1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Teknologi dan industri semakin berkembang pesat, disertai dengan
keinginan masyarakat untuk saling mengenal, berinteraksi dan menjalin kerjasama antara sesamanya. Hal tersebut membuat kehidupan masyarakat memiliki keterkaitan dan saling berkomplemen dengan perkembangan teknologi dan industri. Teknologi ini telah membantu umat manusia dalam berinteraksi dengan manusia yang ada pada komunitas lain dengan sangat mudah. Semakin maju dan modern teknologi yang ada pada suatu negara senantiasa akan menimbulkan suatu dampak, baik yang secara langsung ataupun yang tidak langsung. Baik dalam artian positif maupun negatif dan akan sangat berpengaruh terhadap setiap sikap, tindakan dam sikap mental setiap anggota masyarakat. Teknologi ini seakan-seakan memberikan dua perspektif atau pandangan. Pada satu sisi memberikan manfaat yang besar bagi manusia dan sebagai pertanda kemajuan masyarakat, namun di sisi lain dapat juga memberikan ruang dalam memperluas perbuatan-perbuatan manusia untuk melakukan kejahatan yang melewati ambang batas kewajaran dari nilai-nilai yang berkembang dari masyarakat. Adanya dualisme perspektif terhadap perkembangan teknologi, maka salah satu hal yang kita perhatikan adalah efektifitas dari kemajuan teknologi tersebut. Jika didasarkan dari perspektif kriminologi, teknologi bisa dikatakan sebagai faktor kriminogen, yaitu faktor yang menjadi penyebab timbulnya keinginan orang untuk
2
berbuat jahat atau memudahkan terjadinya kejahatan. 1 Kriminologi itu sendiri adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk kejahatan.2 Salah satu hasil dari kemajuan teknologi yang telah diciptakan adalah adanya kendaraan bermotor yang dapat membawa manusia dari satu tempat ke tempat yang lain dengan jarak yang relatif jauh tanpa harus berjalan kaki untuk mencapai tempat tersebut. Kepemilikan kendaraan bermotor menjadi suatu kebutuhan dari sebagian besar orang sebagai saran transportasi yang tentunya berguna untuk menunjang mobilitas dan aktifitas seseorang. Menurut Arif Budiarto dan Mahmudah bahwa transportasi adalah pergerakan manusia, barang daninformasi dari suatu tempat ke tempat lain dengan nyaman, aman, murah, cepat dan sesuai dengan lingkungan untuk memenuhi kehidupan manusia. 3 Robert Preddle juga menyataka bahwa: transport system are the life bood of cities, providing mobility and access that critical to most activities. But many transport system are beginning to threaten the very live ability of the cities they serve.4 Kendaraan bermotor yang sering di kendarai oleh sebagian besar masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sebagai salah satu sarana transportasi adalah sepeda motor. Pengertian sepeda motor dapat dilihat dari beberapa sumber. Jika didasarkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sepeda motor diartikan sebagai sepeda besar yang di jalankan dengan motor. Selanjutnya dalam ketentuan
1
Abdul Wahid dan Mohamad Labib, 2010, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung, h. 59. 2 Yusrizal, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, PT. Soft Media, Jakarta, h. 156. 3 Arif Budiarto dan Mahmudah, 2007, Rekayasa Lalu Lintas, UNS Pers, Surakarta, h. 1. 4 Robert Preddle, 2002, Bus System For the Furture, Achieving Sustainable Transport Worldwide, Internasioanal Energy Agency, Paris, h.19.
3
Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Angkutan Jalan, dinyatakan bahwa: “Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa berumah-rumah”. Penggunaan sepeda motor dalam mengemudikan atau menggunakan kendaraan bermotor di jalan raya tentunya harus di lengkapi dengan segala suratsurat dan syarat-syarat teknis yang berhubungan dengan persyaratan dalam berlalulintas di jalan raya. Adapun persyaratannya seperti: pengguna motor harus membawa surat izin mengemudi (SIM), harus membawa surat tanda nomor kendaraan (STNK), harus mempergunakan alat pengaman kepala atau helm dan persyaratan-persyaratan teknis lain. Persyaratan dasar dan utama bagi setiap orang atau individu dalam mengendarai kendaraan bermotor secara sah dan tidak melanggar hukum di jalan raya adalah memiliki SIM. Pada Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, terdapat syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk memiliki SIM, yaitu harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan dan lulus ujian. Dalam ketentuan pasal tersebut juga dinyatakan adanya batasan untuk memiliki atau memperoleh SIM adalah sudah berumur 17 tahun untuk memiliki SIM C dan SIM A. Pihak Kepolisian Republik Indonesia memiliki kewenangan dan kewajiban dalam menciptakan tertib lalu lintas diseluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk itu, aparat Kepolisian berhak atau berwenang melakukan berbagai upaya dalam mewujudkan tertib berlalu lintas tersebut, setiap mengadakan inspeksi atau razia di
4
jalan raya untuk memeriksa syarat dalam berkendara. Akan tetapi dewasa ini sering kali ditemui kasus-kasus pelanggaran dalam berlalu lintas, khususnya yang dilakukan oleh anak remaja dengan berbagai macam modus dan criteria pelanggaran yang dilakukan, salah satunya adalah melakukan balapan liar di jalan raya ataupun berkendara tanpa memiliki SIM. Pada uraian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa segala kemanfaatan dari suatu hal yang berkembang pesat pasti selalu berdampingan dengan hal yang negatif. Salah satu dampak negatif yang dapat ditimbulkan dengan adanya sepeda motor adalah banyaknya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di bawah umur yang menyalahgunakan penggunaan sepeda motor tersebut untuk keperluan balapan liar di jalan raya. Balapan liar ini nantinya dapat membahayakan keselamatan diri sendiri ataupun keselamatan orang lain. Hal inilah yang menyebabkan sepeda motor sebagai sarana untuk balapan, dikatakan sebagai sisi negatif dari perkembangan teknologi. Apalagi salah satu sasaran yang sangat rentan dari adanya balapan motor liar ini adalah anak terutama anak yang baru menginjak usia remaja. Anak adalah generasi penerus suatu keluarga dan juga generasi penerus bangsa. Anak sebagai generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan sudah dipersiapkan sejak kecil, dan juga hak-hak yang dimiliki oleh anak tersebut harus mendapat perlindungan hukum dari negara. Untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak, terlebih dahulu kita harus mengetahui batasan mengenai pengertian anak. Mengenai pengertian atau batasan tentang anak, diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia.
5
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat menjadi KUHP) tidak merumuskan secara eksplisit mengenai pengertian anak, tetapi dapat dilihat pada beberapa pasal yang member batasan 16 tahun sebagai usia dewasa (Pasal 45, 47 KUHP). Anak yang berusia dibawah tersebut masih menjadi tanggung jawab orang tuanya kalau melanggar hukum pidana. Tingkah laku mereka yang melanggar hukum itupun (misalnya mencuri) belum disebut sebagai kejahatan melainkan hanya disebut sebagai kenakalan. Kalau kenakalan tersebut sudah membahayakan masyarakat dan patut dijatuhi hukuman oleh negara, dan ternyata orang tuanya tidak mampu untuk mendidik anak itu lebih lanjut, maka anak itu menjadi tanggung jawab negara dan dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak-Anak.5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) juga diatur mengenai batasan seorang anak, dimana dalam Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa dengan telah dewasa yaitu 21 tahun, kecuali anak tesrsebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan. Pasal senada dengan Pasal 1 angka 2 UndangUndang nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa pengertian anak di perluas lagi dan cenderung
5
Sarlito W. Sarwono, 2011, Psikologi Remaja edisi revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 6-7.
6
kepada penggunaan anak dalam sistem peradilan, yaitu Anak yang Berhadapan deang Hukum, Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, dan Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah Anak yang Berkonflik dengan Hulum, Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, dan Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut dengan Anak adalah anak yang telah berusia 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dan Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak yang sudah mengijak 12 tahun sampai dengan 21 tahun umumnya kita kenal sebagai kaum remaja, yang mana mereka sudah mampu untuk berpikir secara kritis, cepat dan bermanfaat dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Hasil pemikiran tersebut nantinya diharapkan memiliki suatu nilai kemanfaatan, baik bagi dirinya sendiri maupun khalayak umum. Namun jika ditelusuri lebih jauh, ternyata tidaklah sepenuhnya demikian. Pemikiran anak remaja yang bersifat kritis, cepat dan bermanfaat dapat pula mengundang hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Terkadang banyak perbuatan yang dilakukan sampai melanggar normanorma ataupun hukum positif yang perlaku di masyarakat. Perilaku seperti inilah yang dulu sering disebut kenakalan anak, dan yang sekarang disebut kejahatan anak. Kejahatan anak ini tidak hanya perbuatan yang melanggar aturan atau hukum
7
positif yang berlaku, tetapi juga melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat.6 Perilaku yang dilakukan oleh anak ini diambil dari istilah asing Juvenile Delinquecy yang berarti perilaku jahat (dursila) atau kejahatan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara spesial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. 7 Salah satu bentuk kejahatan anak sebagai akibat perkembangan teknologi dan industri adalah penggunaan sarana sepeda motor untuk balapan liar di jalan raya. Balapan liar adalah merupakan kegiatan beradu kecepatan tinggi (yang melebihi batas normal yang ada dalam undang-undang lalu lintas) baik itu sepeda motor maupun mobil yang tidak sesuai dengan standar nasioana ataupun standar perlengkapan, yang dilakukan diatas lintasan umum. Artinya bahwa kegiatan balapan ini dilaksanakan tanpa memiliki ijin resmi dan dilakukan bukan pada lintasan balapan resmi, melainkan di jalan raya. Fenomena balapan liar sebagai salah satu wujud perilaku penyimpangan anak, akan menjadi salah satu masalah besar apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat. Balapan liar ini merupakan “perbuatan yang dilarang” dan pengaturannya terdapat dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 297 jo Pasal 115 huruf b Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas
6 Rachmad Iswan Nusi, 2014, Efektifitas Penanggulangan Terhadap Pelaku Balapan Liar Oleh Remaja (Studi di Polresta Samarinda), available at: http://hukum.ub.ac.id/wpcontent/uploads/2014/01/JURNAL-RACHMAD-ISWAN.pdf, accessed 20 Januari 2015 7 Katini Kartono, 2011, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 6.
8
dan Angkutan Jalan, yang menyatakan bahwa : setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor berbalapan di jalan sebagaimana dimaksud pasal 115 huruf b dipidana kurungan paligg lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Perilaku anak seperti ini banyak kita jumpai di kota-kota besar dan bahkan sudah mulai menjamur di kota-kota kecil yang ada di setiap provinsi. Adapun tempat penulis melakukan penelitian skripsi ini adalah di Kota Denpasar yang merupakan bagian dari Wilayah Hukum Polresta Denpasar. Alasan penulis melakukan penelitian di Kota Denpasar adalah bahwa Denpasar merupakan ibukota sekaligus wilayah administratif dari Provinsi Bali. Sehingga, terdapat pula banyak pelajar yang ada di wilayah ini. Maka dari itu, banyak lembaga atau intuisi pendidikan yang disediakan di wilayah ini. Maka seharusnya pelajar yang ada lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan tidak menggunakan waktu luangnya untuk hal-hal yang tidak baik. Alasan kedua penulis melakukan penelitian di Kota Denpasar adalah bahwa volume jalan yang besar, dan pada saat tengah malam tingkat penggunaan kendaraan tidak begitu banyak/padat, memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan kegiatan kebut-kebutan atau balapan liar di jalan raya. Alasan ketiga penulis melakukan penelitian di Kota Denpasar adalah bahwa berdasarkan data tingkat pelanggaran lalu lintas di Kota Denpasar sangatlah tinggi dibandingkan kabupaten lain yang ada di Provensi Bali. Berikut ini data jumlah pelanggaran disemua di Provensi Bali pada tahun 2015 :
9
Tabel 1. Data Jumlah pelanggaran lalu lintas di Provinsi Bali
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
POLRES DIT LANTAS POLRESTA DPS RES BADUNG RES BULELENG RES TABANAN RES GIANYAR RES KLUNGKUNG RES BANGLI RES KARANGASEM RES JEMBRANA JUMLAH
JUMLAH PELANGGARAN TILANG TEGURAN 3.084 875 11.092 5.247 6.638 1.936 5.682 2.085 4.525 1.613 5.219 5.624 1.900 1.090 2.334 2.619 2.151 889 5.095 3.738 47.720 25.716
KET
JUMLAH 3.959 16.339 8.574 7.767 6.138 10.843 2.990 4.953 3.040 8.833 73.436
Sumber : Laporan Dit Lantas Polda Bali Pada data tabel 1 di atas dapat dilihat perbandingan jumlah pelaku pelangaran lalu lintas di Provinsi Bali pada tahun 2015. Dapat diketahui bahwa jumlah pelaku pelanggaran lalu lintas tertinggi terdapat di wilayah hukum Polresta Denpasar. Balapan liar yang banyak terjadi di Kota Denpasar merupakan salah satu alternatif bagi anak-anak remaja untuk mengekspresikan dirinya sebagai suatu pencitraan diri. Biasanya para pembalapan liar ini membentuk suatu kelempok (komunitas) sebagai wadah mereka mengaktualisasikan diri dan sering menamakan kelompok mereka dengan sebutan geng motor. Padahal memurut fakta yang ada, geng motor bukan merupakan jati diri Bangsa Indonesia. Balapan liar ini, menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat. Karena resiko yang dihadapi sangat besar, mulai dari berurusan dengan polisi, kecelakaan yang mengakibatkan cacad hingga kematian.
10
Peran Kepolisian sangat mendominasi dalam upaya penanggulangan balapan liar ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh kepolisian dalam menanggulangi balapan liar, seperti: penyitaan sepeda motor, mengadakan kerjasama dengan pecalang di tempat sekitar diadakannya balapan liar, serta adanya sanksi dari desa tempat anak yang melanggar tersebut tinggal. Selain itu diperlukan juga peran masyarakat sebagai pendukungnya. Melalu sarana penal dan non penal, pihak kepolisian dapat bertindak guna menanggulangi balapan liar, yang sejatinya balapan liar tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan yang melanggar hukum materiil mengenai lalu lintas. Berdasarkan Pasal 297 jo pasal 115 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sudah sangat jelas dinyatakan dalam pasal tersebut mengenai larangan adanya balapan liar. Pada kenyataan dan fakta yang ada, di Kota Denpasar masih terdapat banyak pelanggaran terhadap aturan tersebut. Dan berbagai upaya juga telah dilakukan oleh kepolisian seperti yang sudah dipaparkan di paragraph sebelumnya, namun tetap saja masih banyak anak yang melakukan balapan liar. Sehingga dalam hal ini, selain diperlukan upaya yang maksimalunruk menanggulangi balapan liar tersebut, juga perlu diketahui apa yang menjadi faktor atau motivasi anak tersebut melakukan balapan liar. Penangkapan pelaku balapan liar ini sebenarnya agak susah untuk dilakukan, Karena berhubungan dengan keselamatan di jalan raya, baik untuk si pembalapan liar, polisi itu sendiri ataupun pengguna jalan lainnya yang melintas pada saat balapan itu terjadi. Balapan liar yang terjadi di Kota Denpasar, biasanya dilakukan pada setiap hari sabtu atau minggu. Di mana balapan ini terjadi di 3 (tiga)
11
/ tempat yaitu Jalan Raya Gatot Subroto Denpasar Utara, Jalan Raya Renon dan di Jalan By Pass IB Mantra. Adapun data balapan liar yang sudah ditindak/diproses 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu: Tabel 2. Data Jumlah Pelanggaran Balapan Liar NO
TAHUN
JUMLAH PELANGGARAN
1
2012
52
2
2013
31
3
2014
157
4
2015
64
Sumber : Laporan Satuan Lalu Lintas Polresta Denpasar Pada tabel 2 di atas dapat dilihat adanya fluktuasi jumlah pelanggaran balapan liar di Kota Denpasar dalam empat tahun terakhir yakni sejak tahun 2012 sampai tahun 2015. Dapat dicermati terjadi penurunan jumlah pelanggaran balapan liar pada tahun 2013, dimana pada tahun 2013 pelanggaran balapan liar jumlahnya tidak sebanyak pada tahun 2012. Namun pada tahun 2014 terjadi penigkatan jumlah pelanggaran balapan liar yang sangat signifikan, dimana pada tahun 2014 menjadi titik tertinggi banyaknya jumlah balapan liar. Kemudian penurunan angka balapan liar pada tahun 2015. Adanya fluktuasi jumlah balapan liar ini tentu saja dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, baik itu dari sudut kesadaran hukum masyarakat maupun dari segi optimalisasi penegakan hukumnya. Melihat fakta yang ada di lapangan, balapan liar sebagai salah satu wujud dari perilaku menyimpang anak terjadi karena berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut, seperti: kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua, kurangnya media atau sarana bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif, ataupun
12
pengaruh dari teman sepermainan. Apapun yang menjadi alasan anak tersebut melakukan balapan liar, tetap saja kiranya perbuatan itu harus dihindari. Karena nantinya akan membawa danpak yang tidak baik yang mengganggu ketentraman dan ketenangan masyarakat di sekitarnya. Pada penelitian ini akan dikaji dari aspek kriminologi, karena pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak yaitu balapan liar, dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang, masalah kejahatan anak ini terjadi karena penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan baku ataupun norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sehingga penulis melihat pentingnya masalah ini untuk dikaji dan harus segera dicarikan solusi atau upaya penanggulangannya. Berdasarkan kondisi empirik dan fakta yang ada sebagaimana yang dipaparkan di atas, penulis melihat adanya kesenjangan antara teori dan praktek. Undang-Undang telah mengatur secara jelas bahwa balapan liar merupakan suatu tindak pidana yang berupa pelanggaran lalu lintas dan dapat dipidana. Tetapi dalam kenyataannya di masyarakat khususnya kalangan anak muda, balapan liar tersebut tetap saja terjadi. Melihat kondisi inilah, maka penulis tertarik untuk menganalisa lebih dalam mengenai faktor penyebab dan upaya penanggulangan balapan liar di Kota Denpasar. Selanjutnya penulis memberikan judul dalam penelitian ini yaitu “TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PELAKU PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR KHUSUSNYA BALAPAN LIAR (BERDASARKAN DATA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA DENPASAR)”.
13
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Apa faktor penyebab terjadinya pelanggaran lalu lintas oleh anak di bawah umur khususnya balapan liar di wilayah Kota Denpasar?
2.
Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di bawah umur khususnya balapan liar di wilayah Kota Denpasar?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Untuk lebih terarahnya tulisan ini perlu kiranya diadakan pembatasan
terhadap permasalahan tersebut. Hal ini untuk menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Bertitik tolak dari hal tersebut diatas, maka pokok pembahasan disini adalah mengenai faktor-faktor penyebab anak melakukan balapan liar dan upaya Kepolisian dalam penanggulangan balapan liar di Kota Denpasar.
1.4
Orisinalitas Penelitian Skripsi ini merupakan karya tulis asli penulis, sehingga skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan penulis sangat terbuka atas saran dan kritik yang membangun bagi penyempurnaannya. Untuk memperlihatkan orisinalitas dari skripsi ini, maka dapat membandingkan dengan
14
skripsi-skripsi yang pernah ada sebelumnya. Adapun skripsi-skripsi sebelumnya yang menyangkut tentang kriminoogi : 1.
Skripsi dengan judul “Tinjauan Kriminologis Terhadap Kenakalan Remaja (Studi Kasus : Balapan Liar di Kabupaten Sinjai Tahun 2011-2013)” ditulis oleh Qasman tahun 2014 dari Universitas Hasanuddin Makasar, dengan rumusan masalah: 1) Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja khususnya balapan liar di Kabupaten Sinjai sejak Tahun 2011-2013? 2) Bagaimanakah upaya penanggulangan oleh aparat penegak hukum dalam menanggulangi kenakalan remaja khususnya balapan liar di Kabupaten Sinjai sejak Tahun 2011-2013?
2. Skripsi dengan judul “Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Geng Motor di Kabupaten Gowa (Studi Kasus Polres Gowa Tahun 2011 s/d 2012)” ditulis oleh Ibnu Tofail tahun 2013 dari Universitas Hasanuddin Makasar, dengan rumusan masalah: 1) Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh geng motor di Kabupaten Gowa tahun 2011 s/d 2012? 2) Upaya-upaya apakah yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam rangka menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh geng motor di Kabupaten Gowa tahun 2011 s/d 2012? Bertolak dari beberapa skripsi di atas, maka dapat dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dimana penelitian penulis ini menekankan pada kajian kriminologis mengenai pelaku pelanggaran lalu lintas yang dilakukan
15
oleh anak dalam melakukan balapan liar. Dalam penelitian terdahulu, baik Universitas Udayana maupun Universitas lainnya sepanjang penulis ketahui, penekanan pada penelitian ini belum pernah memperoleh kajian. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak dijadikan objek penelitiandalam skripsi ini.
1.5
Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum Mengetahui dan menganalisa dari aspek kriminologi fenomena kejahatan anak dalam melakukan balapan liar yang merupakan pelanggaran lalu lintas di Kota Denpasar. 1.5.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan anak melakukan balapan liar di Kota Denpasar. 2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh Kepolisian dalam penanggulangan balapan liar di Kota Denpasar.
1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoristis Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat agar mereka lebih mengetahui faktor penyebab terjadinya pelaku pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di bawah umur dalam melakukan balapan liar di Kota Denpasar.
16
1.6.2 Manfaat Praktis Penelitian ini maka diharapkan agar dapat menjadi referensi bagi Kepolisian dalam melakukan upaya penanggulangan terhadap balapan liar di Kota Denpasar.
1.7
Landasan Teoritis Pemikiran atau landasan teori akan digunakan sebagai landasan untuk
membahas permasalahan dalam penelitian yang di dalamnya terdapat teori hukum / teori khusus, konsep-konsep hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain. Dalam penelitian ini digunakan teori kriminologi serta konsep perilaku penyimpangan anak di bawah umum sebagai landasan analisis terhadap permasalahan yang ada. Dalam membahas dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan diatas, maka ada beberapa teori yang dipaparkan terlebih dahulu dalam bab ini. Kata teori itu sendiri berasal dari theoria yang memiliki arti pandangan atau wawasan.8 Sehingga teori yang nantinya dipakai sebagai acuan atau landasan dalam menjawab atau menganalisis permasalahan yang ada, untuk sementara ini dapat disepakati kebenarannya dan merupakan teori baku yang telah disepakati atau dijadikan landasan oleh para ahli hukum. 1.7.1 Teori Kontrol Sosial Teori kontrol sosial pada dasarnya berusaha menjelaskan kenakalan remaja dan bukan kejahatan oleh orang dewasa, namun disini saya mehubungkan antara perilaku penyimpangan pada waktu kecil atau remaja membawa dampak
8
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya atma Pustaka, Yogyakarta, h. 4.
17
pada anak sampai tumbuh menjadi dewasa dan akan melakukan pelanggaran ataupun kejahatan, pengaruh bawaan dari masa lalu atau remaja membuat seseorang menjadi serakah, berkurangnya pendekatan keluarga atau pembentukan pada masa anak-anak, kurangnya pembentukan kepribadian dari keluarga maupun lingkungan sekolah akan berpengaruh pada waktu seseorang itu menempati posisi tertentu dalam jabatannya nanti. Perilaku pada masa kanak-kanak akan berpengaruh besar dalam karirnya dan akan menjadi kebiasaan. Menurut Travis Hirschi Teori kontrol Sosial kajiannya melihat dari sudut pandang criminal biology yaitu faktor dari dalam si pelaku dan criminal sociology yaitu faktor kondisi dalam lingkungan yang mempengaruhi perilaku seseorang seperti attachment, involvement, commitment, belief.9 1. Teori Containment (Containment Theory) Teori containment, merupakan salah satu bagian dari teori control sosial. Ini muncul sebagai akibat dari tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik, dan kembali pada penyelidikan tentang tingkah laku kriminal. Kedua munculnya studi tentang “criminal juctice” sebagai ilmu baru yang telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem. Ketiga teori control sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru khususnya bagi tingkah laku anak atau remaja, yakni “self report survey”.10
9 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Ctk.Kedua PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 46 10 Gde Made Swardhana, op.cit., h. 143.
18
Perkembangan teori kontrol sosial dipelopori oleh Emile Durkeim ketika ia menyatakan bahwa masyarakat akan selalu memiliki angka nyata tentang kejahatan dan perilaku menyimpang yang merupakan gejala normal dalam masyarakat. 11 Kemudian perkembangan selanjutnya yaitu pada tahun 1950-an, beberapa ahli telah mempergunakan pendekatan teori kontrol sosial ini terhadap kenakalan anak. Pada tahun 1951, Albert J. Reiss telah mengelompokkan kenakalan berdasarkan tipe psikologinya, teorinya didasarkan pada pendekatan psikiatri dan sosiologi dan merupakan orang pertama yang mengemukakan teori kontrol diri dari kenakalan. Kenakalan terjadi karena lemahnya mekanisme kontrol ego dan superego.12 Perkembangan selanjutnya, diikuti oleh Sykes dan Matza (1957) yang menyatakan bahwa kenakalan terjadi karena rendahnya komitmen pada norma masyarakat dan norma hukum. Sykes dan Matza memperkenalkan 5 (lima) teknik netralisasi. Teknik netralisasi adalah teknik yang dikembangan dari pandangan kritis bahwa orangyang terlibat tindak kejahatan adalah salah, mereka harus rasional, mau mempetimbamgkan dan membuat tingkah laku yang salah dapat diterima sebagai suatu kenyataan sebelu mereka melanjutkan tindakannya. ke 5 (lima) teknik adalah : penolokan tanggung jawab, penolokan rasa sakit, penolokan korban, menghukum bagi yang dinyatakan salah, mengharap loyalitas yang lebih tinggi.13
11
Ibid Koentjoro, Kriminologi dalam Perspektif Psikologi Sosial, available at : http://koentjoropsy.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/kriminologi-1.pdf, accessed 21 Januari 2015. 13 Ibid 12
19
Pendekatan lain digunakan oleh F. I van Nye, yang mengemukakan bahwa teori kontrol tidak sebagai penjelasan umum tentang kejahatan melainkan penjelasan yang bersifat kasuistis. F. I van Nye pada hakikatnya tidak menolak adanya unsur psikologis, disamping unsur sub kultur dalam proses terjadinya kejahatan. Sebagian kasus kenakalan, disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang kurang efektif.14 Pada tahun 1961, Walter Reckless menyampaikan teori containment yang menjelaskan bahwa kenakalan merupakan hasil (akibat) dari interrelasi antara dua bentuk kontrol, yakni inner containment dan outer containment. Tahun 1969, Tarvis Hirschi mengeluarkan sebuah teori dengan nama social bond. Hirschi percaya bahwa manusia itu dilahirkan untuk melanggar hukum dan akan menjauhkan diri dari perbuatan itu jika terjadi hal yang khusus. Kejadian khusus akan terjadi, manakala ikatan orang pada jalur utama masyarakat itu kuat. Kuatnya ikatan orang pada alur utama masyarakat itu terjadi karena adanya 4 (empat) elemen, yakni : attachment, commitment, involvement, dan belief.15 Pada penelitian ini penulis mempergunakan teori containment sebagai salah satu landasan teori dalam membahas dan menganalisa permasalahan, yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan anak melakukan balapan liar. Penulis mempergunakan teori containment, karena teori ini memliki ke khasan atau ciri khusus, dimana dalam teori containment dijelaskan mengapa anak tersebut
14 Lilik Mulyadi, Kajian Teoristis dan Analisis Terhadap Dimensi Teori-Teori Kriminologis dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Modern, available at : http/www.ptjambi.go.id/uploads/others/kajian_kritis_dan_analitis_terhadap_dimensi_teori_teori_kriminologi_ dalam_perspektif_ilmu_pengetahuan_hukum_pidana_modern.pdf,accessed 21 Januari 2015 15 Koentjoro, op.cit.
20
melakukan kenakalan, padahal mereka sudah mengetahui adanya larangan yang mengatur mengenai perbuatan yang dilakukan. Namun, mereka tetap saja melakukan kenakalan itu karena dipengaruhi oleh dorongan dan tarikan baik yang berasal dari dalam diri ataupun luar diri anak tersebut. Selanjutnya dalam paragraf berikutnya akan dipaparkan lebih lanjut mengenai penjelasan dari teori containment. Containment theory menurut Walter Reckless adalah untuk menjelaskan mengapa di tengah berbagai dorongan dan tarikan-tarikan beraneka macam, dan apapun itu bentuknya, conformity (penerimaan pada norma) tetaplah menjadi sikap yang umum. 16 Teori containment pada dasarnya menyatakan bahwa individuindividu memiliki berbagai kontrol sosial (containment) yang membantunya di dalam melawan tekanan-tekanan yang menarik mereka menuju kriminalitas. Artinya disini bahwa containment internal dan eksternal memiliki posisi netral, berbeda dalam tarikan sosial (social pull) dan dorongan dari dalam individu.17 Teori ini berusaha untuk mencatat kekuatan-kekuatan sosial yang dapat mempengaruhi individu-individu melakukan tindak kejahatan, juga sifat-sifat perorangan yang bisa mengisolasi mereka dari atau dorongan mereka melakukan kriminalitas. dengan Demikian kehadiran ataupun ketidakhadiran social pressures berinterksi dengan kehadiran atau ketidakhadiran containment untuk menghasilkan atau tidak menghasilkan kejahatan perorangan.18
16 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2009, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 94-95. 17 Lilik Mulyadi, op.cit. 18 Frank E. Hagan, 1989, Introduction to Criminology, Theories, Methods and Criminal Behavior, Nelson-Hall, Chicago, h. 44.
21
Walter Reckless bersama rekan-rekannya merasakan bahwa teori tersebut sangat bermanfaat dalam menjelaskan kejahatan maupun bukan kejahatan seperti yang ditunjukkan dalam artikel “The Good Boy a High Delinquency Area”. Seseorang bisa mendapatkan pengaruh untuk melakukan kejahatan dan disebabkan karena external pressures yang kuat dan external pull serta kelemahan inner containments dan outer containments, sedang yang lainnya tekanan-tekanan (pressures) yang sama seperti ini bisa melawan disebabkan karena berkat keluarga yang kuat atau pemaknaan diri yang kuat.19 Berdasarkan penjelasan teori containment dapat kita lihat bahwa anak dapat melakukan suatu penyimpangan atau kenakalan karena disebabkan oleh sejauh mana dorongan-dorongan dari faktor internal (seperti kebutuhan yang harus dipenuhi, kesalahan, kekejaman) dan eksternal seperti (seperti kemiskinan, pengangguran) dapat dikontrol oleh outer containment dan inner containment seseorang. 1.7.2 Teori Kebijakan Hukum Pidana Untuk menganalisis penanggulangan terhadap anak yang melakukan balapan liar di jalan raya, maka digunakan teori kebijakan hukum pidana. Kenakalan anak yang terjadi saat ini khususnya dalam hal balapan liar di jalan raya, merupaka salah satu bentuk penyimpangan yang selalu ada dan melakat pada setiap masyarakat. Terhadap masalah ini, tentunya telah banyak usaha penanggulangan yang dilakukan, mengingat dampak yang dihasilkan dari perilaku menyimpang ini cukup membuat resah kehidupan masyarakat.
19
Ibid. h. 449.
22
Upaya penanggulangan kenakalan sesungguhnya merupakan upaya terus menerus dan bersinambungan yang selalu ada, bahkan tidak akan ada upaya yang bersifat final. Upaya itu dilakukan untuk menjamin perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.20 Maka dari itu digunakanlah hukum sebagai suatu komponen sistem sosial yang dianggap lebih efektif menyelesaikan problem sosial yang berupa kejahatan di masyarakat.21 Hukum yang merupakan suatu sistem, dapat berjalan dengan efektif dan dipercaya oleh masyarakat, jika dalam pelaksanaanya sesuai dengan perasaan dan nilai-nilai yang tumbuh berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk memformulasikan hukum atau undang-undang yang dalam hal ini dikenal dengan politik hukum atau sering disebut politik kriminal. Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kenakalan. Politik ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy). Semuanya merupakan bagian dari politik sosial, yakni usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.22 Dengan demikin sekiranya kebijakan penanggulangan kenakalan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana) dan “non penal”. Kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengerah pada tercapainya tujuan dan kebijakan sosial
20 Budi Suhariyanto, 2012, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 22. 21 Ibid, h. 23. 22 Muladi dan Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, h. 1.
23
itu sendiri, yaitu yang berupa social welfare (kesejahteraan sosial) dan social defence (perlindungan masyarakat).23 Terkait dengan masalah kebijakan kriminal, menurut Muladi terdapat dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal, diantaranya adalah masalah penentuan : 1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana itu; 2) Sanksi apa yang sebaikanya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.24 Analisis terhadap dua masalah sentral tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecangan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Penanggulangan kenakalan, selain menggunakan kebijakan melalui sara penal, dalam hal ini juga digunakan sarana non penal. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis adalah melalui sarana non penal, karena lebih bersifat preventif dank arena kebijakan penal itu mempunyai keterbatasan dan kelemahan (yaitu bersifat fragmatis, tidak structural fungsional, lebih bersifat represif / tidak preventif, harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi).25
23 Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan ( yang selamjutnya disebut dengan Brda Nawawi Arief I ), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 77. 24 Budi Suhariyanto, op.cit, h. 34. 25 Barda Nawawi Arief, op.cit., h. 78.
24
Penggunaan saran non penal diberikan porsi yang lebih besar dari pada penggunaan sarana penal, dimana ada kebutuhan dalam konteks penanggulangan kenakalan anak yang berorientasi untukmecapai faktor-faktor kondusif yang menyebabkan timbulnya kenakalan anak (faktor kriminogen).26 Bertolak dari arti pemahaman kebijakan, istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy (Inggris) atau Politic (Belanda). Atas dasar dari kedua istilah asing ini, maka istilah Kebijakan Hukum Pidana dapat pula disebut dengan istilah Politik Hukum Pidana. Dalam kepustakaan asing istilah Politik Hukum Pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain Penal Policy, Criminal Law Policy, atau Strafreehts Politiek. Kebijakan penanggulangan kenakalan atau yang biasa dikenal dengan istilah Politik Kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter Hoefnagels, upaya penanggulangan kenakalan anak dapat ditempuh dengan 3 (tiga) cara, yaitu : a. Penerapan hukum pidana (Criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment); c. Mempengaruhi
pandangan
masyarakat
mengenai
kejahatan
dan
pemidanaan melaui media masa (Influencing views of society on crime and punishment). Berkaitan dengan teori kebijakan hukum pidana diatas, maka dalam hal penggunaan hukum pidana pada upaya pencegahan dan penanggulangan balapan
26
Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia, PT. Refinka Aditama, Bandung, h. 59.
25
liar yang semakin marak di masyarakat tentunya sangat relevan, mengingat bahayabahaya atau dampak dan kerugian yang dapat ditimbulkan dari meningkat pesatnya kejahatan teknologi dan industri tersebut menjadi pertimbangan yang sangat layak. Karena bila kebijakan tersebut dilakukan dengan baik, maka apa yang menjadi tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, dapat terwujud dan terealisasi dengan maksimal.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Penelitian mengenai “Tinjauan Kriminologis Terhadap Pelaku Pelanggaran Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur Khususnya Balapan Liar (Berdasarkan Data Di Kota Denpasar)” adalah merupakan jenis penelitian ilmu hukum dengan kajian empiris. Karena penelitian ini menyangkut data maka dengan sendirinya merupakan penelitian hukum empiris.27 Kajian hukum empiris adalah kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan yang mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lain-lain (mengkaji law in action).
28
Penelitian hukum empiris ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor penyebab dilakukannya balapan liar dan untuk mengetahui upaya penanggulangan balapan liar dari pihak kepolisian.
27 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 2. 28 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 2.
26
1.8.2 Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.29 Artinya disini adalah menggambarkan secara rinci dan mengkaji secara kritis fakta hukum yang terkait dengan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak di bawah umur dalam melakukan balapan liar di Kota Denpasar. 1.8.3 Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 1. Data Primer adalah data yang dikumpulkan, dari tangan pertama dan diolah oleh suatu organisasi atau perorangan.
30
Artinya disini data tersebut
diperoleh bersumber dari penelitian lapangan dan diperoleh baik dari responden maupun informan. 2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh oleh suatu organisasi atau perorangan yang berasal dari pihak lain yang pernah mengumpulkan dan mengelolanya sebelumnya.31 Artinya disini data yang dikumpulkan bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh penulis. Data sekunder ini terdiri dari: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas peraturan
29
perundang-
Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 8. Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, h. 112. 31 Ibid. 30
27
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam suatu peraturan perundang-undangan, dan putusan hakim.32 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang dipergunakan adalah Norma Dasar Pancasila, Peraturan Dasar Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum penunjang, yang terdiri atas buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar 1.8.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam
penelitian
hukum
empiris
dikenal
teknik-teknik
untuk
mengumpulkan data yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran quisioner/angkat. Aadapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: a. Teknik studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.33 b. Teknik Wawancara (interview) Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan responden.
32
H. Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.47. Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 68. 33
28
Selain dengan cara tatap muka wawancara dapat dilakukan secara tidak langsung dengan telepon atau surat.34 c. Teknik observasi / pengamatan Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi langsung dan teknik observasi tidak langsung. Yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung dimana peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala tertentu dalam masyarakat, tetapi peneliti tidak menjadi anggota dari kelompok yang diamati. 1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Setelah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder terkumpul selanjutnya dianalisa. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskripsi, yakni menguraikan dan menghubungkannya dengan teoriteori atau literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan dan akhirnya menarik suatu kesimpulan dalam bentuk argumentasi hukum untuk menemukan hasil dari penelitian.
34
M. Mochtar, 1998, Pengantar Metodelogi Penelitian, Sinar Karya Dharma HP, Jakarta,
h. 78.