BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis yang berkepanjangan. Krisis yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan sebenarnya bersumber dari rendahnya kualitas, kemampuan, dan semangat kerja. Secara jujur dapat dikatakan bahwa bangsa ini belum mampu mandiri dan terlalu banyak mengandalkan intervensi pihak asing. Peningkatan sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut adalah pendidikan sehingga kualitas pendidikan harus senantiasa ditingkatkan. Sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan, maka kualitas SDM perlu ditingkatkan melalui berbagai program pendidikan yang dilaksanakan secara sistematis dan terarah berdasarkan kepentingan yang mengacu pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan (Imtak). Era reformasi yang sedang kita jalani, ditandai oleh beberapa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, politik, moneter, hankam, dan kebijakan mendasar lain. Di antara perubahan tersebut adalah lahirnya Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang No.25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-undang tersebut membawa konsekuensi terhadap bidang-bidang kewenangan daerah sehingga lebih otonom, termasuk bidang pendidikan (Mulyasa,2009:4).
1
Diundangkannya UU No.22 tentang Pemerintahan Daerah pada hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Pelimpahan wewenang kepada daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun daerah otonom disebut juga daerah,
adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang bertujuan memberdayakan
dan
meningkatkan
kemampuan
perekonomian
daerah,
menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, trasparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan pasti, serta mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang jelas. Secara substantif pembahasan undang-undang tentang pemerintah daerah berkaitan erat dengan undang-undang tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah kabupaten dan kota memegang peranan penting dalam kewenangan dan pembiayaan. Demikian halnya dengan perkembangan pendidikan, sangat bergantung atas kebijakan pemerintah daerah
2
sebagai bagian dari kewenangan yang dilimpahkan. Melalui otonomi pengelolaan pendidikan diharapkan pemenuhan kebutuhan masyarakat,
lebih cepat, tepat,
efisien dan efektif. Ketentuan otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang No. 32 tahun 2004 sebagaimana diuraikan di atas, termasuk penyelenggaraan pendidikan. Bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya
undang-undang
tersebut,
kewenangan
tersebut
dialihkan
ke
pemerintah kota dan kabupaten. Dengan otonomi tersebut sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat yang ada. Dengan demikian sekolah akan lebih mandiri, lebih berdaya dalam mengembangkan program yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga sekolah lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal. Pemberian
otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan
kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memperdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah, MBS tampil sebagai alternatif paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan. Langkah ini secara tidak langsung ditindak lanjuti oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2002:8) bahkan sudah dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2002 bahwa
3
pada tahun tersebut dimulainya gerakan peningkatan mutu pendidikan. Gerakan ini mau tidak mau harus diawali dengan mereformasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah sebagai institusi yang memberikan layanan pendidikan yang bermutu. Sekolah menurut konsep MBS diartikan sebagai wujud dari reformasi pendidikan yaitu diarahkan untuk meredesain memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan konsep pemberdayaan sekolah. Fokus pemberdayaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan otonomi dan profesionalisme sekolah dalam bidang kependidikan yang pada gilirannya menjadi kualitas pendidikan. Reformasi adalah (school reform) merupakan suatu konsep perubahan ke arah peningkatan umum dalam konteks manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Sekolah menurut Depdiknas (2002:1) adalah sebuah masyarakat kecil (mini society) yang menjadi wahana pengembangan siswa bukan sebuah birokrasi yang sarat dengan beban adsministrasi. Aktivitas di dalamnya adalah proses pelayanan jasa bukan proses produksi barang. Murid adalah pelanggan (client) yang datang ke sekolah untuk mendapatkan pelayanan, bukan bahan mentah (raw input) yang akan dicetak menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Model MBS
adalah suatu ide kekuasaan pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses
belajar
mengajar,
yakni
sekolah
sendiri.
Konsep
ini
menurut
(Sagala,2000:79) didasarkan pada ”self determinaton theory” bahwa apabila seseorang atau kelompok memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok tersebut akan memiliki tanggungjawab yang besar untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan tersebut.
4
Gagasan MBS kiranya perlu dipahami dengan baik oleh seluruh pihak yang berketempatan (stakeholder) dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya sekolah, karena pelaksanaan MBS ini tidak sekedar membawa perubahan dalam akademik di sekolah, tetapi juga membawa perubahan mendasar dalam hal kebijakan dan orentasi partisipasi orang tua dan masyarakat. Kepala sekolah, guru, konselor, tenaga kependidikan merupakan tenaga profesional yang harus berinovasi demi untuk kemajuan sekolah, bahkan birokrat yang selalu patuh menjalankan petunjuk atasan. Konsep sekolah yang dikemukakan di atas mengacu pada sekolah efektif yaitu sekolah yang memiliki profil yang kuat, mandiri, inovasi dan memberikan iklim yang kondusif bagi warga sekolah untuk menyumbangkan sikap kritis, kreatif, dan motivasi. Sekolah yang demikian memiliki kerangka akuntabilitas yang kuat pada siswa dan warga sekolah melalui pemberian pelayanan yang bermutu, dan bukan semata-mata akuntabilitas pemerintah melalui kepatuhannya menjalankan petunjuk. Dalam pelaksanaan MBS menurut Sagala (2000:79) telah tersirat adanya tugas sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan yang menggunakan strategi yang mengutamakan/memberdayakan semua potensi yang di sekolah secara optimal. Strategi
pelaksanaannya
menggunakan
prinsip-prinsip
manajemen
dan
perencanaan strategi sehingga setiap sekolah khususnya SMPN 1 Dagangan akan kompetitif dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan (SNP). Dalam melaksanakan MBS perlu seperangkat kewajiban dan tuntutan pertanggungjawaban yang tinggi kepada masyarakat, kepala sekolah harus mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis dan
5
bertanggungjawab baik kepada masyarakat dan pemerintah dalam meningkatkan kapasitas pelayanan kepada siswa. Perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga adsministrasi dalam mengelola sekolah merupakan syarat utama dari keberhasilan pelaksanaan MBS. Dalam pelaksanaan MBS dituntut kemampuan yang sangat profesional dan manajerial dari semua komponen warga sekolah di SMPN 1 Dagangan, agar semua keputusan yang dibuat oleh sekolah di dasarkan atas pertimbangan mutu pendidikan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa penerapan MBS pada hakekatnya adalah pemberian otonomi yang lebih luas kepada sekolah dengan tujuan meningkatkan mutu hasil penyelenggaraan pendidikan melalui peningkatan kinerja dan partisipasi semua warga sekolah. Sekolah dan pemerintah dapat menangkap momentum otonomi sekolah dengan melakukan reformasi diri untuk mewujudkan otonomi sekolah. Dengan sifat otonominya, sekolah diharapkan bukan lagi institusi mekanik birokratik dan institusi yang kaku, tetapi dengan otonomi pendidikan tersebut sekolah akan menjadi kreatif, inovatif, demokratik untuk melakukan pembaharuan untuk mewujudkan hal itu tentu saja diharapkan peran aktif dari legislatif, komisi pendidikan, eksekutif, orang tua siswa, masyarakat harus mempunyai pandangan dan bahasa yang sama untuk mewujudkan kualitas pendidikan yang kompetitif dan bermutu. Untuk melaksanakan MBS SMPN 1 Dagangan Kabupaten Madiun, mempunyai dasar hukum pelaksanaan yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 51 ayat 1, ” Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
6
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah.” SMPN 1 Dagangan merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada di wilayah Kabupaten Madiun yang saat ini berupaya untuk menerapkan kebijakan MBS. SMPN 1 Dagangan merupakan sekolah yang termasuk dalam sekolah yang menuju sekolah potensial yang memiliki program-program pengembangan yang dirancang untuk memenuhi tuntutan kebutuhan zaman yang terus berkembang. Oleh karena itu dalam visi dan misinya SMPN 1 Dagangan menekankan pada terwujudnya siswa yang tangguh, beriman, berwawasan global dan berkepribadian nasional. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran di SMPN 1 Dagangan dilaksanakan dalam kondisi pembelajaran yang kondusif. Selain kegiatan akademis, SMPN 1 Dagangan juga melaksanakan kegiatan non akademis/ekstrakurikuler diantaranya Qiroah, teater, olah raga, PMR, dan kesenian, semua ini diajarkan untuk memenuhi tuntutan zaman sesuai dengan visi dan misi sekolah. Kesiapan sumber daya di SMPN 1 Dagangan dalam pelaksanaan kebijakan MBS sangat memungkinkan. Dengan keberadaan lingkungan sekolah yang nyaman dan kondusif serta adanya dukungan dari warga sekolah dan lingkungan masyarakat tampak lebih meningkat, dengan adanya kegiatan yang dibiayai oleh komite/orang tua dan masyarakat. Serta adanya peningkatan prestasi baik prestasi akademik maupun non akademik pada tahun ini. Atas dasar pola pikir di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui dan mengungkapkan bagaimana pelaksanaan MBS di SMPN 1 Dagangan dalam peningkatan mutu pendidikan siswa. Permasalahan ini dituangkan dalam sebuah
7
judul “Analisis Pelaksanaan Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di SMPN 1 Dagangan Kabupaten Madiun.” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, peneliti mencoba mengkaji dan mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada yaitu rendahnya mutu pendidikan di negeri ini dengan melakukan perbaikan serta mereformasi penyelenggaraan pendidikan dari manajemen berbasis pusat menuju manajemen berbasis sekolah. Maka peneliti menetapkan fokus penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pelaksanaan MBS di SMPN 1 Dagangan Kabupaten Madiun? 2. Kendala-kendala apa yang dialami SMPN 1 Dagangan dalam pelaksanaan MBS? 3. Upaya-upaya apakah yang ditempuh SMPN 1 Dagangan untuk mengatasi kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan MBS? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang objektif sebagai berikut. 1. Pelaksanaan MBS di SMP Negeri 1 Dagangan Kabupaten Madiun. 2. Kendala-kendala yang dialami SMPN 1 Dagangan dalam pelaksanaan MBS. 3. Upaya-upaya yang dilakukan
SMPN 1 Dagangan dalam mengatasi
kendala dalam pelaksanaan MBS.
8
D. Manfaat Penelitian Adapun hasil penelitan ini diharapkan : 1. Hasil penelitian ini kiranya berguna sebagai bahan masukan bagi SMP di Kabupaten Madiun khususnya SMPN 1 Dagangan untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan melalui MBS. 2. Hasil penelitian ini kiranya berguna juga sebagai bahan acuan bagi peneliti lainnya, menyangkut hal yang sama namun dalam lingkup wilayah yang berbeda dan lebih luas, sehingga dalam memecahkan permasalahan kebijakan pelaksanaan MBS lebih meningkat. 3. Penelitian ini juga bermanfaat dalam menambah pengetahuan dan pengalaman penulis tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan MBS. 4. Sebagai salah satu persyaratan akademis dalam rangka mengakhiri pendidikan Pascasarjana Program Studi Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan. E. Penegasan Istilah Agar tidak terjadi salah anggapan terhadap istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu peneliti kemukakan penjelasan beberapa istilah berikut. 1. Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun tertentu (Tilaar, 2009:140).
9
2. Pelaksanaan MBS adalah suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan sekolah dalam memanfaatkan sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal. 3. Peningkatan mutu pendidikan dapat diartikan kemampuan sekolah dalam mengelola secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen-komponen menurut norma/standar yang berlaku (Fattah dan Mohammad Ali,2007:55)
10