adalah mitos. Secara universal mitos merupakan dongeng yang dapat memengaruhi kehidupan manusia dan memiliki banyak persepsi dalam memahami dan memaknai fenomena di lingkungan masyarakat.
3
Mitos memiliki hubungan dengan cerita anonim
masa lampau
yang
berakar dalam kebudayaan yang sampai kini memengaruhi kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Mitos yang diyakini sebagai cerita dan dongeng suci, memengaruhi kegiatan kehidupan manusia secara turun-temurun sehingga menimbulkan banyak persepsi. Untuk itu, pemahaman mitos diperlukan dengan cara mengembangkan simbol-simbol yang penuh makna dan berfungsi untuk menjelaskan fenomena lingkungan yang mereka hadapi, yaitu fenomena yang tidak tampak tetapi dapat dipercaya. Mitos yang banyak berkembang di masyarakat adalah kepercayaan tentang dewa-dewa dan hewan, perjuangan antara kekuatan yang berlawanan atau kematian dari dewa atau binatang sebagai asal usul alam semesta dengan segala kompleksitasnya (Levi-Strauss, 1977: 139). Barthes (1983: 151), Levi-Straus (1980: 80) berpendapat bahwa mitos mengandung pesan-pesan yang disampaikan dengan pengucapan. Demikian pula, menurut Teeuw (1988: 142), pengucapan atau tuturan yang berupa teks pada konsep struktur dapat dipakai pada tataran pemakaian bahasa. Teks dapat berubah bila unsurnya mengalami perubahan sehingga fungsi dari unsurnya menjadi berubah. Keseluruhan teks merupakan koherensi intrinsik, yaitu fungsi teks yang mempunyai kaidah linguistik. Pada mitos hal itu dapat dilihat dari unsur penokohan dan perilaku atau karakteristik tokoh dan unsur sejarah perkembangan mitos dari generasi ke generasi. Teks pada mitos memiliki sebuah pesan yang terbuka untuk ditafsirkan oleh masyarakat sehingga berfungsi dalam kehidupan sosial masyarakat. Pesan mitos ditafsirkan dengan perspektif kesejarahan, kepercayaan, dan tradisi maka
4
mitos dapat dimaknai dan dipersepsikan dalam kehidupan masyarakat. Mitos memengaruhi kehidupan pola pikir dan kehidupan berperilaku yang didasari nilai-nilai moral, agama, budaya, mata pencaharian, dan pengetahuan. Seperti yang diungkap oleh Sibarani (2012: 47) bahwa tradisi lisan merupakan kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang disampaikan secara lisan dan diwariskan secara turun temurun. Teks mitos Badawangnala yang diyakini masyarakat Bali terdapat pada Adiparwa I. teks ini menceritakan tentang pamuteran lautan susu. Seluruh dewa dan para raksasa berusaha untuk mendapatkan amerta di lautan. Sang Hyang Wisnu, para dewa, dan raksasa menuju ke Gunung Mandaragiri dengan lautannya lautan susu. Gunung itu dicabut oleh Sanghyang Antabhoga, terbawa dengan segala isinya, dan dijatuhkan pada laut Ksirna, dipakai sebagai pengaduk lautan. Golongan dewa merasa senang, bila amerta didapatkan maka kebahagiaan dunia ketiga akan tercapai1. Para dewa memerintahkan “Batara Wisnu”, untuk menahan Gunung Mandara sebagai dasar pangkal gunung itu supaya tidak tenggelam. Batara Wisnu menjelma menjadi seekor penyu. Sebutan penyu tersebut adalah akupa, kurmaraja, atau raja penyu (Zoetmulder, 2005: 55). Dalam mitologi Hindu, mitos Badawangnala dipercaya masyarakat Hindu sebagai api magma sebagai sumber energi bumi, dilukiskan berbentuk kura-kura raksasa yang kepalanya mengeluarkan api, karena itu disebut Badawangnala. Kata Badawang artinya kura-kura besar dan kata nala berasal dari kata anala dalam bahasa Sansekerta artinya api. Secara geologis, Badawangnala adalah
1
Awet muda dan panjang umur
5
magma api yang berada di dalam bumi. Bila bumi terguncang maka magma bergerak menyembur keluar dan lahar mengalir seperti nyala api (Cudamani, 1998: 20). Sumber ajaran agama Hindu yang terdapat pada kitab-kitab Itihasa dan Purana mengacu pada susastra Sanskerta dan Jawa Kuno dapat dijumpai istilah yang berkaitan dengan penyu/empas. Pada kitab Itihāsa dan Purāna diceritakan bahwa Dewa Wisnu turun ke bumi menjelma (avatāra) menjadi Kūrmavātara. Istilah penyebutan avatāra sebagai Kūrmavātara bermacam-macam sesuai dengan yang terdapat pada masing-masing kitab, di antaranya dalam Vālmiki Rāmāyana Bālakānda, Māhabhārata, Adiparwa, Bhāgavata Purāna, dan Agni Purāna disebut dengan istilah Kūrmarāja (terjemahan dari ratuning empās) atau Badavagni. Nama lainnya dalam bahasa Sansekerta adalah Akupara yang disebut sebagai mitos penyangga bumi. Sementara itu, dalam Susastra Jawa Kuno dikenal dengan istilah pas (empas). Sebutan yang sangat populer adalah Badavang atau Badavaŋnala (Badawangnala) terdapat pada kitab Koravāsrama, Bomakāvya, Pārta Yadna, dan Navaruci. Di dalam Veda terdapat istilah kurma yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris tortoise/penyu darat (Titib, 2001: 404). Dari beberapa sebutan dan istilah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Dewa Wisnu turun ke bumi untuk menyelamatkan umat manusia dan menegakkan kebaikan dengan menjelma menjadi Badawangnala merupakan hipogram yang memiliki pengaruh kuat pada kehidupan spiritual masyarakat Hindu di Bali. Dengan adanya permasalahan kehidupan sosial di masyarakat dan rasa bakti pada sang pencipta sebagai ungkapan syukur dan mohon kesejahteraan,
6
melalui mitos Badawangnala, terinspirasi untuk membangun tempat suci. Tempat suci untuk kontak dengan kekuatan suci sebagai sarana persembahyangan, supaya turunnya kekuatan suci. Di Bali tempat suci yang abadi dari para dewa dan roh leluhur adalah gunung. Dengan demikian, muncul anggapan bahwa gunung sebagai alam roh suci dan alam para dewa. Seperti halnya dalam cerita pemutaran Gunung Mandara Giri, gunung merupakan tempat untuk mencari air kehidupan (amerta). Gunung tersebut disangga oleh kura-kura raksasa agar tidak tenggelam (Adiparwa I: 31). Dari konsep inilah dibangun padmasana, berbentuk penyu raksasa yang dililit oleh naga raksasa, yaitu oleh Naga Anantaboga dan Naga Basuki. Bangunan padmasana tersebar pada sebagian pura di Bali. Secara etimologis, kata padmasana berasal dari padma artinya teratai dan asana, artinya tempat duduk. Padmasana berarti tempat duduk dari teratai, maksudnya adalah stana suci Tuhan Yang Maha Esa. Bangunan padmasana memiliki simbol keseimbangan, keharmonisan di dunia (bumi/pertiwi), dan penyangga bumi (Cudamani, 1998: 5). Berhubungan dengan mitos Badawangnala, di bagian utara Pulau Serangan ada Pura Tanjung Segara yang elemen bangunan sucinya terdiri dari padmasana, padmasari, dan gedong (tempat pemujaan roh suci, berbentuk bujur sangkar atau persegi). Padmasana di Pura Tanjung Segara, pada bagian dasarnya terdapat ukiran berwujud Badawangnala (penyu/empas) yang dililit oleh dua ekor naga, yaitu Naga Ananta Boga dan Naga Basuki (Titib, 2001:106).
7
Salah satu padmasana terdapat di Pura Tanjung Segara di Desa Serangan, Denpasar Selatan. Bangunan Pura Tanjung Segara sudah berdiri sejak tahun 1938. Upacara di Pura Tanjung Segara rutin dilakukan secara berulang sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan sebagai hari baik oleh nelayan di Desa Serangan. Upacara persembahyangan (odalan/yadnya) diadakan satu tahun sekali, pada sasih kapat bulan sepuluh berdasarkan kalender Bali. Para nelayan melakukan persembahyangan di sana untuk menghaturkan rasa syukur pada Sang Hyang Widhi, mohon perlindungan dan rezeki kepada penguasa laut. Persembahyangan itu dipercaya akan menghindarkan warga dari bencana di tengah laut saat menangkap ikan dan akan memperoleh hasil tangkapan ikan yang melimpah. Sebaliknya, bila upacara itu tidak dilakukan maka akan terjadi bencana dan kelaparan karena sang penguasa marah (wawancara Mangku Rajin, Tanggal 23 Mei 2012) Upacara tersebut merupakan jalinan komunikasi antara manusia yang lemah (nelayan) dan kekuatan yang besar Sang Hyang Widhi, penguasa langit dan bumi. Upacara dipimpin oleh pandeta atau pemangku untuk menyampaikan komunikasi antara manusia dan sang penguasa di padmasana atau bebaturan sebagai tempat Ida Bhatara Khayangan Tiga (wawancara dengan Mangku Rajin, 23/05/2012). Dalam perkembangannya, mitos Badawangnala di Serangan memiliki sifat khusus karena merupakan versi khusus. Teks dalam mitos yang diwariskan secara turun-temurun cenderung mengalami perubahan sehingga banyak variasi yang disebabkan perbedaan
pandangan dan pemahaman. Teks mengalami
8
perubahan fenomena, secara turun temurun yaitu dari teks tulis Adiparwa, tutur Watugunung menjadi cerita lisan. Dengan demikian, teks memiliki relasi tertentu dalam
perkembangannya
dan
mengalami
perubahan,
pengurangan,
dan
penambahan teks secara terus-menerus membentuk struktur baru. Hal ini terlihat dari perjalanan dan perkembangan teks. Terdapat tiga teks mitos yang berupa wacana menjadi inspirasi bangunan Pura Batu Api yaitu, teks Adiparwa, teks Watugunung, dan teks Watugunung yang dilisankan Made Mudana Wiguna. Mitos
yang direkonstruksi oleh Made Mudana Wiguna berupa
Badawangnala 2 atau Kurma berkuku tajam dan berlidah api bersumber dari cerita runtuhnya Watugunung. Dalam mitos tersebut diceritakan Dewa Wisnu memerangi Watugunung atas keserakahannya yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan kepentingan orang lain dan telah membuat kesalahan yang tidak diampuni oleh Sang Hyang Widhi. Kesalahannya adalah Watugunung telah menikahi ibu kandung sendiri, yaitu Dewi Sinta Kasih. Mitos ini dijadikan dasar pemikiran para tokoh dan masyarakat di Desa Serangan untuk membangun tempat suci sebagai sarana persembahyangan. Bangunan suci tersebut adalah Pura Batu Api yang didirikan di atas batu api. Batu api tersebut hanya satusatunya di Pulau Serangan. Tempat persembahyangan tersebut diharapkan dapat menjadi kekuatan untuk mempersatukan masyarakat Serangan akibat dampak dari reklamasi. Dampak terlihat dari perbuatan mementingkan diri dan keluarga sehingga merusak lingkungan. Sesuai dengan ajaran yang mengajarkan untuk membangun hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia,
2
Masyarakat Desa Serangan meyakini mitos Badawangnala.
9
dan dengan alam lingkungan yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki filosofi hidup yaitu, mewujudkan sikap hidup seimbang dan konsisten untuk percaya dan bakti pada Tuhan, mengabdi pada sesama, dan memelihara kesejahteraan alam lingkungan (Wiana. 2007: 8). Mitos Badawangnala sebagai Avatara Dewa Wisnu dalam memerangi Watugunung
diduga/diasumsikan
sebagai
sarana/media
menyelesaikan
permasalahan dampak reklamasi yang dilakukan Bali Turtle Island Development (BTID) pada tahun 1994, seperti mata pencaharian masyarakat Desa Serangan hilang, akibat pengerukan dan penimbunan sehingga lingkungan rusak, abrasi pantai di beberapa lokasi, perubahan arus air laut, penumpukan sampah laut dan lumpur di sebelah barat Pulau Serangan, berkurangnya biota laut, dan
ekosistem hutan bakau rusak, dan
nelayan melakukan penambangan liar yang
mengakibatkan terumbu karang rusak. Penyu yang singgah untuk bertelur juga berkurang. Sebelum reklamasi, Pulau Serangan merupakan
tempat peternak dan
tempat mengeksploitasi penyu terbesar di Indonesia setelah Kalimantan. Akan tetapi, setelah reklamasi, nelayan sulit mendapatkan pekerjaan lain karena rendahnya tingkat pendidikan sehingga mereka memanfaatkan sumber lainnya tanpa mempedulikan dampaknya terhadap ekosistem lingkungan (Woinarski, 2002:13). Selain sumber daya alam yang rusak ditafsirkan oleh para tokoh dan bendesa adat, BTID mengganggu keseimbangan alam, sehingga masyarakat melihat banyak kejanggalan yang terjadi, seperti bangkrutnya BTID akibat krisis
10
moneter, bank-bank yang menerima tabungan ganti rugi pemilik tanah Serangan terkena likuidasi, dan Presiden RI, Soeharto lengser dari kursi kepresidenan. Hal ini dihubung-hubungkan dengan ulah pemimpin dan masyarakat yang merusak, mengganggu ekosistem di Pulau Serangan. (wawancara dengan Bendesa Adat, Made Mudana Wiguna, 05/09/2012). Akibat adanya perbedaan persepsi, tradisi lisan pada setiap etnik mempunyai peluang punah, bertahan, dan berkembang menjadi bentuk baru, seperti yang dinyatakan oleh Pudentia (2008: 377) bahwa pada satu sisi tradisi lisan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya secara perlahan mulai hilang. Ternyata, di sisi lain, tradisi lisan memiliki potensi tetap bertahan hidup dengan berbagai cara dan wahana. Tadisi lisan dapat bertahan melalui media seperti televisi, iklan, dan internet. Beberapa di antaranya bahkan dapat tampil dalam wujudnya yang baru (menitis dalam kemasan baru) melalui transformasi mengalami perubahan budaya, bahasa, dan bentuk. Dalam konteks tersebut, menurut Ong (2002: 11), tradisi yang diturunkan secara lisan tidak mudah dipahami dan diterima seperti aslinya. Teks sangat membantu dalam penurunannya karena memberikan isyarat dan menguraikan isi. Ketika diceritakan atau dituturkan, sejarah tidak sama seperti teks tertulis walaupun isi dan maknanya sama. Seperti dikatakan oleh Roland Barthes (1983: 49) bahwa cerita mitos berkembang melalui pemikiran, ide-ide, dan mimpi yang diyakini dan dipahami masyarakat setempat, oleh sekelompok orang atau pengikutnya melalui kepentingan, kekuasaan, dan ideologi kesatuan dan koherensinya sangat bergantung pada fungsinya di masyarakat. Demikian juga
11
menurut Levi-Strauss (1993: 208) bahwa dalam penciptaannya mitos tidak teratur, tergantung dari kehendak hati si pencerita. Keteraturan dalam menciptakan mitos tidak disadari oleh pencerita, keteraturan ini sering disebut struktur. Mitos Badawangnala memiliki keunikan dan diyakini dapat merekontruksi pola tingkah laku yang harmonis dan sejahtera. Oleh karena itu maka peneliti tertarik dan penting melakukan penelitian
mitos Badawangnala di Pulau
Serangan, Denpasar Selatan.
1.2 Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1) Bagaimanakah struktur teks Mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan? 2) Apakah fungsi teks Mitos Badawangnala
yang dilisankan di Pulau
Serangan? 3) Apakah makna teks Mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan? 4) Bagaimanakah pola pewarisan Mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan?
12
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran
tentang upaya pelestarian dan pengembangan mitos sebagai sebuah tradisi lisan. Teks mitos dapat dikembangan seluas-luasnya bagi kepentingan masyarakat terutama dalam pembangunan bangsa manusia Indonesia seutuhnya.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1) Menjelaskan struktur teks mitos Badawangnala yang dilisankan dalam keunikannya di Pulau Serangan. 2) Memahami fungsi mitos Badawangnala yang dilisankan di
Pulau
Serangan dalam mencapai kehidupan yang bahagia dengan melakukan hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan sesama, dan lingkungan alam yang disebut dengan ajaran Tri Hita Karana. 3) Mengungkap makna mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan dalam pencerahan dinamika budaya masyarakat Serangan. 4) Merumuskan strategi pewarisan teks mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoretis maupun secara praktis.
13
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, manfaat dalam penelitian ini
diharapkan dapat
memperkaya khazanah pengetahuan tentang mitos Badawangnala, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan pada tradisi lisan yang merupakan sistem simbol dan memperkaya khazanah linguistik yang tampak pada bahasa dan dialek khas Serangan, sekaligus memberikan sumbangan keilmuan yang semakin berkembang di masyarakat. Sumbangan tersebut dapat sebagai kebijakan model ritual dalam kehidupan masyarakat di Pulau Serangan. Di samping itu, temuan penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi peneliti lain yang tertarik dalam mengkaji masalah yang terkait dan dijadikan alternatif untuk penelitian lebih lanjut terhadap karya sastra lama yang ada di nusantara .
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, temuan penelitian ini diharapkan dapat: 1. melegitimasi keberadaan Badawangnala sebagai sumber kekuatan untuk kesejahteraan masyarakat di Pulau Serangan; 2. menambah
keyakinan,
kepercayaan
masyarakat
Serangan
dalam
mengadakan komunikasi dengan Sang Hyang Widhi di Pulau Serangan; dan 3. memberikan dorongan, dan dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan, mengambil, serta menetapkan kebijakan dalam melestarikan lingkungan, khususnya budaya di Pulau Serangan dan Pulau Bali pada
14
umumnya, sehingga tidak terulang lagi reklamasi yang pasti mengganggu biota laut dan lingkungan secara menyeluruh.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian memerlukan batasan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan kajian. Dengan demikian peneliti mudah untuk merumuskan pokok bahasan dalam mengkaji struktur teks mitos dalam keunikannya, fungsi dan makna, serta pola pewarisan mitos Badawangnala.