1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupan di masyarakat, antara yang satu dengan yang lain akan selalu berhubungan, hal ini dikarenakan manusia merupakan zoon politicon artinya bahwa manusia akan selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Hubungan antara manusia tersebut menimbulkan reaksi misalnya saling tertarik diantara mereka. Hal ini seperti dikemukakan oleh Wiryono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, seorang perempuan dengan seorang laki-laki ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. 1 Hasrat untuk hidup bersama telah menjadi pembawaan manusia. Adapun yang menyebabkan manusia hidup bermasyarakat antara lain adalah dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia misalnya hasrat untuk memenuhi makan dan minum, hasrat untuk membela diri serta hasrat untuk mempunyai keturunan. Hasrat untuk mempunyai keturunan ini menjadi dorongan untuk adanya kehidupan suami isteri yang terwujud dalam suatu perkawinan. Menurut Muhammad Ali di dalam buku D Religie Van Den Islam sebagai mana dikutip oleh Soemiyati menyatakan, bahwa keluarga merupakan kesatuan yang nyata-nyata dari bangsa-bangsa manusia yang menyebabkan terciptanya 1
Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Vorvink-Hoeve, Bandung, hal. 7.
2
peradaban, hanyalah mungkin diwujudkan dengan perkawinan. Tanpa perkawinan tidak ada keluarga dan dengan sendirinya tidak ada unsur-unsur yang mempersatukan manusia. Hanya dengan keluarga pula dapat tercipta peradaban. 2 Mengenai perkawinan, negara Indonesia telah berhasil membentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 309 dan sebagai aturan pelaksanaannya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Bagi orang-orang yang beragama islam, perkawinan juga diatur didalam Kompilasi Hukum Islam dan sebagai aturan pelaksanaan telah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 menyebutkan : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan itu sendiri merupakan perbuatan hukum. Untuk itu agar perbuatan hukum itu mengikat para pihak dan juga pihak ketiga, maka perkawinan tersebut harus sah. Mengenai sahnya suatu perkawinan disebut dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1), yang menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
2
Soemiyati. 1982, Hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, hal. 17.
3
Suatu perkawinan dapat dilangsungkan apabila syarat-syarat perkawinan dipenuhi, baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, prosedur pelaksanaannya dan mekanismenya. 3 Pada saat akan melangsungkan perkawinan, ada rukun dan syarat perkawinan yang harus dipenuhi. Antara rukun dan syarat perkawinan itu ada perbedaan dalam pengertiannya, yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun perkawinan tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tapi tidak termasuk hakekat dalam perkawinan itu sendiri. Jika salah satu syarat-syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah. Salah satu rukun nikah menurut Hukum Islam yaitu Wali nikah bagi calon mempelai perempuan. Sebab perkawinan yang dilaksanakan tanpa Wali nikah bagi calon mempelai perempuan menjadi tidak sah atau dapat dibatalkan. Pada dasarnya hak untuk menjadi Wali dalam perkawinan ada di tangan Wali nasab. Hanya Wali nasab saja yang berhak mengawinkan perempuan yang ada dalam perwaliannya. Demikian pula ia berhak melarang kawin dengan seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima misalnya suami tidak sekufu atau karena si perempuan sudah dipinang oleh orang lain, atau cacat badan yang menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini Wali
3
Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 40.
4
nasab adalah berhak menjadi Wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada orang lain atau kepada hakim. 4 Perkawinan menurut Hukum Islam adalah sah dengan adanya Wali nikah (Wali nasab), apabila Wali nasab tidak ada, mafqud (tidak diketahui dimana berada) berhalangan tidak memenuhi syarat atau adhal (menolak) maka Wali nikahnya adalah Wali hakim. 5 Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 menyatakan: Ayat (1) : Wali hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila Wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghoib atau adhal atau enggan. Ayat (2) : Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang Wali tersebut. 6 Wali adhal adalah Wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh dengan seorang laki pilihannya, sedangkan masing-masing pihak yaitu calon mempelai wanita dan calon mempelai pria menginginkan perkawinan itu dilangsungkan. Jika terjadi Wali adhal maka Wali hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah setelah ada penetapan Pengadilan Agama yang menyatakan mengenai adhalnya Wali. Penetapan Pengadilan Agama mengenai adhalnya Wali memberikan wewenang kapada Wali hakim untuk bertindak sebagai Wali nikah,
4
H. S. A. Alhamdani, 1989, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Amani, Jakarta, hal. 90. R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1986, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga, University Press Surabaya, hal. 8. 6 2007, Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, hal. 235. 5
5
namun di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak menjelaskan alasan-alasan bahwa Wali Nasab dapat menolak menjadi seorang Wali. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam tentang penetapan Pengadilan Agama Sumber Cirebon yang mengabulkan permohonan pemohon dalam mengajukan Wali Adhal dan menuangkannya dalam bentuk ragangan skripsi yang berjudul: “Wali Adhal (Tinjauan Yuridis Tentang Penetapan Pengadilan Agama Cirebon No. 0053/ Pdt.P/ 2011/ PA.Sbr)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menetapkan Wali adhal dalam Penetapan Pengadilan Agama Cirebon nomor : 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menetapkan Wali adhal dalam Penetapan Pengadilan Agama Cirebon nomor : 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr. D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum Islam.
6
2. Secara Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya dan bagi mereka yang bergerak di bidang hukum.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan tujuan perkawinan Islam sebagai agama fitrah, yaitu agama yang sesuai dengan nurani manusia, tentu saja tidak melarang seseorang mencintai lawan jenisnya karena saling cinta antara pria dan waniyta adalah naluri manusia yang dibawa sejak lahir. Islam datang hanya memberi bimbingan atau arahan dengan menghalalkan saling cinta itu tetapi dengan syarat, keduanya haruslah melakukan perkawinan terlebih dahulu.7 Perkawinan telah disyariatkan sejak dahulu, sebagai mana dikemukakan oleh H. Sastroatmodjo, yaitu: “Perkawinan itu di syariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan dunia dan akherat, di bawah naungan cinta kasih dan ridho Allah”.8 Menurut Ahmad Azhar Basyir, pengertian perkawinan adalah : “Suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah”. 9
7
Humaidi Tatapangarsa, 1990, Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa, Penerbit IKIP Malang, Cet. Pertama, hal. 165. 8 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hal. 5. 9 Ahmad Azhar Basyir, 1990, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, hal. 11.
8
Pengertian perkawinan menurut Sayuti Thalib adalah : “Perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”. 10 Sedangkan pengertian perkawinan menurut Hilman Hadikusuma adalah : “Suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunannya dan membangun dan membina kehidupan keluarga, rumah tangga dan juga merupakan suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami”. 11 Pengertian perkawinan menurut Hukum Islam adalah Suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara diridhoi Allah. 12 Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 1 sebagai berikut: “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas, tersimpul suatu arti dan tujuan dari perkawinan. Arti perkawinan dimaksud adalah Ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan dimaksud adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. 10
Sayuti Thalib, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI, Jakarta, hal. 47. Hilman Hadikusuma, 1983, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, hal. 70. 12 Ahmad Azhar Basyir, Op Cit, hal. 11. 11
9
Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya suatu hubungan antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, dengan kata lain disebut hubungan formal. Hubungan formal ini nyata, baik yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebaliknya ikatan bathin merupakan hubungan yang tidak dapat dilihat, yang tidak formal. Walau tidak nyata, tetapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin ikatan lahir akan menjadi rapuh. Pengertian perkawinan di atas banyak perbedaan pendapat antara yang satu dengan lainnya. Perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh, akan tetapi mereka hanya ingin memasukkan unsur-unsur pengertian perkawinan yang akan dimasukkan dalam Undang-Undang perkawinan. Ada perbedaan pendapat tentang pengertian perkawinan tersebut di atas, tetapi ada satu unsur kesamaan dari semua pendapat yaitu bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Menurut Hazairin dalam bukunya “tinjauan mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan” yang dikutip oleh Wantjik Saleh menjelaskan bahwa : Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
10
dengan melanggar “hukum agamanya sendiri”, demikian juga bagi orang Kristen dan orang Hindu Budha seperti yang dijumpai di Indonesia.13 Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, maka bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan tentang perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam, yaitu harus memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Syarat-syarat perkawinan bagi calon suami, calon istri dan Wali adalah sebagai berikut : Syarat-syarat calon suami : 1. Bukan mahram dari calon istri 2. Tidak terpaksa, atas kemauan sendiri 3. Orangnya tertentu, jelas orangnya 4. Tidak sedang menjalankan ibadah ihram haji14 Syarat-syarat calon istri : 1. Tidak ada halangan syar’i, yaitu : tidak bersuami, bukan mahram dan tidak sedang dalam iddah. 2. Merdeka, atau kemauan sendiri 3. Jelas orangnya 4. Tidak sedang menjalankan ibadah ihram haji15 Syarat-syarat Wali : 1. Laki-laki 2. Baligh 13
Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia, Jakarta, hal. 16. Sayyid Sabiq, 1990, Fikih Sunah, Al-Ma’arif, Bandung, hal. 23. 15 Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 23. 14
11
3. Waras akalnya 4. Tidak terpaksa 5. Adil 6. Tidak sedang menjalankan ibadah ihram haji16 Di samping syarat-syarat perkawinan di atas menurut Soemiyati, yang termasuk rukun perkawinan yaitu hakekat dari suatu perkawinan, supaya perkawinan dapat dilaksanakan ialah : 1. Pihak-pihak yang akan melaksanakan akad nikah yaitu calon mempelai pria dan wanita 2. Wali calon pengantin perempuan 3. 2 orang saksi 4. Akad nikah atau ijab dan qabul17 Tujuan perkawinan dalam Islam menurut Ahmad Azhar Basyir ialah : “Untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya”. 18 Menurut Soemiyati, tujuan perkawinan dalam Islam adalah : “Untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuan yang telah diatur oleh syariah”. 19
16
Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 23. Soemiyati, Op Cit, hal. 37. 18 Ahmad Azhar Basyir, Op Cit, hal. 11. 19 Soemiyati, Op Cit, hal. 12. 17
12
Dari rumusan di atas, filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan menjadi 5 hal seperti berikut : 1.
Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia
2.
Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan
3.
Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan
4.
Membentuk dan mengatur rumah tangga yang akan menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang
5.
Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab. 20
Sedangkan tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa : “. . . dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan adalah membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Dan pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam Pancasila. 21
20 21
Nadimah Tandjung, Islam dan Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 30-31. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op Cit, hal. 4.
13
1. Asas-asas Perkawinan Asas-asas perkawinan terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pencatatan tiaptiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting
dalam
kehidupan
seseorang
misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. c. Undang-Undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi alasan, berbagai persyaratan tertentu dan ditetapkan oleh Pengadilan. d. Undang-Undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus sudah matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan
14
agar supaya dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.
Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
maka
Undang-Undang
perkawinan menentukan batas umur kawin baik pria maupun wanita, Yaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera maka Undang-Undang ini menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat terjadi apabila cukup dengan alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding Pengadilan. f. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergauan masyarakat, dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri. Asas-asas Perkawinan menurut ajaran Islam adalah sebagai berikut : a. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
15
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan. c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri. d. Perkawinan pada dasarnya adalah membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang tentram, damai dan kekal untuk selama-lamanya. e. Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami. 22 3. Syarat Sahnya Perkawinan Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum. Setiap perbuatan hukum yang sah akan menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suami-isteri) terhadap anak-anak mereka. Hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan, dengan demikian sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuanketentuan yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan menyatakan sebagai berikut : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya itu”.
22
Soemiyati, Op cit, hal. 4.
16
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan : “Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Dari rumusan Pasal 2 ayat (1) beserta penjelasanya dapat disimpulkan bahwa sah tidaknya perkawinan adalah semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan dapat dilangsungkan apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan administrasinya, prosedur pelaksanaannya dan mekanismenya.23 Soemiyati menjelaskan bahwa antara rukun dan syarat perkawinan itu ada perbedaan dalam pengertiannya, yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jadi tanpa adanya salah satu rukun perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jika salah satu syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah. a. Menurut Hukum Islam Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan yaitu: 1) Mempelai laki-laki atau pria a) Agama islam b) Tidak dalam paksaan
23
Sudarsono, Op Cit, hal. 40.
17
c) Pria atau laki-laki normal d) Tidak punya empat atau lebih istri e) Tidak dalam ibadah ikhram haji atau umrah f) Bukan mahram calon istri g) Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi h) Cakap hukum dan layak berumah tangga i) Tidak ada halangan perkawinan 2) Mempelai perempuan a) Beragama islam b) Wanita atau perempuan normal c) Bukan mahram calon suami d) Mengizinkan Wali untuk menikahkannya e) Tidak dalam masa iddah f) Tidak sedang bersuami g) Belum pernah li’an h) Tidak dalam ibadah haji atau umrah 3) Syarat Wali mempelai perempuan a) Pria beragama islam b) Tidak ada halangan atas perWaliannya c) Punya hak atas perWaliannya 4) Syarat bebas halangan perkawinan bagi kedua mempelai a) Tidak ada hubungan darah terdekat (nasab) b) Tidak ada hubungan persusuan
18
c) Tidak ada hubungan semenda d) Tidak li’an e) Si pria punya istri kurang dari empat orang dan dapat ijin istrinya f) Tidak dalam ikhram haji atau umrah g) Tidak berbeda agama h) Tidak talak ba’in kubro i) Tidak permaduan j) Si wanita tidak dalam masa iddah k) Si wanita tidak punya suami 5) Syarat-syarat sah bagi saksi perkawinan a) Pria atau laki-laki b) Berjumlah dua orang c) Sudah dewasa atau baligh d) Mengerti maksud dari akad nikah e) Hadir langsung pada acara akad nikah 6) Syarat-syarat akad nikah yang sah a) Ada ijab (penyerahan Wali) b) Ada qabul (penerimaan calon suami) c) Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara d) Ijab dan qabul jelas, saling berkaitan, satu majelis, tidak dalam ihram haji atau umrah b. Menurut Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan
19
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan yaitu 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. 3) Dalam hal salah seorang dari orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang masih mampu menyatakan kehendaknya. 4) Dalam hal kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari Wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. 5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat member ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) Pasal ini. 6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
20
Syarat-syarat perkawinan tersebut di atas menurut Soemiyati, yang termasuk rukun perkawinan yaitu hakekat dari suatu perkawinan supaya perkawinan dapat dilaksanakan yaitu : 1) Pihak-pihak yang akan melaksanakan akad nikah yaitu calon mempelai pria dan wanita. 2) Wali calon pengantin perempuan 3) 2 orang saksi 4) Akad nikah atau ijab dan qabul24 Undang-Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan, larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8, yang menyebutkan bahwa : “Perkawinan dilarang antara dua orang yang : 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun lurus ke atas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri. 4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan. 5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri dalam hal suami beristeri lebih dari seorang.
24
Soemiyati, Ibid, hal. 30.
21
6) Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”. B. WALI 1. Pengertian Wali Wali dalam istilah fiqh disebut dengan wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan. Sehingga Wali menurut fiqh tersebut adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai orang atau barang.25 Wali dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya adalah memberikan kuasa kepada seseorang untuk menguasai orang atau barang, dan dalam perkawinan Wali mempunyai arti perwalian atas orang dalam perkawinanya. Menurut Sudarsono bahwa Wali dalam perkawinan adalah merupakan rukun artinya harus ada dalam perkawinan, tanpa adanya Wali, perkawinan dianggap tidak sah, terutama dari orang yang belum mukhalaf. Lebih lanjut Sudarsono menjelaskan bahwa tidak ada nash yang menerangkan urutan Wali dengan jelas maka dari itu para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan urutan para Wali sesuai dengan dasar-dasar yang mereka gunakan.26 Wali dalam perkawinan, Wali boleh melaksanakan sendiri akad nikah orang-orang yang ada dibawah perwaliannya atau ia boleh mewakilkan pada orang lain.
25 26
Soemiyati, Op Cit, hal. 41. Sudarsono, Op Cit, hal. 40.
22
2. Fungsi Wali Nikah dalam Perkawinan Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya perkawinan (nikah) menurut Hukum Islam, Wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut syafi’i tidak sah nikah tanpa adanya Wali bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan bagi calon pengantin laki-laki tidak diperlukan Wali nikah untuk sahnya nikah tersebut. 27 3. Kedudukan Wali dalam Perkawinan Wali dalam perkawinan adalah merupakan rukun, artinya harus ada dalam perkawinan, tanpa adanya Wali, perkawinan dianggap tidak sah. Terutama perkawinan dari orang yang belum mukallaf. Adapun yang menjadi dasar hukumnya ialah hadist Nabi sebagai berikut: “Barang siapa diantara perempuan yang nikah dengan tidak diijinkan oleh Walinya, maka perkawinannya batal” (Riwayat empat orang ahli Hadist terkecuali Nasaii). Berdasarkan Hadist Nabi tersebut, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, Wali dalam perkawinan hanya disyaratkan bagi wanita yang belum dewasa, sedang wanita yang sudah dewasa dan janda boleh mengawinkan dirinya sendiri.28 4. Syarat-syarat Menjadi Wali Sepakat para ulama bahwa orang-orang yang akan menjadi Wali ialah: a. Orang mukallaf/baliqh, karena orang yang mukallaf adalah orang yang dibebani hukum dan dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya. b. Muslim. Apabila yang kawin itu orang muslim, disyaratkan Walinya juga muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah : “Janganlah orang-
27
Mohd. Idris Ramulyo, 1995, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, hal. 1. 28 Soemiyati, Op Cit, hal. 42.
23
orang mukmin mengangkat orang kafir sebagai Wali-Wali (mereka) dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. (Q.S. Ali Imran : 28) c. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani hukum dan dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Sesuai dengan Hadist Nabi yang telah disebut diatas tadi). d. Laki-laki e. Adil Mengenai syarat laki-laki dan adil atau cerdas ini, ada perbedaan pendapat antara para ahli Fiqh. Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi Wali dan tidak boleh wanita mengawinkan dirinya sendiri. Adapun dasar hukumnya adalah Hadist Nabi yang telah disebut diatas. 5. Orang-orang yang Boleh Menjadi Wali Karena tidak ada nash yang menerangkan urutan Wali-wali dengan jelas, maka dari itu para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan urutan para Wali sesuai dengan dasar-dasar yang mereka gunakan. Tetapi kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yang berhak menjadi Wali ialah : a. Ayah kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki. b. Saudara laki-laki kandung dan seayah. c. Kemenakan laki-laki kandung dan seayah. d. Paman sekandung atau seayah. e. Saudara sepupu laki-laki sekandung atau seayah. f. Sultan (penguasa) sebagai Wali hakim.
24
g. Wali yang diangkat oleh mempelai perempuan. Di Indonesia yang dianut adalah tertib Wali menurut madzhab Syafi’i. Adapun tertib Wali menurut madzhab-madzhab Syafi’i ialah : a. Ayah. b. Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki. c. Saudara laki-laki kandung. d. Saudara laki-laki seayah. e. Kemenakan laki-laki kandung. f. Kemenakan laki-laki seayah. g. Paman kandung. h. Paman seayah. i. Saudara sepupu laki-laki kandung. j. Saudara sepupu laki-laki seayah. k. Sultan atau hakim. l. Orang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan. 29 Pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan : a. Yang bertindak sebagai Wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh. b. Wali Nikah terdiri dari: 1) Wali nasab 2) Wali hakim. 30
29 30
Soemiyati, Op Cit, hal. 45. 2007, Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, hal. 235
25
6. Macam-macam Wali Soemiyati
menyebutkan bahwa
dari macam-macam
orang
yang
dinyatakan berhak menjadi Wali, dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam Wali yaitu : a. Wali Nasab atau kerabat Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinear dengan calon mempelai perempuan. Jadi, yang termasuk Wali nasab ialah ayah, saudara laki-laki, paman, dan seterusnya. Wali Nasab terbagi menjadi dua yaitu : 1) Wali Mujbir Artinya Wali Nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa minta ijin dulu dari yang bersangkutan. Para ulama yang membolehkan Wali Mujbir menikahkan tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada calon mempelai perempuan, harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a) Antara Wali Mujbir dan gadis itu tidak ada permusuhan. b) Laki-laki pilihan Wali harus sejodoh (kufu) dengan wanita yang dikawinkan. Sekufu disini yang berarti seimbang, sederajat atau setaraf mempunyai beberapa hal yang dianggap sebagai ukuran kufu antara lain karena keturunannya, bukan hamba sahaya/merdeka, beragama islam, mempunyai pekerjaan, karena kekayaannya dan karena kondisi
26
fisik/tidak cacat, namun demikian hal-hal tersebut masih dapat diperdebatkan. Akibat dari perkawinan sekufu antara lain : o memiliki kualitas ahlak yang sama o sebagai ujian dari Allah SWT o pernikahan karena perintah Allah SWT.31 c) Antara gadis dan calon suaminya tidak ada permusuhan. d) Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil (sebanding). e) Laki-laki pilihan Wali akan dapat memenuhi kewajibanya terhadap isteri dengan baik dan tidak ada gambaran akan berbuat yang meyengsarakan isterinya. 32 Mengenai boleh tidaknya seorang Wali Mujbir menikahkan seorang gadis tanpa meminta ijin terlebih dahulu, disebutkan dalam hadits Nabi yang menyatakan : “Dari Ibnu Abbas bahwasanya Jariyah, seorang gadis telah menghadap Rasullullah S.A.W. lalu menyampaikan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki sedang ia tidak menyukainya. Maka Rasullullah menyuruhnya untuk memilih”. (H. R. Ahmad Ibnu Dawud, Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni). 33 Berdasarkan hadits tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa Wali Mujbir boleh menikahkan gadis tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada gadis yang bersangkutan asal gadis itu menyukai laki-laki pilihan si Wali. Kalau tidak menyukai ia boleh memutuskan.
31
www.mail-archive.com/
[email protected]/msg02467.html Soemiyati, Op Cit, hal. 46-47. 33 Soemiyati, Ibid, hal 47. 32
27
2) Wali Nasab Biasa Artinya Wali Nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa. Mengenai Wali Nasab, dalam Pasal 21 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan : “Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan. a) Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. b) Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. c) Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki sekandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. d) Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka”. b. Wali Penguasa (sultan) atau Wali Hakim Dari urut-urutan tertib Wali yang telah disebutkan diatas, itu ada yang disebut Wali dekat (Wali aqrab), misalnya ayah, kakek dan sudara laki-laki sekandung. Sedang yang lainnya disebut Wali jauh. Menurut Imam Syafi’i, Wali yang jauh tidak boleh menjadi Wali apabila Wali yang dekat masih ada. Mengenai hal Wali dekat tidak ada (ghaib) dan tidak ada yang mewakilinya maka yang menjadi Wali ialah hakim, bukan Wali yang jauh, karena Wali yang dekat dianggap masih ada dan berhak menikahkan wanita yang ada di bawah perWaliannya selama ia masih hidup dan tidak gila. Menurut Imam Abu Hanifah, Wali jauh boleh menikahkan asal dapat ijin dari Wali dekat, kalau tidak mendapat ijin maka nikahnya tidak sah. Apabila pemberian ijin tidak ada maka perwalian pindah ke tangan sultan (kepala negara)
28
atau orang yang diberi kuasa oleh kepala negara. Jadi Wali hakim ialah Wali yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala negara. 34 Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian hakim apabila : 1) Wali nasab memang tidak ada. 2) Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada ditempat tetapi tidak memberi kuasa kepada Wali yang lebih dekat yang ada. 3) Wali nasab kehilangan hak perwaliannya. 4) Wali nasab sedang berihram haji/umrah. 5) Wali nasab menolak bertindak sebagai Wali. 6) Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan yang ada di bawah perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah. c. Wali Muhakam Apabila Wali yang berhak tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai Wali karena sesuatu sebab tertentu atau karena menolak menjadi Wali. Demikian juga Wali hakim tidak dapat mengganti kedudukan Wali nasab karena berbagai sebab, maka calon mempelai perempuan dapat menunjuk seseorang yang dianggap mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik untuk menjadi Wali. Wali yang ditunjuk oleh Wali perempuan tadi yang tidak ada hubungan saudara, dan juga bukan penguasa disebut Wali muhakam. 35
34 35
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Soemiyati, Op Cit, hal. 46-49.
29
Pada Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam disebutkan sebagai berikut: 1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila Wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. 2) Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali hakim dapat bertindak sebagai Wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang Wali tersebut. Menurut Mukti Arto untuk menetapkan adhalnya Wali harus ditetapkan berdasarkan keputusan dari Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan dari mempelai wanita. Kemudian Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan acara singkat, untuk memperkuat adhalnya Wali, maka perlu didengar keterangan saksi-saksi. 36 Menurut Mohd Idris Ramulyo dalam bukunya Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menyatakan bahwa yang dapat bertindak sebagai Wali atas permintaan pihak mempelai perempuan ialah Wali Hakim, yaitu Pejabat Pencatat Nikah/Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal perempuan itu. Jadi Wali Hakim ialah pejabat yang diangkat sebagai Wali Nikah bagi wanita yang tidak mempunyai Wali atau wanita yang akan menikah itu berselisih paham dengan Walinya tentang calon pengantin laki-laki. 37 Sebelum akad nikah dilangsungkan, Wali hakim meminta kembali kepada Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada 36
Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 238. 37 Mohd. Idris Ramulyo, Op Cit, hal. 3.
30
penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali, apabila Wali nasab tetap adhal maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali hakim. Wali hakim sebagai mana ditegaskan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. C. WALI ADHAL 1. Pengertian Wali Adhal Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur dengan jelas mengenai pengertian Wali Adhal, tetapi secara bahasa Adhal adalah Wali Nasab yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi seorang Wali atau berhalangan atau mafqud. Jika Wali tidak mau
menikahkan,
harus
dilihat
dulu
alasannya,
apakah
alasan
Wali
tersebut syar’i atau tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis Wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (misal beragama Kriten/Katholik), atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabuk), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika Wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka Wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak dapat berpindah kepada pihak lain (Wali hakim). Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan oleh Wali hakim. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan
31
Wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada Wali hakim. Sehingga perempuan tersebut sama saja dengan menikah tanpa Wali, maka nikahnya batal. Namun adakalanya Wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika Wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka Wali tersebut disebut Wali Adhal. 38 Menurut Ensiklopedi Hukum Islam Wali adhal adalah Wali yang enggan menikahkan wanita yang telah balig dan berakal dengan seorang lelaki pilihannya, sedangkan masing–masing pihak menginginkan pernikahan itu dilangsungkan. Seorang Wali dikatakan enggan menikahkan wanita yang dibawah perwaliannya itu apabila : a. Wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang sepadan dengannya, padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya, baik penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada Walinya maupun tidak. b. Wali ingin menikahkan wanita itu dengan laki-laki pilihannya yang sepadan dengan wanita itu, sedangkan wanita yang bersangkutan meminta Walinya supaya menikahkan dengan leaki pilihannya yang sepadan dengannya. 39
38 39
1339.
http://onlymusafir.wordpress.com/2009/05/07/bolehkah-menikah-tanpa-Wali/ 2003. ensiklopedi hukum islam, Ikhtiar baru van hoeve cetakan keenam, Jakarta, hal.
32
2. Sebab-sebab Adanya Wali Adhal Sebagaimana telah dikemukakan di atas, orang yang dinyatakan berhak menjadi Wali, ada tiga macam yaitu: a. Wali Nasab b. Wali Hakim c. Wali Muhakam Pada dasarnya hak untuk menjadi Wali dalam perkawinan ada di tangan Wali nasab. Hanya Wali nasab saja yang berhak mengawinkan perempuan yang ada dalam perwaliannya. Demikian pula ia berhak melarang kawin dengan seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima misalnya suami tidak sekufu atau karena si perempuan sudah dipinang oleh orang lain, atau cacat badan yang menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini Wali nasab adalah berhak menjadi Wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada orang lain atau kepada hakim. 40 Pada kenyataannya ada Wali yang enggan untuk menikahkan tanpa alasan yang dapat diterima, misalnya tidak setuju karena calon menantunya tidak tampan atau bukan orang kaya atau menggunakan perhitungan jawa, yang kesemuanya itu bertentangan dengan syari’at agama maupun Peraturan Perundangan yang berlaku. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim dimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 menyebutkan :
40
H. S. A. Alhamdani, Op Cit, hal. 90.
33
Pasal 2 (1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau diluar negeri atau wilayah ekstra teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau Mafqud atau berhalangan atau adhal maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim. (2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita. (3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan Wali calon mempelai wanita. Pasal 3 Pemeriksaan dan penetapan adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita. Berdasarkan peraturan tersebut di atas, bagi calon mempelai wanita yang akan melangsungkan perkawinan tanpa alasan yang dapat diterima, dia dapat mengajukan permohonan pada Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggalnya untuk minta ditetapkan bahwa Wali Nasabnya adhal, dan mensahkan perkawinanya dengan Wali Hakim. Dalam Kompilasi Hukum Islam Wali Hakim diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2), yaitu :
34
Pasal 23 (1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila Wali Nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan. (2) Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang Wali tersebut. Ketentuan dalam Pasal 23 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas, apabila Wali Nasab adhal atau enggan untuk menjadi Wali maka Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali calon mempelai perempuan. Setelah adanya penetapan Pengadilan Agama tentang Wali Adhal, terlebih dahulu calon mempelai wanita mengajukan permohonan adhalnya Wali kepada Pengadilan Agama dimana pemohon bertempat tinggal. Apabila hakim berpendapat bahwa Wali benar-benar adhal dan pemohon tetap pada permohonannya maka hakim akan mengabulkan pemohon dengan menetapkan adhalnya Wali dan menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, selaku Pegawai Pencatat Nikah di tempat tinggal pemohon untuk bertindak sebagai Wali Hakim.41 Pelaksanaan perkawinan yang menggunakan Wali adhal pada saat akad nikah Wali hakim meminta kembali kepada Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, apabila Wali nasabnya tetap adhal maka akad nikah dilangsungkan dengan menggunakan Wali hakim, ini sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 yang menyebutkan :
41
Ahmad Azhar Basyir, Op Cit, hal. 39.
35
Pasal 6 (1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali hakim meminta kembai kepada Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali. (2) Apabila Wali nasabnya tetap adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali hakim. Syarat permohonan Wali adhal : 1. Surat Penolakan dari KUA setempat. 2. Foto copy KTP Pemohon 1(satu) lembar di materai Rp.6000 dan di stempel di kantor pos. 3. Foto copy Buku Kutipan Akta Nikah orang tua Pemohon 1 (satu) lembar di materai Rp. 6000,- dan di stempel di kantor pos. 4. Foto copy Akta cerai Pemohon (bila bercerai) 1 (satu) lembar di materai Rp.6000 dan di stempel di kantor pos. 5. Foto copy Akta Kelahiran Pemohon 1 (satu) lembar di materai Rp.6000 dan di stempel di kantor pos. 6. Foto copy KTP calon suami Pemohon 1 (satu) lembar di materai Rp.6000 dan di stempel di kantor pos. 7. Foto copy Akta kelahiran calon suami Pemohon 1 (satu) lembar di materai Rp.6000 dan di stempel di kantor pos.42
42
http://www.pakotamadiun.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=114
&Itemid=490
36
BAB III METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan Metode penelitian yang akan digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif. Konsep ini memandang hukum sebagai norma-norma yang tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan konsep yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang otonom tertutup dan terlepas dari kehidupan dan mengabaikan norma selain norma hukum.43 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang dipakai adalah penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan keadaan atau gejala dari objek atau masalah yang diteliti tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum, khususnya untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum dari hakim terhadap masalah permohonan Wali hakim dalam memberi Penetapan Pengadilan Agama Cirebon nomor : 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
43
Soemitro dan Ronny Hanitijo, 1988, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.11.
37
4. Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang berupa Penetapan Pengadilan Agama Cirebon nomor : 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr., peraturan Perundang-Undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur yang berhubungan dengan materi penelitian. 5. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan bahan hukum
akan
dilakukan dengan cara
studi
kepustakaan, yaitu suatu cara pengumpulan bahan hukum dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka. Data tersebut diolah dengan cara mengutip, menyadur tulisan baik yang berupa buku-buku, dokumen, karya ilmiah, maupun peraturan Perundang-Undangan. 6. Metode Penyajian Data Data sekunder ini diperoleh dengan melakukan inventarisasi terhadap putusan pengadilan, peraturan Perundang-Undangan, dokumen resmi dan bukubuku literatur yang kemudian dicatat berdasarkan relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian dikaji sebagai suatu kesatuan yang utuh. 7. Metode Analisis Data Data yang diperoleh kemudian akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif, yaitu dengan menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan guna menjawab pokok permasalahan.
38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN Penelitian terhadap Penetapan Pengadilan Agama Cirebon Nomor 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr pada tanggal 28 September 2011, dapat diperoleh datadata sebagai berikut : 1.
Permohonan Wali Adhal Watnengsih binti Sunilah umur 20 tahun, agama Islam, pekerjaan -, tempat
tinggal di Dusun IV RT.01 RW.07 Desa Kejiwan Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon, selanjutnya disebut “PEMOHON”. 2.
Tentang Duduk Perkara Pemohon melalui Surat Permohonannya tertanggal 05 Mei 2011 yang
telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sumber Cirebon telah mengajukan hal-hal sebagai berikut : a. Bahwa pemohon adalah anak kandung dari ayah bernama Sunilah bin Aim dan ibu Carwen binti Dopir ; b. Bahwa ayah kandung Pemohon telah meninggal dunia pada bulan November 2008 serta kakek Pemohon dari pihak ayah terlebih dahulu meninggal dunia ; c. Bahwa Pemohon tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung (seayah seibu) dan tidak juga mempunyai saudara laki-laki seayah ;
39
d. Bahwa Pemohon sudah mempunyai hubungan dengan seorang laki-laki bernama : Nama
: Rojaya bin Rasita
Umur
: 21 tahun, agama Islam
Pekerjaan
: Dagang
Status Perkawinan
: Jejaka dalam usia 21 tahun
Alamat
: Dusun I RT.02 RW.01 Desa Kejiwan Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon
e. Bahwa calon dan keluarga dari laki-laki tersebut telah melamar pada bulan Juni 2011 dan di terima oleh ibu Pemohon ; f.
Bahwa ayah kandung Pemohon mempunyai 4 saudara kandung laki-laki (paman Pemohon) yang masing-masing bernama : 1) Dunia bin Aim, umur 55 tahun, agama Islam, pkerjaan tani, tempat tinggal di RT.02 RW.01 Desa Tugu Lor Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu ; 2) Sonang bin Aim, umur 52 tahun, , agama Islam, pkerjaan tani, tempat tinggal di RT.02 RW.01 Desa Tugu Lor Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu ; 3) Casma bin Aim, umur 49 tahun, agama Islam, pkerjaan tani, tempat tinggal di RT.02 RW.01 Desa Tugu Lor Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu ;
40
4) Caskim bin Aim, umur 55 tahun, agama Islam, pkerjaan tani, tempat tinggal di RT.02 RW.01 Desa Tugu Lor Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu ; g. Bahwa Pemohon telah berusaha keras melakukan pendekatan dan/atau membujuk paman-pamannya Pemohon agar menjadi Wali dari pernikahan Pemohon dengan calon suami Pemohon tersebut, akan tetapi semua paman Pemohon tidak ada yang mau menjadi Wali pernikahan Pemohon dengan alasan Pemohon akan menjual rumah milik orang tua Pemohon untuk membayar hutang-hutang alm. Ayah Pemohon semasa hidup, sedangkan paman-paman Pemohon melarang menjual rumah tersebut ; h. Bahwa Pemohon telah berusaha minta bantuan keluarga namun usaha Pemohon tetap tidak membawa hasil ; i.
Bahwa Pemohon dan calon suami Pemohon telah datang ke KUA Kecamatan Susukan untuk menikahkan Pemohon dengan calon suami Pemohon tersebut, namun pihak KUA setempat menolak karena tidak ada persetujuan dari paman Pemohon ;
j.
Bahwa Pemohon telah mengajukan bukti Surat Penolakan Pernikahan Nomor : Kk.10.09.27/Pw.01/1189/2011 tanggal 06 September 2011 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon, oleh Ketua Majelis kemudian diberi kode P.1 ;
k. Bahwa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang dilarang oleh Agama, maka Pemohon ingin segera melangsungkan pernikahan dengan calon suami pilihan Pemohon sendiri
41
3.
Petitum a. Mengabulkan permohonan Pemohon. b. Menetapkan, Wali nikah Pemohon adalah Wali Adhal. c. Menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Desa Kejiwan Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon berhak menikahkan Pemohon dengan calon suami Pemohon Rojaya bin Rasita sebagai Wali Hakim. d. Menetapkan biaya perkara menurut hukum.
4.
Pertimbangan Hukum Hakim a. Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Pemohon dan calon suaminya telah datang menghadap di persidangan sedangkan Wali nikah Pemohon tidak hadir tanpa ada keterangan/alasan yang sah, dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya meskipun menurut berita acara panggilan, ia telah dipanggil secara patut, kemudian oleh Majelis Hakim telah diupayakan agar Pemohon mengurungkan niatnya tersebut tetapi tidak berhasil, maka pemeriksaan diteruskan dengan membacakan permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon ; b. Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut calon suami Pemohon didepan sidang juga telah memberikan keterangan yang pada pokoknya membenarkan alasan-alasan permohonan Pemohon tersebut ; c. Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil permohonanya tersebut Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat berupa :
42
Surat Penolakan Pernikahan Nomor : Kk.10.09.27/Pw.01/1189/2011 tanggal 06 September 2011 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon, oleh Ketua Majelis kemudian diberi kode P.1 ;
d. Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon mengajukan saksi-saksi sebagai berikut : 1) Untana bin Jumadi, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, tempat kediaman di Dusun IV RT.01 RW.07 Desa Kejiwan Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon ; -
Bahwa saksi adalah tetangaa Pemohon ;
-
Bahwa saksi mengetahui maksud Pemohon mengajukan permohonan Wali Adhal karena ayah Pemohon telah meninggal dunia dan paman-paman menolak untuk menikahkan Pemohon dengan calon suaminya ;
-
Bahwa paman-paman Pemohon semuanya beralamat di Indramayu ;
-
Bahwa saksi tidak tahu alasan paman-paman Pemohon menolak untuk menjadi Wali ;
-
Bahwa antara Pemohon dan calon suaminya tidak ada hubungan sedarah maupun sesusuan dan tidak ada larangan untuk melaksanakan perkawinan ;
-
Bahwa Pemohon dengan calon suami Pemohon telah memenuhi syarat-syarat pernikahan dan tidak ada larangan
43
untuk melaksanakan pernikahan baik menurut ketentuan hukum Islam, maupun menurut ketentuan PerundangUndangan yang berlaku ; 2) Hasan Basri bin Muhamad Indar, umur 59 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, tempat kediaman di Dusun IV RT.01 RW.07 Desa Kejiwan Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon ; -
Bahwa saksi adalah adalah tetangga Pemohon ;
-
Bahwa saksi mengetahui maksud Pemohon mengajukan permohonan Wali Adhal karena ayah Pemohon telah meninggal
dunia
dan
paman-paman
menolak
untuk
menikahkan Pemohon dengan calon suaminya ; -
Bahwa paman-paman Pemohon semuanya beralamat di Indramayu ;
-
Bahwa saksi tidak tahu alasan paman-paman Pemohon menolak untuk menjadi Wali ;
-
Bahwa antara Pemohon dan calon suaminya tidak ada hubungan sedarah maupun sesusuan dan tidak ada larangan untuk melaksanakan perkawinan ;
-
Bahwa Pemohon dengan calon suami Pemohon telah memenuhi syarat-syarat pernikahan dan tidak ada larangan untuk melaksanakan pernikahan baik menurut ketentuan hukum
Islam,
maupun
Undangan yang berlaku ;
menurut
ketentuan
Perundang-
44
e. Menimbang,
bahwa
selanjutnya
Pemohon
menyatakan
tidak
lagi
mengajukan sesuatu berupa apapun dan mohon penetapan ; f. Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian penetapan ini maka ditunjuk segala hal sebagaimana tercantum dalam berita acara persidangan perkara ini ; g. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon pada pokoknya sebagaimana tersebut di atas ; h. Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha menasehati Pemohon namun tidak berhasil ; i. Menimbang, bahwa dalam persidangan Pemohon telah memberikan keterangan bahwa ia tetap pada permohonanya dan telah pula dibenarkan oleh calon suaminya ; j. Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang telah dipertimbangkan di atas telah diperolehfakta di persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut : -
Bahwa perkara ini menjadi wewenang Pengadilan Agama Sumber ;
-
Bahwa Pemohon dan calon suaminya telah bertekad bulat dan bersepakat untuk melangsungkan pernikahan, karena sudah saling mencintai, sudah sama-sama berpikir matang, tak ada halangan/larangan untuk menikah, baik menurut syara’ (agama) maupun peraturan Perundang-Undangan dan berani bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban berumah tangga ;
-
Bahwa ternyata Wali nikah Pemohon tidak hadir di persidangan, dan tidak hadirnya Wali nikah tersebut disebabkan oleh suatu alasan yang sah,
45
sehingga dengan tidak hadirnya Wali nikah Pemohon dalam persidangan, menunjukkan bahwa Wali nikah tersebut telah enggan (adhal) menjadi Wali dalam pernikahan Pemohon dengan calon suaminya ; k. Menimbang, bahwa karena Wali nikah Pemohon telah enggan (adhal) menjadi Wali nikah dalam pernikahan Pemohon dengan calon suaminya, sedangkan
antara
Pemohon
dengan
calon
suaminya
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan di atas menurut Majelis telah memenuhi syaratsyarat perkawinan sebagaimana di atur dalam peraturan PerundangUndangan dan hukum syara’ serta tidak ada larangan untuk melakukan perkawinan, maka permohonan Pemohon tersebut dapat dipertimbangkan dan karenanya penolakan pernikahan oleh Kantor Urusan Agama Pangenan Kabupaten Cirebon tersebut harus dikesampingkan ; l. Menimbang, bahwa karena Wali nikah telah enggan (adhal), maka sesuai ketentuan Pasal 23 ayat(2) Kompilasi Hukum Islam, jo Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, maka yang menjadi Wali nikah Pemohon adalah Wali Hakim ; m. Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon ; n. Mengingat Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 2 ayat (1), 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan segala ketentuan
46
peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan hukum Islam yang bersangkutan ; 5.
Diktum Penetapan a. Mengabulkan permohonan Pemohon ; b. Menyatakan bahwa Wali nikah Pemohon adalah Wali Adhal ; c. Menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan Susukan
Kabupaten Cirebon berhak menikahkan Pemohon dengan calon suami Pemohon Rojaya bin Rasita sebagai Wali Hakim ; d. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.771.000,- (Tujuh ratus tujuh puluh satu ribu rupiah) ; B. PEMBAHASAN Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, untuk itu agar perbuatan hukum itu mengikat para pihak dan juga pihak ketiga, maka perkawinan tersebut harus sah. Mengenai sahnya suatu perkawinan disebut dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1), yang menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut menjelaskan bahwa : ”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masingmasing agama dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan PerundangUndangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UndangUndang ini”. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta penjelasannya itu, dapat disimpulkan bahwa perkawinan itu harus dilakukan
47
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, kalau tidak perkawinan itu tidak sah. Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, maka bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan tentang perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam, yaitu harus memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Rukun perkawinan yaitu hakekat dari suatu perkawinan, supaya perkawinan dapat dilaksanakan ialah : 1.
Pihak-pihak yang akan melaksanakan akad nikah yaitu calon mempelai pria dan wanita
2.
Wali calon pengantin perempuan
3.
2 orang saksi
4.
Akad nikah atau ijab dan qabul44 Syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan itu
sendiri. Kalau salah satu syarat perkawinan tidak dipenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum.. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak jelas mengatur tentang ketentuan adanya Wali, namun demikian dalam Pasal 6 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua.
44
Soemiyati, Ibid, hal. 37.
48
Wali dalam perkawinan yang
dianut di Indonesia
diatur di dalam
Kompilasi Hukum Islam : 1.
Ayah.
2.
Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
3.
Saudara laki-laki kandung.
4.
Saudara laki-laki seayah.
5.
Kemenakan laki-laki kandung.
6.
Kemenakan laki-laki seayah.
7.
Paman kandung.
8.
Paman seayah.
9.
Saudara sepupu laki-laki kandung.
10.
Saudara sepupu laki-laki seayah.
11.
Sultan atau hakim.
12.
Orang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan. 45 Soemiyati
menyebutkan bahwa
dari macam-macam
orang
yang
dinyatakan berhak menjadi Wali, dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam Wali yaitu : 1. Wali Nasab atau kerabat Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinear dengan calon mempelai perempuan. Jadi, yang termasuk Wali nasab ialah ayah, sodara laki-laki, paman, dan seterusnya. Wali nasab dibagi menjadi dua yaitu : Wali nasab yang dapat
45
Soemiyati, Ibid, hal. 45.
49
memaksakan kehendak untuk mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin terlebih dahulu dari yang bersangkutan, Wali nasab yang demikian disebut dengan Wali mujbir, dan Wali nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa atau Wali nasab biasa. 2. Wali Penguasa (sultan) atau Wali Hakim Urut-urutan tertib Wali yang telah disebutkan diatas, itu ada yang disebut Wali dekat (Wali aqrab), misalnya ayah, kakek dan sudara laki-laki sekandung. Sedang yang lainnya disebut Wali jauh. Menurut Imam Syafi’i, Wali yang jauh tidak boleh menjadi Wali apabila Wali yang dekat masih ada. Hakim dapat bertindak sebagai Wali apabila Wali dekat tidak ada (ghaib) dan tidak ada yang mewakilinya, bukan Wali yang jauh, karena Wali yang dekat dianggap masih ada dan berhak menikahkan wanita yang ada di bawah perWaliannya selama ia masih hidup dan tidak gila. Menurut Imam Abu Hanifah, Wali jauh boleh menikahkan asal dapat ijin dari Wali dekat, kalau tidak mendapat ijin maka nikahnya tidak sah. Apabila pemberian ijin tidak ada maka perWalian pindah ke tangan sultan (kepala negara) atau orang yang diberi kuasa oleh kepala negara. Jadi Wali hakim ialah Wali yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala negara. 46 Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian hakim apabila : a. Wali nasab memang tidak ada. b. Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada ditempat tetapi tidak memberi kuasa kepada Wali yang lebih dekat yang ada.
46
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987
50
c. Wali nasab kehilangan hak perWaliannya. d. Wali nasab sedang berihram haji/umrah. e. Wali nasab menolak bertindak sebagai Wali. f. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan yang ada di bawah perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah. 3. Wali Muhakam Wali yang berhak atau Wali nasab tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai Wali karena sesuatu sebab tertentu atau karena menolak menjadi Wali. Demikian juga Wali hakim tidak dapat mengganti kedudukan Wali nasab karena berbagai sebab, maka calon mempelai perempuan dapat menunjuk seseorang yang dianggap mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik untuk menjadi Wali. Wali yang ditunjuk oleh Wali perempuan tadi yang tidak ada hubungan saudara, dan juga bukan penguasa disebut Wali muhakam. 47 Beberapa alasan Wali jika menolak menikahkan, apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis Wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabok), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika Wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka Wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada orang lain (Wali hakim). Jika
47
Soemiyati, Ibid, hal. 46-49.
51
seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikah tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan Wali hakim. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada ditangan Wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada Wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa Wali, maka nikahnya batil. Adakalanya Wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika Wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka Wali tersebut disebut Wali adhal. 48 Dapat dideskripsikan alasan dari Wali nasab yaitu Paman-paman Pemohon yang menduga bahwa jika Pemohon menikah dengan calon mempelai pria maka akan menjual rumah milik orang tua Pemohon dan hasil pejualan rumah tersebut digunakan untuk membayar hutang-hutang orang tua Pemohon, dan alasan tersebut tidak termasuk dalam syariat islam. Selain hal tersebut dapat didskripsikan bahwa apakah calon mempelai pria itu sekufu (seimbang) atau tidak. Pada dasarnya hak untuk menjadi Wali dalam perkawinan ada di tangan Wali nasab. Hanya Wali nasab saja yang berhak mengawinkan perempuan yang ada dalam perwaliannya. Demikian pula ia berhak melarang kawin dengan seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima misalnya suami tidak sekufu atau
48
http://blog.umy.ac.id/agung/2012/01/17/pernikahan-tanpa-restu-Wali/
52
karena si perempuan sudah dipinang oleh orang lain, atau cacat badan yang menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini Wali nasab adalah berhak menjadi Wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada orang lain atau kepada hakim. 49 Pelaksanaan akad nikah yang dilakukan oleh calon mempelai wanita dan calon mempelai pria dengan menggunakan Wali hakim, Wali hakim disini meminta kembali kepada Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, apabila Wali nasab tetap adhal maka akad nikah dilaksanakan menggunakan Wali hakim sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim yang menyebutkan : Pasal 6 (1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali hakim meminta kembai kepada Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali. (2) Apabila Wali nasabnya tetap adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali hakim. Berdasarkan hasil penelitian nomor 1 tentang identitas Pemohon, dari data tersebut Watnengsih binti Sunilah masih berumur 20 tahun, sehingga Watnengsih dalam melangsungkan perkawiinan harus meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) yang menentukan bahwa untuk melangsungkan perkawinan bagi seorang yang belum genap berumur 21 tahun harus mendapat izin terlebih dahulu kepada orang tua.
49
H. S. A. Alhamdani, Op Cit, hal. 90.
53
Hasil penelitian nomor 2 (a) dan (b) menjelaskan bahwa Watnengsih (Pemohon) sudah tidak mempunyai ayah kandung dan kakek dikarenakan sudah meninggal dunia, dan juga tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung. Namun ayah Pemohon mempunyai 4 saudara kandung laki-laki (paman Pemohon) sehingga ke empat (4) paman Pemohon tersebut yang berhak menjadi Wali bagi si Pemohon, ini sesuai dengan tertib Wali menurut madzhab Syafi’i dan juga pada Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam disebutkan sebagai berikut: a. Yang bertindak sebagai Wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh. b.
Wali Nikah terdiri dari: 1) Wali nasab 2) Wali hakim. 50 Berdasarkan hasil penelitian nomor 2 (g) dan (h) tentang upaya Pemohon
untuk meminta kesediaan pamannya (Dunia, Sonang, Casma, Caskim) agar dinikahkan dengan calon suaminya tetapi ditolak dan tidak bersedia menjadi Wali nikah. Penolakan tersebut berdasarkan pada alasan bahwa Pemohon akan menjual rumah milik orang tua dari Pemohon untuk membayar hutang-hutang alm. ayahnya semasa hidup, sedangkan paman-paman Pemohon melarang menjual rumah itu. Dan Pemohon telah berusaha minta bantuan keluarga namun usaha Pemohon tetap tidak membawa hasil. Dalam peraturan Perundang-Undangan yang berlaku tidak mengatur tentang penolakan seseorang untuk menjadi Wali
50
2007, Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, hal. 235
54
dikarenakan harta atau warisan keluarga. Islam hanya ditentukan bahwa perkawinan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun salah satu rukun nikah adalah Wali nikah bagi calon mempelai perempuan, sebab perkawinan yang dilakukan tanpa Wali nikah bagi calon mempelai perempuan adalah dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan : “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : a.
calon suami
b.
calon isteri
c.
Wali nikah
d.
dua orang saksi
e.
ijab dan qobul”
Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa : ”Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Hasil penelitian di atas dapat dideskripsikan bahwa untuk mengatasi kesulitannya Watnengsih (Pemohon) mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama agar Paman-pamanya ditetapkan sebagai Wali adhal dan mensahkan perkawinannya dengan Wali hakim. Apabila dihubungkan dengan data nomor 2 (g) dan diktum penetapan nomor 5 (b) dan (c) terbukti bahwa semua paman Pemohon tidak mau menikahkan dan menolak menjadi Wali nikah dikarenakan alasan Pemohon akan menjual rumah milik orang tua Pemohon untuk membayar hutang-hutang alm.ayah Pemohon semasa hidup. Oleh karena itu Pengadilan
55
menetapkan semua paman Pemohon (Dunia, Sonang, Casma, Caskim) sebagai Wali adhal dan memerintahkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon untuk menikahkan Pemohon dengan calon suiami Pemohon Rojaya bin Rasita sebagai Wali Hakim, karena Wali yang berhak itu tetap pada adhalnya. Pengadilan Agama dalam menetapkan adhalnya Wali harus memeriksa bukti penolakan Wali nasab untuk menikahkan calon mempelai wanita baik secara singkat maupun lisan, hal ini sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, yang menyebutkan : Pasal 2 (1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau diluar negeri atau wilayah ekstra teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau Mafqud atau berhalangan atau adhal maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim. (2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita. (3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan Wali calon mempelai wanita. Pertimbangan Hukum Hakim tersebut juga telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, yang menjelaskan bahwa :
Pasal 23
56
(1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila Wali Nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan. (2) Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang Wali tersebut. Hasil penelitian diatas, hakim dalam menetapkan adhalnya Wali tidak hanya melihat dari pihak calon mempelai wanita saja, tetapi juga harus melihat dari pihak calon mempelai pria, apakah calon mempelai pria tersebut tidak sekufu atau cacat badan yang menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Hakim disini juga telah memanggil Wali nikah pemohon secara patut, namun tidak hadir tanpa ada keterangan ataupun alasan yang sah, dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya. Perkawinan antara pemohon dan calon mempelai pria dengan menggunakan Wali hakim dapat dibenarkan, karena alasan dari Paman-pamannya itu adalah alasan harta dan alasan tersebut bukan merupakan alasan-alasan Wali boleh menolak berdasarkan syariat Islam.
57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap penetapan Pengadilan Agama Cirebon Nomor 0053/Pdt.P/2011/PA.Sbr tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim mengabulkan permohonan Wali adhal karena dasar penolakan dari Wali untuk menikahkan Pemohon bahwa jika Pemohon menikah dengan calon mempelai pria maka akan menjual rumah milik orang tua Pemohon dan hasil pejualan rumah tersebut digunakan untuk membayar hutang-hutang orang tua Pemohon, adapun alasan Wali boleh menolak menjadi Wali nikah mendasarkan pada syariat Islam, yaitu alasan syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis Wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabok), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya.
58
B. SARAN 1. Hakim dalam menetapkan adhalnya Wali seharusnya tidak melihat dari sudut pandang calon mempelai wanita saja, tetapi juga harus melihat dari sudut pandang calon mempelai pria apakah sekufu atau tidak. 2. Hakim sebelum menetapkan suatu penetapan harus meneliti alasan-alasan yang diajukan sebagai adhalnya Wali.
59
DAFTAR PUSTAKA BUKU Alhamdani, H.S.A. 1989. Hukum Perkawinan Islam. Pustaka Amani, Jakarta. Arto, Mukti. 1996. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Basyir, Ahmad Azhar. 1990. Hukum Perkawinan Islam. Penerbit UII, Yogyakarta. Ensiklopedi Hukum Islam. 2003. Ikhtiar Baru van hoeve cetakan keenam. Jakarta. Hadikusuma, Hilman. 1983. Hukum Perkawinan Adat. Alumni, Bandung. Hanitijo, Soemitro Ronny. 1988. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Jassin, H. B. 1982. Qur’an dan Terjemahan. Penerbit Yayasan 23, Cet Kedua. Prakoso, Djoko dan Murtika, I. K. 1987. Azas-azas Hukum Perkawinan Islam. Bina Aksara, Jakarta. Prawirohamidjojo, R. Soetojo. 1986. Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia. Airlangga University Press, Surabaya. Prodjodikoro, Wiryono. 1981. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. vorvink van hoeve, Bandung. Ramulyo, Mohd. Idris. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat. Sinar Grafika, Jakarta. Sabiq, Sayid. 1990. Fiqih Sunnah. Penerbit PT. Al-Maa’rif, Bandung. Saleh, Wantjik K. 1982. Hukum Perkawinan Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Soemiyati. 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Liberty, Yogyakarta. Sudarsono. 1991. Hukum Perkawinan Nasional. Rineka Cipta, Jakarta. Tandjung, Nadimah. Islam dan Perkawinan. Bulan Bintang, Jakarta. Tatapangarsa, Humaidi. 1990. Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa. Penerbit IKIP, Malang. Cet Pertama.
60
Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Keluarga Indonesia. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim LAIN-LAIN www.mail-archive.com/
[email protected]/msg02467.html http://onlymusafir.wordpress.com/2009/05/07/bolehkah-menikah-tanpa-Wali/ http://blog.umy.ac.id/agung/2012/01/17/pernikahan-tanpa-restu-Wali/ http://www.pakotamadiun.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id =114&itemid=490
61
SISTEMATIKA PENELITIAN
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kegunaan Penelitian BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan 2. Asas-asas Perkawinan 3. Syarat Sahnya Perkawinan B. WALI 1. Pengertian Wali 2. Fungsi Wali Nikah dalam Perkawinan 3. Kedudukan Wali dalam Perkawinan 4. Syarat-syarat Menjadi Wali 5. Orang-orang yang Boleh Menjadi Wali 6. Macam-macam Wali C. WALI ADHAL 1. Pengertian Wali Adhal 2. Sebab-sebab Adanya Wali Adhal BAB III. METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan
62
2. Spesifikasi Penelitian 3. Lokasi Penelitian 4. Sumber Data 5. Metode Pengumpulan Data 6. Metode Penyajian Data 7. Metode Analisis Data